TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mempelajari materi ini maka mahasiswa mampu:
(1) Menjelaskan sejarah perkembangan teknologi pengalengan pangan
(2) Menjelaskan pengertian pengalengan pangan dan membedakannya dengan proses
pemasakan biasa.
(3) Menjelaskan pentingnya proses termal secara benar dari aspek keamanan pangan.
(4) Menjelaskan pentingnya melakukan proses termal secara benar dari aspek persyaratan
perdagangan.
Pabrik pengalengan pangan pertama berdiri di Inggris pada tahun 1813. Pada awal
perkembangan teknologi pengalengan pangan, air mendidih digunakan sebagai medium untuk
memanaskan makanan dalam kaleng. Lamanya waktu makanan kaleng di dalam air mendidih
yang dibutuhkan untuk mencegah kebusukan makanan kaleng tergantung pada jenis bahan
pangan dan pengalaman produsen tentang kebusukan makanan kaleng sebelumnya. Perma-
salahan utama dalam industri pengalengan di kala itu ialah kebusukan makanan kaleng serta
peningkatan waktu pemanasan yang tidak menentu. Akibat belum adanya metode atau standar
baku dalam proses pengalengan tersebut, tingkat keberhasilan dari proses pengalengan pangan
menjadi tidak menentu. Sementara proses pengalengan yang dilakukan secara manual saat itu
hanya mampu menghasilkan 4 kaleng/hari/pekerja. Bandingkan jumlah tersebut apabila saat ini
pabrik pengalengan mampu menghasilkan 400 kaleng per menit.
Sejak penemuan Appert dan Durand, makanan kaleng menjadi populer di kalangan
penjelajah karena daya simpannya. Bahkan pada tahun 1814 makanan kaleng dikirim ke berba-
gai koloni Inggris. Dan pada abad ke-19 yaitu tahun 1856, masakan sejenis sup mulai dikaleng-
kan. Selanjutnya, perbaikan proses pengalengan dilakukan pada tahun 1874 oleh produsen
pengalengan pangan dari Maryland (A.K. Shiver), yaitu dengan ditemukannya ketel tertutup,
atau sistem retort yang pertama, yang menggunakan uap di bawah tekanan untuk mengolah
pangan pada suhu tinggi. Selama 50 tahun sejak penemuan teknologi pengalengan oleh Appert,
belum ada yang mampu menjelaskan mengenai mekanisme pengawetan yang menyebabkan
pangan dalam kaleng dapat menjadi awet dalam jangka waktu lama.
Penjelasan mengenai mekanisme pengawetan makanan kaleng ini baru diketahui setelah
Louis Pasteur (seorang ahli mikrobiologi) menemukan bahwa mikroorganisme adalah yang
bertanggung jawab terhadap kebusukan pangan. Proses pemanasan dapat membunuh atau
memusnahkan mikroba pembusuk sehingga produk menjadi awet selama tidak terjadi rekonta-
minasi. Penelitian yang dilakukan di Massachusets Institute of Technology sejak tahun 1895
menunjukkan bahwa kebusukan makanan kaleng disebabkan oleh kurangnya pemanasan untuk
membunuh mikroorganisme. Setelah penemuan oleh Louis Pasteur, perhatian dalam industri
pengalengan mulai tertuju pada aspek mikrobiologi dan mekanisme pembusukan makanan
Selain perkembangan dari segi kemasan, teknologi, dan proses, terdapat teknologi alter-
natif yang dapat dikembangkan untuk pengalengan antara lain: Pemanasan gelombang mikro
(microwave), pemanasan Ohmic, dan High Pressure Processing. Karena memiliki umur simpan
yang relatif lama, produk makanan kaleng memiliki jangkauan distribusi yang luas, bahkan
digunakan sebagai pangan dalam kondisi darurat seperti bencana.
Dalam perkembangan selanjutnya, bukan hanya aspek keamanan dan umur simpan
produk makanan kaleng yang penting. Perhatian industri pangan juga ditujukan untuk mengha-
silkan produk pangan yang bermutu dengan meminimalkan pengaruh panas terhadap keru-
sakan produk. Untuk itu berkembang pula teknologi yang dapat mengurangi jumlah panas yang
diterima oleh produk tetapi mampu menghasilkan produk yang aman dan memiliki umur
simpan yang diinginkan, di antaranya adalah teknologi High Temperature Short Time (HTST)
dan Ultra High Temperature (UHT). Teknologi HTST/UHT menerapkan proses dan pengemasan
secara kontinu atau dikenal dengan istilah teknologi proses dan pengemasan secara aseptik,
dimana produk yang belum dikemas mengalami proses pemanasan pada suhu tinggi dalam
waktu singkat (hanya beberapa detik). Setelah itu, produk dikemas dalam kemasan steril pada
ruang yang aseptik. Di samping itu berkembang teknologi lain sebagai alternatif teknologi
pengolahan dengan suhu tinggi, di antaranya teknologi gelombang mikro (microwave), pema-
nasan ohmik (ohmic heating), radio frequency, dan ultra high pressurure (UHP).
SIMPULAN
(1) Nilai Sterilisasi dan pasteurisasi yang digunakan industri makanan kaleng di Indonesia
sangat bervariasi tergantung pada jenis produk pangan yang akan dikalengkan.
(2) Perlu adanya penjaminan keamanan produk pangan, terutama terhadap produk pangan
steril komersial. Oleh karena itu, diperlukan:
(a) Pengembangan mekanisme pendaftaran dan evaluasi terhadap (i) fasilitas pengolahan,
(ii) praktek Good Manufacturing Practice, dan (iii) kecukupan proses panas.
(b) Pengawasan ini bertujuan memberikan jaminan keamanan pangan bagi publik
(3) Untuk itu perlu adanya sistem standar dan regulasi khusus untuk produk pangan steril
komersial ini.
SUMBER
Hariyadi P dan Kusnandar F. 2010. Mengenal teknologi pengalengan pangan.[terhubung
berkala]. http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=
134&Itemid=94 (diakses 14 Juli 2015).