Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Dan Permukiman - Oleh Kwik Kian Gie - 20081123135216 - 2 PDF
Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Dan Permukiman - Oleh Kwik Kian Gie - 20081123135216 - 2 PDF
Yang terhormat para Guru besar, Pimpinan Fakultas dan Jurusan, serta para
dosen dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan yang
kami banggakan dan cintai. Sungguh merupakan kehormatan bagi kami menerima
undangan dari suatu lembaga pendidikan tinggi sains, teknologi dan seni yang
prestisius seperti ITB ini untuk menyampaikan paparan dalam program Studium
General ini. Sesuai dengan permintaan, kami akan memaparkan materi yang berjudul
Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur dan Permukiman yang akan dimulai
dengan bahasan pertama mengenai peran infrastruktur, yang kemudian dilanjutkan
dengan uraian permasalahan utama dalam pembangunan dan pengelolaan
infrastruktur. Bahasan berikutnya adalah mengenai langkah-langkah menuju
reformasi dan restrukturisasi bidang infrastruktur, dan diakhiri dengan bahasan
tentang alternatif sumber pendanaan.
I. PERAN INFRASTRUKTUR
Halaman 1
akan berada di wilayah perkotaan. Strategi yang kita perlukan adalah urbanisasi yang
terkendali (managed urbanization), yaitu menghindari penumpukan atau konsentrasi
penduduk hanya di beberapa kota metropolitan dan kota besar saja. Kita harus lebih
banyak memberdayakan kota sedang dan kota kecil, bahkan pusat-pusat
pertumbuhan desa. Kita harus menggunakan pendekatan bring the cities to the people
bukan bring the people to the cities. Dalam hal ini pembangunan infrastruktur akan
mempunyai peran yang sangat penting dan strategik bagi upaya mengurangi
kesenjangan kemajuan antara perkotaan dan perdesaan.
Infrastruktur juga memiliki dua matra, yaitu matra fisik dan matra pelayanan.
Seringkali dalam perencanaan pembangunan infrastruktur kita lebih memberikan
prioritas pada matra fisiknya saja, padahal peran matra jasa pelayanan perlu lebih
banyak memperoleh perhatian.
Halaman 2
yang telah ada. Hal ini dapat dilihat dari kondisi di masing-masing subsektor
infrastruktur berikut ini:
2.1 Irigasi
Sekitar 1,5 juta ha dari 6,7 juta ha jaringan irigasi dalam kondisi rusak ringan
dan berat. Pemerintah hanya mampu menyediakan 40-50 persen biaya operasi dan
pemeliharaan. Selain itu, sekitar 15 ribu 20 ribu ha per tahun lahan pertanian
beririgasi teknis beralih fungsi (konversi) menjadi lahan non pertanian. Terjadinya
degradasi 62 dari 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) secara konsisten antara lain
akibat dari penebangan hutan yang tidak terkendali dari hulu sungai. Kerusakan
jaringan irigasi akan menurunkan kinerja penyediaan air irigasi sehingga dapat
menurunkan luas areal tanam padi, dan bila tidak diantisipasi secara serius akan
mengganggu pemenuhan produksi beras nasional. Kerusakan jaringan irigasi
mencapai 22,4 persen dari total jaringan dan 73,4 persen di antaranya berada di P.
Sumatera dan Jawa yang merupakan lumbung padi nasional. Pengaturan peran dan
batasan wewenang pengelolaan sungai antara kabupaten, kota, propinsi, dan pusat
masih belum jelas. Belum tersedianya database irigasi dan sungai per
kabupaten/kota hingga saat ini menjadi kendala bagi perencanaan.
2.2 Jalan
Pada tahun 2000, sepanjang 140 ribu km jalan (atau 48 persen dari 291,5 ribu
km) dalam keadaan rusak ringan dan berat, termasuk jalur urat nadi perekonomian
seperti Pantura (Jawa) dan Lintas Timur Sumatera. Sepanjang 8.798 km jalan
nasional dan jalan propinsi berada dalam kondisi rusak pada tahun 2000. Untuk jalan
kabupaten kerusakan mencapai panjang 134.443 km. Biaya pemakai jalan (social dan
economic user costs) diperkirakan mencapai Rp200 triliun, jauh melampaui kemampuan
investasi pemerintah di sektor jalan. Sejak tahun 1993/94, jalan kabupaten tidak
pernah berada dalam keadaan baik dan mantap, rata-rata separuhnya berada dalam
kondisi rusak baik ringan maupun berat. Oleh karena biaya pemeliharaan yang jauh
dari mencukupi, maka terjadi backlog maintenance sehingga pada tahun 2001 panjang
jalan nasional dan propinsi yang rusak secara cepat menjadi dua kali kondisi tahun
2000 (16.740 km) sedangkan panjang jalan kabupaten yang rusak diperkirakan sudah
mencapai sekitar 150.000 km. Selain tidak memadainya dana APBN, beberapa faktor
lain menjadi penyebab, antra lain adalah excessive overloading, rendahnya kualitas
konstruksi jalan, bencana alam, serta belum tumbuhnya kesadaran memelihara aset
publik yang berbentuk jalan. Sementara itu pengaturan desentralisasi fiskal melalui
dana alokasi umum (DAU) dalam bentuk block grant ke daerah, serta
dihilangkannya alokasi dana Inpres Jalan Kabupaten, penanganan jalan kabupaten
semakin tidak jelas.
2.3 Perkereta-apian
Halaman 3
Departemen Perhubungan (regulator), Meneg BUMN (pemilik), Departemen
Keuangan (pembiayaan), dan PT. KAI (operator). Selama 136 tahun, panjang rel
tidak bertambah secara berarti. Penurunan kapasitas lintas dan keandalan sarana dan
prasarana mengakibatkan menurunnya keselamatan kereta api.
2.5 Kelistrikan
Rasio elektrifikasi masih rendah yaitu sekitar 58 persen pada tahun 2001. Di
sisi lain, tidak adanya investasi baru di bidang perlistrikan (pembangkit baru)
mengakibatkan 28 daerah di luar Jawa-Bali mengalami kritis listrik.. Rasio
elektrifikasi desa KBI sebesar 91 persen sedangkan KTI masih 66 persen. Kapasitas
terpasang pembangkit tenaga listrik KBI sebesar 92 persen sedangkan KTI masih
sebesar 8 persen. Di KTI belum memungkinkan dibangun sistem interkoneksi yang
efisien seperti di KBI karena tingkat persebaran penduduk yang tidak merata.
Kondisi demografi dan pusat beban (sumber energi) yang tersebar mengharuskan
dioperasikannya sistem terpisah (isolated sytem) di KTI, yang pada akhirnya
menyebabkan HPP (harga pokok produksi) di KTI lebih besar dari tarifnya
(sementara HPP di KBI mendekati nilai tarifnya). Komponen biaya PLN sebesar 80
persen dalam ekivalen valas sedangkan pendapatan dalam rupiah. Selain itu
depresiasi Rupiah belum dapat diimbangi dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik
(TDL). Krisis listrik Jawa Bali, jika tidak ada pembangkit baru, diperkirakan terjadi
pada tahun 2005 ketika beban puncak sama dengan kapasitas terpasang.
2.6 Telekomunikasi
Saat ini di seluruh Indonesia hanya terdapat 8,8 juta sambungan telepon atau
sekitar 3 sambungan per 100 penduduk. Sebanyak 86 persen terletak di KBI. UU
Telekomunikasi mengamanatkan kompetisi penuh penyelenggaraan telekomunikasi
namun pelaksanaannya masih sangat lamban. Tidak ada penambahan jaringan baru
untuk fixed lines sejak terjadinya krisis. Duopoly PT Telkom dan PT Indosat
mengusai pasar Full Service Network Providers (FSNP). Oleh karenanya pembangunan
prasarana telekomunikasi domestik saat ini sangat bergantung pada kemampuan
Telkom dan Indosat. Belum adanya kebijakan Universal Service Obligation untuk
Halaman 4
melaksanakan pembangunan telekomunikasi di daerah-daerah yang kurang profitable,
sehingga pemerataan pembangunan prasarana telekomunikasi dapat terjamin.
2.7 Energi
Pipa gas transmisi masih sangat kurang dan hanya ada di Kawasan Barat
Indonesia (Jawa, Bali, dan Sumatera). Upaya pemanfaatan energi alternatif seperti
gas perlu ditingkatkan karena pemakaian BBM sebagai energi final masih sekitar 73
persen. Subsidi BBM pada tahun 2001 masih cukup besar, yaitu sekitar Rp68,3
triliun, walaupun jumlah ini akan terus menurun mencapai nol dalam waktu dekat
ini. Selama 5 tahun terakhir impor minyak mentah mengalami kenaikan rata-rat 10.5
persen per tahun. Jumlah impor minyak mentah selama tahun 2000 mencapai 80
juta barel.
Menurunnya kuantitas dan kualitas air baku. Sistem dan jaringan prasarana
dan sarana masih terbatas. 65 persen PDAM saat ini mempunyai utang sebesar
Rp4,46 triliun. 187 PDAM beroperasi di tingkat kabupaten dan kota melayani sekitar
39 persen total penduduk dengan 4 juta sambungan. Penentuan tarif lebih
ditekankan oleh pertimbangan politik dan sosial. Belum terbentuknya corporate plan
dan masih adanya intervensi pemerintah daerah. Tingkat kebocoran manajemen dan
teknis mencapai rata-rata 35 persen.
2.9 Perumahan
Harga rumah makin mahal dan semakin tidak terjangkau oleh daya beli
rakyat, serta semakin berkurangnya subsidi rumah murah dan terbatasnya
ketersediaan kredit perumahan murah dari pemerintah dan perbankan. Perumahan
kumuh di perkotaan meningkat tajam. Akumulasi defisit mencapai 4,3 juta unit
rumah. Anggaran yang diperlukan untuk menutup defisit mencapai Rp675 triliun,
terlalu besar untuk dapat dibiayai oleh APBN ataupun lembaga keuangan.
Pada saat yang sama terjadi proses demokratisasi yang tidak kurang
dahsyatnya, yang pada hakekatnya menuntut peningkatan partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan kebijakan di segala bidang kehidupan. Salah
satu wujud dari proses demokratisasi tersebut adalah kebijakan desentralisasi dan
Halaman 5
otonomi daerah yang mempunyai implikasi besar terhadap pengelolaan infrastruktur
di daerah
Sasaran kebijakan ini adalah: (1) tersedianya pelayanan jasa infrastruktur yang
mampu memenuhi kebutuhan minimum dalam pemulihan ekonomi; (2) terjaganya
Halaman 6
kondisi konstruksi maupun peralatan infrastruktur yang belum selesai pembangunan
konstruksinya atau belum beroperasi dengan sempurna; (3) terlaksananya peninjauan
ulang atas disain ataupun rencana konstruksi infrastruktur fisik, dan (4) tersedianya
data serta informasi bagi landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Halaman 7
fungsi pengaturan; pengembangan kerangka hukum baru. Secara rinci langkah-
langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pemecahan aktivitas (unbundling activity) terdiri atas dua jenis, yaitu pemecahan
secara geografis dan fungsional. Pemecahan geografis didasarkan pada keragaman
wilayah Indonesia. Pemecahan secara fungsional didasarkan pada kenyataan usaha
jasa pelayanan prasarana terdiri atas sub-sub usaha. Pemecahan dari aktivitas-
aktivitas ini akan memperjelas akuntabilitas dan memberikan dasar kompetisi.
Halaman 8
dalam meletakkan bidang infrastruktur pada pijakan yang sehat. Di masa datang,
peran pemerintah akan lebih diarahkan dan diperkuat sebagai pembuat kebijakan,
pengatur dan fasilitator.
Halaman 9
swasta sama sekali tidak ada, sehingga dikhawatirkan saat ini backlog tersebut sudah
terakumulasi cukup besar. Bahkan bila seluruh belanja APBN yang sebesar 20 persen
dari PDB digunakan sepenuhnya untuk pembangunan infratruktur masih jauh dari
mencukupi.
Dengan sendirinya apabila iklim investasi yang kondusif ini tercipta, maka
diharapkan fungsi intermediasi perbankan dalam memberikan kredit bagi dunia
usaha dan swasta untuk investasi di bidang infratruktur dapat pulih kembali. Namun
seperti kita ketahui, semenjak krisis ekonomi kita mengalami krisis terparah di sektor
keuangan dan perbankan. Sementara itu kemampuan pembiayaan pembangunan
infrastruktur makin terbatas dari sektor publik oleh karena besarnya utang luar
negeri dan dalam negeri (obligasi) pemerintah. Utang dalam negeri (obligasi) per Juli
Halaman 10
2002 adalah Rp707.5 triliun, utang luar negeri per Desember 2001 adalah US$ 73,6
miliar (sekitar Rp662,5 triliun dengan Rp9.000/US$). Jumlah utang sekitar Rp1.370
triliun (belum termasuk bunga), atau sekitar 80 persen dari PDB tahun 2002 yang
sebesar Rp1.716,5 triliun, dapat mengancam kesinambungan fiskal dan menguras
keuangan pemerintah di masa depan. Akibatnya, APBN sangat sulit diharapkan
untuk membiayai secara memadai pemeliharaan dan rehabilitasi infrastruktur seperti
jalan, kereta api, serta pengairan dan irigasi, apalagi pembangunan baru.
Tetapi kalau ada obligasi yang pada tanggal jatuh temponya tidak dapat
dibayar karena pemerintah tidak mempunyai uang tunai, pembayaran OR yang jatuh
tempo dapat dijadwalkan. Artinya pembayarannya ditangguhkan atau diundur.
Dalam hal seperti ini, jumlah pokok tidak jadi dibayar sekarang, tetapi bunganya
berjalan terus. Maka kewajiban pembayaran bunganya akan membengkak melebihi
Rp600 triliun, sehingga seluruh kewajiban pembayaran jumlah pokok dan bunga OR
juga akan melebihi jumlah sekitar Rp1000 triliun.
Kalau tidak ada rencana atau pikiran sedikitpun dari pemerintah untuk
mengambil tindakan drastis yang kreatif, inovatif dan tidak konvensional, skenario
yang paling ringan tetapi realistis tidak dapat kurang dari Rp3.000 triliun. Jelas sekali
bahwa keuangan pemerintah tidak akan berkesinambungan.
Halaman 11
Buktinya sudah ada, yaitu penjualan BCA. Lama sebelum BCA dijual sudah
diketahui bahwa BCA sudah menunjukkan laba di laporan keuangan per 31
Desember 2001 (belum diaudit) sebesar Rp3 triliun. CAR mencapai angka 32,6
persen sedangkan yang disyaratkan adalah 8 persen. Kalau memang ada kemauan
baik untuk menarik OR, CAR bisa diturunkan sampai 8 persen. Kalau CAR
diturunkan sampai menjadi 8 persen, modal sendiri bisa diturunkan dengan jumlah
Rp4,8 triliun. Jadi Modal Sendiri bisa didebet dengan Rp4,8 triliun, dan sebagai
pembukuan lawannya, yang dikredit adalah pos OR. Dengan demikian dalam
pembukuan, OR musnah dengan Rp4,8 triliun, sehingga OR-nya secara fisik dapat
diserahkan kembali kepada pemerintah. Toh ini tidak dilakukan. Bahkan IMF
memaksakan OR tidak boleh ditarik kembali sebelum bank rekap dijual. Dalam hal
BCA, OR yang melekat padanya sejumlah Rp60 triliun ikut terjual kepada swasta
(Farralon). Dengan demikian tagihan kepada pemerintah dalam bentuk OR beralih
kepada swasta, sehingga pada tanggal jatuh temponya harus dibayar. Transaksi tidak
dapat dimengerti oleh bagian terbesar dari manusia yang berpikir. Kalau transaksi
kita anggap mencakup 100 persen dari BCA (untuk mempertajam kekonyolannya),
maka orang membeli BCA dari pemerintah dengan harga Rp10 triliun. Dia
mendapat BCA yang mempunyai tagihan kepada pemerintah sebesar Rp60 triliun.
Selama pemerintah belum dapat membayar utangnya ini, BCA menerima
pembayaran bunga saja lebih dari Rp10 triliun per tahun.
Dalam rencananya sampai saat ini, Bank Niaga, Bank Danamon, dan semua
bank rekap akan dijual dengan pola seperti BCA. Karena itu, tagihan kepada
pemerintah berupa OR dengan jumlah total sebesar Rp430 triliun plus bunga Rp600
triliun akan menjadi kenyataan. Juga akan menjadi kenyataan bahwa jumlah ini akan
membengkak, karena juga telah terbukti bahwa sudah masuk dalam rencana
pemerintah untuk menunda pembayaran jumlah pokok dari OR yang jatuh tempo
(lihat RABPN 2003).
Lebih parah lagi, pemerintah telah memutuskan dan telah diumumkan akan
menciptakan pasar sekunder. Artinya, OR itu akan dijual kepada masyarakat melalui
Bursa Efek Jakarta. Dengan demikian, OR itu akan beralih kepada para anggota
masyarakat yang banyak sekali diantaranya orang awam dalam liku-liku keuangan
seperti ibu-ibu rumah tangga. Ini akan lebih gawat lagi, karena kalau mereka nanti
menagih jumlah OR yang dipegangnya pada tanggal jatuh temponya dan pemerintah
tidak punyai uang, akan terjadi keonaran seperti di Argentina.
Lepas daripada urusan fiskal, apa yang dibela sampai pemerintah harus
bersedia membayar ribuan triliun rupiah bank-bank rekap? Kita bandingkan dengan
sempitnya kondisi keuangan kita untuk hal-hal yang lebih mendesak untuk
kepentingan manusia Indonesia, terutama bagian terbesar dari rakyat Indonesia yang
hidup dibawah garis kemiskinan. Selain itu telah pula dikorbankan infrastruktur yang
sudah hancur dan tidak ada dananya, TNI/Polri yang sudah porak poranda
persenjataan maupun pendapatannya, kaum pengungsi yang terpaksa dibiarkan
Halaman 12
karena tiada dananya. Setiap tahun APBN defisit. Kita harus berutang untuk tetap
dapat menjalankan roda pemerintahan. Tetapi untuk tahun 2003, jumlah pokok OR
yang jatuh tempo sekitar Rp27 triliun dan bunga yang yang jatuh tempo sekitar Rp55
triliun. Bagaimana menggarapnya ke dalam APBN tahun 2003 penuh dengan liku-
liku yang sulit dipahami orang awam.
Saudara civitas academica Fakultas Teknis Sipil dan Perencanaan dan hadirin
yang budiman, demikianlah paparan yang kami sampaikan tentang pembiayaan
pembangunan infrastruktur dan permukiman, mudah-mudahan bermanfaat dan
dapat dikaji lebih lanjut berbagai isu yang belum terjawab dengan memuaskan
sampai saat ini termasuk upaya-upaya untuk mencari sumber-sumber pendanaan
bagi pembangunan infrastruktur.
ttd
Halaman 13