Anastesi Pada Telinga Hidung Dan Tenggorokan PDF
Anastesi Pada Telinga Hidung Dan Tenggorokan PDF
PENDAHULUAN
Walaupun luas dan mobile dilengkapi dengan mandibula, tulang hyoid, dan epiglotis,
lidah merupakan penyebab utama obstruksi jalan nafas pada pasien teranestesi. Walau
mudah terjadi obstruksi akibat adanya polip atau deformitas septum, jalur hidung
menghadirkan jalan alternatif untuk ventilasi, dan membantu stabilisasi pipa trakea.
Epistaksis terjadi akibat laserasi mukosa yang menutupi tiga turbin tipis yang dibangun
dari tiap dinding lateral.
Tonsil nasofaringeal (atau adenoid) melapisi tulang sphenoid. Walau terjadi atrofi setelah
childhood, masih dapat terjadi obstruksi atau perdarahan sewaktu intubasi nasotrakeal.
Bagian lunak palatum dapat memblok ekshalasi melewati hidung selama anestesi.
Inferior ke arah nasofaring, setinggi vertebrae serviks II dan III, orofaring berhubungan
dengan mulut melalui suatu lintasan bernama fauces. Setinggi vetebrae serviks IV-VI,
hipofaring berhubungan dengan laring dan esofagus, temasuk dua piriform fossae di
lateral.
Tiga kartilago tunggal (tiroid, krikoid dan epiglotis) dan tiga pasang kartilago (arytenoid,
corniculate dan cuneiform) membentuk laring. Abduksi pita suara selama inspirasi
memberi bentuk segitiga pada rima glottidis, keadaan paling sempit yaitu pada pasien
yang lebih tua dari 8 tahun. Pada anak yang lebih muda, yang tersempit adalah cincin
krikoid. Pita suara sejati dan false menyisip di permukan anterior kartilago tiroid dan
permukaan posterior kartilago arytenoid. Bentuk segitiga arytenoid berartikulasi dengan
bagian posterosuperior kartilago krikoid; pergerakan krikoid dan arytenoid mengontrol
posisi dan tegangan pita suara. Pada puncak arytenoid dan melekat dalam lipatan
aryepiglotis, kartilago corniculate dan cuneiform dari medial dan lateral prominen
mungkin menjadi satu-satunya landasan untuk menuntun kesulitan saat intubasi trakea.
Penampakan tegaklurus pada aksis longitudinal, epiglotis dewasa memiliki bentuk sabit
bersilangan; pada infant dan beberapa orang dewasa persilangan ini lebih membentuk U
yang menyebabkan lebih besarnya panjang relatif yang menghalangi terangkatnya glottis.
Valecullae turun diantara median dan dua ligamentum glossoepyglottis. Ligamentum
membuat elevasi tidak langsung epiglotis dengan lengkungan laryngoskop saat
mengangkat glottis.
Walaupun sering tidak kentara pada wanita dan anak-anak, titik tyroid superior mrupakan
tanda tersendiri pada permukaan anterior leher. Dapat diidentifikasikan sebagai
penurunan antara kartilago tyroid dan krikoid, ligamentum krikotyroid merupakan tempat
penyuntikan translaryngeal untuk anestesi lokal atau jarum emergensi untuk pembedahan
cricothyrotomi. Tanda esensial pada blok n. laryngeus superior adalah tanduk lateral dari
kartilago tiroid, dapat ditemukan setinggi vertebrae serviks III.
Tumbuh mulai setinggi 4 cm pada neonatus sampai 10-14 cm pada dewasa, trakea
terbentuk dari batas bawah kartilago krikoid sampai karina, dibagi menjadi cabang utama
broncus kanan dan kiri setinggi vertebrae thoraks V, bentuk tapal kuda kartilago trakea,
dihubungkan pada sisi anterior dengan otot trakealis, memberi kubah berbentuk D pada
persilangan dan merupakan konfirmasi penampakan pada fiberscopic bahwa trakea telah
berganti bronkus. Arkus aortae prominen, anomali vaskuler kongenital, massa
mediastinum anterior, dan membesarnya limfanodi dapat menekan trakea dan
mengganggu ventilasi.
Pada orang dewasa, panjang deviasi cabang utama bronkus kanan 1,8 cm dan kurang
deviasi dari aksis trakea bila dibandingkan 5 cm pada bronkus kiri. Pada infant, sudut
terbentuk oleh dua bronkus utama yang hampir sebanding, maka lebih sedikit
kemungkinan intubasi bronkus berada pada sisi kanan.
PERSIAPAN ANESTESI
Persiapan anestesi pada pasien pada pasien THT dimulai dengan kunjungan preoperatif
dan evaluasi oleh anestesiolog. Anestesiolog harus berusaha agar membangun hubungan
yang cepat dengan pasien yang belum dikenal sebelumnya, persetujuan pasien harus
diperoleh.
Tujuan yang harus dicapai melalui pengobatan preoperatif adalah:
o 1. Tujuan utama adalah mengurangi kegelisahan pasien. Pengurangan kecemasan
sebelum pembedahan lebih banyak tergantung pada hubungan yang telah
dibangun oleh ahli anestesi dengan pasien daripada pilihan obat premedikasi.
o 2. Bila terdapat nyeri preoperatif, penting untuk memberikan analgesik dalam
dosis cukup untuk meminimalkan eksaserbasi nyeri oleh gerakan-gerakan yang
diperlukan dalam memindahkan pasien dari tempat tidur ke meja operasi.
o 3. Jika dipertimbangkan tehnik anestesi ringan-seimbang, maka obat sedatif atau
amnesik harus merupakan bagian dari premedikasi untuk mengurangi
kemungkinan pasien sadar.
o 4. Penggunaan antisialogogue sering penting untuk pembedahan leher dan kepala,
dan endoskopi, karena jalan napas pasien tidak akan dapat terjangkau untuk
penghisapan manual oleh anestesiolog. Pengurangan volume sekresi juga akan
membantu endoskopi.
o 6. Obat premedikasi depresan juga dapat membantu tehnik anestesi itu sendiri
dengan cara memperlancar induksi inhalasi dan mengurangi kebutuhan obat
intraoperatif.
o 7. Obat premedikasi juga dapat untuk mengurangi kejadian mual muntah
postoperatif, walau untuk mencapai antiemesis yang efektif untuk operasi pada
telinga bagian dalam, efek premedikasi biasanya harus diperkuat dengan obat-
obat seperti droperidol tepat sebelum pasien terbangun.
PEMBEDAHAN NASAL DAN SINUS
Anestesi umum dengan ET (Endotrakeal Tube) yang dilengkapi cuff dan pharyngeal pack
untuk menghindari darah masuk kedalam esofagus. Ingat untuk mengambilnya sebelum
ekstubasi. Terlupa mengambil pack merupakan kesalahan yang paling mudah terjadi dan
dapat fatal akibatnya. Perdarahan dapat dikurangi dengan topical intranasal kokain 1-
10%, Injeksi nasal septum octopresin dan prilocaine (atau adrenalin), atau dapat
digunakan blok ganglion sphenopalatine yang membawa fiber vasodilator.
Pertimbangan Preoperatif
Pasien yang akan dilakukan bedah nasal atau sinus mungkin mempunyai pertimbangan
tingkat obstruksi nasal preoperatif yang disebabkan poplyp, deviasi septum atau kongesti
mukosal karena infeksi. Hal tersebut mungkin membuat sulit ventilasi sungkup muka,
apalagi jika bersamaan dengan penyebab lain sulitnya ventilasi (ct. obesitas, deformitas
craniofacial).
Polip nasal sering dihubungkan kelainan alergi seperti asma. Pasien yang juga
mempunyai riwayat reaksi alergi terhadap aspirin sebaiknya tidak diberikan NSAID (ct.
ketorolak). Polip nasal mempunyai gambaran umum berupa cystic fibrosis. Karena
mukosa nasal kaya suplai vaskular, interview preoperatif sebaiknya dikonsentrasikan
pada pertanyaan yang mengarah terhadap penggunaan obat (ct. aspirin) dan riwayat
masalah perdarahan.
Pertimbangan Intraoperatif
Idealnya, ekstubasi sebaiknya smooth, dengan batuk atau ketegangan yang minimal,
karena hal tersebut dapat akan meningkatkan perdarahan postoperatif. Sayangnya,
strategi yang mendukung tujuan ini cenderung meningkatkan resiko aspirasi (ct.
ekstubasi dalam).
Tujuan utama anestesi pada tonsilektomi elektif adalah menghasilkan anestesi umum yang dalam
yang melindungi terjadinya reflek yang menginduksi hipertensi, takikardi, atau aritmia.
Pelumpih otot diberikan untuk memudahkan penempatan mouth gage dan menghindari
perlawanan, batuk atau ketegangan.
Suasana psikologis mempunyai arti penting untuk anestesi yang lembut, terutama pada anak.
Dapat disertakan orang tua atau mainan anak. Menangis dan takikardi dapat meningkatkan
perdarahan. Premedikasi untuk anak cengeng berupa sirup temazepam (0,5 mg/kg) atau
midazolam (0,1 mg/kg). Kurangi nyeri pada penusukan vena dengan amethocaine gel atau
EMLA cream. Intermitten positive-presure ventilation (IPPV) atau spontan respirasi.
Paling aman mungkin melakukan ekstubasi trakea ketika pasien telah sadar. Recovery dengan
posisi tonsil (semi-prone, dilindungi terguling wajahnya dengan bantal di dada, serta fleksikan
lutut dan panggul), pertahankan posisi ini sampai pasien sadar penuh. Pemberian topical spray
lignocain 10% pada fossae tonsiler, mengurangi nyeri pasca operasi tanpa mempengaruhi reflek
protektif .
Saat induksi anestesi, diperlukan tambahan orang agar penghisapan darah dapat bejalan
baik. Induksi anestesi cepat dengan aplikasi penekanan krikoid dan posisi pasien sedikit
head-down akan melindungi trakea dan glotis dari aspirasi darah. Setelah induksi,
sebaiknya dipasang nasogastric tube dan dilepas kembali. Seperti tonsilektomi elektif,
ekstubasi teraman adalah saat penderita sadar.
ENDOSCOPY
Termasuk: laryngoscopy (diagnostik dan operatif), microlaryngoscopy (laringoscopy
dibantu dengan mikroskop operasi), esophagoscopy dan bronchoscopy. Prosedur
endoskopik dapat beserta penggunaan bedah laser.
Preoperatif
Sedatif merupakan kontraindikasi pada pasien dengan derajat obstruksi saluran nafas atas
yang signifikan. Pemberian glyccopirulat (0,2-0,3 mg im) satu jam sebelum pembedahan
terbukti membantu mengurangi sekresi, memudahkan visualisasi jalan nafas.
Intraoperatif
1. Pelumpuh Otot. Dapat diberikan infus kontinyu suksinilkolin, atau intermiten bolus
pelumpuh otot non-depolarisasi dengan durasi intermediate (ct: rocuronium, vecuronium,
atracurium).
2. Oksigenasi dan Ventilasi. Terdapat beberapa metode yang berhasil. Paling umum
adalah intubasi dengan ET berdiameter kecil (4,0-6,0 mm) tekanan positif konvensional.
Standar ET pada ukuran ini didisain untuk pasien anak. Terlalu pendek untuk panjang
trakea dewasa, dengan cuff bervolume rendah yang memerlukan tekanan tinggi untuk
melawannya. Mycrolaryngeal tracheal tube {MLT tube) no. 4,0-, 5,0- atau 6,0-mm
dengan panjang yang sama pada dewasa, lebih sesuai dengan cuff yang high-volume low-
pressure, dan lebih kaku dan tidak mudah mengkompresi dibanding ET biasa.
Keuntungan intubasi termasuk didalamnya adalah menghindari aspirasi dan kemudahan
menggunakan anestesi inhalasi dan monitor kontinyu end tidal CO2. Pada kasus dimana
operator membutuhkan visualisasi yang jelas, dapat dipakai insuflasi dengan aliran tinggi
oksigen melalui cateter kecil pada trakea. Kemungkinan lain tehnik intermitten apnea,
biasanya selama 2-3 menit. Pada tehnik ini terdapat bahaya hipoventilasi dan aspirasi.
Tehnik yang canggih memakai manual jet ventilator,pada bagian pangkal laryngoscope.
Variasi dari tehnik ini adalah high-frequency jet ventilation yang menggunakan kanul
atau pipa dalam trakea.
3. Stabilitas kardiovaskuler. Tekanan darah dan laju jantung sering berfluktuasi
disebabkan dua hal. Pertama banyak pasien mempunyai riwayat perokok atau peminum
alkohol berat yang merupakan predisposisi penyakit kardiovaskuler. Sebagai tambahan,
prosedur ini serupa dengan stres serial pada laringoskopi dan intubasi, dipisahkan dengan
periode yang bervariasi oleh stimulasi bedah yang minimal. Suplementasi dengan
anestesi short acting (ct: propofol) atau simpatetik antagonis (ct: esmolol) dibutuhkan
selama periode peningkatan stimulasi. Alternatif lain berupa blok saraf regional pada N.
Glossopharyngeus dan n. laryngeus superior yang akan meminimalisasi naik-turunnya
tekanan darah selama operasi.
LARYNGECTOMY
1. Obstruksi laring
2. Perdarahan
3. Emboli udara
4. Hambatan jalan nafas selama operasi
5. Reflek-reflek vaskuler dari retraksi sinus carotid
6. Resiko pembedahan memanjang (hipotermi dll)
7. Perawatan pasca trakeostomi, pelembaban, aseptic suction
8. Nutrisi parenteral atau jejunostomi feeding selama penyembuhan luka.
Kondisi operasi yang aman dan nyaman didapatkan pada operasi telinga baik melalui
anestesi lokal maupun anestesi umum.
1. Theatre seringkali relatif gelap (anastetis disarankan untuk menolak bekerja pada
kondisi gelap total.
2. Difusi N2O dapat meningkatkan tekanan pada obstruksi telinga tengah.
3. Kemungkinan besar terjadinya muntah pasca operasi.
ANESTESI LOKAL
BLOK SARAF
Penambahan efinefrin pada lokal anestesi meningkatkan intensitas dan durasi dari efek
dan memberikan vasokonstriksi lokal, yang dapat menurunkan perdarahan. Dosis aman
bagi efinefrin adalah 0,1 mg (10 ml dalam konsentrasi 1:10.000) dan bila perlu dapat
diulang setelah 20 menit.
ANESTESI UMUM
Anestesi umum pada bedah telinga membutuhkan perhatian untuk menjaga n. facialis,
dan efek N2O pda telinga tengah, posisi kepala yang ekstrim, kemungkinan emboli
udara, kehilangan darah, dan, selama bedah mikro pada telinga, kontrol perdarahan, dan
pencegahan mual dan muntah.
Ketika posisi kepala penderita pada pembedahan dengan anestesi umum, salah satunya
termasuk ekstensi kepala yang ekstrem dan diputarnya leher. Cedera dapat terjadi pada
pleksus brachialis (cedera regangan) atau servik vertebrae. Penderita dengan aliran darah
karotis yang terbatas terutama mudah terserang penurunan aliran darah yang berlanjut
pada posisi leher yang berlebihan.
Menjaga N. Facialis
Identifikasi pembedahan dan penjagaan terhadap n. facialis merupakan hal yang esensial
dalam banyak pembedahan pada telinga. Hal tersebut menjadi lebih mudah diketahui dan
dikonfirmasikan jika pasien tidak lumpuh total. Jika tehnik pelumpuh otot narkotik harus
dipakai, efek dari pelumpuh otot harus dimonitor untuk memastikan masih tersisanya 10-
20% respon otot. Prosedur pembedahan telinga dihubungkan dengan 0,6-3,0% insiden
paralisis n. facialis. Monitoring intraoperatif berupa bangkitan aktivitas
electromyographic wajah dapat menjaga fungsi n. facial selama pembedahan pada
mastoid/area tulang temporal.
Telinga tengah dan sinus-sinus paranasal merupakan rongga normal berudara dan tetap
terbuka, ruangan tanpa ventilasi. Ruangan telinga tengah mendapat ventilasi intermiten
saat tuba eusthachia terbuka. Ekspansi dari udara ruangan melalui pergantian nitrogen
dengan N2O dimana terdapat perbedaan 34-kalilipat antara koefisien darah/gas dari dua
gas (0,013 untuk nitrogen dan 0,46 untuk N2O). Terutama pada inhalasi dengan
konsentrasi tinggi, N2O memasuki ruang berudara lebih cepat dari keluarnya nitrogen.
Pada ruang yang tetap seperti telinga tengah, akan menghasilkan peningkatan tekanan.
Normalnya ventilasi pasif pada tuba eusthachii menghasilkan tekanan sekitar 200-300
mmH2O. Jika fungsi tuba eusthachii menurun karena trauma bedah, penyakit atau
inflamasi dan udema akut, tekanan telinga tengah dapat mencapai 375 mmH2O dalam 30
menit mulai diberikannya N2O.
Sebagai tambahan, setelah penghentian N2O, gas dengan cepat direabsorbsi, dan
menyokong, ditandai, terbentuknya tekanan negatif telinga tengah. Saat fungsi tubae
eusthachii abnormal, tekanan negative telinga -285 mm H2O dapat tercapai setelah 75
menit penghentian N2O. Tekanan tertentu dapat mendukung terjadinya serous ottitis,
disartikulasi stapes, dan mengganggu pendengaran. Diperlihatkan tanda berubahnya
tekanan telinga tengah berhubungan dengan N2O, Patterson dan Bartlet juga mencatat
gangguan pendengaran yang disebabkan oleh hematotympani dan disartikulasi penopang
stapes. Penelitian ini dipercaya bahwa anestesi N2O dapat beresiko pada pendengaran
pasien yang mendapatkan bedah rekonstruksi telinga tengah sebelumnya.
Memburuknya fungsi telinga tengah untuk sementara, peningkatan cepat tekanan telinga
tengah sesuai dengan konsentrasi inhalasi N2O, mual dan muntah, dan sobeknya
membran tympani semua berhubungan dengan meningkatnya tekanan telinga tengah dan
fungsi abnormal tuba eustachii selama anestesi N2O diberikan pada pasien yang rentan.
Pasien yang rentan termasuk di dalamnya adalah dengan riwayat bedah otologik, otitis
media akut atau kronik, sinusitis, infeksi saluran nafas bagian atas, membesarnya
adenoid, dan kondisi patologis pada nasofaring. Menurunnya kepekaan, meningkatnya
hambatan, dan tuli hantaran telah ditemukan pada pasien yang diberikan anestesi N2O
untuk adenotonsilektomi.
Bulging eardrum dan lifting of graft membrana tymfani dapat terjadi selama bedah
tymphanoplasty. Tidak ditemukan kejadian penggunaan N2O (kurang dari 50%) pada
anestesi umum typanoplasti tipe I yang mengganggu penempatan graft atau hasil akhir
prosedur pembedahan. Untuk menghindari komplikasi, anestetis harus mengetahui batas
konsentrasi N2O sampai 50% dan menghentikan penggunaannya 15 menit sebelum
menutup telinga tengah
Pembedahan Telinga Tengah : Mual dan Muntah
Prosedur pada telinga tengah sering menyebabkan mual dan muntah. PONV dapat
merusak hasil rekonstruksi telinga tengah yang lembut. Pengaturan anestesi pembedahan
telinga tengah termasuk didalamnya adalah minimalisasi PONV. Banyak obat yang
terbukti efektif, termasuk infus propofol, granisetron, transdermal scopolamine,
ondansetron, droperidol, dan eliminasi N2O. Diperlihatkan juga bahwa N2O mendorong
muntah pada anak setelah anestesi umum singkat untuk miringotomi. PONV dapat
dikontrol dengan dosis iv obat potensial antiemesis (contoh droperidol, 0,01/kg:
ondansetron, 0,05 mg/kg; atau dolasetron, 0,20 mg/kg) diberi selama pembedahan.
Miringotomy
Anestesi umum, contoh dengan LMA, cukup memuaskan. Vagal henti jantung dapat
terjadi bila area vagal pada membran tympani (disuplai oleh serabut auricular) di incisi
(dapat dihindari dengan pemberian atropin).
Beberapa jenis analgesi diperlukan pada seluruh anak yang diobati tanpa rawat inap.
Derkay dkk menemukan bahwa dapat digunakan tetes telinga saat operasi yang telah
dicampur dengan 4% lidokain, penggunaan analgesik oral preoperasi dapat memberikan
sedikit manfaat. Pemberian oral preoperasi berupa acetaminofen, atau acetaminofen
dengan codein, dan bahkan buthorphanol intranasal direkomendasikan sama efektifnya.
Operasi mastoid
Operasi dengan obstruksi telinga tengah, N2O dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
telinga tengah terjadi bulging pada intact drum. Terjadi peningkatan tekanan dengan
respirasi spontan (39 mmH2O/menit), IPPV (63mmH2O/menit) dapat terjadi terus
selama 5 menit. Penting bagi operasi seperti miringoplasti. Dapat dihindari dengan
menghentikan N2O, 30 menit sebelum graft. Anertesi bisa dengan obat iv dan udara atau
oksigen, volatile agent, sedative dan opioid sampai pembedahan selesai. Withdrawal
N2O dapat mengakibatkan tekanan subatmospheric dan retraksi tympani.
RINGKASAN
Pada pembedahan tenggorokan dan hidung, anestesiolog dan operator harus berbagi jalan
nafas. Masalah anestesi berhubungan dengan tersedianya jalan nafas yang bersih,
penggunaan sirkuit yang menjamin akses bedah yang optimal, penggunaan monitor yang
sesuai dan terus menerus, dan penggunaan alat yang melindungi trakea dan cabang
bronchial terhadap darah dan debris. Tenggorokan dan hidung merupakan bagian saluran
nafas atas, maka anestesi pada pembedahan daerah ini harus memperhatikan faktor-faktor
berupa premedikasi yang kuat tetapi tidak berlebihan, induksi yang lembut, penggunaan
ET yang mempunyai balon dan atau packing faring, dan posisi anti trandelenburg ringan.
Secara umum bedah pada hidung dan tenggorokan seperti tersebut diatas, tetapi secara
spesifik setiap jenis pembedahan mempunyai masalah yang bisa berbeda, karenanya
penanganan anestesi bisa berbeda pula.
Pada bedah telinga, dapat dilakukan anestesi lokal, regional, dan umum. Pada tehnik
anestesi lokal pasien harus kooperatif, prosedur pembedahan sederhana dan singkat.
Persiapan sebaiknya sama seperti pada prosedur anestesi umum dan premedikasi tidak
berlebihan.
Pada blok saraf selain hal-hal tersebut diatas perlu juga diperhatikan penambahan
epinefrin untuk meningkatkan intensitas dan durasi kerja. Dosis amam adalah 1:100.000.
Anestesi umum membutuhkan perhatian untuk menjaga n. facialis, efek N2O pada
telinga tengah, posisi kepala yang ekstrim, kemungkinan emboli udara, kehilangan darah,
kontrol perdarahan, dan pencegahan mual-muntah.
N2O dapat meningkatkan tekanan telinga tengah, maka harus hati-hati terutama untuk
timpanoplasti, karena dapat mengganggu penempatan graft. Harus diketahui batas
konsentrasi N2O sampai 50% dan penghentian penggunaanya 15 menit sebelum menutup
telinga tengah.
Posisi kepala yang ekstrim dapat menyebabkan cedera pada pleksus brakhialis atau servik
vertebrae. N fasialis perlu dijaga berhubungan dengan kejadian paralisis, terutama selama
pembedahan pada mastoid atau area tulang temporal. Kejadian PONV sering terjadi pada
prosedur pembedahan telinga tengah yang biasanya dapat dikontrol dengan obat potensial
antiemesis intravena.
DAFTAR PUSTAKA
1. Donlon Jr JV. Anesthesia for eye, ear, nose, and throat surgery. In: Miller RD, ed. Anesthesia. 5th ed.
New York: Churchill Livingston, 2000 : 2173-98.
2. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN. Surgical operations and choice of anesthetic. In: Lees
Synopsis of Anaesthesia. 12th ed. Oxford: Butterworth Heinemann, 1999: 385-494
3. Castro AD. Manajement of anesthesia for specialty procedurs. In: Dripps/Eckenhoff/Vandam, ed.
Introduction to Anesthesia.. 9th ed. Philadephia: WB Saunders Company, 1997: 415-27.
4. Morgan Jr GE, Mikhail MS. Anesthesia for otorhinolaryngologic Surgery. In: Clinical Anesthesiology.
2nd ed. Stamford: Lange Medical Book, 1996: 665-73.
5. Brown ACD. Anaesthesia for ear, nose and throat surgery. In: Healy TEJ, Cohen PJ, ed. Wylie and
Churchill-Davidsons A Practise of Anaesthesia. 6th ed. Boston: Edward Arnold, 1995: 1224-50.