Anda di halaman 1dari 18

BAGAIMANA OBAT BEKERJA?

Ditulis pada Maret 23, 2012


1. A. LEARNING OBJECTIVE
2. Bagaimanakah mekanisme kerja obat?
3. Apa saja cara pemberian obat?
4. Jelaskan tentang obat yang bekerja secara agonis dan
antagonis?
A. B. PENYELESAIAN
B. Mekanisme kerja obat (nasib obat didalam tubuh)
adalah
i. Farmasetis
Untuk mendapatkan respon, obat harus dipecah terlebih dahulu
menjadi molekul kecil. Misalnya dengan disolusi dan disintegrasi.
Dalam fase ini, yang penting adalah ketersediaan farmasi dari zat
aktifnya, yaitu obat siap untuk diabsorbsi.

1. Farmakokinetik
2. Absorbsi
Obat, untuk dapat menimbulkan aksi dan menghasilkan efek,
terlebih dahulu harus diabsorbsi. Proses absorbsi meliputi
masuknya obat hingga sampai ke aliran darah.

1. Absorbsi pada injeksi intravena


Injeksi larutan obat secara langsung ke aliran darah memberikan
prediksi respon farmakologik yang lebih baik.

1. Absorbsi pada injeksi intramuscular dan subkutan


Absorbsi pada kedua injeksi ini akan lebih cepat jika diberikan
dalam bentuk cairan. Kecepatan absorbsinya tergantung pada
vaskularisasi di wilayah tubuh yang diinjeksi. Faktor lainnya yang
mempengaruhi adalah konsentrasi obat, derajat ionisasi dan
bentuk lipid nonion, serta wilayah injeksi.

1. Absorbsi topikal
Pertama, obat dilepaskan lalu akan melakukan penetrasi ke
lapisan keratin atau stratum korneum dan akhirnya ditangkap
oleh kapiler darah.

1. Absorbsi pulmonari
Gas dan cairan volatil untuk anestesi diberikan yang diberikan
melalui inhalasi akan cepat diserap oleh sistem sirkulasi dengan
cara difusi melalui epitelium alveoli.

1. Absorbsi peroral
Pertama, obat mengalami disolusi atau pemecahan obat dari
bentuk solid. Caranya bermacam-macam, diantaranya mengubah
obat menjadi bentuk garam, memperkecil bentuk partikel atau
terkadang menggunakan teknik micronization. Setelah tahap ini,
obat harus stabil di lingkungan lambung dan intestinum.
Selanjutnya akan mengalami proses difusi di membran mukosa
gastrointestinal menuju vena porta hepatika. Dalam proses-
proses tersebut ada kemungkinan terjadi penurunan jumlah obat
yang dpat mencapai sistem sirkulasi.
(Adams, 2001)

1. Distribusi
Obat disampaikan ke reseptor melalui sistem sirkulasi dan
mencapai target reseptor yang dipengaruhi oleh aliran darah dan
konsentrasi jumlah darah di reseptor tersebut. Konsentrasi obat di
suatu sel dipengaruhi oleh kemampuan obat berpenetrasi ke
dalam kapiler endotelium (tergantung ikatan obat dengan protein
plasma) dan difusi melalui membran sel. Distribusi obat di darah,
organ dan sel tergantung dosis dan rute pemberian,
lipid solubility obat, kemampuan berikatan dari protein plasma
dan jumlah aliran darah ke organ dan sel.
(Adams, 2001)

1. Biotransformasi (metabolisme)
Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi dan dulu agar
dapat dikeluarkan dari tubuh. Pada azasnya, tiap obat adalah zat
asing yang tidak diinginkan tubuh, sehingga tubuh berusaha
merombak zat tersebut menjadi metabolit yang bersifat hidrofil
agar lebih lancer diekskresikan melalui ginjal, jadi reaksi
biotransformasi merupakan peristiwa detoksikasi. Biotransformasi
berlangsung terutama di hati, saluran pencernaan, plasma dan
mukosa intestinal.

Perubahan yang terjadi disebabkan oleh reaksi enzim dan


digolongkan menjadi 2 fase, yatiu fase pertama merupakan reaksi
perubahan yang asintetik (reasksi oksidasi, reduksi dan hidroksi)
dan fase kedua merupakan reaksi konjugasi.

Metabolisme dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologi dari


obat dengan bermacam-macam cara. Kebanyakan aktivitas
farmakologi dapat menurun atau hilang setelah mengalami
metabolisme. Hal tersebut dapat digunakan untuk menentukan
lama maupun intensitas aksi obat.

(Arief, 2007)

1. Ekskresi
Organ yang paling penting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat
diekskresikan dalam struktur tidak berubah atau sebagai
metabolit. Jalan lain yang utama adalah elimiasi obat melalui
sistem empedu masuk ke dalam usus kecil, obat atau
metabolitnya dapat mengalami reabsorbsi (siklus enterohepatik)
dan eliminasi dalam feses. Jalur ekresi dalam jumlah sedikit
adalah melalui air ludah dan air susu. Zat yang menguap seperti
gas anestesi berjalan melalui epitel paru-paru.

(Arief, 2007)

1. Farmakodinamik
Fase farmakodinamik merupakan terjadinya interaksi obat dengan
tempat aslinya dalam sistem biologi, aksi struktur khusus obat,
potensinya berhubungan dengan interaksi yang terjadi dengan
struktur khusus letaknya.

1. Efek
Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi
kecepatan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat
memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik
diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang hanya bekerja
setempat, misalnya salep.

1. Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara :


A. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
B. Parenteral dengna cara intravena, intramuscular dan
subkutan
C. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru
D. Efek lokal dapat diperoleh dengan cara :
i. Intraikular, intranasal, aural, dengan cara
diteteskan pada mata, hidung, telinga
ii. Intrarespiratorial, berupa gas masuk paru-paru
(Arief, 2007)

1. Cara pemberian obat adalah


A. Per oral
Cara pemberian obat lewat mulut dan yang paling umm
dilakukan. Obat yang diberikan lewat mulut dapat berbentuk
tablet dan kapsul. Keuntungan dari per oral adalah mudah, aman,
stabil, tahan lama, kandungan seragam, non steril dan murah.
Kerugiannya adalah bioavaibilitasnya banyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor, iritasi pada saluran pencernaan, dan perlu
kerjasama dengan penderita (tidak bisa diberikan pada penderita
koma).
1. Parenteral
Cara pemberian obat dengan cara suntikan. Keuntungannya
adalah efek timbul lebih cepat dan teratur; dapat diberikan pada
penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-
muntah; sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya
adalah dibutuhkan kondisi asepsis, menimbulkan rasa nyeri ,
tidak ekonomis, membutuhkan tenaga medis. Parenteral meliputi
intravena, intramuscular, subcutan dan intrathecal.

Intravena tidak mengalami tahap absorbsi. Obat langsung


dimasukkan ke pembuluh darah sehingga kadar obat didalam
darah diperoleh dengan cepat, tepat dan dapat disesuaikan
langsung dengan respons penderita. Kerugiannya adalah obat
yang sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali, sehingga efek
toksik lebih mudah terjadi. Jika penderita alergi akan lebih terjadi.
Pemberian intravena harus dilakukan perlahan-lahan sambil
mengawasi respons penderita.

Pada intramuscular, kelarutan obat dalam air menentukan


kecepatan dan kelengkapan absorbsi. Obat yang sukar larut
seperti dizepam dan penitoin akan mengendap di tempat
suntikan sehingga absorbsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan
tidak teratur. Obat yang larut dalam air lebih cepat diabsorbsi.
Tempat suntikan yang sering dipilih adalah gluteus maksimus dan
deltoid.

Pada daerah subcutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang


tidak iritatif terhadap jaringan. Absorbsi biasanya berjalan lambat
dan konstan, sehingga efeknya bertahan lebih lama. Absorbsi
menjadi lebih lambat jika diberikan dalam bentuk padat yang
ditanamkan dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi. Pemberian
obat bersama dengan vasokonstriktor juga dapat memperlambat
absorbsinya.
Untuk intrathecal, obat langsung dimasukkan kedalam ruang
subaraknoid spinal, dilakukan bila diinginkan efek obat yang
cepat dan setempat pada selaput otak atau sumbu cerebrospinal
seperti pada anestesia spinal atau pengobatan infeksi sistem
saraf pusat yang akut.

1. Inhalasi
Inhalasi adalah proses melalui paru-paru. Inhalasi hanya dapat
dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang
mudah menguap. Misalnya anestesi umum dan obat lain yang
dapat diberikan dalam bentuk aerosol. Absorbsi terjadi melalui
epitel paru dan mukosa saluran nafas. Absorbsi terjadi secara
cepat karena permukaan absorbsinya luas, tidak mengalami
metabolisme lintas pertama di hati. Metode ini lebih sulit
dilakukan, memerlukan alat dan metode khusus, sukar
mengaturya dosis dan sering mengiritasi paru.

1. Topikal
Topikal adalah sediaan untuk keperluan luar tubuh yang bekerja
sebagai agen protektif bagi kulit atau sebagai pembawa obat.
Dalam bentuk ini yang terpenting adalah saleb dan krim. Topikal
sering dilakukan terutama pada kulit dan mata. Pemberian topikal
pada kulit terbatas pada obat-obat tertentu karena tidak banyak
obat yang dapat menembus kulit yang utuh. Jumlah obat yang
diserap tergantung pada luas permukaan kulit yang kontak
dengan obat serta kelarutan obat dalam lemak. Peberian topikal
pada mata dimaksudkan untuk mendapatkan efek lokal pada
mata, yang biasanya memerlukan absorbsi obat melalui kornea.

(Hsu.walter h. 2008)

1. Supositoria (rektal)
Supositoria adalah bentuk sediaan yang didisain untuk diberikan
lewat jalur rektal, baik untuk maksud mendapatkan efek lokal
atau sistemik.
1. Pesaria (vaginal)
Pesaria adalah bentuk sediaan yang didisain untuk diberikan
untuk lewat jalur vagina.

1. Obat yang bekerja secara agonis dan antagonis adalah


A. Agonis
Dapat didefinisikan bahwa agonis adalah obat yang mempunyai
afinitas kimia terhadap reseptor dan membentuk suatu kompleks
dan sebagai hasilnya akan mengubah fungsi (Arief, 2007).

Ada 2 macam agonis, yaitu full agonist dan partial agonist. Full
agonist menimbulkan respons maksimal dengan cara menempati
reseptor. Sedangkan partial agonist tidak dapat menimbulkan
respon maksimal walaupun menempati semua fraksi dari
reseptor.
Afinitas adalah tendensi suatu obat untuk berikatan dengan
reseptor, dimana aktivitas intrinsic berarti efek maksimal yang
dapat diproduksi oleh obat. Potensi obat diartikan dosis yang
harus diberikan untuk memeberikan efek. Potensi dipengaruhi
oleh afinitas obat dengan reseptor serta proses farmakokinetik.

(Adams, 2001)

1. Antagonis
Antagonis adalah jenis obat yang memblokir respon dari agonis.
Obat antagonis berinteraksi dengan reseptor atau komponen lain
dari efektor, namun tidak memiliki aktifitas intrinsik.

Ada 4 macam antagonisme obat :

1. Antagonisme kimiawi
Interaksi atau reaksi kimiawi / fisikokimiawi dari 2 obat.

1. Antagonisme fungsional
Antagonisme antara 2 agonis yang efeknya berlawanan, dapat
bekerja pada jaringan yang sama.

1. Antagonisme kompetitif
Antagonisme antara agonis dan antagonis (obat-obat yang
hampir sama rumus kimianya) yang dapat mengadakan interaksi
dengan reseptor yang sama, tapi dengan afinitas dan aktifitas
intrinsik yang berbeda.

1. Antagonisme kompetitif ekuilibrium (reversibel)


Agonis dan antagonis memperebutkan reseptor yang sama,
interaksi dengan reseptor bersifat reversibel.

1. Antagonisme kompetitif non ekuilibrium


Agonis dan antagonis memperebutkan reseptor yang sama,
ikatan yang terjadi antar antagonis dan reseptor sangat kuat
sehingga sulit dilepas.

1. Antagonisme non kompetitif


Agonis dan antagonis bekerja pada tempat yang berlainan namun
pada reseptor yang sama (titik reaksinya berbeda).

Daftar Pustaka
Adams, H Richard. 2001. Veterinary Pharmacology and
Therapeutics 8th edition. Blackwell Publishing.
Arief, Moh. 2007. Farmasetika. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Hsu.walter h. 2008. Handbook of vet pharmacology. America :
Wiley blackwell
Pengantar Farmakologi
13012009
Farmakologi

pengantar farmakologi

farmakokinetik dan farmakodinamik

( By : Kelompok 7 )

I.FARMAKOKINETIK

Farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi,


distribusi dan eliminasi ( yakni ekskresi dan metabolisme ) obat pada
manusia atau hewan dan menggunakan informasi ini untuk meramalkan efek
perubahan-perubahan dalam takaran,rejimen takaran, rute pemberian, dan
keadaan fisiologi pada penimbunan dan disposisi obat. (1)

Absorpsi, distribusi, biotransformasi ( metabolisme ) dan eliminasi suatu


obatdari tubuh merupakan proses dinamis yang kontinu dari saat suatu obat
dimakan sampai semua obat tersebut hilang dari tubuh. Laju terjadinya
proses-proses ini mempengaruhi onset, intensitas, dan lamanya kerja obat di
dalam tubuh. (1)

A.Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantunng pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat
adalah saluran cerna ( mulut sampai dengan rectum ), kulit, paru, otot, dan
lain-lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara
ini tempat absopsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan
absorpsi yanng sangat luas, yakni 200 m2 ( panjang 280 cm, diameter 4 cm,
disertai dengan villi dan mikrovilli ).(2)
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi
pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila obatdalam bentuk non-ion dan
mudah larut dalam lemak. Absorpsi secara transpor aktif terjadi teutama di
dalam usus halus untuk zat-zat makanan : glokusa dan gula lain, asam
amino, basa purin, dan pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini
juga terjadi untuk obat-obat yang struktur kimianya mirip struktur zat
makanan tersebut. Misalnya levodopa, metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-
flourourasil.(2)

Kebanyakan obat merupakan electrolit lemah, yakni asam lemah atau basa
lemah. Dalam air, elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk ionnya.
Untuk asam lemah, pH yang tinggi (suasana basa ) akan meningkatkan
ionisasinya dan mengurangi bentuk nonionnya. Sebaliknya untuk basa
lemah, pH yang rendah (suasana asam ) yang akan meningkatkan
ionisasinya dan mengurangi nonionnya. Hanya bentuk nonion yang
mempunyai kelarutan lemak, sehingga hanya bentuk nonion dan bentuk ion
berada dalam kesetimbangan, maka setelah bentuk nonion diabsopsi,
kesetimbangan akan bergeser kearah bentuk nonion sehingga absorpsi akan
berjalan terus sampai habis.Zat-zat makanan dan oabt0obat yanng
strukturnya mirip makanan, yang tidak dapat / sukar berdifusi pasif
memerlikan membran agar dapat dapat diabsorpsi dari saluran cerna
maupun direabsopsi dari lumen tubulus ginjal.(2)

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi:


-Derajat ionisasi

-Dosis dan waktu pemberian obat

-pH dan pK

-pelarut obat dan bentuk obat

-luas permukaan absorpsi

-aliran darah

-kondisi usus dan kecepatan pengosongan lambung

-interaksi dengan obat lain

B.Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga
ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Obat yang mudah larut dalam lemak
akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat
yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga
distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi
oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat
berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein
plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar
proteinnya sendiri. (2)

Untuk mencapai sel target, suatu obat harus dapat menembus sawar
biologic, dapat berupa membrane yang terdiri atas satu atau beberapa sel.
Pada sawar darah otak, obat-obatan yang larut dalam air sulit melewatinya
dan pada sawar plasenta hanya obat-obatan dengan BM besar (seperti
heparin, plasma sekunder) sukar masuk fetus (3).

Oleh karena molekul protein plasma cukup besar, maka hanya fraksi obat
bebas saja yang mempunyai arti klinis, karena bagian tersebut yang dapat
mencapai reseptor pada organ sasaran (termasuk bakteri). Protein plasma
yang berikatan dengan molekul obat terutama adalah albumin(A), disamping
itu protein lain juga berperan, misalnya alfa amino globulin (AAG) dan
lipoprotein (LP) pada keadaan tertentu.(1)

C.Eliminasi
Proses eliminasi bertanggung jawab atas durasi atau lamanya obat berefek
dengan cara mengusahakan agar obat dapat segera dikeluarkan dari tubuh,
temasuk ke dalam alat eksresi seperti ginjal, hati dan paru. Agar obat mudah
dieksresi, kadang-kadang obat harus diubah lebih dahulu menjadi senyawa
lain yang bersifat tidak mudah larut dalam lemak baru dieksresi. Proses
metabolisme dan eksresi secara merupakan proses eliminasi. [3]

D.Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses perubahan struktur
perubahan kimia yang tejadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada
poses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar (lebih mudah larut dalam
air) dan kurang larut dalam lemak sehingga mudah dieksresi melalui ginjal
[2].

Kebanyakan obat diubah di hati dalam hati, kadang-kadang dalam ginjal dan
lain-lain. Kalau fungsi hati tidak baik maka obat yang biasanya diubah dalam
hati tidak mengalami peubahan atau hanya sebagian yang diubah. Hal
tesebut menyebabkan efek obat berlangsung lebih lama dan obat menjadi
lebih toxic [4].

Metabolisme obat di hepar terganggu oleh adanya zat hepatotoksik atau


pada sirosis hepatis kaena pada keadaan-keadaan tesebut terjadi kerusakan
sel parenim hati serta enzim-enzim metabolismenya. Dalam hal ini dosis
obat yang eliminasinya terutama melalui metabolism di hati harus
disesuaikan atau dikurangi. Demikian juga penurunan alir darah hepar, baik
oleh obat maupun gangguan kardiovaskular, akan mengurangi metabolisme
obat di hati [2].

E.Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau
metabolit yang polar diekskresi lebih cepat daripada obat yang larut baik
dalam lemak, kecuali pada eksresi melaui paru-paru.[2]

Ginjal merupakan organ eksresi yang terpenting [2]. Metabolit yang larut
dalam air sukar direabsorpsi oleh tubuli ginjal, sehingga akan dikeluarkan
bersama-sama urine. Sebaliknya, obat yang mudah laut dalam lemak jika
sudah berada dalam tubuli ginjal sebagian besar direabsorpsi oleh tubuli
ginjal. Obat yang tidak dapat difiltasi oleh glomerulus bisa disekresi oleh
ginjal melalui sekresi tubulus. Jadi proses eliminasi oleh ginjal (ekskresi)
meupakan hasil dari proses-proses filtrasi glomerulus, reabsorbsi, dan
sekresi tubulus [4]. Bila fungsi ginjal rusak sedangkan obat harus dikeluarkan
melalui ginjal maka eksresinya tidak sempurna dan memudahkan terjadinya
keracunan [1]. Hasil ekskresi dapat berupa urine, air ludah, air susu, air
mata, keringat dan lain-lain [1].

II.FARMAKODINAMIK

Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimiawi dan


fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. (2) Sifat kerja obat tersebut
menentukan kelompok tempat obat tersebut digolongkan dan sering kali
mempunyai peran penting untuk memutuskan apakah kelompok tersebut
adalah terapi yang tepat untuk gejala atau penyakit tertentu, (1)

Mekanisme Kerja Obat


Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel
suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan
perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat
tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional
yang kencakup dua fungsi penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah
kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu
fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Setiap
komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat
tertentu, juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen (hormon,
neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen
disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas
intrinsic tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat
ikatan agonis (agonit binding site ) disebut antagonis.(2)

Teori Reseptor
Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat
tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat
bekerja melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara
mengubah aktivitas biokimia dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal
dengan istilah reseptor. (1)

Sebagian besar reseptor adalah protein karena struktur polipeptida


memberikan perbedaan corak dan kekhususan yang diperlukan dari bentuk
dan muatan listrik.

Reseptor obat yang paling baik adalah protein regulator, yang menjembatani
kerja dan sinyal-sinyal bahan kimia endogen, seperti: neurotransmitter,
autacoids, dan hormone. Kelompok reseptor ini menjembatani efek dari
sebagian besar agen terapeutik yang paling bermanfaat. Struktur molekuler
dan mekanisme biokimia reseptor regular ini menggunakan lima mekanisme
dasar sinyalisasi transmembran yang masing-masing menggunakan strategi/
pendekatan yang berbeda untuk menghindari halangan yang disebabkan
oleh dua lapisan lemak (bilayer lipid) membran plasma. Strategi pendekatan
ini menggunakan:
1.Ligan larut lemak yang melintasi membrane dan bekerja pada reseptor
intraseluler.
Sinyal kimia larut lemak melintasi membran plasma dan bekerja pada
reseptor intraseluler (yang mungkin adalah enzim atau pengatur transkripsi
gen)
2.Protein reseptor transmembran yang aktivitas enzimatik intraselulernya
diatur secara allosterical oleh ligan yang terikat pada tempat di domain
ekstraseluler protein.
Sinyal tersebut terikat pada domain ekstraseluler protein transmembran,
sehingga mengaktifkan aktivitas enzimatis domain sitoplasmiknya.
3.Reseptor transmembran yang mengikat dan menstimulasi protein tyrosine
kinase.
Sinyal tersebut terikat pada domain ekstraseluler reseptor transmembran
yang terikat pada protein kinase tyrosine, yang diaktifkannya.
4.Kanal ion transmembran yang ligand-gated, yaitu kanal ion yang
pembukaan/ penutupannya dapat diinduksi oleh ligan yang terikat pada
reseptor kanal ion tersebut.
Sinyal tersebut terikat dan langsung mengatur pembukaan saluran ion.
5.Protein reseptor transmembran yang menstimulasi transduktor yang
memberi sinyal setelah berikatan dengan GTP (protein G) yang kemudian
menimbulkan pembawa pesan kedua.
Sinyal tersebut terikat pada reseptor permukaan sel yang dihubungkan pada
enzim efektor oleh protein G.

Kelompok protein lainnya yang telah dikenal jelas sebagai reseptor obat juga
termaasuk enzim, yang mungkin dihambat (atau, yang kurang umum,
diaktifkan) dengan mengikat obat (misalnya dihydrofolate reductase,
reseptor untuk obat antikanker methotrexate), protein pembawa (transport
protein) (misalnya, Na+/ K+ ATPase, reseptor membran untuk digitalis,
glycoside yang aktif pada jantung) dan protein structural (misalnya, tubulin,
reseptor untuk colchicine, agen antiinflamasi).(3)
Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen hidrofobik, van der
walls, atau kovalen , tetapi umumnya merupakan campuran dari berbagai
ikatan di atas.(2)

Konsep reseptor ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting


untuk perkembangan obat dan pengambilan keputusan terapeutik dalam
praktek klinik.
1.Pada dasarnya reseptor menentukan hubungan kuantitatif antara dosis
atau konsentrasi obat dan efek farmakologi: afinitas reseptor untuk mengikat
obat menentukan konsentrasi obat yang diperlukan untuk membentuk
kompleks obat- reseptor (drug-receptor complexes) dalam jumlah yang
berarti, dan jumlah reseptor secara keseluruhan dapat membatasi efek
maksimal yang ditimbulkan oleh obat.
2.Reseptor bertanggung jawab pada selektivitas tindakan obat : ukuran,
bentuk dan muatan ion elektrik molekul obat menentukan apakh-dan dengan
kecocokan/kesesuaian yang bagaimana- molekul itu akan terikat pada
reseptor tertentu diantara bermacam-macam tempat ikatan yang secara
berbeda. Oleh karena itu, perubahan struktur kimia obat secara dramatis/
mencolok dapatmenaikan atau menurunkan afinitas obat-obat baru terhadap
gollongan-golongan reseptor yang berbeda, yang mengakibatkan
perubahan-perubahan dalam efek terapi dan toksiknya.
3. Reseptor- reseptor menjembatani kerja antagonis farmakologi: efek
antagonis di dalam tubuh pasien bergantung pada pencegahan pengikatan
molekul agonis dan penghambatan kerja biologisnya. Beberapa obat
bermanfaat sebagai antagonis farmakologis dalam pengibatan klinik.(1)

Spesifisitas dan Selektivitas


Suatu obat dikatakan spesifik bila kerjabya terbatas pada satu jenis reseptor,
dan dikatakan selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan
efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang spesifik belum
tentu selektif tetapi obat yang tidak spesifik dangan sendirinya tidak selektif.
(2)

KERJA OBAT YANG TIDAK DIPERANTARAI RESEPTOR


-Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada Membran
-Perubahan sifat osmotik
-Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrate
glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat
terjadi efek diuretic.
-Perubahan sifat asam/basa
Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antacid dalam menetralkan asam lambung.
-Kerusakan nonspesifik
Zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptik dan disinfektan, dan
kontrasepsi.contohnya, detergen merusak intregitas membrane lipoprotein.
-Gangguan fungsi membrane
Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter,, halotan, enfluran,
dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membrane sel di
SSP sehingga eksitabilitasnya menurun.

-Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion


Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA
yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada keracunan Pb.

-Masuk ke dalam komponen sel


Obat yang merupakan analog puri atau pirimidin dapat berinkoporasi ke
dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja
seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-merkaptopurin atau anti mikroba
lain. (2)
KONSENTRASI DAN RESPON OBAT
Hubungan antara konsentrasi obat dan respon obat
Respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding
langsung dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis penigkatan
respon menurun. Pada akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat
meningkatkan respon lagi. Pada system ideal atau system in vitro hubungan
antara konsentrasi obat dan efek oabat digambarkan dengan kurva
hiperbolik menurut persamaan sebagi berikut:
E=
di mana E adalah efek yang diamati pada konsentrasi C, Emaks adalah
respons maksimal yang dapat dihasilkan oleh obat. EC50 adalah konsentrasi
obat yang menghasilkan 50% efek maksimal.

Hubungan antara konsentrasi dan efek obat (panel A) atau obat yang terikat
reseptor (panel B). Konsentrasi obat yang efeknya separuh maksimum
disebut EC50 dan konsentrasi obat yang okupansi reseptornya separuh
maksimum disebut KD.

(2)Hubungan dosis dan respons bertingkat


1.Efikasi (efficacy). Efikasi adalah respon maksimal yang dihasilkan suatu
obat. Efikasi tergantung pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk
dan efisiensi reseptor yang diaktifkan dalam menghasilkan suatu kerja
seluler
2.Potensi.Potensi yang disebut juga kosentrasi dosis efektif, adalah suatu
ukuran berapa bannyak obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon
tertentu. Makin rendah dosis yang dibutuhkan untuk suatu respon yang
diberikan, makin poten obat tersebut.Potensi paling sering dinyatakan
sebagai dosis obat yang memberikan 50% dari respon maksimal (ED50).
Obat dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada obat dengan ED50
yang lebih besar.
3.Slope kurva dosis-respons. Slope kurva dosis-respons bervariasi sari suatu
obat ke obat lainnya. Suatu slope yang curam menunjukkan bahwa suatu
peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu perubahan yang besar (1)

Pada gambar diatas diperlihatkan suatu kurva dari tiga obat yang berbeda
yang menunjukkan potensi farmakologis yang berbeda dan efikasi maksimal
yang berbeda: (1)
Obat A lebih poten disbanding obat B, tetapi keduanya memiliki efikasi yang
yang sama, sedangkan obat C memperlihatkan potensi dan efikasi yang
lebih rendah daripada obat A dan B(1)

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu (ED50) disebut juga
dosis terapi median. Dosis letal median adalah dosis yang emnimbulkan
kematian pada 50% individu , sedangkan TD50 adalah dosis toksik 50%.(2)
Indeks terapeutik

Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan
toksisitas dengan dosis yang menghasilkan suatu respon yang efektif dan
diinginkan secara klinik dalam suatu populasi individu(1)
Indeks terapeutik = dosis toksik/dosis efektif(1)
Indeks terapeutik bisa juga dituliskan sebagai berikut:
Indeks terapeutik = atau (2)

Jadi indeks terapeutik merupakan suatu ukuran keamanan obat, karena nilai
yang besar menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas/lebar
diantara dosis-dosis yang efektif dan dosis-dosis yang toksik(1)

Indeks terapeutik ditentukan dengan mengukur frekuensi respons yang


diinginkan dan respons toksik pada berbagai dosis obat.Pada gambar berikut
diperlihatkan indeks terapeutik yang berbeda dari dua jenis obat (1)

Warafarin, suatu obat dengan indeks terapeutik yang kecil. Pada saat dosis
warfarin ditingkatkan , terjadi suatu respon toksik, yaitu kadar anti koagulan
yang tinggi yang menyebabkan perdarahan. Variasi respon penderita mudah
terjadi dengan obat yang mempunyai indeks terapeutik yang sempit, karena
konsentrasi efektif hamper sama dengan konsentrasi toksik(1)
Suatu obat dengan indeks terapeutik yang besar. Penisilin aman diberikan
dalam dosis tinggi jauh melebihi dosis minimal yang dibutuhkan untuk
mendapatkan respon yang diinginkan(1)

Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan
efek toksik pada seorang pasienpun, oleh karena itu, (2)
Indeks terapi = adalah lebih tepat
Dan untuk obat ideal : 1(2)

ASPIRIN
Aspirin/asam asetilsalisilat (asetosal adalah suatu jenis obat dari keluarga
salisilat yang sering digunakan sebagai analgesik (terhadap rasa sakit/nyeri
minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti inflamasi. Aspirin juga
memiliki efek antikoagulan dan digunakan dalam dosis rendah dalam tempo
lama untuk mencegah serangan jantung. Asperin obat pertama yang
dipasarkan dalam bentuk tablet.
Struktur kimia:

Struktur kimia aspirin

Molekol asam 2-hidroksibenzoat(juga disebut sebagai asam 2-


hidroksibenzenkarboksilat

AMOKSISILLIN

Struktur kimia:C16H19N3O5S atau (2S, 5R, 6R)-6-[(R)-2-amino-2-(4-


hydroxyphenyl) acetamido]-3,3-dimethyl-7-oxo-4-thia-1-
azabicyclo[3,2,0] heptane-2-carboxylic acid.

DAFTAR PUSTAKA

1.Staf pengajar Farmakologi. Absorpsi dan Eksresi. Bagian Farmakologi FK


UNLAM: Banjarbaru
2.Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi
(Editor).1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.. Bagian Farmakologi FK UI:
Jakarta
3.Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta
4.Lamid, Sofyan. Farmakologi Umum I. EGC: Jakarta
5.Mycek.2001.Farmakologi Ulasan Bergambar.Widya Medika : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai