Anda di halaman 1dari 16

PENTINGNYA PERENCANAAN INFRASTRUTUR

TRANSPORTASI DALAM MENGURANGI DISPARITAS


PENGEMBANGAN WILAYAH ANTAR DAERAH

Elza Novilyansa, ST

1425011015

MAGISTER TEKNIK SIPIL


UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai Negara berkembang, Indonesia memiliki isu – isu pembangunan yang


serupa dengan Negara India dan Cina, yaitu kesenjangan wilayah atau disparitas.
Hal ini dibuktikan dengan adanya ketimpangan antara output di beberapa wilayah
Indonesia yang dicerminkan terhadap PDRB wilayah. Ahli ekonomi dan pembuat
kebijakan menunjuk infrastruktur publik sebagai elemen penting bagi kebijakan
pengembangan wilayah. Mereka mengatakan bahwa infrastruktur menyediakan
fasilitas yang bernilai bagi sektor privat, meningkatkan ketersediaan sumber daya
dan dari waktu ke waktu mengubah produktivitas saat ini. Dengan kata lain,
dampak menghubungkan investasi infrastruktur publik terhadap output nasional.

Dalam kaitannya dengan Pengembangan wilayah, terdapat beberapa jenis


infrastruktur yang dapat berpengaruh terhadap karakter perkembangan wilayah
tersebut yang berpengaruh terhadap terjadinya kesenjangan wilayah antara lain
infrastruktur transportasi, infrastruktur energi, infrastruktur telekomunikasi,
infrastruktur penyediaan air bersih, infrastruktur pendidikan dan infrastruktur
kesehatan. Dan berdasarkan hasil estimasi parameter, atribut infrastruktur yang
paling signifikan mempengaruhi perkembangan wilayah dengan tingkat
pertumbuhan PDRB per kapita tinggi adalah pertumbuhan panjang jalan nasional
dan pertumbuhan jumlah pelanggan listrik (Novitasari, 2014)

Sebagai salah satu prasarana perhubungan dalam kehidupan bangsa, kedudukan dan
peranan jaringan jalan pada hakikatnya menyangkut hajat hidup orang banyak serta
mengendalikan struktur pengembangan wilayah pada tingkat nasional, terutama
menyangkut perwujudan/perkembangan antar daerah yang seimbang dan
pemerataan hasil-hasil pembangunan serta peningkatan pertahanan dan keamanan
negara dalam rangka menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan mengamanatkan bahwasanya
jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting
terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan
dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai
keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah, membentuk dan
memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan
nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran
pembangunan nasional.

Menurut studi yang dilakukan oleh Danareksa, melalui pemanfaatan tabel input-
output menyebutkan bahwa setiap pembangunan 100 kilometer jalan akan
memberikan tambahan 0,20 persen terhadap pertumbuhan ekonomi dan
menciptakan 69.000 lapangan kerja baru (Purbayu dan Edwin S, 2004). Sementara
hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kebijakan Sekjen Kimpraswil
tersimpulkan bahwa peningkatan penghematan biaya perjalanan sebesar 1 persen
akibat meningkatnya kualitas jalan dapat meningkatkan PDRB rata-rata sebesar
0,99 persen (Puska, 2004).

B. Tujuan

Makalah ini disusun untuk mengetahui pengaruh pengembangan infrastruktur


transportasi dalam mengurangi disparitas pengembangan wilayah antar daerah.
II. KERANGKA TEORI

A. Teori Pengembangan Wilayah

Perencanaan pembangunan wilayah semakin relevan dalam


mengimplementasikan kebijakan ekonomi dalam aspek kewilayahan. Hoover dan
Giarratani (dalam Nugroho dan Dahuri, 2004), menyimpulkan tiga pilar penting
dalam proses pembangunan wilayah, yaitu:
1. Keunggulan komparatif (imperfect mobility of factor).
Pilar ini berhubungan dengan keadaan dtemukannya sumber-sumber daya
tertentu yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk
digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor lokal
(bersifat khas atau endemik, misalnya iklim dan budaya) yang mengikat
mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki
komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa berhubungan dengan
produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan,
pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor primer lainnya.

2. Aglomerasi (imperfect divisibility).


Pilar aglomerasi merupakan fenomena eksternal yang berpengaruh terhadap
pelaku ekonomi berupa meningkatnya keuntungan ekonomi secara spasial.
Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan
jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi produk.

3. Biaya transpor (imperfect mobility of good and service).


Pilar ini adalah yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas
perekonomian. Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan
lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan
wilayah.

Proses pembangunan ekonomi menurut W.W Rostow bisa dibedakan dalam 5


tahap:
1. Masyarakat tradisional
Sistem ekonomi yang mendominasi masyarakat tradisional adalah pertanian,
dengan cara-cara bertani yang tradisional. Produktivitas kerja manusia lebih
rendah bila dibandingkan dengan tahapan pertumbuhan berikutnya. Ciri-ciri
tahap masyarakat tradisional adalah sebagai berikut:
a. Fungsi Produksi terbatas, cara produksi masih primitif, dan tingkat
produktifitas masyarakat rendah.
b. Struktur sosial bersifat hierarkis, yaitu kedudukan masyarakat tidak
berbeda dengan nenek moyang mereka.
c. Kegiatan politik dan pemerintahan di daerah-daerah berada di tangan
tuan tanah.

2. Pra-kondisi tinggal landas


Selama tahapan ini, tingkat investasi menjadi lebih tinggi dan hal itu memulai
sebuah pembangunan yang dinamis. Model perkembangan ini merupakan
hasil revolusi industri. Konsekuensi perubahan ini, yang mencakup juga pada
perkembangan pertanian, yaitu tekanan kerja pada sektor-sektor primer
berlebihan. Sebuah prasyarat untuk pra-kondisi tinggal landas adalah revolusi
industri yang berlangsung dalam satu abad terakhir.

3. Tinggal landas (Lepas Landas)


Tahapan ini dicirikan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis.
Karakteristik utama dari pertumbuhan ekonomi ini adalah pertumbuhan dari
dalam yang berkelanjutan yang tidak membutuhkan dorongan dari luar.
Seperti, industri tekstil di Inggris, beberapa industri dapat mendukung
pembangunan. Secara umum “tinggal landas” terjadi dalam dua atau tiga
dekade terakhir. Misalnya, di Inggris telah berlangsung sejak pertengahan
abad ke-17 atau di Jerman pada akhir abad ke-17.
Untuk mengetahui apakah sesuatu negara sudah mencapai tahap tinggal
landas atau belum, Rostow mengemukakan tiga ciri dari masa tinggal landas
yaitu:
a. Berlakunya kenaikan dalam penanaman modal yang produktif dari 5
persen atau kurang menjadi 10 persen dari Produk Nasional Netto atau
NNP.
b. Berlakunya perkembangan satu atau beberapa sektor industri dengan
tingkat laju perkembangan yang tinggi.
c. Adanya atau segera terciptanya suatu rangka dasar politik, sosial, dan
kelembagaan yang bisa menciptakan perkembangan sektor modern dan
eksternalitas ekonomi yang bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi
terus terjadi.

4. Menuju Kedewasaan
Setelah lepas landas akan terjadi proses kemajuan yang terus bergerak ke
depan, meskipun kadang-kadang terjadi pasang surut. Pendapatan asional
selalu di investasikan kembali sebesar 10% sampai 20%, untuk mengatasi
persoalan pertambahan penduduk.

5. Era konsumsi tinggi


Ini merupakan tahapan terakhir dari lima tahap model pembangunan Rostow.
Pada tahap ini, sebagian besar masyarakat hidup makmur. Orang-orang yang
hidup di masyarakat itu mendapat kemakmuran dan keseberagaman
sekaligus. Menurut Rostow, saat ini masyarakat yang sedang berada dalam
tahapan ini adalah masyarakat Barat atau Utara.
Pada tahap ini perhatian masyarakat sudah lebih menekankan pada masalah-
masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat
bukan lagi kepada masalah produksi.
Terdapat 3 macam tujuan masyarakat atau negara yaitu:
a. Memperbesar kekuasaan dan pengaruh ke luar negeri dan kecenderungan
ini bisa berakhir pada penjajahan terhadap bangsa lain.
b. Menciptakan negara kesejahteraan dengan cara mengusahakan
terciptanya pembagian pendapatan yang lebih merata melalui sistem
pajak yang progresif
c. Meningkatkan konsumsi masyarakat melebihi kebutuhan pokok yang
meliputi pula barang yang tahan lama dan barang mewah.
Pengembangan wilayah menurut Teori Lokasi:
1. Teori Klasik
David Ricardo berpendapat bahwa penduduk akan tumbuh sedemikian rupa
sehingga tanah-tanah yang tidak subur akan digunakan dalam proses produksi
dimana sudah tidak bermanfaat lagi bagi pemenuhan kebutuhan manusia yang
berada pada batas minimum kehidupan. Sehingga sewa tanah akan sama
dengan penerimaan dikurangi harga faktor produksi bukan tanah di dalam
persaingan sempurna dan akan proporsional dengan selisih kesuburan tanah
tersebut atas tanah yang paling rendah tingkat kesuburannya.
2. Teori Neo Klasik
Teori Neo Klasik menyatakan bahwa suatu barang produksi dengan
menggunakan beberapa macam faktor produksi, misalnya tanah, tenaga kerja
dan modal, baik input maupun hasil dianggap sebagai variabel. Subtitusi di
antara berbagai penggunaan faktor produksi dimungkinkan. Agar dicapai
keuntungan maksimum, maka seorang produsen akan menggunakan faktor
produksi sedemikian rupa sehingga diperoleh keuntungan maksimum.

3. Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt


Von Thunen menerangkan bahwa terdapat tujuh asumsi di sekitar lokasi
pertanian sebagai berikut:
a. Daerah pedalaman merupakan satu-satunya tempat yang dapat memasok
kebutuhan perkotaan
b. Daerah perkotaan tersebut tidak menerima penjualan hasil pertanian dari
daerah lain
c. Daerah pedalaman tidak menjual ke daerah lain
d. Daerah pedalaman cocok untuk tanaman dan peternakan
e. Daerah pedalaman mampu menyediakan kebutuhan perkotaan
f. Satu-satunya angkutan adalah gerobak
g. Biaya angkutan ditanggung oleh petani

Burges menganalogikan pusat pasar dengan pusat kota, asumsinya semakin


jauh pusat kota maka nilai rent ekonomi kawasan tersebut semakin kecil.
Sedangkan Hoyt lebih memperhatikan masalah transportasi, bahwa jaringan
transportasi mampu memberikan jangkauan yang lebih tinggi dan ongkos
yang lebih murah terhadap kawasan lahan tertentu.

4. Teori Alfred Weber


Weber berpendapat bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi
industri, yaitu biaya transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi.
Biaya transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang
ditempuh dan berat barang, sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil
adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan
pendistribusian yang minimum.

B. Teori Pengembangan Ekonomi

Kajian teori ekonomi pembangunan menurut Marsuki (2005) dan Sjafrizal


(2008), dikutip oleh Arman (2008), dikatakan bahwa untuk menciptakan dan
meningkatkan kegiatan ekonomi diperlukan sarana infrastruktur yang
memadai. Ilustrasinya sederhana, seandainya semula tidak ada akses jalan lalu
dibuat jalan maka dengan akses tersebut akan meningkatkan aktivitas
perekonomian. Contoh lain di suatu komunitas bisnis, semula tidak ada listrik
maka dengan adanya listrik kegiatan ekonomi di komunitas tersebut akan
meningkat. Fungsi strategis infrastruktur jelas tidak diragukan lagi tanpa
pembangunan infrastruktur yang mencukupi, kegiatan investasi pembangunan
lainnya seperti kegiatan produksi, jelas tidak akan meningkat secara signifikan.
Infrastruktur fisik, terutama jaringan jalan sebagai pembentuk struktur ruang
nasional memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah maupun sosial budaya kehidupan masyarakat. Dalam konteks
ekonomi, jalan sebagai modal sosial masyarakat merupakan tempat bertumpu
perkembangan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi sulit
dicapai tanpa ketersediaan jalan yang memadai.

Tambunan (2005), dikutip oleh Arman (2008), menegaskan bahwa manfaat


ekonomi infrastruktur jalan sangat tinggi apabila infrastruktur tersebut
dibangun tepat untuk melayani kebutuhan masyarakat dan dunia usaha yang
berkembang. Tambunan (2005) juga menunjukkan bahwa manfaat variabel
infrastruktur (diukur dengan panjang jalan aspal atau paved road) terhadap
peningkatan beragam tanaman pangan di Pulau Jawa jauh lebih signifikan
berpengaruh terhadap produksi tanaman pangan dibandingkan dengan
pembangunan pengairan. Haris (2010) menyatakan bahwa infrastruktur
merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan
publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan
nasional dan daerah. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan
infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital,
sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan
infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.

Secara langsung atau tidak langsung, masing-masing infrastruktur fisik


memberi kontribusi pada pertumbuhan perekonomian suatu wilayah. Seperti
keberadaan infrastruktur jalan memiliki peran sangat vital dalam mendukung
berlangsungnya aktivitas sektor-sektor lain, dan berperan sebagai prasarana
pergerakan angkutan bahan mentah untuk produksi, maupun prasarana pergerakan
distribusi pemasaran barang dan jasa yang dihasilkan.

Menurut Adisasmita (2010), ada lima macam teori pertumbuhan ekonomi


wilayah, yaitu:
a. Teori Ekonomi Klasik
Aliran klasik muncul pada akhir abad 18 dipelopori oleh Adam
Smith yang berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi disebabkan
karena faktor kemajuan teknologi dan perkembangan jumlah penduduk.
Kemajuan teknologi bergantung pada pembentukan modal. Dengan
adanya akumulasi modal akan memungkinkan dilaksanakannya
spesialisasi atau pembagian kerja sehingga produktivitas tenaga kerja
dapat ditingkatkan. Dampaknya akan mendorong penambahan
investasi dan persediaan modal yang selanjutnya diharapkan
meningkatkan kemajuan teknologi dan menambah pendapatan.
Bertambahnya pendapatan berarti meningkatnya kemakmuran dan
kesejahteraan penduduk. Peningkatan kemakmuran mendorong
peningkatan jumlah penduduk memnyebabkan berlakunya hukum
pertambahan hasil yang
semakin berkurang, yang selanjutnya menurunkan akumulasi modal.

b. Teori Neo Klasik


Aliran Neo Klasik menggantikan aliran Klasik. Ahli-ahli Neo Klasik
banyak menyumbangkan pemikiran mengenai teori pertumbuhan
ekonomi, yaitu sebagai berikut:
 Akumulasi modal merupakan faktor penting dalam pertumbuhan
ekonomi.
 Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang gradual.
 Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang harmonis dan
kumulatif.
 Aliran Neo Klasik merasa optimis terhadap pertumbuhan
(perkembangan).

c. Teori Keynes dan Pasca Keynes

Menurut Keynes, karena upah bergerak lamban, maka sistem


kapitalisme tidak akan secara otomatis menuju kepada keseimbangan
penggunaan tenaga kerja secara penuh (full-employment equillibrium).
Akibat yang ditimbulkan adalah justru sebaliknya (equillibrium
underemployment) yang dapat diperbaiki melalui kebijakan. Fiskal atau
moneter untuk meningkatkan permintaan agregat.
Aliran Pasca Keynes memperluas teori Keynes menjadi teori output
dan kesempatan kerja dalam jangka panjang, yang menganalisis
fluktuasi janka pendek untuk mengetahui adanya perkembangan
jangka panjang. Apabila jumlah penduduk bertambah, maka
pendapatan per kapita akan berkurang, kecuali bila pendapatan riil juga
bertambah. Selanjutnya bila angkatan kerja berkembang, maka output
harus bertambah juga untuk mempertahankan kesempatan kerja penuh.
Bila terjadi investasi, maka pendapatan riil juga harus bertambah pula
untuk mencegah terjadinya kapasitas yang menganggur (iddle-capacity).
d. Teori Basis Ekspor
Teori basis ekspor adalah bentuk model pendapatan yang paling
sederhana. Teori ini sebenarnya tidak dapat digolongkan sebagai
bagian dari ekonomi makro interregional karena teori ini
menyederhanakan suatu sistem regional menjadi dua bagian, yaitu daerah
yang bersangkutan dan daerah-daerah lainnya.
Aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor
kegiatan yakni aktivitas basis dan non basis. Aktivitas basis merupakan
kegiatan yang melakukan aktivitas yang berorientasi ekspor (barang dan
jasa) ke luar batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Kegiatan
non basis dalah kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat yang berada dalam batas wilayah
perekonomian yang bersangkutan. Luas lingkup produksi dan
pemasarannya adalah bersifat lokal.

e. Teori Sektor

Salah satu teori pertumbuhan wilayah yang paling sederhana adalah


teori sektor. Teori ini dikembangkan berdasar hipotesis Clark Fisher
yang mengemukakan bahwa kenaikan pendapatan per kapita akan
dibarengi oleh penurunan dalam proporsi sumberdaya yang digunakan
dalam sektor pertanian (sektor primer) dan kenaikan dalam sektor
industri manufaktur (sektor sekunder) dan kemudian dalam industri
jasa (sektor tersier). Laju pertumbuhan dalam sektor yang mengalami
perubahan, dianggap sebagai determinan utama dari perkembangan
suatu wilayah. Alasan dari perubahan atau pergesaran sktor tersebut dapat
dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran.
Pada sisi permintaan, yaitu elastisitas pendapatan dari permintaan untuk
barang dan jasa yang disuplai oleh industri manufaktur dan industri jasa,
adalah lebih tinggi dibandingkan untuk produk-produk primer. Maka
pendapatan yang meningkat akan diikuti oleh perpindahan
sumberdaya dari sektor primer ke sektor manufaktur dan jasa. Sisi
penawara, yaitu perpindahan sumberdaya tenaga kerja dan modal
dilakukan sebagai akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan
produktivitas dalam sektor-sektor tersebut. Kelompok sektor sekunder
dan tersier menikmati kemajuan yang lebih besar dalam tingkat
produktivitas. Hal ini akan mendorong peningkatan pendapatan dan
produktivitas yang lebih cepat, karena produktivitas yang lebih tinggi
baik untuk tenaga kerja lokal maupun untuk modal, dan penghasilan
yang lebih tinggi tersebut memungkinkan untuk melakukan relokasi
sumberdaya.
III. STUDI KASUS

Untuk lebih menggambarkan tentang disparitas terdapat beberapa studi kasus yaitu :

1. Dampak Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan Terhadap Output


Sektor Produksi Dan Pendapatan Rumah Tangga Jawa Tengah (Simulasi
SNSE Jawa Tengah 2004).

Penelitian ini dilakukan oleh Sudaryadi pada tahun 2007. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis dampak pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan
(JJLS) terhadap output sektor produksi dan pendapatan rumah tangga Jawa
Tengah. Data yang digunakan untuk melakukan analisis adalah Sistem Necara
Sosial Ekonomi (SNSE) Jawa Tengah 2004. Metode simulasi yang dilakukan
adalah menggunakan biaya pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan sebagai
injeksi (shock) terhadap matriks angka pengganda neraca (Ma).
Hasil analisis menunjukkan bahwa pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan
(JJLS) memberikan dampak bagi : (1) peningkatan output yang relatif lebih
besar bagi sektor produksi pertambangan, industri pengolahan kecuali
makanan, listrik, gas dan air minum serta pertanian tanaman pangan,
peternakan, perikanan, industri makanan. (2) peningkatan pendapatan yang
relatif besar bagi kelompok rumah tangga menengah atas dan rumah tangga
perkotaan.
Peningkatan output sektor produksi dan peningkatan pendapatan rumah tangga
yang diakibatkan adanya pembangunan JJLS tidak menimbulkan pengaruh
pada peningkatan tingkat kesenjangan pendapatan rumah tangga Jawa Tengah.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
Perekonomian provinsi Jawa Tengah berdasarkan data SNSE tahun 2004
memperlihatkan adanya : (1) keterkaitan antara sektor produksi terhadap faktor
produksi dan, (2) keterkaitan antara sektor institusi terhadap faktor produksi.
Dengan demikian jika pada faktor produksi terjadi perubahan, perubahan ini
akan memberikan tekanan yang signifikan pada sektor produksi dan sektor
institusi. Berdasarkan data SNSE Jawa Tengah tahun 2004, struktur faktor
produksi di Jawa Tengah 64,8% di antaranya adalah faktor produksi tenaga
kerja.
Kemudian berdasarkan hasil simulasi yaitu melakukan injeksi atas pembiayaan
pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan terhadap Ma (Multiplier Accounting),
menunjukkan beberapa temuan bahwa :
a. Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa Tengah akan memberikan
dampak peningkatan output yang relatif lebih besar nilainya pada sektor
produksi : (1) Pertambangan, industri pengolahan kecuali makanan, listrik,
gas dan air minum. (2) Pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan,
industri makanan.
b. Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa Tengah akan memberikan
dampak peningkatan pendapatan yang relatif lebih besar pada : (1) rumah
tangga pengusaha tani. (2) rumah tangga golongan atas perkotaan.
c. Dampak ekonomi Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa Tengah
lebih banyak dinikmati oleh kelompok rumah tangga menengah ke atas
dan kelompok rumah tangga perkotaan.

2. Kajian Dampak Infrastruktur Jalan Terhadap Pembangunan Ekonomi


Dan Pengembangan Wilayah.

Penelitian ini dilakukan oleh Hengki Purwoto, SE, M.A dan Dwi Ardianta
Kurniawan, ST keduanya merupakan peneliti di Pusat Studi Transportasi dan
Logistik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Penilaian pasca konstruksi pembangunan infrastruktur jalan belum diberi
perhatian yang proporsional. Ini menciptakan kurangnya informasi mengenai
efektivitas investasi jalan. Penelitian ini bertujuan untuk melaksanakan analisis
mengenai dampak pembangunan infrastruktur jalan menggunakan indikator
pembangunan daerah. Hal ini juga bertujuan untuk menghasilkan analisis
kinerja dukungan berdasarkan Sistem Manajemen Jalan Terpadu (IRMS) yang
mencerminkan dampak investasi jalan jangka pendek. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan Computable General Equilibrium (CGE) yang
berdasarkan keseimbangan antara modal dan tenaga kerja di satu sisi dan
pembangunan komponen ekonomi di sisi lain. Sebuah analisis regresi
dilakukan untuk meninjau hubungan antara jenis investasi jalan, yaitu,
konstruksi, perbaikan, dan pemeliharaan. Data yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi pengukuran unit investasi jalan dan Biaya Operasi
Kendaraan (VOC) sebagai indikator masukan, pertumbuhan ekonomi, rasio
manfaat investasi, dan penyerapan tenaga kerja digunakan sebagai indikator
output. Penelitian ini menggunakan data time series antara 1998-2003.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa investasi jalan di Jawa benar-benar
memberikan dampak terbesar pada pembangunan ekonomi, yaitu sebanyak
1,460 (0,942 pemeliharaan dan 0,518 perbaikan). Itu berarti bahwa setiap
rupiah dari investasi jalan akan memberikan sebanyak 1,460 rupiah nilai
tambah bagi ekonomi pembangunan. Di Sumatera, investasi jalan memberikan
dampak 0,765 pada perekonomian daerah, dan di Bali-NT 0,309. Kalimantan
peringkat di tingkat berikutnya, memiliki sosok 0,215, diikuti oleh Sulawesi
0,54. Terkecil dampak diidentifikasi di Maluku-Papua, yang mencapai 0,081.
Lebih lanjut, analisis menunjukkan bahwa setiap manajemen investasi jenis
jalan memiliki dampak yang berbeda terhadap perekonomian daerah di
berbagai daerah. Di Sumatera, yang investasi untuk pemeliharaan jalan
memberikan lebih dari dua kali lipat dari dampak peningkatan (0,535
dibandingkan dengan 0,230). Jenis serupa terjadi di Jawa di mana
pemeliharaan memberikan 0,942 dampak dibandingkan dengan perbaikan,
yang 0,518. Di Kalimantan, pembangunan jalan memberikan dampak yang
signifikan sebesar 0,215, sedangkan di Bali-NT dan Sulawesi dampak
signifikan diberikan oleh perbaikan jalan, sebesar 0,309 dan 0,514 masing-
masing.
Di Maluku dan Papua, konstruksi jalan memberikan kontribusi sedikit lebih
besar dari perbaikan jalan, sebesar 0,081 dibandingkan dengan 0.098. Studi ini
merekomendasikan kebutuhan belanja secara terpisah untuk konstruksi dan
untuk perbaikan, karena keduanya memberikan dampak berbeda.
Lebih lanjut penelitian harus diarahkan untuk perbaikan metode dengan
meninjau indikator terkait lainnya yang tidak termasuk di penelitian ini
misalnya studi dari pengentasan kemiskinan.
IV. KESIMPULAN

1. Hubungan antara PDRB dengan Panjang Jalan Mantap di Kabupaten Pesisir


Selatan sangat kuat, yang ditunjukkan dengan angka pearson correlation sebesar
0,892. Hal ini berarti dengan adanya pertambahan panjang jalan mantap juga turut
meningkatkan PDRB Kabupaten Pesisir Selatan.
Studi ini menunjukkan korelasi yang cukup kuat dari peningkatan infrastruktur
jalan terhadap peningkatan PDRB di Kabupaten Pesisir Selatan. Peningkatan
PDRB merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi wilayah yang
menunjukkan tingkat produksi atau pendapatan suatu wilayah. Dengan demikian
peningkatan infrastruktur jalan berkorelasi dengan peningkatan PDRB yang dapat
mengurangi disparitas pengembangan antar wilaya di Pesisir Selatan Sumatera
Barat.

2. Dampak Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan Terhadap Output Sektor


Produksi Dan Pendapatan Rumah Tangga Jawa Tengah (Simulasi SNSE Jawa
Tengah 2004).
a. Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa Tengah akan memberikan
dampak peningkatan output yang relatif lebih besar nilainya pada sektor
produksi : (1) Pertambangan, industri pengolahan kecuali makanan, listrik,
gas dan air minum. (2) Pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan,
industri makanan.
b. Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa Tengah akan memberikan
dampak peningkatan pendapatan yang relatif lebih besar pada : (1) rumah
tangga pengusaha tani. (2) rumah tangga golongan atas perkotaan.

Dengan demikian pembangunan infrastuktur jalan memberikan dampak yang baik


dalam meningkatkan PDRB di daerah Jawa Tengah. Peningkatan dari sektor
produksi dan peningkatan pada pendapatan di kelompok rumah tangga pengusaha
petani dan rumah tangga golongan atas perkotaan akan dapat mengurangi
diparitas pengembangan antar wilayah dalam lingkup wilayah Jawa Tengah.

Anda mungkin juga menyukai