Anda di halaman 1dari 59

Perancangan Taman Kecil Gedung Perpustakaan ITB Jatinangor

February 3, 2015 Academic Exercise

Berikut ini adalah salah satu tugas kecil pada awal perkuliahan pascasarjana Arsitektur Lanskap. Tugasnya adalah merancang sebuah taman kecil
yang berada di dalah kawasan ITB Jatinangor. Area perancangan yang saya ambil adalah taman di sebelah utara gedung perpustakaan. Semoga
dapat menjadi salah satu referensi yang berguna bagi Anda.
Leave a comment
Pengelolaan Emisi Gas Landfill pada Ruang Terbuka Publik
Bekas TPA
February 3, 2015 Academic Exercise

PENGELOLAAN EMISI GAS LANDFILL

PADA RUANG TERBUKA PUBLIK BEKAS TPA

VERONIKA JOAN PUTRI1


1
28913005, Arsitektur Lanskap, Institut Teknologi Bandung

ABSTRACT

Landfills become one of the problems of the city, particularly in Bandung. Some landfill then converted into a public open space. However,
creation of public open space in ex landfill area has certain problems, including the presence of landfill gas that is still buried in the ground.
Landfill gas not only has impact on the environment, but also has the potential to be beneficial to communities. This article explains briefly
about landfill gas and its impact to environment. It also identifies the potential and problems of landfill that converted into a public open space,
as well as some related precedents of public open space that is built on ex landfill area. At the end of the article given some input related to the
management of landfill gas emissions that can be beneficial for social environment.

Keywords: landfill, emission, public open space, management

ABSTRAK

TPA atau tempat pembuangan akhir menjadi salah satu permasalahan kota, khususnya Kota Bandung. Beberapa TPA kemudian diubah menjadi
ruang terbuka publik. Namun, pembuatan ruang terbuka publik di area bekas TPA memiliki permasalahan tertentu, diantaranya adalah adanya
gas landfill yang masih terpendam di dalam tanah. Gas landfill ini memiliki dampak bagi lingkungan, namun juga memiliki potensi yang dapat
menguntungkan masyarakat di area sekitar. Artikel ini menjelaskan secara singkat mengenai gas landfill dan pengaruhnya terhadap
lingkungan. Selain itu dijelaskan pula mengenai potensi dan permasalahan TPA yang dialihfungsikan menjadi ruang terbuka publik, serta
beberapa preseden yang terkait ruang terbuka publik yang dibangun di area bekas TPA. Pada akhir dari artikel diberikan beberapa masukan
terkait dengan pengelolaan emisi gas landfill yang dapat bermanfaat bagi lingkungan sosial.

Kata kunci: landfill, emisi, ruang terbuka publik, pengelolaan

1. PENDAHULUAN
Tempat pembuangan akhir adalah tempat untuk menimbun sampah dan tempat sampah mendapatkan perlakuan terakhir. Tempat pembuangan
akhir dapat berbentuk sumur dalam atau berbentuk area lapangan. Beberapa tahun belakangan, tempat pembuangan akhir yang terbengkalai
akhirnya dialihfungsikan menjadi ruang terbuka publik. Namun beberapa dampak baik positif ataupun negative dari pengalihfungsian ini
muncul. Dampak positif yang muncul dari pengalihfungsian ini adalah apabila dikelola dengan baik, maka area ini secara lingkungan ataupun
teknologi dapat memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat sekitarnya. Sedangkan dampak negatifnya adalah adanya permasalahan
lingkungan dan kesehatan akibat adanya gas landfill yang disebabkan oleh pembusukan sampah organik.

Tempat pembuangan akhir merupakan salah satu sumber terbesar emisi gas landfill yang menjadi permasalahan di Indonesia, khususnya di
Bandung. Bandung sendiri menghasilkan 1.500 ton sampah perhari dengan perbandingan 60% sampah organik dan 40% sampah non organik.
Tanpa disadari, emisi gas landfill sebenarnya memiliki potensi apabila diolah dan dikelola dengan baik dengan teknologi yang maksimal. Gas
landfill atau biasa disingkat dengan LFG dihasilkan ketika sampah dihancurkan di tempat pembuangan akhir. Gas landfill terdiri dari berbagai
komponen, diantaranya adalah metana (CH4), gas alam, dan sisanya CO2. Adanya penghancuran sampah di tempat pembuangan akhir
mempengaruhi iklim secara global. Penghancuran sampah di tempat pembuangan akhir menghasilkan gas metana (CH4) yang berpotensi 21 kali
lipat lebih kuat dalam menyumbang efek rumah kaca dibandingkan dengan gas karbon dioksida. Perlu diketahui bahwa gas metana memiliki
waktu hidup yang singkat, namun memiliki efek yang besar dalam merusak ozon. Untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan oleh
gas metana (CH4), diperlukan beberapa strategi. Strategi pengelolaan dalam mengurangi emisi gas landfill, khususnya gas metana (CH4) yang
dapat dilakukan adalah dengan mengurangi sampah organik dan melakukan proses penghancuran sampah dan mengkonversinya menjadi energi.

2. GAS LANDFILL
Landfill gas atau disingkat dengan LFG adalah gas yang dihasilkan oleh berbagai limbah organik berbentuk padat yang dibuang di landfill.
Sampah ditimbun dan ditekan secara mekanis. Dalam proses anaerobik, maka bahan organik tersebut terurai dan gas landfill dihasilkan. Gas ini
kemudian berkumpul dan naik terlepas ke atmosfer. Hal ini menjadi berbahaya karena dapat menyebabkan ledakan, selain itu juga dapat
menyebabkan photochemical smog. Gas landfill sendiri memiliki kompisisi yang bervariasi, tergantung pada asal proses anaerobik. Pada
umumnya, gas landfill memiliki komposisi metana (CH4) sebanyak 50-75%, CO2 sebanyak 25-45%, N2 sebanyak 0-0.3%, H2 sebanyak 1-5%,
H2S 0-3%, dan O2 sebanyak 0,1-0,5%. Dalam beberapa proses, gas landfill juga mengandung siloksan. Siloksan tersebut dilepaskan dan dapat
bereaksi dengan oksigen bebas, sehingga terbentuk endapan dengan kandungan SiO2, yang juga mengandung kalsium, sulfir, zinc, dan fosfor.
Endapan-endapan ini apabila menebal bersifat abrasif, hingga dapat merusak mesin yang ada di sekitarnya.

Metana (CH4) tidak beracun namun sangat mudah terbakar. Metana reaktif pada oksidator dan halogen. Metana juga bersifat asfiksian dan dapat
menggantikan oksigen dalam ruangan tertutup. Gas metana dapat masuk ke dalam gedung dekat dengan tempat pembuangan akhir dan
menyebabkan orang di dalamnya terpapar metana, sehingga beberapa gedung perlu dilengkapi dengan sistem keamanan yang dapat menghisap
gas metana dan dibuang keluar gedung. Perlu diketahui bahwa emisi metana memiliki efek 25 kali lipat daripada emisi CO2 dengan jumlah yang
sama dalam periode 100 tahun. Metana memiliki waktu hidup di udara selama 8.4 tahun, namun memiliki efek yang besar, baik terhadap
atmosfer atau terhadap kesehatan.

Berbagai dampak negatif dari gas landfill ini dapat diatasi dengan beberapa cara sehingga menghasilkan keuntungan. Apabila gas landfill diolah
dengan baik, maka 1 m3 biogas setara dengan setengah liter minyak diesel. Selain itu, limbah dari biogas dapat digunakan sebagai pupuk yang
kaya unsur. Gas landfill juga dapat menggantikan CNG atau Compressed Natural Gas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan,
pembangkit listrik, pemanas ruangan, dan pemanas air. Selain itu energi yang dihasilkan dari gas landfill dapat mengurangi bau dan mencegah
gas metan terlepas ke atmosfer. Energi dari pengolahan gas landfill dapat mencegah sekitar 60-90% metana yang dihasilkan di tempat
pembuangan akhir. Metana dapat diproses menjadi air dan CO2 ketika gas diubah menjadi listrik. Selain itu, pengolahan ini juga dapat
mengurangi polusi udara.

Secara sosial ekonomi, adanya proyek pengolahan energi dari gas landfill juga menciptakan lapangan kerja penghasilan yang baru, dan dapat
menghemat biaya pemakaian bahan bakar. Sebagai contoh, proyek pengolahan energy dari gas landfill di Amerika Serikat dapat mengurangi
emisi metan sebesar 14 juta m3 ton setara karbon. Keuntungannya adalah setara dengan penanaman 18 juta are hutan, atau mengurangi emisi
tahunan dari 13 juta mobil. Sementara 600 tempat pembuangan akhir di Amerika Serikat yang berpotensi menghasilkan listrik dari gas metana,
ternyata berdasar perhitungan dapat menghasilkan listrik bagi 1 juta rumah, sehingga tidak harus menggantungkan diri pada perusahaan
penyedia listrik milik negara.
3. PENGALIHFUNGSIAN TPA MENJADI RUANG
TERBUKA PUBLIK
Beberapa tempat pembuangan akhir yang terbengkalai dialihfungsikan menjadi ruang terbuka public untuk menghidupkan kembali area tersebut.
Namun, terdapat beberapa masalah dan potensi yang ada di dalamnya, diantaranya adalah masalah ekologi lingkungan dan social masyarakat.
Dibawah ini diuraikan beberapa tempat pembuangan akhir yang telah dengan baik dialihfungsikan menjadi ruang terbuka publik dengan
kelebihan tertentu, juga tempat pembuangan sampah di Indonesia yang telah mencoba mengalihfungsikan areanya menjadi ruang terbuka publik.

3.1. AL-Azhar Park, Kairo


Kota Kairo merupakan kota tua yang dibangun sekitar tahun 900-an Masehi oleh Dinasti Fatimah (Fatimid Period) di Mesir. Wilayah ini pada
awalnya berfungsi sebagai tempat penempatan tentara dengan nama Fustat, sebelum benar-benar menjadi sebuah kota (Kota Kairo Tua).
Beberapa dinasti berganti dan Fustat akhirnya menjadi tempat sampah dan area kumuh mulai tahun 1500-an. Pada tahun 2000, Aga Khan Trust
for Culture (AKTC) memberi bantuan dana untuk pembuatan Al-Azhar Park dalam misi untuk menjadikan Kota Kairo Tua dan Darb Al-Ahmar
sebagai Historic City. Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp270.000.000.000,- tanpa bantuan dari pemerintah. Taman ini kemudian menjadi
panoramic platform untuk melihat kawasan budaya-historis yang monumental, dan juga menjadi batas hijau dari Kota Tua Kairo.

Al-Azhar Park didisain dengan tradisi Islam dan terinspirasi oleh taman Andalusia dan Persia. Taman ini menciptakan kesan Islamic Cairo,
golden age dan golden geography dari Islam (Wallpaper City Guide, Cairo, 2008). Konsep taman ini menjelaskan spektrum luas dari periode
mitologi sosial, secara implisit atau eksplisit menggambarkan imajinari dari asal usul Islam, hingga masa depan universal. Al-Azhar Park
memobilisasi, mengkombinasi, dan mereferensikan tahapan dari Mesir, Arab, dan Islam, terhadap vocabulary perkotaan dan pembangunan yang
berkelanjutan. Taman ini menjadi ruang terbuka publik pertama di Kairo, dikunjungi oleh populasi yang beragam, baik oleh keluarga kelas
mengengah keatas hingga kebawah, individual, lovers, turis, olahragawan, pelajar, dan sebagainya. Area ini menjadi area dengan kegiatan yang
beragam, diantaranya group outing, reuni, berjalan-jalan, atau makan di restoran Le Notre.
Selain pembangunan taman, Aga Khan Trust for Culture (AKTC) juga merestorasi area sekitarnya yang merupakan peninggalan Islam, seperti
benteng dan masjid. 30 hektar tumpukan sampah dikeruk. Sampah yang terakumulasi selama 500 tahun diangkut dengan 80.000 truk. Sebagian
besar sampah yang membatu dijadikan bahan membuat kontur perbukitan sebagai viewing area ke Kota Kairo dan benteng Salahudin. Adanya
restorasi taman ini turut melindungi sumber mata air yang sangat berharga bagi negeri dengan topografi gurun.

Karena perbedaan iklim yang terjadi antara Indonesia dan Mesir, dimana Mesir memiliki iklim yang kering, sehingga tempat pembuangan
sampah yang ada disana mudah kering. Proses anaerobic penghasil gas landfill memang jarang terjadi, namun terdapat hal yang dapat dijadikan
referensi pada ruang terbuka publik ini, yaitu konsep dari taman yang menjadi salah satu world urban vocabulary dari restorasi lanskap terbesar
yang pernah ada.

3.2. Fresh Kills Park


Freshkills Park adalah taman yang terletak di Staten Island, New York, Amerika Serikat, dengan luas 890 Ha. Taman paling luas di Kota New
York ini merupakan transformasi dari tempat pembuangan sampah terbesar di dunia menjadi taman yang produktif dengan elemen cultural.
Taman ini menjadi simbol dari bagaimana masyarakat New York mengembalikan keseimbangan lanskap. Tujuan transformasi ini adalah
menyediakan kemungkinan rekreasi bagi masyarakat, restorasi ekologi, budaya, dan edukasi untuk membuat suatu keberlanjutan lingkungan.

Freshkills Park dibuka pada tahun 1947 sebagai area agrikultur pedesaan yang dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah sementara yang
hanya akan digunakan selama 20 tahun, namun akhirnya menjadi tempat pembuangan akhir satu-satunya di Kota New York di sepanjang abad ke
20 karena selama operasinya setiap hari 20 bargo yang masing-masingnya membawa 650 ton sampah dibuang ke area ini. Fresh Kills Landfill
menjadi tempat pembuangan akhir paling besar di dunia. Kemudian pada Oktober 2008 Freshkills Landfill direstorasi dengan beberapa tahap
yang direncanakan akan dilakukan dalam kurun waktu 30 tahun. Pada tahun 2001, United States Environmental Protection Agency (EPA)
menutup Freshkills Landfill, namun akhirnya harus dibuka kembali pada September 2001 setelah kejadian WTC.

Pada tahun 2005 perencanaan restorasi Freshkills Park dimulai, kemudian pada tahun 2008 mulai dibangun. Pembangunan Freshkills Park
direncanakan bertahap dalam 30 tahun untuk menyediakan akses publik ke dalam tapak, menjadikan area ini sebagai show case adanya
kombinasi tidak biasa dari keindahan alam dan keindahan teknologi, yaitu adanya danau, wetlands, meadows, dan vista ke Kota New York yang
didukung dengan teknologi yang canggih. Dinas Pertamanan dan Rekreasi Kota New York (NYC Parks) bertanggung jawab dalam
pembangunan taman ini. Mereka menggunakan EIS (Environmental Impact Statement) dan Draft Master Plan yang mengintegrasi tiga aspek,
yaitu programming, wildlife, dan circulation dengan membuat lima taman utama, yaitu :

1. The Confluence: 28 Ha, merupakan titik tengah dari taman, terdapat pusat informasi wisata, restoran, dan juga area rekreasi pasif.
2. North Park: 90 Ha, area untuk wildlife dan rekreasi pasif. Area ini dilengkapi dengan trail untuk bersepeda, berjalan kaki, dan mendaki.
Dilengkapi pula dengan birdwatching area, area piknik, eco-education center, dan floating dock untuk kano.

3. South Park: 172 Ha, terdapat area untuk woodland dan wetland. Terdapat pula lapangan tenis, trail sepeda gunung, fasilitas atletik, dan
equestrian center.

4. East Park: 195 Ha, area untuk meadow, trail, area bermain, area piknik.

5. West Park: Merupakan area monumental untuk mengenal peristiwa WTC, dimana area ini dulunya pernah menjadi area pembuangan 1.2
juta ton material akibat peristiwa WTC yang berisi jasad dan reruntuhan.

6. Schmul Park: area untuk playground seperti lapangan basket, lapangan bola tangan. Di area ini juga ditanami dengan native plants.

Terkait dengan landfill management, Freshkills Park melakukan pengelolaan limbah dengan baik. NYC Parks menyadari bahwa limbah padat
dapat tereduksi dari waktu ke waktu, namun terdapat produk sampingan dari dekomposisi ini, yaitu gas landfill dan leachate atau lindi. Sistem
pengolahan gas landfill di Freshkills Park mengumpulkan dan mengontrol emisi gas melalui jaringan bawah tanah yang dihubungkan dengan
pipa yang mengalirkan gas melalui ruang hampa. Setelah dikumpulkan, kemudian gas ini sebagian dibakar dan sebagian diolah dalam pipa-pipa
khusus. Dengan cara ini emisi NMOC dan polutan berbahaya lainnya dapat dikurangi hingga mencapai 100%. Selain pembakaran gas, Frashkills
Park juga dilengkapi dengan sistem keamanan tertentu untuk mencegah adanya gas yang keluar.Freshkills Park juga memiliki Staten Island
Transfer Station untuk memproses kurang lebih 900 ton sampah perhari yang berasal dari perumahan dan gedung pemerintahan, juga terdapat
solar array dengan luas 19 Ha yang mampu menerangi kurang lebih 2000 rumah di Staten Island.

Gundukan sampah yang mengeras di Freshkills Park yang merupakan hasil dari lebih 50 tahun sampah kota ditutup dengan penutup yang tebal.
Penutup ini dibuat dari beberapa lapisan, yaitu sub base, lapisan ventilasi gas, lapisan impermeabel, lapisan drainase, lapisan pelindung, dan
lapisan tanah.

1. Sub-base: Diletakkan tepat diatas lapisan sampah. Sub-base diletakkan dan diatur komposisinya sehingga menyentuh batas minimum dan
maksimum kemiringan yang diperbolehkan oleh NYC DEC, yaitu 4-33%.

2. Lapisan ventilasi gas: Terdiri dari geokomposit untuk memudahkan pergerakan gas landfill ke lubang ventilasi atau ke sumur-sumur.
3. Lapisan impermeable: Disebut juga lapisan hidrolik, merupakan komponen yang paling penting. Lapisan ini menahan air menyerap ke
sampah. Lapisan ini juga menahan gas mengalir ke atmosfer. Lapisan ini terbuat dari material low permeability clay/plastic.

4. Lapisan drainase: Lapisan ini mereduksi tekanan air sehingga dapat menahan erosi.

5. Lapisan pelindung: Lapisan ini melindungi lapisan hidrolik dari cuaca ekstrim dengan tebal 24 inci.

6. Lapisan tanah: disebut juga top soil layer dengan minimum ketebalan 6 inci. Lapisan ini adalah lapisan tanah subur dengan material
sandy-loam untuk mencegah erosi dan menyediakan media tanam.

Selain menyediakan berbagai teknologi untuk mereduksi emisi gas landfill, Freshkills Park juga melakukan pengelolaan yang baik dalam hal
regulasi terkait public health and safety, diantaranya adalah landfill regulation yang dikeluarkan oleh NYC DEC Division Solid and Hazardous
Waste Materials yang mengidentifikasi dan mengelola kemugkinan polutan yang muncul dan mitigasi dari kontaminasi gas landfill. Selain itu,
terdapat pula regulasi mengenai soil standard yang dibuat oleh US EPA dan NYC DEC dengan membuat screening level. Kemudian regulasi
terkait kualitas udara diatur oleh NYC RR Part 275 yang menjelaskan mengenai panduan terkait emisi gas dari tempat pembuangan sampah
padat.

Freshkills Park dapat menjadi salah satu sumber referensi yang baik karena perencanaan, perancangan, pengelolaan, hingga pengawasan, taman
ini sudah baik. Freshkills Park juga dilindungi oleh beberapa regulasi yang kuat mengikat.

3.3. TPA Pati


Salah satu tempat pembuangan akhir di Indonesia yang sudah mencoba beralih fungsi menjadi ruang terbuka publik adalah TPA Kota Pati, Jawa
Tengah. Lokasi TPA Pati terletak 7 km dari alun-alun Kota Pati, tepatnya di Desa Sukorejo, Kecamatan Margirejo. Tempat pembuangan akhir ini
tidak sepenuhnya diubah menjadi ruang terbuka publik, beberapa areanya masih menjadi area pengolahan sampah. Tidak seperti TPA lainnya
yang dijauhi oleh masyarakat sekitar, TPA Pati menjadi area rekreasi bagi warga sekitar.

Menurut catatan perjalanan Isroi dalam isroi.com, jalan masuk ke dalam TPA Pati ini cukup rapi dan bersih, dilengkapi dengan tempat parkir
yang cukup luas dan lapangan tempat berolah raga dan gazebo untuk berteduh. Berseberangan dengan tempat parkir, terdapat kandang rusa.
Pengunjung dapat memberi makan rusa di tempat ini. Area ini terkesan teduh karena dilingkupi dengan kanopi pohon besar. Selain kandang rusa,
terdapat pula kandang kera, kandang merak, dan area terbuka hijau dimana angsa dan burung dara dibiarkan bermain bebas. Disana terdapat pula
area bermain untuk anak-anak dan juga tempat duduk. Masuk lebih kedalam di area TPA Pati terdapat area luas yang ditanami tanaman buah dan
tempat pembibitan tanaman, khususnya bibit durian. Selain itu terdapat pula kandang sapi dan kambing.

Selain area rekreasi, terdapat pula bangunan-bangunan kecil untuk mengelola sampah menjadi kompos, pupuk organik dan minyak solar.
Terdapat pula pengolahan lindi sampah berupa bak dan kolam pengolahan yang dapat menghasilkan biogas dan pupuk cair. Sedangkan lokasi
pembuangan sampahnya sendiri tertutup oleh area tersebut karena berada pada level ketinggian yang rendah agar tidak terlihat dari taman
rekreasi. Biogas yang dihasilkan dari area ini dialirkan ke warung-warung yang terdapat di sekitar TPA untuk digunakan kembali.

TPA Pati memang belum dikelola dengan baik seperti taman rekreasi lainnya, namun dalam hal pengelolaan dan pengolahan gas metana yang
dihasilkan dari tempat pembuangan akhir, serta bagaimana memberdayakan masyarakat dalam melakukan pengolahan gas tersebut, TPA Pati
dapat dijadikan salah satu sumber referensi.

4. KESIMPULAN
Adanya alih fungsi tempat pembuangan akhir menjadi ruang terbuka publik memiliki beberapa dampak, baik positif ataupun negatif. Dampak
positifnya adalah dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar. Sedangkan dampak negatifnya adalah adanya pencemaran lingkungan
oleh gas landfill yang dapat berbahaya bagi manusia. Namun, dampak negatif ini dapat diminimalisasi dengan adanya pengelolaan pengolahan
gas landfill yang juga akan memberikan dampak positif bagi lingkungan. Dari beberapa preseden yang ada, diperlukan pengelolaan pengolahan
gas landfill dengan baik dan teknologi yang mendukung. Selain teknologi, adanya regulasi yang mengikat juga dibutuhkan demi terjaganya
keberlangsungan dari ruang terbuka publik.

5. SARAN
Salah satu cara pengelolaan pengolahan gas landfill yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah gas landfill menjadi energi yang terbarukan.
Salah satunya adalah dengan menggunakan mesin rancangan dalam negeri, yaitu Biomethagreen. Biomethagreen mengubah gas landfill menjadi
setrum listrik yang dapat digunakan sebagai penerangan tanpa harus mengandalkan penerangan dari PLN. Prosesnya adalah menampung gas
metana di dalam balon plastik dan dialirkan ke kompor melalui alat peniup dengan diameter yang lebih besar sekitar 2 cm. Pengolahan gas
semacam ini sudah diterapkan di TPA Bantar Gebang dan mampu menerangi 1.700 rumah yang ada disekitarnya.
Selain itu, dari 200 kg sampah yang dihasilkan perhari dapat dihasilkan 6-8 meter metana yang mampu menyalakan kompor 15 jam tanpa henti.
Menurut yang diberitakan dalam Tempo.com, PD Kebersihan Kota Bandung di Jalan Sekelimus Barat sudah mengaplikasikan teknologi ini
untuk dapur karyawan, las truk, dan penerangan di luar gedung. Adanya Biomethagreen dianggap dapat mengurangi biaya angkut sampah ke
TPA Sarimukti, Cipatat, yang mengeluarkan biaya hingga 20 miliar pertahun.

Pengelolaan pengolahan gas landfill semacam ini akan membantu mereduksi gas yang naik ke udara dan membahayakan lingkungan. Selain itu
juga akan memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar, seperti memberikan lapangan kerja yang baru dan memberikan kemudahan dalam
mendapatkan bahan bakar.

REFERENSI

Upaya Mengurangi Emisi Metan dari TPA. Percik. Vol. 5 Tahun I/ Agustus 2004.

http://ema.revues.org/3014

http://en.wikipedia.org/wiki/Landfill_gas_emission_reduction_in_Brazil

http://en.wikipedia.org/wiki/Fresh_Kills_Landfill

http://en.wikipedia.org/wiki/Freshkills_Park

http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Azhar_Park

http://id.wikipedia.org/wiki/Biogas

http://id.wikipedia.org/wiki/Tempat_pembuangan_akhir

http://id.wikipedia.org/wiki/Metana

https://www.globalmethane.org/documents/landfill_fs_eng.pdf

http://isroi.com/2014/01/20/tpa-sampah-kota-pati-tempat-pembuangan-akhir-tpa-sampah-yang-menjadi-taman-rekreasi/
http://www.akdn.org/hcp/egypt.asp

http://www.nycgovparks.org/park-features/freshkills-park/

http://www.tempo.co/read/news/2011/04/16/061327951/Menyulap-Sampah-Menjadi-Gas-Masak

http://www.ylki.or.id/ubah-tempat-sampah-jadi-paru-kota/

Lebih jelasnya dapat dilihat pada attachment berikut ini

Riset Kecil-Alih Fungsi TPA-Veronika28913005

Leave a comment

Perancangan dan Pengelolaan Taman Eks. TPA Cicabe Lembur


Awi/Awi Park
February 3, 2015 Academic Exercise

Berikut ini adalah salah satu tugas pada masa studi pascasarjana saya mengenai perancangan dan pengelolaan taman publik milik pemerintah.
Taman ini dulunya merupakan area tempat pembuangan akhir. Semoga hasil pekerjaan saya dapat menjadi referensi yang baik bagi Anda
Leave a comment
Revitalisasi Tepi Pantai Timur Pangandaran
January 16, 2015 Academic Exercise
Berikut ini adalah salah satu tugas perencanaan waterfront dengan studi kasus Pantai Pangandaran. Semoga dapat membantu
mahasiswa/mahasiswi yang sedang mencari referensi waterfront planning.
Leave a comment
Analisis Dampak Fisik Pariwisata dan Ekowisata dengan
Environmental Impact Assessment
January 16, 2015 Academic Exercise

ANALISIS DAMPAK FISIK PARIWISATA DAN EKOWISATA DENGAN ENVIRONMENTAL IMPACT ASSESSMENT

STUDI KASUS : WANA WISATA KAWAH PUTIH

Putri, Veronika Joan1, Saspriatnadi, Morian1


1
Arsitektur Lanskap, Institut Teknologi Bandung

ABSTRAK

Pariwisata berbasis alam atau yang disebut juga dengan ekowisata merupakan salah satu sektor yang berkembang dalam industri pariwisata.
Ekowisata adalah perjalanan menuju daerah yang memiliki potensi alam dan terasosiasi dengan sosial kultur masyarakat di daerah tersebut.
Wisatawan dapat menikmati keindahan alam, juga menikmati keindahan budaya lokal yang ada. Keindahan alam dan budaya yang ditawarkan
oleh ekowisata juga menimbulkan dampak kepada lingkungan, baik dampak ekonomi, sosial, budaya, ataupun fisik, baik dampak positif ataupun
negatif. Dampak fisik dapat terlihat dari perubahan ekosistem alam dan perubahan kualitas sumber daya alam yang berubah akibat adanya
populasi manusia yang bertambah yang mendiami area tersebut juga aktifitas yang mereka lakukan. Beberapa perubahan fisik berdampak bagi
kualitas dan intensitas air bersih, udara, dan keberagaman bioma.

Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan lebih mendalam mengenai bagaimana dampak fisik ekowisata dan analisis dampak fisiknya melalui EIA
atau Environmental Impact Assessment, dengan studi kasus Ekowisata Kawah Putih. Sebagai permulaan, akan dibahas deskripsi mengenai
dampak fisik pariwisata berbasis alam, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai wana wisata Kawah Putih dan bagaimana dampak fisik dari
wana wisata tersebut, dan dilanjutkan dengan penjelasan mengenai bagaimana analisis dampak fisik dari wana wisata Kawah Putih.
Metode penulisan yang kami lakukan dimulai dengan studi literatur dilanjutkan dengan studi kasus serupa. Studi literatur yang kami lakukan
mencakup bagaimana dampak pariwisata terhadap fisik lingkungan, pencarian deskripsi mengenai studi kasus, dan bagaimana analisis dampak
fisiknya.

Keywords: ekowisata, Kawah Putih, dampak fisik, analisis

1. Pendahuluan
Peter Mason (2003) dalam tulisannya yang mengutip Holden (2000) menyatakan bahwa lingkungan atau kondisi fisik merupakan salah satu
faktor penting dalam pariwisata, hal ini mulai disadari pada satu dekade terakhir, dimana pariwisata sangat bergantung pada kondisi fisik dan
lingkungan, baik sebagai atraksi utama pariwisata itu sendiri maupun sebagai tempat dimana aktivitas pariwisata itu terjadi. Hubungan antara
lingkungan dan pariwisata merupakan hubungan yang kompleks, karena keduanya saling bergantung dan bersimbiosis.

Indonesia sebagai negara yang dianugrahi kekayaan alam yang luar biasa dengan sektor pariwisata sebagai salah satu pendapatan devisa negara
tentunya perlu memperhatikan dampak dan kondisi lingkungan dimana pariwisata itu terjadi, agar kondisi alam yang ada dapat terjaga
keberlanjutannya, dan menjadi daya tarik wisata yang memiliki nilai tambah tersendiri.

Perkembangan pariwisata di Indonesia memiliki dinamika yang fluktuatif dan mulai menjadi perhatian banyak kalangan terutama pemerintah
dan investor dalam berbagai sektor skala. Beberapa sektor pariwisata juga berkembang seiring waktu, salah satunya adalah ekowisata., yaitu
atraksi wisata yang berbasis terhadap kondisi alama dan lingkungan. Adanya ekowisata sudah tentu memberikan dampak bagi masyarakat,
pemerintah serta lingkungan itu sendiri baik itu berupa dampak negatif ataupun positif.

1.1. Pengertian Pariwisata


Menurut Mathieson and Wall (1982), pariwisata adalah suatu fenomena kompleks yang melibatkan pergerakan orang ke suatu tempat diluar
tempat biasa ia tinggal, dimana kegiatan yang dilakukan melibatkan berbagai pihak lain,termasuk di dalamnya kegiatan yang menggunakan
fasilitas yang berhubungan dengan pariwisata.

Menurut Gartner (1996) yang dikutip oleh Sudiarta (2011), pariwisata juga dilihat dari berbagai aspek, termasuk aspek fisik atau lingkungan,
dimana pariwisata adalah dimana seseorang keluar dari kebiasaannya berdasarkan keinginannya untuk memenuhi kebutuhan, namun disisi lain
tidak terlepas dari akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut,terutama dampak yang dihasilkan terhadap sosial budaya, ekonomi, dan
lingkungan fisik.

Sedangkan menurut Leiper yang dikutip oleh Gartner (1996), pariwisata memiliki spektrum yang lebih luas,yaitu sebagai suatu sistem terbuka
dari beberapa elemen utama yang berinteraksi langsung dengan alam, yaitu elemen manusia,wisatawan, wilayah yang melakukan kegiatan, rute
transit, wilayah yang dituju, dan elemen industri ekonomi. Keseluruhan elemen ini diatur dalam berbagai fungsi yang berbeda yang berinteraksi
secara fisik, teknologi, sosial,budaya, ekonomi,bahkan politik.

Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan disebutkan bahwa pariwisata adalah berbagai macam
kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
Sedangkan keparwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul
sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pengusaha,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.

Dari berbagai pengertian pariwisata yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa pariwisata adalah suatu kegiatan yang dilakukan ke suatu
destinasi diluar kebiasannya, yang pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan yang kompeks yang memiliki dan melibatkan banyak aspek,
antara lain aspek dinamis yaitu manusia, aspek fisik dan lingkungan yaitu kondisi geografis, dan juga aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

1.2. Pengantar mengenai Ekowisata


Secara umum, ekowisata dapat diartikan sebagai suatu bentuk pariwisata berbasis alam. Sedangkan menurut Ceballos-Lascurain, ekowisata
adalah bentuk perjalanan dimana lingkungan alami adalah fokus utama. Namun, lebih dalam dari itu, menurut IUCN (sekarang menjadi World
Conservation Union, 1996), ekowisata adalah suatu perjalanan dan kunjungan ke suatu area alami yang mayoritas belum terjamah, dengan
tujuan untuk menikmati dan menghargai alam (dan berbagai aspek sosial yang mendampinginya) untuk mendorong kegiatan lain yaitu
konservasi alam, yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan yang minim, dan memberikan dampak sosial-ekonomi maksimal kepada
masyarakat sekitar.

Ekowisata merupakan sub-komponen dari pariwisata yang berkelanjutan. Ide ekowisata berakar dari keinginan untuk berkontribusi terhadap
konservasi sumber daya alam dunia. Sebuah riset yang dimulai pada tahun 1970 di Kenya mendemonstrasikan keuntungan ekonomi yang berasal
dari pariwisata di alam bebas. Pada tahun 1980-an, hutan hujan dan terumbu karang menjadi subyek baru yang menarik untuk dibuat film
dokumenter. Hal ini mendorong ketertarikan untuk mengeksplorasi alam sebagai suatu bentuk pariwisata baru.
Ekowisata dan wisata berbasis alam pada umumnya banyak yang mengambil tempat pada kawasan lindung dan konservasi, area terpencil
dengan keindahan alam yang eksepsional, area ekologi dan kawasan budaya. Definisi untuk kawasan lindung menurut International Union of
the Conservation of Nature menyatakan bahwa kawasan lindung adalah suatu kawasan baik daratan maupun lautan yang khusus didedikasikan
untuk melindungi dan menjaga keanekaragaman biologis dan kondisi natural yang berasosiasi dengan sumber daya budaya yang dikelola secara
hukum. Terdapat beberapa kategori untuk hal ini, yang walaupun tujuan utamanya adalah untuk konservasi namun bisa saja memiliki fungsi
khusus dalam kondisi tertentu misalnya, untuk kegiatan wisata.

Mengutip Chafe (2005, 2007) dalam tulisan Wearing dan Neil (2009) bahwa meskipun banyak konflik interpretasi mengenai ekowisata dalam
industri pariwisata itu sendiri, satu hal yang menjadi sorotan adalah bahwa adanya peningkatan perhatian dan pertumbuhan secara global dalam
sektor ekowisata, dimana hal ini tidak bisa dipandang hanya sebagai tren dalam berwisata, melainkan hal ini mencerminkan perubahan mendasar
mengenai bagaimana manusia berinteraksi dengan alam.

Ekowisata telah menjadi sektor indistri pariwisata yang berkembang paling pesat, 3 kali lebih cepat dibandingkan keseluruhan sektor pariwisata
lain. Hal ini didorong karena adanya kebutuhan untuk kembali dan merasakan alam, dmama kondisi kehidupan urban yang sibuk dan hiruk-
pikuk memaksa manusia mencari alternatif rekreasi. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran dan kesiapan dalam menghadapi tantangan ini,
beberapa hal yang perlu dilakukan diantaranya adalah analisis dampak lingkungan dan manajemen lingkungan.

2. Dampak Fisik Pariwisata dan Pengelolaan Lingkungan


2.1. Dampak Pariwisata Secara Umum
Dampak pariwisata menurut Prajogo (1976) adalah gejala pariwisata, dimana terjadi nya suatu benturan atau pengaruh kuat baik positif ataupun
negatif yang datang, dimana sedapat mungkin pengaruh positif dilipatgandakan, dan pengaruh negatif dihindari.

Adapun dampak atau pengaruh fisik adalah termasuk di dalamnya dampak lingkungan. Dampak lingkungan melingkupi keadaan yang dapat
mempengaruhi keadaan ekologis dan habitat asli kawasan wisata untuk tetap dikonservasi. Dampak positifnya salah satunya adalah dengan
bertambahnya biota habitat, sehingga terjadi keanekaragaman hayati di dalam area wisata tersebut. Sedangkan dampak negatifnya adalah apabila
terjadi peningkatan wisatawan yang datang, lebih besar dari pada kemampuan lingkungan untuk menampung pemanfaatan tersebut atau yang
biasa disebut sebagai carrying capacity, maka yang terjadi adalah tekanan yang besar terhadap alam.

Berikut ini merupakan beberapa dampak fisik umum pariwisata seperti yang tertera dalam tulisan Mason (2003), dampak positif diantaranya :
pariwisata dapat merangsang pertumbuhan pengawasan dan langkah-langkah terapan untuk perlindungan lingkungan dan atau lansekap
dan atau satwa liar.

pariwisata dapat membantu memperkenalkan keberadaan kawasan Taman Nasional dan wilayah konservasi.

pariwisata dapat memperkenalkan dan mempromosikan keberadaan bangunan dan atau kawasan heritage.

pariwisata dapat mendatangkan profit sebagai sumber pendanaan suatu kawasan.

Sedangkan dampak negatif yang umumnya terjadi dantaranya:

wisatawan cenderung membuang sampah / mengotori kawasan wisata.

pariwisata dapat menyebabkan kepadatan baik itu manusia maupun kendaraan.

pariwisata memiliki andil dalam pencemaran aliran air dan kawsan pantai.

pariwisata dapat menyebabkan erosi.

pariwisata dapat menyebabkan adanya pembangunan yang tidak diinginkan.

pariwisata menyebabkan gangguan dan kerusakan pada habitat hewan liar.

Kegiatan wisata yang tidak terkendali akan menyebabkan ancaman terhadapp lingkungan. Menurut UNEP (United Nations Environment
Programme), dampak utama pariwisata terhadap lingkungan terbagi menjadi tiga poin besar, yaitu berkurangnya sumber daya alam,
bertambahnya polusi, dan dampak terhadap ekosistem. Kegiatan pariwisata dapat menciptakan tekanan yang besar bagi sumber daya lokal,
seperti energi, air, hutan,tanah, juga satwa liar. Hutan kerap mendapatkan dampak negatif dengan adanya deforestasi dan land clearing atau
pembukaan lahan untuk lapangan parkir atau fasilitas bersama.

Pariwisata juga dapat menyebabkan dampak lain yaitu polusi, seperti emisi udara, kebisingan,limbah padat, limbah cair, maupun polusi visual.
Emisi dari transportasi dan produksi energy akan mengakibatkan hujan asam, polusi fotokimia,dan pada tingkat global akan berdampak pada
pemanasan global. Polusi bising juga dapat mengubah perilaku satwa terhadap pola aktivitas alami mereka. Hal ini secara tidak langsung
merubah alam dan perilakunya.

Jika kita lihat dari paparan diatas, secara umum dampak fisik pariwisata dapat dibagi berdasarkan area of effect, yaitu, biodiversity, erosi dan
kerusakan fisik, polusi, permasalahan sumber daya, dan perubahan atau kerusakan visual atau struktural.

Sebuah area wisata alam yang menarik pasti memiliki lanskap beserta ekosistem yang beragam. Namun pembangunan fasilitas pendukung
pariwisata seperti pembangunan infrastruktur akan menyebabkan degradasi tanah dan mineral. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga
menghilangkan populasi habitat tertentu di area tersebut.

2.2. Dampak Fisik Ekowisata


Berbeda dengan pariwisata pada umumnya yang pasti memiliki dampak yang dapat langsung terlihat dan dirasakan, ekowisata atau pariwisata
berbasis alam memiliki anggapan bahwa tidak akan terdapat dampak fisik akan pembangunan ekowisata tersebut. Sejalan dengan makin
maraknya ekowisata, tidak dapat dipungkiri bahwa perlahan akan terjadi dampak dari ekowisata tersebut. Tidak hanya berdampak pada dimensi
ekonomi, sosial, ataupun budaya, namun juga memiliki dampak terhadap fisik. Dampak tersebut dapat berupa dampak positif ataupun negatif.

Menurut Spillane (1996), dampak fisik yang dihasilkan dari pariwisata adalah polusi air dan udara, keramaian lalu lintas yang berdampak pada
kondisi jalan, juga kerusakan pemandangan alam.

Ekowisata kemudian menjadi bisnis yang menjanjikan, namun juga membutuhkan tanggung jawab yang besar terkait kontrol sosial dan dampak
terhadap fisik lingkungan. Untuk meminimalisasi timbulnya dampak fisik terhadap lingkungan, maka pada tahun 1991, The International
Ecotourism Society bersama dengan organisasi masyarakat, sector bisnis, pemerintah, academia,dan masyarakat lokal, membuat beberapa
prinsip ekowisata, diataranya adalah:

Meminimalisasi dampak negatif terhadap alam dan sosial yang dapat merusak tujuan wisata.

Mengedukasi wisatawan mengenai pentingnya konservasi alam.

Menekankan pada konservasi dan pengelolaan alam dan kawasan terlindung.


Bergantung pada infrastruktur yang yang menyatu dengan alam,meminimalisasi penggunaan fossil fuel, mengonservasi flora dan fauna endemik,
dan menyatu dengan alam dan budaya.

2.3. Pengelolaan Dampak Fisik Pariwisata


Menurut literatur Tourism Management Plan (2009), pengelolaan dampak ekowisata dapat dibagi berdasarkan tipe-tipe pengendalian, seperti
lingkungan alami, lingkungan binaan, sosial budaya, dan sosial ekonomi. Kemudian tipe-tipe pengendalian ini juga dibagi-bagi menurut lokasi,
dimanakah lokasi titik wisata dengan karakteristik tertentu, apakah merupakan fasilitas publik atau tidak.

Sebagai contoh, pengendalian dampak fisik terkait biodiversitas hutan dan green belt, maka pengendalian dampak yang dilakukan adalah
menutup area hutan secara temporer guna rehabilitasi hutan, mengedukasi wisatawan melalui program dan media interpretatif, juga mengedukasi
pemegang kebijakan ekowisata seperti tour guide, penyedia jasa, dll.

Contoh lain pengelolaan dampak fisik ekowisata adalah terkait limbah buangan. Pengelolaan dampak yang dilakukan adalah melakukan
pembersihan area secara berkala oleh pemerintah lokal, pemegang kebijakan ekowisata, atau masyarakat lokal. Selain itu juga mengedukasi
wisatawan dan pemegang kebijakan, memisahkan limbah cair dan padat, serta yang dapat diuraikan dan yang tidak dapat terurai,kenyediakan
tempat sampah, meningkatkan frekuensi pengumpulan limbah, dan menerapkan prinsip daur ulang dan program pengomposan oleh masyarakat
lokal.

Di Indonesia sendiri pengelolaan dampak lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang lebih sering dikenal sebagai AMDAL merupakan salah satu
aspek penting dalam pengambilan keputusan pengembangan suatu kawasan, baik itu untuk industri, pendidikan maupun pariwisata. Hal-hal yang
dikaji dalam proses AMDAL diantaranya adalah aspek fisik-kimia, ekologi, sosia;-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat.

Adapun tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tertera dalam pasal 3 diantaranya adalah :

melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;

menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;


menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;

menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;

menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;

mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;

mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan

mengantisipasi isu lingkungan global.

3. Analisis Dampak Fisik dengan Metoda EIA


3.1. Environmental Assessment Impact
EIA atau Environmental Impact Assessment adalah proses menganalisa dan mengelola dampak pariwisata baik yang disengaja ataupun tidak
sebagai konsekuensi dari pengembangan area wisata dari aspek lingkungan.

Sedangkan Anjaneyulu dan Manickam (2007) dalam buku Environmental Impact Assessment Methodology mengatakan EIA merupakan sebuah
aktivitas untuk mengidentifikasi dan memprediksi dampak dari sebuah proyek atau kegiatan terhadap biogeophysicochemical environment serta
kesehatan manusia sebagai bahan rekomendasi dan pertimbangan untuk menbuat prosedur untuk meminimalisasi dampak tersebut.

EIA pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat dibawah Environmental Policy Act pada tahun 1969,dan berkembang menjadi alat indikator
penguji dampak lingkungan.

Tahapan kunci dalam EIA adalah screening, alternatives, preliminary assessment, scoping, main EIA study & environmental impact statement,
review and monitoring.
Peninjauan

Peninjauan awal dilakukan untuk memutuskan apakah EIA yang diperlukan dan fokus sumber daya pada proyek memiliki dampak yang
signifikan, yang mana yang merupakan dampak tidak pasti dan dimana masukan pengelolaan lingkungan kemungkinan akan diperlukan.

Alternatif

Pertimbangan alternatif yang memungkinkan (permintaan, aktivitas, lokasi, proses dan desain, penjadwalan, dan masukan) harus dilakukan
sebelum pilihan dibuat.

Pengujian Ulang

Ketika saat peninjauan awal selesai dilakukan dan mengusulkan perlunya dilakukan pengujian lebih lanjut, maka pengujian awal akan dilakukan.
Teknik yang dilakukan pada tahapan ini adalah pengujian cepat, namun cukup detail untuk mengidentifikasi dampak utama, besarannya,
signifikansinya, serta mengevaluasi kepentingannya untuk membuat keputusan.

Scoping

Apabila hasil dari ketiga tahap sebelumnya adalah diperlukannya EIA, maka tahap scoping harus dilakukan. Sebelum proses perencanaan
dimulai, dilakukan sebuah proses singkat yang dilakukan oleh tim asesor untuk mengidentifikasi isu utama. Hasil dari proses ini akan
menghasilkan ruang lingkup, kedalaman, dan kerangka acuan kerja untuk EIA.

Studi EIA Utama

Tahap ini adalah proses membangun dan mendalami studi awal yang telah dilakukan untuk memprediksi besar dan signifikansi dampak yang
dapat terjadi. Beberapa metoda yang dapat dilakukan pada tahap ini adalah checklist, kuesioner, matriks, overlay, jaringan, model, dan simulasi.
Studi ini harus dilengkapi dengan pertimbangan besaran mitigasi, me-review aksi yang akan atau harus dilakukan dan meminimalisasi efek yang
buruk.

Dokumen yang dihasilkan hingga tahapan ini adalah EIS atau Environmental Impact Statement. Dokumen ini melaporkan temuan-temuan yang
didapatkan melalui metoda EIA dan untuk beberapa kasus kini seringkali menjadi syarat secara hukum sebelum sebuah proyek dapat berjalan.
Peninjauan Ulang

Untuk menguji ketepatan EIA untuk membuat keputusan mengenai proyek, dan mempertimbangkan implikasinya terhadap implementasi proyek.

Monitoring

Monitoring adalah tahapan akhir dari implementasi dan operasi proyek. Biasanya dilengkapi dengan proses audit pada akhir penyelesaian
proyek.

3.2. Keuntungan Menggunakan Sistem EIA


Analisis dampak lingkungan seringkali menggunakan sistem EIA dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah EIA berfokus pada proyek,
dengan keputusan yang lebih sensitif kepada lingkungan. Selain itu, sistem ini juga mengintegrasikan aspek lingkungan dan sosial, sehingga
mendorong keberlanjutan sosio-ekonomi daerah tersebut.

3.3. Beberapa Metodologi EIA


Metodologi dalam melakukan impact assessment sangat beragam mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks, dan terus berkembang
sesuai dengan kebutuhannya.

Beberapa metodologi dalam melakukan impact assessment dalam pengembanagan aktivitas dan lingkungan, sebagaimana yang tertera dalam
Anjaneyulu dan Manickam (2009) diantaranya adalah :

Adhoc methods

Pada dasarnya Adhoc methods mengindikasikan kemungkinan dampak lingkungan dengan mebuat daftar paramenter lingkungan. Biasanya
penggunaan metodologi ini membutuhkan tim dengan spesialisasi pada bidang-bidang tertentu, area bahasan di-assess secara terpisah misalnya
untuk air , udara, vegetasi, tanah, hewan, dan lainnya. Metode ini merupakan salah satu metode yang paling sederhana dan dapat dilakukan tanpa
pelatihan namun hasilnya biasanya tidak menyeluruh.

Checklist methods
Penggunaan metode ini pada umumnya bagus untuk mengidentifikasi dampak, terdapat beberapa cara dalam metode ini, yaitu:

Simple checklist, daftar parameter tanpa adanya guideline tentang bagaimana mengukur dan menginterpretasikannya.

Descriptive checklist, daftar parameter dengan guideline untuk mengukur dan menginterpretasikan dampak lingkungan.

Scaling checklist, adanya parameter dan guideline serta penambahan informasi dan skala parameter.

Scaling weighting checklist, memiliki kapabilias untuk mengkuantifikasi dampak

Selain dua metode diatas terdapat juga metode lain seperti; Matrices methods, Networks methods, Overlay methods, Environmental index using
factor analsis, Cost / benefit analysis , Predictive or simulation methods.

3.4. Beberapa Tools untuk Menganalisis Dampak Fisik


Terdapat beberapa tools dan sistem analisis untuk EIA yang dibuat oleh berbagai lembaga internasional, tools ini dapat digunakan sesuai dengan
lingkup proyek yang akan di assess, beberapa diantaranya adalah USAID, UNEP dengan IEA (Integrated Environment Assesment) dan GEO
(Global Environment Outlook), IAIA (International Association for Impact Assessment), ESS (Environmental Software and Sevices).

Sebagai contoh, USAID dalam EIA toolsnya untuk Encapafrica memaparkan proses EIA dalam dua fase, fase pertama merupakan fase awal
(initial inquiries) dimana dalam fase ini yang perlu dilakukan adalah pemahaman yang meliputi understanding proposed activities, screening,
conducting preliminary assesment, sedangkan fase kedua adalah full EIA study, fase ini hanya dilakukan apabila dianggap perlu yaitu ketika
initial inquiries tidak mencukupi, fase ini meliputi scoping, baseline situation evaluation, identifiying alternatives, identifiying potential impact,
mitigation & monitoring, communication & documentation. USAID juga menegaskan bahwa dalam melakukan EIA penting untuk fokus pada
permasalahan dampak yang paling signifikan.

Berbeda dengan USAID yang lebih bersifat project-based, metoda atau tools yang dikembangkan oleh UNEP dengan IEA (Integrated
Environmental Assesment), dimana IEA merupakan pendekatan terstruktur yang menyatukan antara pengetahuan dan aksi, yang ditujukan untuk
tantangan yang lebih kompleks.

Metoda ini memiliki 5 poin penting, yaitu :


Menghubungkan antara keadaan lingkungan dengan analisis umum dan analisis kebijakan.

Inkorporasi perspektif global dan regional.

Perspektif sejarah dan masa depan.

Mencakup isu dan kebijakan yang lebih luas.

Integrasi antara perubahan lingkungan dengan keberadaan manusia.

Selain dengan IEA framework, UNEP juga mengembangkan GEO (Global Environment Outlook) dengan tujuan untuk menyediakan tools dan
akses kepada para pengambil keputusan tentang pengetahuan scientifik, memfasilitasi interaksi antara kebijakan dan keilmuan, dan membangun
hubungan yang seimbang antara karakter geografis dan gender untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan.

4. Studi Kasus: Wana WIsata Kawah Putih


Wana wisata Kawah Putih merupakan salah satu objek wisata yang berada di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Area wisata ini mulai
dikembangkan tahun 1992 dan dikelola oleh KPH Bandung Selatan. Kemudian pada tahun 2006, dikelola oleh Perum Perhutani Unit III. Wana
wisata Kawah Putih memiliki fitur alam yang beragam dan berpeluang untuk menjadi area destinasi ekowisata yang baik.

4.1. Lokasi dan Batas Wilayah


Wana Wisata Kawah Putih terletak di Kecamatan Ranca Bali, Desa Alam Endah, Ciwidey, Kabupaten Bandung. Kawasan ini termasuk dalam
kawasan Gunung Patuha, terletak di koordinat 7.15o S dan 107.37o E. area wisata ini memiliki lahan pemanfaatan seluas 25 Ha, terletak di
ketinggian 2434 m dpl, dengan konfigurasi lapangan yang umumnya landai hingga berbukit. Suhu udara minimalnya adalah 8 derajat Celcius,
sementara suhu udara maksimalnya adalah 22 derajat Celcius. Kelembabannya 90% dengan curah hujan tahunan rata-rata 3743-4043 mm/tahun.

Lokasi ini pertama kali ditemukan oleh Dr Franz Wilhelm Junghuhn (1809 1864) yang merupakan seorang botanis asal Jerman. Pada masa
penjajahan Belanda dibangun tambang belerang di kawasan ini yang beroperasi hingga pendudukan Jepang, terowongan bekas pertambangan
belerang ini masih ada hingga saat ini.
Sumber: https://www.google.com/maps/

4.2. Fitur Bentang Alam


Wana Wisata Kawah Putih memiliki berbagai fitur bentang alam yang mampu menjadi potensi ekowisata, yaitu beberapa jenis flora dan fauna
endemik, terlebih lagi dengan kawah belerangnya sendiri yang memiliki karakter. Beberapa flora endemik yang dapat ditemukan disana adalah
Cantigi, Lemo, Vaccinium,dan Edelweis, Saliara, Kirinyuh, Puspa. Sementara fauna endemiknya adalah surili, babi hutan, sanca, burung hantu
dan macan kumbang.

Sumber: https://www.alampriangan.wordpress.com/

4.3. Ekowisata Kawah Putih


Wana Wisata Kawah Putih yang memiliki daya tarik alam memiliki berbagai area zonasi rekreasi yang sudah ditetapkan oleh KBM AEJ Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Area zonasi tersebut kemudian dibagi berdasarkan 8 paket wisata.

Wana wisata ini merupakan wisata harian yang memiliki pemandangan alam berupa hutan alam dan kawah gunung berapi. Wisata harian yang
biasa dilakukan adalah lintas alam, mendaki gunung, dan kawah putih. Alam pemandangan sikitar kawah putih cukup indah dengan air danau
berwarna putih kehijauan yang sangat kontras dengan batu kapur puih yang mengitari area tersebut, disisi utara danau berdiri tebing kapur yang
ditumbuhi lumut dan beberapa tumbuhan lain.

Pengembangan kawasan ini sebagai kawasan ekowisata dimulai sejak tahun 1991 oleh Perum Perhutani, sejak itu kawasan ini terus berkembang
dengan melakukan renovasi dan penambahan infrastruktur dan fasilitas penunjang wisata seperti jalur trek, area parkir, dan fasilitas lainnya.

5. Dampak Ekowisata Kawah Putih


Objek wisata kawah putih yang sudah sejak lama dikembangkan dengan mengangkat tema ekowisata, kawasan yang menjual keindahan dan
potensi alamnya sebagai atraksi utama ini tentunya membawa dampak di berbagai aspek, sosial, ekonomi, dan fisik.
5.1. Dampak Fisik Ekowisata Kawah Putih
Jika ditinjau secara kasat mata, dampak fisik lingkungan kawasan kawah putih tidak begitu terlihat, dampak yang umum terjadi adalah masalah
sampah dimana para wisatawan masih belum memiliki kesadaran akan potensi dampak sampah terhadap lingkungan, selain itu juga masalah
perkesaan dan bangunan penunjang, dengan membangun perkerasan tentunya akan mengurangi/merusak natural beauty yang ada di kawah
putih, penyediaan fasilitas penunjang juga menyebabkan berkurangnya area hutan atau area hijau, juga adanya area yang menjadi over-
populated dengan keberadaan manusia, hal ini tentunya akan berimbas pada keseimbangan ekologi, baik biotik maupun abiotik

5.2. Pengelolaan Dampak Fisik


Sebagai upaya pengelolaan dampak lingkungan yang terjadi di kawasan wana wisata kawah putih, Perum Perhutani perlu melakukan sistem
terintegrasi terkait masalah lingkungan, penyediaan infrastruktur saja tentunya tidak cukup, perlu adanya evaluasi, pengedalian jumlah
wisatawan, pengendalian musim wisata dan lainnya agar keindahan dan keaslian kawasan dapat terjaga.

Perum Perhutani juga telah mengajak masyarakat sebagai mitra dalam menjaga keberlangsungan kawasan, terutama yang tergabung dalam
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)

5.3. Analisis Dampak Fisik dengan Sistem EIA


Analisis menyeluruh dampak fisik kawasan kawah putih dengan menggunakan salah satu metode EIA dan EIA tools akan sulit dilakukan karena
membutuhkan data primer dan pengamatan lapangan. Sehingga pendekatan yang bisa dilakukan dalam waktu singkat adalah dengan
mengidentifikasi parameter dampak lingkungan berdasarkan aspek perubahan fisik yang dikaitkan dengan dampak positif dan negatifnya.

Dengan pendekatan ini diperoleh potensi dampak lingkugan kawasan wana wisata Kawah Putih sebagai berikut :

*dapat dilihat di attachment

6. Kesimpulan
Pengembangan kawasan dan aktivitas wisata sebagai salah satu sumber devisa negara dan sarana rekreasi tentunya akan membawa dampak di
berbagai sisi, dampak ekonomi, sosial, maupun dampak lingkungan baik itu berupa dampak positif maupun dampak negatif. Dengan adanya
kebutuhan dan permintaan yang semakin meningkat akan keberadaan kawasan wisata dalam hal ini khusus kawasan ekowisata tentunya
diperlukan kesadaran dan pemahaman oleh para stakeholders akan pentingnya dampak pariwisata terhadap lingkungan , sehingga perencanaan
dan pengendalian pariwisata terintegrasi menjadi penting untuk dilakukan.

Sadar akan pentingnya isu lingkungan dan perlunya menjaga kondisi ekologis dan biodiversitas maka diperlukan metoda dan tools untuk dapat
menilai suatu proyek atau pengembangan kawasan terkait denga potensi dampaknya terhadap lingkungan tersebut, salah satunya adalah dengan
menggunakan EIA, yaitu Environmental Impact assesment, dengan adanya pengembangan metode ini diharapkan memudahkan para policy-
maker dalam pengambilan keputusan, demi mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan.

REFERENSI

Buku dan Jurnal

Buckley, Ralf. (2004). Environmental Impacts of Ecotourism. Oxfordshire: CABI Publishing.

Christ, Costas., Hillel, Oliver., Matur, Seleni., & Sweeting, Jamie. (2003). Tourism and Biodiversity: Mapping Tourisms Global Footprint.
Washington: Conservation International.

Anjaneyulu, Y. Manickam, Valli. (2007). Environmental Impact Assesment Methodology. BS Publications.

Glasson, John., Therivel, Riki., & Chadwick, Andrew. (2012). Introduction to Environmental Impact Assessment. Oxon: Routledge.

King, Peter., Basiuk, Robert., Chan, Bou Serey., & Yam, Dararath. (2009). Strategic Environmental Assessment of the Tourism Sector in
Cambodia. Thailand: Asian Development Bank.

Mason, Peter. (2003). Tourism Impact, Planning, and Management. Oxford: Butterworth-Heinemann.

Nepal, Sanjay K. Mountain Ecotourism: Global Perspective on Challenges and Opportunities. Canada: University of Northern British Columbia
(UNBC).
Sudiarta. (2011). Dampak Fisik dan Dampak Ekonomi terhadap Pengembangan Pariwisata Pulau Serangan. Sebagai Tugas Mata Kuliah
Perencanaan Pariwisata Studi S2 Kajian Pariwisata, Universitas Udayana.

Wood, Megan Epler. (2002). Ecotourism: Principles, Practices and Policies for Sustainability. France: United Nation Publication.

WTO. (2009). Tourism Management Plan. UNWTO.

Environmental Impact Assessment (EIA). London: International Institute for Environment and Development.

Kebijakan

Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Laman

Ansiar, Heri. (2012). Tugas Akhir Universitas Komputer Indonesia. (Diakses dari elib.unikom.ac.id/download.php?id=211907 pada 10 Maret
2014).

http://perencanaankota.blogspot.com/2012/01/dampak-pembangunan-pariwisata-hasil.html. Diakses pada 2 Maret 2014.

http://www.westjavaecotourism.com/tour-packages. Diakses pada 10 Maret 2014.

Lebih jelas dapat dilihat pada attachment ini:

UTS PK5202_Bagaimana_Dampak_Fisik(Veronika_Morian)_20140319

Leave a comment
Jejak Kaki Ekologis sebagai Metoda Asesor dan Pengendalian
Dampak Pariwisata
January 16, 2015 Academic Exercise

JEJAK KAKI EKOLOGIS SEBAGAI METODA ASESOR

DAN PENGENDALIAN DAMPAK PARIWISATA

Studi Kasus: Pantai Pangandaran

PUTRI, VERONIKA JOAN

Arsitektur Lanskap, Institut Teknologi Bandung

vjpkoentjoro@hotmail.com

ABSTRAK

Adanya sebuah area wisata tentu akan diiringi dengan adanya dampak terhadap lingkungan, baik dampak positif ataupun negatif. Beberapa
metoda asesor dampak pariwisata berfokus pada perubahan lingkungan yang terjadi dan melupakan dari mana dampak tersebut berasal. Salah
satu faktor terjadinya dampak pariwisata adalah manusia atau dalam konteks pariwisata adalah wisatawan. Perilaku hidup wisatawan sehari-hari
dapat berdampak pada perubahan lingkungan. Metoda yang cocok untuk menilai dampak pariwisata yang terjadi berdasarkan perilaku hidup
sehari-hari wisatawan dan memberikan rekomendasi bagaimana mereduksi dampak negatif adalah ecological footprint atau yang dikenal
dengan jejak kaki ekologis, yang menitikberatkan pada pengelolaan sumber daya alam yang menunjukkan pemanfaatan sumber daya alam oleh
manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Tulisan ini mencoba untuk menyediakan kerangka metodik untuk menghitung jejak kaki ekologis wisatawan yang berdampak pada daerah
wisata (dalam hal ini daerah wisata Pantai Pangandaran), juga memberikan rekomendasi bagaimana mereduksi dampak negatif yang timbul dari
perilaku hidup wisatawan. Sebagai permulaan, akan dibahas mengenai potensi pariwisata dan pariwisata yang berkelanjutan sebagai awal
tercetusnya konsep jejak kaki ekologis. Kemudian akan dijelaskan mengenai jejak kaki ekologis berupa sejarah dan metodologi. Setelah itu
dilanjutkan dengan riset singkat mengenai jejak kaki ekologis pribadi penulis yang hasilnya akan dijadikan acuan pembuatan rekomendasi untuk
meminimalisasi dampak pariwisata pada Pantai Pangandaran.

Metoda yang penulis lakukan dimulai dengan studi literatur dilanjutkan dengan studi kasus serupa. Studi literatur yang dilakukan mencakup
sejarah, metoda, dan analisis rekomendasi terbaik untuk daerah wisata terhadap nilai jejak kaki ekologis. Kemudian dilanjutkan dengan
melakukan riset kecil terhadap jejak kaki ekologis pribadi.

Kata Kunci: jejak kaki ekologis, perilaku wisatawan, Pangandaran

1. PENDAHULUAN
1.1. Potensi Pariwisata dan Dampak terhadap Lingkungan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan biodiversitas yang tinggi. Biodiversitas ini menuntun kita pada potensi alam yang dapat
digunakan dalam kepariwisataan. ODTWA atau Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata Alam yang dimiliki Indonesia beragam meliputi flora,
fauna, otentisitas budaya, sejarah, juga local genius masyarakatnya. Seperti yang dikutip dalam makalah pada situs teachgeograf.blogspot.com,
telah diakui bahwa:

Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang sangat besar sebagai daya tarik pariwisata
dunia. Ahli biokonservasi memprediksi bahwa Indonesia yang tergolong negara megadiversity dalam hal keanekaragaman hayati akan mampu
menggeser Brasil sebagai negara tertinggi akan keanekaragaman jenis, jika para ahli biokonservasi terus giat melakukan pengkajian ilmiah
terhadap kawasan yang belum tersentuh. Bayangkan saja bahwa Indonesia memiliki 10% jenis tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12%
binatang menyusui, 16% reptilia dan amfibia, 17% burung, 25% ikan, dan 15% serangga, walaupun luas daratan Indonesia hanya 1.32%
seluruh luas daratan yang ada di dunia (BAPPENAS, 1993)

Adanya potensi dan daya tarik ini tentunya beriringan dengan timbulnya berbagai dampak. Dampak pariwisata menurut Prajogo (1976) adalah
gejala pariwisata, dimana terjadi nya suatu benturan atau pengaruh kuat yang datang, dimana sedapat mungkin pengaruh positif dilipatgandakan,
dan pengaruh negatif dihindari. Adapun dampak atau pengaruh fisik adalah termasuk di dalamnya dampak lingkungan. Dampak lingkungan
melingkupi keadaan yang dapat mempengaruhi keadaan ekologis dan habitat asli kawasan wisata untuk tetap dikonservasi. Dampak positifnya
adalah dengan bertambahnya biota habitat, sehingga terjadi keanekaragaman hayati di dalam area wisata tersebut. Sedangkan dampak negatifnya
adalah apabila terjadi peningkatan wisatawan yang datang, lebih besar dari pada kemampuan lingkungan untuk menampung pemanfaatan
tersebut atau yang biasa disebut sebagai carrying capacity, maka yang terjadi adalah tekanan yang besar terhadap alam. [*]

Berikut ini merupakan beberapa dampak fisik umum pariwisata seperti yang tertera dalam tulisan Mason (2003), dampak positif diantaranya :

pariwisata dapat merangsang pertumbuhan pengawasan dan langkah-langkah terapan untuk perlindungan lingkungan dan atau lansekap
dan atau satwa liar.

pariwisata dapat membantu memperkenalkan keberadaan kawasan Taman Nasional dan wilayah konservasi.

pariwisata dapat memperkenalkan dan mempromosikan keberadaan bangunan dan atau kawasan heritage.

pariwisata dapat mendatangkan profit sebagai sumber pendanaan suatu kawasan.

Sedangkan dampak negatif yang umumnya terjadi diantaranya:

wisatawan cenderung membuang sampah / mengotori kawasan wisata.

pariwisata dapat menyebabkan kepadatan baik itu manusia maupun kendaraan.

pariwisata memiliki andil dalam pencemaran aliran air dan kawsan pantai.

pariwisata dapat menyebabkan erosi.

pariwisata dapat menyebabkan adanya pembangunan yang tidak diinginkan.

pariwisata menyebabkan gangguan dan kerusakan pada habitat hewan liar.


Kegiatan wisata yang tidak terkendali akan menyebabkan ancaman terhadap lingkungan. Menurut UNEP (United Nations Environment
Programme), dampak utama pariwisata terhadap lingkungan terbagi menjadi tiga poin besar, yaitu berkurangnya sumber daya alam,
bertambahnya polusi, dan dampak terhadap ekosistem. Emisi dari transportasi dan produksi energi akan mengakibatkan hujan asam, polusi
fotokimia, dan pada tingkat global akan berdampak pada pemanasan global.

Jika kita lihat dari paparan diatas, secara umum dampak fisik pariwisata dapat dibagi berdasarkan area of effect, yaitu, biodiversity, erosi dan
kerusakan fisik, polusi, permasalahan sumber daya, dan perubahan atau kerusakan visual atau struktural. Untuk meminimalisasi adanya dampak
negatif, maka dibutuhkan pariwisata yang berkelanjutan baik secara sosial, ekonomi, budaya, ataupun lingkungan.

1.2. Pariwisata yang Berkelanjutan


Pariwisata yang berkelanjutan memiliki makna yang beragam tergantung pada konteks, konsep, dan pendekatan yang bereda (Heinen dalam
Sharpley, 2000:1). Secara umum, pariwisata yang berkelanjutan adalah menempatkan pariwisata untuk meminimalisasi dampak negatif terhadap
lingkungan dan kebudayaan lokal, dengan membantu pembangunan masyarakat lokal. Menurut UNWTO, pariwisata yang berkelanjutan secara
konseptual dijelaskan sebagai panduan pembangunan dan praktik pengelolaan yang dapat diaplikasikan pada semua bentuk pariwisata di semua
tipe tujuan, termasuk mass tourism dan lainnya. Tujuan utama dari pariwisata berkelanjutan adalah memastikan bahwa pembangunan pariwisata
membawa pengalaman positif bagi masyarakat lokal, perusahaan di bidang pariwisata, dan wisatawannya sendiri.

Salah satu stakeholder atau pemegang kebijakan dalam pariwisata yang berkelanjutan adalah wisatawan. Perjalanan wisatawan ke daerah
destinasi wisata membutuhkan waktu dan energi yang cukup banyak. Dalam perjalanan, wisatawan tentu melakukan banyak kegiatan baik yang
berkelanjutan ataupun yang tidak berkelanjutan, sebagai contoh untuk sampai ke suatu daerah wisata wisatawan memakai kendaraan dengan
bahan bakar yang berkontribusi pada perubahan iklim melalui emisi CO2. Emisi ini tentu saja berkontribusi pada 2 hingga 3% emisi karbon
secara global.

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai metoda penilaian dampak pariwisata telah berkembang, diantaranya adalah Environmental Impact
Assessment atau EIA, Carrying Capacity Concept atau CCC, dan Limits of Acceptable Change atau LAC. Baik EIA, CCC, ataupun LAC
berfokus pada perubahan fisik yang terjadi pada lingkungan, melupakan konsekuensi global terhadap lingkungan dari perilaku hidup wisatawan
sehari-hari selama berwisata.

Beberapa publikasi menunjukkan bahwa perilaku hidup wisatawan sehari-hari selama berwisata memiliki dampak cukup besar terhadap daerah
wisata apabila melebihi daya dukungnya. Beberapa metoda diatas (EIA, CCC, ataupun LAC) tidak dapat digunakan untuk menilai hal ini. Salah
satu metoda yang cocok untuk menilai dampak pariwisata berdasarkan perilaku hidup sehari-hari wisatawan adalah metoda jejak kaki ekologis.
2. JEJAK KAKI EKOLOGIS
2.1. Lahirnya Konsep Footprint / Jejak Kaki
Metoda asesor dampak pariwisata berdasarkan footprint atau jejak kaki telah dikenal secara umum, terutama pada pengelolaan sumber daya
alam yang menunjukkan pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Metoda asesor jejak kaki yang telah
dikenal saat ini ada tiga, yaitu ecological footprint atau jejak kaki ekologis, carbon footprint atau jejak kaki terhadap penggunaan karbon, dan
water footprint atau jejak kaki terhadap penggunaan air. Ketiga metoda asesor ini memiliki satuan dan sumber daya yang berbeda-beda.

Jejak kaki ekologis berfokus pada perhitungan penggunaan lahan bioproduktif dan dihitung dalam satuan hektar. Jejak kaki terhadap penggunaan
karbon berfokus pada perhitungan penggunaan energi dan dihitung dalam volume emisi CO2 dengan satuan ton. Jejak kaki ini menjadi indikator
dampak aktivitas manusia terhadap iklim global. Sedangkan jejak kaki terhadap kebutuhan air yang dikembangkan oleh Hoekstra pada tahun
2002, berfokus pada total penggunaan air tawar untuk kehidupan manusia dan dihitung dalam satuan volume air (m3).

2.2. Jejak Kaki Ekologis


Konsep jejak kaki ekologis pertama kali diciptakan oleh Mathis Wackernagel and William Rees di University of British Columbia pada awal
tahun 1990-an (Wackernagel 1991, Rees 1992, Wackernagel 1994, Rees 1996, Wackernagel and Rees 1996), yang kemudian pada tahun 1996
dituangkan dalam bukunya yaitu Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. Merespon adanya isu mengenai daya dukung
(Meadows 1972, Ehrlich 1982, Tiezzi 1984, 1996, Brown and Kane 1994), perhitungan jejak kaki ekologis dibuat untuk merepresentasikan
tingkat konsumsi manusia terhadap sumber daya alam dan pengolahan limbah pada ekosistem atau bioma tertentu, yang kemudian dibandingkan
dengan kapasitas produktif biosfer pada setahun.

Jejak kaki ekologis juga dikembangkan untuk merespon isu sustainable development atau pembangunan berkelanjutan, yang kemudian
diharapkan dapat menjadi salah satu metoda untuk mengukur hubungan perlakuan manusia terhadap bumi, kaitannya dengan daya dukung bumi
(Wackernagel and Rees, 1996 yang dikutip oleh Fifi Dwi Pratiwi)[]. Jejak kaki ekologis menitikberatkan konsep bahwa semua tingkah laku
manusia membawa dampak ekologis bagi lingkungan (Hoekstra, 2007).

Secara umum, perhitungan jejak kaki ekologis didasarkan pada enam asumsi (Wackernagel et al., 2002 dalam Wackernagel et al., 2008) seperti
yang dikutip oleh Nainggolan pada Jejak Ekologi[], adalah sebagai berikut :
1. Sebagian besar konsumsi sumber daya dan limbah yang dihasilkan oleh manusia dapat dilacak.

2. Kebanyakan aliran sumber daya alam dan limbah dapat dihitung ke dalam area biologi produktif untuk menelusuri alirannya. Sumber
daya alam dan limbah yang tidak dapat dihitung dikeluarkan dari penilaian, yang menjadikan hasil perhitungan jejak ekologi ini di bawah
keadaan yang sebenarnya.

3. Dengan pembobotan masing-masing daerah ke dalam proporsi produktifitas biologi yang digunakan, area yang berbeda dapat dikonversi
ke dalam satuan umum global hektar, yaitu hektar dengan rata-rata produktifitas biologis dunia.

4. Karena satuan global hektar tunggal menyatakan satu jenis penggunaan, dan semua global hektar pada satu tahun menyatakan jumlah
produktifitas yang sama, maka global hektar dapat dijumlahkan untuk mendapatkan indikator agregat jejak ekologi atau daya dukung
lingkungan.

5. Permintaan manusia, dinyatakan sebagai jejak ekologi, dapat secara langsung dibandingkan dengan pasokan alam, daya dukung
lingkungan, ketika keduanya sama-sama dinyatakan dalam global hektar.

6. Luas area permintaan dapat melebihi luas area yang disediakan jika permintaan pada ekosistem melebihi kapasitas regenerative
ekosistem. Situasi ini, dimana jejak ekologi melebihi daya dukung lingkungan yang tersedia, dikenal sebagai overshoot.

Dari pemaparan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa jejak kaki ekologis adalah suatu alat bantu untuk dapat dipergunakan dalam
mengukur penggunaan sumberdaya dan kemampuan bumi dihubungkan dengan tingkah laku dan gaya hidup manusia. Jejak kaki ekologis
biasanya dinyatakan dalam satuan hektar, dan digunakan sebagai ukuran prestasi kita dalam mendukung keberlanjutan dari bumi. Alat ukur ini
berguna untuk mengetahui apakah kegiatan konsumsi yang dilakukan manusia masih berada dalam batas daya dukung lingkungan ataukah sudah
melewati batas tersebut. Atau dengan kata lain apakah masih dalam batas surplus atau sudah dalam kondisi defisit atau penurunan kualitas
ekologi.

2.3. Jejak Kaki Ekologis Dunia dan Indonesia


Konsumsi sumber daya alam tidak merata di semua negara. Beberapa negara memiliki demand atau kebutuhan jauh lebih besar dari biokapasitas
negara tersebut. Sebagai contoh, rata-rata jejak ekologi tertinggi perkapita penduduk Amerika Serikat adalah sebesar 9,5 gha, Inggris sebesar
5,45 gha, dan Swiss sebesar 4 gha, sedangkan Bangladesh diperkirakan rata-rata sebesar 0,5 gha. Data ini menunjukkan bahwa semakin maju
suatu negara, maka kebutuhan sumber daya akan semakin besar, sehingga menekan bumi untuk dapat menyediakan sumber daya alam yang
lebih banyak. Pada tahun 2007, total jejak kaki ekologis dunia adalah 18,0 miliar gha dengan populasi dunia 6,7 miliar jiwa, maka jejak ekologis
rata-rata perkapita adalah 2,7 gha. Tetapi biokapasitas yang terdapat hanyalah 11,9 miliar gha atau 1,8 gha perkapita. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia membutuhkan 1,5 bumi untuk memenuhi kebutuhan. Butuh sekitar satu tahun dan enam bulan untuk meregenerasi sumber daya
alam yang digunakan manusia pada tahun tersebut. Normalnya, nilai tapak ekologi maksimal yang masih diizinkan agar bumi dapat bekerja
secara normal adalah 1 gha perkapita. Nilai 1 gha perkapita menunjukkan bahwa dibutuhkan 1 bumi untuk melakukan produksi dan
memanfaatkan hasilnya tanpa menghabiskan sumber daya alam yang dimiliki.

Menurut sumber Wikipedia, nilai tapak ekologi Indonesia adalah 1,21 gha perkapita dan biokapasitasnya 1,35 gha perkapita. Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata setiap individu yang ada di Indonesia membutuhkan lahan produktif seluas 1,21 hektar. Grafik dibawah ini
menunjukkan jejak kaki ekologis dan biokapasitas Indonesia dari tahun 1961 hingga 2010 dimana terjadi penurunan signifikan pada biokapasitas
dan fluktuasi yang hampir stagnan pada jejak kaki ekologis.

2.4. Perilaku Hidup Manusia terkait Jejak Kaki Ekologis


Perilaku hidup manusia menjadi salah satu faktor terjadinya perubahan di muka bumi ini. Secara umum terdapat empat faktor yang
mempengaruhi perilaku hidup manusia yang dapat merubah muka bumi, diantaranya adalah (1) moral, budaya, dan agama, (2) pendidikan, (3)
undang-undang, aturan, etos kerja, dan yang terakhir (4) harga pasar. Dari keempat faktor ini, dapat dilihat bahwa moral, budaya, agama, dan
pendidikan merupakan faktor internal yang mempengaruhi perilaku hidup manusia. Nilai keyakinan dan budaya menjadi faktor yang mendorong
atau membatasi perilaku hidup seseorang. Strata pendidikan juga menentukan kapasitas diri seseorang, apa yang harus dan tidak harus
dilakukan, baik atau tidak baik untuk dilakukan demi mendukung isu-isu tertentu, misalnya isu go green atau isu sustainability.

Selain faktor internal, terdapat juga faktor eksternal yaitu undang-undang atau peraturan dan juga harga pasar. Undang-undang yang dikeluarkan
oleh negara atau peraturan yang dikeluarkan oleh daerah menciptakan suatu sistem legal yang dapat mendorong atau membatasi perilaku hidup
manusia, seperti sistem tata kerja atau sistem pembatasan hak. Faktor eksternal lain yaitu harga pasar menjadi faktor yang dapat menimbulkan
masalah, dimana manusia dapat mengeksploitasi sumber daya alam apabila menuruti animo investor. Sebagai contoh, apabila investor agresif
membuka perhotelan di daerah wisata, maka sudah pasti lahan hijau yang ada dibabat habis.

Dari keempat faktor yang mempengaruhi perilaku manusia tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dampak yang dihasilkan pasti berbeda-
beda, sehingga kebutuhan lahan perorang dalam perhitungan jejak kaki ekologisnya juga berbeda. Rincian asumsi untuk menetapkan kebutuhan
lahan perorang adalah :

1. Kebutuhan pangan adalah berdasarkan 4 sehat 5 sempurna;


2. Kebutuhan papan digunakan standart T 76 perumahan dept. PU :90 m2 untuk keluarga terdiri dari 3 orang atau 20-30 m2 per orang;

3. Kebutuhan transportasi setara 120 kg beras /tahun;

4. Kebutuhan energi setara 120 kg beras / tahun;

5. Kebutuhan untuk daur ulang (air, CO2, limbah/sampah lainnya) setara dengan 120 liter air/hari untuk kemampuan hutan mendaur ulang
air 0.3 liter air untuk setiap 1 liter dengan tinggi curah hujan rata-rata 2000-2500 mm dan 56 kg CO2 perhektar hutan serta
keanekaragaman hayati.

2.5. Metodologi Jejak Kaki Ekologis


Secara umum, metoda penilaian dampak pariwisata berdasarkan perilaku hidup manusia dalam jejak kaki ekologis memiliki empat kategori
konsumsi, yaitu (1) karbon, yang terdiri dari konsumsi energi harian dan mobilitas atau transportasi, (2) rantai makanan, (3) akomodasi atau
tempat berteduh, (4) goods and services atau barang dan jasa, yang terdiri dari kebiasaan dalam berekreasi. Keempat kategori ini kemudian
dipecah kembali berdasarkan tipe ekosistem atau bioma, yaitu lahan pertanian, padang rumput, hutan, dan perikanan.

Sebagai langkah awal untuk menghitung jejak kaki ekologis, dapat dilakukan survey terhadap jejak kaki ekologis pribadi sebagai acuan untuk
menghitung apakah kita sudah memiliki perilaku konsumsi yang sesuai dengan kapasitas bumi ataukah belum. Setelah membandingkan hasil
jejak kaki ekologis pribadi dengan jejak kaki ekologis rata-rata negara, maka dapat ditarik kesimpulan apakah jejak kaki ekologis pribadi lebih
besar atau lebih kecil dari biokapasitas agar dapat diberi rekomendasi yang sesuai agar tercipta pariwisata yang berkelanjutan.

3. RISET SINGKAT TERKAIT JEJAK KAKI EKOLOGIS


PRIBADI
Metoda dalam riset singkat yang penulis lakukan adalah metoda survey terhadap jejak ekologis pribadi dengan data suplementer yang didapat
dari berbagai sumber, terutama didapatkan dari jurnal beberapa mahasiswa Program Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Bina Husada serta aplikasi penghitung jejak ekologis seperti myfootprint.org yang dibuat oleh Ecological Footprint Center for
Sustainable Economy, http://www.footprintnetwork.org/, dan http://footprint.wwf.org.uk/. Hasil jejak kaki ekologis pribadi yang didapatkan akan
dibandingkan dengan jejak kaki ekologis rata-rata negara dan dikaitkan dengan area studi kasus yaitu Pantai Pangandaran, sehingga penulis
dapat memberikan rekomendasi bagaimana cara mereduksi jejak kaki ekologis berdasarkan area kasus wisata yang dipilih untuk meminimalisasi
dampak negatif terhadap area wisata tersebut.

3.1. Hasil Jejak Kaki Ekologis Pribadi


Berikut penulis jabarkan hasil perhitungan jejak kaki ekologis pribadi yang dirangkum dari lembar penilaian jejak kaki ekologis:

3.1.1. Penggunaan Air

Penulis menggunakan air untuk kegiatan rumah tangga tidak lebih dari 3 menit dan memakai kurang lebih seperempat bak mandi. Selain itu,
penulis juga menggunakan air untuk menyiram toilet dan mencuci piring.

3.1.2. Makanan

Penulis makan berat dua kali dalam sehari dan sisanya makan makanan ringan. Menu makanan berat adalah nasi, telur, sayur, dan susu. Hampir
semua makanan yang dimakan adalah produk alami yang dihasilkan dari daerah penulis, dan bukan merupakan produk kemasan.

3.1.3. Transportasi

Dalam sehari-hari, penulis menggunakan moda transportasi umum dan berjalan kaki.

3.1.4. Tempat Tinggal

Tempat tinggal yang penulis tinggali adalah satu unit asrama yang ditinggali oleh dua orang.

3.1.5. Penggunaan Energi

Dengan suhu asrama 15-18 derajat celcius, penulis tidak menggunakan air conditioner, sewaktu-waktu hanya menggunakan kipas angin. Penulis
juga menggunakan alat elektronik seperti notebook yang hemat energi. Penulis menghabiskan kurang lebih tujuh jam diluar ruangan sehingga
energi dari alat elektronik yang digunakan minim.
3.1.6. Pakaian

Dalam berpakaian, penulis berganti pakaian setiap hari kemudian digantung kembali apabila tidak dipakai terlalu lama. Penulis mencuci pakaian
tiga hari sekali. Penulis juga jarang mengganti pakaian dan sepatu setiap tahun baru, sehingga mayoritas pakaian dan sepatu yang digunakan
penulis adalah sepatu lama.

3.1.7. Pengolahan Sampah

Penulis membuang sampah setiap hari yang dikumpulkan dalam tempat sampah besar. Beberapa jenis sampah seperti plastik digunakan kembali
atau dibuat beberapa barang yang dapat digunakan, seperti tempat pensil atau pot tanaman kecil. Penulis juga menggunakan kembali kertas yang
hanya dipakai satu sisinya sebagai kertas coretan. Penulis menghindari pemakaian barang sekali pakai.

3.1.8. Kesenangan/Liburan

Dalam berlibur, penulis biasanya meluangkan waktu untuk bersantai di dalam area kurang dari 1 hektar. Penulis hanya menggunakan notebook
untuk bersantai, tidak menggunakan peralatan elektronik lain.

Berikut ini adalah lembar penilaian Perhitungan Jejak Ekologiku yang diadop dan direvisi dari tugas Etika dan Nilai Lingkungan Sri Wahyuni,
mahasiswi Program Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Husada yang telah diisi berdasarkan perilaku
sehari-hari penulis:

*tabel dapat dilihat di attachment

Total keseluruhan tersebut menjadi jejak ekologis pribadi penulis, dimana :

Total keseluruhan : 100 = Jejak Kaki Ekologis (hektar)

Sehingga hasil perhitungannya adalah 705 (setelah dibulatkan) : 100= 7,05 ha. Hal ini menunjukkan bahwa jejak kaki ekologis penulis melebihi
standar yang ada. Beberapa hal perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat konsumerisme penulis dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat
meniminalisasi timbulnya dampak negatif pada bumi.
3.2. Wisata Pangandaran dan Jejak Kaki Ekologis
Jejak kaki ekologis penulis dapat dijadikan acuan bagi penilaian dampak pariwisata dan bagaimana cara mereduksi dampak negatif yang timbul.
Dalam subbagian ini akan dijelaskan secara umum mengenai Pantai Pangandaran dan rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan acuan
jejak kaki ekologis penulis dengan asumsi wisatawan yang berwisata di Pantai Pangandaran memiliki jejak kaki ekologis yang sama dengan
penulis.

3.2.1. Sekilas Tentang Pantai Pangandaran

Secara geografis, Pangandaran terletak di Ciamis, Jawa Barat, tepatnya pada koordinat 0703930-0704400 S dan 10803500-10804200 B.
Pangandaran memiliki beberapa jenis ekosistem, diantaranya adalah ekosistem terumbu karang, ekosistem hutan mangrove, ekosistem pantai
dan hutan pantai, ekosistem hutan dataran rendah, gua alami, dan ekosistem pertanian. Keragaman ekosistem yang dimiliki Pangandaran,
menjadikan daerah ini daerah destinasi wisata alami. Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata Pangandaran cukup bervariasi, diantaranya adalah
Pantai Pangandaran, Pantai Pasir Putih, gua alami, Sungai Cijulang, Batu Hiu, laguna Cikembulan, dan lainnya.

Namun dibukanya daerah ini sebagai daerah destinasi wisata memberikan dampak negatif bagi ekosistem yang ada. Sebagai contoh, dampak
negatif bagi ekosistem pantai dan hutan pantai. Awalnya, Pangandaran yang memiliki dua sisi pantai juga memiliki hutan pantai dengan vegetasi
Terminalia catappa atau Ketapang, Barrigtonia asiatica atau Butun, Hibiscus tiliaceus atau Waru, dan Callophylum inophylum atau Nyamplung.
Kini vegetasi tersebut telah tergantikan dengan hotel, jalan, dan berbagai kegiatan pariwisata lainnya. Kegiatan wisatawan telah mengubah
ekosistem alami yang terdapat di Pangandaran. Sebagai contoh, kegiatan wisatawan menggunakan mobil membuat beberapa spesies flora
ataupun fauna mati akibat emisi gas CO2. Selain itu, adanya wisatawan yang membawa mobil juga membuat penyedia fasilitas wisata membabat
area hijau dan dijadikan area parkir.

3.2.2. Rekomendasi bagi Perilaku Hidup Wisatawan dalam Konteks Pantai Pangandaran

Dengan acuan jejak kaki ekologis penulis yang telah dipaparkan diatas, maka beberapa hal dapat dilakukan oleh wisatawan untuk mengurangi
jejak kaki ekologis sehingga dapat mereduksi dampak negatif yang dapat timbul pada daerah Pantai Pangandaran, diantaranya adalah:

1. Mereduksi penggunaan karbon

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh wisatawan untuk mengurangi penggunaan karbon adalah sebagai berikut:
Menggunakan moda transportasi yang lebih ekologis. Moda transportasi pilihan yang terbaik adalah sepeda atau public transit (dengan
bus atau odong-odong yang dipakai untuk berkeliling). Apabila memang mengharuskan diri memakai mobil pribadi, maka disarankan
untuk tidak membiarkan mobil menyala tanpa digunakan lebih dari 30 detik. Selain itu, disarankan untuk selalu lakukan servis berkala
untuk menjaga efisiensi emisi. Pantai Pangandaran memiliki tingkat biodiverstitas hayati yang tinggi. Emisi yang terlalu tinggi dapat
membunuh beberapa jenis vegetasi dan fauna kecil.

Menggunakan alat elektronik seperlunya atau menggunakan alat-alat yang efisien terhadap energi. Mematikan alat elektronik apabila
sudah tidak dipakai. Agar lebih mudah, dapat menggunakan power strip.

Menggunakan green electricity atau alat elektronik yang dapat di-charge dengan energi alternative seperti solar energy.

Akan lebih baik apabila wisatawan Pantai Pangandaran dapat turut menyumbang menanam pohon yang spesifik untuk mengurangi gas
emisi CO2.

2. Mereduksi jejak terhadap makanan

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh wisatawan untuk mengurangi jejak terhadap makanan adalah sebagai berikut:

Memakan makanan dari bahan lokal, organik, dan tepat musim. Akan lebih baik apabila membeli bahan makanan dari pasar tradisional
sehingga masih segar dan tidak memerlukan kulkas untuk menjaga kesegarannya.

Menghindari makanan dengan kemasan plastik untuk mengurangi limbah padat yang sulit terurai.

Mengurangi konsumsi daging. Menurut beberapa penelitian, terbukti bahwa 18% dari emisi gas terasosiasi dengan konsumsi daging.

Menghindari membuang makanan.

3. Mereduksi kebiasaan yang tidak ekologis

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh wisatawan untuk mengurangi kebiasaan yang tidak ekologis adalah sebagai berikut:
Menggunakan produk-produk biodegradable dan tidak beracun. Pembuangan bekas produk yang tidak biodegradable dapat
mempengaruhi biota darat ataupun laut (mengingat buangan limbah cair akan mengarah ke laut).

Apabila ingin membuang sampah namun belum menemukan tempat sampah, maka akan lebih baik untuk mengantongi sampah tersebut
hingga menemukan tempat sampah. Sampah juga lebih baik dipisah menjadi organik dan nonorganik. Masalah limbah menjadi concern
utama pada Pantai Pangandaran mengingat banyaknya biota darat dan laut yang ada pada daerah ini. Pembuangan limbah yang tidak
terkelola dengan baik tidak hanya merusak visual, tapi juga ekosistem alami.

Mendaur ulang semua limbah, baik limbah kertas, kaca, alumunium, plastik, bahkan elektronik.

Membeli produk daur ulang, terutama yang berlabel post-consumer waste.

Menghindari menggunakan shower terlalu lama. Hal ini tidak saja mengurangi penggunaan air, tetapi juga penggunaan energi.

Membiasakan diri untuk tidak membeli barang yang belum dibutuhkan dalam waktu dekat. Membeli barang-barang yang memang sangat
dibutuhkan untuk menghindari adanya barang-barang yang dibuang begitu saja

Anda mungkin juga menyukai