Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN ME 3036 PERUBAHAN IKLIM

DAMPAK KENAIKAN MUKA AIR LAUT


TERHADAP KAWASAN PESISIR
(berdasarkan Pandangan Perencana Wilayah dan Kota)

Oleh
Reynald Prasetya

15413080

Aulia Oktaviani

15413097

Jeo Taufan S. P.

15413084

Nila Ultima Duane

15413100

Nurafi Hananprapoerti

15413087

Siti Nurfarikhah

15413101

Adila Muthi Yasyfa

15413091

Hanna Anindya

15413102

Syahri Ramadhan

15413093

Sri Utami Purwaningati

15413103

Putri Cendikiawati

15413095

Dosen:
Drs. Zadrach Ledoufij Dupe, M.Si.

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2016

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1

Latar Belakang..........................................................................1

1.2

Rumusan Masalah......................................................................2

1.3

Tujuan dan Sasaran...................................................................2

1.4

Sistematika Penulisan................................................................2

BAB II TINJAUAN LITERATUR...................................................................4


2.1

Kawasan Pesisir.........................................................................4

2.2

Perubahan Iklim.........................................................................7

2.3

Kenaikan Muka Air Laut...........................................................10

2.3.1

Permasalahan Kenaikan Muka Air Laut..............................11

2.3.2

Dampak Kenaikan Muka Air Laut.......................................13

Dampak naiknya permukaan laut adalah:.....................................13


BAB III STUDI KASUS............................................................................. 14
3.1 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut di
Wilayah Banjarmasin (Sumber: Jurnal Ekonomi Lingkungan
Vol.12/No.2/2008)............................................................................. 14
3.2 Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim Di Wilayah Pesisir
Cirebon (Jurnal oleh Ricky Rositasari, Wahyu B. Setiawan, Indarto
H.Supriadi, Hasanuddin, dan Bayu Prayuda, Pusat Penelitian
Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).......................17
3.2.1

Karakteristik Dataran Pantai Cirebon................................19

3.2.2

Hasil dan Pembahasan......................................................21

3.2.3

Kesimpulan........................................................................23

3.2.4

Saran................................................................................. 24

3.3 Studi Kasus Kenaikan Muka Air Laut Wilayah Pesisir Kota
Semarang......................................................................................... 24
BAB IV PANDANGAN PERENCANA WILAYAH DAN KOTA.........................27
4.1

Pandangan Perencana Wilayah dan Kota.................................27

4.1.1

Pendekatan Pembangunan Berperspektif Ketahanan Iklim


27

4.1.2 Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Berbasis


Mitigasi Bencana............................................................................31
4.1.3 Menjaga dan Mempertahankan Kawasan Konservasi Hutan
Mangrove....................................................................................... 32
1

BAB V KESIMPULAN.............................................................................. 34
5.1

Proses Terjadinya Kenaikan Muka Air Laut...............................34

5.2

Dampak Akibat Kenaikan Permukaan Air Laut.........................34

5.3 Identifikasi Fenomena Kenaikan Mukai Air Laut dan Dampaknya


yang Terjadi di Banjarmasin, Cirebon, dan Semarang.......................35
5.4 Pandangan Perencana Wilayah dan Kota terhadap Fenomena
Kenaikan Muka Air Laut.....................................................................35

1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring berjalannya waktu, jumlah manusia yang ada di permukaan bumi
selalu mengalami peningkatan. Bertambahnya jumlah manusia juga
berbanding lurus dengan aktivitas yang ada di permukaan bumi. Seperti
meningkatnya

kebutuhan

permukiman,

meningkatnya

kebutuhan

transportasi berbahan bakar fosil, dan banyaknya perubahan guna lahan.


Karena peningkatan aktivitas ini, banyak lahan yang seharusnya dilindungi
malah dialihkan menjadi lahan budidaya. Sehingga menambah beban yang
harus ditanggung oleh bumi.
Aktivitas manusia ini mengakibatkan tingginya kontribusi gas karbon ke
atmosfer. Apalagi dengan teknologi yang digunakan saat ini masih banyak
yang memanfaatkan bahan bakar fosil. Meningkatnya kontribusi gas karbon
tersebut menyebabkan adanya efek gas rumah kaca. Akibat cahaya matahari
terperangkap di bawah atmosfer, suhu permukaan bumi menjadi lebih panas.
Hal tersebut menyebabkan air laut memuai sehingga membutuhkan ruang
lebih. Selain itu adanya lelehan es dan gletser menyebabkan input air ke laut
bertambah. Pada akhirnya kedua hal tersebut menyebabkan kenaikan muka
air laut.
Indonesia sebagai negara maritim, harus memprioritaskan penanganan dari
isu ini. Ditambah lagi, banyak masyarakat yang bermatapencaharian sebagai
nelayan. Jika Indonesia tidak benar-benar memperhatikan masalah ini, akan
ada banyak kerugian yang terjadi. Contohnya erosi oleh gelombang dan arus
air laut yang menyebabkan terancamnya kawasan permukiman di dekat
bibir pantai. Oleh karena itu, perlu adanya penanganan dari sudut pandang
perencana wilayah dan kota atas masalah kenaikan muka air laut ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses terjadinya kenaikan muka air laut?
2. Apa sajakah dampak yang terjadi akibat kenaikan muka air laut?
3. Bagaimana fenomena kenaikan muka air laut dan dampaknya yang terjadi
di Banjarmasin, Cirebon, dan Semarang?
4. Bagaimana pandangan perencana wilayah dan kota terhadap fenomena
kenaikan muka air laut?
1.3 Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui dampak kenaikan muka air laut di
kawasan pesisir dan pandangan perencana wilayah dan kota terhadap masalah
tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, disusun sasaran sebagai berikut:
1. Mengetahui proses terjadinya kenaikan muka air laut.
2. Mengetahui dampak yang terjadi akibat kenaikan muka air laut.
3. Mengidentifikasi fenomena kenaikan muka air laut dan dampaknya yang
terjadi di Banjarmasin, Cirebon, dan Semarang.
4. Bagaimana pandangan perencana wilayah dan kota terhadap fenomena
kenaikan muka air laut.

1.4 Sistematika Penulisan


Makalah ini terdiri dari 5 bab dengan penjabarannya sebagai berikut
BAB I
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan,
dan sasaran dari makalah ini.
BAB II
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kajian literatur terkait kenaikan muka air
laut.
BAB III
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai studi kasus kenaikan muka air laut di
Banjarmasin, Cirebon, dan Semarang.
BAB IV

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pandangan perencana wilayah dan kota
terhadap kenaikan muka air laut yang terjadi di Indonesia.
BAB V
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari makalah secara
keseluruhan.

2
TINJAUAN LITERATUR

2.1 Kawasan Pesisir


Perkembangan kota pesisir turut mengalami pertumbuhan sebagaimana kotakota lainnya, kota pesisir tumbuh dikarenakan adanya faktor geografis dan
historis. Perkembangan kota pesisir di Indonesia berawal dari akses seperti
pelabuhan dan kawasa pesisir yang menjadi pusat kegiatan perdagangan dan
pemerintahan kota. Kota pesisir menjadi pintu gerbang
Pembangunan wilayah pesisir selama ini masih dilihat seperti pembangunan
wilayah terestrial lainnya dengan kondisi yang analogi dengan wilayah
perdesaan. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena wilayah pesisir menurut
RUU Pesisir memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu:
a. Wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat,
laut dan udara, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil
keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan
pembangunan ketiga aspek di atas;
b. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan
ungags untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan;
c. Wilayahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan
sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat
dan laut;
d. Memiliki gradian perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan
yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan;
e. Tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan

baik

pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi


internasional.
Permasalahan umum yang banyak terjadi dalam hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah adalah kurang selarasnya pemenuhan kepentingan pusat dan
daerah. Kondisi ini terjadi antara lain karena:

Instansi

dinas

(kelautan

dan

perikanan)

yang

ada

ditingkat

kabupaten/kota pada era otonomi daerah ini sangat beragam baik dalam
struktur organisasi dan kewenangannya. Perubahan ini berpengaruh pada

intensitas komunikasi antara instansi yang berada di pusat dan daerah.


Seringkali instansi dinas di kabupaten dan kota telah memiliki tugas
pokok dan fungsi organisasi, namun belum memiliki kewenangan teknis

karena belum ada penyerahan kewenangan dari pusat dan propinsi.


UU No.22/1999 belum dapat berjalan selaras dengan UU Perikanan dan
sebagian peraturan daerah lainnya, sehingga kewenangan dalam dinas
kabupaten/kota belum efektif.

Penataan ruang untuk perencanaan wilayah pesisir meliputi kebijakan


konservasi lingkungan alam, kebijakan pembangunan yang spesifik
membutuhkan lokasi pantai, kebijakan mencegah bencana alam, kebijakan
rehabilitasi lingkungan
a. Konservasi Wilayah Pesisir
Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi dan melestarikan karakter alam
dari wilayah pesisir. Seperti contohnya dalam kebijakan pembatasan kawasan
alam yang mempunyai nilai historis. Wilayah pesisir harus dicegah dari
berbagai gangguan yang dapat disebabkan oleh tingkat visibilitas
pembangunan yang tinggi terhadap bagian depan pantai, terhadap kaki langit,
dan pemandangan yang mempengaruhi hamparan pantai.
Pembangunan berskala besar seperti pembangunan water front city dapt
menimbulkan ancaman yang jelas terhadap lingkungan alam yang seharusnya
untuk konservasi. Namun dampak kumulatif dari pembangunan skala kecil
juga dapat menyebabkan kerusakan. Lokasi yang dapat dipengaruhi oleh
kegiatan tidak hanya dalam batas-batas wilayah pesisir tertentu, namun juga
pada loasi yang bebatasan atau mengarah ke hulu. Penelitian lebih dilakukan
pada kegiatan yang mempengaruhi muara, tidak hanya pada lokasi langsung
dan lokasi di sekitarnya, namun juga efek yang kumulatif pada bagian muara
itu sendiri.

Wilayah pesisir juga dapat meliputi kawasan pertanian yang subur yang perlu
dipahami dalam menentukan keputusan atas kegiatan pembangunan di
wilayah tersebut. Hubungan yang terjalin antara mata pencaharian penduduk,
sumber daya pantai, diversifikasi kehidupan liar dan keindahan panorama
pantai harus bersifat mutualisme dan dapat dirumuskan kebijakan yang tepat.
b. Pembangunan Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir, kesempatan untuk pembangunan dapat dibatasi oleh kondisi
fisik, seperti adanya ancaman banjir, erosi dan tanah longsor serta untuk
keperluan konservasi. Perencanaan wilayah pesisir dapat dilakukan dengan
cara pembangunan kawasan baru atau peremajaan lingkungan parkotaan pada
kawasan pesisir yang sudah terbangun. Serta dapat juga dilakukan untuk
membangun wilayah pesisir yang tertinggal.
Kegiatan pembangunan yang tampak memiliki efek signifikan terhadap
lingkungan pantai, termasuk pada efek terhadap lingkungan alam dan dampak
visual yang diinginkan. Analisa dampak lingkungan wajib dilakukan untuk
kegiatan pemanfaatan ruang tertentu, seperti kilang minyak, pembangkit
tenaga listrik, pabrik kimia, pelabuhan, saluran banjir, galangan kapal,
kawasan rekreasi, fasilitas rekayasa air limbah. Selain itu, pemerintah
selayaknya membuat panduan tentang pembangunan setiap bentuk konstruksi
di wilayah pantai. Salah satu yang dapat dilakukan adalah mencegah
pemanfaatan ruang sempadan pantai untuk keperluan selain kepentingan
umum.
c. Mencegah Bencana Alam
Bencana alam dapat terjadi di wilayah pesisir seperti banjir, tsunami, erosi
laut, abrasi pantai, tanah longsor, dll. Kebijakan yang harus ditetapkan adalah
menghindari terjadinya bencana ini. Pembangunan tidak diperbolehkan di
wilayah yang beresiko adanya bencana alam. Pemerintah daerah harus dapat
meminimalisir pembangunan di wilayah terbangun yang mengandung
ancaman. Tingkat resiko yang ada harus dipertimbangkan dengan cermat dan
kebijakan pemerintah diperlukan untuk mengendalikan atau membatasi

pembangunan di wilayah pesisir yang berdataran rendah, di wilayah dekat


permukiman atau garis pantai yang mengalami erosi, di wilayah yang stabil.
Kebijakan ini dilakukan untuk mitigasi bencana yang kerap kali terjadi di
wilayah pesisir.
d. Rehabilitasi Lingkungan
Upaya perbaikan lingkungan fisik dapat mencakup tindakan untuk
megedpankan keindahan alam dan ekologi pantai, untuk membangkitkan
wilayah pesisirdan pelabuhan dan untuk memperbaiki garis pantai yang
terganggu. Pengembang harus mengajukan usulan rehabilitasi kepada instasi
yang bertanggung jawab. Dalam banyak kasus, inisiatif untuk rehabilitasi
wilayah pesisir dapt berasal dari pemerintah lokal untuk mempromosikan
perbaikan wilayah pesisir tersebut.
Perencanaan harus mencakup usaha meningkatkan daya tarik dari wilayah
seperti itu sebagai tempat beristirahat dan untuk membangkitkan kembali
kawasan pelabuhan dengan pembangunan yang sesuai dengan fungsi dan
aktivitas baru.
2.2 Perubahan Iklim
Perubahan iklim secara harfiah adalah iklim yang berubah akibat suhu global
rata-rata meningkat. Peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut di atmosfer,
khususnya CO2, telah memerangkap suhu panas di atmosfer bumi. Penyebab
perubahan iklim antara lain:
a. Pembakaran Bahan Bakar Fosil
Bahan bakar fosil mengandung kandungan karbon yang tinggi. Gas karbon
yang keluar dari bahan bakar fosil akan terbang ke udara dan membentuk
gas CO2 dan akan meningkatkan radiasi yang selanjutnya berkontribusi
penting dalam terjadinya pemanasan global.
b. Deforestasi
Deforestasi adalah kegiatan penebangan hutan atau tegakan pohon (stand
of trees) sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nirhutan (non-forest use), yakni pertanian, peternakan atau kawasan
perkotaan.

c. Produksi gas CFC dan Bahan Kimia Berbahaya secara Berlebihan


AC dan Hair Dryer merupakan alat yang sangat banyak mengeluarkan gas
CFC. Selain itu, penggunaan pestisida dan bahan rumah tangga dengan
bahan kimia tertentu (seperti CFC dan CH3Br) dapat menipiskan lapisan
ozon. Dibanding gas-gas lain yang dapat merusak ozon CFC itu sangat
stabil, jika senyawa-senyawa lain yang naik ke atmosfer terurai karena
bereaksi di lapisan troposfer. CFC karena kestabilan senyawanya bisa naik
ke lapisan ozon dan bereaksi dengan ozon. Inilah sebab utama CFC
menjadi senyawa yang dianggap berbahaya. Sejak adanya Protokol
Montreal pada tahun 1987 produksi CFC ditekan drastis. Pada tanggal 2
Maret 1989, 12 negara Masyarakat Eropa setuju untuk melarang produksi
semua CFC pada akhir abad ini. Pada tahun 1990 diserukan penghapusan
CFC di eropa pada tahun 2000. Dan tahun 2010 CFC harus benar-benar
dihilangkan termasuk di negara-negara berkembang.
d. Pemanasan Global
Ketiga penyebab diatas, akan menyebabkan satu fenomena besar yaitu
pemanasan global. Pemanasan global adalah kejadian naiknya suhu ratarata atmosfer, lautan, dan daratan. Segala sumber energi yang terdapat di
Bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk
radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba
permukaan Bumi,

ia

berubah

dari

cahaya

menjadi

panas

yang

menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas


dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud
radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian
panas

tetap

terperangkap

di atmosfer Bumi akibat

menumpuknya

jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur
dioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gasgas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang
dipancarkan Bumi dan

akibatnya

panas

tersebut

akan

tersimpan

di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga


mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat
Adapun dampak perubahan iklim yaitu:

a. Kenaikan Muka Air Laut


Pemanasan global yang menyebabkan mencairnya es di kutub,
menyebabkan volume air laut meningkat. Sehingga, permukaan laut juga
akan naik dan menyebabkan dampak lanjutan seperti banjir dsb.
b. Kekeringan
Sayang sekali, meski di satu tempat merasakan banjir karena muka air laut
naik, justru banyak daerah tertentu yang justru mengalami kekeringan
karena perubahan iklim ekstrem menyebabkan suhu tempat tersebut tibatiba naik menjadi sangat panas. Manusia menghadapi kemungkinan
kekeringan yang terus meluas dalam beberapa dekade nanti, tapi ancaman
ini belum mendapat perhatian serus dari masyarakat dan komunitas
peneliti perubahan iklim.Sebagian besar Afrika, Amerika Latin dan Timur
Tengah serta sebagian Asia, Amerika Serikat dan Eropa selatan akan
dilanda kekeringan parah. Sementara wilayah-wilayah yang berbatasan
dengan Laut Mediterania akan merasakan kekeringan yang belum pernah
dialami sebelumnya.Kekeringan ini akan berdampak pada pertanian,
sumber air, turisme, ekosistem dan kesejahteraan manusia
Tidak hanya di darat, perubahan iklim juga berdampak pada wilayah pesisir
antara lain:
a. Garis Pantai Semakin Dekat ke Daratan
Dengan naiknya muka air laut, maka wilayah pesisir dan garis pantai akan
semakin menjorok ke daratan. Lama kelamaan, pulau-pulau kecil akan
terendam sepenuhnya dan hilang dari peta
b. Kerusakan Terumbu Karang
Meningkatnya temperatur perairan laut diluar batas normal, tingginya
intensitas sinar ultraviolet, meningkatnya kekeruhan dan sedimentasi, serta
kondisi salinitas yang tidak normal merupakan beberapa faktor penyebab
terjadinya coral bleaching. Coral bleaching adalah pemutihan karang atau
hilangnya warna asli terumbu karang karena sebab-sebab diatas.

2.3 Kenaikan Muka Air Laut


Isu lingkungan bukanlah sebuah isu baru dalam kajian Hubungan
Internasional kontemporer. Pasca konferensi The United Nation Conference

on the Human Environment di Stockholm tahun 1972, isu lingkungan


menjadi salah satu isu penting bagi negara-negara di dunia. Pembahasan isu
lingkungan kemudian ditandai dengan terbentuknya The United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED) pada tahun 1992 di
Rio de Janeiro, Brazil. Tahun 1997 sebuah pertemuan tingkat tinggi
membahas isu lingkungan di Tokyo dan menghasilkan Protokol Kyoto yang
mengikat negara-negara yang meratifikasi untuk mengurangi dan menjaga
emisi gas karbon di masing-masing negara. Salah satu isu lingkungan yang
menjadi topik penting ialah kenaikan permukaan air laut (sea level rise).
Kenaikan permukaan air laut telah dibahas dalam Intergovermental Panel on
Climate Change 1990 (IPCC) Report Working Group II sebagai:
Global warming as a result of increased concentrations of Green House
Gasses is likely to cause an acceleration of the slow sea-level rise already in
progress. This expected acceleration will be the consequence of thermal
expansion of oceanic surface layers and melting of glaciers and polar
icecaps.
Definisi diatas menyatakan bahwa pemanasan global yang berasal dari
meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan percepatan kenaikan
permukaan air laut. Selain itu percepatan pemuaian dari permukaan lapisan
lautan dan pencairan glasier serta es yang berada di kutub telah memicu
percepatan kenaikan permukaan air laut (Organization W. M., 2013). Hasil
penelitian ilmuan yang tergabung dalam IPCC telah menunjukkan bahwa
suhu planet Bumi telah meningkat sebesar 0.6o celcius. Peningkatan sebesar
ini mungkin terlihat tidak begitu signifikan jika dibandingkan dengan
peningkatan suhu cuaca harian yang tidak banyak memberikan pengaruh
terhadap bumi (IPCC, 1990). Namun peningkatan suhu sebesar 0.6 telah
memicu pencairan es di permukaan bumi dan air dari hasil pencairan telah
memicu naiknya permukaan air laut. Kenaikan permukaan memberikan
dampak buruk terutama terhadap negara-negara kecil yang terdiri dari
kepulauan berdataran rendah seperti di Samudera Pasifik.

10

2.3.1 Permasalahan Kenaikan Muka Air Laut


Pemanasan Global pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan
temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca
(greenhouse effect). Pemanasan global yang terjadi akan menyebabkan
kenaikan air laut. Fenomena kenaikan muka air laut mengemuka seiring
dengan terjadinya pemanasan global (global warming). Pemanasan global
yang terjadi akan menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut yang
kemudian mengakibatkan terjadinya pemuaian air laut. Pemanasan global
juga menyebabkan mencairnya es abadi. Pemuaian air laur dan mencairnya
salju salju abadi, pada gilirannya akan menyebabkan naiknya permukaan air
laut.
Selain karena pemanasan global, kenaikan permukaan air laut juga
disebabkan oleh gelombang badai yang melanda daerah daerah pesisir pantai.
Gelombang badai disebabkan oleh aning yang sangat kencang dan tekanan
atmosfir yang rendah sehingga menyebabkan air yang ada di laut masuk ke
daratan. Gelombang badai akan menyebabkan kenaikan permukaan laut yang
sangat ekstrim jika kejadiannya bertepatan engan saat pasang laut tertinggi.
Ilustrasi kenaikan pemukaan air laut dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1
Storm Surge and High Tides Magnify the Risk of Local Sea Level Rise

11

Para peneliti mengukur kecepatan kenaikan permukaan air laut sebesar 3.2
milimeter pertahun, dan angka tersebut meningkat dua kali lipat dari hasil
penelitian satu abad yang lalu, yang mana kenaikannya hanya sebesar 1.6
milimeter. Dampak kenaikan permukaan air laut ini telah menyebabkan tinggi
air laut 20 cm lebih tinggi dari satu dekade yang lalu. Tinggi permukaan air
laut akan terus meningkat selama abad ke 21, bahkan diproyeksikan akan
meningkat hingga 25-58 cm (Mansbach, 2012). Kenaikan permukaan air laut
yang bertambah ini mungkin terlihat kecil, namun kenaikan ini dapat
menyebabkan kerusakan bagi ekosistem dan wilayah yang terletak didekat
pesisir pantai. Sebagian besar negara-negara di dunia rentan terhadap
kenaikan permukaan air laut karena kurang dari 30 negara tidak memiliki laut
atau tidak berbatasan dengan laut (IPCC, 2013). Jika permukaan air laut
meningkat sekitar 1.5 meter maka lebih dari 50 juta orang diprediksi terpaksa
harus mengungsi(OBrien, 2013).
2.3.2 Dampak Kenaikan Muka Air Laut
Dampak naiknya permukaan laut adalah:
Berkurangnya luas kawasan pesisir dan hilangnya pulau pulau kecil yang
dapat mecapai angka 2000 hingga 4000 pulau (Gunawan, 2007) yang

kesemuanya tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi.


Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat, diantaranya: (a)
Gangguan terhadap jaringan lintas dan kerta api, (b) Genangan terhadap

12

permukaan penduduk pada kota-kota pesisir; dan (c) hilangnya lahan

lahan budidaua seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove.


Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada
wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove.
Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka:
abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang,
dan pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya
filter polutan.

Terjadinya perubahan lingkungan yang secara teoritis diakibatkan oleh


naiknya permukaan air laut, akan menimbulkan pengaruh yang sangat besar
terhadap masyarat terutama yang bertempat tinggal di sekitar pantai. Berikut
ini gambar dampak dari kenaikan permukaan air laut.
Gambar 2
Dampak Kenaikan Muka Air Laut

Sumber: U.S.
Department of
the Interior
Geological
Survey, 2010

13

3
STUDI KASUS

3.1 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka


Laut di Wilayah Banjarmasin (Sumber: Jurnal Ekonomi
Lingkungan Vol.12/No.2/2008)
Banjarmasin merupakan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas
wilayah kurang lebih 72 km2 dengan mayoritas wilayahnya merupakan
dataran rendah. Banjarmasin dilalui oleh Sungai Barito, sungai yang menjadi
jalur menuju Laut Jawa. Sungai Barito memiliki tingkat kerawanan terhadap
kenaikan muka laut yang cukup tinggi.
Akibat dari kemungkinan kenaikan muka laut yang dapat terjadi di sekitar
Sungai Barito, dilakukan perhitungan proyeksi kenaikan muka laut untuk
tahun 2010, 2050, dan 2100. Metode yang digunakan untuk mengukur
kenaikan mukal laut tersebut adalah data DEM (Digital Elevation Model)
SRTM90m (Shuttle Radar Topographic Mission). Berdasarkan hasil olahan
data menggunakan model ini, ditemukan bahwa kenaikan muka laut yang
akan terjadi di Banjarmasin adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Proyeksi Kenaikan Muka Laut dan Luas Daratan yang Hilang di
Banjarmasin
Tahun

Kenaikan Muka Laut (km)

2010
2050
2100

0,37
0,48
0,934

Luas Daratan yang Hilang


(km2)
0,530
1,039
2,581

Dari kenaikan muka laut tersebut, beberapa kecamatan terkena dampak akibat
kenaikan muka laut tersebut, antara lain Kecamatan Banjarmasin Tengah,
Kecamatan Banjarmasin Utara, Kecamatan Banjarmasin Barat, dan
Kecamatan Banjarmasin Selatan. Daratan yang hilang di wilayah ini akibat
Sungai Barito yang mengalir di antara Kota Kalimantan dan kabupaten Barito

14

Kuala mendapatkan massa air kiriman dari Laut Jawa. Berikut ini juga
digambarkan seberapa luas daratan yang akan terendam akibat kenaikan
muka laut yang diproyeksikan akan terjadi di Banjarmasin.
Gambar 3
Kenaikan Muka Laut Tahun 2010

Gambar 4
Kenaikan Muka Laut Tahun 2050

15

Gambar 5
Kenaikan Muka Laut Tahun 2100

Akibat dari kenaikan muka laut dan terendamnya beberapa wilayah di


Banjarmasin tentunya memberikan dampak pada kegiatan masyarakatnya dan
juga perekonomian yang ada di Banjarmasin, mengingat Banjarmasin
merupakan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan. Beberapa dampak yang
ditimbulkan dari kenaikan muka laut tersebut antara lain terganggunya lalu
lintas jalan raya, munculnya genangan air di wilayah perkotaan, berkurangnya
lahan produktif di sektor pertanian, dan terganggunya aktivitas perekonomian
akibat kerusakan infrastruktur. Dari dampak-dampak yang dapat timbul akibat
kenaikan muka laut di Banjarmasin, berikut ini adalah proyeksi kerugian
ekonomi yang dapat terjadi dan juga proyeksi jumlah pengungsi yang mukin
akan timbul akibat daerah permukimannya terendam air akibat dari kenaikan
muka laut tersebut.
Tabel 2
Proyeksi Kerugian Ekonomi
Tahun
2010
2050
2100

Luas Areal Tergenang

Kerugian Ekonomi

(km2)
0,530
1,039
2,581

dari Lahan ($ 106)


0,03
0,14
0,69

16

Tabel 3
Proyeksi Jumlah Pengungsi
Tahun
2010
2050
2100

Kepadatan Penduduk
Rata-Rata
9.670
13.002
15.602

Jumlah Pengungsi
5.125
13.509
40.270

Akibat dari dampak yang mungkin timbul akibat kenaikan muka laut tersebut
dapat disimpulkan bahwa kerusakan infrastruktur dapat mengganggu aktivitas
masyarakat dan perekonomian di Banjarmasin, dampaknya akan besar
mengingat Banjarmasin adalah Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan. Upaya
mitigasi dapat dilakukan dengan tindakan adaptasi berupa pembuatan tanggul
di pinggir Sungai Barito, relokasi penduduk sekitar sungai, dan pembangunan
rumah panggung. Namun dari seluruh upaya mengurangi dampak kerugian
yang timbul akibat kenaikan muka laut di Banjarmasin, upaya pengurangan
pemicu perubahan iklim secara global pun perlu dilakukan.
3.2 Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim Di
Wilayah Pesisir Cirebon (Jurnal oleh Ricky Rositasari,
Wahyu B. Setiawan, Indarto H.Supriadi, Hasanuddin,
dan Bayu Prayuda, Pusat Penelitian Oseanografi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Dampak berskala luas dari perubahan iklim terjadi di lautan karena mencakup
perubahan yang bersifat fisis, biologis dan kimiawi. Perubahan karakteristik
kimia akan berdampak pada struktur ekologis lingkungan perairan. Selain itu
peningkatan muka laut akan banyak menimbulkan perubahan pada sistem
pesisir yang disebabkan oleh banjir pasang, cuaca ekstrim dan pengikisan
lahan pesisir. Di berbagai Negara, wilayah pesisir merupakan wilayah yang
lebih cepat berkembang, baik dalam tingkat perekonomian maupun tingkat
populasinya. Pallewatta (2010) menyebutkan hampir separuh dari kota-kota
besar dunia berada dalam jarak 50 kilometer dari daerah pesisir, dan
kepadatan populasi di daerah ini dapat mencapai 2,6 kali lebih padat dari
seluruh pulau tersebut. Masyarakat pesisir sudah beradaptasi terhadap
17

berbagai perubahan yang terjadi di wilayah pesisir sepanjang masa


berkembangnya

komunitas

tersebut,

namun

perubahan

iklim

akan

menyebabkan perubahan yang berbeda baik terhadap dinamika pesisir


maupun terhadap perubahan muka laut yang dramatis.
Dalam laporan asesmen IPCC ke 4 (2007) menyebutkan bahwa perubahan
muka laut rata-rata selama abad 20 adalah 0,17 (0,12-1,22) meter dan
diproyeksikan akan meningkat hingga 0,59 (0,18-0,59) meter pada tahun
2100. Ketinggian muka laut rata-rata 0,59 meter tersebut merupakan batas
pasang tertinggi saat ini dan ketinggian air saat terjadi badai. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa kenaikan muka laut rata-rata yang telah diprediksikan
tersebut akan menjadi ancaman bagi hampir semua lahan pesisir terutama
yang berelevasi rendah. Sedangkan SRES (Special Report on Emissions
Scenarios) (IPCC, 2001) memprediksikan kenaikan muka laut hingga
mencapai nilai ekstrim yakni 0,8 meter pada tahun 2095. Keadaan ini
mengharuskan pihak-pihak pemangku kepentingan untuk melakukan
pendekatan yang memadai untuk menghadapi berbagai kemungkinan di abad
mendatang (Cartwright, 2008). Kecepatan kenaikan muka laut sampai 100
tahun yang akan datang dapat diproyeksikan dari kenaikan muka laut dalam
periode 150 tahun yang lalu. Dalam prespektif oseanografi, wilayah pesisir
adalah wilayah yang paling rawan terhadap perubahan iklim. Banjir pasang
(penggenangan), banjir, abrasi/erosi dan intrusi air laut adalah beberapa aspek
yang mengancam wilayah pesisir, yang akan menimbulkan kerugian.
Wilayah yang digunakan dalam penelitian adalah wilayah pesisir Cirebon di
Jawa Barat, Indonesia adalah dataran rendah daerah pantai yang merupakan
salah satu areal potensial untuk budidaya ikan dan pertanian. Melalui daerah
ini terdapat juga sarana transportasi utama propinsi Jawa Barat untuk seluruh
wilayah di pulau Jawa. Sebagai kota yang terletak di dataran rendah dengan
penduduk yang padat dan kota berkembang, Cirebon sangat rentan terhadap
kenaikan permukaan air laut.

18

3.2.1 Karakteristik Dataran Pantai Cirebon


Pantai adalah batas wilayah (interface) antara darat (terrestrial ) dan laut
(marine). Dataran pantai utara Jawa (pantura) adalah wilayah yang sangat
dinamis dan rentan untuk mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Oleh
karena itu proses terbentuknya pantai sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti gelombang, arus, turun naiknya permukaan laut dan pasokan sedimen
(sediment suplay). Pantai di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perubahan
muka air laut, tektonik dan kondisi iklim tropik. Ketiga faktor tersebut adalah
merupakan pengendali bertambahnya daratan (progradation) dan penyusutan
daratan (retrogradation).
Di daerah pantura seperti di Cirebon perubahan pantai dalam kurun waktu
menengah dapat diakibatkan oleh maju mundurnya garis pantai dalam
beberapa dekade seperti yang terjadi di daerah delta. Dalam hal perubahan
jangka menengah akan berdampak kepada sumber daya alamnya (coastal
resources). Secara umum, batuan yang menyusun di pantai Cirebon umumnya
terdiri atas lumpur hasil pengendapan rawa, lanau serta lempung berwarna
kelabu mengandung cangkang kerang dengan tebal maksimum mencapai
beberapa meter. Silitonga drr. (1996) menyebutkan bahwa, geologi
permukaan di wilayah pesisir Cirebon dan sekitarnya terdiri dari endapan
aluvial (Qa), fasies sedimen ini semakin ke arah pantai ditutupi oleh endapan
pantai (Qac). Sumanang drr. (1997) dalam peta geologi Kuarter lembar
Muara-Cirebon, Jawa Barat yang didasari hasil pemboran dangkal bersekala
1:50.000 mengatakan bahwa, Qac disusun oleh fasies BM ( Beach on marine)
yaitu endapan pematang pantai di atas endapan dekat pantai/ laut dangkal.
Disebutkan pula bahwa, Qa disusun oleh fasies FM (Floodplain on marine)
yaitu endapan dataran banjir di atas endapan dekat pantai.
Kondisi topografi pantai daerah penelitian sangat landai - datar, hingga
dataran pantai (coastal plain). Di beberapa tempat terbentuk lingkungan rawa
(swamps), hutan bakau (mangrove) dan pasir pantai (beach sand). Di sekitar
muara sungai biasanya endapannya lebih kasar. Faktor yang mempengaruhi
karakter pantai (coastal characteristics) adalah komposisi jenis sedimennya.
Secara umum karakteristik pantai dipengaruhi oleh jenis material yang
19

diangkut oleh sungai, kemudian diendapkan di pantai. Oleh karena itu


karakteristik pantai sangat dipengaruhi oleh panjangnya sungai dan daerah
tangkapan hujan (Catchmen area), sehingga material yang diangkut oleh
sungai tersebut didominasi oleh material halus (Yinwang drr, 2003). Semakin
panjang sungai yang mengalir di daerah yang kemiringan lerengnya sangat
landai, maka semakin halus pula materi yang akan diendapkan di pantai. Oleh
karena itu pengaruh aktivitas sungai

dalam mengontrol perkembangan

pertumbuhan pantai di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh kegiatan


sungai. Kondisi pantai yang berlumpur, berpasir atau berbatuan juga sangat
tergantung kepada kondisi geologi yang dilalui oleh sungai yang mengangkut
bahan bahan rombakan yang diendapkan di pantai.
Selain dataran pantai terdapat juga delta, yang terbentuk oleh material hasil
erosi yang ditransport (diangkut) oleh sungai yang kemudian diendapkan di
pantai utara Jawa dan membentuk endapan delta aktif. Hal ini dapat terjadi
karena pasokan material yang diendapkan di pantai jauh lebih besar
dibandingkan dengan kecepatan gelombang laut, dan arus yang memindahkan
material tersebut. Dengan kata lain pembentukan delta di daerah ini terjadi
karena kondisi energi gelombang dan arus yang lemah. Oleh karena itu,
pembentukan delta di daerah penelitian dapat diklasifikasikan sebagai delta
yang sangat dipengaruhi oleh sistim fluvial (fluvial- dominated deltas)
(Reading H.G, 1986).

Oleh karena itu, delta yang terbentuk di daerah

Cirebon sangat terkait dengan kehadiran Kali Kanci, Kali Pengarengan Kali
Bangkaderes, Kali Cisanggarung, dan Kali Kabuyutan.
Di daerah Cirebon ini dikenali ada dua tanjung (delta) yaitu Tanjung / Delta
Oleweran dan Tanjung / Delta Losari. Lebih lanjut pada dataran pantai
ditemukan bentuk pantai berupa / seperti teluk . Paling sedikit ada tiga teluk
dapat dikenali di daerah ini yaitu Teluk Mundupesisir, Teluk Balong dan
Teluk M. Kluwut. Kondisi pantai yang serupa juga dapat dijumpai di daerah
Kendal. Mekanisme proses pembentukan teluk ini dapat disebabkan karena
pasokan material yang akan diendapkan di pantai tidak tersedia, atau dengan
kata lain tidak terdapat sungai yang bermuara ke laut di sekitar pantai

20

tersebut. Oleh karena itu pengaruh marin lebih dominan pada bentuk pantai
yang demikian. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
karakteristik pantai di daerah Cirebon lebih didominasi oleh pengharuh
pasokan material yang diangkut oleh sungai yang hulunya di sebelah selatan
dan kemudian diendapkan di sepanjang pantai.
3.2.2 Hasil dan Pembahasan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan telah terjadinya perubahan garis pantai
di sepanjang pesisir Cirebon, perubahan ini telah berlangsung selama 10
tahun terakhir. Secara umum karakteristik garis pantai Cirebon terbagi
menjadi 2 yaitu garis pantai yang mengalami sedimentasi dan garis pantai
yang mengalami erosi. Dalam kecepatan sedimentasi tetap hingga 100 tahun
ke depan, dan muka laut naik 0,8 meter seperti yang diprediksikan oleh IPCC
(2007), daerah ini akan tergenang sedalam 0,5 meter.
Daerah intrusi di pesisir Cirebon dapat mencakup areal yang makin luas
setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena penggunaan/eksploitasi air tanah
yang cenderung akan meningkat untuk berbagai kepentingan serta
terdapatnya fenomena kenaikan muka laut yang mulai memperlihatkan bukti
makin jelas. Karakteristik geomorfologi, bentang lahan dan tataguna lahan
sangat berpengaruh terhadap luasan penetrasi air asin ke arah darat di wilayah
Cirebon. Karakter geomorfologi wilayah barat laut pesisir Cirebon adalah
berupa endapan alluvial sebagai hasil endapan sungai sedangkan wilayah
tenggara berupa endapan gunung api. Endapan alluvial bersifat lepas, tidak
terkonsolidasi dan bersifat porous yang menyebabkan air laut lebih mudah
menyusup daripada terhadap sedimen yang terkonsolidasi dan masif seperti
batuan yang berasal dari gunung api. Di beberapa wilayah, terdapat
penghalang (barriers) seperti mangroves atau bukit-bukit pasir (cheniers)
yang memisahkan wilayah laut dengan lahan basah (wetlands) atau sumber
air tawar. Kerusakan pada wilayah penghalang ini dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yang mengakibatkan air laut mudah menyusup ke arah daratan
yang lebih tinggi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terbukanya
penghalang tersebut dapat bersifat alami seperti kerusakkan yang disebabkan
oleh badai, atau akibat aktivitas manusia seperti pengerukkan untuk
21

kepentingan pelayaran, pengikisan atau erosi yang disebabkan aktivitas


perahu/kapal.
Pemetaan zona genangan yang diturunkan dari data topografi dengan
menggunakan analisis DEM dan prediksi kenaikan permukaan laut 0,8 meter
memperlihatkan zona genangan dengan mempertimbangkan jalur utama
Pantura sebagai barrier, dengan asumsi hingga 100 tahun yang akan datang
fasilitas jalur ini tetap terjaga seperti saat ini. Tataguna lahan di daerah
genangan ini adalah sawah dan tambak garam. Estimasi nilai kerugian akibat
penggenangan dalam skenario kenaikan muka laut 0,8 meter di pesisir
Cirebon, dikalkulasi berdasarkan biaya total produksi lahan dalam hal ini
adalah tambak bandeng, udang, garam dan sawah. Desa yang diprediksi akan
mengalami kerugian tertinggi adalah Mundu pesisir, Mertasinga, dan
Pasindangan, Desa Kapetakan, Pegagan Lor, Jatimerta, Kalisapu dan Klayan.
Desa-desalainnya termasuk katagori ringan sampai sedang. Dari enam
komponen unit lahan di pesisisr pantai utara Cirebon (lahan tambak udang,
bandeng, garam, sawah, pemukiman dan ekosistem mangrove) maka nilai
total kerugian yang paling besar yaitu lahan permukiman hampir 96,69 %
atau Rp 1,25 trilyun. Prediksi nilai kerugian terbesar dengan asumsi terjadi
genangan 0,8 meter yaitu pemanfaatan lahan permukiman yaitu sebesar Rp
1,25 trilyun (96,69%), sedangkan sawah 20,5 milyar (1,58 %), tambak
bandeng 8,75 milyar (0,68%). tambak garam 7,75 milyar (0,59 %), tambak
udang 4,43 milyar (0,34 %) dan ekosistem mangrove 1,4 milyar (0,11%).
Nilai kerugian akibat penggenangan akan terus meningkat setiap tahunnya.
Sebuah kajian yang mencakup 307 km lahan pesisir di Kota Cape Town
memperlihatkan bahwa kenaikan muka laut hingga 2,5 meters dapat
mendatangkan kerugian hingga 3 % dari nilai total GDP kota tersebut
(Cartwright, 2008).
Kenaikan muka laut akan menimbulkan perubahan terhadap bentang alam
dan pola vegetasi di wilayah pesisir karena terjadinya penggenangan, badai
yang lebih sering terjadi dan erosi. Infrastruktur vital, pemukiman dan
fasilitas pendukung sosial-ekonomi masyarakat pesisir akan mengalami

22

ancaman yang serius. Untuk merancang aksi adaptasi sangatlah penting untuk
lebih dahulu mengetahui besaran biaya dan keuntungan yang akan didapat
dari langkah adaptasi tersebut. Dataran pantai mempunyai sensitivitas yang
tinggi terhadap perubahan permukaan laut. Hal ini disebabkan oleh karena
topografi / ketinggian dataran pantai pada umumnya sangat rendah
Perubahan iklim khususnya pemanasan global sangat boleh jadi penyebab
percepatan kenaikan permukaan laut. Kenaiklan ketinggian permukaan laut
sudah tentu akan

berakibat terhadap perubahan dataran pantai (coastal

changes). Salah satu conton kerusakan akibat naiknya permukaan laut


tersebut berdampak terhadap kelestarian hutan bakau (mangrove). Karena
pada umumnya hutan bakau tersebut dapat berkembang di sekitar pantai
(coast), pond dan mulut sungai (river mouth). Akibat kerusakan hutan bakau
tersebut maka akan berdampak terhadap terganggunya ekosistim yang sudah
ada.

Selain

itu kenaikan permukaan

laut dapat mengangkut dan

mengendapkan sedimen baru sepanjang pantai. Dalam kurun waktu yang


relatif lama proses sedimentasi ini dapat membentuk barier island. Sehingga
dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan permukaan laut sangat luas,
menyangkut perubahan tataguna lahan di sepanjang pasisir yang mengalami
genangan. Perlu dilakukan relokasi infrastruktur (jalan raya, jalan kereta api),
prasarana publik seperti sekolah, rumah sakit, pemukiman (perkampungan),
sawah, tambak ikan, tambak garam hotel , dan sentra industri .Selain itu
terjadinya perubahan ekosistim yang merusak hutan bakau serta binatang lain
yang hidup di hutan bakau tersebut.
3.2.3 Kesimpulan
Kajian kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim di pesisir
Cirebon mengindikasikan akan terjadinya erosi di daerah yang lebih luas,
karena wilayah ini merupakan pesisir berelevasi rendah dan sebagian besar
pantainya mengalami erosi dalam berbagai skala. Ketinggian genangan akan
menambah kecepatan dan energi pada air, kondisi inilah yang akan
menambah luas lahan tererosi di sepanjang pesisir. Erosi yang terjadi akan
memicu perubahan garis pantai ke arah darat dan intrusi akan menjadi
ancaman berikutnya, mengingat penggunaan air tanah akan terus meningkat

23

bersama dengan makin meningkatnya jumlah populasi dan aktivitas ekonomi.


Langkah pelindungan terhadap garis pantai beserta fungsi alamiahnya dalam
ekosistem pesisir merupakan agenda yang sangat penting jika pemerintah
setempat tidak ingin mengalami kerugian ekonomis hingga mencapainya
1,295,071,755,150 rupiah/ ha/tahun, sebagai akibat hilang berbagai jenis
lahan produktif.
3.2.4 Saran
Pemerintah

Kota

Cirebon

harus

mulai

memformulasikan

langkah

pengurangan dampak perubahan iklim yang berpijak pada konsep Urbanisme


Biru. Untuk mencapai ketahanan air, dapat dilakukan langkah antara lain
dengan (1) memperbaiki tata kelola air, mulai dari pemanfaatan air tanah
sampai pada pengolahan air limbah (sewerage) yang berwawasan lingkungan;
(2) membangun sabuk hijau melalui penanaman mangrove di sepanjang garis
pantai Kota Cirebon; (3) membangun Ruang Terbuka Biru (RTB) minimal
5% dari luas wilayah kota disamping memperluas Ruang Terbuka Hijau
(RTH) minimal 30% sesuai persyaratan yang ada; (4) mengampanyekan
gerakan hemat air di seluruh kalangan masyarakat; dan (5) memberdayakan
masyarakat agar mampu menciptakan tabungan air mereka sendiri melalui
pembuatan biopori dan sumur resapan
3.3 Studi Kasus Kenaikan Muka Air Laut Wilayah Pesisir
Kota Semarang
Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu
kota metropolitan yang saat ini mengalami dampak perubahan iklim. Letak
Kota Semarang berada di pesisir utara pulau Jawa seringkali mengalami
banjir rob di setiap tahunnya. Menurut Sarbidi (2002) kedalaman air akibat
banjir rob bisa mencapai 20-60 cm dengan luas genangan diperkirakan
mencapai 32,6 km2. Sebagai kota metropolitan yang memiliki fungsi vital,
bencana ini cukup mengganggu efektivitas kegiatan di Kota Semarang karena
dapat melumpuhkan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Di antara
dampaknya yaitu terendamnya rumah warga dan fasilitas umum serta fasilitas
sosial, terjadinya kemacetan yang menghambat proses distribusi barang dan
menghalangi aktivitas masyarakat, serta dampak-dampak lain yang terjadi
24

secara tidak langsung berupa wabah penyakit. Walikota Semarang pernah


menetapkan Kota Semarang sebagai darurat bencana ketika banjir rob
melanda kota tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai
penyebab bencana rob yang sering melanda ibukota ini.
Bencana rob di Kota Semarang diduga diakibatkan oleh kenaikan muka air
laut yang terjadi sangat signifikan. Namun setelah diadakan penelitian,
ditemukan fakta bahwa penyebab utama banjir rob yaitu terjadinya land
subsidence (penurunan tanah) akibat intensitas pembangunan di Kota
Semarang yang cukup tinggi.
Kenaikan muka air laut di Kota Semarang terus meningkat setiap tahunnya,
diperkirakan pada tahun 2100, kenaikan air laut mencapai 57,6 cm dan dapat
membanjiri lahan seluas 4.235,4 Ha (Suhelmi dan Prihatno, 2014). Di
samping itu, Kota Semarang mengalamai proses penurunan muka tanah
dengan laju penurunan sebesar 0-9 cm per tahun (Badan Geologi, 2008). Tiga
penyebab utama dari land subsidence di Semarang antara lain (1) penarikan
air tanah, (2) proses konsolidasi alami tanah aluvium, dan (3) penurunan yang
disebabkan oleh beban konstruksi [Public Works Department of Semarang
(PWD) (2000)].
Gambar 6
Peta Ancaman Banjir Rob Kota Semarang

25

Sumber: google.com
Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadinya kenaikan muka air laut secara
tidak langsung disebabkan oleh dampak perubahan iklim. Perubahan iklim
terjadi akibat adanya pengaruh aktivitas menusia terhadap bumi. Dalam kasus
ini, aktivitas manusia dapat berupa pembangunan yang melampaui daya
dukung dan daya tampung lingkungan.

26

4
PANDANGAN PERENCANA WILAYAH DAN KOTA

4.1 Pandangan Perencana Wilayah dan Kota


Pandangan Perencana Wilayah dan Kota terhadap dampak perubahan iklim
bagi kawasan pesisir dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu pendekatan
pembangunan berperspektif ketahanan iklim, penyusunan rencana tata ruang
wilayah pesisir berbasis mitigasi bencana, menjaga dan mempertahankan
kawasan konservasi hutan mangrove.
4.1.1 Pendekatan Pembangunan Berperspektif Ketahanan Iklim
Kenaikan muka air laut merupakan salah satu bencana yang menimbulkan
kerugian bagi kawasan pesisir karena air laut dapat mengalami intrusi
sehingga daratan di kawasan pesisir menjadi tergenang oleh air laut.
Indonesia sebagai negara kapulauan dengan panjang garis pantai mencapai
99.093 kilometer menjadikannya rawan terhadap bencana alam. Oleh karena
itu dalam melaksanakan pembangungan khususnya adalah pembangunan
yang dilaksanakan di kawasan pesisir haruslah menggunakan pendekatan
pembangunan berspektif ketahanan iklim sebagai salah satu bentuk adaptasi
terhadap bencana perubahan iklim yang saat ini terjadi. Adaptasi tersebut
penting dilakukan untuk mengurangi risiko atau dampak yang akan
ditimbulkan akibat perubahan iklim.
Kerangka atau pendekatan pembangunan berperspektif ketahanan iklim (The
Climate Resilient Development Framework) menjelaskan elemen-elemen
yang saling dikombinasikan untuk menghasilkan pembangunan sesuai yang
diinginkan. Kerangka tersebut juga menjelaskan tentang interaksi antar
elemen yang ada serta proses yang diikuti oleh perencanaan, implementasi,
pemantauan, dan evaluasi strategi, rencana, program ataupun proyek.
Perbedaannya dengan perencanaan yang konvensional yaitu bahwa
pendekatan

pembangunan

yang

berperspektif

ketahanan

iklim

mempertimbangkan stressor iklim. Stressor iklim merupakan akibat atau

27

dampak yang disebabkan oleh perubahan iklim secara langsung seperti


kenaikan muka air laut, badai, curah hujan yang tinggi, dan lain sebagainya.
Pendekatan pembangunan berperspektif ketahanan iklim menjelaskan proses
yang

bertahap

(stepwise)

yaitu

meliputi

scope,

assess,

design,

implement/manage, dan evaluate. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing


tahapan tersebut :
a. Scope (Ruang Lingkup)
Pada tahapan ini dilakukan dengan menetapkan konteks pembangunan yang
akan dilakukan dan menilai kerentanan (vulnerability) pada tingkatan yang
sesuai kedetailannya untuk mendukung perencanaan pada tahap awal (initial
planning). Adapun yang termasuk ke dalam ruang lingkup yaitu meliputi
tujuan pembangunan, identifikasi masukan, serta mengidentifikasi stressor
iklim dan stressor non-iklim yang mungkin memberikan masukan kunci
terhadap risiko yang akan ditimbulkan oleh perubahan iklim yang dapat
merusak lingkungan dan mengorbangkan pembangunan secara keseluruhan.
Hal ini penting untuk menentukan keputusan apa yang nantinya akan diambil
dalam jangka waktu tertentu dan apakah keputusan yang akan diambil akan
memberikan pengaruh yang cukup signifikan atau tidak.
b. Assess (Penilaian)
Pada tahapan ini dengan melibatkan penilaian yang lebih rinci terhadap
kerentanan yang ada dan/atau sistem yang diidentifikasi pada tahap ruang
lingkup seperti stressor iklim dan stressor non-iklim, serta penilaian terhadap
kapasitas para pemangku kepentingan. Penilaian yang dilakukan harus bisa
memberikan informasi yang dapat ditindaklanjuti sehingga perlu dilakukan
pada tingkatan yang lebih rinci untuk mendukung strategi, program, atau
desain proyek, dan harus mengintergrasikannya dengan informasi tentang
iklim yang tepat sejalan dengan lingkup tindakan yang dilakukan.

28

c. Design (Desain)
Pada tahapan ini lebih fokus terhadap identifikasi, evaluasi, dan memilih
tindakan yang tepat untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
stressor iklim maupun stressor non-iklim.

Stressor iklim secara eksplisit

dipertimbangkan untuk merancang suatu tindakan yang dapat mengurangi


kerentanan dan mendukung pembangunan yang tahan terhadap perubahan
iklim. Hal tersebut dapat mencakup tindakan yang dapat meminimalisir
potensi kerusakan seperti misalnya dengan meningkatkan perlindungan
terhadap bencana banjir, selain itu juga dapat dilakukan dengan cara
memanfaatkan peluang seperti menangkap dan menyimpan curah hujan yang
mana curah hujan rata-rata mengalami peningkatan. Pada tahapan desain ini
harus mencakup strategi yang mempertimbangkan potensi dampak yang
mungkin akan terjadi.
d. Implement and Manage (Impelementasi dan Pengelolaan)
Tahapan ini menempatkan tindakan yang telah terpilih pada tahap
sebelumnya untuk diimplementasikan. Implementasi merupakan tahapan
yang sangat penting setelah memilih tindakan mana yang paling tepat dengan
memperimbangkan berbagai hal. Dengan implementasi tindakan yang benarbenar mengedepankan informasi perubahan iklim dalam pembangunan maka
diharapkan pelaksanaan pembangunan akan lebih maksimal karena
pembangunan yang dilakukan menjadi tahan terhadap iklim.
e. Evaluate (Evaluasi)
Pada tahapan ini melibatkan analisis terhadap kemajuan pelaksanaan tindakan
pada tahap sebelumnya dan menyesuaikan dengan strategi, program, proyek
yang diperlukan ataupun memberikan dukungan untuk meningkatkan kinerja.
Tahapan ini juga mirip dengan praktek pembangunan konvensional pada
umumnya yang dilakukan. Evaluasi tersebut sangatlah penting untuk menilai
dan menanggapi perubahan kondisi iklim terhadap pembangunan.
Tahapan-tahapan tersebut dapat diringkas dalam bagan berikut :

29

Gambar 7
Tahapan dalam Pendekatan Pembangunan Berperspektif Ketahanan
Iklim

Sumber : Climate-Resilient Development, 2014

Tahapan diatas dapat disederhanakan seperti dalam bagan berikut ini :

Gambar 8

30

Bagan Kerangka Pembangunan Berperspektif Ketahanan Iklim

Sumber : Kajian Kerentanan Terhadap Perubahan Iklim Kota Manado, 2014

Berdasarkan bagan diatas, kerangka pembangunan berperspektf ketahanan


iklim terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu diagnosa, desain, implementasi, dan
evaluasi. Tahapan diagnosa merupakan gabungan dari tahapan scope dan
assess seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Diagnosa yang dilakukan
dengan mengidentifikasi tujuan pembangunan, masukan dan kondisi yang
mendukung serta memperhatikan stressor iklim dan stressor non-iklim
merupakan bagian dari ruang lingkup atau scope sedangkan kajian kerentanan
merupakan bagian dari tahapan assess atau penilaian berupa kajian
kerentanan dalam aspek fisik, sosial budaya, ekonomi, maupun kelembagaan.
4.1.2 Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Berbasis
Mitigasi Bencana
Salah satu cara mengatasi kenaikan muka air laut dari pandangan perencanan
adalah dengan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kawasan
Pesisir yang berbasis mitigasi bencana. Mitigasi bencana sangat erat
kaitannya dengan hazard, kerentanan (vulnerability), dan ketahanan wilayah
(kapasitas penanggulangan). Maka dari itu, berikut ini merupakan unsurunsur yang harus terdapat pada RTRW kawasan pesisir yang berbasis mitigasi
bencana, diantaranya:
1. Memasukkan kajian teknis seluruh hazard yang mengancam wilayah
pesisir ke dalam kajian risiko bencana. Salah satu hazard ini adalah hazard
yang ditimbulkan dari adanya kenaikan muka air laut.

31

2. Memasukkan dan mendayagunakan kajian pengurangan kerentanan


(vulnerability) terhadap masing-masing jenis bahaya dari aspek fisik,
sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Hal ini dilakukan setelah mengetahui
hazard atau bahaya-bahaya yang dapat mengancam kawasan pesisir dari
kenaikan muka air laut.
3. Memasukkan dan mendayagunakan kajian peningkatan ketahanan wilayah
(kapasitas penanggulangan). Setelah mengetahui hazard serta kerentanan
yang mungkin terjadi pada kawasan pesisir karena adanya kenaikan muka
air laut, maka diperlukan kajian untuk meningkatkan ketahanan wilayah
tersebut dari hazard serta kerentanan yang mungkin terjadi karena adanya
kenaikan muka air laut pada kawasan pesisir tersebut.

4.1.3 Menjaga dan Mempertahankan Kawasan Konservasi Hutan


Mangrove
Hutan mangrove atau hutan bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis dan
subtropis yang tumbuh pada tanah lumpur di dataran rendah tepatnya di
daerah pantai dan muara sungai. Hutan mangrove ini tergenang di saat
kondisi air pasang dan bebas dari genangan di saat kondisi air surut.

Gambar 9
Hutan Mangroove

32

Sumber: http://google.com, 2016

Hutan mangrove memiliki berbagai fungsi fisik yang dapat mengurangi


dampak dari terjadinya kenaikan muka air laut. Fungsi fisik dari mangrove
diantaranya sebagai berikut.
1. Menjaga garis pantai agar tetap stabil.
2. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat.
3. Melindungi pantai dari proses erosi atau abrasi serta menahan tiupan angin
kencang dari laut ke darat
Melihat pentingnya fungsi fisik dari Hutan Mangrove terhadap kenaikan
muka air laut menyebabkan perlu adanya upaya untuk mempertahankan
kawasan lindung hutan mangrove ini supaya tidak dialihfungsikan. Maka,
setiap rencana yang akan disusun oleh pemerintah khususnya rencana untuk
kawasan pesisir perlu memperhatikan serta mempertahankan kondisi dan
keberadaan dari kawasan hutan mangrove.

33

5
KESIMPULAN

5.1 Proses Terjadinya Kenaikan Muka Air Laut


Penggunaan bahan bakar fosil

Gas rumah kaca

Peningkatan suhu bumi

Air laut memuai dan es meleleh

Muka air laut naik

5.2 Dampak Akibat Kenaikan Permukaan Air Laut


Adapun dampak yang terjadi akibat kenaikan permukaan air laut antara lain:
Garis Pantai Semakin Dekat
Kerusakan terumbu karang
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir di wilayah pesisir
Rusaknya ekosistem mangrove yang berakibat tidak adanya penahan
gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena
tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan
terancam dengan sendirinya.
Terganggunya kondisi Sosial Ekonomi

5.3 Identifikasi Fenomena Kenaikan Mukai Air Laut dan


Dampaknya yang Terjadi di Banjarmasin, Cirebon, dan
Semarang
Banjarmasin:
34

Hingga tahun 2100 diperkirakan 2.581 km2 lahan akan hilang


Dampak: lalu lintas terganggu, genangan air, berkurangnya lahan
pertanian produktif, kerusakan infrastruktur
Cirebon:
Kenaikan muka air laut mengakibatkan air laut mencapai 0,8 meter
dari lebar bibir pantai per tahun yang artinya semakin mendekati
daratan atau permukiman
Dampak: lahan produktif tergenang air, perubahan bentang alam
dan pola vegetasi, dan erosi
Semarang:
Hingga tahun 2100 diperkirakan 4.235 ha lahan tenggelam dengan
kenaikan sebesar 57,6 cm
Dampak: banjir rob
Penyebab lainnya: lab subsidence

5.4 Pandangan Perencana Wilayah dan Kota terhadap


Fenomena Kenaikan Muka Air Laut
Untuk mengatasi masalah ini, perencana wilayah dan kota perlu melakukan
pendekatan pembangunan berperspektif ketahanan iklim, penyusunan
RTRW wIlayah pesisir berbasis mitigasi bencana, dan mempertahankan
kawasan konservasi.

35

DAFTAR PUSTAKA

Khakim, Lukman. 09 Maret 2015. Fungsi Fisik, Fungsi Kimia, Biologi, Fungsi
Ekonomi,

Dan

Fungsi

Wanawisata

Dari

Hutan

Mangrove.

http://www.dunsarware.com/2015/09/fungsi-fisik-fungsi-kimia-biologi.html?m=1.
Diakses 15 November 2016.
Kota Kita. 2014. Kajian Kerentanan Terhadap Perubahan Iklim Kota Manado
Lembar Muara Cirebon, Jawa Barat. skala 1:50.000. Puslitbang Geologi,
Bandung.
Lumban Batu, U.M., Santoso, Hidayat S., Samodra H. 2009. Penelitian
Geomorfologi daerah Cirebon Bagian Selatan. Pusat Survei Geologi Badan
Geologi. Laporan Akhir Tidak diterbitkan
Silitonga, P.H., Masria, M. dan Suwarna, N., 1996. Peta Geologi Lembar Cirebon,
Jawa. skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.
Sumanang, H., Mulyana, H., Hidayat, S. dan Basri, C., 1997. Peta Geologi
Kuarter
Susandi Armi, dkk. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka
Laut di Wilayah Banjarmasin, Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008
Suyatman H, Herman Mulyana, Herman Moechtar dan Subiyanto (2009):
Sedimentologi dan Stratigrafi Aluvium Bawah Permukaan di Pesisir Cirebon dan
Sekitarnya Pusat Survei Geologi. Badan Geologi.
Rositasari, Ricky dkk. Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim Di Wilayah
Pesisir Cirebon. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
USAID. 2014. Climate-Resilient Development A Framework For Understanding
and Addressing Climate Change. Engility Corporation : Washington
https://news.detik.com/berita/3242149/ditetapkan-sebagai-darurat-bencanabegini-kondisi-dan-efek-banjir-rob-di-semarang

36

Anda mungkin juga menyukai