Anda di halaman 1dari 6

TEKNIK PEMBACAAN DAN INTERPRETASI IMUNOFENOTIPING PADA

KEGANASAN HEMATOLOGI
Yetti Hernaningsih, dr, SpPK

Keganasan hematologi meliputi leukemia akut, kelainan myeloproliferatif, kelainan


limfoproliferatif dan diskrasia sel plasma. Imunofenotiping yang merupakan suatu
pemeriksaan dengan prinsip flowsitometri dengan menggunakan antibodi berfluoresen telah
diketahui banyak menolong dalam menegakkan diagnosis beberapa kasus keganasan
hematologi, antara lain leukemia akut yang sulit dibedakan secara morfologi dari hapusan
darah.
Leukemia akut merupakan penyakit yang membutuhkan diagnosis cepat karena onset
penyakit ini cepat, sehingga dibutuhkan penanganan dan pengobatan spesifik segera.
Diagnosis leukemia akut didasarkan pada gambaran klinis, morfologi sel pada darah tepi
maupun sumsum tulang dengan pengecatan wright atau giemsa dan sitokimia. Morfologi sel
yang paling signifikan adalah bila ditemukannya bentukan Auer rod pada sitoplasma sel
dengan pengecatan wright atau giemsa yang membedakan AML dengan ALL. Morfologi
keganasan promyelosit jenis hipergranulasi juga mudah didiagnosis berdasarkan morfologi
dengan ditemukannya promyelosit dengan granula jelas, basofilik serta auer rod yang banyak
hingga saling bertumpuk pada pengecatan wright atau giemsa. Tetapi jenis leukemia yang
tidak bisa dibedakan hanya berdasarkan morfologi saja masih cukup banyak. Pada kasus yang
demikian dibutuhkan pemeriksaan imunofenotiping. Pemeriksaan lain yang juga dapat
membantu antara lain sitogenetik dan PCR. Oleh karenanya seyogyanya pemeriksaan
imunofenotiping tidak dilakukan secara tunggal untuk dapat menarik kesimpulan dari
Peran imunofenotiping dalam membantu menegakkan diagosis leukemia cukup baik.
Pemeriksaan ini mendeteksi ekspresi fenotip dari suatu sel. Suatu sel dari lineage tertentu
pada umumnya mengekspresikan molekul CD tertentu yang spesifik. Walaupun demikian
masih juga bisa terjadi penyimpangan ekspresi. Sehingga diperlukan beberapa parameter
untuk bisa membuat kesimpulan dari lineage manakah sel blast tersebut berasal.
Imunofenotiping merupakan pemeriksaan flowsitometi. Prinsipnya suspensi sel
dilewatkan dalam flow cell yang berisi sheath flow. Sel dialirkan satu demi satu dengan
metode hydrodynamic focusing. Sebuah sinar laser dilewatkan dalam flow cell tersebut.
Ketika suatu sel dikenai sinar tersebut maka sel tersebut akan memencarkan cahaya. Pada
imunofenotiping ini sel juga dilekati antibodi berlabel fluorokrom, sehingga selain
memencarkan cahaya, sel juga mengemisikan cahaya. Pencaran dan emisi cahaya ini nanti
yang akan ditangkap oleh tabung fotomultiplier (TFM) untuk diteruskan ke detektor dan
diubah sinyalnya secara elektronik. Data yang diperoleh dari flowsitometer merupakan hasil
dari pengukuran fluoreseni (emitted light) dan pencaran cahaya (scattered light) dari suatu
suspensi sel pada aliran cahaya yang melewati satu celah sinar cahaya monokromatik yang
dihasilkan oleh sebuah laser (gambar 1).
Gambar 1 . Prinsip pemeriksaan dan komponen pada flow sitometer.

Setiap sel merupakan event dari intensitas cahaya tertentu. Pengukuran pencaran
cahaya mencerminkan sifat fisik dari suatu sel. FSC atau Forward Scattered light Cell
menggambarkan ukuran sel dan SSC atau Scattered light Cell menggambarkan kompleksitas
internal sel, sedangkan fluoresens memberikan informasi mengenai molekul membran atau
intraselular (protein, DNA) yang mana tergantung pada antibodi dan zat warna yang
dilabelkan. Ketika sel yang berlabel fluorokrom melewati aliran cahaya, fluorokrom yang
terikat pada sel akan mengalami eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi dengan
mengabsorbsi cahaya dan secara cepat kembali keadaan istirahat dengan memancarkan
(mengemisikan) sinyal fluoresen dengan panjang gelombang yang lebih panjang. Selanjutnya
sinyal fluoresen ditampung dan diperkuat oleh fotodetektor.
Gambar 2 . Konsep atom dengan elektron yang mengelilingi nukleus. Elektron mengabsorbsi
energi untuk mencapai orbit eksitasi. Ketika kembali ke keadaan istirahat mengemisikan
cahaya yang kita kenal sebagai fluoresens.
Pada alat imunofenotiping Facs Calibur digunakan 2 sumber cahaya, yaitu laser biru
dan laser merah serta detektor 4 macam fluoresens. Fluoresens yang umum digunakan antara
lain Fluoresence Isothiocyanate (FITC), Phycoerythrin (PE), Peridinin Chlorophyll Protein
(PerCP), Allophycocyanin (APC). Masing-masing fluoresen ini mengemisikan panjang
gelombang dan warna tertentu, dan ditangkap oleh detektor tertentu pula (tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik fluorokrom

Fluorokrom sinar yang sinar yang Warna Detektor


diabsorbsi (nm) diemisikan (nm)
FITC 492 520-530 Hijau FL1
PE 480-565 575-585 Kuning orange FL2
PerCP 490 677 Merah gelap FL3
APC 650 660 Merah FL4

Berdasarkan sinar emisi yang ditangkap detektor inilah kita dapat mengklasifikasikan apakah
sel tertentu mengekspresikan molekul CD yang telah dilabel fluorokrom tertentu tadi dengan
melihat daerah kuadran grafik (gambar 3). Cut-off untuk menyatakan hasil positif bervariasi,
pada umumnya dipakai minimal 20%.

Gambar 3. Pembagian kuadran untuk menyatakan fluoresensi positif atau negatif.

Indikasi Imunofenotiping
Indikasi pemeriksaan imunofenotiping antara lain untuk membantu mendiagnosis dan
mengklasifikasikan jenis keganasan hematologi, memperkirakan prognosis (CD38, Zap70),
mendteksi klon (V, kappa/lambda), mendeteksi sejumlah kecil sel ganas yang tersisa setelah
pengobatan (deteksi Minimal Residual Disease)
Pengumpulan dan Penanganan Spesimen
Sampel darah utuh dengan antikoagualan Tripotassium ethylenediamine tetra-acetate
(K3EDTA). Pada sampel harus dituliskan tanggal dan waktu pengambilan. Sampel disimpan
pada suhu ruang (18-22C) dan dikirim ke laboratorium segera mungkin. Sampel hemolisis,
terbentuk klot atau beku tidak dapat dikerjakan. Pengecatan untuk analisis flow sitometri
optimal dilakukan dalam 24 jam sejak pengambilan sampel.

Interpretasi Pemeriksaan Imunofenotiping


Proses pemeriksaan imunofenotiping mencakup 3 langkah. Langkah pertama adalah
menyiapkan sampel, meliputi antara lain melisiskan eritrosit dan mencampur sampel dengan
antibodi monoklonal berlabel fluoresen. Langkah kedua adalah pemeriksaan sampel yang
telah disiapkan pada langkah pertama tadi pada flowsitometri. Langkah ketiga adalah analisis
dan interpretasi hasil.
Pada langkah ketiga ini pertama kali yang kita lakukan adalah menemukan kelompok
sel yang menarik perhatian, tahap ini disebut proses gating. Ketelitian dan ketepatan gating
ini sangat menentukan hasil. Selanjutnya menentukan garis kuadran yang memisahkan daerah
positif atau negatif. Kontrol negatif isotipe dapat digunakan untuk membantu. Pada fase ini
dapat dinilai pula ekspresi CD tertentu pada kelompok sel tersebut redup (dim) atau terang
(bright) berdasarkan intensitas fluoresensnya.

Diagnosis Leukemia berdasarkan Immunofenotiping


Leukemia Limfositik Akut (LLA). Aplikasi imunofenotiping pada kasusu LLA sangat
penting untuk membedakan LLA sel B dan LLA sel T.
Precursor LLA sel B. Diagnosis LLA sel B terutama didasarkan pada ekspresi CD34, CD19,
HLA-DR dan CD10. Petanda sitoplasmik yang lain yaitu CD79a, CD22 dan tdT (terminal
deoksinukleotidyl transferase). Precursor sel B palling awal mengekspresikan TdT dan HLA-
DR. CD19, cCD22 dan CD79a muncul awal dan diekspresikan pda semua kasus prekursor
B ALL. CD10 yang merupakan common ALL antigen terdapat pada prekursor B (>90%).
LLA sel T. LLA sel T ditandai dengan ekspresi terutama CD34, CD7, CD2, CD3 sitoplasmik
dan TdT. Antigen yang lain meliputi CD1, CD5, CD4 dan CD8. Sebagian besar kasus LLA
sel T negatif untuk HLA-DR
Leukemia Myelogenous Akut (LMA). Petanda yang digunakan untuk mendiagnosis dan
mengklasifikasikan LMA meliputi CD34, CD117, CD33, CD13, CD15, CD4+CD2-, CD11b,
HLA-DR dan MPO sitoplasmik. CD33 merupakan satu dari antigen paling awal yang
muncul. Sel myeloid imatur mengekspresikan CD13 diikuti munculnya CD15 dan CD11b.
Imunofenotiping memberikan kontribusi untuk diagnosis pada kasus-kasus yang sulit
didiagnosis secara morfologi.
LMA dengan diferensiasi myeloid minimal. Sel-sel ini agranular sehingga terlihat berada
di bawah pada grafik FS dan SS. Kelompok ini mengekspresikan CD34, HLA-DR, dan
biasanya CD38 dan CD117, CD33 dan CD13
LMA dengan maturasi. Blast pada kelompok ini masih terletak di bawah pada grafik FS
dan SS. Sel-sel pada kelompok ini mengekspresikan CD45 dan HLA-DR. Sebagian besar
mereka CD38 dan CD117 juga positif. Antigen untuk diferensiasi myeloid pada tahap yang
lebih matur seperti CD15, CD11b, CD16 tidak diekspresikan. Sekitar 3% dari blast
menunjukkan ekspresi myeloperoksidase.
LMA dengan diferensiasi Granulosit. Maturasi setidaknya pada tahap promyelosit dan
myelosit. Pola pada SS semakin kuat dan CD45 positif lemah hingga sedang. HLA-DR
negatif. Petanda untuk diferensiasi sel yang lebih matur seperti CD15, CD11b positif. MPO
positif kuat. APL biasanya negatif untuk CD34 dan HLA-DR. CD2 sering diekspresikan pada
APL tipe mikrogranular.
LMA dengan diferensiasi Monositik. Pada AML tipe monositik, morfologi selnya besar
sehingga pada FS memberikan sinyal kuat. Mereka mengekspresikan CD33, Cd13 dan HLA-
DR dengan kuat. Mereka biasanya negatif untuk CD34, CD117, CD11b. Petanda untuk
monosit yaitu CD64 dan CD14 dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada leukemia tipe
myelomonositik, petanda sel imatur sering negatif. Fenotip khas adalah ekspresi CD33,
CD13, CD11b, dan HLA-DR.
Leukemia Megakaryoblastik. Blast positif untuk CD41 dan CD61
Diferensiasi Eritroid. Pada lineage eritroid, CD71 muncul pada permukaan sel dengan
hilangnya CD34 dan CD33 dan menurunnya CD45. CD33, CD117 dan CD13 diekspresikan
pada 80 hingga 90% AML. Pada diferensiasi lebih lanjut, ekspresi CD71 menurun bersamaan
munculnya ekspresi glycophorin A. CD45 menghilang pada tahap akhir.

Satu sel dapat mengekspresikan beberapa antigen spesifiknya, sehingga banyak pilihan panel
antibodi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasikan sel tertentu. British Commitee for
Standards in Haematology (BCSH) dan US-Canadian Consensus Group memberikan
rekomendasi pemilihan panel antibodi seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Panel antibodi monoklonal (atau poliklonal) yang direkomendasikan oleh BCSH dan
US-Canadian Consensus Group untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan leukemia akut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Theml H, Diem H, Haferlach T (2004). Color Atlas of Hematology. Practical Microscopic
and Clinical Diagnosis. 2nd ed. Thieme-Clinical Sciences. Stuttgart, p 92-3.

2. Bain BJ (2005). Diagnosis and classification of acute leukaemia. In : Hoffbrand AV,


Catovsky D, Tuddenham EGD (eds.). Postgraduate Haematology. 5th ed. Blackwell
Publishing. Massachussets, p 476-84.

3. Gorzyca W, Emmans FN (2008). Atlas of Differential Diagnosis in Neoplastic


Hematopathology. 2nd ed. Informa heathcare. New York, p 56.

4. Hieschmann JV, Bailey DJ, Tkachuk DC (2007). Limphoproliferative Disorders. In : Tkachuk


DC, Hirschmann JV (eds.). Wintrobes Atlas of Clinical Hematology. 1st ed. Wolters
Kluwer. Lippincott; p 224-41.

5. Boin BJ (2010). Leukemia Diagnosis. 4th ed. Wiley-Blackwell. Singapore, p 74-86.

6. Stewart CC, Stewart SJ (1995). Clinical Immunophenotyping by Flow Cytometry. Med


TechNet. Online Continuing Education for the ClinicalmLaboratory Professional. Ocober 23-
November 12, p 1-13.

7. Alice Longobardi Givan (2001). Flow Cytometry first principles. 2nd ed. Wiley-Liss Inc.
New York, p 47-58.

8. Nguyen D, Diamond LW, Braylan RC (2007). Flow Cytometry in Hematopathology : A


Visual Approach to Data Analysis and nterpretation. 2nd ed. Humana Press. New Jersey, p
95-6.

9. Calvelli T, Denny TN, Paxton H el al.(1993).Guideline for Flow Cytometric


Immunophenotyping : A Report from the National Institute of Allergy and Infectious
Diseases, Division of AIDS. Cytometri 14:702-14. Wiley-Liss, Inc.

10. Fixor Parakevas (2009). Clinical Flow Cytometry. In : John P. Greer. John Foerster, George
M. Rodgers, et al (eds). Wintrobes Clinical Hematology 12th ed. Wolters Kluwer,
Lippeincott Williams & Wilkins, Philadelhia, p 21-31.

Anda mungkin juga menyukai