Anda di halaman 1dari 7

TOPIK 1

PENGANTAR TEKNOLOGI PENGALENGAN PANGAN

TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mempelajari materi ini maka mahasiswa mampu:
(1) Menjelaskan sejarah perkembangan teknologi pengalengan pangan
(2) Menjelaskan pengertian pengalengan pangan dan membedakannya dengan proses
pemasakan biasa.
(3) Menjelaskan pentingnya proses termal secara benar dari aspek keamanan pangan.
(4) Menjelaskan pentingnya melakukan proses termal secara benar dari aspek persyaratan
perdagangan.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENGALENGAN MAKANAN


Teknologi pengalengan pangan pertama kali ditemukan oleh seorang berkebangsaan
Perancis bernama Nicolas Appert pada tahun 1804. Hal ini bermula ketika Kaisar Perancis saat
itu yaitu Napoleon Bonaparte sedang memikirkan cara untuk menyediakan makanan yang
memiliki kandungan nutrisi cukup bagi pasukan perangnya. Pada masa tersebut, Perancis
sedang menghadapi perang dan terjadi masalah kelaparan dan kekurangan gizi pasukan perang.
Masalah asupan makanan para pasukan tersebut disebabkan karena kerusakan pada sejumlah
makanan segar selama dalam perjalanan logistik ke medan tempur. Akhirnya, Kaisar Napoleon
membuat sayembara terbuka untuk menemukan metode yang praktis dalam menyediakan
makanan yang segar dan sehat bagi para personil militer Perancis.
Nicolas Appert melakukan upaya percobaan pengalengan makanan dengan cara mema-
sukkan makanan dalam botol tertutup selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih. Appert
mengira bahwa mengeluarkan udara dari suatu wadah melalui pendidihan dapat mencegah
pembusukan makanan. Aplikasi proses termal pada makanan tersebut ternyata dapat mence-
gah kerusakan makanan. Selanjutnya pada tahun 1806 prinsip pengawetan Appert dicobakan
untuk mengawetkan berbagai produk pangan (daging, sayuran, buah, dan susu) untuk angkatan
laut Perancis dan teknologi tersebut berhasil diterapkan untuk keperluan perang. Karena
penemuan tersebut, Appert menerima penghargaan dari Kaisar Napoleon sebesar 12000 Franc
dan sebagai bentuk penghargaan atas temuan Appert di kala itu, dan proses pengalengan yang
Appert temukan dikenal sebagai Appertization.
Terdapat empat hal utama yang menjadi kunci proses Appert atau Appertization, yaitu: (1)
pengemasan dalam kontainer gelas secara hermetis, (2) pemasakan dalam air mendidih untuk
membunuh bakteri, (3) tanpa penambahan pengawet, serta (4) memiliki umur simpan yang
panjang tanpa disimpan dingin. Berdasarkan apa yang telah Appert temukan berupa metode
pengawetan makanan, teknologi pengalengan terus berkembang.
Pada tahun 1810 seorang pria berkebangsaan Inggris berhasil melakukan hal yang sama
berdasarkan prinsip proses Appert dengan menggunakan kemasan yang berbeda. Apabila
Appert menggunakan gelas kaca, Peter Durand melakukan metode pengawetan dengan cara
memasukkan makanan dalam kemasan kaleng yang terbuat dari besi berlapis timah dan disegel
hingga kedap udara (lihat Gambar 1). Oleh karena temuannya itu, Peter Durand memperoleh
paten tentang proses pengalengan. Kaleng yang digunakan oleh Durand tersebut dibuka

ITP337 Teknologi Pengalengan Pangan


dengan cara yang cukup sulit yaitu memotong melingkar bagian atas kaleng dengan pahat dan
palu.

Gambar 1. Kaleng pertama yang digunakan untu proses


pengalengan (digunakan untuk pelayaran Parry
di Laut Arktik tahun 1824)

Pabrik pengalengan pangan pertama berdiri di Inggris pada tahun 1813. Pada awal
perkembangan teknologi pengalengan pangan, air mendidih digunakan sebagai medium untuk
memanaskan makanan dalam kaleng. Lamanya waktu makanan kaleng di dalam air mendidih
yang dibutuhkan untuk mencegah kebusukan makanan kaleng tergantung pada jenis bahan
pangan dan pengalaman produsen tentang kebusukan makanan kaleng sebelumnya. Perma-
salahan utama dalam industri pengalengan di kala itu ialah kebusukan makanan kaleng serta
peningkatan waktu pemanasan yang tidak menentu. Akibat belum adanya metode atau standar
baku dalam proses pengalengan tersebut, tingkat keberhasilan dari proses pengalengan pangan
menjadi tidak menentu. Sementara proses pengalengan yang dilakukan secara manual saat itu
hanya mampu menghasilkan 4 kaleng/hari/pekerja. Bandingkan jumlah tersebut apabila saat ini
pabrik pengalengan mampu menghasilkan 400 kaleng per menit.
Sejak penemuan Appert dan Durand, makanan kaleng menjadi populer di kalangan
penjelajah karena daya simpannya. Bahkan pada tahun 1814 makanan kaleng dikirim ke berba-
gai koloni Inggris. Dan pada abad ke-19 yaitu tahun 1856, masakan sejenis sup mulai dikaleng-
kan. Selanjutnya, perbaikan proses pengalengan dilakukan pada tahun 1874 oleh produsen
pengalengan pangan dari Maryland (A.K. Shiver), yaitu dengan ditemukannya ketel tertutup,
atau sistem retort yang pertama, yang menggunakan uap di bawah tekanan untuk mengolah
pangan pada suhu tinggi. Selama 50 tahun sejak penemuan teknologi pengalengan oleh Appert,
belum ada yang mampu menjelaskan mengenai mekanisme pengawetan yang menyebabkan
pangan dalam kaleng dapat menjadi awet dalam jangka waktu lama.
Penjelasan mengenai mekanisme pengawetan makanan kaleng ini baru diketahui setelah
Louis Pasteur (seorang ahli mikrobiologi) menemukan bahwa mikroorganisme adalah yang
bertanggung jawab terhadap kebusukan pangan. Proses pemanasan dapat membunuh atau
memusnahkan mikroba pembusuk sehingga produk menjadi awet selama tidak terjadi rekonta-
minasi. Penelitian yang dilakukan di Massachusets Institute of Technology sejak tahun 1895
menunjukkan bahwa kebusukan makanan kaleng disebabkan oleh kurangnya pemanasan untuk
membunuh mikroorganisme. Setelah penemuan oleh Louis Pasteur, perhatian dalam industri
pengalengan mulai tertuju pada aspek mikrobiologi dan mekanisme pembusukan makanan

ITP337 Teknologi Pengalengan Pangan


kaleng. Karena penemuan Nicolas Appert tersebut, saat ini terdapat berbagai jenis dan varian
makanan yang dikalengkan.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENGALENGAN SAAT INI


Teknologi pengalengan pangan terus berkembang dan menjadi salah satu teknologi peng-
awetan makanan untuk memperpanjang masa simpan produk pangan hingga beberapa bulan
sampai hitungan tahun. Teknologi pengalengan telah diterapkan untuk pengawetan aneka
ragam produk pangan, seperti daging olahan, buah-buahan, sayuran, susu, dsb. Aplikasi tekno-
logi pengalengan kini tidak hanya diterapkan sebagai sistem batch, melainkan juga sistem
kontinu. Teknologi proses pengalengan ini tidak hanya digunakan utuk mengawetan makanan
dalam kaleng saja, melainkan untuk produk yang dikemas dalam gelas, tetra pack, retort pouch,
dan lain-lain (lihat Tabel 1). Peralatan yang digunakan dalam proses pengalenganan pun juga
berkembang, mulai dari peralatan yang sederhana berupa tanki air panas, hingga saat ini
peralatan tersebut berkembang dan modern, seperti autoclave, still retort (horizontal/vertical
retort), continuous agitating retort, dan hydrostatic cooker. Saat ini, lebih dari 200 miliar produk
makanan kaleng dipasarkan setiap tahunnya di seluruh dunia.

Tabel 1. Perkembangan teknologi pengalengan


Aspek Jenis
Kemasan Kaleng, gelas, tetra pack, retort pouch
Teknologi Sistem batch (still retort) dan sistem kontinu
(aseptic dan UHT)
Proses Sterilisasi, pasteurisasi, hot-filling

Selain perkembangan dari segi kemasan, teknologi, dan proses, terdapat teknologi alter-
natif yang dapat dikembangkan untuk pengalengan antara lain: Pemanasan gelombang mikro
(microwave), pemanasan Ohmic, dan High Pressure Processing. Karena memiliki umur simpan
yang relatif lama, produk makanan kaleng memiliki jangkauan distribusi yang luas, bahkan
digunakan sebagai pangan dalam kondisi darurat seperti bencana.
Dalam perkembangan selanjutnya, bukan hanya aspek keamanan dan umur simpan
produk makanan kaleng yang penting. Perhatian industri pangan juga ditujukan untuk mengha-
silkan produk pangan yang bermutu dengan meminimalkan pengaruh panas terhadap keru-
sakan produk. Untuk itu berkembang pula teknologi yang dapat mengurangi jumlah panas yang
diterima oleh produk tetapi mampu menghasilkan produk yang aman dan memiliki umur
simpan yang diinginkan, di antaranya adalah teknologi High Temperature Short Time (HTST)
dan Ultra High Temperature (UHT). Teknologi HTST/UHT menerapkan proses dan pengemasan
secara kontinu atau dikenal dengan istilah teknologi proses dan pengemasan secara aseptik,
dimana produk yang belum dikemas mengalami proses pemanasan pada suhu tinggi dalam
waktu singkat (hanya beberapa detik). Setelah itu, produk dikemas dalam kemasan steril pada
ruang yang aseptik. Di samping itu berkembang teknologi lain sebagai alternatif teknologi
pengolahan dengan suhu tinggi, di antaranya teknologi gelombang mikro (microwave), pema-
nasan ohmik (ohmic heating), radio frequency, dan ultra high pressurure (UHP).

ITP337 Teknologi Pengalengan Pangan


PRINSIP PENGALENGAN
Dewasa ini, sebutan produk makanan kaleng identik dengan produk aseptik dalam kaleng
yang diolah pada suhu tinggi yang didasarkan pada prinsip sterilisasi komersial. Tidak semua
makanan memerlukan proses termal untuk meningkatkan umur simpannya. Produk kering
seperti gula dan tepung-tepungan tidak memerlukan proses termal untuk mengawetkannya,
namun cukup dikemas kedap air dan udara. Secara umum terdapat dua klasifikasi jenis bahan
pangan berdasarkan nilai pH dan Aw-nya: (1) pangan berasam tinggi (high acid food), dan (2)
pangan berasam rendah (low acid food). Pangan berasam rendah didefinisikan sebagai bahan
pangan, tidak termasuk minuman beralkohol dimana setiap komponen bahan pangan tersebut
memiliki pH>4.5 dan aw>0.85. Kondisi pH dan Aw bahan pangan berasam rendah yang berada
di atas batas kritis menunjukkan bahwa: mikroba patogen dan pembusuk dapat tumbuh, spora
dapat bergerminasi, serta memerlukan sterilisasi komersial melalui pemanasan suhu tinggi.
Ketiga hal ini memiliki risiko yang tinggi bagi kesehatan publik. Oleh karena itu proses penga-
lengan yang dilakukan terhadap pangan berasam rendah memiliki tiga tujuan utama: (a)
Pengawetan (preservation); (b) Keamanan pangan (product safety); (c) Keuntungan (profita-
bility).
Terdapat dua hal utama yang menjadi prinsip dalam teknologi pengalengan makanan. Hal
ini karena tidak semua makanan yang dikemas di dalam kaleng dapat diklasifikasikan sebagai
produk pangan kaleng. Dua prinsip teknologi pengalengan tersebut ialah: pemanasan (proses
termal) dan kondisi hermetis.
Pemanasan. Pengolahan pangan dengan suhu tinggi merupakan salah satu teknik pengo-
lahan dan pengawetan pangan yang sangat popular. Pengawetan pangan tersebut terjadi akibat
pemanasan suhu yang tinggi mampu membunuh mikroba pembusuk berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Louis Pasteur tahun 1854.
Hermetis. Selain pemanasan pada suhu tinggi, kata kunci kedua dalam teknologi penga-
lengan ialah kondisi pangan yang hermetis. Kondisi hermetis dapat tercapai karena wadah
tertutup mampu mencegah pencemaran kembali atau rekontaminasi pada makanan. Berbagai
jenis kemasan yang dapat digunakan untuk mengemas produk pangan dengan prinsip teknologi
pengalengan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Berbagai kemasan dalam teknologi pengalengan (pema-


nasan dan kondisi hermetis)

ITP337 Teknologi Pengalengan Pangan


Dengan keunggulan sifat teknologi pengalengan yang kedap udara, relatif ringan (diban-
dingkan gelas yang kekedapannya sama), mudah dibentuk, dan tidak mudah pecah, maka
kaleng menjadi pilihan yang tepat sebagai teknologi dalam mengemas produk pangan.

JAMINAN DAN STANDAR DALAM PROSES PENGALENGAN


Produk makanan kaleng Indonesia sering mengalami penolakan di luar negeri karena
belum terpenuhinya standar keamanan pangan seperti yang diminta negara tujuan ekspor.
Selain itu, disadari maupun tidak tuntutan konsumen akan pangan yang bermutu dan aman
terus meningkat. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa jaminan keamanan dalam produk
pangan merupakan titik kritis dan harus dipenuhi sesuai dengan standar yang ada. Meskipun
produk makanan kaleng sudah diproses melalui tahapan yang dapat mematikan sejumlah
mikroba dan terciptanya kondisi hermetis, akan tetapi masih memiliki risiko bahaya (biologi).
Hal ini karena Clostridium botulinum merupakan jenis mikroba yang bersifat anaerobik (hidup
dalam kondisi kurang oksigen) dapat menghasilkan racun/toksin botulin yang membahayakan
kesehatan manusia. Jenis mikroba ini dapat diinaktivasi dengan proses pemanasan dengan suhu
tinggi atau dengan kata lain proses termal harus menjamin inaktivasi jenis mikroba ini sehingga
mampu menjamin aspek keamanan pangan.
Perhatian terhadap aspek jaminan keamanan makanan kaleng menyebabkan semakin
meningkatnya tuntutan kecukupan panas yang dapat menjamin inaktivasi mikroba berbahaya
yang berpotensi tumbuh dalam makanan kaleng. Peraturan yang ketat ditetapkan terutama
untuk produk makanan kaleng berasam rendah, dimana proses panas harus menjamin C. botu-
linum berhasil dibunuh. Oleh karena itu, pada tahun 1920 Bigelow dan Ball telah telah
mengembangkan metode untuk menghitung kondisi proses sterilisasi minimum yang diperlu-
kan untuk menghasilkan produk pangan steril komersial dan dapat menjamin inaktivasi C. botu-
linum. Metode ini dikenal sebagai Metode Umum atau General Method untuk menentukan
kecukupan waktu proses sterilisasi/pasteurisasi. Selain itu, banyak negara saat ini menerapkan
peraturan keamanan pangan terhadap makanan kaleng yang disterilisasi untuk mendapatkan
jaminan kecukupan proses panas. Hal ini menuntut industri pengalengan untuk mendesain
proses pengalengan yang dapat menjamin pencapaian kecukupan proses termal. Jaminan kecu-
kupan panas pada produk pangan kaleng ini dinyatakan dengan nilai sterilitas atau disimbolkan
dengan nilai Fo, yaitu waktu yang diperlukan untuk membunuh mikroba target pada suhu
standar (umumnya untuk proses sterilisasi menggunakan suhu standar 121.1 oC) hingga menca-
pai level yang diinginkan.
Tentu saja tidak semua produk pangan dapat dikalengkan secara komersial dan dengan
begitu saja beredar di masyarakat. Dengan semakin ketatnya persyaratan keamanan pangan,
jaminan keamanan pangan steril komersial menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Regu-
lasi pangan internasional melalui FDA bahkan mewajibkan produk makanan kaleng berasam
rendah (pH>4.5 dan Aw>0.85) yang dipasarkan di Amerika Serikat harus memiliki SID number
dan terdaftar. Untuk menjamin keamanan pangan produk kaleng tersebut, perlu didukung
dengan dokume yang membuktikan bahwa proses termal yang dilakukan oleh industri telah
mencukupi (dinyatakan melalui nilai Fo). Pembuktian ini didasarkan pada hasil pengujian
kecukupan proses termal melalui pengukuran distribusi panas dan penetrasi panas.

ITP337 Teknologi Pengalengan Pangan


STANDAR KECUKUPAN PROSES TERMAL
Kondisi kecukupan sterilisasi pada pangan steril komersial dinyatakan sebagai nilai Fo,
yaitu waktu pemanasan pada suhu 121oC atau 250oF. Definisi nilai steril komersial ialah proses
termal atau pemanasan yang dilakukan mampu menurunkan jumlah mikroba hingga 12 log
atau dengan kata lain memiliki nilai Fo sebesar 12D. Sementara untuk proses pasteurisasi,
umumnya digunakan konsep nilai Fo setara dengan 5D atau proses pemanasan mampu mengu-
rangi jumlah mikroba hingga 5 log. Terdapat tiga kondisi yang mungkin terjadi akibat proses
termal yang dilakukan pada produk: (a) Proses panas tidak mencukupi (under-process); (b)
Proses panas mencukupi; (c) Proses panas terlalu berlebihan (over-process). Hal ini dapat
menyebabkan turunnya mutu produk pangan.
Tabel 2 menunjukkan kondisi kecukupan sterilisasi pada pangan steril komersial yang
berlaku di Indonesia pada berbagai jenis produk yang dinyatakan dalam Food Canning Establish-
ment (FCE). Nilai-nilai Fo dalam tabel tersebut diperoleh melalui hasil survei dan penelitian
terhadap proses sterilisasi. Akan tetapi, tidak semua proses sterilisasi di industri pangan
memiliki nilai kecukupan sterilisasi yang sesuai, ada yang berlebihan atau bahkan kurang. Jenis
produk pangan berpengaruh terhadap nilai kecukupan panas karena mikroba target yang
terdapat dalam masing-masing jenis bahan pangan tersebut juga berbeda. Selain itu, ukuran
kaleng juga mempengaruhi nilai Fo karena berkaitan dengan penetrasi panas produk.

SIMPULAN
(1) Nilai Sterilisasi dan pasteurisasi yang digunakan industri makanan kaleng di Indonesia
sangat bervariasi tergantung pada jenis produk pangan yang akan dikalengkan.
(2) Perlu adanya penjaminan keamanan produk pangan, terutama terhadap produk pangan
steril komersial. Oleh karena itu, diperlukan:
(a) Pengembangan mekanisme pendaftaran dan evaluasi terhadap (i) fasilitas pengolahan,
(ii) praktek Good Manufacturing Practice, dan (iii) kecukupan proses panas.
(b) Pengawasan ini bertujuan memberikan jaminan keamanan pangan bagi publik
(3) Untuk itu perlu adanya sistem standar dan regulasi khusus untuk produk pangan steril
komersial ini.

SUMBER
Hariyadi P dan Kusnandar F. 2010. Mengenal teknologi pengalengan pangan.[terhubung
berkala]. http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=
134&Itemid=94 (diakses 14 Juli 2015).

ITP337 Teknologi Pengalengan Pangan


Tabel 2. Kondisi kecukupan sterilisasi pada pangan steril komersial di Indonesia
Produk Ukuran Kaleng Fo (min) Ti (C) Pt (min) CUT (min) T proses (C)
FCE 1
Daging bekicot dalam air garam 401x411 47.2 60 15 6 126.7
Jagung (baby) dalam air garam 301x407 9.5 60 8 6 126.7
603x700 27.3 60 12 6 126.7
Champignon dalam air garam 307x407 31.1 60 13 6 126.7
603x700 148.4 60 45 6 126.7
FCE 2
Jagung (baby) dalam air garam 301x407 6.4 62.2 11 6 122.2
307x407 7.4 70 12 6 122.2
603x700 6.3 66.1 15 6 122.2
FCE 3
Daging bekicot dalam air garam 301x407 38.9 86.7 38 10 122.2
401x411 54.7 72.8 46 10 122.2
Jagung (baby) dalam air garam 301x407 5.7 81.7 28 8 117.2
307x407 7.2 81.7 30 8 117.2
603x700 12.1 82.2 40 8 117.2
FCE 4
Kari ayam 307x113 18.4 38.9 60 6 121.7
Sosis sapi 301x408 4.7 51.1 20 14 117.2
FCE 5
Nata de coco 200x505 4.9 51.7 20 12 116.1
Nata de coco 209x311 4.9 66.7 20 12 116.1
Nata de coco 209x401 6.2 40.6 20 12 116.1
Nata de coco 209x609 4.6 55 20 12 116.1
FCE 6
Air kelapa 200x505 7.1 68.3 20 12 116.2
Air kelapa 209x401 4.4 46.1 20 12 116.2
Air kelapa 209x413 6.1 46.1 20 12 116.2
Air kelapa 209x614 4.7 71.7 20 12 116.2
FCE 7
Daging merah dalam saus cabai 202x308 12.9 45 80 22 116
Makanan hewan peliharaan 301x407 14.1 45 110 22 116
Daging merah dalam saus cabai 301x407 10.6 45 110 22 116
Mackerel dalam air garam 301x407 12.4 45 110 24 115
Sardine dalam minyak 301x407 8.8 45 105 24 115
Mackerel dalam saus tomat 301x407 6.6 45 105 24 115
Mackerel dalm minyak 301x407 9 45 110 24 115
Sardine dalam air garam 301x407 11.6 45 105 24 115
Sardine goreng 202x308 15.7 45 105 19 115
Sardine dalam saus tomat 301x407 7 45 105 19 115
Sardine dalam minyak 202x308 14.8 45 95 19 115
Sardine dalam air garam 202x308 15.7 45 95 19 115
Sardine goring 301x407 6.5 45 115 22 115
Makanan hewan peliharaan 307x113 4.6 45 128 22 110
Tuna siram 307x113 4 45 121 22 110
Flake dalam minyak 603x408 1.9 45 285 22 110
Flake dalam minyak 307x113 3.7 45 128 22 110
Potongan daging dalam air garam 603x408 3 45 200 22 110

ITP337 Teknologi Pengalengan Pangan

Anda mungkin juga menyukai