TINJAUAN PUSTAKA
Ready to drink (RTD) adalah istilah yang digunakan untuk produk minuman
dalam kemasan yang dijual dalam bentuk siap minum. Tergantung proses
produksi dan jenis produknya, kemasan produk RTD ini bermacam-macam.
Kemasan yang biasa dijumpai di pasar untuk produk RTD antara lain botol kaca,
botol plastik, pouch, kaleng dan lain-lain. Proses produksi minuman RTD dapat
dilakukan dengan metode konvensional menggunakan sistem pemanasan retort
atau dapat juga dengan menggunakan sistem pengolahan dan pengemasan
secara aseptik. Kedua sistem ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk
memperoleh produk dalam kondisi steril komersial sehingga aman untuk
dikonsumsi (Hariyadi P 2000).
Berdasarkan situs resmi USFDA (United States Food and Drugs
Administration) (www.cfsan.fda.gov), Codes of Federal Regulations (CFR) Titel
21, Vol. 2, bagian 114 produk yang dikaji dalam penelitian ini tergolong makanan
yang diasamkan (acidified foods). Pengertian
(acidified foods) sendiri adalah makanan berasam rendah yang ditambah dengan
asam atau makanan bersaman tinggi (acid foods). Makanan berasam tinggi (acid
foods) adalah makanan yang memiliki pH alami 4.6 atau kurang (USFDA 2008b).
Minuman atau makanan berasam tinggi jarang menimbulkan keracunan
karena bakteri patogen pada umumnya tidak tumbuh pada pH tersebut. Demikian
pula spora bakteri tidak menimbulkan masalah pada minuman atau makanan
semacam ini karena spora tidak dapat bergerminasi dan tumbuh pada pH di
bawah 4.6 (Fardiaz 1992). Holdsworth (1997) menyatakan bahwa derajat
keasaman suatu bahan dimana mikroorganisme mungkin tumbuh adalah faktor
penting dalam menentukan proses thermal yang akan digunakan.
Mikroorganisme menjadi lebih sensitif terhadap proses pemanasan dengan
semakin rendahnya pH medium pemanasan. Dengan kata lain sterilisasi
komersial dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah dan waktu yang lebih
pendek jika pH produk semakin rendah. Sebagai perbandingan, jika sterilisasi
komersial terhadap makanan berasam rendah harus dilakukan pada suhu 135150C selama beberapa detik, maka pada makanan berasam tinggi hanya
dibutuhkan suhu 85-95C selama 15-30 detik untuk mencapai keadaan steril
komersial (Fardiaz 1992).
Pada bahan pangan yang tergolong asam (pH < 4.5), proses pasteurisasi
sudah cukup untuk memperpanjang umur simpan. Proses pasteurisasi juga
bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk seperti khamir dan
kapang serta untuk menginaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan pangan
tersebut (Fellow 1992).
mempermudah
pengertian
tentang
sistem
pengolahan
dan
Aseptik
menggambarkan
suatu
kondisi
dimana
tidak
terdapat
3.
4.
maka
seluruh
peralatan,
bahan
kemas
dan
lingkungan
yang
mengawetkan
makanan
karena
panas
dapat
membunuh
atau
Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu yang relatif rendah yaitu
suhu di bawah 100C akan tetapi dengan waktu yang bervariasi dari mulai
beberapa detik sampai beberapa menit tergantung dari tingginya suhu tersebut.
Makin
tinggi
suhu
pasteurisasi,
makin
singkat
proses
pemanasannya.
terpenuhinya
kecukupan
panas
untuk
inaktivasi
mikroba
yang
menyebabkan kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana
ketahanan mikroba terhadap panas hingga proses dapat tercapai pada
kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdsworth 1997).
Nilai pH makanan merupakan faktor yang penting dalam menentukan
besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin
tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.5 - 4.6
bakteri pembusuk
10
dan juga
sterilisasi
dan
proses
pemanasan
bergantung
pada
11
integral kekuatan membunuh melalui percobaan antara waktu dan suhu sebagai
berikut :
t
P = 10 (T(t) Tref)/z. dt
0
Dimana :
T(t) : suhu produk (C)
Tref : suhu referen pada nilai DT (menit)
z
: faktor kinetic
Selain itu ditambahkan bahwa untuk menghitung kecukupan proses
Dimana :
P
Ninitial : jumlah mikroba awal sebelum dipasteurisasi (CFU/ml) pada suhu tertentu
Nfinal : jumlah mikroba akhir setelah dipasteurisasi (CFU/ml)
DT
2.
3.
4.
12
5.
13
Hal ini senada dengan yang dikemukakan Thaheer (2005) bahwa sistem
HACCP bersifat pencegahan yang berupaya untuk mengendalikan suatu areal
atau titik dalam sistem pangan yang mungkin bekontribusi terhadap suatu kondisi
bahaya, baik kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi terhadap
bahan baku, suatu proses, penggunaan langsung oleh pengguna ataupun
kondisi penyimpanan. Beberapa program prasyarat yang harus dilakukan
sebelum
mengaplikasikan
HACCP
adalah
diterapkannya
GMP
(Good
Gambar 1.
14
tinggi aman, dan tertib. Piramida hubungan antara HACCP, SSOP dan GMP
dapat dilihat pada Gambar 1.
sanitasi,
pengendalian
hama,
fasilitas
sanitasi,
peralatan
dan
15
GMP yang telah dikenal luas dan dikembangkan oleh USFDA juga dikenal
di Indonesia, yang tertuang dalam buku Pedoman Cara Produksi Makanan yang
Baik CPMB) tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Makanan
dan Minuman, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman ini memberikan penjelasan mengenai
cara produksi makanan yang baik pada seluruh rantai makanan, mulai dari
produksi primer sampai konsumen akhir, menekankan pengawasan terhadap
higiene pada setiap tahap dan menyarankan pendekatan HACCP bilamana
memungkinkan untuk meningkatkan keamanan pangan (Depkes 1996).
Perusahaan telah menerapkan GMP sesuai Pedoman Cara Produksi
Makanan yang Baik (CPMB) tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Direktorat
Pengawasan Makanan dan Minuman, Dirjen POM Depkes RI. CPMB yang
dikeluarkan pemerintah ini memang bersifat umum, tidak spesifik untuk jenis
produk tertentu. USFDA telah mengeluarkan pedoman CFR Titel 21, Bagian 110
untuk CGMP dan Bagian 114 untuk makanan yang diasamkan. Dari keseluruhan
persyaratan yang tertuang dalam semua pedoman ini, pengendalian proses dan
produk akhir dari produk baru minuman RTD berasam tinggi perlu dibuatkan
prosedur operasi standar (SOP)-nya.
Peran GMP dalam menjaga keamanan pangan sangat selaras dengan prerequisite (persyaratan dasar) penerapan HACCP. Secara umum persyaratan
dasar adalah hal-hal yang berkaitan dengan operasi sanitasi dan higiene pangan
suatu proses produksi atau penanganan pangan yang dikenal juga dengan GMP
(Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices) dan lain-lain.
Penerapan program persyaratan dasar ini harus didokumentasikan dalam
Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPO Sanitasi) atau Sanitation Standard
Operating Procedure (SSOP). Sedangkan dalam rangka monitoring dilakukan
khusus audit terhadap persyaratan dasar ini baik internal maupun eksternal
(Winarno dan Surono 2002).
Berdasarkan situs resmi USFDA, kondisi dan penerapan sanitasi sebelum,
selama dan setelah proses dalam penerapan SSOP tercantum di dalam United
States Food and Drugs Administration (USFDA) Codes of Federal Regulations
16
(CFR) Titel 21, Bagian 120 (Hazard Analysis and Critical Control Point) SubBagian 120.6 (Sanitation Standard Operating Procedures) (USFDA 2008c).
SSOP
yang
dijabarkan
dalam
CFR
Titel
21,
Sub-Bagian
120.6
dikelompokan menjadi 8 Kunci Persyaratan Sanitasi, yaitu : (1) keamanan air, (2)
kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (3)
pencegahan kontaminasi silang, (4) menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi
dan
toilet,
(5)
proteksi
dari
bahan-bahan
kontaminan,
(6)
pelabelan,
komitmen
kepada
pembeli
dan
inspektor
dan
(7)
17
Sanitasi Air
Air merupakan salah satu bahan yang paling penting dalam industri
pangan, karena air digunakan dalam berbagai kegiatan, baik untuk sanitasi,
boiler dan medium penghantar panas maupun proses pengolahannya sendiri. Air
juga dapat menjadi bagian yang terpadu dari produk akhir, seperti pada soft drink
dan bir, berbagai sari buah, sirup dan minuman-minuman tradisional serta jenis
minuman yang baru. Mutu makanan yang diolah sangat dipengaruhi oleh mutu
air yang digunakan dalam pengolahan. Air yang digunakan dalam pengolahan
harus bebas dari mikroba patogen maupun mikroba penyebab kebusukan
makanan.
Sebagian besar dari penggunaan-penggunaan air tersebut memerlukan
persyaratan atau standar mutu tersendiri. Pada umumnya, air yang memenuhi
persyaratan standar air minum, cukup baik memenuhi persyaratan untuk industri.
Beberapa jenis industri pangan tertentu bahkan memerlukan persyaratan mutu
yang lebih berat dan mendetil daripada standar air minum. Persyaratan mutu air
minum dalam kemasan dapat dilihat pada Tabel 1.
Dalam industri minuman ringan, mutu air harus dikendalikan dengan
memperhatikan faktor-faktor berikut dalam proses produksinya. Kesadahan
karbonat atau alkalinitas akan meningkatkan pH dari minuman yang seharusnya
asam. Hal ini akan menimbulkan perubahan rasa. Jika air bahan sudah
mengandung bau dan rasa tersendiri, maka hal ini sudah tentu akan mengubah
18
rasa dan bau produk minuman. Kekeruhan air juga akan mempengaruhi
penampilan produk. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan termasuk total padatan,
besi, mangan, sisa klorin dan jumlah mikroorganisme.
Tabel 1. Persyaratan mutu air minum dalam kemasan (SNI 01-3553-2006, BSN
2006a)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Kriteria Mutu
Keadaan :
a. bau
b. rasa
c. warna
pH
Kekeruhan
Zat yang terlarut
Zat organik (sebagai KMnO4)
Total organik karbon
Nitrat (sebagai NO3)
Nitrit (sebagai NO2)
Amonium (NH4)
Sulfat (SO4)
Klorida (Cl)
Fluorida (F)
Sianida (CN)
Besi (Fe)
Mangan (Mn)
Klor bebas (Cl2)
Kromium (Cr)
Barium (B)
Boron (Bo)
Selenium (Se)
Cemaran logam
a. Timbal (Pb)
b. Tembaga (Cu)
c. Cadmium (Cd)
d. Raksa (Hg)
e. Perak (Ag)
f. Kobalt (Co)
Cemaran arsen (As)
Cemaran mikroba
a. Angka lempeng total awal*)
b. Angka lempeng total akhir**)
c. Bakteri bentuk koli
d. Salmonella
e. Pseudomonas aeruginosa
Satuan
Persyaratan
Unit PtCo
NTU
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
Tidak berbau
Normal
Maks. 5
6.0 - 8.5
Maks 1.5
Maks 500
Maks 1.0
Maks 45
Maks 0.005
Mkas 0.15
Maks 200
Maks 250
Maks 1.0
Maks 0.05
Maks 0.1
Maks 0.05
Maks 0.1
Maks 0.05
Maks 0.7
Maks. 0.3
Maks 0.01
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
Maks 0.005
Maks 0.5
Maks 0.003
Maks 0.01
Maks 0.01
Koloni/ml
Koloni/ml
APM/100 ml
Koloni/ml
Maks 1 x 102
Maks 1 x 105
<2
negatif/100 ml
Nol
19
dari kotoran hewan maupun manusia. Adanya bakteri koliform dalam air
menunjukkan adanya mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan.
Air umumnya mendapatkan perlakuan sanitasi secara bertahap agar dapat
digunakan dalam proses produksi. Tahap-tahap tersebut meliputi filtrasi awal dan
pengendapan, penyaringan, penghilangan mikroba/disinfeksi, penghilangan
mineral terlarut dan control terhadap karat, bau dan rasa (Hariyadi R 2000).
Penyaringan
Setelah proses penyaringan awal dan sedimentasi, air sudah tidak
mengandung benda-benda padatan tersuspensi ukuran besar, tetapi masih ada
partikel-partikel flok halus yang tertinggal dan dan benda-benda tersuspensi lain
yang berukuran sangat halus. Untuk menghilangkannya digunakan filter (Hariyadi
P 2000).
Filter terdiri dari suatu alas penyangga dari benda-benda granular untuk
menghilangkan benda-benda padatan tersuspensi dari air, dan dilengkapi
20
dengan alat untuk mempertahankan kecepatan aliran yang seragam melalui alas
tersebut, serta pembalikan arah aliran air secara periodik untuk mencuci
padatan-padatan yang terakumulasi dari medium filter. Sebagai filter umumnya
digunakan filter pasir atau arang aktif, dan filter multimedia menggunakan pasir,
granit, antrasit atau resin (Jenie 1998).
Filter pasir menggunakan butiran-butiran berukuran 0.3 dan 0.5 mm,
sehingga persentase bakteri dan virus dalam air yang terpisahkan cukup banyak.
Pasir untuk filter cepat harus mempunyai ukuran efektif 0.35-0.55 mm,
sedangkan filter lambat 0.20-0.40 mm. Dalam filter cepat ada kecenderungan
menggunakan klorinasi untuk penghilangan bakteri tahap terakhir (Jenie 1998).
Filter arang aktif menggunakan arang yang sudah diaktifkan atau
dibersihkan dari bahan-bahan organik yang terabsobsi. Filter arang aktif dapat
digunakan untuk menghilangkan bau, rasa, klorin dan warna dari air (Hariyadi R
2000).
Filter ini pada dasarnya merupakan multimedia yang terdiri dari lapisan
karbon aktif, silika, hancuran kerikil dan kerikil. Ukuran efektif arang adalah 0.41.6 mm dengan koefisien keragaman 1.4-1.6. Karbon biasanya diregenerasi
dengan pemanasan hingga 800C (Jenie 1998).
Disinfeksi Air
Tujuan dari disinfeksi air adalah untuk menginaktifkan bakteri dan virus
patogenik yang dapat dipindahkan melalui air. (Hariyadi R 2000). Patogen utama
dalam air adalah yang berasal dari kotoran manusia seperti Salmonella typhii,
Salmonella paratyphii, Shigella dan Vibrio cholerae. Organisme lain yang lebih
resisten adalah E. hystolytica yang dapat dihilangkan dengan filtrasi diatomoe
(Jenie 1998).
Klorin telah digunakan sebagai desinfektan untuk air sejak tahun 1896.
Oleh karena itu proses disinfeksi air disebut klorinasi. Jumlah klorin yang
digunakan tidak boleh terlalu sedikit karena tidak efektif, sedangkan jika terlalu
banyak akan timbul rasa atau bau yang tidak disukai. Waktu kontak dengan
klorin : 20-30 menit sebelum dikonsumsi. Fungsi klorin dalam penanganan air
tidak hanya untuk disinfeksi, tetapi juga untuk tujuan lain seperti : kontrol
terhadap ganggang yang hidup dalam reservoir dan kontrol terhadap
pertumbuhan bakteri pembentuk lendir pengikat besi (Jenie 1998).
21
Berbagai jenis senyawa yang ada di dalam air yang bereaksi dengan klorin
akan dapat menginaktifkan klorin. Selama masih banyak terkandung senyawasenyawa tersebut, klorin yang ditambahkan tidak dapat berdaya sebagai
desinfektan terhadap mikroorganisme. Hidrogen sulfida dan senyawa-senyawa
organik lainnya tidak dikehendaki keberadaannya di dalam air. Hanya setelah
kebutuhan klorin (chlorine demand) telah cukup banyak untuk bereaksi dengan
senyawa-senyawa tersebut, baru penambahan klorin selebihnya dapat berfungsi
dalam membunuh dan menghambat pertumbuhan mikroba. Dari sifat ini muncul
konsep Break Point Chlorination (Winarno 1986).
Bila air tidak mengandung senyawa yang dapat bereaksi dengan klorin,
maka semua klorin yang ditambahkan akan menjadi klorin bebas, berbanding
lurus dengan konsentrasi yang ditambahkan. Air tersebut dinamakan memiliki
chlorine demand nol (zero). Jika air mengandung bahan organik atau amonia
atau senyawa pengganggu lain dalam jumlah tinggi, residu klorin akan efektif
setelah chlorine demand tercukupi. Air ini memiliki chlorine demand yang tinggi
(Winarno 1986). Tahap-tahap reaksi yang terjadi bila klorin ditambahkan dalam
air dapat dilihat pada Tabel 2.
Deskripsi
terjadi destruksi senyawa-senyawa pereduksi klorin, tidak
Reaksi 1
ada disinfeksi
bila klorin ditambahkan lagi, terbentuk senyawa-senyawa
Reaksi 2
klorin organik dan ammonia-klorin yang mempunyai
disinfeksi lambat
penambahan klorin lebih lanjut, menyebabkan senyawaReaksi 3
senyawa di atas dihancurkan
klorin bebas terdapat dalam rasio tertentu dengan kelebihan
klorin yang ditambahkan, klorin bebas ini mempunyai kerja
Reaksi 4
disinfeksi yang cepat
Sumber : Jenie (1998)
Disinfeksi efektif membutuhkan residu klorin bebas : 0.2 mg/l pada kondisikondisi yang paling cocok atau 0.4-0.8 mg/l. Air dengan pH tidak lebih dari 7.0
residu bebas 0.2 mg/l setelah 10 menit, atau residu terikat 1.0-1.5 mg/l, 60 menit.
Air dengan pH = 8 residu klorin bebas 0.4 mg/l, residu terikat 1.8 mg/l. Air
dengan pH 9.0 residu klorin bebas 0.8 mg/l, agar residu klorin bebas efektif maka
pH harus lebih kecil dari 9.0 (Jenie 1998).
22
Dengan residu klorin bebas, warna air menjadi lebih bersih; besi, mangan
serta bahan organik lainnya digumpalkan dan diendapkan oleh klorin. Terutama
jika air tersebut disimpan dalam tangki penyimpanan minimal 2 jam. Sebagian
besar dari senyawa-senyawa penyebab rasa dan bau dihancurkan atau dirusak.
Rasa yang timbul dari reduksi sulfat menjadi sulfida juga tercegah oleh klorin.
Pertumbuhan berbagai mikroba yang tidak dikehendaki juga dapat dihindarkan,
asalkan jumlah residu klorin yang bebas selalu dijaga agar konsentrasinya dalam
air selalu cukup.
Disamping klorin, ozon juga sering digunakan dalam tahap disinfeksi
karena senyawa ini dapat membunuh bakteri, virus, sekaligus parasit. Sinar
ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang 240-280 nm juga digunakan untuk
disinfeksi air. Namun penggunaan sinar UV ini tidak efektif untuk spora,
memerlukan dosis tinggi untuk virus dan tidak efektif untuk protozoa. Senyawa
yodium juga dapat digunakan dalam proses disinfeksi, akan tetapi kurang reaktif
dan biayanya jauh lebih mahal dibandingkan dengan klorin (Hariyadi R 2000).
23
dengan kapur dan koagulan atau pertukaran kation pada pH 8.0-8.5 (Jenie
1998).
Zat radioaktif dalam air berasal dari instalasi energi atom dari industri,
lembaga-lembaga penelitian atau industri obat-obatan. Untuk menghilangkannya
dapat dilakukan dengan resin penukar kation, resin penukar anion, koagulasi
fosfat dan dengan penyulingan (mahal) (Jenie 1998).
yang dapat
24
Menurut Jenie dan Fardiaz (1989) salah satu sumber kontaminasi utama
dalam pengolahan pangan berasal dari penggunaan wadah dan alat-alat
pengolahan yang kotor dan mengandung mikroba dalam jumlah cukup tinggi.
Udara di dalam suatu ruangan juga dapat merupakan sumber kontaminasi dalam
pengolahan pangan. Udara tidak mengandung mikroflora secara alami, tetapi
kontaminasi dari lingkungan di sekitarnya mengakibatkan udara mengandung
berbagai mikroorganisme, misalnya dari debu, air, proses aerasi, dari penderita
yang mengalami infeksi saluran pencernaan, dari ruangan yang digunakan dalam
proses fermentasi dan sebagainya (Jenie dan Fardiaz 1989).
Meskipun kesehatan masyarakat adalah alasan utama dilakukannya
sanitasi, sesungguhnya bagi industri sanitasi dapat mengurangi kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh kebusukan atau keluhan konsumen. Pada
umumnya sanitasi peralatan dan ruangan dilakukan dengan cara pembersihan
(cleaning) yang dilanjutkan dengan sanitasi (sanitizing) (Hariyadi R 2000).
25
Deterjen sintetis, seperti halnya sabun, memiliki gugus polar yang dapat
berikatan dengan air dan gugus non polar yang berikatan dengan senyawa non
polar seperti lemak dan protein, yang dalam hal ini merupakan kotoran.
Pembersih ini biasa dikenal juga dengan nama surfaktan (surfactant, surface
active agent), yang dapat digolongkan menjadi deterjen anionik, nonionik dan
kationik tergantung muatan ion yang terkandung dalam larutan (Holah 2003).
Menurut Hariyadi R (2000), beberapa metode pembersihan yang biasa
digunakan
meliputi
pembersihan
manual,
pembersihan
dengan
busa,
akan
dibersihkan.
Pembersihan
dengan
jel
dilakukan
dengan
ultrasonik
yang
menghasilkan
gelombang
ultrasonik
yang
menghasilkan vibrasi. Vibrasi ini diteruskan kebagian wadah yang diisi dengan
air dengan alat-alat yang dibersihkan direndam di dalamnya (Hariyadi R 2000).
Pembersihan di tempat (clean in place : CIP) dilakukan untuk alat-alat yang
sukar atau tidak bisa dipindahkan. Berbagai peralatan industri pangan
dibersihkan dengan cara ini antara lain saluran pipa, heat exchanger (alat
penukar panas), mesin sentrifugasi dan homogenaiser. Prinsip pembersihan ini
adalah sirkulasi air secara bertahap, diikuti dengan sirkulasi deterjen, sanitaiser
dan pembilas melalui saluran pipa peralatan yang tetap terpasang di tempatnya.
Beberapa keuntungan sistem CIP antara lain : (1) menghemat biaya
operasional, (2) meningkatkan utilisasi pabrik, (3) meminimalkan proses manual,
(3) meningkatkan faktor keselamatan dan (4) meningkatkan higienitas.
Sedangkan kerugiannya antara lain : (1) biaya investasi tinggi, (2) biaya
perawatan bertambah dan (3) tidak fleksibel (Majoor 2003).
Prinsip sistem CIP adalah mengkombinasikan kelebihan dari aktivitas kimia
bahan pembersih dengan efek mekanis pembersihan kotoran. Larutan pembersih
dikeluarkan untuk kontak dengan permukaan kotoran, dan pada waktu, suhu
26
yang tepat. Pada Tabel 3 dijabarkan siklus operasional yang umum untuk sistem
CIP.
Fungsi
Menghilangkan kotoran kasar
Menghilangkan kotoran yang
masih tertinggal
3 Pembilasan
Menghilangkan bahan pembersih
4 Sanitasi
Membunuh mikroorganisme
5 Pembilasan
terakhir
(pilihan, Menghilangkan bahan CIP dan
tergantung sanitaiser yang digunakan)
sanitaiser
Sumber : Majoor (2003)
27
Panas
Menurut Hariyadi R (2000), panas adalah sanitaiser yang baik karena
menembus
celah,
tidak
korosif,
tidak
menimbulkan
residu,
membunuh
Ultraviolet
Mikroba mati dengan cepat jika terpapar sinar ultraviolet yang memiliki
panjang 2537 amstrong. Akan tetapi gelas, bahkan lapisan film dari cairan yang
keruh dapat melindungi mikroba dari sinar ultraviolet. Oleh karena itu,
penggunaan sinar ultraviolet dalam industri pangan terbatas untuk sanitasi udara
di atas ruang pengemasan, di dalam ruang pendingin dan pada headspace
tangki penyimpanan sirup gula. Sinar ini juga jarang digunakan dalam sanitasi air
karena daya bunuhnya terhadap mikroba sangat dipengaruhi oleh kekeruhan
(Hariyadi R 2000).
Klorin
Menurut Holah (2003) klorin adalah disinfektan paling murah dan tersedia
sebagai hipoklorit (atau gas klorin) atau dalam bentuk slow release (seperti
kloramin). Senyawa klorin yang umum adalah hipoklorit dan kloramin. Senyawa
ini memiliki aktivitas dengan kisaran yang luas termasuk spora, dan relatif tidak
mahal. Namun, aktivitas klorin ini dapat dihambat oleh senyawa organic dan
berpotensi memiliki efek samping pada lingkungan. Senyawa klorin dalam bentuk
tidak terlarut sangat korosif terhadap peralatan, dapat membayakan kesehatan
dan harus selalu ditangani hati-hati dan digunakan pada konsentrasi yang benar.
Pemilihan senyawa klorin bagi tiap-tiap penggunaan sebaiknya dilakukan
dengan baik, disamping peraturan yang harus diikuti, faktor penting dalam
pemilihan klorin adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh 99% dari
mikroba yang ada. Faktor lainnya seperti ph air dan jumlah senyawa organik dan
anorganik yang ada dalam air harus pula diperhitungnkan. Percobaan-percobaan
di laboratorium menunjukkan bahwa gas klorin sama efektifnya dengan hipoklorit,
sedangkan
kloramin
memerlukan
waktu
12-15
kali
lebih
lama
untuk
28
Yodium
Holah (2003) menyatakan bahwa senyawa yodium yang umum digunakan
untuk disinfeksi adalah yodofor, laruran yodium alkohol dan larutan yodium.
Dalam yodofor, yodium di dikombinasikan dengan surfaktan non ionik untuk
menghasilkan produk yang berguna. Yodofor sering digunakan sebagai sterilan
karena mengandung mengandung surfaktan jika dikombinasikan dengan asam.
Yodofor aktif sebagai antibakteri pada pH 3.0 dan aktivitasnya rendah sekali
pada pH 7.0.
Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa beberapa keuntungan penggunaan
yodium jika dibandingkan dengan klorin diantaranya (1) tidak mengiritasi kulit
pada dosis yang direkomendasikan, (2) berwarna kemerahan (amber) jika aktif
sehingga tidak diperlukan uji khusus, (3) kurang bereaksi dengan senyawa
organik. Meskipun demikian, yodofor memiliki beberapa kelemahan seperti (1)
menimbulkan noda pada epoksi, polivinil kkorida (PVC) dan permukaan lain, (2)
menghilangkan warna pati, (3) efektivita srendah pada pH netral, (4) lebih mahal
(5) tidak stabil pada suhu 49-60C.
Peracetic acid
Menurut Holah (2003), peracetic acid memiliki daya bunuh yang cepat dan
spektrum yang luas, bekerja dengan prinsip oksidasi, bereaksi dengan
komponen membran sel. Secara umum efektif melawan spora namun berbahaya
untuk digunakan. Bahan ini merupakan disinfektan asam yang aman secara
toksikologi dan aktif secara biologis. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam
asetat, laktat, propionat dan format.
Amonium kuartener
Senyawa ammonium kuartener adalah senyawa yang ambipolar, termasuk
deterjen kationik, yang diperoleh dari substitusi garam ammonium dengan anion
klorin atau bromin. Meskipun memiliki efek yang kecil pada spora, senyawa ini
relatif lebih ramah lingkungan dan mudah digunakan. Perlu diingat bahwa
beberapa senyawa alkali dapat mengurangi sifat bakterisidal ammonium
kuartener (Holah 2003).
Disamping digunakan sebagai pembersih, senyawa amonium kuartener ini
adalah sanitaiser yang efektif dan selekti. Senyawwa ini hanya memusnahkan
kelompok bakteri tertentu seperti bakteri asam laktat tetapi tidak efektif terhadap
29
visrus dan bakteri gram negatif seperti E.coli atau Pseudomonas aeruginosa.
Oleh karena itu, penggunaan senyawa ammonium kuartener ini seringkali
disertai dengan penggunaan klorin secara berkala. Hariyadi R (2000)
menyatakan bahwa beberapa sifat senyawa ini yang tidak dimiliki sanitaiser
lainnya adalah : (1) meninggalkan residu non volatil yang menghambat kapang
dan mikroba lainnya, (2) stabil terhadap pemanasan, (3) efektif pada pH yang
luas terutama yang agak basa, (4) non korosif dan tidak menyebabkan iritasi, (5)
tidak berasa atau berbau dan (6) kurang dipengaruhi oleh senyawa organik jika
dibandingkan dengan klorin.
Sanitasi Pekerja
Pekerja pada industri pangan yang terlibat sejak persiapan bahan baku,
pengolahan sampai dengan penyimpanan
30