Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembenihan udang windu (penaeus


monodon) sekarang sudah berkembang
dibeberapa Negara termasuk Indonesia.
Sebenarnya merupakan kerja keras para ahli
udang selama bertahun-tahun untuk memaksa
induk udang yang tadinya sulit bertelur menjadi
mudah bertelur. Hasil tersebut mulai dipraktekkan
di Indonesia sejak tahun 1978 dengan teknik
ablasi mata. alhasil petani tambak kita sekarang
tidak harus bersusah payah menangkap benur
dilaut yang jumlahnya terbatas, tetapi dapat
langsung memesan benih sesuai dengan
kebutuhan dipanti pembenihan, tanpa harus
menunggu lagi musim benur (Sutaman, 1993).
Budidaya udang windu (penaeus monodon)
telah banyak dilakukan di berbagai Negara yang
memiliki perairan laut, sehingga produksinya dari
tahun ke tahun terus meningkat sesuai dengan
meningkatnya ilmu budidaya udang ini. Di
Indonesia budidaya udang ini juga berkembang
sangat pesat dari cara yang masih tradisional
(ekstensif), sampai ke cara cara yang lebih
modern (intensif) dan hasilnya terus meningkat
sesuai dengan meningkatnya lahan budidaya
(Darmono, 1993).
Sebagai makhluk hidup, udang juga
mempunyai musuh. Musuh ini dapat berupa hama
yang menyerang udang secara langsung
(pemangsa udang), maupun berupa jasad renik
baik jenis bakteri, virus, maupun parasit, sehingga
merupakan kendala dalam budidaya yang dapat
menurunkan hasil produksinya (Darmono, 1993).
Darmono (1993), menjelaskan bahwa banyak
atau sedikitnya keuntungan yang diperoleh dari
usaha udang ini, tidak lepas dari penanganan

1
panen dan pasca panennya, dan hal ini pun
sangat tergantung pada kualitas udang yang
dihasilkan. Penanganan pasca panen yang buruk
dapat menyebabkan rusaknya udang, sehingga
tidak memenuhi syarat untuk ekspor. Dengan
turunnya kualitas udang, maka harganya pun
menjadi jatuh dan dapat merugikan usaha tambak
udang ini. Hal inilah yang kemudian menjadi
alasan dilaksanakannya Praktek lapangan dasar-
dasar akuakultur agar siswa dapat mengetahui
bagaimana perbedaan prinsip kerja pada tambak
ekstensif, semi-intensif, dan intensif serta
mengetahui tahap persiapan tambak hingga pasca
panen.

1.2 Tujuan Praktek Kerja Industri


Tujuan dan kegiatan Praktek Kerja
Industri di hatchery sebagai berikut :
1. Mengetahui teknik pemeliharaan larva udang
windu
2. Mengetahui pemeliharaan kualitas air serta
pencegahan yang dilakukan terhadap penyakit
pada larva udang windu.
3. Mengetahui tahap persiapan tambak intensif
mulai dari persiapan lahan sampai pasca
panen.

1.3 Manfaat Praktek Kerja Industri


Manfaat yang didapatkan dari kegiatan
Praktek Kerja Industri adalah sebagai berikut :
1. Menambah pengalaman dilapangan.
2. Menambah wawasan dan pengetahuan melalui
penerapan Praktek Lapangan dalam pemeliharaan
larva udang windu.
3. Menjadi bahan bacaan dan informasi dalam teknik
pemeliharaan benih udang windu bagi kalangan
akademis dan masyarakat pada umumnya.

2
BAB II
KEADAAN UMUM

2.1. Keadaan Umum Lokasi

Unit BBIP Kampal Instalasi Mamboro


Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi
Tengah Kelurahan Mamboro Kecamatan Palu
Utara Kota Palu. Dibangunnya usaha Pembenihan
ini merupakan salah satu unit usaha yang telah
berhasil di Kelurahan Mamboro Kecamatan Palu
Utara Kota Palu, tingkat keberhasilan ini
disebabkan karena lokasi yang sangat mendukung
dan potensi laut yang ada di sekitarnya. Lokasi
pembenihan ini yang berada di pinggiran pantai
dan struktur dasar perairan yang sangat
menunjang seperti sanitasi, suhu dan keindahan
yang ada di pinggiran pantai.

2.1 Sejarah Singkat


Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Mamboro
merupakan unit pelaksanaan teknis Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah
Kelurahan Mamboro Kecamatan Palu Utara Kota
Palu yang dibangun pada tahun 2001. BBIP
Kampal Instalasi Mamboro merupakan program
kerja yang bertujuan memproduksi benih udang
windu bermutu sesuai standart (SNI) yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatasi akan
kurangnya benih di Provinsi Sulawesi Tengah
Kelurahan Mamboro Kecamatan Palu Utara Kota
Palu.

2.2 Fasilitas BBIP Kampal Instalasi Mamboro


Fasilitas BBIP Kampal Instalasi
Mamboro dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

3
TABEL 1. Fasilitas BBIP Kampal Instalasi Mamboro
No Fasilitas Jumlah Volume
1. BAK INDUK 3 BAK 7 TON
2. BAK LARVA 14 BAK 14 TON
3. BAK PLANKTON 2 BAK 6 TON
4. BAK TANDON AIR LAUT 3 BAK 35 TON
5. BAKFILTERISASI (TOWER) 2 BAK 14 TON
6. BAK TREATMEN 1 BAK 10 TON
7. BAK SIDAT 14 BAK 8 TON
8. TAMBAK SUPRA INTENSIF 1 UNIT 1000 TON
9. MESIN POMPA LISTRIK 2 UNIT -
10. MESIN BLOWER 8 UNIT -
11. MESIN GENSET 2 UNIT -
Sumber : (BBIP Kampal Instalasi Mamboro 2014)
Denah BBIP Kampal Instalasi Mamboro dapat
dilihat pada gambar di bawah ini :
DENA BBIP KAMPAL INSTALASI MAMBORO

14
23
12 13

10 2
11 4

21

5
7

9
16 4

22 2

17
1. Kantor 1 Bak Pemijahan
13.
2. laboratorium 14. Tandon
15 3. Ruang Pakan 15. Ruang Larva 1
4. Gudang 16. Ruang Larva 2
5. Ruang UV 17. Ruang
6. Filter Pengemasan
7. Tandon 18. Mesin Pompa Air
8. Bak Skeletonema Laut
9. Bak Filter Nisasi 19. Pembuangan
4 10. Ruang Artemia
Limbah
11. Ruang 20. Pencelupan
18 SKeletonema Mobil
1 12. Bak Tandon 21. Pipa Air
2.3 Komoditi yang Dibudidayakan
Ada beberapa komoditi yang
dibudidayakan di Benih Ikan Pantai (BBIP) Kampal
Instalasi Mamboro antara lain :
1. Udang vaname
2. Larva udang windu
3. Sidat
4. Skeletonema Costatum
5. Artemia salina

1. Udang Vaname
Udang Vaname (littopenaus Vannamei)
merupakan salah satu komoditas perikanan
ekonomis penting dikarenakan memiliki
keunggulan nilai gizi yang sangat tinggi dan tahan
terhadap serangan hama dan penyakit bila
dibandingkan dengan jenis udang lainnya udang
vaname memiliki karakteristik spesifik seperti
adaptasi tinggi terhadap lingkungan, laju
pertumbuhan yang relatif cepat pada bulan kesatu
dan kedua kelangsungan hidup yang tinggi.
Dengan keunggulan itulah, udang ini sangat
berpotensi dan prospektif pengembangannya
untuk menjadi peluang usaha yang cukup
menguntungkan.

2. Larva Udang Windu


Larva udang windu merupakan
organisme yang halus dan lemah terutama pada
stadia nauplius dan zoea sehingga presentase
kematian tertinggi sering kali terjadi pada stadia
ini. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah
larva udang windu harus dijaga agar selalu dalam
kondisi sehat dan kuat yaitu dengan cara
melakukan kegiatan pembenihan sangat
berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Suatu
kegiatan budidaya udang tidak akan berjalan tanpa
mengandalkan benih dari hasil pembenihan.

5
3. Sidat
Ikan sidat (Anguilla Sp) bentuk seperti
belut. Ikan ini merupakan salah satu jenis ikan
ekonomis penting baik dalam negeri maupun luar
negeri karena memiliki gizi yang tinggi. Teknologi
budidaya ikan sidat di Indonesia masih sangat
terbatas dan hanya dilakukan pada tahap
pembesaran saja dengan mengikuti teknologi
budidaya yang telah berkembang di Jepang dan
Taiwan.

4. Skeletonema Costatum
Pakan alami berupa alga jenis
skeletonema costatum merupakan jenis alga yang
mudah untuk dikembangkan dan merupakan jenis
alga yang banyak diproduksi oleh usaha
pembenihan terutama pantai benih udang windu.
Kegiatan pembenihan yang dilakukan dipantai
benih udang masih mengandalkan pakan alami
dari jenis skeletonema costatum sebagai pakan
alami pokok untuk membantu pertumbuhan larva.

5. Artemia salina
Artemia sp merupakan salah satu jenis
pakan alami yang banyak digemari oleh
pembudidaya ikan khususnya yang bergerak pada
usaha pembenihan. Hal ini disebabkan karena
artemia sp bukan hanya tersedia dalam bentuk
telur kering (kiste) sehingga memudahkan dalam
mengultur, akan tetapi memiliki kemampuan
pertumbuhan dengan kelangsungan hidup relatif
tinggi. Selain itu, artemia sp juga memiliki
kandungan protein tertinggi dibanding pakan alami
lainnya yaitu mencapai 40-60%.

2.4 Struktur Organisasi BBIP Kampal Instalasi


Mamboro
Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Kampal
Instalasi Mamboro memiliki personel yang

6
dipimpin oleh seorang kepala balai dalam
menjalankan kegiatannya. BBIP Kampal Instalasi
Mamboro dibagi dalam beberapa tanggung jawab
adapun struktur organisasi BBIP Kampal Instalasi
Mamboro adalah sebagai berikut :

7
Gambar 2 Struktur Organisasi BBIP Kampal
Instalasi Mamboro

STRUKTUR ORGANISASI
BBIP KAMPAL INSTALASI MAMBORO

PIMPINAN BBIP KAMPAL INSTALASI MAMBORO

IRHAM YABI
NIP. 19590909 198303 1 027

MANAJER
PENGENDALIAN
MUTU

ABDUL RASYID S.PI


NIP. 19831110 200801 1 005

AUDITOR INTERNAL

MANAJER KEUANGAN MANAJER PRODUKSI MANAJER


PEMASARAN

NIMROD RINDI KONDOLELE S.PI NUR IMAN


SAHARUDIN LASADI
S.PI

PELAKSANA PELAKSANA

PELAKSANA

8
Struktur organisasi BBIP Kampal
Instalasi Mamboro dalam kegiatannya dipimpin
dan dikoordinasikan oleh pimpinan balai dan
manajer-manajer serta pelaksana kegiatan dengan
uraian tugas sebagai berikut :
A. Pimpinan BBIP Kampal Instalasi Mamboro
Mempunyai tugas melakukan kegiatan
operasional, penyelenggaraan kegiatan
pelayanan, penerapan CPIB menerapkan
teknologi anjuran dibidang budidaya ikan dan
udang :
Uraian tugas pimpinan BBIP Kampal Instalasi
Mamboro meliputi :
1. Menyusun program kerja pada unit pembenihan
2. Melakukan fungsi koordinasi tentang tata laksanaan
produksi
3. Melakukan sistem CPIB secara konsisten, pada unit
pembenihan
4. Pemberian pengarahan serta bimbingan pengarahan
CPIB dapat dilaksanakan oleh semua anggota tim
5. Memastikan bahwa semua kebutuhan masyarakat
dapat terpenuhi
6. Melaksanakan tugas administrasi bidang budidaya
ikan dan udang.

B. Manajer Pengendali Mutu


Merupakan auditor internal yang
bersertifikat dan mempunyai tugas :
1. Bertanggung jawab untuk merencanakan produksi
ikan dan udang sesuai CPIB
2. Bertanggung jawab untuk memastikan penerapan SNI
dan CPIB
3. Konsisten terhadap penerapan CPIB
4. Mendokumentasikan rekaman produksi

C. Manajer Keuangan
Tugas manajer keuangan BBIP Kampal
Instalasi Mamboro :
1. Bertanggung jawab untuk mengelola keuangan pada
BBIP Kampal Instalasi Mamboro

9
2. Mendokumentasikan seluruh rencana dan
pelaksanaan kegiatan produksi pembelian dan
penjualan

D. Manajer Produksi
Tugas manajer produksi BBIP Kampal
Instalasi Mamboro meliputi :
1. Bertanggung jawab untuk memastikan Pemeliharaan
dan Penerapan SNI ikan dan udang CPIB
2. Bertanggung jawab untuk mempromosikan produk
3. Melakukan pencatatan pesanan yang disampaikan
kepada manajer produksi
4. Bertanggung jawab untuk menangani keluhan
pelanggan
5. Mendokumentasikan seluruh kegiatan distribusi ikan
dan udang

E. Pelaksana
Tugas pelaksanaan BBIP Kampal
Instalasi Mamboro sebagai berikut :
1. Bertanggung jawab untuk selalu mematuhi
persyaratan SNI dan CPIB
2. Bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh yang
dilakukan kepada atasan langsung.

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sejarah Udang Windu

Udang windu (penaeus monodon) yang


dikenal dengan sebutan black tiger shrimp adalah
spesies udang laut yang dapat mencapai ukuran
besar. Dialam bebas udang ini dapat mencapai
ukuran 35 cm dan berat sekitar 260 gram,
sedangkan yang dipelihara ditambak, panjang
tubuhnya hanya mencapai 20 cm dan berat 40
gram, spesies ini secara zoogeografik hanya
tersebar dibeberapa kawasan asia pasifik seperti
Taiwan, Indonesia, Filipina, Thailand dan Vietnam
sedangkan perairan dinegara-negara produsen
udang yang lain seperti Jepang, Negara-negara
Amerika Latin dan Cina, hanya dihuni oleh udang
dengan spesies yang berukuran lebih kecil. Udang
windu memiliki kulit tubuh yang keras berwarna
hijau kebiru-biruan yang berloreng-loreng besar.
Adapun klasifikasi dari udang windu (penaeus
monodon) sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus Monodon Fabricus
(ANONIM 2012)

3.2 Morfologi

Dilihat dari luar, tubuh udang terdiri dari


2 bagian, yaitu bagian depan dan bagian
belakang. Bagian depan disebut bagian kepala,
yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan
dada yang menyatu itu dinamakan kepala-dada

11
(cepholothorax) serta bagian perut (abdomen)
terdapat ekor dibagian belakangnya.
Semua bagian badan beserta anggota-
anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala
dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5
ruas dan dadanya 8 ruas. Sedangkan bagian perut
terdiri dari 6 ruas. Tiap ruas badan mempunyai
sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula.
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka
luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari
bahan chitin. Kerangka tersebut mengeras, kecuali
pada sambungan-sambungannya antara dua ruas
tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan
mereka untuk bergerak (Mujiman dan Suyanto, 2005).

Gambar 3. Udang Windu (penaeus


monodon)

Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua


bagian, yaitu bagian kepala dan bagian badan.
Bagian kepala menyatu dengan bagian dada
disebut cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas,
yaitu 5 ruas dibagian kepala dan 8 ruas dibagian
dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6
ruas, tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai
sepasang anggota badan (kaki renang) yang
beruas-ruas pula. Pada ujung ruas keenam
terdapat ekor kipas 4 lembar dan 1 telson yang
berbentuk runcing.
A. Bagian Kepala
Bagian kepala dilindungi oleh cangkang
kepala atau carapace. Bagian depan meruncing
dan melengkung membentuk huruf s yang disebut

12
cucuk kepala atau rostrum. Pada bagian atas
rostrum terdapat 7 gerigi dan bagian bawahnya 3
gerigi untuk P monodon bagian kepala lainnya
adalah :
1. Sepasang mata majemuk (mata facet) bertangkai dan
dapat digerakkan.
2. Mulut terletak pada bagian bawah kepala dengan
rahang (mandibula) yang kuat.
3. Sepasang sungut besar atau antena.
4. Dua pasang sungut kecil atau antennula.
5. Sepasang sirip kepala (scophocerit).
6. Sepasang alat pembantu rahang (maxilliped).
7. Lima pasang kaki jalan (pereopoda), kaki jalan
pertama, kedua dan ketiga bercapit yang dinamakan
chela.
8. Pada bagian dalam terdapat hepatopankreas, jantung
dan insang.

B. Bagian Badan dan Perut


Bagian badan tertutup oleh 6 ruas, yang
satu sama lainnya dihubungkan oleh selaput tipis.
Ada lima pasang kaki renang (pleopoda) yang
melekat pada ruas pertama sampai dengan ruas
kelima, sedangkan pada ruas keenam, kaki renang
mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas
(uropoda). Diantara ekor kipas terdapat ekor yang
merucing pada bagian ujungnya yang disebut
telson. Organ dalam yang bisa diamati adalah
usus (intestine) yang bermuara pada anus yang
terletak pada ujung ruas keenam (Anonim, 2012).

3.3. Wadah

A. Persiapan Bak dan Air Media


Menurut Wardiningsih (1999) dalam
kegiatan pembenihan udang, persiapan bak yang
dimaksud adalah untuk mengeringkan dan
membersihkan bak dari segala bentuk kotoran.

13
Yang dikerjakan sebelum bak digunakan atau diisi
air :
a. Persiapan Bak
Kegiatan persiapan bak berupa
membersihkan bak-bak untuk kegiatan
pembenihan agar bersih dan steril sehingga bak
tersebut terbebas dari penyakit. Setelah bak
dibersihkan, dilakukan pengeringan bak selama 2-
3 hari supaya organisme air yang terdapat dalam
bak mati. Bila proses pengeringan bak ini tidak
dapat dilakukan maka untuk membersihkan
dinding bak dilakukan dengan cara lain, yaitu
dengan cara menggunakan larutan Chlorin 100
ppm (100 ml larutan chlorin 10% dalam 1 m air).
Pada pencucian dengan penggunaan larutan
chlorin, sebelum diisi air maka bak perlu
dinetralisasi dengan chlorin, karena chlor yang
masih menempel pada dinding bak biasa bersifat
racun bagi larva dan juga dapat mematikan
plankton yang akan diberikan sebagai makanan
larva. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Wardiningsih (1999) bahwa sebelum bak
digunakan atau diisi air perlu dilakukan
pengeringan dan pembersihan bak. Cara
menetralisis chlor ini dengan menggunakan larutan
natrium Thio sulfat sebanyak 40 ppm, atau
sebelum diisi air, bak dikeringkan selama 1-2 jam
untuk menghilangkan chlor yang bersifat racun
tersebut.

b. Persiapan Air
Air yang digunakan berasal dari laut,
kemudian air itu disaring dalam bak penyaringan,
dalam bak penyaringan air diberi kaporit 7-10
gram/ton untuk membunuh bakteri-bakteri patogen
dari laut. Kemudian air dalam bak diberi aerasi
untuk menghilangkan kandungan kaporit. Proses
ini dilakukan 2-3 hari, kemudian air disalurkan ke
bak tandon yang siap digunakan untuk proses
pembenihan.

14
3.4. Larva Udang Windu
Menurut Wardiningsih (1999) dan
Mudjiman (2003) secara umum pergantian bentuk
larva mulai dari menetas sampai menjadi Post
Larva (PL) yang siap untuk ditebar kedalam
tambak ada 4 fase atau stadia. Empat fase
tersebut adalah : fase nauplius, fase protozoa atau
disebut pula sebagai fase zoea, fase mysis dan
yang terakhir adalah fase post larva. Bila diamati
lebih teliti, maka pada setiap fase terdiri dari
beberapa sub fase (stadium) yang mempunyai
bentuk berlainan.setiap fase terdiri dari beberapa
sub fase (stadium) yang mempunyai bentuk
berlainan.

Gambar 2. Siklus Udang Windu

a. Fase Nauplius
Fase ini dimulai sejak telur menetas,
dan berlangsung selama 45-50 jam atau 2-3 hari.
Dalam fase ini larva belum memerlukan makanan
dari luar karena masih terdapat persediaan
makanan dalam kantung kemih telur itu sendiri.
Fase nauplius ini mengalami pergantian bentuk
dengan tanda-tanda sebagai berikut :
Nauplius 1 : Badan berbentuk bulat
telur, tetapi sudah mempunyai anggota badan 3
pasang.
Nauplius 2 : Badan masih bulat tetapi
pada ujung antenna pertama terdapat setae
(rambut) yang satu panjang dan yang dua pendek.
Nauplius 3 : Tunas maxilla dan
maxilliped mulai tampak, demikian juga furcal yang

15
jumlahnya 2 buah mulai terlihat jelas, masing-
masing dengan 3 duri (spine).
Nauplius 4 : Pada antenna kedua mulai
tampak beruas-ruas dan pada setiap furcal
terdapat 4 buah duri.
Nauplius 5 : Organ bagian depan sudah
mulai tampak jelas disertai dengan tumbuhnya
tonjolan pada pangkal maxilla.
Nauplius 6 : Perkembangan bulu-bulu
makin sempurna dan pada duri furcal semakin
panjang.

b. Fase Protozoea
Pada fase zoea larva harus diberi pakan
dan aktif mengambil makanan sendiri dari luar
yaitu plankton. Fase zoea hanya berlangsung
selama 3-4 hari. Larva pada fase ini sangat peka
terhadap lingkungan.
Fase zoea terdiri dari 3 tingkatan yang
mempunyai tanda-tanda yang berbeda sesuai
dengan perkembangannya yaitu :
Zoea 1 : Bentuk badan pipih, mata dan
carapace mulai tampak, maxilla pertama dan
kedua mulai berfungsi, alat pencernaan tampak
jelas.
Zoea 2 : Mata mulai bertangkai dan pada
carapace sudah terlihat rostrum dan duri supra
orbital yang bercabang.
Zoea 3 : Sepasang uropoda yang
bercabang dua mulai berkembang dan duri pada
ruas-ruas perut mulai tumbuh.

c. Fase Mysis
Fase mysis berikutnya mirip udang-
udangan, sifatnya yang paling menonjol adalah
gerakan mundur dengan cara membengkokkan
tubuhnya. Pada fase ini berlangsung selama 4-5
hari.

16
Fase mysis pada larva ditandai dengan
tiga kali perubahan dengan tanda-tanda sebagai
berikut :
Mysis 1 : Bentuk badan ramping dan
memanjang seperti udang mudah, tetapi kaki
renang masih belum tampak.
Mysis 2 : Tunas kaki renang mulai tampak
nyata tetapi belum beruas-ruas
Mysis 3 : Tunas kaki renang bertambah
panjang dan beruas-ruas.

d. Fase Post Larva (PL)


Perubahan bentuk pada fase ini yang
paling akhir dan paling sempurna dari seluruh
metamorfosa, tetapi larva ini tidak mengalami
perubahan bentuk karena seluruh bagian tubuh
sudah lengkap dan sempurna seperti udang
windu.

3.4. Pemeliharaan Larva Udang Windu


Wardiningsih (1999), menjelaskan
bahwa stadium larva merupakan stadia yang
lemah pada daur hidup. Oleh karena itu
peranannya sangat penting dalam menentukan
berhasil tidaknya suatu pembenihan udang. Dalam
hal ini penanganannya harus benar-benar
diperhatikan yaitu mulai dari stadium nauplius
sampai stadium post larva. Selain itu juga perlu
dihindari hal-hal yang akan menimbulkan stres
pada larva antara lain adalah : kondisi aerasi,
pemberian pakan dan pengamatan terhadap
perkembangan larva, dan juga pengamatan
kualitas air media. Selama pemeliharaan,
perawatan, pemberian pakan dan penggantian air
merupakan kegiatan rutin yang setiap hari harus
diperhatikan dan ditangani secara seksama.

3.4.1.Kualitas Air
Kualitas air merupakan faktor penting
selama pembenihan berlangsung baik buruknya

17
sangat menentukan hasil yang akan dicapai. Oleh
karena itu kualitas air diusahakan sebaik mungkin
dan selalu dipantau. Persyaratan kualitas air dan
parameternya yang baik untuk pembenihan udang
windu dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini :
No Parameter Standar Ukur
1. Fisika
a. Suhu 26-30 C
b. Salinitas 0-35 permil dan optimal
10-30 permil
c. Kecerahan 25-30 cm

2 Kimia
1. Ph air 7,5-8,5
2. D0 (oksigen terlarut) 4-8 mg/ltr
3. Amoniak (NH3) < 0,1 mg/ltr
4. H2S < 0,1 mg/ltr
5. Nitrat 200 mg/ltr
Sumber : www.Dkp.go.Id (2012 )

3.4.2.Pengaturan Aerasi
Menurut Wardiningsih (1999) kondisi aerasi
harus diperhatikan karena selama pemeliharaan
tidak jarang dijumpai larva yang meletik ke dinding
bak, maka untuk mengatasinya adalah aerasi
harus dinaikkan kekuatannya. Walaupun demikian
aerasi juga harus dijaga pengeluarannya, tidak
boleh terlalu kecil ataupun terlalu besar dan tidak
boleh mati sama sekali karena berakibat buruk
terhadap larva yang dipelihara bahkan dapat
mengakibatkan kematian massal. Kekuatan aerasi
dibuat sekitar 101/menit untuk kedalaman air 50
cm, sedangkan jumlah aerasi yang diperhitungkan
satu buah aerasi permeter persegi. Jadi untuk satu
bak luas 4x4 m diperlukan paling sedikit 16 buah
aerasi. Aerasi harus dipasang dengan posisi yang
dapat tersebar merata didasar bak.

3.4.3.Pakan
Menurut Wardiningsih (1999), pada stadium
nauplius belum diberi makan karena dalam tubuh
masih mempunyai persediaan makanan dalam

18
kantung kuning telur. Tetapi pemberian makanan
seperti skeletonema sp dan tetraselmis sp dalam
bak besar harus sudah dimulai 2 hari sebelum
induk matang telur dipindahkan kedalam bak
peneluran. Hal ini dimaksudkan supaya setelah
nauplius menjadi zoea makanan yang dikultur
sudah siap untuk diberikan kepada larva. Setelah
menjadi zoea larva memerlukan makanan yang
melayang-layang dalam air. Pemberian makanan
berupa skeletonema sp dan tetraselmis sp
bersama massa airnya mempunyai keuntungan
yaitu untuk mengurangi kepadatan penebaran
larva dalam bak. Secara umum makanan yang
diberikan kepada larva udang selama
pemeliharaan ada 2 jenis makanan, yaitu makanan
alami yang berupa fitoplankton dan zooplankton,
dan makanan buatan. Jenis makanan, ukuran
pemberian pakan sesuai dengan stadium
perkembangannya, dapat dilihat pada tabel 2.
STADIA PAKAN DOSIS FREKUENSI
Naupli Makanan dari - -
cadangan isi kantung
Zoea telur 15-20% dari berat 4-6 kali
Plankton nabati tubuhnya sehari
diatomae
(skeletonema,
Mysis navicula amphora,
tetraselmis, dll) 15-20% dari berat 4-6 kali
Post Larva Skeletonema dan tubuhnya sehari
artemia salina
Udang Dewasa Artemia salina 5-10% dari berat 4-6 kali
tubuhnya sehari
Artemia salina
5-10% dari berat 4-6 kali
tubuhnya sehari
Sumber : www.dkp.go.id (2012)

a. Dosis dan Frekuensi Pemberian Pakan Alami


Untuk dosis dan frekuensi pemberian pakan alami dapat
dilihat pada tabel 3.
Frekwensi Dosis
No Stadia Jenis Pakan
(perhari) pakan
1. Zoea I Skeletonema Costatum 6 kali 5 cm
Zoea II Skeletonema Costatum 6 kali 5 cm

19
Zoea III Skeletonema Costatum 6 kali 10 cm
2. Mysis I Skeletonema Costatum 6 kali 15 cm
Mysis II Skeletonema Costatum 6 kali 20 cm
Mysis III Artemia Salina 6 kali 20 cm
3. Post Larva
PL 1 PL 4 Artemia Salina 6 kali 25 gr
PL 5 PL 9 Artemia Salina 6 kali 30 gr

Dan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa semakin


bertambah umur atau stadia semakin bertambah juga dosis pemberian
pakan alami pada udang windu. Hal ini dikarenakan semakin banyak
pula nutrisi yang dibutuhkan dan sumber energi yang cukup, distadia
zoea 1 sampai mysis II diberikan pakan alami. Jenis skeletonema
costatum dan stadia mysis III sampai panen itu diberikan pakan alami
jenis artemia salina. Hal ini karena jenis dan ukuran pakan alami
disesuaikan dengan bukaan mulut udang dan kandungan nutrisi yang
dibutuhkan oleh udang.

b. Pakan Buatan
Pakan buatan diberikan pada stadia zoea sampai dengan
post larva. Pemberian pakan itu harus sesuai dengan bukaan mulut dan
perkembangan larva sehingga pakan buatan perlu disaring sebelum
diberikan. Mengenai jenis pakan yang diberikan, dosis, frekuensi
pemberian pakan buatan masing-masing stadia disajikan pada tabel .4
dan tabel .5

Tabel .4 Campuran Pakan Buatan


No Stadia Campuran Pakan Perbandingan
1. Zoea Frippak -1, GAP, RDN-Ultra Diet No. 0 1:1:1
2. Mysis Frippak No. 2, GAP, RDN-Ultra Diet 1:1:1:1:1:1
No. 1, Lensi, ZM, Harves
3. PL 1-7 Flak, Powder, RDN-Ultra Diet No. 2 2:1:1:1:1:1
Frippak No. 2, Pearls golden, feeds PL
+ 150
4. PL 7-10 Flak, Powder, RDN-Ultra Diet No. 2 2:1:1:1:1:1
Frippak No. 2, Pearls golden, feeds PL
+ 150
Sumber : Data Primer (2012)

Jenis-jenis pakan buatan yang dicampurkan telah


disesuaikan dengan umur udang dan nomor pakan, pakan buatan.

20
Tabel .5 Dosis dan Frekuensi Pemberian Pakan Buatan
Dosis Tiap Kali Frekuensi 6 Kali.hari
No Stadia
Pemberian (95/bak) Waktu
1. Z 1 5 09.00 13.00 17.00 21.00 01.00 05.00
2. Z 2 7 09.00 13.00 17.00 21.00 01.00 05.00
3. Z 3 10 09.00 13.00 17.00 21.00 01.00 05.00
4. Z 4 10 09.00 15.00 18.00 21.00 03.00 06.00
5. Z 5 15 09.00 15.00 18.00 21.00 03.00 06.00
6. Z 6 15 09.00 15.00 18.00 21.00 03.00 06.00
7. Z 7 15 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00
8. Z 8 15 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00
9. Z 9 20 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00
10. Z 10 20 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00
11. Z 11 20 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00
12. Z 12 25 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00
13. Z 13 25 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00
14. Z 14 25 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00
15. Z 15 30 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00
16. Z 16 30 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00
Sumber : Data Primer (2012)

3.4.4. Hama dan Penyakit serta Penanggulangannya


Selama perkembangannya larva sering kali terserang
beberapa jenis jamur, bakteri atau protozoa yang dapat
mengganggu pertumbuhan bahkan dapat mengakibatkan kematian.
www.dkp.go.id (2012)
Menurut Mutidjo (2003), berbagai jenis penyakit yang spesifik
menyerang larva udang windu diuraikan sebagai berikut :
1. Penyakit Virus
Ada 4 jenis penyakit virus yang tidak dikenal menyerang
tingkat larva dan post larva : Baculovirus Panel (BP), Baculo viral
midgut gland neocrosis (BMN), dan Injectious Hemato poletic
neocrosis Virus (IHHN). Di Indonesia baru satu yang dikenal
menyerang udang windu yaitu Baculovirus Panel atau monodon
baculo (BMV), umumnya menyerang post larva (PL), khususnya
diatas post larva 20 (PL 20). Induk udang sebagai sumber dan
pembawa penyakit (Carrier) dengan mudah menularkan virus ke
larva melalui telur karena virus banyak terdapat pada fesesnya.
Oleh karena ini, pengisolasian induk udang windu yang positif

21
terinfeksi dan tempat pemeliharaan larva merupakan salah satu
pengendalian penyakit virus, disamping mengurai faktor cekaman
(stress) dan kepadatan.

2. Penyakit Bakteri Non-Filamen


Meskipun penyakit bacterial sangat umum menyerang larva
udang windu, namun infeksinya bersifat oportunis, dalam arti
bakteri merupakan penyebab timbulnya penyakit salah satu jenis
penyakit bacterial yang akhir-akhir ini sering menimbulkan masalah
pada larva udang windu disebut penyakit bakteri menyala atau
bakteri pasar malam. Penyakit ini diduga disebabkan oleh bakteri
vibrio luminescent serangan bakteri ini sering dikaitkan dengan
adanya perubahan kondisi lingkungan sehingga larva menjadi
stress. Akibatnya, bakteri berkembang dengan cepat dan
mengakibatkan kematian pada larva secara massal. Penggunaan
obat-obatan seperti terramicin, choramphericol, dan furanace telah
dikenal cukup efektif membasmi penyakit bakteri tersebut. Namun,
cara yang lebih baik adalah usaha sanitasi, baik sebelum maupun
pada saat pemeliharaan larva, disamping desinfeksi bak
pemeliharaan serta menghindarkan keluar masuknya pekerja dari
suatu hatchery lain, penggunaan filter, dan sebagainya. Akan tetapi,
penggunaan obat secara rutin dapat berdampak negative, meskipun
antibiotik itu pada awalnya efektif.

3. Penyakit Bakteri Filamen


Terhadap infeksi bakteri filamen, larva udang windu lebih
tahan dibandingkan dengan tingkatan post larva (PL). hal ini
disebabkan oleh proses ganti kulit (moulting) pada larva lebih sering
dan cepat terjadi sehingga bakteri filamen (leuconthrix mucor) tidak
sempat terakumulasi dalam tubuhnya. Dalam keadaan infeksi berat
sering terjadi kematian akibat terjeratnya larva udang oleh benang-
benang bakteri tersebut. Selain itu, bakteri banyak menempel
dibagian insang sehingga mengganggu pernapasan. Selanjutnya,
nafsu makan menurun dan akhirnya mengalami kematian. Usaha
pencegahan yang perlu dilakukan adalah perbaikan kualitas air,
penanganan yang baik, mengurangi kepadatan, dan mengurangi
stress (cekaman). Pengobatan yang dapat dilakukan antara lain
pemberian furanace 1 ppm, formalin 25 ppm, dan KMnO 4 sebanyak
2 ppm.

22
4. Penyakit Jamur
Penyakit Karena jamur merupakan kasus yang sering terjadi
pada larva udang windu. Penyebabnya adalah lagenidium sp.
Jamur ini biasanya menyerang larva pada stadium zoea dan mysis.
Serangan jamur ini bersifat sistematik, yakni dapat menyerang
sampai kedalam tubuh larva udang windu. Penularan jamur ini
terjadi melalui zoospora, yaitu fase infeksi yang berenang bebas di
air. Zoospora juga terdapat pada artemia sehingga makanan alami
larva tersebut juga menjadi sumber infeksi. Serangan lagenadum sp
dapat memusnahkan populasi larva udang windu dalam waktu 2-3
hari. Larva yang terinfeksi sulit diobati sehingga hanya dapat
diusahakan melalui pencegahan penyebaran fase infeksi parasit
dengan cara pencucian bak pemeliharaan dengan klorin atau
malachite green. Tindakan yang sebaiknya dilakukan adalah
memandikan induk udang dalam larutan Malachite Green 5 ppm
selama 2 menit sebanyak 2-36 kali berturut-turut, atau
menggunakan Treflan 0,01 ppm pada saat penggantian air dari
desinfeksi bak pemeliharaan larva.

5. Penyakit Protozoa
Penyakit protozoa pada larva udang windu pada umumnya
disebabkan oleh golongan ciliate (Epicommonsel Peneitrichous
cilintes). Terutama dari jenis spesies zoothamnium, Epystylis dan
vorticella. Serangan penyakit protozoa ini biasanya terjadi bersama-
sama dengan serangan organisme patogen lainnya, misalnya
bakteri filamen. Pada infeksi yang berat, terlihat seluruh permukaan
tubuh larva ditempeli oleh parasit. Akibatnya, larva penderita tampak
dilakukan di hatchery. Namun salah satu pencegahan yang efektif
adalah penggunaan formalin dengan dosis 15 ppm 25 ppm untuk
larva dan 100 ppm 250 ppm untuk desinfeksi bak pemeliharaan.

3.5. Panen dan Pasca Panen


a. Panen
Menurut Wardiningsih (1999) panen merupakan salah satu
tahap akhir dari pemeliharaan, dimana pemanenan dilakukan pada
saat udang memasuki PL 9. Waktu panen dilakukan pada pagi
atau malam hari cara pemanenan ini cukup mudah yaitu pipa outlet
bak dicabut dan disisipkan jaring yang luasnya sama dengan kotak
penangkapan, setelah itu PL diseser dengan menggunakan
saringan halus dan masukkan ke bak penampungan kemudian

23
dikasih artemia, benur yang telah terkumpul dihitung jumlahnya.
Hasil panen yang diperoleh selama satu siklus berkisar
1.800.000 ekor benur per bak atau tingkat kelangsungan hidup
(SR) 41%.
b. Pasca Panen
Menurut Wardiningsih (1999) sebelum benih dimasukkan ke
plastik untuk pengepakan terlebih dahulu diseser agar menyatu
dan siap ditakar dengan menggunakan sendok takar. Untuk plastik
ukuran 40x20 cm dengan volume air 2-3 liter air dibutuhkan 1
sendok takaran dan rata-rata jumlah perkantong adalah 5000-
7000 ekor. Air sebelum dimasukkan kedalam kantong terlebih
dahulu diturunkan suhunya sampai 22C dengan es batu yang
bertujuan menurunkan tingkat metabolisme udang. Perbandingan
air dengan oksigen adalah 1:2. Setelah benur udang windu di
packing selanjutnya kantong-kantong plastik yang berisikan benur
udang windu dimasukkan dan ditata ke dalam Styrofoam yang
berisikan es, untuk mempertahankan suhu 22C selama
diperjalanan dan terakhir Styrofoam ditutup rapat kemudian
dibungkus dengan plastik.

24
BAB IV
METODOLOGI

4.1 Waktu dan Tempat Praktek


Praktek Lapangan ini dilaksanakan di BBIP KAMPAL
INSTALASI MAMBORO, milik dinas perikanan dan kelautan Provinsi
Sulawesi Tengah, di Kelurahan Mamboro Kecamatan Palu Utara
Sulawesi Tengah berlangsung pada tanggal 21 April sampai dengan 21
Juni 2014.

4.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam usaha pembenihan dapat dilihat
pada table b6 berikut :

Table 6. alat yang digunakan dalam kegiatan Pembenihan udang windu


No Alat Kegunaan
1. Bak penampungan air asin Untuk menampung air asin
2. Bak pemeliharaan larva Untuk pemeliharaan larva
3. Bak plankton Untuk kultur alga
4. Blower Untuk suplay oksigen dalam bak
5. Wadah pakan Tempat pakan
6. Kelambu panen Untuk memanen benur
7. Tabung oksigen Untuk suplay oksigen saat pengepakan
8. Timbangan Menimbang pakan, pupuk dan obat-
obatan
9. Thermometer Untuk mengukur suhu air
10. Refraktometer Untuk mengukur salinitas air
11. Ember plastik Wadah penampung pakan sebelum
diberikan
12. Gayung Untuk menebarkan pakan
13. Beker glass Untuk mengontrol larva
14. Tenda Menutup bak larva
15. Pipet hisap Untuk mengambil makanan dalam
bentuk air
16. Generator Aliran listrik
Sumber : (BBIP Kampal Instalasi Mamboro 2014)

Bahan yang digunakan dalam kegiatan pembenihan udang


windu terjadi pada tabel 7.

25
Tabel 7. Bahan yang digunakan dalam kegiatan Pembenihan Udang
Windu
No Alat Kegunaan
1. Nauplius Sebagai komoditas pemeliharaan
2. Lanzy ZM Pakan buatan fase mysis
3. Lanzy MPL Pakan buatan fase post larva
4. Fripak PL 150 Pakan buatan fase post larva
5. Fripak PL 300 Pakan buatan fase post larva
6. Flake Tzu Feng 2 warna (FL-A) Pakan buatan zoea
7. Flake Tzu Feng 1 warna (FL-B) Pakan buatan fase mysis dan post larva
8. Japanikus (JP-0) Pakan buatan fase zoea dan mysis
9. Japanikus (JP 1-2) Pakan buatan fase post larva
10. Skeletonema Pakan alami fase zoea dan mysis
11. Artemia Pakan alami fase post larva
12. Elbazen Sebagai Vitamin
13. Vit C -100 Sebagai Vitamin
14. Praize Untuk membantu moulting
15. Treflan Untuk mencegah jamur
16. Kaporit Untuk sterilisasi bak pemeliharaan
17. EDTA Mengikat logam berat
18. Solar dan Bensin Sebagai bahan bakar
19. Plastik dan karet gelang Sebagai keperluan pengepakan
Sumber : (BBIP Kampal Instalasi Mamboro 2014)

4.3 Bidang Pekerjaan Kompetensi Keahlian


4.3.1 Wadah
Rumus volume bak = PxLxT
=4Mx3Mx1M
= 12 M
= 12 Ton

26
Gambar 3. Bak Pemeliharaan Udang Windu

Sebelum melakukan proses Pembenihan, terlebih dahulu


segala sarana pembenihan yang akan digunakan harus dipersiapkan
salah satunya :
a. Pembersihan Bak
Langkah awal yang harus dilakukan sebelum memulai suatu
produksi adalah membersihkan atau mencuci semua bak yang telah
digunakan pada produksi sebelumnya, adapun bak-bak yang harus
dipersiapkan dan dibersihkan terlebih dahulu adalah sebagai
berikut :
- Bak tandon air laut
- Bak pemeliharaan
- Bak penampung induk

Gambar 4. Pembersihan Bak


b. Penyedota Air Laut
Penyedotan atau pemompaan air laut dilakukan pada saat air
laut pasang. Pompa penyedotan air laut di CV. Windu Amal Mandiri
dengan menggunakan sumber tenaga mesin diesel, serta pipa
paralon yang berdiameter 3 inch sepanjang 600 m, dan pada ujung
pipa paralon tersebut diberi kurungan kotak yang terbuat dari papan
serta dilapisi saringan halus, guna untuk menyaring kotoran secara
langsung dari laut. Hasil dari proses penyedotan air laut tersebut
ditampung pada bak tandon air laut dan diaerasi 12 jam.

27
c. Proses Filterisasi Air Laut
Air laut yang telah ditampung ke bak tandon selama 24 jam,
kemudian di pompa ke bak filter guna air laut tersebut bebas dari
bibit ikan dan jasad renik yang masih ada didalam air laut yang
ditampung di bak tandon.
Di CV. Windu Amal Mandiri dilakukan 2x proses filterisasi.
Pada setiap bak filter terdapat 4 buah sekat untuk proses
penyaringan air laut, bahan yang digunakan pada setiap sekatnya
untuk penyaringan air laut dari tandon adalah :
- Papan
Papan terletak pada bagian paling bawah, berfungsi sebagai
penyangga bahan-bahan filterisasi yang lain. Papan ini memiliki
ketebalan 6 cm dan diberi lubang-lubang kecil sebagai tempat
keluar masuknya air pada saat proses filterisasi.
- Saringan halus
Saringan halus ini digunakan sebagai pemisah antara bahan
filterisasi yang satu dengan yang lainnya.
- Pasir (sand filter)
Pasir adalah lapisan teratas yang digunakan untuk bahan
dari proses filterisasi. Ketebalan dari pasir ini adalah 12 cm.
- Arang
Arang berfungsi untuk mengikat kandungan logam berat
dalam air, pada proses filterisasi arang diletakkan dibawah pasir
setelah dipisahkan oleh saringan halus. Ketebalan dari arang ini
adalah 12 cm.

Hasil akhir dari proses filterisasi tersebut ditampung pada


suatu bak yang dinamakan dengan bak treatmen.

d. Proses Treatmen
Sebelum digunakan untuk beroperasi, media air laut hasil dari
proses filterisasi perlu ditreatmen atau dinetralkan terlebih dahulu. Di
hatchery mamboro terdapat 2 bak yang khusus digunakan ke media
bak larva. Proses treatmen menggunakan kaporit 15-30 ppm. Tujuan
dari pemberian kaporit ini adalah untuk membunuh kuman atau
mikro organisme yang berbahaya serta untuk menjernihkan air laut.
Jumlah pemberian kaporit ini adalah 500 gram per 33,7 ton air laut.
Setelah pemberian kaporit tersebut, air diaerasikan selama 24 jam

28
kemudian di netralkan menggunakan thio sulfat 1/5 dari jumlah
kaporit yang diberikan, lalu air laut tersebut di tes dengan chlorine
tes, untuk mengetahui apakah air tersebut sudah benar-benar netral
dari kaporit. Cara untuk menggunakan chlorine tes ini adalah
dengan cara pengambilan sampel air yang akan di tes sebanyak 10-
15 ml, lalu teteskan chlorine tes sebanyak 1-2 tetes, apabila air
sampel tersebut bening maka air tersebut siap dipakai, namun
apabila air tersebut berwarna kuning kemerah-merahan maka air
harus ditambahkan thiosulfat lagi secukupnya sampai air tersebut
netral. Satu jam kemudian dari proses tersebut air diendapkan
dengan EDTA 10 ppm dengan tujuan untuk mengikat logam berat.
Setelah proses tersebut air laut siap ditampung pada bak larva atau
bak induk.

4.3.2 Larva Udang Windu


a. Penebaran Nauplius
Setelah persiapan bak selesai, maka penebaran nauplius
sudah dapat dilakukan. Nauplius diperoleh dengan membeli
langsung dari unit pembenihan (hatchery) di Makassar, padat
penebaran nauplius dengan kapasitas air 10 ton. Untuk
menghindari kematian nauplius pada saat penebaran, maka perlu
dilakukan aklimatisasi terhadap lingkungan yang baru. Sebab
kondisi air pada saat pengambilan nauplius dengan air dalam bak
tidak sama baik suhu, kadar garam maupun kualitas airnya. Lama
aklimatisasi diusahakan 15-20 menit. Cara aklimatisasi nauplius
adalah sebagai berikut :
- Memasukan air bak sedikit demi sedikit kedalam ember yang
berisi nauplius selama 30 menit.
- Apabila kadar garam air dalam bak telah sama dengan kadar
garam dalam ember. Kemudian nauplius dikeluarkan secara
perlahan-lahan.

29
Gambar 5. Penebaran Nauplius

4.4 Pemeliharaan Larva Udang Windu


4.4.1 Persiapan Bak Larva
Persiapan wadah pemeliharaan merupakan salah satu
kegiatan yang sangat penting dalam usaha pembenihan udang
windu. Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pembenihan di
keringkan terlebih dahulu selama beberapa hari baru kemudian
dibersihkan untuk membuang kotoran serta lumut yang menempel
pada bak, serta dilakukan juga sterilisasi untuk membuang
kandungan asam yang terlalu tinggi karena bak yang telah lama
tidak beroperasi. Kegiatan sterilisasi dilakukan dengan
menggunakan kaporit dengan dosis 500-100 ppm, yang telah di
larutkan ke dalam 15 liter air lalu disiramkan secara merata ke
dinding-dinding atau dasar bak. Untuk menghilangkan kotoran serta
lumut yang menempel pada dinding bak dilakukan dengan cara
menggosok dinding bak dengan menggunakan sikat, setelah itu
disiram dengan air tawar dan kemudian bak dikeringkan selama 2-
3 hari.
Setelah dibersihkan dan dilakukan sterilisasi, selanjutnya
dipasang peralatan pendukung seperti heater, jaringan aerasi (pipa,
selang dan batu aerasi), dan terpal untuk menutup bagian atas bak
pemeliharaan nauplius, pengisian air dilakukan setelah bak telah
bersih dan semua peralatan pendukung terpasang, pengisian air
dilakukan sampai ketinggian mencapai 70-80 cm, yang sebelumnya
air laut tersebut telah disaring terlebih dahulu dengan menggunakan
kain satin (filter back) yang diikatkan pada ujung pipa pemasukan air.

Gambar 6. Persiapan Bak Larva

30
4.4.2 Pengolahan Kualitas Air
Pemantauan kualitas air seperti suhu dan salinitas
dilakukan tiap pagi (jam 08.00) dan sore hari (jam 16.00).
pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer
yang diletakkan dalam air pada bak, sedangkan pengukuran
salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer yang harus
dikalibrasi atau dibersihkan dengan aquades sampai menunjukkan
angka 0 ppt. pengukuran dilakukan dengan menetaskan 1-2 tetes air
bak yang akan diukur, kemudian tutup kembali dengan penutupnya
dan terakhir refraktometer dihadapkan kearah datangnya cahaya
untuk dapat melihat hasilnya (angka salinitas ditunjukkan oleh garis
pembatas warna biru).
Pada awal tebar suhu pada air pemeliharaan adalah 29-
31C, setelah benih udang mencapai stadia zoea suhu air dinaikkan
yaitu 30-33C. Karena suhu <29C nafsu makan menjadi menurun
atau proses metabolisme rendah. Untuk mempertahankan suhu
pada air media digunakan heater 100 watt dan bak ditutup dengan
menggunakan terpal untuk menjaga suhu agar tetap stabil dan untuk
mencegah masuknya air hujan yang asam, serta menjaga
fitoplankton agar tidak blooming. Penutup/terpal dibuka setengahnya
pada pagi hari jam 07.00-10.00 agar sinar matahari dapat masuk.
Untuk menjaga salinitas agar tetap stabil pergantian air harus
dilakukan secara teratur dan kondisi salinitas tetap dipertahankan
pada kisaran 25-29 ppt. penyiponan dilakukan apabila pada dasar
bak banyak terdapat kotoran yang biasanya disebabkan oleh
endapan sisa pakan. Penyiponan dilakukan dengan menggunakan
selang dan dilakukan secara perlahan-lahan agar kotoran tidak
teraduk ke atas.

Berikut adalah tabel hasil pengukuran suhu, salinitas dan ph di Hatchery


BBIP Kampal Instalasi Mamboro.

Tabel 8. Hasil Pengukuran Kualitas Air


Pagi (08.00) Sore (16.00)
Tempat (bak)
PH Salinitas Suhu PH Salinitas Suhu
Air laut 8,1 27 - 7,80 27 -
Bak tandon 8,2 27 - 7,92 27 -
Bak tower 7,92 28 - 7,98 29 -
Bak treatmen 8,05 28 28-30C 8,01 29 28-30C
Bak zoea 7,87 28 29-31C 7,97 29 29-31C

31
Bak mysis 7,91 29 30-33C 8,0 28 30-33C
Post larva 8,01 30 29-31C 7,05 29 29-31C

4.4.3 Pemberian Pakan


Setiap tekhnisi memiliki cara yang berbeda-beda dalam
mengatur waktu pemberian pakan larva udang windu. Berikut adalah
jadwal pemberian pakan yang dilakukan di hatchery mamboro.

Gambar 7. Pemberian Pakan

Tabel 9. Jadwal Pemberian Pakan


Pakan Buatan Pakan Alami Obat-Obatan (antibiotik)
06.00 09.00 09.00
12.00 15.00 -
18.00 20.00 -
22.00 24.00 -
02.00 - -

Pada stadia awal larva udang windu yaitu stadia nauplius,


tidak diberi pakan karena pada stadia ini larva masih memiliki kuning
telur yang melekat pada tubuhnya sebagai pakan. Pada saat stadia
zoea, mysis, dan post larva, larva diberi pakan tambahan yaitu pakan
alami dan pakan bantuan. Berikut disajikan dalam bentuk tabel, jenis,
dosis pemberian pakan larva udang windu di hatchery mamboro.

Tabel 10. Komposisi Pakan Alami dan Buatan


Jenis Pakan
Stadia Dosis Dosis
Pakan Buatan Pakan Alami
Konsentrasi Konsentrasi
Nauplius - - - -
Zoea 1 - Frippak # 1 car ppm Skeletonema kantong

32
- Seastar Costatum
Zoea 2 Spirulina 1 ppm Skeletonema 1 kantong
- Rotemia Costatum
Zoea 3 1 ppm Skeletonema 1 kantong
- P. Japonicus Costatum
Mysis 1-3 No.0 1-2 ppm Skeletonema kantong
- Micromac 30 Costatum
- Rotemia
- P. Japonicus
Pl 1- PL Jual No.0 1-2 ppm artemia 1 liter
- Micromac 30
- CD 2
- Frippak PL
- Micromac 70
- Rotofier
- P. Japonicus

Pada masa stadia zoea-mysis Pemberian pakan alami


berupa (skeletonema costatum) dan pada stadia post larva pemberian
pakan alami diganti dengan artemia. Pemberian pakan alami dan
buatan ini dilakukan dengan cara penebaran secara merata kedalam
bak larva agar tidak terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan. Syarat
dan mutlak untuk terpenuhnya pakan yang baik adalah penebaran
secara merata, dalam arti dapat diusahakan agar satu individu udang
memperoleh bagian pakan yang sama dengan individu lainnya,
sehingga diharapkan dengan pemberian pakan merata pertumbuhannya
akan seragam.
4.4.4 Pengendalian Hama dan Penyakit
Pencegahan penyakit juga dilakukan pada larva udang
windu dengan cara memberikan obat-obatan, pemberian anti biotik
ini bertujuan untuk membunuh virus/bakteri yang ada pada bak
pemeliharaan larva. Untuk lebih jelasnya pemberian obat-obatan di
hatchery mamboro berikut disajikan dalam bentuk tabel.

Tabel 11. Jenis dan Dosis Pemberian Obat-Obatan


Stadia Antibiotik Konsentrasi
Nauplius 6 Elbazine 1 ppm
Zoea 1 OTC 2 ppm
Mysis 1 OTC 2 ppm
Mysis 3 Erytromycne 1 ppm
PL 3 Erytromycne, Treflan 1 ppm

33
Untuk jadwal pemberian obat-obatan ini tidak ditentukan
secara pasti, karena melihat kondisi dari larva udang windu tersebut.
Apabila kondisi larva udang windu baik, maka tidak perlu diberikan obat-
obatan.

4.5 Panen dan Pasca Panen


A. Panen Larva
a. Prosedur Kerja
- Persiapan alat dan bahan meliputi : Kelambu Panen (kain
satin), seser, batu, selang pengikat dan selang besar
- Pemasangan kelambu
- Menurunkan air dengan menggunakan selang
- Mengeluarkan air melalui pembuangan pipa yang mengarah
ke kelambu panen, lalu benur akan terkumpul di kelambu
panen
- Kemudian benur diambil menggunakan seser lalu
dipindahkan ke wadah penampungan yaitu fiber 1 ton
- Sisa benur yang bersama kotorannya harus disipon.

B. Pasca Panen
b. Prosedur Kerja
- Melakukan penyamplingan dengan menggunakan sendok
takaran untuk mengetahui jumlah benur yang akan
dimasukkan dalam 1 kantong plastik
- Menyiapkan kantong plastik dan diisi air sebanyak 2 liter
- Benur yang sudah ditakar dimasukkan kedalam kantong
yang diberi oksigen. Untuk jarak pengiriman yang jauh ( 5-
6 jam) membutuhkan air dan oksigen yaitu 1:2
- Kemudian kantong plastik diikat dengan menggunakan karet
- Kemudian benur yang sudah dikantongi dikemas kedalam
styrofoam lalu dibungkus menggunakan lakban.

4.6 Analisis Usaha


Analisis usaha dalam bidang perikanan merupakan upaya
untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan yang telah dicapai
selama usaha perikanan itu berlangsung. Ada beberapa macam bentuk
penyajian analisis usaha yang bisa dipakai untuk menguji keuntungan
analisis usaha antara lain analisis pendapatan usaha dan analisis
imbangan penerimaan dan biaya ( Soeharto 1999).

34
Analisis Laba Rugi
Laporan laba rugi dapat dilihat besarnya keuntungan dan
kerugian yang dialami oleh perusahaan pada kurun waktu pertahun,
perkuatal atau waktu lainnya (Soeharto 1999).
Rumus analisa laba rugi adalah :
Analisa rugi/laba = total penjualan total biaya

Analisa Rasio Hasil dan Harga (benefit cost ratio)


Analisa ini diambil untuk mengetahui perbandingan hasil
yang diperoleh terhadap suatu jumlah biaya yang dikeluarkan. Suatu
usaha dikatakan menguntungkan jika benefit cost ratio lebih dari
satu. Semakin besar nilai benefit cost ratio, berarti usaha tersebut
menguntungkan (Umar, 2003).
B/C ratio = Total Penjualan
Total Biaya

Analisa Break Event Point (BEP)


Menurut Soeharto (1999), titik impas menunjukkan bahwa
tingkat produksi telah menghasilkan pendapatan yang sama
besarnya (biaya produksi) yang dikeluarkan :
Rumus yang digunakan sebagai berikut :
a. BEP Unit = Biaya Tetap
Biaya Harga Jual Biaya Variabel

b. BEP RP = Biaya Tetap


1-(Biaya Variabel/Total penerimaan)

Revenue Cost (R/C)


Menurut Soekartawi (1986), pendapatan usaha yang
diperhitungkan untuk mengetahui untung atau tidak suatu usaha
tersebut dapat diketahui dengan perhitungan R/C sebagai berikut :
R/C Ratio = Revenue
Cost

Keterangan :
R/C > 1 = Menguntungkan
R/C < 1 = Tidak Menguntungkan
R/C = 1 = Break Even (Impas)

35
BAB 5
PENUTUP

- Kesimpulan
Dari hasil Praktek Kerja Lapangan di hatchery Mamboro dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Persiapan bak larva yang dilakukan di hatchery menggunakan
beberapa tahapan yaitu pembersihan bak, penggosokan dan
pengeringan bak. Bak pemeliharaan larva sudah dipersiapkan
sebaik mungkin sehingga mampu memenuhi kebutuhan bagi
kehidupan naupli udang windu.
2. Pengelolaan pakan cukup bagus dengan pemilihan pakan alami
dan pakan buatan sebagai makanan larva udang windu. Pakan
alami yang digunakan berupa skeletonema costatum dan
artemia sedangkan pakan buatan menggunakan flake, fripak,
mpl, dan lain-lain. Pemberian pakannya sudah sesuai dengan
dosis, waktu dan frekuensi yang tepat sehingga tidak
mempengaruhi kualitas air media pemeliharaan larva.
3. Pemindahan larva dilakukan apabila larva sudah memasuki
stadia PL 3 dan dipindahkan ke bak pemeliharaan larva yang
baru. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan air media yang
bersih dan bebas dari kotoran
4. Pengendalian penyakit pada larva udang windu menggunakan
treflan 0,5 ppm.

- Saran
1. Dalam proses pencucian bak seharusnya menggunakan chlorine
atau detergen agar lebih steril dan terjamin kebersihannya.
2. Alat pengecekan parameter kualitas air harus dilengkapi agar
dapat mengontrol parameter air lainnya seperti PH dan salinitas
3. Hendaknya dilakukan tingkat kelangsungan hidup larva udang
windu didalam bak.

36
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Biologi udang windu dan morfologi (penaeus monodon)
DKP. 2012. Teknik budidaya air payau, http;//www.dkp.go.id
Darmono dan Sutaman, 1993. Petunjuk Praktis pembenihan Udang
Windu (Peneaus monodon) skala rumah tangga, Penerbit
kanisius, Yogyakarta
Soeharto. I. 1999. Manajemen proyek dari konseptual sampai
operasional. Erlangga Jakarta halaman 394-436
Soekartawi, dkk 1986. Ilmu usaha tani dan penelitian untuk
Pengembangan Petani Kecil Penerbit universitas
Indonesia. Jakarta
Wardiningsih. 1999. Materi pokok teknik pembenihan udang windu.
Universitas terbuka. Jakarta
Mujiman Ahmad dan Suyanto rachmatun S.Dra 2005, budidaya udang
windu. PT. Penebar Swadaya. Jakarta

37
Lampiran 01. Pakan dan Obat-Obatan

38
Lampiran 02. Alat ukur parameter kualitas air :
- Do meter (oksigen terlarut)
- Ph meter (Ph air)
- Refrakto meter (salinitas)

39
Lampiran 03. Proses Penakaran Obat-Obatan

40
Lampiran 04. Bak Skeletonema Costatum

41
Lampiran 05. Bak Artemia Salina

42

Anda mungkin juga menyukai