Anda di halaman 1dari 3

Pada tanggal 30 April yang lalu, kelas kami ditugaskan oleh Pak Asep untuk

mengunjungi tempat-tempat yang memiliki kaitan sejarah terhadap berdirinya Organisasi


Muhammadiyah. Tempat-tempat yang Pak Asep perintahkan untuk dikunjungi adalah Masjid
Gede, Langgar Kidul, serta makam dari pendiri Muhammadiyah, yaitu KH Ahmad Dahlan.
Setelah mendapatkan perintah tersebut, langsung pada keesokan harinya, yaitu tanggal 1 Mei,
kami memutuskan untuk mengunjungi situs-situs tersebut. Kami bertujuh, yang terdiri dari Saya,
Aan, Philip, Bagus, Dina, Kiki, dan Adhi, memutuskan untuk mengunjungi Masjid Gede sebagai
destinasi pertama dalam napak tilas Muhammadiyah. Kami hanya berfoto didepan gerbang dari
masjid tersebut, karena Masjid Gede hanya dibuka untuk acara-acara besar saja, sehingga kami
tidak mendapatkan detail yang mendalam dari masjid tersebut.

Usai berfoto didepan Masjid Gede, kami melanjutkan perjalanan napak tilas kami
Langgar Kidul, yang terletak tidak terlalu jauh dari Masjid Gede. Dalam perjalanan ke Langgar
Kidul, kami sempat bertanya beberapa kali kepada warga setempat, dikarenakan ketidaktahuan
kami akan lokasi dari Langgar Kidul, yang ternyata terletak di sebuah gang kecil di kompleks
pemukiman tersebut. Setelah kami sampai di Langgar Kidul, kami melihat-lihat bagian dalam
dari langgar tersebut. Dibagian dalamnya, terdapat banyak foto yang diambil pada masa awal
berdirinya Muhammadiyah. Selain itu, banyak juga informasi-informasi tentang struktur
organisasi Muhammadiyah dari masa ke masa. Usai melihat-lihat bagian langgar, kami
berbincang dengan cicit dari KH Ahmad Dahlan yaitu Ibu Siti Hadiroh. Beliau menjelaskan
banyak hal kepada kami, mulai dari awal mula belajarnya KH Ahmad Dahlan ke Mekkah,
pembangunan Langgar Kidul yang memerlukan banyak pengorbanan dari KH Ahmad Dahlan,
penafsiran Surat Al-Maun, hingga keadaan dari keturunan KH Ahmad Dahlan yang ada di
dalam dan luar negeri. Ada beberapa hal yang dapat kami petik dari perbincangan dengan Ibu
Siti Hadiroh mengenai KH Ahmad Dahlan, diantaranya adalah semangat dan etos kerja beliau
untuk berdakwah dan menyampaikan ilmunya. Kegigihan KH Ahmad Dahlan dalam
menyampaikan dakwah di Yogyakarta, yang pada masa itu masih kental dengan ritual-ritual yang
mengandung bidah, bahkan cenderung menjurus kepada kesyirikan. KH Ahmad Dahlan tetap
teguh pada keputusannya untuk berdakwah, meskipun ia mendapat tentangan dari masyarakat
Yogyakarta, bahkan tentangan dari keluarganya sendiri. Beliau tetap berdakwah dengan tekun,
agar masyarakat dapat kembali kepada islam yang lurus dan hakiki, tanpa ada embel-embel
bidah, apalagi kesyirikan. Selain itu, kesederhanaan dari keluarga KH Ahmad Dahlan juga
menjadi pelajaran yang menarik bagi kami. Ibu Siti Hadiroh menceritakan tentang bagaimana
Nyai Dahlan yang pada saat itu sedang sakit dan berobat ke rumah sakit milik Muhammadiyah.
Biaya pengobatan beliau sempat akan digratiskan, mengingat beliau adalah istri dari pendiri
Muhammadiyah. Namun dengan tegas Nyai Dahlan menolak tawaran tersebut, dan memilih
untuk menggadaikan lemari yang ia miliki, untuk membayar biaya pengobatannya. Beliau
melakukan hal tersebut karena teringat pesan dari KH Ahmad Dahlan untuk menghidupi
Muhammadiyah, bukan mencari penghidupan di Muhammadiyah.

Perbincangan yang menarik tersebut terpaksa kami sudahi pada pukul 10.00 WIB,
mengingat masih ada lagi tempat yang harus kami kunjungi, yaitu makam dari KH Ahmad
Dahlan, yang terletak di belakang Masjid Jami Karangkajen. Perjalanan dari Langgar Kidul
menuju makam dari KH Ahmad Dahlan memakan waktu sekitar 20 menit perjalanan.
Sesampainya disana, kami menyempatkan diri untuk mendoakan KH Ahmad Dahlan, beserta
pendiri organisasi Muhammadiyah yang lain, serta menaburi makam mereka dengan bunga.
Sebenarnya kami juga ingin menziarahi makam dari Nyai Dahlan, yang kami lewati sewaktu
mencari lokasi dari Langgar Kidul. Namun sayang, gerbang dari kompleks makam tersebut
ternyata dalam keadaan terkunci, dan kami tidak dapat menemui penjaga dari makam tersebut,
sehingga kami hanya dapat melihat makam Nyai Dahlan dari luar pagar pemakaman. Menurut
informasi yang kami dapatkan dari Ibu Siti Hadiroh, Makam Nyai Dahlan terpisah dengan
makan KH Ahmad Dahlan serta pendiri Muhammadiyah yang lain, penyebabnya adalah pada
masa itu perang sedang berkecamuk, sehingga tidak memungkinkan untuk memakamkan Nyai
Dahlan di daerah Karangkajen, dan akhirnya Nyai Dahlan tetap dimakamkan di Kauman.

Dengan selesainya kunjungan kami ke makam KH Ahmad Dahlan, maka selesai pula
tugas napak tilas yang telah diberikan oleh Pak Asep kepada kami.

Anda mungkin juga menyukai