hasil nabati maupun hewani. Teknologi pangan sangat dibutuhkan untuk menghasilkan produk pangan yang aman, bergizi, bermutu, terjangkau oleh daya beli masyarakat, dan mampu bersaing dengan produk pangan sejenisnya. Pelaku industri pangan harus bertanggung jawab akan kualitas makanan yang diproduksi dengan menjamin kandungan gizi yang terdapat dalam makanan tersebut sehat untuk dikonsumsi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal baik ditinjau dari segi daya simpan, nilai gizi, nilai ekonomis, dan lain-lain maka suatu teknologi harus diterapkan pada hasil pertanian tersebut. Teknologi yang menyangkut penggunaan ilmu (science) dan keteknikan (engineering) secara praktis, yang dikaitkan dengan bahan pangan, sering disebut Teknologi Pangan atau Teknologi Bahan Makanan. Ilmu pangan mempunyai pengertian yakni disiplin ilmu yang menerapkan dasar-dasar biologi, kimia, fisika, dan teknik dalam mempelajari sifat-sifat, penyebab kerusakan dan prinsip dalam pengolahan bahan pangan. Sedangkan teknologi pangan adalah suatu teknologi yang menerapkan ilmu pengetahuan tentang bahan pangan khususnya pasca panen guna memperoleh manfaatnya seoptimal mungkin sekaligus dapat meningkatkan nilai tambah dari pangan tersebut. Dalam teknologi pangan, dipelajari sifat fisis, mikrobiologis, dan kimia dari bahan pangan dan proses mengolah bahan pangan tersebut. Spesialisasinya beragam, di antaranya pemrosesan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, dan sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu teknologi pangan adalah disiplin ilmu yang menerapkan teknologi tentang pengolahan bahan pangan mulai pasca panen hingga menjadi hidangan untuk memperoleh manfaat dan meningkatkan nilai gunanya. Penerapan teknologi pangan sederhana telah dimulai sejak masa primitif, di mana masyarakat hidup berpindah-pindah dan menetap pada suatu tempat dalam periode tertentu. Pada saat menetap, mereka membuat rumah. Bertani dan berburu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hasil panen ada yang disimpan dan untuk keperluan benih. Jika tempat yang ditinggali sudah tidak subur, maka mereka berpindah mencari tempat yang subur dengan membawa simpanan pangan dan benih untuk disemaikan di tempat baru. Begitu seterusnya. Pada akhirnya manusia mulai hidup menetap pada suatu tempat. Mulai menyimpan hasil pertaniannya di lumbung- lumbung seperti padi dan gandum. Tetapi tidak demikian dengan bahan pangan hewani, sayur, dan buah, sangat mudah rusak dan tidak tahan lama terutama pada musim panas. Kemudian akhirnya mereka memanfaatkan panas matahari untuk melakukan pengeringan terhadap bahan pangan terutama daging dan ikan agar dapat disimpan untuk persediaan makanan saat musim paceklik. Metode pengeringan disebut sebagai salah satu metode pengawetan pangan paling tua (primitif) karena sampai saat ini masih dilakukan, tetapi sekarang ini disertai atau di kombinasi dengan pengolahan pengawetan lainnya seperti penggaraman pada ikan asin, penggulaan pada manisan buah kering, dan lain sebagainya. Sejarah teknologi pangan modern dimulai ketika Nicholas Appert (1804) mengalengkan bahan pangan, sebuah proses yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Namun ketika itu, Nicolas Appert mengaplikasikannya tidak berdasarkan ilmu pengetahuan terkait pangan. Aplikasi teknologi pangan berdasarkan ilmu pengetahuan dimulai oleh Louise Pasteur Louis Pasteur pada tahun 1861. Louis Pasteur memberikan penjelasan bahwa sebetulnya pemanasan dapat membunuh mikroba dan penutupan botol secara rapat dapat mencegah masuknya mikroba makanan. Dengan pernyataan tersebut timbulah mekanisme pengawetan makanan dengan istilah pasteurisasi di mana teknik tersebut melibatkan suhu yang lebih rendah dari pada suhu sterilisasi Appert. Sehingga makanan yang diawetkan dengan pasteurisasi tersebut mempunyai rasa lebih enak dari cara Appert. Kemudian teknik tersebut diaplikasikan untuk mengawetkan makanan yang bersifat asam seperti buah dan asinan. Karena secara alami produk-produk tersebut bersifat asam, yang memiliki daya bunuh terhadap mikroba sehingga tidak lagi memerlukan sterilisasi secara total. Kesimpulan ini tercetus ketika mencoba untuk mencegah kerusakan akibat mikroba pada fasilitas fermentasi anggur setelah melakukan penelitian terhadap anggur yang terinfeksi. Selain itu, Pasteur juga menemukan proses yang disebut [asteurisasi yaitu pemanasan susu dan hasil olahannya untuk membunuh mikroba yang ada di dalamnya dengan perubahan sifat dari susu yang minimal. Memperpanjang waktu serta jumlah tersedianya bahan pangan. Mempermudah penyimpanan serta distribusinya. Menaikkan nilai tambah ekonomis yang berupa profit (keuntungan) maupun nilai tambah sosial berupa ketersediaan lowongan kerja yang lebih banyak. Memperoleh produk hasil pertanian yang lebih menarik, misalnya: kenampakan, cita rasa, dan sifat-sifat fisik lainnya. Tersedianya bahan limbah hasil pertanian yang mungkin masih dapat digunakan untuk memproduksi bahan lain seperti ampas tebu sebagai bahan pembuatan kertas, hardboard; kulit pisang dan jeruk yang dapat dipakai sebagai sumber pektin, dan lain-lain. Mendorong bertambahnya industri-industri nonpertanian yang menunjang industri pertanian seperti industri kimia, gelas, bahan pengepak, dan lain-lain. 1. Iskandar M, dkk. 2012. Ilmu Teknologi Pangan. Poltekkes Kemenkes Jakarta 2. Jakarta. 2. Kristianto , Y. 2010. Panduan Memilih dan Belanja Makanan Sehat. Nailil Printika. Jogjakarta. 3. Rahayu, Winiati Pudji. 1994. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. IPB. Bogor. 4. Susanto, T dan Saneto, Budi. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. PT Bina Ilmu. Surabaya. 5. https://id.wikipedia.org/wiki/Diversifikasi_pangan (diakses: 15 Agustus 2017) 6. http://teknologibidangpangan.blogspot.co.id/2015/03/pengertian -manfaat-dan pemanfaatan. html (diakses: 15 Agustus 2017) 7. www.academia.edu/8202966/Makalah_Fortifikasi_Pangan (diakses: 15 Agustus 2017)