Anda di halaman 1dari 26

Depresi Berat dengan Gejala Psikotik

Ghereetha/102013158 (F2)
Email: ghereetha.2013fk158@civitas.ukrida.ac.id

Fakultas Kedokteran Umum Universitas Kristen Krida Wacana

Abstrak:

Depresi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi jutaan orang


dewasa setiap tahunnya. Gangguan ini termasuk dalam gangguan suasana perasaan/mood
dengan kelainan yang mendasar berupa perubahan suasana perasaan ke arah depresi dan
biasanya disertai dengan perubahan tingkat aktivitas. Menurut WHO, depresi berada pada
peringkat keempat sebagai penyakit yang menyebabkan ketidakmampuan didunia. Pada
penulisan kali ini, penulis akan membahas mengenai faktor-faktor yang dapat menyebabkan
seseorang menjadi depresi, juga akan membahas mengenai etiologi depresi dengan gejala
psikotik, epidemiologi nya, patofisiologinya dan diagnosis depresi berat dengan gejala
psikotik serta penatalaksanaannya. Selain itu, penulis juga akan membahas mengenai
Tentament suicide yang dapat dijadikan sebagai diagnosis banding dari depresi berat dengan
gejala psikotik.
Kata kunci: Depresi berat dengan gejala psikotik, tentament suicide

Abstract:
Depression is a publics healthy problem which affected many adult every year. This
disorder included in mood disorder with the change of mood situation into depresion as
based and usually accompanied by the changes of activity stage. WHO said that depressionis
on 4th rank as an ill that cause disability in the world. In this paper, writer will discuss about
the factors cause depression, the etiology of depression with psikotik, the epidemiology,
diagnosis severe depression with psikotik and the therapy for the patient. The writer will
discuss about tentament suicide, too. Tentament suicide in this paper as the differential
diganosis of severe depression with psikotik

Key words: Severe depression with Psikotik manifest, tetament suicide

Skenario 13

Seorang wanita berusia 66tahun dikonsulkan ke bagian Psikiatri karena mengamuk saat
dirawat di RS. Pasien tersebut dirawat karena mengalami peningkatan GDS disertai luka pada
kaki yang sudah berbau. Pasien mengalami DM tipe 2 sejak 25tahun yang lalu, pasien selalu
menjaga diet pola makan dan kontrol teratur, namun akhir-akhir ini pasien bosan menjalani
semua perawatan dan ingin menyusul suaminya saja yang sudah wafat. Beberapa bulan
terakhir, pasien makan dengan porsi tinggi karbohidrat dan minum-minuman manis, tidak
berolah raga, lebih banyak tidur dan tidak mau melakukan kegiatan harian.
Rumusan Masalah

Seorang wanita (66tahun) dikonsulkan ke bagian Psikiatri karena mengamuk, pasien


memiliki riwayat DM dan beberapa bulan terakhir pasien bosan menjalani semua perawatan
dan ingin menyusul suaminya yang sudah wafat.

Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran dalam kegiatan PBL ini adalah sebagai berikut:


a. Mahasiswa mampu mengetahui faktor-faktor biologi yang dapat menimbulkan
depresi/agresifitas
b. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami mengenai perbedaan kondisi
mengamuk pada F0-F4
c. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami mengenai gejala klinis pada depresi
organik sampai gangguan mood F3
d. Mahasiswa memahami pemeriksaan penunjang yang penting pada depresi berat
dengan gejala psikotik, DM type 2 dan ulkus pedis
e. Mahasiswa memahami edukasi untuk pasien ini
f. Mahasiswa memahami penatalaksanaan farmakologi dan non-farmakologi

Pembahasan

Anamnesis

Pada saat pasien datang ke Rumah Sakit atau pada klinik praktik dokter, yang pertama
kali dilakukan oleh pemeriksa adalah melakukan proses tanya jawab kepada pasien
(autoanamnesis) atau kepada penjaga/care giver (allo-anamnesis).

Pada anamnesis, banyak hal yang harus ditanyakan untuk mendapatkan informasi
yang akurat sehingga dapat menentukan diagnosis kerja diakhir proses pemeriksaan. Hal-hal
yang perlu ditanyakan pada pasien adalah sebagai berikut:

1. Identitas
Identitas berupanama lengkap, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, suku bangsa,
agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, masuk RS tanggal
berapa, pernah dirawat di (tempat, tanggal, bulan, tahun, lama perawatan),
rujukan/datang sendiri/diantar keluarga.1
2. Riwayat Psikiatri
- Keluhan utama (alasan berobat, indikasi perawatan)
- Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)/ perjalanan permasalahannya (gejala-
gejalanya), keluhan yang terlebih dahulu muncul dan hubungan antara keluhan
fisik dan keluhan kejiwaan
- Menanyakan stressornya (stressor organobiologik dan stressor psikososial)
misal: ada/tidak penyakit kronis/menahun/akut; pengobatan/obat-obatan yang
sedang dimakan saat ini, pernah mengalami trauma fisik/ tidak?
(terjatuh/kecelakaan/perkosaan/abuse) dan trauma mental (misal. KDRT)
- Menanyakan ada/tidaknya gangguan fungsi
Fungsi kerja/akademik/sekolah: saat ini bekerja dimana?, posisi dalam
pekerjaan sebagai apa?, berapa lama bekerja?, bagaimana situasi tempat
bekerjanya?, hubungan antar rekan kerja bagaimana?
Fungsi sosial: apakah aktif dalam kegiatan sosial/perkumpulan dilingkungan
pasien? Sebagai apa?
Fungsi sehari-hari: bagaimana pola makan sehari-hari apakah harus
diingatkan? Kebersihan diri masih terjaga (misalnya mandi teratur)?, pola
tidurnya bagaimana?.1
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya
- Gangguan Psikiatri (uraikan secara kronologis onset penyakit yang pertama
kali, usia awitan, perkembangan gejala, faktor-faktor yang mempengaruhi
(organobiologik, psikososial), dampak gangguan pada fungsi pekerjaan, fungsi
sosial dan kegiatan sehari-hari, pernah berobat/dirawat dimana, diberikan obat
apa (warna obatnya), bagaimana reaksinya, efek samping obat, kepatuhan
pengobatan, upayakan sedapat mungkin sampai didapat kesan diagnosis
gangguan jiwanya pada saat itu, hasil pengobatannya (efek terapeutiknya),
gejala sisa, remisi parsial/remisi total, kegiatan setelah terapi)
- Gangguan medik (penyakit/gangguan fisik yang pernah dialami, diagnosis,
terapi, kondisi setelah terapi)
- Penggunaan zat psikoaktif (uraikan jenis zat psikoaktif yang pertama kali
digunakan, kapan, dosis, frekuensi, cara pemakaian, dampak penggunaannya,
gejala putus zat, terapi, sembuh/masih menggunakan zat itu atau
menambah/mengganti dengan zat lain, pemakaian terakhir).1
4. Riwayat kehidupan pribadi pasien
- Riwayat pendidikan (prestasi pelajaran, kegagalan, keberhasilan, berhenti,
berpindah sekolah, kegiatan diluar sekolah dan kegiatan setelah berhenti
sekolah) dan pekerjaan (mulai dari pertama kali bekerja, dimana, jenis
pekerjaan, senang/tidak senang, lama bekerja, alasan berhenti/berpindah, gaji,
hubungan dengan atasan/bawahan)
- Riwayat perkembangan kepribadian (sejak kecil): suka menyendiri? Suka
mencurigai semua hal? Suka menjadi pusat perhatian? Suka menonjolkan
kemampuan diri? Suka melanggar hukum? Kualitas komunikasi orangtua-
anak?, sifat, tempramen, karakter dan kebiasaannya?, pola pergaulan,
hubungan sosial, hubungan interpersonal dan persepi diri? Identitas diri, citra
diri, tokoh idola, hobi?
- Riwayat perkawinan dan kehidupan psikoseksual: apakah suka sama
suka/dijodohkan? Hamil diluar nikah? Kapan pertama kali melakukan
hubungan seksual?
- Kehidupan beragama (latar belakang pendidikan agama, sikap terhadap
agama, ketaatan beribadah, pandangan agama tentang kehidupan sekarang,
bunuh diri, AIDS, dan gangguan jiwa, pengaruh agama dalamm
kegiatan/kehidupan sehari-hari).1
5. Menanyakan riwayat keluarga (menyusun pohon keluarga dan identitasnya:
apakah ada yang mengalami gangguan jiwa? Bila ada, hubungannya dengan
pasien apa? (saudara kandung/sepupu/paman/bibi/orangtua/kakek/nenek)).1
6. Menanyakan kehidupan sosial sekarang (kondisi tempat tinggal pasien, jumlah
penghuni, pencari nafkah) misal: status kepemilikan rumah sudah milik/masih
mengontrak/merupakan kredit perusahaan?.1

Pemeriksaan status mental

Episode depresif.

Gambaran umum. Retardasi psikomotor menyeluruh merupakan gejala yang paling


lazim timbul, walaupun agitasi juga terlihat, terutama pada pasien lanjut usia. Meremas-
remas tangan dan menarik-narik rambut merupakan gejala tersering agitasi. Umumnya,
pasien depresi memiliki postur tubuh yang bongkok, tidak ada gerakan spontan, serta tatapan
mata menghindari dengan memandang kebawah. Pada pemeriksaan klinis, pasien depresif
yang menunjukkan gejala nyata retardasi psikomotor dapat serupa dengan pasien skizofrenia
katatonik. Faktor ini dimasukkan kedalam DSM-IV-TR sebagai gejala yang menyerupai ciri
katatonik pada berbagai gangguan mood.2-4Deskripsi umumm terdiri dari:

- Penampilan (sikap, cara berpakaian, make up, postur tubuh, rambut,


jenggot,kumis, kebersihan diri, tampak lebih muda/tua/sesuai usia)
- Kesadaran (kesadaran neurologik/sensorium: CM, apatis, somnolen, sopor,
sporo-koma, koma; kesadaran psikiatri: tampak terganggu atau tampak tidak
terganggu)
- Perilaku dan aktivitas psikomotor (seperti tenang, gelisah, cemas, katatonia,
streotip, hiperaktivitas, kompulsi, menarik diri pada saat sebelum, selama dan
sesudah wawancara)
- Sikap terhadap pemeriksa (kooperatif, indeferen, apatis, curiga, antisosial,
bermusuhan, pasif, aktif, ambivalen, tegang)
- Kualitas berbicara (cara berbicara: spontan/tidak, cepat/lambat, keras/lemah,
lancar, tersendat, gagap, dramatik, monoton; gangguan berbicara: afasia,
disartrii, latah (ekolalia)).1

Mood, afek dan perasaan. Depresi merupakan kunci gejala, walaupun 50% pasien
menyangkal perasaan depresi serta secara umum tidak tampak depresi. Anggota keluarga atau
rekan kerja sering membawa atau mengirim pasien ini untuk ditangani karena penarikan diri
secara sosial dan aktivitas umum yang berkurang.2-4

Jenis-jenis mood, yaitu Euthyme, Hiperthym, Hypothym, Dysthyme, ketakutan,


kosonh, siklothym. Yang dinilai pada penilaian afek (emosi), yaitu arus: reaksi emosinya
cepat/lambat; stabilitas: stabil/labil; kedalaman: emosi yang dalam/dangkal; skala
diferensiasi: luas/sempit atau yang langsung/jelas; keserasian: serasi/tidak serasi;
pengendalian: kuat/lemah; ekspresi: wajar/terbatas/tumpul/datar; dramatisasi: ada/tidak ada;
empati: dapat/tidak dapat diraba-rasakan.2

Pembicaraan. Banyak pasien depresi yang mengalami penurunan laju dan volume
bicara; mereka memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang hanya membutuhkan satu
kata dan tampak terlambat menjawab pertanyaan. Pemeriksa dapat menunggu hingga 2 atau
menit sebelum pertanyaannya dijawab.2-4

Gangguan persepsi. Pasien depresi dengan waham atau halusinasi dikatakan


memiliki episode depresif berat dengan gambaran psikotik. Bahkan bila tidak ditemukan
waham atau halusinasi, beberapa klinisi menggunakan istilah depresi psikotik terhadap pasien
yang secara umum mengalami depresi, tidak bersuara, tidak mandi, membuang kotoran
sembarangan. Pasien tersebut lebih baik dijelaskan memilik ciri katatonik. Waham dan
halusinasi yang sesuai dengan mood depresi dikatakan kongruen mood. Waham yang
kongruen mood pada pasien depresi mencakup rasa bersalah, berdosa, tidak berharga, miskin,
gagal, dikerjar serta mengalami penyakit somatik terminal (seperti kanker dan otak yang
membusuk). Waham dan halusinasi pada pasien dengan gangguan mood tidak kongruen
tidak sesuai dengan mood depresi. Waham yang tidak kongruen mood pada orang depresi
meliputi tema kebesaran berupa kekuatan, pengetahuan dan rasa berharga yang berlebihan
misalnya, keyakinan bahwa seseorang disiksa karena ia merupakan seorang Juruselamat.
Walaupun relatif jarang, halusinasi dapat terjadi saat episode depresi berat dengan ciri
psikotik.2-4

Isi pikir. Pasien depresi umumnya memiliki pandangan negatif mengenai dunia dan
diri mereka. Isi pikir mereka biasanya mencakup pikiran berulang yang tidak bersifat waham
mengenai kehilangan, rasa bersalah, bunuh diri dan kematian. Sekitar 10% pasien depresi
memiliki gejala nyata gangguan pikiran, biasanya berupa blocking pikiran dan sangat miskin
isi pikir.2-4

Sensorium dan kognisi (Fungsi intelektual)

Orientasi. Hampir seluruh pasien depresi masih memiliki orientasi terhadap waktu,
tempat dan orang walaupun beberapa pasien mungkin tidak memiliki cukup energi atau minat
untuk menjawab pertanyaan mengenai hal ini selama wawancara.2,3

Memori. Sekitar 50-75% pasien depresi memiliki hendaya kognitif, kadang-kadang


disebut dengan istilah pseudodemensia depresif. Pasien ini sering mengeluh konsentrasi
terganggu dan mudah lupa.2,3

Kontrol impuls. Sekitar 10-15% pasien depresi melakukan bunuh diri dan sekitar dua
pertiga pasien memiliki ide bunuh diri. Pasien depresi dengan ciri psikotik sering berpikir
untuk membunuh orang lain sehubungan dengan sistem wahamnya. Tapi kebanyakan pasien
depresi seringnya tidak mempunyai motivasi atau kekuatan untuk bertindak secara impulsif
atau kasar. Pasien dengan gangguan depresif beresiko lebih tinggi terhadap bunuh diri saat
keadaan mereka membaik dan memperoleh kembali energi yang dibutuhkan untuk
merancang dan melakukan usaha bunuh diri (bunuh diri paradoks). Peresepan antideperesan
dalam jumlah besar terhadap pasien depresi merupakan tindakan klinis yang tidak bijak,
terutama obat trisiklik saat pasien dipulangkan dari Rumah Sakit.2,3

Daya nilai dan tilikan. Daya nilai pasien paling baik diperiksa dengan
memperhatikan tindakan pasien dimasa lalu serta perilaku mereka saat wawancara. Tilikan
pasien depresi terhadap kelainan yang mereka alami biasanya berlebihan; pasien melebih-
lebihkan gejala, gangguan dan masalah hidup mereka. Sulit untuk meyakinkan pasien bahwa
dapat terjadi perbaikan.2,3

Taraf dapat dipercaya. Dalam wawancara dan pembicaraan, pasien depresi melebih-
lebihkan hal yang buruk dan menutupi hal yang baik. Kesalahan klinis yang sering terjadi
adalah begitu saja mempercayai pasien yang mengaku bahwa pengobatan antidepresan
sebelumnya tidak berhasil. Pernyataan mereka mungkin salah dan mereka mencari
konfirmasi dari tempat lain. Psikiater sebaiknya tidak melihat informasi pasien yang salah ini
sebagai kebohongan yang dibuat-buat, penyampaian informasi yang membantu mungkin
mustahil pada seseorang dengan pikiran depresi.2,3

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Status intrinsik
- Keadaan Umum - Kesadaran
- TTV - Sistem Kardiovaskular
- Sistem Respratorius - Sistem Gastro-intestinal
- Sistem muskuloskeletal - Sistem Urogenital
- Sistem dermatologi - Tinggi Badan dan Berat Badan (TB & BB)
- Bentuk badan
Kesimpulan.
b. Status neurologik
- Urat saraf kepala - gejala rangsang selaput otak
- Gejala TIK - mata: gerakan(kelumpuhan, nistagmus)
- Pupil: bentuk, reaksi cahaya, reaksi kornea - Sensibilitas
- Motorik: tonus, turgor, kekuatan, koordinasi, refleks fisiologis dan patologis
- Fungsi luhur
Kesimpulan.1

Pemeriksaan penunjang

Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan penunjang, berupa:

- Uji darah
Alasan penting untuk melakukan uji laboratorium adalah untuk memeriksa adanya
gangguan organik, seperti endokrinopati dan gangguan penggunaan zat psikoaktif
yang mungkin menyebabkan gejala psikiatri. Tujuan kedua ialah memeriksa
komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri. Uji darah, serologis, biokimia, endokri dan
hematologis yang harus dilakukan termasuk: darah lengkap, uji fungsi tiroid, uji
fungsi hati, kadar vitamin B12 dan asam folat, serologi sifilis.
- Uji glukosa darah (TTGO)
Pada pasien ini, pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus Tipe 2. Oleh karena itu,
dilakukan uj glukosa darah berupa Tes Toleransi Glukosa Oral.WHO menganjurkan
untuk diabetes mellitus dilakukan tes toleransi glukosa oral dengan beban glukosa 75
gram. Kriteria diagnosis yaitu puasa 126 mg/dl dan dua jam pasca beban 200
mg/dl, dengan tambahan mereka yang tergolong toleransi glukosa terganggu
didiagnosis juga sebagai diabetes melitus.

Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO adalah :

1 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari


(dengankarbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa.

2 Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
airputih tanpa gula tetap diperbolehkan.
3 Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
4 Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), atau 1,75 g/Kg BB (anak-anak),
dilarutkandalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit.
5 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelahminum larutan glukosa selesai.
6 Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.
7 Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi criteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)
at au GDPT(Glukosa Darah Puasa Terganggu) dari hasil yang diperoleh.
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembebanan antara 140 199 mg/dl
GDPT : glukosa darah puasa antara 100 125mg/dl.

Pemeriksaan penunjang yang terakhir dapat kita lakukan dengan melakukan kultur
pus untuk mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuaidengan
jenis kuman. Inilah berikut klasifikasi Wagner (1983) membagi gangren kaki diabetik
menjadi enam tingkatan, yaitu:
Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai
kelainan bentuk kaki seperti claw,callus
Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.
Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.

Skala penilaian objektif depresi

Zung. Skala penilaian depresi Zung adalah skala pelaporan 20hal. Nilai normal
adalah 34 ke bawah; keadaan depresi adalah 50 ke atas. Nilai ini memberikan indeks
keseluruhan intensitas gejala pasien depresif, termasuk ekspresi afektif depresi.2,3

Raskin. Skala penilaian Raskin adalah skala penilaian klinis yang mengukur
keparahan depresi pada pasien, seperti yang dilaporkan pasien dan diamati pemeriksa, dengan
skala 5 poin yang mencakup tiga dimensi: laporan verbal, perilaku yang terlihat dan gejala
yang menyertai. Skala ini memiliki kisaran 3 hingga 13; nilai normal adalah 3 dan nilai
depresi adalah 7 ke atas.2,3

Hamilton. Skala penilaian Hamilton (HAM-D) merupakan skala depresi yang


digunakan secara luas dengan 24hal, yang masing-masing bernilai 0 hingga 4 atau 0 hingga 2,
dengan total nilai 0 hingga 76. Klinisi mengevaluasi rasa bersalah, pikiran bunuh diri,
kebiasaan tidur dan gejala lain depresi. Angka didapatkan melalui penilaian klinis.2,3

Diagnosis banding: Tentament suicide

Kata suicide berasal dari bahasa Latin yang berarti membunuh diri sendiri. 3Jika
berhasil,tindakan ini merupakan tindakan fatal yang menunjukkan keinginan orang tersebut
untuk mati. Meskipun demikian, terdapat kisaran antara berpikir mengenai bunuh diri dan
melakukannya.5

Epidemiologi

Setiap tahun lebih dari 30.000orang mati karena bunuh diri di Amerika Serikat. Angka
percobaan bunuh diri kira-kira 650.000. Kira-kira terdapat 85bunuh diri dalam sehari
dinegara ini, sekitar 1bunuh diri tiap 20menit. Angka bunuh diri di Amerika Serikat rata-rata
antara 12,5 per 100.000 di abad ke-20, dengan angka 17,4 per 100.000 selama Depresi besar
tahun 1930.5

Etiologi

Faktor sosiologis

Teori Durkheim. Kontribusi besar pertama pada studi pengaruh sosial dan budaya
pada bunuh diri dilakukan diakhir abad ke-19 oleh sosiologis Perancis, Emile Durkheim.
Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga kategori sosial, yaitu egoistik, altruistik dan
anomik. Bunuh diri egoistik berlaku bagi mereka yang tidak terintegrasi kuat kedalam
kelompok sosial manapun. Tidak adanya integrasi keluarga menjelaskan mengapa orang yang
tidak menikah lebih rentan bunuh diri dibandingkan orang yang menikah serta mengapa
pasangan yang memiliki anak adalah kelompok yang paling baik terlindungi. Komunitas
pedesaan lebih memiliki integrasi sosial dibandingkan dengan perkotaan sehingga bunuh diri
lebih sedikit. Bunuh diri altruistik berlaku untuk mereka yang rentan terhadap bunuh diri
karena integrasi mereka yang berlebihan kedalam kelompok, dengan bunuh diri merupakan
perkembangan integrasi, contohnya serdadu Jepang yang mengorbankan hidupnya didalam
peperangan. Bunuh diri anomik berlaku bagi orang yang integrasinya kedalam masyarakat
terganggu sehingga mereka tidak dapat mengikuti norma perilaku yang lazim. Anomik
menjelaskan mengapa perubahan drastis situasi ekonomi membuat orang lebih rentan
daripada mereka sebelum terjadi perubahan kekayaan.5

Faktor psikologis

Teori Freud. Sigmund Freud mengajukan tilikan psikologis pertama mengenai bunuh
diri. Ia menggambarkan hanya satu pasien yang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi ia
melihat banyak pasien depresi. Freud meragukan bahwa ada bunuh diri tanpa keinginan
untuk membunuh oranglain yang ditekan sebelumnya.5

Teori Menninger. Dibangun atas gagasan Freud, Karl Menninger didalam Men
Againts Himself, berpendapat bahwa bunuh diri sebagai pembunuhan yang dibalik kedalam
diri sendiri karena kemarahan pasien pada orang lain. Pembunuhan yang diretrofleksikan ini
antara dibalik kedalam diri atau digunakan sebagai alasan atas hukuman. Ia juga
menggambarkan insting kematian yang diarahkan pada diri sendiri ditambah tiga komponen
permusuhan didalam bunuh diri: keinginan untuk membunuh, dibunuh dan mati.5
Teori terkini. Ahli bunuh diri kontemporer tidak mengajarkan bahwa struktur
kepribadian atau psikodinamik tertentu terkait dengan bunuh diri. Mereka yakin bahwa
banyak yang dapat dipelajari mengenai apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka
bunuh diri. Khayalan seperti ini sering mencakup keinginan untuk balas dendam, kekuatan,
kendali atau hukuman; penebusan kesalahan, pengorbanan atau ganti rugi: kabur atau tidur,
penyelamatan, kelahiran kembali, penyatuan kembali dengan kematian atau suatu kehidupan
baru. Pasien bunuh diri yang cenderung melakukan khayalan bunuh diri mungkin telah
kehilangan objek cinta atau menerima cedera narsistik, dapat mengalami afek berlebihan
seperti kemaraham dan rasa bersalah, atau dapat menganggap dirinya sama dengan korban
bunuh diri. Orang yang depresi dapat mencoba melakukan bunuh diri tepat saat mereka
tampaknya pulih dari depresi. Pencobaan bunuh diri dapat menghilangkan depresi yang lama,
terutama jika memenihi kebutuhan pasien akan penghukuman. Menurut Aaron Beck,
keputusasaan adalah salah satu indikator yang paling akurat untuk resiko bunuh diri jangka
panjang.5

Faktor Biologis. Berkurangnya serotonin sentral memainkan peranan didalam


perilaku bunuh diri. Suatu kelompok di Institut Karolinska di Swedia adalah yang pertama
kali memperhatkan bahwa konsentrasi metabolit serotonin 5-hydroxyin-doleacetic acid (5-
HIAA) yang rendah di cairan serebrospinal lumbal terkait dengan perilaku bunuh diri. Studi
neurokimia postmortem melaporkan adanya sedikit penurunan serotonin itu sendiri atau 5-
HIAA dibatang otak atau korteks frontalis korban bunuh diri.5

Faktor genetik. Perilaku bunuh diri seperti gangguan psikiatri lainnya, cenderung
menurun didalam keluarga. Pada pasien psikiatri, riwayat bunuh diri didalam keluarga
meningkatkan resiko percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil pada sebagian besar
kelompok diagnostik.5

Perilaku parasuicidal. Parasuicide adalah istilah yang diperkenalkan untuk


menggambarkan pasien yang mencederai diri sendiri dengan mutilasi diri (contoh menyayat
diri) tetapi biasanya tidak ingin mati. Insiden mencederai diri sendiri pada pasien psikiatri
diperkirakan lebih dari 50kali dibandingkan populasi umum. Psikiater memperhatikan bahwa
perilaku telah mencederai dirinya sendiri selama beberapa tahun. Pasien ini biasanya berusia
20-an dan dapat lajang atau sudah menikah. Sebagian besar orang yang menyayat diri mereka
sendiri menyatakan tidak merasa sakit dan memberikan alasan seperti marah terhadap diri
sendiri atau oranglain, meredakan ketegangan da keinginan untuk mati.5
Prediksi

Klinisi harus mengkaji masing-masing resiko pasien untuk bunuh diri berdasarkan
pemeriksaan klinis. Ciri resiko tinggi mencakup usia lebih dari 45tahun, jenis kelamin laki-
laki, ketergantungan alkohol, perilaku kekerasan, perilaku bunuh diri sebelumnya dan
perawatan psikiatri sebelumnya.5

Jenis tentamen suicide antara lain:


1. Ancaman Bunuh Diri
Peringatan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut mempertimbangkan untuk
bunuh diri. Orang tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak
akan berada di sekitar kita lebih lama lagi atau mungkin juga mengkomunikasikan
secara nonverbal melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya dan sebagainya.
Pesan-pesan ini harus dipertimbangkan dalam konteks peristiwa kehidupan
terakhir. Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang tentang kematian.
Kurangnya respon positif dapat ditafsirkan sebagai dukungan untuk melakukan
tindakan bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu yang
dapat mengarah kematian jika tidak dicegah.
3. Bunuh diri
Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan.
Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak benar-benar ingin mati
mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.6

SIRS (Suicidal Intention Rating Scale)

Skor 0 : Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dan sekarang

Skor 1 : Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam bunuh
diri.

Skor 2 : Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri.

Skor 3 : Mengancam bunuh diri, misalnya Tinggalkan saya sendiri atau saya bunuh
diri.

Skor 4 : Aktif mencoba bunuh diri.6

Gejala Klinis
Gejala klinis pada depresi dibagi menjadi dua yaitu gejala utama dan gejala lainnya.

Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):

- Afek / mood yang depresif


- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju miningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas
Gejala lainnya
(a) konsentrasi dan perhatian berkurang
(b) harga diri dan kepercayaan diri berkurang
(c) gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
(d) pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
(e) gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
(f) tidur terganggu
(g) nafsu makan berkurang

Terapi

Sebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatri dapat dicegah, seperti yang
ditunjukkan bukti bahwa pengkajian atau terapi yang tidak adekuat sering dikaitkan dengan
bunuh diri. Beberapa pasien mengalami penderitaan sedemikian berat dan hebatnya, atau
sedemikian kronis dan tidak responsif terhadap terapi, sehingga bunuh dirinya dapat dianggap
sebagai hal yang tidak dapat dielakkan. Untungnya, pasien seperti ini relatif tidak lazim.
Evaluasi potensi bunuh diri melibatkan anamnesis riwayat psikiatri yang lengkap;
pemeriksaan menyeluruh mengenai keadaan mental pasien; dan pertanyaan mengenai gejala
depresif, pikiran, niat, rencana dan percobaan bunuh diri. Keputusan untuk merawat pasien di
RS bergantung pada diagnosis, keparahan depresi dan gagasan bunuh diri, kemampuan pasien
dan keluarga untuk mengatasi masalah, situasi hidup pasien, ketersediaan dukungan sosial
dan tidak adanya atau adanya faktor resiko bunuh diri.5

Klasifikasi gangguan mood DSM-IV-TR

Menurut DSM-IV-TR, gangguan depresif berat (juga dikenal sebagai depresi


unipolar) terjadi tanpa riwayat episode manik, campuran atau hipomanik. Episode depresi
berat harus ada setidaknya 2minggu dan seseorang yang didiagnosis memiliki episode
depresif berat terutama juga harus mengalami setidaknya empat gejala dari daftar yang
mencakup perubahan berat badan dan nafsu makan, perubahan tidur dan aktivitas, tidak ada
energi, rasa bersalah, masalah dalam berpikir dan membuat keputusan serta pikiran berulang
mengenai kematian dan bunuh diri.2
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan
nafsu makan, psikomotor, konsenterasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya,
serta gagasan bunuh diri.3

Epidemiologi

Insiden dan prevalen

Gangguan depresif berat adalah gangguan yang lazim ditemukan dengan prevalensi
seumur hidup sekitar 15%, pada perempuan mungkin 25%. Insiden gangguan depresif berat
10% pada pasien yang berobat di fasilitas kesehatan primer dan 15% ditempat rawat inap.2

Seks. Dari suatu observasi yang hampir universal, tanpa melihat negara atau
kebudayaan, prevalensi gangguan depresif berat lebih besar pada perempuan daripada laki-
laki. Alasan perbedaan ini yang telah dihipotesiskan antara lain perbedaan hormonal,
pengaruh kelahiran anak, stressor psikososial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan,
serta model perilaku ketergantungan yang dipelajari. Berlawanan dengan gangguan depresif
berat, gangguan bipolar I memiliki prevalensi yang seimbang antara laki-laki dan
perempuan.2

Usia. Awitan gangguan bipolar I lebih dini daripada gangguan depresi berat. Usia
rerata awitan gangguan depresi berat sekitar 40tahun, dengan 50% pasien memiliki awitan
antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresi berat dapat juga dimulai pada masa kanak-
kanak atau usia tua. Data epidemiologi terkini mengesankan bahwa insiden gangguan
depresif mayor mungkin meningkat diantara orang berusia dibawah 20tahun. Hal ini mungkin
berkaitan dengan meningkatnya penggunaan alkohol serta penyalahgunaan obat pada
kelompok usia ini.2

Status pernikahan. Gangguan depresif beratpaling sering terjadi pada orang tanpa
hubungan antarpersonal yang dekat atau pada orang yang mengalami perceraian atau
perpisahan. Gangguan bipolar I lebih lazim terjadi pada orang lajang dan orang yang bercerai
daripada yang menikah, tetapi perbedaan ini dapat mencerminkan awitan dini serta
karakteristik akibat perpecahan perkawinan pada gangguan ini.2

Faktor sosioekonomi dan kebudayaan. Tidak ada hubungan yang ditemukan antara
status sosioekonomi dan gangguan depresif berat. Depresi lebih lazim didaerah pedesaan
daripada daerah perkotaan. Prevalensi gangguan mood tidak berbeda antar ras. Meskipun
demikian, terdapat kecenderungan pemeriksa kurang mendiagnosis gangguan mood serta
mendiagnosis berlebihan skizofrenia pada pasien yang memiliki ras atau latar belakang
budaya yang berbeda dengan pemeriksa itu sendiri.2

Etiologi

Faktor biologis. Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin


biogenik seperti asam-5-hidroksiindolasetat (5-HIAA), asam homovanilat (HVA), dan 3-
metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG) didalam darah, urine dan cairan serebrospinal pasien
dengan gangguan mood. Laporan data ini paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan
mood disebabkan oleh disregulasi heterogen amin biogenik.

Amin biogenik. Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin adalah dua neurotransmitter
yang paling terkait didalam patofisiologi gangguan mood.2

Norepinefrin. Hubungan yang diajukan oleh penelitian ilmu pengetahuan dasar antara
downregulation reseptor -adrenergik dan respon antidepresan klinis mungkin adalah satu
potongan data yang paling menakjubkan yang menunjukkan peranan langsung terhadap
sistem noradrenergik pada depresi. Bukti lain adanya keterlibatan reseptor prasinaps- 2-
adrenergik pada depresi, aktivasi reseptor ini menimbulkan penurunan jumlah norepinefrin
yang dilepaskan. Reseptor prasinaps 2-adrenergik juga terletak pada neuron serotonergik
serta mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Obat antidepresan yang secara klinis
efektif dengan efek noradrenergik contohnya, sertraline (Effexor) merupakan dukungan lebih
lanjut terhadap peranan norepinefrin didalam patofisiologi setidaknya pada beberapa gejala
depresi.2

Serotonin. Dengan pengaruh besar yang dihasilkan inhibitor reuptake serotonin


selektif (SSRI, Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) pada terapi depresi , contohnya
Fluoxetin, serotonin telah menjadi neurotransmitter amin biogenik yang paling lazim
dikaitkan dengan depresi. Selain fakta bahwa SSRI dan antidepresan serotonergik lainnya
efektif didalam terapi depresi, data lain menunjukkan bahwa serotonin terlibat dalam
patofisiologi depresi. Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien
dengan impuls bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah dalam cairan
serebrospinal serta konsentrasi tempat uptake serotonin yang rendah pada trombosit.2
Dopamin. Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin biogenik yang paling
sering dikaitkan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga pernah diteorikan memiliki
peranan. Data yang mendukung bahwa aktivitas dopamin berkurang pada depresi dan
meningkat pada mania. Penemuan subtipe baru reseptor dopamin serta meningkatnya
pemahaman mengenai regulasi prasinaps dan pascasinaps pada fungsi dopamin lebih lanjut
telah memperkaya riset mengenai hubungan antara dopamin dan gangguan mood. Obat yang
mengurangi konsentrasi dopamin misalnya reserpin dan penyakit yang mengurangi
konsentrasi dopamin seperti Parkinson menyebabkan gejala depresif. Sebaliknya, obat yang
meningkatkan konsentrasi dopamin akan mengurangi gejala depresi. Dua teori terkini
mengenai dopamin dan depresi adalah bahwa jaras dopamin mesolimbik mungkin mengalami
disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamin D1 mungkin hipoaktif pada depresi.2

Regulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis


neuroendokrin dan juga menerima berbagai input saraf melalui neurotransmiter amin
biogenik. Berbagai disregulasi neuroendokrin dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood
sehingga regulasi aksis neuroendokrin yang abnormal merupakan akibat fungsi neuron yang
mengandung amin biogenik yang abnormal pula. Walaupun secara teoritis disregulasi aksis
neuroendokrin secara khusus (seperti aksis adrenal atau tiroid) mungkin menyebabkan
gangguan mood, disregulasi lebih cenderung merupakan cerminan adanya gangguan otak
fundamental yang mendasari. Aksis neuroendokrin utama yang dimaksud disini adalah aksis
adrenal, tiroid, serta hormon pertumbuhan. Kelainan neuroedokrin lain yang telah
digambarkan pada pasien dengan gangguan mood mencakup berkurangnya sekresi melatonin
nokturnal, pelepasan prolaktin pada pemberian triptofan, kadar basal FSH dan LH, serta
kadar testosteron pada laki-laki.2

Kelainan tidur. Masalah tidur, insomnia inisial dan terminal, sering terbangun,
hipersomnia adalah gejala yang lazim dan klasik pada depresi dan penurunan kebutuhan
untuk tidur merupakan gejala klasik mania. Para peneliti telah lama mengenali bahwa EEG
pada banyak orang dengan depresi menunjukan kelainan. Kelainan yang lazim adalah awitan
tidur yang tertunda, pemendekan latensi rapid eye movement (REM) (waktu antara jatuh
tertidur dan periode REM pertama), peningkatan lama periode REM pertama, serta tidur delta
abnormal.2

Regulasi Neuroimun. Para peneliti telah melaporkan kelainan imunologis pada orang
depresif dan orang yang berduka karena kehilangan kerabat, pasangan atau teman dekat.
Disregulasi aksis kortisol dapat memengaruhi status imun, mungkin terdapat pengaturan
hipotalamus yang abnormal pada sistem imun. Kemungkinan yang lebih sedikit adalah pada
beberapa pasien, proses patofisiologi primer yang melibatkan sistem imun akan
menyebabkan gejala psikiatri gangguan mood.2

Faktor genetik. Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang
signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola pewarisan genetik terjadi
melalui mekanisme yang kompleks. Tidak hanya mustahil menyingkirkan pengaruh
psikososial, tetapi faktor nongenetik mungkin memiliki peranan kausatif didalam timbulnya
gejala gangguan mood pada setidaknya beberapa orang. Komponen genetik memainkan
peranan yang lebih bermakna didalam menurunkan gangguan bipolar I daripada gangguan
depresif berat.2

Faktor psikososial.

Peristiwa hidup dan stres lingkungan. Sejumlah klinisi yakin bahwa peristiwa hidup
memegang peranan utama dalam depresi; klinis lain mengajukan bahwa peristiwa hidup
hanya memegang peran terbatas dalam awitan dan waktu depresi. Data yang paling
meyakinkan menunjukkan bahwa peristiwa hidup yang paling sering menyebabkan
timbulnya depresi dikemudian hari pada seseorang adalah kehilangan orang tua sebelum usia
11tahun. Stressor lingkungan yang paling sering menyebabkan awtan episode depresi adalah
kematian pasangan. Faktor resiko lain adalah PHK, seorang yang keluar dari pekerjaan
sebanyak tiga kali lebih cenderung memberikan laporan gejala episode depresi berat daripada
orang yang bekerja.2

Poin penentu yang menggambarkan episode terkini

Disamping poin penentu keparahan/psikotik/remisi, DSM-IV-TR mendefinisikan ciri


gejala tambahan yang dapat digunakan untuk menggambarkan pasien dengan berbagai
gangguan mood. Dua ciri lintas bagian (melankolik dan atipikal) terbatas untuk
menggambarkan episode depresif. Dua ciri lain (ciri katatonik dan dengan awitan pasca
melahirkan) dapat diterapkan untuk menggambarkan episode depresif dan manik.2

Dengan ciri psikotik. Adanya ciri psikotik pada gangguan depresi berat
mencerminkan penyakit yang parah dan merupakan indikator prognostik buruk. Para klinisi
dan peneliti membedakan penyakit depresi selama terdapat gangguan psikotik-neurotik.
Sebuah tinjauan literatur yang membandingkan gangguan depresif berat nonpsikotik dengan
psikotik menunjukkan bahwa kedua keadaan tersebut dapat berbeda patogenesisnya. Gejala
psikotik sendiri umumnya dikategorikan sebagai kongruen, yaitu konsisten dengan gangguan
mood, contohnya saya pantas dihukum karena saya jahat , atau tidak kongruen, yaitu mood
yang tidak konsisten dengan gangguan mood. Pasien dengan gangguan mood dengan psikosis
mood yang kongruen merupakan gangguan mood tipe psikotik; sedangkan pasien gangguan
mood dengan gejala psikotik mood yang tidak kongruen dapat merupakan gejala skizoafektif
atau skizofrenia. Adanya ciri psikotik juga memiliki implikasi terapi yang bermakna. Pasien
ini secara khas membutuhkan obat antipsikotik disamping antidepresan dan mungkin
membutuhkan terapi elektrokonvulsiff untuk mendapatkan perbaikan klinis.2

Diagnosis

Selain kriteria diagnostik gangguan depresif berat dan gangguan bipolar, DSM-IV-TR
memasukkan kriteria spesifik episode mood dan kriteria keparahan untuk memenuhi episode
terkini.2

Gambar 1. Gangguan depresi berat2

Gambaran klinis

Episode depresif dapat berdiri sendiri atau bersama


dengan gangguan depresif atau bipolar yang berulang.
Diagnosis lain yang dipikirkan adalah gangguan organik;
intoksikasi zat, ketergantungan dan abstinensi; disritmia;
siklotimia; gangguan kepribadian; berkabung; dan gangguan
penyesuaian. Pasien depresif tidak selalu mengeluh adanya
sedih. Mereka mungkin mudah tersinggung atau banyak
keluhan fisik. Evaluasi pasien untuk tanda dan gejala yang
terkait dengan depresi, walau tidak ada tanda jelas dari
depresi. Tiap pasien yang mengeluh soal daya ingat yang buruk dan depresi wajib diperiksa
untuk pseudodemensia.3

Mood yang depresif serta hilangnya minat atau kesenangan adalah kunci gejala
depresi. Pasien dapat mengatakan bahwa mereka merasa sedih, tidak ada harapan, bersusah
hati, atau tidak berharga. Untuk seorang pasien, mood yang depresif sering memiliki kualitas
yang khas yang membedakannya dengan emosi normal kesedihan atau berkabung. Pasien
sering menggambarkan gejala depresi sebagai satu penderitaan emosi yang sangat mendalam
serta kadang-kadang mengeluh tidak dapat menangis gejala yang pulih ketika pasien
membaik.2

Beberapa pasien depresi kadang-kadang tampak tidak menyadari depresi yang dialami
dan tidak mengeluhkan adanya gangguan mood, walaupun mereka menunjukkan penarikan
diri dari keluarga, teman, dan aktivitas yang sebelumnya menarik bagi mereka. Hampir
semua pasien depresi (97%) mengeluh berkurangnya energi; mereka merasa sulit
menyelesaikan tugas, terganggu disekolah dan tempat kerja, serta memiliki motivasi yang
menurun untuk menangani proyek baru. Sekitar 80% pasien mengeluh sulit tidur, terutama
terbangun saat dini hari (yang merupakan insomnia terminal) serta terbangun berulang
dimalam hari, saat terbangun itu pasien merenungkan masalahnya. Banyak pasien mengalami
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan, tetapi pasien lain mengalami
peningkatan nafsu makan dan kenaikan berat badan dan tidur yang lebih lama dari biasanya.
Pasien ini digolongkan dalam DSM-IV-TR memiliki ciri atipikal.2

Ansietas adalah gejala depresi yang lazim dan mengenai 90% pasien depresi.
Berbagai perubahan asupan makanan dan istirahat dapat memperburuk penyakit medis yang
telah ada, misalnya diabetes, hipertensi, penyakit paru obstruktif kronik dan penyakit jantung.
gejala vegetatif lainnya adalah menstruasi abnormal, dan menurunnya minat serta kinerja
didalam aktivitas seksual. Masalah seksual kadang-kadang dapat menyebabkan salah
merujuk, misalnya konseling pernikahan dan terapi seks, ketika klinisi gagal mengenali
gangguan depresif yang mendasari. Gejala kognitif mencakup laporan subjektif adanya
ketidakmampuan berkonsentrasi (84% pasien disatu studi) serta hendaya dalam berpikir (67%
pada studi lain).2

Depresi pada Orang Lanjut Usia. Depresi lebih sering ditemukan pada orang lanjut
usia daripada depresi pada populasi umum. Berbagai studi melaporkan angka prevalensi
berkisar dari 25- hampir 50% walaupun presentase kasus ini yang disebabkan gangguan
depresif berat tidak pasti. Sejumlah studi melaporkan data yang menunjukkan bahwa depresi
pada orang lanjut usia dapat berkaitan dengan status sosioekonomi yang rendah, kematian
pasangan, penyakit fisik yang juga sedang ada, serta isolasi sosial. Studi lain menunjukkan
bahwa depresi pada orang lanjut usia kurang terdiagnosis dan tidak diobati, terutama
mungkin oleh dokter umum. Tidak dikenalinya depresi pada orang lanjut usia dapat terjadi
karena gangguan lebih sering muncul dengan keluhan somatik pada kelompok usia yang
lebih tua dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda. Lebih jauh lagi, diskriminasi
terhadap usia dapat memengaruhi dan membuat mereka lebih menerima gejala depresif
sebagai hal yang normal pada pasien usia lanjut.2

Pedoman Diagnostik

F32.0, Episode Depresif Ringan

- Sekurangnya 2 gejala dari gejala utama


- Ditambah 2 gejala dari gejala lainnya
- Tidak boleh ada gejala yang berat
- Berlangsung sekurangnya dua minggu
- Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan

F32.1, Episode Depresif Sedang

- Sekurangnya harus ada 2 gejala dari gejala utama


- Ditambah 3 - 4 gejala dari gejala lainnya
- Berlangsung sekurangnya dua minggu
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga

F32.2, Episode Depresif Berat Tanpa Gejala Psikotik

- Semua 3 gejala utama depresi harus ada


- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat
- Berlangsung sekurangnya dua minggu atau lebih pendek bila gejala sangat berat
dan berawitan sangat cepat
- Tidak mampu menjalankan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga,
kecuali pada taraf sangat terbatas

F32.3, Episode Depresif Berat Dengan Gejala Psikotik

- Memenuhi kriteria F32.2, disertai waham, halusinasi atau depresif stupor


- Isi waham ide tentang dosa, kemiskinan atau tentang malapetaka yang
mengancam dan individu dapat merasa bertanggung-jawab atas hal tersebut.
- Halusinasi auditorik / olfaktorik berupa suara menghina atau menuduh atau bau
kotoran / daging membusuk
- Retardasi motorik berat yang dapat menuju stupor
- Waham atau halusinasi bisa serasi atau tidak serasi afek.7

Terapi

Terapi pasien dengan gangguan mood harus ditujukan pada beberapa tujuan. Pertama,
keamanan pasien harus terjamin. Kedua, evaluasi diagnostik lengkap pada pasien harus
dilakukan. Ketiga, rencana terapi yang ditujukan tidak hanya pada gejala saat itu tetapi
kesejahteraan pasien dimasa mendatang juga harus dimulai. Walaupun terapi saat ini yang
menekankan farmakoterapi dan psikoterapi ditujukan pada pasien secara individual, peristiwa
hidup yang penuh tekanan juga dikaitkan dengan meningkatnya angka kekambuhan pada
pasien dengan gangguan mood. Dengan demikian, terapi harus menurunkan jumlah dan
keparahan stressor didalam kehidupan pasien. Terapi spesifik saat ini tersedia untuk episode
depresif dan manik, dan data yang tersedia menunjukkan bahwa terapi profilaksis juga
efektif. Oleh karena prognosis untuk setiap episode baik, optimisme selalu dibutuhkan dan
diinginkan oleh pasien maupun keluarga pasien, bahkan jika hasil terapi awal tidak
menjanjikan.2

Rawat inap. Keputusan pertama dan yang paling penting yang harus dibuat seorang
dokter adalah apakah pasien harus dirawat di RS atau sebaiknya dicoba terapi rawat jalan.
Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan prosedur diagnostik, resiko bunuh diri
atau membunuh, dan kemampuan pasien yang menurun drastis untuk mendapatkan makanan
dan tempat tinggal. Riwayat gejala yang berkembang cepat serta rusaknya sistem dukungan
pasien yang biasa juga merupakan indikasi rawat inap.2

Terapi psikososial. Walaupun sebagian besar studi menunjukan dan sebagian besar
klinisi serta peneliti meyakini bahwa kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah terapi
yang paling efektif untuk gangguan depresi berat, sejumlah data mengesankan pandangan
lain; baik farmakoterapi atau psikoterapi saja efektif, setidaknya pada pasien dengan episode
depresif berat yang ringan dan penggunaan regular terapi kombinasi menambahkan biaya
terapi serta memajankan pasien pada efek samping yang tidak perlu.2
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yaitu, terapi kognitif, terapi interpersonal, dan
terapi perilaku telah dipelajari untuk menentukan efektivitasnya dalam terapi gangguan
depresif berat. Psikoterapi berorientasi psikoanalitik telah lama digunakan untuk gangguan
depresi dan banyak klinisi menggunakan tehnik ini sebagai metode utama mereka. Hal yang
membedakan ketiga metode psikoterapi jangka pendek dengan metode berorientasi
psikoanalitis adalah peran aktif dan langsung terapis, tujuan yang langsung dikenali dan titik
akhir terapi jangka pendek.2

Terapi kognitif. Terapi kognitif yang awalnya dikembangkan Aaron Beck,


memfoskuskan pada distorsi kognitif, diperkirakan ada pada gangguan depresi berat. Distorsi
tersebut mencakup perhatian selektif terhadap aspek negatif keadaan dan kesimpulan
patologis yang tidak realistis mengenai konsekuensi. Tujuan terapi kognitif adalah
meringankan episode depresif dan mencegah kekambuhan dengan membantu pasien
mengidentifikasi dan menguji kognisi negatif; mengembangkan cara berpikir alternatif,
fleksibel dan positif serta melatih respons perilaku dan kognitif yang baru.2

Terapi interpersonal. Terapi interpersonal, yang dikembangkan Gerald Klerman,


memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal pasien saat ini. Terapi ini didasarkan
pada dua asumsi. Pertama, masalah interpesonal saat ini cenderung memiliki akar pada
hubungan yang mengalami disfungsi sejak awal. Kedua, masalah interpersonal saat ini
cenderung terlibat dalam mencetuskan atau melanjutkan gejala depresi saat ini. Program
terapi interpersonal biasanya terdiri atas 12 sampai 16 sesi dan ditandai dengan pendekatan
terapeutik yang aktif.2

Terapi perilaku. Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku
maladaptif mengakibatkan seseorang menerima sedikit umpan balik positif dan mungkin
sekaligus penolakan dari masyarakat. Dengan memusatkan perhatian pada perilaku
maladaptif didalam terapi, pasien belajar berfungsi didalam dunia sedemikian rupa sehingga
mereka memperoleh dorongan positif. Walaupun terapi individual atau kelompok telah
dipelajari, terapi perilaku untuk gangguan depresi berat belum menjadi subyek banyak distudi
terkontrol.2

Terapi berorientasi pada psikoanalitik. Pendekatan psikoanalitik pada gangguan


mood didasarkan pada teori psikoanalitik mengenai depresi dan mania. Tujuan psikoterapi
psikoanalitik adalah memberi pengaruh pada perubahan struktur atau karakter kepribadian
seseorang, bukan hanya untuk meredakan gejala. Perbaikan kepercayaan interpersonal,
keintiman, mekanisme koping, kapasitas berduka, serta kemampuan mengalami kisaran luas
emosi adalah sejumlah tujuan terapi psikoanalitik. Terapi sering mengharuskan pasien untuk
mengalami periode ansietas yang semakin berat serta penderitaan selama perjalanan terapi
yang dapat berlanjut hingga beberapa tahun.2

Terapi keluarga. Terapi keluarga umumnya tidak dipandang sebagai terapi primer
penatalaksanaan gangguan depresi berat, tetapi bukti yang semakin banyak menunjukkan
bahwa membantu pasien dengan gangguan mood untuk mengurangi dan menghadapi stres
dapat mengurangi kemungkinan kambuh. Terapi keluarga diindikasikan jika gangguan
merusak perkawinan pasien atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood bertambah atau
dipertahankan oleh situasi keluarga.2,3

Farmakoterapi gangguan depresi berat.

Terapi gangguan depresi berat yang efektif dan spesifik, seperti obat trisiklik.
Penggunaan farmakoterapi spesifik diperkirakan melipatgandakan kemungkinan bahwa
pasien depresi akan pulih dalam 1bulan. Meskipun demikian, masalah tetap ada didalam
terapi gangguan depresif berat: sejumlah pasien tidak memberikan respons terhadap terapi
pertama; semua antidepresan yang saat ini tersedia membutuhkan 3 sampai 4 minggu hingga
memberikan terapeutik bermakna, walaupun obat tersebut dapat mulai menunjukkan
pengaruhnya lebih dini dan relatif sampai saat ini, semua antidepresan yang tersedia bersifat
toksik bila overdosis serta memiliki efek samping. Indikasi utama antidepresan adalah
episode depresif berat. Gejala pertama yang akan membaik adalah pola tidur dan nafsu
makan yang buruk. agitasi, ansietas, episode depresif dan rasa putus asa adalah gejala
selanjutnya yang akan membaik. Gejala target lainnya adalah kurang tenaga, konsentrasi
buruk, ketidakberdayaan dan menurunnya libido.2,3

Edukasi pasien. Edukasi pasien dengan mengenai penggunaan depresan adalah hal
yang sama pentingnya dengan memilih obat serta dosis yang paling tepat untuk keberhasilan
terapi. Ketika mengenalkan topik percobaan obat kepada pasien, dokter harus menekankan
bahwa gangguan depresif berat adalah kombinasi faktor biologis dan psikologis, kedua faktor
tersebut akan memperoleh keuntungan melalui terapi obat. Dokter juga harus menekankan
bahwa pasien tidak akan mengalami ketergangtungan obat antidepresan karena obat ini tidak
memberikan kepuasan dengan segera. Dengan obat trisiklik dan MAOI, dokter mungkin
merasa berguna untuk menjelaskan kepada pasien bahwa tidur dan nafsu makan akan
membaik lebih dahulu, diikuti perasaan energi memulih, serta rasa depresi, sayangnya akan
menjadi gejala terakhir yang berubah. Dokter harus selalu mempertimbangkan resiko bunuh
diri pada pasien dengan gangguan mood. Sebagian besar antidepresan bersifat letal jika
diminum dalam jumlah banyak. Tidaklah bijaksana untuk memberikan resep dalam jumlah
besar bagi sebagian besar pasien dengan gangguan mood ketika mereka keluar dari RS,
kecuali jika orang lain mengawasi pemberian obat.2

Alternatif terapi obat. Dua terapi organik yang menggunakan alternatif


farmakoterapi adalah terapi elektrokonvulsif dan fototerapi. Terapi elektrokonvulsif biasanya
digunakan ketika pasien tidak memberikan respon terhadap farmakoterapi atau tidak dapat
menoleransi farmakoterapi atau situasi klinis sedemikian beratnya sehingga diperlukan
perbaikan cepat melalui penggunaan terapi elekktrokonvulsif. Walaupun penggunaan
elektrokonvulsif sering dibatasi tiga situasi, terapi elektrokonvulsif merupakan terapi
antidepresan yang efektif dan secara masuk akal dapat dipertimbangkan sebagai terapi pilihan
bagi sejumlah pasien, seperti pasien depresi usia lanjut. Fototerapi merupakan terapi baru
yang telah digunakan pada pasien dengan pola musiman untuk gangguan mood. Fototerapi
bisa digunakan secara tersendiri pada kasus gangguan mood ringan dengan pola musiman.
Untuk pasien dengan gangguan yang berat, fototerapi dapat digunakan dalam kombinasi
dengan farmakoterapi, walaupun studi efektivitas kombinasi ini belum memberikan hasil
yang tepat.2,3

Pedoman wawancara dan psikoterapi

Buatlah pasien jadi penurut dengan bersikap empati dan mendukung. Banyak pasien
depresi merasa terkucil dan putus asa. Bersikaplah menenangkan dan beritahukan mereka
bahwa mereka akan dibantu dan depresi merupakan penyakit yang dapat disembuhkan.
Hidari bualan, optimisma yang kosong, yang akan dirasakan kurangnya empati. Perbaiki
segala macam ambivalensi. Beritahu pasien bahwa depresi itu umum terjadi. Bantulah untuk
menemukan stresor yang spesifik agar mengurangi perasaan dosa dan rendah diri pasien.
Kurangi rasa dosa dengan menggunakan upaya polaraga medik, tekankan bahwa depresi
merupakan satu penyakit, yang membutuhkan pengobatan medik. Penjelasan riwayat yang
didapat dari anggota keluarga lain atau teman amat berharga dalam menilai pasien depresif.8

Prognosis

Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Biasanya cenderung
untuk menjadi kronik dan kambuh. Episode pertama gangguan depresi berat yang dirawat di
RS sekitar 50% angka kesembuhannya pada tahun pertama. Persentasi pasien untuk sembuh
setelah perawatan berulang berkurang seiring berjalannya waktu, banyak pasien yang tidak
pulih akan menderita gangguan distimik.2,3

Kekambuhan depresi berat juga sering terjadi. Sekiitar 25% pada 6bulan setelah
keluar dari RS, sekitar 30-50% dalam 2tahun pertama, dan sekitar 50-75% dalam periode
5tahun. Insiden relaps berkurang pada pasien yang melanjutkan terapi psikofarma profilaksis
dan pasien yang hanya mempunyai satu atau dua episode depresi. Secara umum, semakin
sering pasien mengalami episode depresi, semakin memperburuk keadaannya.2,3

Indikator prognosis. Identifikasi indikator prognosis baik dan buruk pada depresi
berat. Kemungkinan prognosis baik : episode ringan, tidak ada gejala psikotik, singkatnya
waktu rawat inap, indikator psikososial meliputi mempunyai teman akrab selama masa
remaja, fungsi keluarga stabil, lima tahun sebelum sakit secara umum fungsi sosial baik, tidak
ada komorbiditas dengan gangguan psikiatri lain, tidak lebih dari sekali rawat inap dengan
depresi berat, onsetnya awal pada usia lanjut. Kemungkinan prognosis buruk: depresi berat
bersamaan dengan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan gejala gangguan
cerna, ada riwayat lebih dari sekali episode depresi sebelumnya.2,3

Penutup
Kesimpulan

Pasien yang dikonsulkan ke bagian Psikiatri ini mengalami depresi berat dengan
gejala psikotik yang disertai dengan penyakit diabetes melitus yang tidak terkontrol dan ulkus
diabetikum yang sudah berbau yang disebabkan karena pasien mempunyai keinginan untuk
menyusul suaminya yang sudah meninggal.

Daftar pustaka

1. Nah, Yasavati Kurnia et al. Buku panduan keterampilan klinik (skill lab) jilid 5.
Jakarta: FK UKRIDA, 2008.p.74-3
2. Sadock B.J., Sadock V.A. Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri klinis edisi 2.
Jakarta:EGC, 2010.189-17.
3. Elvira, S.D., Hadisukanto, G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: FK UI, 2010.p.221-22.
4. Puri, B.K., Laking, P.J., Treasaden, I.H. Buku ajar psikiatri edisi 2. Jakarta: EGC,
2011.p.166-67
5. Sadock B.J., Sadock V.A. Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri klinis edisi 2.
Jakarta:EGC, 2010.426-33.
6. Kaplan H.I., Sadock, B.J. Ilmu kedokteran jiwa darurat: bunuh diri, kekerasan dan
kedaruratan psikiatri yang lain. Buku saku Psikiatri Klinik. 3 rd ed. Jakarta: Binarupa
Aksara; 2003.h.245- 247
7. Maslim R. Episode depresif. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2003.h. 64-65
8. Kaplan H.I., Sadock, B.J. Ilmu kedokteran jiwa darurat. Jakarta: EGC, 2008.p.227-32.

Anda mungkin juga menyukai