Anda di halaman 1dari 15

KLASIFIKASI ABC DENGAN PENDEKATAN KEPUTUSAN MULTIKRITERIA PADA

PERSEDIAAN SPAREPART PEMELIHARAAN

Taufiq Aji1, Niezar Moch. Evannaza

Teknik Industri Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

ajiq15@yahoo.com1

ABSTRAK

Setiap perusahaan perlu menjaga kelancaran proses produksinya dimana salah satu penopangnya
adalah kegiatan pemeliharaan mesin. Kegiatan tersebut akan lancar manakala persediaan sparepart selalu
mencukupi setiap saat. Menyediakan sparepart dalam jumlah banyak berarti memperbesar investasi
persediaan, sementara memperkecil atau meniadakan persediaan sparepart berarti membahayakan
kelangsungan produksi.

Penelitian ini menyajikan model klasifikasi ABC persediaan sparepart pemeliharaan dengan
pendekatan multikriteria. Kriteria yang digunakan adalah kriteria produksi, pemeliharaan, keandalan,
frekuensi kegagalan, dan ketersediaan sparepart pengaman. Bobot kriteria diperoleh dengan metode
Analtyical Hierarchy Process (AHP) dengan data dari sejumlah pengambil keputusan. Pada setiap klasifikasi
ABC, ditetapkan sejumlah kebijakan yang membantu perusahaan dalam menangani persediaan sparepart
pemeliharaan.

Kata kunci: persediaan sparepart pemeliharaan, klasifikasi ABC, multikriteria.

1. Pendahuluan
Setiap perusahaan baik itu perusahaan kecil, menengah, maupun perusahaan besar harus mampu menjaga
dan meningkatkan kelancaran proses produksinya. Salah satu penentu kelancaran proses produksi adalah
sistem pemeliharaan mesin yang andal. Setiap peralatan, mesin, atau fasilitas yang terlibat dalam proses
produksi pasti akan mengalami keausan bahkan kerusakan. Seberapa cepat dan seringnya keausan atau
kerusakan terjadi dipengaruhi oleh bagaimana perusahaan menerapkan sistem pemeliharaan mesin.
Pada sisi lain, respon atas kegiatan pemeliharaan mesin oleh perusahaan sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan dan kecukupan persediaan sparepart. Kekurangan persediaan sparepart dapat menyebabkan
ketidakandalan sarana produksi. Sementara itu kelebihan persediaan sparepart dapat menyebabkan
pemborosan finansial. Hal tersebut terjadi karena sparepart mesin biasanya merupakan barang yang mahal.
Diperlukan adanya tradeoff persediaan antara menyediakan sedikit sparepart dengan resiko ketidakandalan

11

proses; atau menyediakan banyak sparepart dengan investasi yang mahal. Untuk itu diperlukan suatu sistem
persediaan pemeliharaan yang baik untuk menunjang kegiatan pemeliharaan mesin agar kelancaran proses
produksi dapat terjaga (Nasution, 2005).
Pada beberapa industri manufaktur, persediaan pemeliharaan dapat terdiri atas berbagai jenis barang yang
sangat banyak jumlahnya; antara puluhan, ratusan bahkan ribuan jenis sparepart pemeliharaan. Masing-
masing sparepart mempunyai karakteristik sendiri mulai dari harga, volume benda, tingkat kelangkaan,
hingga urgensitas dalam proses produksi. Diperlukan sebuah prioritisasi kategoris bagi masing-masing
sparepart untuk memudahkan pengelolaan persediaan pemeliharaan. Setiap sparepart dikategorisasikan
sedemikian rupa berdasarkan prioritas tertentu. Salah satu metode sederhana namun cukup penting adalah
Analisis ABC, dimana sebuah entitas dikelompokkan berdasar tingkat pengaruhnya terhadap proses tertentu.
Secara umum analisis ABC memandang bahwa sebagian besar proses dipengaruhi oleh sebagian kecil
tindakan penting dan urgen. Ginting (2007) menegaskan bahwa prinsip dasar Pareto adalah untuk
memfokuskan kegiatan pada suatu hal yang sedikit namun penting, dan bukan pada yang banyak namun
sepele atau tidak cukup penting.
Penggunaan analisis ABC di dalam perencanaan persediaan telah dilakukan beberapa penelitian
terdahulu. Analisis ini dapat mengklasifikasikan seluruh jenis barang berdasarkan tingkat kepentingannya
(Rangkuti, 2002). Secara umum persediaan diklasifikasikan ke dalam ke dalam kategori A apabila persediaan
tersebut dipandang penting dan urgen bagi kelangsungan bisnis, B jika penting namun tidak urgen, dan C jika
persediaan tersebut dikategorisasikan sebagai persediaan pada umumnya. Diantara penelitian yang
menggunakan metode ABC untuk klasifikasi persediaan dilakukan oleh Maimun (2008) yang
mengelompokkan persediaan obat pada sebuah apotek dengan pertimbangan sebuah kriteria tunggal yaitu
kriteria biaya persediaan. Kriteria tunggal juga digunakan oleh Henmaidi dan Marlisa (2006), menggunakan
kriteria tingkat pemakaian pada persediaan material cat. Pada persediaan pemeliharaan, Analisis ABC dengan
kriteria tunggal tidak lagi relevan karena persediaan pemeliharaan merupakan persediaan yang menjamin
kelancarn produksi sehingga perlu mempertimbangkan banyak faktor.

Penelitian yang dilakukan oleh Suciati dan Adisasmito (2006), melakukan klasifikasi perencanaan
persediaan menggunakan dua kriteria yaitu kriteria biaya dan tingkat pemakaian tanpa memperhatikan bobot
prioritas masing-masing kriteria. Pendekatan multikriteria yang mempertimbangkan bobot masing-masing
kriteria dilakukan oleh Suryadi dan Setyanta (2008), dimana klasifikasi dilakukan dengan menentukan
prioritas berdasarkan rasio kekritisan sparepart. Penentuan rasio kekritisan dilakukan dengan menghitung
mengalikan skor masing-masing sparepart pada tiap-tiap kriteria dengan nilai bobot kriteria, dimana kriteria
dimaksud merupakan aspek-aspek yang mempengaruhi tingkat kepentingan sparepart pemeliharaan tersebut.

Selain tingkat kekritisan, pengelompokan sparepart dapat dilakukan dengan pendekatan Pareto
menggunakan pendekatan Analisis ABC. Sparepart paling penting (biasanya berjumlah sedikit) yang paling
mempengaruhi proses diberikan derajat klasifikasi tertinggi (A), diikuti oleh part-part lainnya. Salah satu

12

alasan penggunaan Analisis ABC untuk pengelompokan adalah kemudahan dalam penerapan serta berguna
bagi perusahaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan terkait pengendalian persediaan pemeliharaan.
Penelitian ini membahas model klasifikasi persediaan sparepart menggunakan analisis ABC dengan
pendekatan multikriteria. Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan hasil klasifikasi yang akurat dan
memenuhi kebijakan perusahaan. Untuk memberikan gambaran komprehensif, disajikan contoh numeris
penerapan model keputusan terhadap persediaan sparepart pemeliharaan Mesin Carding pada Unit Spinning
PT XYZ yang memproduksi benang tenun.

2. Pengembangan Model
2.1. Model Keputusan Klasifikasi ABC-Multikriteria
Penelitian ini mengusulkan sebuah model klasifikasi persediaan sparepart pemeliharaan dengan
menggunakan prinsip Pareto dimana persediaan dikelompokkan ke dalam kelompok A, kelompok B, dan
kelompok C. Menurut Heizer dan Render (2005) kelompok A mewakili 20% item, kelompok B mewakili 30%
item, dan kelompok A mewakili 50% item sisanya.
Proses klasifikasi dimulai dari mendapatkan kriteria klasifikasi yang menunjukkan tingkat kepentingan
sparepart terhadap kelancaran proses produksi. Berdasarkan kebijakan perusahaan didapatkan lima kriteria,
yang selanjutnya ditentukan bobot masing-masing kriteria menggunakan pendekatan perbandingan
berpasangan (pairwise comparison). Pada tiap-tiap kriteria ditetapkan skor untuk masing-masing komponen
sparepart yang kemudian dikalikan dengan bobot kriteria untuk mendapatkan total skor. Berdasarkan total
skor dilakukan dilakukan proses perankingan untuk menentukan masing-masing klasifikasi A, B, dan C. Atas
masing-masing klasifikasi ini, perusahaan kemudian menetapkan sejumlah kebijakan penanganan terhadap
masing-masing kelompok persediaan sparepart. Model keputusan yang diusulkan diilustrasikan sebagai
berikut:

13

Gambar 1. Struktur Model Keputusan Klasifikasi ABC-Multikriteria

2.2. Kriteria Klasifikasi Persediaan Pemeliharaan


Meskipun dalam melakukan Analisis ABC kriteria yang sering dijadikan acuan adalah biaya, namun
dalam kenyataannya banyak yang harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam pengendalian persediaan
pemeliharaan. Menurut Marquez (2007) pada dasarnya kriteria yang mempengaruhi tingkat kepentingan
barang adalah segala sesuatu yang dijadikan indikator barang tersebut terhadap jalannya kelancaran kegiatan
operasional mesin.

Pada penelitian ini digunakan lima buah kriteria paralel yang mempengaruhi tingkat kepentingan
sparepart pemeliharaan.

1. Faktor produksi
Menurut Turner et.al. (2000) kegiatan manajemen pemeliharaan pada umumnya sangat berpengaruh pada
proses produksi perusahaan. Hal ini sangat berhubungan dengan fasilitas produksi yang merupakan aktivitas
dari operasional perusahaan. Fasilitas dapat berupa mesin produksi, ruang produksi, komponen dalam mesin
produksi, dan sebagainya. Untuk dapat melakukan kegiatan produksi dengan baik maka mesin dan fasilitas
dalam perusahaan perlu mendapatkan kegiatan pemeliharaan. Kerusakan pada salah satu komponen atau

14

bahkan beberapa komponen akan menyebabkan kehilangan kesempatan produksi (production loss) bagi
perusahaan.
Sedangkan untuk data production loss (kehilangan produksi), perusahaan tidak memiliki data ini secara
detail untuk tiap part, maka dari itu digunakan skala penilaian dengan variabel linguistik sebagai berikut:

Tabel 1. Konversi Variabel Linguistik

No Variabel Linguistik Skor

1 Tidak ada kehilangan produksi Score = 20 (minor)

2 Kehilangan kesempatan produksi 1 hari Score = 40 (moderat)

3 Kehilangan kesempatan produksi 1 minggu Score = 60 (berat)

4 Kehilangan kesempatan produksi 1 bulan Score = 80 (major)

5 Kehilangan kesempatan produksi lebih dari 1 bulan Score = 100 (mutlak buruk)

2. Faktor pemeliharaan
Menurut Marquez (2007) kegiatan pemeliharaan (maintenance) yang sering dilakukan sangat
berpengaruh terhadap tingkat kepentingan komponen atau part dalam sebuah mesin ataupun fasilitas lainnya.
Sering dijumpai di banyak perusahaan besar yang telah lama beroperasi, frekuensi kegiatan maintenance yang
dilakukan memberikan indikasi bahwa pada mesin atau fasilitas itu perlu mendapat perhatian lebih karena
menyangkut tingkat keandalannya.

Kegiatan pemeliharaan mencakup kegiatan pembersihan (service), perbaikan (repair), dan penggantian
(Santoso, 2010). Apabila sebuah mesin ataupun suatu part mesin sering mengalami kegiatan pemeliharaan
tidak terjadwal, maka dilakukan perbaikan secepatnya. Perbaikan jenis ini dinamakan breakdown maintenance
(Marquez, 2007).

3. Faktor keandalan
Secara umum keandalan diartikan sebagai peluang suatu fasilitas ataupun proses produksi memiliki
kinerja sesuai dengan yang ditetapkan dalam kurun waktu dan kondisi operasi tertentu (Nasution, 2005).

15

Dalam Analisis ABC menurut tingkat keandalan, semakin tinggi nilai ketidakhandalan (Unreliability)
maka semakin tinggi pula tingkat kepentingannya (Suryadi et.al, 2008). Berikut ini merupakan rumus untuk
menghitung ketidakhandalan suatu mesin atau part:

............... (1)

dimana:

RF = Reliability Factor

8760 = diasumsikan bahwa nilai 8760 berasal dari perhitungan 365


hari kerja dalam setahun dikalikan dengan 24 jam

Unscheduled Down = waktu ketika mesin/part berhenti secara tidak terjadwal


Time

Scheduled Down = waktu ketika mesin/part berhenti secara terjadwal


Time

4. Frekuensi kegagalan
Frekuensi kegagalan (frequency of failure) merupakan tingkat kegagalan dari suatu barang atau part
dalam kurun waktu tertentu. Semakin tinggi jumlah kegagalan yang sering dijumpai, maka semakin tinggi
pula nilai kepentingan part tersebut (Suryadi et. al, 2008). Untuk mencari nilai dari frekuensi kegagalan dapat
digunakan rumus sebagai berikut:

......................................................................... (2)

Dimana:

FoF = Frequency of Failure

Misal, jika dalam 4 tahun terakhir ada 1 kegagalan maka nilai kepentingannya

5. Ketersediaan pengaman
Ketersediaan pengaman (spare availability) merupakan perbandingan antara part pengaman (standby
unit capacity) dibagi dengan jumlah part yang sedang digunakan atau yang sedang digunakan (running unit
capacity). Untuk menghitung tingkat ketersediaan part digunakan rumus sebagai berikut:

16

.............................................. (3)

Dimana:

SAF = Spare Availability Factor

Jika SAF < 0, maka nilai SAF diasumsikan 0

3. Contoh Numeris
Untuk memberikan gambaran komprehensif penggunaan model keputusan, disajikan contoh numeris
penerapan model keputusan terhadap persediaan sparepart pemeliharaan Mesin Carding pada Unit Spinning
PT XYZ yang memproduksi benang tenun. Mesin Carding pada unit tersebut menggunakan sparepart tidak
kurang dari 150 jenis dengan berbagai variasi kondisi.

Gambar 2. Contoh Mesin Carding

3.1. Penentuan Bobot Kriteria


Menggunakan lima kriteria di atas dilakukan penentuan bobot kriteria yang dilakukan oleh 9 orang
partisipan terdiri atas Kepala Regu Maintenance Carding beserta Staff Maintenance Carding, Kepala Unit
Spinning, Asissten Kepala Unit Spinning, dan Kepala Sub Bagian Pre-Spinning. Masing-masing partisipan
mengisi data pairwise comparison, selanjutnya data tersebut diolah menggunakan metode Analytical
Hierarchy Process atau AHP (Saaty, 1991). Hasil AHP dari tiap-tiap partisipan berbeda sehingga perlu dirata-
rata menggunakan formula geometric mean, sebagai berikut:

17

......................................................................... (4)

Dimana:

= rata-rata geometrik baris i suatu matriks

= nilai dari responden ke-n elemen matriks

Perhitungan tersebut mendapatkan hasil rata-rata bobot kriteria sebagai berikut:

Tabel 2. Bobot atau persentase masing-masing criteria

Kriteria Bobot

Produksi 0,529

Pemeliharaan 0,225

Keandalan 0,120

Frekuensi kegagalan 0,081

Ketersediaan pengaman 0,045

Jumlah 1

3.2. Perhitungan Total Skor


Untuk mendapatkan total skor setiap sparepart, maka terlebih dahulu dihitung skor tiap-tiap sparepart
berdasarkan tiap-tiap kriteria.

1. Kriteria Produksi
Nilai kepentingan part mesin Carding berdasarkan kriteria produksi merupakan nilai pengaruh part
tersebut terhadap kegiatan produksi mesin. Skor diperoleh dari penerjemahan kondisi sparepart berdasarkan
varibel linguistik yang mewakili.

18

Tabel 3. Nilai kepentingan part berdasarkan kriteria produksi

No Nama Part Produksi

Skor Bobot Bobot*Skor

1 Small circular brush 100 53% 53

2 Cast iron rail 80 53% 42,4

3 Top clearer 80 53% 42,4

4 Foundation bolt 40 53% 21,2

5 Doffer gear guard 60 53% 31,8

6 Tube bracket 60 53% 31,8

2. Kriteria pemeliharaan
Semakin sering frekuensi penggantian part (repaired part), semakin tinggi pula nilai kepentingannya.

Tabel 4. Nilai kepentingan part berdasarkan kriteria pemeliharaan

Maintenance

No Nama Part Skor


(Repaired Bobot Bobot*Skor
Part)

1 Small circular brush 8 22% 1,76

2 Cast iron rail 1 22% 0,22

3 Top clearer 0 22% 0

4 Foundation bolt 3 22% 0,66

5 Doffer gear guard 0 22% 0

6 Tube bracket 0 22% 0

19

3. Kriteria Keandalan
Nilai kepentingan part berdasarkan kriteria keandalan diartikan bahwa semakin rendah keandalan
(reliability) sistem akibat ketiadaan sparepart, semakin tinggi nilai kepentingannya.

Tabel 5. Nilai kepentingan part berdasarkan Kriteria Keandalan

Reliability Factor

No Nama Part Unschedule Scheduled Bobot


Skor
d Down Down Bobot *Skor
RF
Time Time RF

1 Small circular brush 6 12 0,07 12% 0,008

2 Cast iron rail 0 12 0 12% 0

3 Top clearer 1 12 0,01 12% 0,001

4 Foundation bolt 0 12 0 12% 0

5 Doffer gear guard 0 12 0 12% 0

6 Tube bracket 4 12 0,05 12% 0,006

Reliability Factor (RF) ditentukan oleh waktu ketika part berhenti secara terjadwal (Scheduled Down
Time) dan waktu ketika part berhenti secara tidak terjadwal (Unscheduled Down Time). Diandaikan
komponen Small Circular Brush mempunyai nilai Unscheduled Down Time = 6 dan Scheduled Down Time =
12, maka:

Jadi, nilai kepentingan untuk part small circular brush adalah:

Skor x Bobot = 0,07 x 0,12

= 0,008

20

4. Kriteria Frekuensi Kegagalan
Suatu part mesin dapat mengalami kegagalan semisal cacat (rusak). Semakin sering frekuensi kegagalan
part, maka kegiatan produksi akan semakin terhambat.

Tabel 6. Nilai kepentingan part berdasarkan Kriteria Frekuensi Kegagalan

Frekuensi Kegagalan

No Nama Part Frekuensi


Skor Bobot Bobot*Skor
Kegagalan

1 Small circular brush 8 200 8% 16

2 Cast iron rail 2 50 8% 4

3 Top clearer 2 50 8% 4

4 Foundation bolt 4 100 8% 8

5 Doffer gear guard 1 25 8% 2

6 Tube bracket 0 0 8% 0

Pada sparepart Small circular brush, menurut data historis perusahaan jumlah kegagalan adalah 8 kali.
Adapun rumus untuk menghitung Frekuensi Kegagatan (Frequency of Failure) adalah sebagai berikut:

Dimana:

FoF = Frequency of Failure

Misal, jika dalam 4 tahun terakhir ada 1 kegagalan maka nilai kepentingannya 1/4

Contoh perhitungan:

Small circular brush

Dimana:

21

- Frekuensi Kegagalan = 8
- Bobot = 22%
Dan:

Jadi, nilai kepentingan untuk part small circular brush adalah:

Skor x Bobot = 200 x 8%

= 16

5. Kriteria Ketersediaan Pengaman


Data Standby Unit Capacity dan Running Unit Capacity diperoleh dari data historis perusahaan. Berikut
ini disajikan hasil perhitungan skor pada kriteria ketersediaan pengaman.

Tabel 7. Nilai kepentingan part berdasarkan ketersediaan pengaman

Ketersediaan Barang

No Nama Part Standby Running


Bobot*
Unit Unit Skor Bobot
Skor
Capacity Capacity

1 Small circular brush 0 1 100 5% 5

2 Cast iron rail 0 1 100 5% 5

3 Top clearer 0 1 100 5% 5

4 Foundation bolt 0 1 100 5% 5

5 Doffer gear guard 3 1 0 5% 0

6 Tube bracket 1 1 0 5% 0

Berdasarkan tabel 4.14. dapat dilihat untuk part Small circular brush data yang digunakan adalah
Ketersedian part di gudang (Standby Unit Capacity) dan Part yang sedang digunakan (Running Unit

22

Capacity). Untuk menghitung nilai dari Ketersediaan Part (Spare Availability) digunakan rumus sebagai
berikut:

Dimana:

SAF = Spare Availability Factor

Jika SAF < 0, maka nilai SAF diasumsikan 0

Contoh perhitungan:

Small circular brush

Dimana:

- Standby Unit Capacity = 0


- Running Unit Capacity = 1
Dan:

Jadi, nilai kepentingan untuk part small circular brush adalah:

Skor x Bobot = 100 x 5%

=5

Hasil perhitungan skor pada masing-masing kriteria di atas digunakan untuk menghitung total skor
masing-masing sparepart. Total skor diperoleh dengan menjumlahkan skor masing-masing kriteria pada
setiap sparepart.

4. Klasifikasi ABC
Seluruh sparepart yang ada kemudian diranking menggunakan kriteria total skor masing-masing dari
skor terbesar hingga terkecil. Menggunakan informasi tersebut, klasifikasi ABC dapat dilakukan dengan dua
cara. Cara pertama adalah klasifikasi menggunakan infromasi ranking, dan cara kedua adalah klasifikasi
menggunakan informasi skor. Sebagaimana informasi di atas bahwa studi kasus dilakukan pada PT XYZ

23

dengan melibatkan sejumlah 150 part. Hasil klasifikasi cara pertama menghasilkan 30 sparepart A, 45
sparepart B dan 75 sparepart C. Sedangkan pada klasifikasi cara kedua menghasilkan 10 sparepart A, 51
sparepart B dan 89 sparepart C. Dengan menggunakan dua informasi ini dapat diambil kebijakan merata-
ratakan hasil yang diperoleh sehingga diperoleh hasil akhir 20 sparepart A, 48 sparepart B dan 82 sparepart
C.

Berdasarkan wawancara, pada setiap klasifikasi diterapkan sejumlah kebijakan perlakuan persediaan
sparepart yang menyangkut lima hal yaitu: kegiatan pemeliharaan, kendali persediaan, akurasi kegiatan
peramalan, prioritas penyimpanan, serta siklus perhitungan kembali atas kebutuhan persediaan sparepart.
Berikut disajikan tabel kebijakan terhadap sparepart pemeliharaan pada PT XYZ:

Tabel 8. Rumusan kebijakan persediaan sparepart pemeliharaan

Kebijakan Kelas A Kelas B Kelas C

Kegiatan Pemeliharaan Utama Normal Cukup

Kontrol (pengecekan) Ketat Normal Cukup


(berkala)

Akurasi peramalan Tinggi Normal Cukup

Tempat penyimpanan Aman Normal Cukup


(tersendiri)

Perhitungan kebutuhan 1-3 bulan 3-6 bulan 6-12 bulan


(cycle counting)

5. Kesimpulan

Hasil penelitian ini adalah model klasifikasi ABC dengan pendekatan multikriteria pada persediaan
sparepart pemeliharaan. Pendekatan multikriteria digunakan untuk membantu sejumlah pengambil
keputusan dalam menentukan prioritas penanganan sparepart pemeliharaan. Model tersebut diuji dengan
data PT XYZ melibatkan 150 sparepart pemeliharaan dan berhasil mengelompokkan sparepart ke dalam
klasifikasi 20 sparepart A, 48 sparepart B dan 82 sparepart C. Berdasarkan klasifikasi perusahaan dapat
mengambil kebijakan yang menyangkut lima hal yaitu: kegiatan pemeliharaan, kendali persediaan,
akurasi kegiatan peramalan, prioritas penyimpanan, serta siklus perhitungan kembali atas kebutuhan
persediaan sparepart.

24

Penelitian lanjutan dapat diarahkan untuk mengembangkan model untuk menentukan berapa jumlah
sparepart harus disediakan sedemikian sehingga efisien. Model kemudian dapat dikembangkan menjadi
sebuah Sistem Pendukung Keputusan (SPK) persediaan sparepart pemeliharaan menggunakan klasifikasi
ABC-multikriteria yang dilengkapi dengan basis data terpadu menyangkut keseluruhan sparepart dalam
perusahaan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendukung efisiensi menyeluruh atas pengelolaan sparepart
pemeliharaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ginting, Rosmadi. 2007. Sistem Produksi. Graha Ilmu. Yogyakarta

Heizer, Jay dan Render, Barry. 2005. Operation Management. Salemba Empat. Jakarta

Henmaidi, dan Marlisa, Anggit. 2008. Evaluasi Kebijakan Persediaan Material Cat Pada PT. Gaya Motor
Authorized General Assembler Jakarta. Jurnal Laboratorium Sistem Produksi Jurusan Teknik Industri
Universitas Andalas

Maimun, Ali. 2008. Perencanaan Obat Antibiotik Berdasarkan Metode Konsumsi Dengan Analisis ABC Dan
ReOrder Point Terhadap Nilai Persediaan Dan Turn Over Ratio Di Instalasi Farmasi RS Darul
Istiqomah Kaliwungu Kendal. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro

Marquez, Adolfo Crespo. 2007. The Maintenance Management Framework: Models and Methods for
Complex Systems Maintenance. Departement of Industrial Management School of Engineering of the
University of Seville. Camino de los Descubrimientos s/n. Seville. Spain

Nasution, Armand H. 2005. Manajemen Industri. Gunawidya. Jakarta

Rangkuti, Freddy. 2002. Manajemen Persediaan. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Saaty, T.L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan
Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks. PT. Pustaka Binaman. Jakarta Barat

Santoso, Gempur. 2010. Manajemen Pemeliharaan Pabrik Dengan Pendekatan Ergonomis. PT. Prestasi
Pustakaraya. Jakarta

Suciati, Susi dan Wiku B.B. Adisasmito. 2006. Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan ABC Indeks Kritis Di
Instalasi Farmasi. Jurnal Pelayanan Kesehatan. Universitas Indonesia

Suryadi, Kadarsah dan Heri Setyanta. 2008. Equipment Criticality Classification Model Based On AHP.
Working Paper. Departement Of Industrial Engineering Bandung Institute Of Technology

Suryadi, Kadarsah Dr.Ir. dan Ir. M. Ali Ramdhani, M.T. 2000. Sistem Pendukung Keputusan. Remaja
Rosdakarya. Bandung

Turner, Wayne C. Joe H Mize, Kenneth E. Case, John W. Nazemetz. 2000. Pengantar Teknik & Sitem
Industri. Guna Widya. Surabaya

25

Anda mungkin juga menyukai