Anda di halaman 1dari 2

http://www.suara-islam.

com
Kamis, 19/01/2017 12:03:31

Beginilah Peristiwa Pembaiatan Ali bin Abi Thalib

Abu Al-Hasan, Ali bin Abi Thalib, selain dikenal sebagai seorang sahabat dan kerabat terdekat
Rasulullah SAW, ia juga merupakan Khulafa Ar-Rasyidin keempat. Suami dari Fathimah Az-Zahra
binti Muhammad Rasulullah ini dikenal sebagai figur ksatria yang pemberani dalam berjihad dan
memperjuangkan Islam. Di saat peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, Ali merupakan
salah satu sahabat yang begitu gigih membela Utsman dari kepungan para pemberontak, sehingga ia
menugaskan dua putranya, Hasan dan Husain untuk menjaga Utsman dari serbuan pemberontak.
Ketika Allah SWT menakdirkan Utsman terbunuh syahid di tangan pemberontak, tidak lama
kemudian Ali langsung dicalonkan sebagai khalifah.

Di sinilah terjadi distorsi sejarah, karena banyak pihak yang menggambarkan bahwa Ali seakan sudah
sejak lama begitu berambisi menjadi khalifah, oleh karena itu momentum wafatnya Utsman seolah
menjadi hal yang dinantikan oleh Ali dan pendukungnya. Alangkah besarnya fitnah dari
penyelewengan sejarah semacam ini. Ternyata beginilah kisah pembaiatan Ali yang sebenarnya.

Sejarawan Ibnu Jarir Ath-Thabari mengatakan bahwa para ulama sirah dari kaum salaf berbeda
pendapat mengenai peristiwa pembaiatan Ali, sebagian pendapat menyatakan para sahabat Nabi SAW
yang meminta Ali untuk menjadi khalifah. Ali dengan tegas menolak permintaan para sahabat, tetapi
para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar tetap memaksa, sehingga Ali akhirnya bersedia
menerima tuntutan dari mereka (Ath-Thabari, Tarikh Ar-Rusul wa Al-Mulk jilid 4, bab Riwayat
Tentang Pembaiatan Ali).

Ath-Thabari meriwayatkan kisah pembaiatan Ali, dari Salim bin Abil Jaad, ia mengisahkan dari
Muhammad bin Al-Hanafiyah, putra Ali yang juga disebut Muhammad Al-Akbar, -putra Ali yang
bernama Muhammad ada tiga orang dan Muhammad Al-Hanafiyah adalah yang paling besar, ia anak
Ali dari istrinya Khaulah binti Jafar bin Qais-. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengisahkan, ketika
terjadi pembunuhan terhadap Utsman bin Affan, Muhammad Al-Hanafiyah dan Ali tiba di rumah
Utsman, beberapa sahabat Rasulullah SAW menghampirinya dan memintanya untuk jadi khalifah.
Para sahabat Rasulullah SAW berkata, "Khalifah Utsman telah terbunuh dan masyarakat begitu
membutuhkan seorang pemimpin baru, maka kami pikir tidak ada seorang pun yang berhak
menjabatnya selain engkau, karena tidak ada seorang pun saat ini yang lebih dahulu masuk Islam
daripada engkau, dan tiada seorang pun yang lebih dekat kekerabatannya dengan Rasulullah SAW
daripada engkau, Ali pun menjawab, "Jangan kalian lakukan itu, karena aku lebih memilih untuk
menjadi seorang menteri daripada seorang Khalifah."

Dalam riwayat lain Ali menolaknya dengan kata-kata "Tidak, aku tidak bersedia memimpin kalian,
namun aku tetap mendukung kalian, siapa pun yang kalian pilih maka aku meridhainya, demi Allah,
maka seleksilah (calon khalifah) dengan baik."

Namun demikian para sahabat mendesaknya: "Tidak, demi Allah, kami tetap memaksamu untuk dapat
dibaiat sekarang juga. Dalam riwayat lain para sahabat menjawab penolakan Ali dengan berkata Kami
tidak akan memilih orang lain selain dirimu." (Ath-Thabari dari Abu Basyir, Tarikh Ar-Rusul wa Al-
Mulk, jld 4, no. 427/428).

Ali akhirnya menjawab mereka, "Baiklah jika kalian memang memaksa, namun kalian harus
membaiat di dalam masjid, karena aku tidak mau dibaiat secara sembunyi-sembunyi, dan aku tidak
mau dibaiat kecuali atas keridhoan kaum Muslimin." (Ath-Thabari, jld. 4, no. 427; Ahmad bin
Hanbal. Fadhail Ash-Shahabah. Jld 2, h. 573).

Jika kita simak riwayat Ath-Thabari dari Abu Basyir, pasca terbunuhnya Utsman, kaum Muhajirin dan
Anshar berkali-kali mendatangi Ali secara berbondong-bondong untuk memintanya menjadi khalifah,
dan berkali-kali pula calon Khulafa Ar-Rasyiddin keempat itu menolak permintaan mereka, sehingga
terakhir kali mereka mendatangi Ali, mereka juga mengingatkan Ali akan dibutuhkannya pemimpin
bagi kaum Muslimin. "Kaum Muslimin tidak akan tenang sampai mereka memiliki pemimpin yang
baru dan jangan sampai mereka berlama-lama menunggumu, ujar mereka.

Ali akhirnya menyetujui permintaan mereka dengan syarat ia bisa mengatur dan mengendalikan
Baitul Mal seraya bersumpah tidak akan mengambil satu dirham pun tanpa sepengetahuan para
sahabat lainnya. Syarat ini lantas disetujui para sahabat. Ketika para sahabat menyetujui hal itu, Ali
pun berkata "Ya Allah, persaksikanlah ucapan mereka."

Menurut Abu Basyir yang meriwayatkan kisah ini, setelah itu kaum Muslimin pun membaiat Ali
sambil bersumpah terhadap syarat yang diajukan Ali. Abu Basyir berkata saat itu aku berada di
mimbar Rasulullah SAW (di Masjid Nabawi), aku berdiri di sana dan mendengar semua yang beliau
katakan.

Al-Baladzuri juga meriwayatkan kisah yang sama dari Hasan bin Ali, di mana ada tambahan bahwa
Zubair juga membaiat Ali, "Aku (Hasan) menyaksikan langsung saat Zubair membaiat Ali" (Al-
Baladzari, Ansabul Al-Asyraf, bab Biografi Ali, h. 216; Ath-Thabari, jld 4, no. 427/428)

Ath-Thabari dari Salim bin Abil Jaad juga meriwayatkan penuturan dari Abdullah bin Abbas, yang
masih sepupu dengan Ali serta saksi peristiwa pembaiatan tersebut. Ibnu Abbas sempat menghalangi
Ali ke masjid karena khawatir akan ada kerusuhan serta akan berakibat buruk terhadap Ali (lantaran
para demonstran masih berkeliaran di sekittar situ juga), namun Ali tetap teguh pendiriannya agar
dibaiat di dalam Masjid Nabawi. Rombongan sahabat pun bersama-sama pergi ke masjid, khususnya
kaum Muhajirin dan Anshar, kemudian kaum Muslimin berbondong-bondong ikut membaiatnya pula
(Ath-Thabari, jld 4, no. 427).

Inilah kisah yang dapat dipertanggungjawabkan tentang peristiwa pembaiatan Ali bin Abi Thalib. Hal
ini perlu dipahami, mengingat banyak dari umat Islam saat ini yang tidak mengetahui peristiwa
pembaiatan Ali, serta menelan begitu saja cerita bahwa Ali sangat ambisius untuk menjadi seorang
khalifah. Padahal tidak demikian sebenarnya.

Ilham Martasyabana
Pegiat Sejarah Islam

Anda mungkin juga menyukai