Anda di halaman 1dari 27

4

TINJAUAN PUSTAKA

Minuman Ready to Drink Berasam Tinggi

Ready to drink (RTD) adalah istilah yang digunakan untuk produk minuman
dalam kemasan yang dijual dalam bentuk siap minum. Tergantung proses
produksi dan jenis produknya, kemasan produk RTD ini bermacam-macam.
Kemasan yang biasa dijumpai di pasar untuk produk RTD antara lain botol kaca,
botol plastik, pouch, kaleng dan lain-lain. Proses produksi minuman RTD dapat
dilakukan dengan metode konvensional menggunakan sistem pemanasan retort
atau dapat juga dengan menggunakan sistem pengolahan dan pengemasan
secara aseptik. Kedua sistem ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk
memperoleh produk dalam kondisi steril komersial sehingga aman untuk
dikonsumsi (Hariyadi P 2000).
Berdasarkan situs resmi USFDA (United States Food and Drugs
Administration) (www.cfsan.fda.gov), Codes of Federal Regulations (CFR) Titel
21, Vol. 2, bagian 114 produk yang dikaji dalam penelitian ini tergolong makanan
yang diasamkan (acidified foods). Pengertian

makanan yang diasamkan

(acidified foods) sendiri adalah makanan berasam rendah yang ditambah dengan
asam atau makanan bersaman tinggi (acid foods). Makanan berasam tinggi (acid
foods) adalah makanan yang memiliki pH alami 4.6 atau kurang (USFDA 2008b).
Minuman atau makanan berasam tinggi jarang menimbulkan keracunan
karena bakteri patogen pada umumnya tidak tumbuh pada pH tersebut. Demikian
pula spora bakteri tidak menimbulkan masalah pada minuman atau makanan
semacam ini karena spora tidak dapat bergerminasi dan tumbuh pada pH di
bawah 4.6 (Fardiaz 1992). Holdsworth (1997) menyatakan bahwa derajat
keasaman suatu bahan dimana mikroorganisme mungkin tumbuh adalah faktor
penting dalam menentukan proses thermal yang akan digunakan.
Mikroorganisme menjadi lebih sensitif terhadap proses pemanasan dengan
semakin rendahnya pH medium pemanasan. Dengan kata lain sterilisasi
komersial dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah dan waktu yang lebih
pendek jika pH produk semakin rendah. Sebagai perbandingan, jika sterilisasi
komersial terhadap makanan berasam rendah harus dilakukan pada suhu 135150C selama beberapa detik, maka pada makanan berasam tinggi hanya

dibutuhkan suhu 85-95C selama 15-30 detik untuk mencapai keadaan steril
komersial (Fardiaz 1992).
Pada bahan pangan yang tergolong asam (pH < 4.5), proses pasteurisasi
sudah cukup untuk memperpanjang umur simpan. Proses pasteurisasi juga
bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk seperti khamir dan
kapang serta untuk menginaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan pangan
tersebut (Fellow 1992).

Proses Produksi Minuman Ready to Drink Secara Aseptik

Meskipun pengolahan aseptik bukan merupakan konsep baru, namun hal


ini menjadi hal yang sangat menarik pihak industri beberapa tahun terakhir.
Setelah sukses di Eropa dan Jepang selama beberapa tahun, pengemasan
aseptik bertambah populer di Amerika Utara sejak 1981 ketika hidrogen
peroksida disetujui penggunaannya sebagai sterilan kemasan. Proses aseptik
telah menjadi kisah sukses untuk produk minuman buah, konsentrat dan jus yang
mengandung partikel kecil. Dalam proses aseptik, produk dan bahan kemas
disterilkan terpisah kemudian produk dikemas dalam kondisi steril (Ramaswamy
dan Marcotte 2006).
Untuk

mempermudah

pengertian

tentang

sistem

pengolahan

dan

pengemasan secara aseptik, maka diperlukan beberapa definisi, terutama yang


berhubungan dengan sistem-sistem aseptik (Anjaya 2000).
1.

Aseptik

menggambarkan

suatu

kondisi

dimana

tidak

terdapat

mikroorganisme termasuk spora hidup pada tempat tersebut.


2.

Sistem aseptik : menunjukkan keseluruhan sistem yang diperlukan untuk


menghasilkan produk yang steril komersial dalam suatu wadah yang
ditutup secara hermetis

3.

Sistem pengolahan aseptik : menunjukkan suatu sistem hanya pada tingkat


pengolahan produk secara aseptik dan mengirimkan produk tersebut pada
suatu sistem pengemasan

4.

Sistem pengemasan aseptik : menunjukkan suatu sistem pengemasan,


yaitu kemasan steril diisi dengan produk steril kemudian dilakukan
penutupan wadah secara hermetis dalam kondisi atau ruang steril. Pada
sistem ini dapat pula dilakukan pembentukan kemasan sekaligus proses
sterilisasi kemasannya

Sistem Pengolahan secara Aseptik

Pada proses pengolahan aseptik, produk dipanaskan dengan melewatkan


pada alat pemindah panas dan ditahan untuk beberapa waktu pada holding tube
sesuai dengan proses panas yang didesain. Setelah melalui proses pemanasan,
produk dilewatkan kembali melalui alat pemindah panas untuk didinginkan.
Proses pengisian produk ke dalam kemasan yang sudah disterilkan sebelumnya
kemudia di tutup dilakukan dalam kondisi aseptik (Ramaswamy dan Marcotte
2006).
Pada alat pemindah panas tipe pelat terdiri dari piringan atau pelat baja
tahan karat yang tipis dan dirangkai secara ketat dalam kerangka. Jumlah
piringan dapat diatur sesuai dengan keperluan. Produk mengalir pada satu sisi
dan medium pemanas mengalir pada sisi sebelahnya secara berselang-seling.
Alat pemanas ini digunakan untuk produk cair yang homogen (misalnya susu,
sari buah).
Setiap kali produk dialirkan ke alat pemanas untuk mencapai suhu
sterilisasi maka produk segera dialirkan ke tabung penampung (holding tube)
dengan tetap mempertahankan suhu produk tersebut. Waktu yang diperlukan
oleh produk oleh produk panas untuk mengalir dalam waktu tersebut
diasumsikan sebagai waktu tinggal (holding time), yang harus dispesifikasikan
dalam jadwal proses. Besarnya volume tabung penampung (tercermin dalam
ukuran panjang dan diameter tabung) dikombinasikan dengan karakteristik dan
laju aliran produk menunjukkan waktu tinggal produk yang sebenarnya dalam
tabung penampung (Anjaya 2000).
Pendinginan produk bertujuan untuk mengurangi atau menurunkan suhu
produk sebelum dilakukan proses pengisian. Dalam sistem yang menggunakan
pemanasan tidak langsung seperti alat pemindah panas tipe pelat, maka alat
pendingin akan mendinginkan produk steril dan sebaliknya memanaskan bahan
baku atau bahan yang akan disterilkan.
Suatu hal yang penting diingat bahwa sebelum dilakukan proses sterilisasi
produk,

maka

seluruh

peralatan,

bahan

kemas

dan

lingkungan

yang

berhubungan dengan proses tersebut harus dibersihkan dan disterilkan terlebih


dahulu (Sandeep et al. 2004).
Sterilisasi peralatan dapat dilakukan dengan menggunakan uap jenuh
ataupun air panas. Pada umumnya peralatan tersebut disterilkan dengan air

panas yang disirkulasikan sercara bersinambung ke seluruh permukaan bagian


dalamnya dengan waktu kontak yang cukup sehingga tercapai kondisi steril.
Untuk tangki penampungan biasanya disterilkan dengan uap panas jenuh,
bukannya menggunakan air panas karena ukuran tangki yang cukup besar.
Walaupun tangki penampungan produk disterilkan secara terpisah, yaitu dengan
uap panas, namun pelaksanaannya dilakukan secara simultan dengan sterilisasi
peralatan yang menggunakan air panas (Anjaya 2000).

Proses Thermal dalam Pengolahan Pangan


Pengolahan pangan dengan suhu tinggi merupakan metode pengolahan
yang telah lama digunakan orang dan sampai saat ini masih merupakan metode
pengolahan pangan yang paling popular digunakan di industri pangan.
Penggunaan panas pada pangan dimulai sejak manusia memasak makanannya.
Meskipun sudah lama cara pemasakan dengan api digunakan, baru pada tahun
1804 panas digunakan untuk pengawetan. Pada waktu itu Nicholas Apert
berhasil mengawetkan makanan dengan cara memanaskan makanan dengan
tahapan yang sangat sederhana. Pada saat itu belum dapat dijelaskan
mekanisme pengawetan yang terjadi yang menyebabkan makanan tersebut
dapat menjadi awet (Hariyadi P 2000).
Lima puluh tahun kemudian, seorang ahli mikrobiologi yang bernama Louis
Pasteur dapat memberikan jawaban tentang mekanisme pengawetan dengan
menggunakan panas ini. Menurut hasil penelitiannya, proses pemananasan
dapat

mengawetkan

makanan

karena

panas

dapat

membunuh

atau

memusnahkan mikroba pembusuk. Sejak saat itu teknologi pengawetan dengan


panas berkembang dengan pesat, fokus penelitian 5 dekade setelah itu adalah
mikrobiologi dan dekomposisi atau kerusakan produk (Ramaswamy dan Marcotte
2006).
Penggunaan panas dalam pengolahan makanan dapat diklasifikasikan
berdasarkan tujuan pemanasan itu. Beberapa bentuk pemanasan antara lain
pemasakan, blansir, pasteurisasi, sterilisasi, evaporasi, ekstrusi, pemanggangan,
pengeringan, penggorengan, energi iradiasi (microwave, radiasi inframerah) dan
lain-lain (Ramaswamy dan Marcotte 2006).
Beberapa keuntungan dari pengolahan dengan panas antara lain :
-

terbentuknya tekstur dan cita rasa khas yang disukai

rusaknya atau hilangnya beberapa komponen anti gizi (misalnya inhibitor


tripsin pada produk leguminosa)

peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya


cerna protein dan karbohidrat

terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan


keawetan pangan

menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih


stabil selama penyimpanan

Sedangkan beberapa kerugiannya antara lain : adanya kemungkinan rusaknya


beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu organoleptik
seperti warna, tekstur, rasa dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak
terkontrol dengan baik (Fellow 1997).

Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu yang relatif rendah yaitu
suhu di bawah 100C akan tetapi dengan waktu yang bervariasi dari mulai
beberapa detik sampai beberapa menit tergantung dari tingginya suhu tersebut.
Makin

tinggi

suhu

pasteurisasi,

makin

singkat

proses

pemanasannya.

Pasteurisasi umumnya dikombinasikan dengan proses pengawetan lainnya


seperti fermentasi atau penyimpanan pada suhu rendah. Pada bahan pangan
yang tergolong asam (pH < 4.5), pasteurisasi bertujuan untuk memperpanjang
umur simpan dan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk seperti khamir
dan kapang serta untuk menginaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan
pangan tersebut (Fellow 1992).
Pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dalam waktu
yang relatif lama, yaitu suhu 65C selama 30 menit atau pada suhu tinggi dalam
waktu singkat yaitu suhu 72C selama 15 detik. Semain tinggi suhu pasteurisasi,
semakin singkat proses pemanasannya. Beberapa bakteri vegetatif yang tahan
panas (termofilik) dan spora tahan terhadap proses fermentasi. Setelah
pasteurisasi,

produk harus didinginkan dengan cepat untuk mencegah

pertumbuhan bakteri yang masih hidup (Fardiaz 1992). Dalam pasteurisasi,


konsep yang umum digunakan adalah konsep 5D. Menurut Fellow (1992) konsep
ini cukup memadai dari segi kualitas dan keamanan pangan.
Keberhasilan penuh dari pengolahan dengan panas pada produk pangan
adalah

terpenuhinya

kecukupan

panas

untuk

inaktivasi

mikroba

yang

menyebabkan kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana
ketahanan mikroba terhadap panas hingga proses dapat tercapai pada
kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdsworth 1997).
Nilai pH makanan merupakan faktor yang penting dalam menentukan
besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin
tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.5 - 4.6

bakteri pembusuk

anaerobik dan pembentuk spora seperti C. botulinum dapat tumbuh. Beberapa


spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira ph 3.7 seperti B. thermoacidurans
atau B. coagulans. Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak dirusak
oleh bakteri berspora (Fardiaz 1992).
Tinggi suhu dan lama pemanasan dalam pasteurisasi tergantung pada
ketahanan panas mikroba yang akan dibunuh dan sensitivitas mutu makanan
terhadap pemanasan. Penggunaan metode HTST (High Temperature Short
Time) biasanya menghasilkan produk dengan mutu yang lebih baik dibanding
metode LTLT (Low Temperature Low Time) (Ramaswamy dan Marcotte 2006).

Ketahanan Panas Mikroorganisme


Ketahanan panas mikroorganisme biasanya dinyatakan dengan istilah
waktu reduksi desimal (decimal reduction time) atau waktu yang dibutuhkan pada
suhu tertentu untuk menurunkan jumlah sel atau spora sebesar satu siklus log,
atau waktu yang diperlukan pada suhu tertentu untuk membinasakan organisme
atau sporanya yang disebut nilai D. Sedangkan nilai z suatu organisme atau
spora adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan sepuluh
kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan sampai 90% atau
pembinasaan seluruhnya (Heldman dan Singh 2001).
Sel vegetatif bakteri termasuk bakteri pembentuk spora, kapang dan
khamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar antara 0.5 sampai 3 menit pada
suhu 65C. Sedangkan nilai z untuk sel vegetatif bakteri, kapang dan khamir
berkisar antara 6 sampai 16C dan biasanya adalah 10C (Garbutt 1997).
Ketahanan panas mikroba dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain :
(a) umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, (b) komposisi medium
bagi suatu organisme atau spora itu tumbuh terutama adanya garam, zat
pengawet, lemak dan minyak dan bahan penghambat lainnya serta adanya spora
yang masih terdapat setelah pemanasan, (c) pH dan Aw medium waktu
pemanasan dan (d) suhu pemanasan.

10

Menurut Hadgson dan Hodgson (1993) sejumlah kapang dan khamir


terdapat pada sari buah nanas yang dibuat dari konsentrat (aw rendah). Kapang
lebih dominan pada jenis konsentrat, tetapi pada buah dan sayuran dengan Aw
tinggi, bakteri umumnya memegang peran pertama merusak dalam fermentasi,
kemudian diikuti kapang dan khamir (Gilliland 1986). Khamir beserta sporanya
dapat dieliminasi dengan mudah pada proses pasteurisasi tetapi kapang yang
berspora perlu pemanasan lebih lama jika produk berupa konsentrat (Frazier dan
Westhoff 1978).

Ketahanan Panas Zat Gizi


Proses thermal tidak hanya menginaktifkan organisme perusak makanan,
namun juga mengolah bahan mentah menjadi produk jadi. Proses ini akan sedikit
mempengaruhi karakteristik sensori dan gizi dari produk. Umur simpan produk
sangat dipengaruhi oleh kondisi kemasan setelah proses thermal

dan juga

kondisi penyimpanan produk. (Ramaswamy dan Marcotte 2006).


Ramaswamy dan Marcotte (2006) menyatakan bahwa vitamin larut lemak
seperti vitamin A, D, E dan K relatif tidak sensitif terhadap panas dan pada
umumya tidak ada loss selama proses pasteurisasi. Untuk vitamin B1, B6, B12
dan asam folat berkurang maksimum 10%, sedangkan untuk vitamin C
berkurang hingga 25%.

Kecukupan Proses Panas


Kemampuan

sterilisasi

dan

proses

pemanasan

bergantung

pada

karakteristik nilai z mikroorganisme dan suhu sterilisasi. Simbol F biasanya


digunakan untuk menunjukkan nilai sterilisasi. Nilai F dengan z = 18F biasa
disebut Fo, karena nilai z = 18F sangat umum digunakan untuk spora
khususnya C. botulinum. Nilai sterilisasi adalah dasar penentuan matematika
untuk kecukupan proses panas. Nilai ini dapat dihitung dengan persamaan :
F = Lr. dt
Dimana :
Lr = 10 (T-Tr)/z
Suhu makanan (To) dapat ditentukan melalui eksperimen, empiris dan teori
(Heldman dan Singh 2001).
Sama halnya dengan pasteurisasi, Tucker et al. (2003) menyatakan bahwa
nilai pasteurisasi dinyatakan dengan simbol P. Nilai P dapat dihitung dengan

11

integral kekuatan membunuh melalui percobaan antara waktu dan suhu sebagai
berikut :
t

P = 10 (T(t) Tref)/z. dt
0

Dimana :
T(t) : suhu produk (C)
Tref : suhu referen pada nilai DT (menit)
z

: faktor kinetic
Selain itu ditambahkan bahwa untuk menghitung kecukupan proses

pasteurisasi yang disebut nilai P adalah dengan persamaan berikut :


P

= DT. log (Ninitial/Nfinal)

Dimana :
P

: nilai pasteurisasi (menit)

Ninitial : jumlah mikroba awal sebelum dipasteurisasi (CFU/ml) pada suhu tertentu
Nfinal : jumlah mikroba akhir setelah dipasteurisasi (CFU/ml)
DT

: decimal reduction time pada suhu tertentu untuk mereduksi jumlah


mikroba dengan faktor 10 menit

Sistem Pengemasan secara Aseptik

Proses pengemasan aseptik dari sistem aseptik merupakan bagian integral


dan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses. Namun, bagian ini juga
merupakan bagian yang paling lemah. Dalam beberapa kasus, penyebab
kontaminasi produk umumnya disebabkan karena kurang baiknya proses
pengemasan aseptic ini sehingga menyebabkan kontaminasi (Reuter 1988).
Unit-unit pengemasan aseptik didesain untuk menggabungkan produk
steril dalam kemasan yang sudah steril sehingga dihasilkan produk yang telah
dikemas secara hermetis. Menurut Anjaya (2000) dalam sistem pengemasan
secara aseptik dituntut hal-hal penting berikut ini :
1.

Lingkungan steril yang akan digunakan untuk proses pengemasan produk


steril dalam kemasan steril

2.

Sterilisasi kemasan yang kontak langsung dengan produk

3.

Pengisian produk steril ke dalam kemasan steril harus dilakukan secara


aseptik

4.

Produk dalam kemasan harus ditutup secara hermetis

12

5.

Memonitor dan mengawasi faktor-faktor kritis selama proses pengemasan


Sterilan (sterilizing agents) digunakan di dalam unit pengemasan secara

aseptik untuk mensterilkan bahan-bahan kemasan dan juga permukaan dalam


peralatan pengemasan sehingga diperoleh kondisi pengemasan yang steril.
Dalam pengemasan aseptik, sterilisasi terhadap wadah pengemas mungkin
dapat dicapai tanpa keharusan untuk menghilangkan semua spora bakteri,
karena spora bakteri tersebut tidak dapat bergerminasi dan tumbuh pada pH
rendah. Tetapi jika produk tergolong pada minuman berasam rendah (pH > 4.5),
maka sterilisasi terhadap wadah pengemas harus dapat menghilangkan sel
vegetatif maupun spora (Fardiaz 1992).
Zona aseptik adalah daerah tempat mesin pengemasan aseptik telah
disterilkan dan kondisinya dijaga tetap steril selama proses produksi. Di daerah
atau lingkungan inilah produk steril diisikan dalam kondisi aseptik ke dalam
kemasan steril dan selanjutnya ditutup secara hermetis. Sehubungan dengan
proses produksi, maka zona aseptik diterapkan dalam kondisi steril komersial.
Pada daerah ini mungkin terdapat berbagai macam permukaan alat atau
lingkungan. Maka sterilan yang digunakan pada peralatan harus seragam
efektivitasnya dan penerapannya dapat diawasi sepanjang zona aseptik, serta
tetap dapat terjaga kondisinya dengan baik (Anjaya 2000).
Tingkat sterilitas dari zona aseptik dapat dicegah dari kemungkinan
sterilisasi yaitu dengan menyemprotkan udara steril atau gas lainnya. Pada tahap
akhir dimana kemasan meninggalkan area steril maka dapat juga disemprotkan
udara steril ke arah kemasan tersebut untuk mencegah terjadinya rekontaminasi
(Anjaya 2000).

Sistem Pengendalian Keamanan Pangan

Berbagai metode serta sistem pengendalian keamanan pangan sebagai


jaminan mutu dan keamanan pangan (food safely assurance) telah banyak
digunakan dan dikembangkan oleh industri pengolahan makanan. Salah satu
metode yang banyak dikembangkan dewasa ini adalah penerapan sistem
HACCP yang merupakan suatu sistem manajemen yang menjamin mutu dan
keamanan pangan berdasarkan konsep pendekatan yang rasional, sistematis
dan komprehensif dalam mengidentifikasi dan mengontrol setiap bahaya yang
berisiko terhadap mutu dan keamanan produk pangan.

13

Hal ini senada dengan yang dikemukakan Thaheer (2005) bahwa sistem
HACCP bersifat pencegahan yang berupaya untuk mengendalikan suatu areal
atau titik dalam sistem pangan yang mungkin bekontribusi terhadap suatu kondisi
bahaya, baik kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi terhadap
bahan baku, suatu proses, penggunaan langsung oleh pengguna ataupun
kondisi penyimpanan. Beberapa program prasyarat yang harus dilakukan
sebelum

mengaplikasikan

HACCP

adalah

diterapkannya

GMP

(Good

Manufacturing Practice) dan SSOP (Sanitation Standard Operation Procedure).

Gambar 1.

Piramida hubungan GMP, SSOP dan manajemen mutu atau


keamanan pangan

Winarno dan Surono (2002) menyatakan bahwa sistem HACCP harus


dibangun di atas dasar landasan yang kokoh untuk melaksanakan dan tertibnya
Good Manufacturing Practices (GMP) dan penerapan Sanitation Standard
Operating Procedure (SSOP). Dua aspek tersebut merupakan pondasi
terbentuknya rencana HACCP yang baik. Secara umum perbedaan GMP dan
SSOP adalah sebagai berikut, GMP secara luas terfokus dan berakibat pada
banyak aspek baik aspek operasi pelaksanaan tugas yang terjadi di dalam pabrik
serta operasi personel. SSOP merupakan prosedur atau tata cara yang
digunakan oleh industri untuk membantu mencapai tujuan atau sasaran
keseluruhan yang diharapkan GMP dalam memproduksi makanan yang bermutu

14

tinggi aman, dan tertib. Piramida hubungan antara HACCP, SSOP dan GMP
dapat dilihat pada Gambar 1.

Good Manufacturing Practices (GMP)

Good Manufacturing Practices (GMP) didefinisikan sebagai suatu prosedur


dalam industri pangan dimana konsistensi produk akhir dari kualitas keamanan
mikrobiologi dimonitor dengan tes laboratorium atau saat proses berlangsung
(Adams dan Moss 1995). United States Food and Drug Administration (USFDA)
telah mengeluarkan peraturan dan pedoman yang berkenaan dengan penerapan
GMP di dalam industri pangan. Pengembangan peraturan dan pedoman tersebut
dilakukan berdasarkan jenis makanan yang diolah oleh suatu industri pangan,
diantaranya acidified foods (makanan yang diasamkan), low acid canned foods
(makanan kaleng berasam rendah) dan bottled water (air minum dalam
kemasan).
Produk minuman RTD berasam tinggi yang akan diproduksi perusahaan,
tergolong ke dalam produk yang diasamkan, yaitu makanan berasam rendah
yang ditambah dengan asam atau makanan berasam tinggi serta memiliki aw
lebih besar dari 0.85 dan pH produk akhir 4.6 atau kurang. Berdasarkan situs
resmi United States Food and Drugs Administration (USFDA), peraturan dan
penerapan GMP untuk makanan yang diasamkan (acidified foods) tercantum di
dalam Codes of Federal Regulations (CFR) yaitu Titel 21, Bagian 110 (untuk
CGMP, Current Good Manufacturing Practices) dan TItel 21, Bagian 114 (untuk
makanan yang diasamkan, acidified foods) (USFDA 2008a, 2008b).
CGMP yang tercantum dalam CFR, Titel 21, Vol. 2, bagian 110 berisi
antara lain tentang persyaratan untuk personalia, bangunan dan fasilitas pabrik,
operasi

sanitasi,

pengendalian

hama,

fasilitas

sanitasi,

peralatan

dan

perlengkapan, produksi dan pengendalian proses serta penyimpanan dan


distribusi (USFDA 2008a). Sedangkan CFR, Titel 21, Vol. 2, bagian 114
mencantumkan beberapa penambahan yang berkaitan dengan persyaratan
CGMP di pabrik yang menghasilkan makanan yang diasamkan, antara lain
persyaratan untuk personalia (114.10), proses pengolahan dan pengendalian
(114.80), penjadwalan proses (114.83), tindakan koreksi (114.89), metode
pengukuran pH (114.90), serta rekaman dan laporan (114.100) (USFDA 2008b).

15

GMP yang telah dikenal luas dan dikembangkan oleh USFDA juga dikenal
di Indonesia, yang tertuang dalam buku Pedoman Cara Produksi Makanan yang
Baik CPMB) tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Makanan
dan Minuman, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman ini memberikan penjelasan mengenai
cara produksi makanan yang baik pada seluruh rantai makanan, mulai dari
produksi primer sampai konsumen akhir, menekankan pengawasan terhadap
higiene pada setiap tahap dan menyarankan pendekatan HACCP bilamana
memungkinkan untuk meningkatkan keamanan pangan (Depkes 1996).
Perusahaan telah menerapkan GMP sesuai Pedoman Cara Produksi
Makanan yang Baik (CPMB) tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Direktorat
Pengawasan Makanan dan Minuman, Dirjen POM Depkes RI. CPMB yang
dikeluarkan pemerintah ini memang bersifat umum, tidak spesifik untuk jenis
produk tertentu. USFDA telah mengeluarkan pedoman CFR Titel 21, Bagian 110
untuk CGMP dan Bagian 114 untuk makanan yang diasamkan. Dari keseluruhan
persyaratan yang tertuang dalam semua pedoman ini, pengendalian proses dan
produk akhir dari produk baru minuman RTD berasam tinggi perlu dibuatkan
prosedur operasi standar (SOP)-nya.

Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)

Peran GMP dalam menjaga keamanan pangan sangat selaras dengan prerequisite (persyaratan dasar) penerapan HACCP. Secara umum persyaratan
dasar adalah hal-hal yang berkaitan dengan operasi sanitasi dan higiene pangan
suatu proses produksi atau penanganan pangan yang dikenal juga dengan GMP
(Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices) dan lain-lain.
Penerapan program persyaratan dasar ini harus didokumentasikan dalam
Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPO Sanitasi) atau Sanitation Standard
Operating Procedure (SSOP). Sedangkan dalam rangka monitoring dilakukan
khusus audit terhadap persyaratan dasar ini baik internal maupun eksternal
(Winarno dan Surono 2002).
Berdasarkan situs resmi USFDA, kondisi dan penerapan sanitasi sebelum,
selama dan setelah proses dalam penerapan SSOP tercantum di dalam United
States Food and Drugs Administration (USFDA) Codes of Federal Regulations

16

(CFR) Titel 21, Bagian 120 (Hazard Analysis and Critical Control Point) SubBagian 120.6 (Sanitation Standard Operating Procedures) (USFDA 2008c).
SSOP

yang

dijabarkan

dalam

CFR

Titel

21,

Sub-Bagian

120.6

dikelompokan menjadi 8 Kunci Persyaratan Sanitasi, yaitu : (1) keamanan air, (2)
kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (3)
pencegahan kontaminasi silang, (4) menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi
dan

toilet,

(5)

proteksi

dari

bahan-bahan

kontaminan,

(6)

pelabelan,

penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar, (7) pengawasan


kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dan (8)
menghilangkan hama dari unit pengolahan. Dalam dokumentasinya, kunci-kunci
sanitasi tersebut seharusnya mencakup masalah monitoring yang mampu
menjawab apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukan, dimana melakukan,
kapan dan siapa yang melakukan serta koreksi dan rekaman (USFDA 2008c).
Sistem pengendalian keamanan pangan yang telah diterapkan perusahaan
baru mencakup produk yang sudah ada, sehingga untuk produk baru minuman
RTD berasam tinggi perlu penyesuaian. Dari kedelapan SSOP yang telah
disebutkan di atas dan telah diterapkan perusahaan, akan dikaji 3 SSOP yang
perlu disiapkan terkait dengan produksi produk baru minuman RTD berasam
tinggi. Ketiga SSOP ini adalah (1) SSOP keamanan air, (2) SSOP kondisi dan
kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan dan (3) SSOP
pencegahan kontaminasi silang.
SSOP akan memberikan beberapa manfaat bagi unit usaha dalam
menjamin sistem keamanan produksi pangannya, antara lain : (1) memberikan
jadwal berkesinambungan, (2) mendorong perencanaan yang menjamin
dilakukan koreksi bila diperlukan, (3) mengidentifikasi kecenderungan dan
mencegah kembali terjadinya masalah, (4) menjamin setiap personil mengerti
sanitasi, (5) memberikan sarana pelatihan yang konsisten bagi personil, (6)
mendemonstrasikan

komitmen

kepada

pembeli

dan

inspektor

dan

(7)

meningkatkan praktek sanitasi di unit usaha (Winarno dan Surono 2002).

Sanitasi dalam Pengolahan Pangan

Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa sanitasi adalah aspek penting yang


harus diperhatikan selama proses pengolahan pangan. Sanitasi didefinisikan
sebagai pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-

17

faktor lingkungan yang berkaitan dalam rantai perpindahan penyakit tersebut.


Dalam industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam
persiapan, pengolahan dan pengemasan produk makanan, pembersihan dan
sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja (Jenie 1998).
Tujuan utama penerapan sanitasi pada industri pangan adalah untuk
menjamin agar makanan olahan yang dihasilkan, layak dikonsumsi oleh manusia
sehingga terhindar dari terjadinya kecelakaan atau penyakit yang disebabkan
karena mengkonsumsi makanan olahan tersebut (Hariyadi R 2000).
Dari delapan Kunci Persyaratan Sanitasi yang ditetapkan USFDA (2008c),
yang harus menjadi prioritas utama dalam memproduksi minuman RTD berasam
tinggi adalah (1) sanitasi air, (2) sanitasi peralatan dan ruangan dan (3) sanitasi
pekerja.

Sanitasi Air

Air merupakan salah satu bahan yang paling penting dalam industri
pangan, karena air digunakan dalam berbagai kegiatan, baik untuk sanitasi,
boiler dan medium penghantar panas maupun proses pengolahannya sendiri. Air
juga dapat menjadi bagian yang terpadu dari produk akhir, seperti pada soft drink
dan bir, berbagai sari buah, sirup dan minuman-minuman tradisional serta jenis
minuman yang baru. Mutu makanan yang diolah sangat dipengaruhi oleh mutu
air yang digunakan dalam pengolahan. Air yang digunakan dalam pengolahan
harus bebas dari mikroba patogen maupun mikroba penyebab kebusukan
makanan.
Sebagian besar dari penggunaan-penggunaan air tersebut memerlukan
persyaratan atau standar mutu tersendiri. Pada umumnya, air yang memenuhi
persyaratan standar air minum, cukup baik memenuhi persyaratan untuk industri.
Beberapa jenis industri pangan tertentu bahkan memerlukan persyaratan mutu
yang lebih berat dan mendetil daripada standar air minum. Persyaratan mutu air
minum dalam kemasan dapat dilihat pada Tabel 1.
Dalam industri minuman ringan, mutu air harus dikendalikan dengan
memperhatikan faktor-faktor berikut dalam proses produksinya. Kesadahan
karbonat atau alkalinitas akan meningkatkan pH dari minuman yang seharusnya
asam. Hal ini akan menimbulkan perubahan rasa. Jika air bahan sudah
mengandung bau dan rasa tersendiri, maka hal ini sudah tentu akan mengubah

18

rasa dan bau produk minuman. Kekeruhan air juga akan mempengaruhi
penampilan produk. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan termasuk total padatan,
besi, mangan, sisa klorin dan jumlah mikroorganisme.

Tabel 1. Persyaratan mutu air minum dalam kemasan (SNI 01-3553-2006, BSN
2006a)
No.
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

22.
23.

Kriteria Mutu
Keadaan :
a. bau
b. rasa
c. warna
pH
Kekeruhan
Zat yang terlarut
Zat organik (sebagai KMnO4)
Total organik karbon
Nitrat (sebagai NO3)
Nitrit (sebagai NO2)
Amonium (NH4)
Sulfat (SO4)
Klorida (Cl)
Fluorida (F)
Sianida (CN)
Besi (Fe)
Mangan (Mn)
Klor bebas (Cl2)
Kromium (Cr)
Barium (B)
Boron (Bo)
Selenium (Se)
Cemaran logam
a. Timbal (Pb)
b. Tembaga (Cu)
c. Cadmium (Cd)
d. Raksa (Hg)
e. Perak (Ag)
f. Kobalt (Co)
Cemaran arsen (As)
Cemaran mikroba
a. Angka lempeng total awal*)
b. Angka lempeng total akhir**)
c. Bakteri bentuk koli
d. Salmonella
e. Pseudomonas aeruginosa

Satuan

Persyaratan

Unit PtCo
NTU
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l

Tidak berbau
Normal
Maks. 5
6.0 - 8.5
Maks 1.5
Maks 500
Maks 1.0
Maks 45
Maks 0.005
Mkas 0.15
Maks 200
Maks 250
Maks 1.0
Maks 0.05
Maks 0.1
Maks 0.05
Maks 0.1
Maks 0.05
Maks 0.7
Maks. 0.3
Maks 0.01

mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l

Maks 0.005
Maks 0.5
Maks 0.003
Maks 0.01
Maks 0.01

Koloni/ml
Koloni/ml
APM/100 ml
Koloni/ml

Maks 1 x 102
Maks 1 x 105
<2
negatif/100 ml
Nol

Keterangan : *) Di pabrik; **)Di Pasaran


Salah satu uji yang biasa dilakukan untuk menganalisa kebutuhan
kebersihan air adalah uji koliform. Koliform merupakan suatu grup bakteri yang
digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran di dalam air, karena salah
satu jenis bakteri koliform, yaitu Escherichia coli merupakan bakteri yang berasal

19

dari kotoran hewan maupun manusia. Adanya bakteri koliform dalam air
menunjukkan adanya mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan.
Air umumnya mendapatkan perlakuan sanitasi secara bertahap agar dapat
digunakan dalam proses produksi. Tahap-tahap tersebut meliputi filtrasi awal dan
pengendapan, penyaringan, penghilangan mikroba/disinfeksi, penghilangan
mineral terlarut dan control terhadap karat, bau dan rasa (Hariyadi R 2000).

Penyaringan awal dan Sedimentasi


Tujuannya adalah untuk menghilangkan benda-benda tersuspensi dengan
ukuran yang berbeda-beda termasuk tangkai, cabang, daun, padatan lain yang
besar dan mudah mengendap, serta partikel-partikel halus (koloidal) yang tidak
mengendap dan menyebabkan kekeruhan (Hariyadi R 2000).
Cara penghilangan benda-benda tersuspensi ini dapat dilakukan dengan
dua tahap, yaitu : tahap pertama adalah memisahkan padatan-padatan
berukuran besar dengan menggunakan saringan (kasar maupun halus).
Saringan terbuat dari bahan tahan karat, didesain dengan pengambilan yang
tepat untuk menarik air dari danau atau sungai. Luas areal yang terbuka
biasanya sekitar 150-200% luas pipa atau saluran yang dilindungi oleh saringan.
Kecepatan melalui saringan tidak melebihi 2 fps (feet per second).
Selanjutnya pada tahap kedua dengan menggumpalkan atau sedimentasi
partikel-partikel yang belum terendapkan dengan bantuan koagulan. Bahanbahan kimia yang banyak digunakan sebagai koagulan antara lain alumunium
sulfat, ferro sulfat, ferri klorida, ferri sulfat (copperas) dan copperas terklorinasi.
Kapur dalam bentuk Ca(OH)2 kadang-kadang dicampur dengan ferro sulfat atau
tidak dicampur, juga dibutuhkan dalam air yang kurang kesadahannya untuk
bereaksi dengan alumunium sulfat (Jenie 1998).

Penyaringan
Setelah proses penyaringan awal dan sedimentasi, air sudah tidak
mengandung benda-benda padatan tersuspensi ukuran besar, tetapi masih ada
partikel-partikel flok halus yang tertinggal dan dan benda-benda tersuspensi lain
yang berukuran sangat halus. Untuk menghilangkannya digunakan filter (Hariyadi
P 2000).
Filter terdiri dari suatu alas penyangga dari benda-benda granular untuk
menghilangkan benda-benda padatan tersuspensi dari air, dan dilengkapi

20

dengan alat untuk mempertahankan kecepatan aliran yang seragam melalui alas
tersebut, serta pembalikan arah aliran air secara periodik untuk mencuci
padatan-padatan yang terakumulasi dari medium filter. Sebagai filter umumnya
digunakan filter pasir atau arang aktif, dan filter multimedia menggunakan pasir,
granit, antrasit atau resin (Jenie 1998).
Filter pasir menggunakan butiran-butiran berukuran 0.3 dan 0.5 mm,
sehingga persentase bakteri dan virus dalam air yang terpisahkan cukup banyak.
Pasir untuk filter cepat harus mempunyai ukuran efektif 0.35-0.55 mm,
sedangkan filter lambat 0.20-0.40 mm. Dalam filter cepat ada kecenderungan
menggunakan klorinasi untuk penghilangan bakteri tahap terakhir (Jenie 1998).
Filter arang aktif menggunakan arang yang sudah diaktifkan atau
dibersihkan dari bahan-bahan organik yang terabsobsi. Filter arang aktif dapat
digunakan untuk menghilangkan bau, rasa, klorin dan warna dari air (Hariyadi R
2000).
Filter ini pada dasarnya merupakan multimedia yang terdiri dari lapisan
karbon aktif, silika, hancuran kerikil dan kerikil. Ukuran efektif arang adalah 0.41.6 mm dengan koefisien keragaman 1.4-1.6. Karbon biasanya diregenerasi
dengan pemanasan hingga 800C (Jenie 1998).

Disinfeksi Air
Tujuan dari disinfeksi air adalah untuk menginaktifkan bakteri dan virus
patogenik yang dapat dipindahkan melalui air. (Hariyadi R 2000). Patogen utama
dalam air adalah yang berasal dari kotoran manusia seperti Salmonella typhii,
Salmonella paratyphii, Shigella dan Vibrio cholerae. Organisme lain yang lebih
resisten adalah E. hystolytica yang dapat dihilangkan dengan filtrasi diatomoe
(Jenie 1998).
Klorin telah digunakan sebagai desinfektan untuk air sejak tahun 1896.
Oleh karena itu proses disinfeksi air disebut klorinasi. Jumlah klorin yang
digunakan tidak boleh terlalu sedikit karena tidak efektif, sedangkan jika terlalu
banyak akan timbul rasa atau bau yang tidak disukai. Waktu kontak dengan
klorin : 20-30 menit sebelum dikonsumsi. Fungsi klorin dalam penanganan air
tidak hanya untuk disinfeksi, tetapi juga untuk tujuan lain seperti : kontrol
terhadap ganggang yang hidup dalam reservoir dan kontrol terhadap
pertumbuhan bakteri pembentuk lendir pengikat besi (Jenie 1998).

21

Berbagai jenis senyawa yang ada di dalam air yang bereaksi dengan klorin
akan dapat menginaktifkan klorin. Selama masih banyak terkandung senyawasenyawa tersebut, klorin yang ditambahkan tidak dapat berdaya sebagai
desinfektan terhadap mikroorganisme. Hidrogen sulfida dan senyawa-senyawa
organik lainnya tidak dikehendaki keberadaannya di dalam air. Hanya setelah
kebutuhan klorin (chlorine demand) telah cukup banyak untuk bereaksi dengan
senyawa-senyawa tersebut, baru penambahan klorin selebihnya dapat berfungsi
dalam membunuh dan menghambat pertumbuhan mikroba. Dari sifat ini muncul
konsep Break Point Chlorination (Winarno 1986).
Bila air tidak mengandung senyawa yang dapat bereaksi dengan klorin,
maka semua klorin yang ditambahkan akan menjadi klorin bebas, berbanding
lurus dengan konsentrasi yang ditambahkan. Air tersebut dinamakan memiliki
chlorine demand nol (zero). Jika air mengandung bahan organik atau amonia
atau senyawa pengganggu lain dalam jumlah tinggi, residu klorin akan efektif
setelah chlorine demand tercukupi. Air ini memiliki chlorine demand yang tinggi
(Winarno 1986). Tahap-tahap reaksi yang terjadi bila klorin ditambahkan dalam
air dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tahapan reaksi penambahan klorin dalam air


Tahapan Reaksi

Deskripsi
terjadi destruksi senyawa-senyawa pereduksi klorin, tidak
Reaksi 1
ada disinfeksi
bila klorin ditambahkan lagi, terbentuk senyawa-senyawa
Reaksi 2
klorin organik dan ammonia-klorin yang mempunyai
disinfeksi lambat
penambahan klorin lebih lanjut, menyebabkan senyawaReaksi 3
senyawa di atas dihancurkan
klorin bebas terdapat dalam rasio tertentu dengan kelebihan
klorin yang ditambahkan, klorin bebas ini mempunyai kerja
Reaksi 4
disinfeksi yang cepat
Sumber : Jenie (1998)

Disinfeksi efektif membutuhkan residu klorin bebas : 0.2 mg/l pada kondisikondisi yang paling cocok atau 0.4-0.8 mg/l. Air dengan pH tidak lebih dari 7.0
residu bebas 0.2 mg/l setelah 10 menit, atau residu terikat 1.0-1.5 mg/l, 60 menit.
Air dengan pH = 8 residu klorin bebas 0.4 mg/l, residu terikat 1.8 mg/l. Air
dengan pH 9.0 residu klorin bebas 0.8 mg/l, agar residu klorin bebas efektif maka
pH harus lebih kecil dari 9.0 (Jenie 1998).

22

Dengan residu klorin bebas, warna air menjadi lebih bersih; besi, mangan
serta bahan organik lainnya digumpalkan dan diendapkan oleh klorin. Terutama
jika air tersebut disimpan dalam tangki penyimpanan minimal 2 jam. Sebagian
besar dari senyawa-senyawa penyebab rasa dan bau dihancurkan atau dirusak.
Rasa yang timbul dari reduksi sulfat menjadi sulfida juga tercegah oleh klorin.
Pertumbuhan berbagai mikroba yang tidak dikehendaki juga dapat dihindarkan,
asalkan jumlah residu klorin yang bebas selalu dijaga agar konsentrasinya dalam
air selalu cukup.
Disamping klorin, ozon juga sering digunakan dalam tahap disinfeksi
karena senyawa ini dapat membunuh bakteri, virus, sekaligus parasit. Sinar
ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang 240-280 nm juga digunakan untuk
disinfeksi air. Namun penggunaan sinar UV ini tidak efektif untuk spora,
memerlukan dosis tinggi untuk virus dan tidak efektif untuk protozoa. Senyawa
yodium juga dapat digunakan dalam proses disinfeksi, akan tetapi kurang reaktif
dan biayanya jauh lebih mahal dibandingkan dengan klorin (Hariyadi R 2000).

Penghilangan Mineral Terlarut dalam Air


Mineral-mineral yang terdapat dalam air seperti garam-garam Ca, Mg, F,
Fe dan Mn menyebabkan air menjadi sadah. Dalam air juga terdapat garamgaram Na dan K serta limbah radioaktif. Kesadahan sulfat disebabkan oleh
adanya senyawa-senyawa Ca dan Mg karbonat, sulfat dan lain-lain. Kesadahan
dapat digolongkan menjadi kesadahan karbonat dan non-karbonat. Pelunakan air
dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu ; (1) proses kapur-soda, menggunakan
kapur dan soda abu dan (2) proses pertukaran kation (cation-exchanger) atau
zeolit (Hariyadi R 2000).
Bila Flourin (F) terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada gigi
anak-anak. Jumlah F sebanyak lebih dari 1.5 mg/l umumnya ditolak. Pada
konsentrasi 1 mg/l NaF akan mencegah pengapuran gigi (dental caries). Cara
penghilangan flourin sulit, tetapi dapat dilakukan dengan beberapa cara : (1) air
kontak dengan Ca3(PO4)2; (2) pelunakan air dengan kapur dan soda abu
ditambah Mg; (3) pertukaran ion dan (4) penggunaan hidroksi apatat 3Ca3(PO)4
dan Ca(OH)2 (Jenie 1998).
Kandungan Fe dan Mn lebih dari 0.2-0.3 mg/l umumnya ditolak karena
menyebabkan timbulnya rasa, karat, warna dan deposit pada pipa. Kedua
mineral ini terdapat dalam benntuk Fe(HCO3)2, Mn(HCO3)2. Cara penghilangan

23

dengan kapur dan koagulan atau pertukaran kation pada pH 8.0-8.5 (Jenie
1998).
Zat radioaktif dalam air berasal dari instalasi energi atom dari industri,
lembaga-lembaga penelitian atau industri obat-obatan. Untuk menghilangkannya
dapat dilakukan dengan resin penukar kation, resin penukar anion, koagulasi
fosfat dan dengan penyulingan (mahal) (Jenie 1998).

Pengawasan terhadap Karat, Rasa dan Bau


Karat atau korosi dari air terutama tergantung pada hubungan kandungan
CO2 bebas dan alkalinitas, serta hubungan antara pH dan alkalinitas. Hubungan
antara pH dan alkalinitas air harus dipertahankan sedemikian rupa agar
terbentuk lapisan kalsium karbonat pada bagian dalam pipa saluran air, sehingga
karat tidak terjadi. Demikian pula hubungan antara kandungan CO2 dan
alkalinitas perlu diatur agar lapisan tersebut tidak terlarut (Jenie 1998).
Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa korosi dapat dicegah antara lain
dengan aerasi atau penambahan kapur (soda abu). Kadar CO2 bebas
dihilangkan, sedangkan alkalinitas dan pH ditingkatkan. Bila dilakukan aerasi,
CO2 bebas sebanyak 3-5 mg/l tetap ada. Air dengan CO2 bebas 3 mg/l bersifat
korosif kecuali bila alkalinitas tinggi lebih dari 85 mg/l. Bila CO2 bebas 5 mg/l,
alkalinitas harus 105 mg/l agar tidak terjadi korosi.
Penambahan kapur (soda abu) diperlukan untuk meningkatkan alkalinitas.
Bila kesadahan kurang dari 3.5 mg/l, air defisien dalam garam-garam Ca, oleh
karena itu perlu ditambah kapur. Bila kesadahan lebih besar dari 35 mg/l, lebih
baik ditambah soda abu. Cara kontrol lain adalah dengan deaerasi dan
penambahan natrium metafosfat kira-kira 0.5-2.0 mg/l akan mengurangi korosi
oleh Fe (Jenie 1998).
Biasanya air yang rasanya tidak enak, baunya juga tidak enak karena
keduanya berasal dari sumber yang sama. Mineral-mineral seperti Fe, Mg, sulfat,
Na Sulfat dan NaCl secara normal hanya menimbukan rasa. Timbulnya bau dan
rasa dapat disebabkan oleh penghancuran tanaman dari jenis ganggang,
senyawa-senyawa klorofenol, limbah industri (pengalengan, pabrik susu), bahan
organik dan gas. Menurut Hariyadi R (2000) beberapa cara

yang dapat

dilakukan untuk mengendalikan rasa dan bau diantaranya penambahan CuSO4,


klorin dan ammonia 1-25 ppm.

24

Sanitasi Peralatan dan Ruangan

Menurut Jenie dan Fardiaz (1989) salah satu sumber kontaminasi utama
dalam pengolahan pangan berasal dari penggunaan wadah dan alat-alat
pengolahan yang kotor dan mengandung mikroba dalam jumlah cukup tinggi.
Udara di dalam suatu ruangan juga dapat merupakan sumber kontaminasi dalam
pengolahan pangan. Udara tidak mengandung mikroflora secara alami, tetapi
kontaminasi dari lingkungan di sekitarnya mengakibatkan udara mengandung
berbagai mikroorganisme, misalnya dari debu, air, proses aerasi, dari penderita
yang mengalami infeksi saluran pencernaan, dari ruangan yang digunakan dalam
proses fermentasi dan sebagainya (Jenie dan Fardiaz 1989).
Meskipun kesehatan masyarakat adalah alasan utama dilakukannya
sanitasi, sesungguhnya bagi industri sanitasi dapat mengurangi kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh kebusukan atau keluhan konsumen. Pada
umumnya sanitasi peralatan dan ruangan dilakukan dengan cara pembersihan
(cleaning) yang dilanjutkan dengan sanitasi (sanitizing) (Hariyadi R 2000).

Pembersihan dan Metode Pembersihan


Proses pembersihan bertujuan untuk menghilangkan kotoran baik berupa
sisa-sisa bahan pangan ataupun mikroorganisme pada peralatan atau ruangan
pengolahan agar tidak menjadi sumber gizi bagi pertumbuhan mikroba. Untuk
pembersihan diperlukan air dan bahan pembersih. Bahan-bahan pembersih yang
umum digunakan meliputi bahan pembersih alkali, asam dan deterjen sintetis.
Menurut Hariyadi R (2000) pemilihan jenis pembersih akan sangat tergantung
pada jenis dan tingkat cemaran pada peralatan atau ruangan, sifat permukaan
yang akan dibersihkan sifat fisik dan kimia pembersih yang diinginkan, metode
pembersihan yang akan diaplikasikan, mutu air dan ketersediaan biaya.
Menurut Holah (2003), allkali merupakan bahan pembersih yang berguna
karena murah, mampu memecah protein karena kandungan ion hidroksil,
safonifikasi lemak, dan pada konsentrasi tinggi dapat berfungsi sebagai
bakterisidal. Pembersih alkali meliputi alkali kuat, sedang dan sabun. Pembersih
asam digunakan untuk melarutkan karbonat, deposit mineral (termasuk garam air
sadah) dan juga deposit protein dari permukaan alat (Holah 2003). Pembersih ini
umumnya mengandung 0.5% asam dan pH < 2.5 (Hariyadi R 2000).

25

Deterjen sintetis, seperti halnya sabun, memiliki gugus polar yang dapat
berikatan dengan air dan gugus non polar yang berikatan dengan senyawa non
polar seperti lemak dan protein, yang dalam hal ini merupakan kotoran.
Pembersih ini biasa dikenal juga dengan nama surfaktan (surfactant, surface
active agent), yang dapat digolongkan menjadi deterjen anionik, nonionik dan
kationik tergantung muatan ion yang terkandung dalam larutan (Holah 2003).
Menurut Hariyadi R (2000), beberapa metode pembersihan yang biasa
digunakan

meliputi

pembersihan

manual,

pembersihan

dengan

busa,

pembersihan dengan jel, pembersihan dengan ultrasonic dan pembersihan di


tempat (cleaning in place : CIP).
Pembersihan manual dapat dilakukan untuk alat-alat kecil dan umumnya
memerlukan bantuan seperti bahan penggosok mekanis, selang air, sikat, spons
dan alat penggosok. Pembersihan dengan busa dilakukan dengan cara
menyebarkan busa yang berasal dari deterjen pada permukaan alat atau area
yang

akan

dibersihkan.

Pembersihan

dengan

jel

dilakukan

dengan

mengaplikasikan pembersih bentuk jel dan banyak digunakan untuk pembersihan


alat pengemasan makanan. Pembersihan dengan ultrasonik memerlukan
generator

ultrasonik

yang

menghasilkan

gelombang

ultrasonik

yang

menghasilkan vibrasi. Vibrasi ini diteruskan kebagian wadah yang diisi dengan
air dengan alat-alat yang dibersihkan direndam di dalamnya (Hariyadi R 2000).
Pembersihan di tempat (clean in place : CIP) dilakukan untuk alat-alat yang
sukar atau tidak bisa dipindahkan. Berbagai peralatan industri pangan
dibersihkan dengan cara ini antara lain saluran pipa, heat exchanger (alat
penukar panas), mesin sentrifugasi dan homogenaiser. Prinsip pembersihan ini
adalah sirkulasi air secara bertahap, diikuti dengan sirkulasi deterjen, sanitaiser
dan pembilas melalui saluran pipa peralatan yang tetap terpasang di tempatnya.
Beberapa keuntungan sistem CIP antara lain : (1) menghemat biaya
operasional, (2) meningkatkan utilisasi pabrik, (3) meminimalkan proses manual,
(3) meningkatkan faktor keselamatan dan (4) meningkatkan higienitas.
Sedangkan kerugiannya antara lain : (1) biaya investasi tinggi, (2) biaya
perawatan bertambah dan (3) tidak fleksibel (Majoor 2003).
Prinsip sistem CIP adalah mengkombinasikan kelebihan dari aktivitas kimia
bahan pembersih dengan efek mekanis pembersihan kotoran. Larutan pembersih
dikeluarkan untuk kontak dengan permukaan kotoran, dan pada waktu, suhu

26

yang tepat. Pada Tabel 3 dijabarkan siklus operasional yang umum untuk sistem
CIP.

Tabel 3. Siklus operasional CIP


No
Operasional
1 Pembilasan awal (air panas/dingin)
2 Pembersihan dengan deterjen

Fungsi
Menghilangkan kotoran kasar
Menghilangkan kotoran yang
masih tertinggal
3 Pembilasan
Menghilangkan bahan pembersih
4 Sanitasi
Membunuh mikroorganisme
5 Pembilasan
terakhir
(pilihan, Menghilangkan bahan CIP dan
tergantung sanitaiser yang digunakan)
sanitaiser
Sumber : Majoor (2003)

Sanitasi dan Jenis Sanitaiser


Menurut Hariyadi R (2000), tahap sanitasi peralatan dan ruangan dilakukan
setelah pembersihan selesai diaplikasikan untuk membunuh mikroba berbahaya
yang masih tertinggal pada peralatan atau ruangan. Menurut Sandeep et al.
(2004), untuk sterilisasi udara dapat menggunakan filter High Efficiency
Particulate Arresting (HEPA) atau udara panas. Sedangkan senyawa yang
digunakan dalam proses sanitasi atau sanitaiser meliputi panas, ultraviolet, serta
senyawa kimia dari golongan halogen (klorin, yodium), peracetic acid, dan
ammonium kuartener. Jika senyawa kimia digunakan pada sanitasi peralatan
maka waktu kontak sedikitnya adalah 2 menit dan ada selang waktu 1 menit
antara pemberian sanitaiser dan penggunaan peralatan tersebut.
Beberapa syarat sanitaiser yang ideal diantaranya : mampu membunuh
mikroba dengan cepat, aman dan tidak menimbulkan iritasi pada pekerja, aman
untuk konsumen dan tidak melanggar peraturan perundangan, dapat dibilas tidak
berpengaruh buruk pada makanan yang sedang diolah, ekonomis, stabil,
compatible dengan senyawa lain yang digunakan dan mudah larut dalam air
(Hariyadi R 2000).
Menurut Winarno (1994) keefektifan sanitaiser tergantung pada jenis dan
konsentrasi sanitaiser, waktu kontak antara zat kimia dan bahan yang disanitasi,
suhu dan mutu air (pH dan kesadahan). Adanya kotoran tanah, residu zat
pembersih pada permukaan air atau di dalam air akan mengurangi keefektifan
daya bunuh sanitaiser terhadap mikroba. Pada prakteknya tidak ada gunanya
menggunakan sanitaiser pada permukaan peralatan yang kotor oleh tanah.

27

Panas
Menurut Hariyadi R (2000), panas adalah sanitaiser yang baik karena
menembus

celah,

tidak

korosif,

tidak

menimbulkan

residu,

membunuh

mikroorganisme dan relatif ekonomis. Air panas dapat diaplikasikan pada


peralatan sehingga suhu permukaan mencapai 82C atau lebih selama beberapa
menit. Selain itu dapat juga digunakan uap air panas dengan suhu 76.6C
selama 15 menit atau 93.3C selama 5 menit.

Ultraviolet
Mikroba mati dengan cepat jika terpapar sinar ultraviolet yang memiliki
panjang 2537 amstrong. Akan tetapi gelas, bahkan lapisan film dari cairan yang
keruh dapat melindungi mikroba dari sinar ultraviolet. Oleh karena itu,
penggunaan sinar ultraviolet dalam industri pangan terbatas untuk sanitasi udara
di atas ruang pengemasan, di dalam ruang pendingin dan pada headspace
tangki penyimpanan sirup gula. Sinar ini juga jarang digunakan dalam sanitasi air
karena daya bunuhnya terhadap mikroba sangat dipengaruhi oleh kekeruhan
(Hariyadi R 2000).

Klorin
Menurut Holah (2003) klorin adalah disinfektan paling murah dan tersedia
sebagai hipoklorit (atau gas klorin) atau dalam bentuk slow release (seperti
kloramin). Senyawa klorin yang umum adalah hipoklorit dan kloramin. Senyawa
ini memiliki aktivitas dengan kisaran yang luas termasuk spora, dan relatif tidak
mahal. Namun, aktivitas klorin ini dapat dihambat oleh senyawa organic dan
berpotensi memiliki efek samping pada lingkungan. Senyawa klorin dalam bentuk
tidak terlarut sangat korosif terhadap peralatan, dapat membayakan kesehatan
dan harus selalu ditangani hati-hati dan digunakan pada konsentrasi yang benar.
Pemilihan senyawa klorin bagi tiap-tiap penggunaan sebaiknya dilakukan
dengan baik, disamping peraturan yang harus diikuti, faktor penting dalam
pemilihan klorin adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh 99% dari
mikroba yang ada. Faktor lainnya seperti ph air dan jumlah senyawa organik dan
anorganik yang ada dalam air harus pula diperhitungnkan. Percobaan-percobaan
di laboratorium menunjukkan bahwa gas klorin sama efektifnya dengan hipoklorit,
sedangkan

kloramin

memerlukan

waktu

12-15

memusnahkan 99% spora bakteri (Hariyadi R 2000).

kali

lebih

lama

untuk

28

Yodium
Holah (2003) menyatakan bahwa senyawa yodium yang umum digunakan
untuk disinfeksi adalah yodofor, laruran yodium alkohol dan larutan yodium.
Dalam yodofor, yodium di dikombinasikan dengan surfaktan non ionik untuk
menghasilkan produk yang berguna. Yodofor sering digunakan sebagai sterilan
karena mengandung mengandung surfaktan jika dikombinasikan dengan asam.
Yodofor aktif sebagai antibakteri pada pH 3.0 dan aktivitasnya rendah sekali
pada pH 7.0.
Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa beberapa keuntungan penggunaan
yodium jika dibandingkan dengan klorin diantaranya (1) tidak mengiritasi kulit
pada dosis yang direkomendasikan, (2) berwarna kemerahan (amber) jika aktif
sehingga tidak diperlukan uji khusus, (3) kurang bereaksi dengan senyawa
organik. Meskipun demikian, yodofor memiliki beberapa kelemahan seperti (1)
menimbulkan noda pada epoksi, polivinil kkorida (PVC) dan permukaan lain, (2)
menghilangkan warna pati, (3) efektivita srendah pada pH netral, (4) lebih mahal
(5) tidak stabil pada suhu 49-60C.

Peracetic acid
Menurut Holah (2003), peracetic acid memiliki daya bunuh yang cepat dan
spektrum yang luas, bekerja dengan prinsip oksidasi, bereaksi dengan
komponen membran sel. Secara umum efektif melawan spora namun berbahaya
untuk digunakan. Bahan ini merupakan disinfektan asam yang aman secara
toksikologi dan aktif secara biologis. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam
asetat, laktat, propionat dan format.

Amonium kuartener
Senyawa ammonium kuartener adalah senyawa yang ambipolar, termasuk
deterjen kationik, yang diperoleh dari substitusi garam ammonium dengan anion
klorin atau bromin. Meskipun memiliki efek yang kecil pada spora, senyawa ini
relatif lebih ramah lingkungan dan mudah digunakan. Perlu diingat bahwa
beberapa senyawa alkali dapat mengurangi sifat bakterisidal ammonium
kuartener (Holah 2003).
Disamping digunakan sebagai pembersih, senyawa amonium kuartener ini
adalah sanitaiser yang efektif dan selekti. Senyawwa ini hanya memusnahkan
kelompok bakteri tertentu seperti bakteri asam laktat tetapi tidak efektif terhadap

29

visrus dan bakteri gram negatif seperti E.coli atau Pseudomonas aeruginosa.
Oleh karena itu, penggunaan senyawa ammonium kuartener ini seringkali
disertai dengan penggunaan klorin secara berkala. Hariyadi R (2000)
menyatakan bahwa beberapa sifat senyawa ini yang tidak dimiliki sanitaiser
lainnya adalah : (1) meninggalkan residu non volatil yang menghambat kapang
dan mikroba lainnya, (2) stabil terhadap pemanasan, (3) efektif pada pH yang
luas terutama yang agak basa, (4) non korosif dan tidak menyebabkan iritasi, (5)
tidak berasa atau berbau dan (6) kurang dipengaruhi oleh senyawa organik jika
dibandingkan dengan klorin.

Sanitasi Pekerja

Pekerja pada industri pangan yang terlibat sejak persiapan bahan baku,
pengolahan sampai dengan penyimpanan

merupakan sumber potensial

pencemaran mikroba. Menurut Holah dan Taylor (2003), kontaminasi mikroba


secara langsung dari pekerja ke produk pangan adalah melalui kontak fisik.
Kontaminasi pekerja ini dapat berasal dari saluran pencernaan, kulit, rambut,
mulut, hidung, kuping dan mata.
Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa pencegahan kontaminasi makanan
yang diolah para pekerja dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan pekerja,
penanganan makanan secara higienis dan memberi pendidikan kepada pekerja
tentang pentingnya memakai perlengkapan-perlengkapan dan praktek-praktek
untuk meminimalkan kontaminasi. Perlengkapan-perlengkapan tersebut antara
lain : sarung tangan, antiseptik kulit, penutup kepala, pakaian yang sesuai dan
praktek-praktek yang harus dikendalikan seperti mencuci tangan, makan,
merokok, mengunyah, mengenakan perhiasan atau kosmetik berlebihan.
Sarung tangan yang digunakan sebaiknya bersifat sekali pakai (disposable)
atau jika tidak mungkin maka setiap hari dicuci bersih dan dibuang jika sudah
berlubang atau robek. Sabun atau antiseptik seperti isopropil alkohol dan etanol,
yodium dan deterjen, atau larutan hipoklorit 50 ppm sebaiknya disediakan bagi
para pekerja. Penutup kepala terutama dapat menghindari jatuhnya rambut pada
makanan yang dari segi estetika tidak disukai. Di samping itu, kadang-kadang
rambut terkontaminasi oleh S.aureus yang dapat menyebabkan keracunan
makanan (Holah dan Taylor 2003).

30

Pekerja harus mengenakan pakaian bersih dan tidak berkantong pada


bagian atas agar tidak digunakan untuk menyimpan pensil, balpoin atau penjepit
kertas yang mungkin terjatuh pada makanan yang ditanganinya. Makan,
mengunyah dan merokok dapat menyebabkan kontaminasi dari mulut ke
minuman yang sedang diolah. Perhiasan seperti cincin, kalung, anting dan jam
tangan harus dilepas sebelum masuk ke ruang pengolahan. Pemakaian kosmetik
yang berlebihan juga tidak diperkenankan.

Anda mungkin juga menyukai