Anda di halaman 1dari 107

JALAN SUNYI

Semua persiapan pernikahan itu sudah hampir


selesai, sampai sedetail-detailnya. Tapi, Puan
melupakan satu persiapan penting: mentalnya.
Suatu hari di sebuah gerai perhiasan.
Limar menggenggam jemari Puan, meremasnya
lembut.
Bagaimana, sudah menentukan pilihan?
tanyanya dengan mata menyimpan cahaya. Model
mana yang kau pilih?
Aku bingung. Modelnya bagus-bagus. Sulit
menentukan pilihan, Puan merajuk manja.
Menurutmu, sebaiknya aku pilih yang mana?
Begini saja, pilih beberapa model yang kau
suka. Dari beberapa pilihan itu, kita pilih lagi
bersama-sama, Limar menyarankan.

1
Puan tersenyum. Solusi yang baik. Kau selalu
punya saran terbaik untuk setiap masalah yang kita
hadapi.
Limar menatapnya dengan penuh cinta. Masa,
sih?
Puan mengangguk yakin. Iya. Kau tahu, sering
kali aku berpikir kau adalah hal terbaik yang
pernah aku miliki.
Terima kasih. Aku senang kau berpikir begitu.
Semoga selamanya aku bisa melakukan yang
terbaik untukmu, kata Limar, menyimpan
harapan.
Tepatnya untuk kita. Jangan untukku saja.
Bukankah kita akan hidup berdua. Apa gunanya aku
mendapatkan semua yang terbaik, bila kau tidak?
kata Puan.
Sesungguhnya, apa yang terbaik bagimu, itulah
yang kuinginkan. Kebahagiaanmu adalah

2
kebahagiaanku juga, kata Limar, sambil menatap
mata Puan dalam-dalam.
Puan terharu. Kalimat itu. Alangkah menyentuh
hati. Bila orang lain yang mengucapkannya, ia
pasti berpikir semua itu hanyalah rayuan. Tapi, kini
Limar yang mengatakannya. Dan, dia telah
mengenal Limar dengan baik. Sangat baik. Limar
bukanlah pendusta, bahkan dalam hal terkecil
sekalipun. Limar bukanlah orang yang mengenakan
basa-basi sebagai aksesori diri. Apa pun yang
dikatakan Limar adalah kejujuran. Tanpa polesan,
tanpa hiasan. Sesuatu yang berasal dari hati.
Terima kasih, Limar. Semoga aku bisa
melakukan hal serupa untukmu, sahut Puan.
Ah, sudahlah. Kita seperti mengucapkan janji
pernikahan saja. Padahal, hari itu kan masih lima
bulan lagi, bisik Limar. Matanya bersinar jenaka.

3
Puan menahan senyum. Barangkali, kita
terbawa suasana tempat ini. Penataannya begitu
romantis, membuatku ingin melamunkan sesuatu.
Melamunkan hari itu? tanya Limar, sambil
tersenyum.
Puan tersipu. Rona merah dadu membias ranum
pada pipinya. Sesaat kemudian disentuhkannya
bahu pada lengan Limar.
Sudahlah, jangan menggodaku lagi. Ayo, kita
pilih cincinnya. Yang mana yang paling indah, ya?
Puan pun kembali memilih. Diamatinya setiap
model cincin pernikahan yang terpampang di
depannya. Semuanya menarik. Masing-masing
memiliki ciri khas tertentu. Ada emas putih, ada
berlian, ada yang berukir, dan ada juga yang polos
sederhana.
Cincin itulah yang terpilih. Sebuah cincin
sederhana dengan ukiran daun dan sulur anggur
melingkar di sekeliling cincin. Batang dan sulur

4
anggur tumbuh menjalar dan saling mengikat.
Semoga kita akan hidup seperti itu, tumbuh
bersama selamanya. Begitu Puan mengungkapkan
alasannya memilih cincin sederhana itu.
Filosofi yang bagus. Aku setuju, Limar
mengangguk. Ayo, tuliskan nama kita supaya
mereka bisa mengukir nama kita pada cincin itu
dengan benar. Mereka bilang, bulan depan cincin
akan siap diambil.
Tidak masalah. Kita masih punya waktu lima
bulan, bukan?
Ya, waktu yang sebenarnya panjang. Tapi, bisa
relatif menjadi pendek bila diterjemahkan pada
situasi kita saat ini.
Persiapan ini-itu yang ribet banget. Apa lagi
yang harus kita lakukan sesudah ini?
Memesan gedung untuk resepsi.
Gedung sudah dipesan. Kita hanya perlu
menyetor uang tanda jadi.

5
Jangan lupa, lusa ada tes menu.
Soal menu itu, biar ibumu dan ibuku saja yang
mengambil keputusan. Mereka berdua kan lebih
ahli dalam hal semacam itu.
Boleh saja. Jadi, ke mana kita sekarang?
Konsultasi desain kartu undangan dan
dekorasi.
Kita pilih yang sederhana saja. Kartu tidak
perlu besar, ukuran mungil cukuplah. Asal
desainnya unik, pasti kartu itu akan berkesan.
Oke. Besok bisa mengantarku ke desainer?
tanya Puan kemudian.
Untuk apa? Limar heran. Seingatnya, jadwal
ke desainer tidak ada dalam agendanya.
Memilih gaun pengantin.
Bukannya kau sudah ke sana bersama Ibu?
Memang, tapi ada dua pilihan. Dan, aku ingin
kau membantuku menentukannya. Yang satu model
bahu terbuka. Kesannya seksi. Tapi, aku khawatir

6
kau tidak suka. Yang satu lagi desainnya bagus,
tapi cenderung membuatku tampak lebih gemuk.
Limar melirik menahan senyum. Kau sama
sekali tidak gemuk. Lihatlah, lenganmu hanya
sekecil ini. Kau saja yang terlalu sensitif soal berat
badan. Jadi, kukira, kau akan lebih nyaman dengan
gaun yang seksi itu.
Tapi.
Tapi, apakah dengan tampil seksi kau akan
lebih menarik perhatian? Sama sekali tak masalah
bagiku. Pada kenyataannya, hari itu semua
perhatian akan terpusat pada kita. Jika
penampilanmu yang seksi akan membuat para
tamu pria patah hati dan menatapmu tanpa kedip,
bukankah itu justru membuktikan bahwa pilihanku
padamu tidak salah? kata Limar, menghentikan
keraguan Puan.
Bukan begitu. Lebih baik kau lihat dulu gaun
pengantinnya.

7
Limar menggeleng. Tidak, aku tidak akan
melakukannya.
Puan terkejut. Mengapa?
Limar terdiam sesaat. Barangkali ini suatu hal
yang kuno. Dan, mungkin tidak ada lagi yang
memercayai, apalagi memedulikannya. Tapi, aku
ingin melakukannya untuk diriku sendiri, katanya,
dengan nada hati-hati.
Apa itu? Puan ingin tahu.
Kata orang, pengantin hanya boleh satu kali
mengenakan gaun pengantinnya. Karena itu, aku
ingin hanya sekali saja melihatmu mengenakan
gaun pengantin itu. Di hari pernikahan kita. Bukan
saat fitting atau kapan pun.
Begitukah?
Selain itu, seandainya sekarang aku melihat
gaun pengantin itu, di hari pernikahan nanti aku
akan kehilangan kejutan, dong. Jadi, please, untuk
yang satu itu, jangan libatkan aku. Apa pun

8
pilihanmu, itu akan menjadi kejutan terindah
bagiku. Aku ingin melihatmu sebagai pengantinku
pada hari itu dengan hati yang murni. Bukan dari
bayangan atau daya khayal yang terbentuk dari
hari-hari sebelumnya. Kau maklum, bukan? kata
Limar, menjelaskan.
Puan mengerjapkan mata. Di depannya Limar
menatapnya dengan mata tulus menyimpan
harapan. Harapan yang sederhana, yang sangat
tidak layak untuk ditolak.
Baiklah, bisik Puan, yang memenuhi harapan
itu. Dengan lembut ditatapnya Limar. Tunggulah.
Aku akan menjadi pengantin tercantik untukmu.
Limar mengangguk. Dengan penuh rasa bahagia,
direngkuhnya bahu kekasihnya, calon
pengantinnya.
Puan mengamati foto-foto contoh dekorasi
gedung. Ada banyak album foto contoh dekorasi,
lengkap dengan desain kartu undangan, cendera

9
mata, dan bunga pengantin. Namun, hingga album
terakhir, ia belum juga bisa menentukan pilihan.
Tidak ada yang sesuai dengan keinginanku,
katanya.
Apa yang kau inginkan? tanya Limar, sabar.
Puan memejamkan mata. Sesaat kemudian, ia
bergumam, Aku ingin suasana musim gugur. Ada
ranting-ranting kering, helai daun menguning
berjatuhan.
Musim gugur? Tidakkah akan terkesan muram?
Mata Puan terbuka, Harus disiasati sedemikian
rupa sehingga tidak tampak muram, melainkan
menjadi suasana romantis.
Limar menatap penata dekorasi, Bisakah Anda
melakukan itu?
Saya sedang berusaha menangkap imaji itu.
Musim gugur yang romantis? Mengapa tidak? Kesan
muram ranting kering akan saya redam dengan
taburan kelopak bunga warna merah jambu. Pada

10
beberapa sudut akan ditempatkan beberapa
burung dara. Akan kita siasati dengan teknik
tertentu agar burung dara itu tidak bisa terbang
jauh. Pelaminan akan dihiasi tirai atau selendang
putih transparan, dilengkapi kupu-kupu hias dan
lilin-lilin putih beraroma rempah. Nyala lilin akan
menimbulkan suasana eksotis. Bagaimana?
Bagus sekali. Lebih indah daripada yang
kubayangkan. Kau setuju, Limar? kata Puan,
gembira.
Mengapa tidak? Idemu unik. Kita bertemu
dengan ahli yang tepat, yang bisa
merepresentasikan imajinasimu dengan lebih
baik.
Penata dekor itu tersenyum lega. Terima kasih.
Sudah merupakan tugas kami untuk mewujudkan
impian klien semampu kami.
Jadi, kamu sudah yakin pada pilihan dekorasi
musim gugur itu? Limar mencoba memastikan.

11
Ya, Puan mengangguk, yakin.
Kalau begitu, kami akan membuat rancangan
detail serta perhitungan anggarannya, sambung si
penata dekorasi.
Baik, kami tunggu.
Sesaat kemudian Limar dan Puan mohon diri.
Lalu, kita sekarang akan ke mana? tanya
Puan, ketika Limar membuka pintu mobil
untuknya.
Makan. Ini sudah menjelang sore. Harusnya,
sih, kita merasa lapar. Tapi, karena terlalu
bersemangat, kita sampai lupa makan siang.
Puan tertawa. Terutama karena aku terhanyut
pada imajinasi musim gugur itu. Kau tahu, foto
pengantin kita nanti pasti unik. Ada ranting,
burung, dan kupu-kupu. Apalagi kalau foto itu
berwarna hitam-putih atau kecokelatan seperti
foto kuno. Pasti sangat unik dan menarik. Aku ingin
foto seperti itu.

12
Catat saja, lusa kita berkonsultasi dengan
fotografer. Beberapa hari lalu dia bertanya, apakah
kita akan melakukan pemotretan untuk pre-
wedding?
Pre-wedding?
Limar menggangguk. Kalau ya, kita bisa
melakukannya se kitar 1 bulan sebelum kita
menikah. Atau, jika kita melakukannya lebih awal,
hasil fotonya bisa kita pergunakan untuk
mempercantik undangan atau tambahan dekorasi
untuk ruang resepsi.
Aku justru ingin memasangnya di kamar
pengantin. Atau, kita pilih pemotretan outdoor
saja. Lokasinya rumah tua atau bangunan kuno.
Gayanya natural, tak perlu pakaian formal, kata
Puan, menuangkan ide-idenya.
Boleh saja. Kalau perlu, kita ikut mencari
lokasi agar bisa mendapatkan lokasi yang benar-
benar sesuai dengan keinginan kita.

13
Puan mengangguk puas. Setuju.
Mereka terus membicarakan urusan pernikahan
mereka, sambil menyantap menu pilihan hingga
tandas. Nasi putih hangat, empal empuk, sambal
pedas, dan semangkuk soto betawi.
Tiba-tiba Puan terdiam sesaat. Ia berpikir
serius. Kita mempersiapkan banyak hal. Segala
pernak-pernik dari A sampai Z. Tapi, ada satu hal
penting yang justru kita abaikan, katanya,
sungguh-sungguh.
Limar tampak terkejut. Ia menatap Puan
dengan pandangan bertanya.
Mental, sambung Puan, mantap.
Maksudmu?
Aku memikirkan apa yang akan terjadi sesudah
hari itu.
Limar tersenyum Hari bahagia, tentunya. Aku
suamimu dan kau istriku. Kita hidup bersama dan

14
saling memiliki secara utuh. Kita bisa saling
memeluk sepanjang hari.
Pipi Puan kembali merona Apakah itu berarti
kita harus selalu berdua ke mana pun kita pergi?
Paling tidak, begitulah.
Lalu, bagaimana dengan teman-temanku?
Selama ini aku mengalami banyak hal yang
menyenangkan bersama mereka. Cerita ini-itu,
belanja, mencari restoran baru.
Tentu kau tetap akan bisa menikmati hal-hal
itu bersama mereka. Pernikahan bukan berarti
membuat hidup kita terisolasi dari orang lain.
Kahlil Gibran mengatakan: Bernyanyi dan
menarilah bersama dalam segala sukacita. Hanya,
biarkanlah masing-masing menghayati
ketunggalannya.
Limar meneguk es teh tawar, lalu melanjutkan,
Jadi, meskipun hidup bersama, kita harus tetap
memiliki waktu untuk diri sendiri. Kita masing-

15
masing tetap melakukan kegiatan favorit, sesuai
pilihan masing-masing. Aku akan tetap bermain
basket dan memancing, sementara kau melukis
dan berkumpul dengan teman-temanmu, tanpa
harus kudampingi. Hanya, waktu dan porsinya saja
yang perlu disesuaikan.
Misalnya?
Clubbing jangan sampai lewat tengah malam
dan jangan terlalu sering. Akhir pekan khusus
untuk kita berdua.
Tiga kali seminggu clubbing, bagaimana?
Bagaimana kalau satu kali? Limar menawar.
Cuma satu kali? Kita ambil jalan tengah, deh.
Dua? Puan juga menawar.
Limar mengangguk. Awal yang baik. Kita telah
belajar untuk menyelesaikan masalah dengan
kompromi. Untuk selanjutnya, kompromi semacam
ini harus banyak kita lakukan, ditambah dengan
kejujuran dan toleransi.

16
Puan menghela napas. Kekawatiran mendadak
menerpanya. Baru ia sadari bahwa apa yang
dikatakannya memang benar. Ia memang telah
mempersiapkan segala macam. Tapi, semua itu
hanya bersifat fisik. Ia justru melupakan apa yang
ada di dalam dirinya.
Apakah aku siap? bisiknya, ragu.
Maksudmu? Limar meneliti tingkah Puan. Ia
baru tersadar bahwa Puan tampak gelisah.
Menjadi seorang istri, sambung Puan,
bergumam.
Tentu siap, mengapa tidak?
Puan menghela napas, berkata hati-hati, Aku
khawatir, apakah mampu menjalani peran itu.
Hidupku pasti akan sangat berubah. Aku bukan lagi
seorang yang bebas. Artinya, aku bukan lagi
menjadi seseorang yang berdiri sendiri, melainkan
seorang istri yang mendampingi suami. Karena itu,
apa yang ada padaku harus kubagi denganmu.

17
Kebahagiaan dan juga kesedihan. Dan, setiap kali
akan melakukan sesuatu, aku harus
memperhitungkan keberadaanmu. Aku tak bisa lagi
hanya mementingkan egoku.
Kau merasa kesulitan melakukan itu? kata
Limar, sambil menatap tepat di manik mata Puan.
Aku. Puan ragu-ragu.
Limar meraih jemari Puan. Dengan lembut ia
menggenggam jemari itu, seolah menyalurkan
ketenangan.
Memang benar. Hidup kita akan mengalami
perubahan besar. Tapi, kau kan tidak akan
sendirian menghadapinya. Aku akan selalu
bersamamu menghadapi ini semua.
Kita akan saling belajar menjalani perubahan
itu. Dan, karena kita adalah dua pribadi yang
berbeda, jadi yang kita perlukan adalah toleransi.
Dalam proses belajar ini akan terjadi banyak
kealpaan. Ada banyak kebiasaan dalam diri kita

18
yang mungkin kita lakukan begitu saja, yang
mungkin tidak sesuai dengan pasangan kita. Di
sinilah toleransi diperlukan. Kita harus selalu sadar
bahwa ada faktor alpa sehingga kita perlu saling
mengingatkan, bukannya terbawa alpa dan emosi
masing-masing.
Kau tahu, aku punya banyak kebiasaan buruk,
sela Puan mulai tenang, tidak bisa bangun pagi,
tidak bisa memasak.
Takut gelap, malas sikat gigi, sambung Limar.
Ssst, sudah, nanti orang lain tahu, Puan
mencubit lengan Limar.
Biar saja, Limar tertawa. Biar dunia tahu,
betapa baik hatinya aku, sudi mencintai seorang
gadis cantik yang malas sikat gigi.
Puan manyun dan menyimpan tawanya.
Mungkin, kau mengalami depresi, kata Limar
dalam perjalanan pulang. Kesibukan
mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan

19
kita, mungkin memunculkan banyak tekanan dalam
dirimu.
Mungkin. Entahlah, kata Puan, sambil angkat
bahu.
Barangkali, ada baiknya kau beristirahat.
Lupakan dulu semua persiapan ini. Biar kuambil
alih saja. Atau, bisa juga kita istirahat sejenak.
Toh, waktunya relatif panjang, Limar mengajukan
usul.
Jangan, persiapan sudah hampir tuntas! Aku
akan baik-baik saja. Barangkali, aku hanya
kelelahan atau stres.
Puan, stres yang berkepanjangan bisa
berbahaya.
Kau keberatan memiliki calon istri yang agak
sinting?
Sangat.
Baiklah, aku akan spa sehari penuh. Dipijat,
mandi bunga, makan enak. Kalau perlu, plus

20
melamun. Sesudah itu, aku jamin, aku tidak akan
stres lagi. Bagaimana?
Kau yakin cukup dengan itu?
Sambil tersenyum, Puan mengangguk pasti.
Musik mengalun merdu. Entah apa lagunya.
Barangkali, judul tidak terlalu penting. Yang jelas,
denting piano dipadu dengan petikan gitar dan
alunan alat musik lain yang berpadu serasi.
Menciptakan keindahan yang membelai hati,
mengalirkan rasa damai yang nyaman.
Puan menghirup napas. Wangi bunga memenuhi
rongga paru-paru, mengalirkan kesegaran pada
seluruh ruang tubuh. Begitu segar oksigen wangi
itu membuat tubuhnya ringan seperti melayang.
Apalagi, ditambah dengan pijatan di seluruh
bagian tubuh, termasuk bahu, leher, punggung,
kaki, dan lengan. Mengendurkan segala otot yang
meregang, melenturkan segala persendian. Yang
muncul kemudian adalah rasa nyaman luar biasa.

21
Lalu, berendam di dalam air hangat bertabur
bunga adalah penuntasan yang sempurna.
Puan menikmati setiap tahap ritual spa dengan
sepenuh hati. Dia berharap, proses itu akan
membantu melarutkan segala beban hati dan
kepenatan tubuh. Berharap bahwa ia akan
mendapatkan energi baru untuk melanjutkan
persiapannya menuju hari barunya sebagai
mempelai untuk Limar.
Lihat, aku telah bugar kembali, seru Puan,
antusias, ketika Jingga, sahabatnya, menjemput di
ambang pintu. Sekarang, ayo, kita makan enak.
Lupakan diet, abaikan berat badan.
Kurasa, ini tidak cukup untukmu, Jingga
menatapnya.
Maksudmu?
Program spa ini hanya efektif menyegarkan
tubuhmu. Kalau saat ini kau merasa beban hatimu
menghilang, itu karena efek kebugaran tubuhmu

22
yang bersifat sementara, paling-paling hanya akan
dalam hitungan hari.
Lalu, sesudah itu, aku akan gelisah lagi? Begitu
maksudmu?
Jingga mengangguk.
Mengapa kau berpikir begitu? tanya Puan
mendesak.
Kuduga, kau mengalami semacam sindrom.
Barangkali, ini mirip sindrom Baby Blues yang
dialami wanita pascamelahirkan. Padamu adalah
sindrom pra-nikah. Kau gelisah karena memikirkan
pernikahanmu, memunculkan berbagai pikiran
negatif, dan akhirnya membuatmu merasa tidak
siap.
Persis seperti itu. Aku jadi waswas dan
ketakutan akan apa yang terjadi nanti. Aku
mendadak khawatir hidupku akan terkekang, lalu
kehilangan teman. Aku bahkan meragukan

23
kemampuanku untuk menjadi istri yang baik bagi
Limar.
Ketakutan yang tidak semestinya.
Itulah. Aku juga bingung mengapa begitu?
Jingga menghela napas. Kasus semacam ini
sepantasnya hanya terjadi pada pasangan yang
dijodohkan sehingga mereka belum sempat
mengenali karakter masing-masing. Atau, strata
sosial yang berbeda akan membuat gaya hidup
mereka tidak seimbang.
Puan tercenung. Ya, sesungguhnya memang
tidak layak kalau dia mengalami sindrom ini. Limar
adalah pilihannya sendiri. Mereka sudah bertahun-
tahun menjalin hubungan. Rentang waktu itu
membuktikan bahwa Limar adalah pilihan terbaik
untuknya. Jadi, mengapa harus muncul segala
kegelisahan ini?
Aku, kalimat Puan tersendat, tertekan rasa
putus asa.

24
Itulah yang namanya sindrom. Datang seperti
virus, tanpa bisa dicegah. Tapi, jangan khawatir.
Ayo, kita cari solusinya bersama-sama, kata
Jingga, berusaha menenangkan.
Apa yang harus kulakukan? tanya Puan,
pasrah.
Jingga berpikir sesaat.
Rasanya, kau perlu refreshing beberapa hari.
Liburkan dirimu dari rutinitas, kosongkan pikiran,
dan lupakan segala urusan. Kau bisa pergi ke suatu
tempat yang belum pernah kau kunjungi dan
lakukan apa pun yang kau sukai, kata Jingga,
memberi saran.
Puan tampak bingung. Tak yakin pada pilihan
yang diberikan Jingga.
Coba saja. Paling tidak satu minggu. Lakukan
dengan maksimal. Bebaskan hatimu dari segala
beban. Bila mungkin, lupakan kami semua untuk

25
sementara. Putuskan kontak, termasuk dengan
Limar.
Kau yakin itu semua akan berhasil?
Abaikan berbagai kemungkinan tentang
hasilnya. Itu juga termasuk beban yang bisa
mengganggu. Yang penting, bebaskan hati, jalani
hari seperti air mengalir.
Masalahnya, aku harus pergi ke mana?
Pilih sesuka hatimu: Bali, Kampung Sampireun,
atau Danau Toba? Semua terserah kamu.
Puan menggeleng. Aku tidak mau tinggal di
hotel sendirian. Tapi, tempat wisata yang terlalu
ramai juga akan mengganggu.
Jadi, tempat macam apa yang kau inginkan?
Puan mengerjapkan mata. Suatu tempat yang
sunyi. Ada banyak pohon hijau, seperti desa atau
hutan. Aku akan melukis di antara keteduhan
pohon-pohon itu.

26
Ha, aku tahu! seru Jingga, seolah baru
menemukan sesuatu. Kamu ke desa nenekku
saja.
Di mana? Puan antusias.
Tanah Bumi. Sebuah kampung kecil yang penuh
hutan karet, ladang cokelat, dan sungai di lembah.
Tempat yang sangat inspiratif untukmu.
Mata Puan membesar, menyiratkan imajinasi
yang berkelana.
Kalau begitu, antar aku, dong, ke sana.
Tidak! Sudak kukatakan, proses ini akan
memberikan hal baru untukmu. Karenanya, jangan
melibatkan lingkungan lama dalam proses ini.
Petualangan sudah akan dimulai sejak menit
pertama keberangkatanmu.
Tapi, nenekmu kan tidak mengenal aku.
Sudah. Aku sering bercerita tentang teman-
temanku padanya. Jadi, kamu tak perlu khawatir.
Nanti akan kukirim kabar padanya.

27
Lalu, bagaimana caranya aku pergi ke sana?
Gampang, naik pesawat saja sampai di ibu
kota provinsi, lalu disambung dengan kereta api.
Turunlah di stasiun Tanah Bumi. Dari stasiun ada
bendi yang bisa mengantarmu sampai di rumah
Nenek. Asyik, kan?
Skema perjalanan yang sangat menjanjikan.
Menggambarkan petualangan baru yang unik. Tak
bisa tidak, Puan merasa harus segera berangkat.
Bisa jadi, ini akan menjadi petualangan menarik di
hari-hari akhirnya sebagai wanita lajang. Sebelum
dia berubah status menjadi Nyonya Limar!
Semua persiapan pernikahan itu sudah hampir
selesai, sampai sedetail-detailnya. Tapi, Puan
melupakan satu persiapan penting: mentalnya.
Mereka sudah bertahun-tahun menjalin
hubungan. Rentang waktu itu membuktikan bahwa
Limar adalah pilihan terbaik untuknya. Jadi,
mengapa harus muncul segala kegelisahan ini?

28
Aku, kalimat Puan tersendat, tertekan rasa
putus asa.
Itulah yang namanya sindrom. Datang seperti
virus, tanpa bisa dicegah. Tapi, jangan khawatir.
Ayo, kita cari solusinya bersama-sama, kata
Jingga, berusaha menenangkan.
Apa yang harus kulakukan? tanya Puan,
pasrah.
Jingga berpikir sesaat.
Rasanya, kau perlu refreshing beberapa hari.
Liburkan dirimu dari rutinitas, kosongkan pikiran,
dan lupakan segala urusan. Kau bisa pergi ke suatu
tempat yang belum pernah kau kunjungi dan
lakukan apa pun yang kau sukai, kata Jingga,
memberi saran.
Puan agak bingung. Tidak yakin pada pilihan
yang diberikan Jingga.
Coba saja. Paling tidak satu minggu. Lakukan
dengan maksimal. Bebaskan hatimu dari segala

29
beban. Bila mungkin, lupakan kami semua untuk
sementara. Putuskan kontak, termasuk dengan
Limar.
Kau yakin itu semua akan berhasil?
Abaikan berbagai kemungkinan tentang
hasilnya. Itu juga termasuk beban yang bisa
mengganggu. Yang penting, bebaskan hati, jalani
hari seperti air mengalir.
Masalahnya, aku harus pergi ke mana?
Pilih sesuka hatimu: Bali, Kampung Sampireun,
atau Danau Toba? Semua terserah kamu.
Puan menggeleng. Aku tidak mau tinggal di
hotel sendirian. Tapi, tempat wisata yang terlalu
ramai juga akan mengganggu.
Jadi, tempat macam apa yang kau inginkan?
Puan mengerjapkan mata. Suatu tempat yang
sunyi. Ada banyak pohon hijau, seperti desa atau
hutan. Aku akan melukis di antara keteduhan
pohon-pohon itu.

30
Ha, aku tahu! seru Jingga, seolah baru
menemukan sesuatu. Kamu ke desa nenekku
saja.
Di mana? Puan antusias.
Tanah Bumi. Sebuah kampung kecil yang penuh
hutan karet, ladang cokelat, dan sungai di lembah.
Tempat yang sangat inspiratif untukmu.
Mata Puan membesar, menyiratkan imajinasi
yang berkelana.
Kalau begitu, antar aku, dong, ke sana.
Tidak! Sudah kukatakan, proses ini akan
memberikan hal baru untukmu. Jangan melibatkan
lingkungan lama. Petualangan akan dimulai sejak
menit pertama keberangkatanmu.
Tapi, nenekmu kan tidak mengenal aku.
Sudah. Aku sering bercerita tentang teman-
temanku padanya. Jadi, tak perlu khawatir. Nanti
akan kukirim kabar padanya.
Lalu, bagaimana caranya aku pergi ke sana?

31
Gampang, naik pesawat saja sampai di ibu
kota provinsi, lalu disambung dengan kereta api.
Turunlah di Stasiun Tanah Bumi. Dari stasiun ada
bendi yang bisa mengantarmu sampai di rumah
Nenek. Asyik, kan?
Skema perjalanan yang sangat menjanjikan.
Menggambarkan petualangan baru yang unik. Tak
bisa tidak, Puan merasa harus segera berangkat.
Bisa jadi, ini akan menjadi petualangan menarik di
hari-hari akhirnya sebagai wanita lajang. Sebelum
dia berubah status menjadi Nyonya Limar!
Kereta berderak-derak, mengalun seirama laju
roda di atas rel kereta tak berujung. Rel besi itu
membujur panjang, membelah sawah, melintas
sungai, melewati tepian kampung, dan sesekali
melintas di jalan raya. Rute terpanjang adalah
lintasan di persawahan. Padi hijau, sebagian
menguning, terhampar luas bagai permadani.
Dilengkapi langit biru cerah serta bayangan gunung

32
di kaki langit, merupakan lukisan alam yang begitu
menakjubkan. Sama persis dengan yang ditemukan
pada pelajaran menggambar semasa SD.
Dari balik kaca jendela kereta, areal
persawahan melintas cepat, berkelebat
menampakkan hamparan hijau berganti-ganti.
Puan mengerjapkan mata, menikmati
pemandangan yang menyentuh hati itu. Hijau
segar, kuning menyejukkan.
Puan teringat sesuatu dan tersenyum. Dulu,
pada masa kanak-kanak, bakat melukisnya
pertama kali ditemukan Ibu melalui lukisan sawah
yang dibuatnya.
Coretan garismu tajam sekali, Nak, gumam
Ibu, meneliti buku gambarnya. Kau mencontoh
buku lain?
Puan kecil tertawa sembari menunjuk kalender
di dinding. Ibu tercengang. Di kalender dinding itu
terdapat foto pemandangan. Puan kecil

33
memindahkannya pada kertas gambar. Coretan
khas anak-anak yang menggunakan pensil. Tapi,
coretan itu begitu hidup, menunjukkan talenta
khusus pembuatnya.
Tangisan seorang anak membuyarkan lamunan
Puan. Refleks dicarinya sumber suara itu. Pada
bangku di deret seberang seorang balita merengek
di pangkuan ibunya. Barangkali, anak itu lapar
atau haus. Tapi, rupanya ibunya hanya berbekal
sebotol air mineral yang tidak memuaskan hatinya.
Puan membuka tas. Ada beberapa potong
cokelat dan wafer dalam kotak bekalnya.
Diulurkannya kotak bekal itu dan mempersilakan
anak itu memilih.
Sang ibu bergerak akan menolak, tapi anaknya
lebih sigap. Matanya seketika bercahaya ketika
meraih cokelat.
Terima kasih. Turun di mana? tanya si ibu.
Tanah Bumi.

34
Stasiun kecil itu?
Puan mengangguk.
Tumben, tidak biasanya orang kota turun di
sana. Berarti, kau harus turun dengan cepat.
Kereta berhenti hanya beberapa menit, kata si
ibu, memberi saran.
Benar apa yang dikatakan ibu itu. Kereta
berhenti sangat sebentar. Baru saja Puan selesai
menurunkan tas perlengkapan lukisnya, kereta
telah bergerak melanjutkan perjalanan. Untung
saja seorang bapak sigap meraih tasnya.
Terima kasih, kata Puan.
Neng Puan? Dari kota? tanya bapak itu.
Puan terkejut. Bagaimana Bapak tahu?
Nenek Umi mengutus saya untuk menjemput
Neng. Ini musim panen. Jadi, banyak sais bendi
pergi ke ladang. Nenek Umi khawatir Neng Puan
kesulitan mencari bendi.

35
Puan meneliti sekeliling. Stasiun Tanah Bumi ini
begitu kecil, hanya berupa bangunan tua yang
sederhana. Bangunan tua yang kusam dan sunyi.
Sesaat Puan tersadar, dia satu-satunya penumpang
yang turun di stasiun itu. Dan, bendi? Hanya ada
satu bendi yang parkir di halaman. Tentulah itu
bendi utusan Nenek Umi. Beruntung betul Nenek
Umi mengutus bendi itu. Bila tidak? Puan tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi padanya.
Memang benar ia mengharapkan petualangan baru.
Tapi, bukan bermalam sendirian di stasiun
terpencil nan sunyi.
Ayo, Neng. Sebentar lagi sore. Bendi ini tidak
berlampu. Kita harus melewati hutan karet
sebelum petang, Bapak sais bergegas
mengajaknya berangkat.
Puan mengikuti langkahnya.
Beruntung senja turun lebih lambat sehingga
hutan karet terlewati dengan lancar. Bendi

36
berhenti tepat di depan rumah Nenek Umi saat
gelap menjelang. Di beranda rumah panggung
Nenek Umi sudah menunggu.
Bagaimana perjalanannya? Menyenangkan?
Nenek Umi menyambut salam Puan.
Puan mengangguk. Mendebarkan. Hutan karet
sangat rimbun. Jika terlambat sedikit saja, pasti
kami harus berjalan dalam gelap.
Nenek Umi tersenyum. Ini malam purnama.
Cahaya bulan akan menolong dan memberikan
pemandangan malam yang indah.
Puan bergidik. Tapi, saya tidak cukup berani
untuk itu. Gelap di kamar sendiri saja saya takut,
apalagi malam gelap di hutan karet.
Nenek tertawa. Apakah kau memang benar-
benar penakut?
Puan mengangguk, menyimpan malu.
Sayang sekali, rasa takut itu tidak mungkin kau
manjakan di sini. Di sini segala sesuatunya serba

37
terbatas. Tidak ada PLN atau PAM yang tersedia 24
jam sehari. Listrik menyala hanya sampai pukul 9
malam. Sesudah itu yang ada hanya lampu minyak.
Kau harus belajar tidur dalam gelap karena Nenek
tidak ingin lampu minyak menyala sewaktu tidur.
Terlalu riskan. Rumah panggung kayu sangat
sensitif terhadap api.
Puan tertegun. Hal-hal semacam itu di luar
perhitungannya. Ia terlalu terobsesi pada faktor
petualangan baru sehingga melewatkan hal-hal
sepele. Puan melirik ponsel di dalam tas. Tadi
sudah ditelitinya, tidak ada sinyal! Barangkali,
sudah terlambat untuk minta pertolongan Limar
atau siapa pun. Kaki sudah melangkah. Detik awal
petualangan sudah dimulai. Malam sudah turun dan
gelap menghadang di segala sudut. Dia tidak bisa
lagi mengurungkan niat. Jadi, apa boleh buat?
Langkah ini harus diteruskan hingga selesai, apa
pun yang terjadi. Benar kata Nenek Umi. Ia harus

38
belajar berhenti memanjakan rasa takut. Dimulai
malam ini, dengan tidur dalam gelap.
Pagi hari, Puan dibangunkan oleh suara ayam
berkokok. Astaga, suara kokok ayam itu, sudah
berapa tahun tidak didengarnya? Suara yang sangat
langka untuk wilayah perkotaan. Seingatnya, ia
terbiasa mendengar suara itu ketika masa anak-
anak dulu. Dulu sekali.
Suara kokok ayam jantan itu terus terdengar.
Sesudah itu disusul oleh suara kotek ayam betina
dan ciap-ciap anak ayam. Paduan suara yang riuh
itu memecah keheningan pagi.
Puan membuka mata. Sesungguhnya, dia masih
mengantuk. Pagi begitu dingin. Pasti nyaman
melanjutkan tidur dalam balutan selimut hangat.
Tapi, alam tidak pernah menunggu. Kokok ayam
telah membangunkan segala sesuatu. Langit mulai
terang. Kicau burung bersahutan di dahan. Paduan
keindahan yang langka, yang selama ini hanya

39
Puan temukan pada buku dongeng. Pada kehidupan
nyata, yang membangunkannya setiap pagi adalah
jam weker dan pekikan klakson, serta deru mobil
lalu-lalang di seputar rumah.
Jadi, Puan tidak memiliki alasan yang signifikan
untuk melanjutkan tidur. Pagi yang luar biasa telah
hadir mengawali hari. Segera dibukanya selimut.
Tidur nyenyak? sambut Nenek Umi di ambang
pintu.
Sangat pulas, kata Puan, tersipu.
Tidak takut gelap?
Awalnya berdebar, tapi cahaya bulan sangat
membantu. Jadi, kubuka tirai jendela. Cahaya
bulan begitu terang bagai lampu pijar menerangi
kamar.
Apakah di kota kau juga bangun sepagi ini?
Tidak, tapi suara ayam tak bisa membuatku
tidur lagi.

40
Itu si Burik. Dia selalu gaduh tiap pagi. Ayo,
sarapan.
Nenek Umi menuangkan teh. Hmm, aroma
wangi berbaur sepat terasa menggoda. Pasti teh
hangat manis itu sangat sedap rasanya. Puan
menghirup teh sambil meneliti menu sarapan.
Ketan putih, kelapa parut, bubuk kedelai, serta
cairan kental gula merah. Menu sarapan yang tidak
biasa.
Jingga bilang, kau tidak perlu mendapatkan
perlakuan istimewa. Apa adanya saja sesuai
kebiasaan di rumah ini, Nenek Umi membaca
pikiran Puan.
Betul, Nek, memang itu yang saya perlukan.
Menjalani sesuatu apa adanya, tanpa beban apa
pun juga.
Jalani hidup seperti air, Nak. Hidup akan
mengalir sesuai takdirmu. Ikuti kata hatimu,
pergilah ke mana ia membawamu.

41
Seperti judul novel.
Puan menyimpan senyum. Nenek yang hebat.
Pantas bisa kompak dengan cucunya. Sesaat
kemudian Puan menikmati sarapannya. Ketan putih
yang legit ditambah kelapa parut gurih, manis gula
merah, dan bubuk kedelai. Hmm, sedap.
Di pasar tradisional dekat tempat tinggal Nenek
Umi, Puan berdiri di ambang gapura. Di
hadapannya berjajar pedagang yang menggelar
barang dagangan dengan peralatan seadanya.
Tikar, meja kayu sederhana, wadah bambu, besek,
dan karung goni. Lokasinya di alam terbuka. Jenis
dagangannya beraneka ragam, mulai dari sayuran,
buah-buahan, jajan pasar, hingga peralatan masak
tradisional.
Puan mengedarkan pandangan. Nenek Umi
bilang, pasar hanya ada lima hari sekali sesuai hari
pada penanggalan Jawa, yaitu Pon, Wage, Kliwon,
Legi, dan Pahing. Entah ini hari apa. Puan tidak

42
paham. Dia hanya ingin melihat-lihat. Siapa tahu
ada yang menarik hati.
Puan berjalan berkeliling. Ternyata, ia
menemukan banyak hal menarik. Komunikasi
antara para pedagang dan pembeli yang
menggunakan bahasa daerah, tidak semua bisa
dipahaminya. Tapi, hatinya terhibur mendengar
logat dan gaya mereka yang khas. Lalu, dilihatnya
buah itu. Bulat, kuning kehijauan, bertabur tepung
putih serupa bedak. Kesemek. Sudah lama sekali
tak dilihatnya buah itu.
Berapa? tanya Puan.
Tahu calon pembelinya adalah seorang
pendatang, penjual itu langsung memanfaatkan
situasi. Ia menyebutkan sebuah harga.
Puan menghela napas. Dia tahu, itu harga
rekayasa. Puan baru akan mengajukan penawaran
ketika mendadak datang seseorang.
Satu kilo, seru pembeli baru itu.

43
Penjual dengan sigap segera menimbang.
Berapa? tanyanya, sambil menerima buah
kesemeknya.
Sang penjual dengan senyum kemenangan
memamerkan uang pembayaran itu pada Puan.
Secara demonstratif, seakan menunjukkan bahwa
harga dagangannya adalah harga yang pantas.
Puan terperangah. Sikap demonstratif itu
mendadak memicu kemarahannya. Ia menatap si
pembeli kurang ajar yang menyerobot peluangnya
menawar harga itu dengan sengit. Pembeli itu
adalah seorang pria jangkung berambut ekor kuda,
mengenakan jins, t-shirt putih, dan sepatu kanvas.
Kostum yang sangat kota. Menunjukkan dengan
jelas bahwa dia bukan penduduk setempat. Sosok
itu sudah berjalan menjauh.
Puan mengejar langkahnya. Perasaan sebagai
sesama pendatang, mendorongnya untuk
memberikan sedikit teguran. Kalau bus kota saja

44
punya aturan untuk tidak saling mendahului,
setidaknya etika sejenis juga berlaku untuk sesama
pendatang.
Mestinya, kau bisa lebih sopan sedikit! tegur
Puan secara langsung ketika berhasil mengejar pria
kota itu.
Langkah pria itu terhenti. Ditatapnya Puan
dengan heran.
Maaf, kau sedang bicara padaku? Ada apa?
tanyanya.
Ada apa? Astaga, dia bahkan tidak tahu apa yang
dilakukannya. Sungguh terlalu. Puan menahan
kegeraman hatinya.
Kau bahkan tak tahu apa yang kau lakukan?
serunya, marah.
Pria itu menggeleng. Tatap matanya begitu
polos.
Apa yang kulakukan? Seingatku, aku tidak
melakukan apa-apa. Bangun pagi seperti biasa,

45
mandi, dan pergi ke pasar membeli buah ini. Itu
saja. Kalau terjadi hal lain selain yang kuingat itu,
berarti aku mengalami amnesia.
Mata Puan menajam. Sikap main-main pria itu
sungguh menjengkelkannya. Hampir saja
kemarahannya memuncak. Tapi, pada detik yang
sama disadarinya bahwa sikap itu bisa berlanjut.
Dan, bila itu ditanggapinya, sungguh tidak sepadan
dengan apa yang sedang diperjuangkannya. Apa
yang diperjuangkannya adalah harga rekayasa,
yang sesungguhnya sangat sepele. Jadi, sangat
tidak layak bila kasus ini dilanjutkan lebih lama
lagi.
Jadi, sudahlah. Gumam Puan dalam hati,
melangkah pergi.
Hei, tunggu. Jadi, bagaimana? seru pria itu
masih heran.
Puan tetap meneruskan langkahnya seakan tak
mendengar.

46
Tunggu! Katakan dulu, ada apa? pria itu
mengejar Puan.
Tidak perlu. Nikmati saja amnesiamu, sahut
Puan, ketus.
Karena amnesia, Matt Damon sebagai Jason
Bourne mengalami petualangan yang menantang.
Tapi, aku di Tanah Bumi ini, petualangan macam
apa yang akan kualami?
Apa peduliku?
Tapi, kau harus! pria itu menghadang langkah
Puan. Kau yang tiba-tiba memberikan tanda tanya
besar ini. Katakan, apa yang terjadi? Apa yang
kulakukan?
Langkah puan terhenti. Tatap matanya tajam
menyambar. Baru disadarinya bahwa mata pria itu
polos bernada tanya. Jadi, benar bahwa dia tidak
tahu apa yang telah dilakukannya?
Aku sedang menawar buah kesemek itu. Tapi,
kau mendadak membayar. Itu artinya, kau

47
menggagalkan penawaranku. Sungguh tidak
sopan.
Oh, itu. Jadi, soal buah ini? Apa namanya?
Kesemek?
Mendadak pria itu terbahak, tertawa lepas.
Aku bahkan tidak tahu nama buah ini. Apalagi
harganya.
Itulah, bukannya menunggu aku menawar, kau
malah langsung membayar, seru Puan, jengkel.
Sorry, aku tidak tahu bahwa kau sedang
menawar. Aku hanya menginginkan buah ini. Jadi,
langsung saja kubayar. Selesai.
Itu harga yang terlalu mahal untuk buah
kesemek!
Maaf, aku betul-betul tidak tahu, pria itu
angkat bahu.
Seharusnya, cuma....
Apalah artinya? Pria itu menghentikan
kegusaran Puan. Semahal apa pun harga buah ini,

48
angkanya hanya berkisar empat digit saja. Artinya,
tetap di bawah sepuluh ribu rupiah. Angka yang
relatif kecil untuk orang kota sepertimu. Bahkan
pita rambutmu pasti lebih mahal dari itu.
Puan tertegun. Sesaat disadarinya bahwa dia
baru saja melakukan sesuatu yang tak layak,
tepatnya memperjuangkan kepelitan.
Menghabiskan energi untuk menentang harga yang
tidak seberapa.
Benar juga, gumam Puan, menyadari diri.
Tidak setiap hari dia bertemu pembeli seperti
kita, bukan?
Itulah. Bisa bertemu kita hari ini adalah
keberuntungan pedagang itu. Dan, kalau kita
berkesempatan untuk menjadi saluran berkat bagi
rezeki orang lain, itu adalah anugerah istimewa
buat kita.
Puan tersenyum. Kalimat yang bijak. Dapat
dari mana?

49
Entahlah, kuingat begitu saja. Hmm, aku
Darga.
Puan menyambut uluran jabat tangan itu.
Jemari Darga terasa liat sekaligus lunak dalam
genggamannya.
Apa yang sedang kau lakukan di sini? tanya
Darga kemudian.
Puan berpikir sesaat. Apa yang harus
dikatakannya? Haruskah diceritakannya tentang
kegelisahan hati itu?
Sekadar berlibur? Darga mendesak.
Ya... barangkali semacam itu.
Atau, melarikan diri dari sesuatu?
Puan mengangkat kepala. Pertanyaan Darga
mulai menyudutkannya. Refleks, gerak pertahanan
dirinya mulai bereaksi.
Mengapa kau berpikir begitu?
Kau menjawab dengan tidak jelas. Tapi, tidak
ada indikasi berbohong. Kulihat, kau bahkan tidak

50
tahu apa yang kau inginkan. Jadi, kurasa kau hanya
ingin melakukan pelepasan dari sesuatu. Begitu?
Puan terpana. Darga sungguh menyudutkannya.
Apakah kau selalu ingin tahu urusan orang
lain? serunya, tajam.
Tidak. Tapi, kalau sekarang kulakukan, aku
punya alasan! Aku sedang melakukan peninjauan
awal sebuah proyek di kawasan ini. Ini proyek
bisnis yang melibatkan orang-orang tertentu.
Karena itu, kehadiran orang lain, membuat kami
waspada. Bisnis selalu penuh risiko. Kami harus
selalu berhati-hati. Itu alasanku.
Puan manggut-manggut. Tenang saja. Aku
bukan siapa-siapa. Aku pengangguran yang tidak
berkaitan dengan institusi mana pun, apalagi
investor pesaing atau apa pun yang semacam itu.
Darga menatap gadis itu. Tatapannya begitu
dalam, seakan masuk begitu jauh menjelajah
segala sudut hati. Puan mendadak berdebar. Mata

51
itu sangat mendebarkan. Sensasi yang belum
pernah dialaminya.
Apakah ini termasuk pengalaman baru yang
dijanjikan Jingga?
Oke, aku percaya, paling tidak untuk
sementara, kata Darga, menghentikan
tatapannya.
Puan mengangguk tanpa suara. Dia tidak tahu
harus berkata apa.
Aku tinggal di lembah selatan. Kalau kau
menyusuri sungai, pada satu tepiannya kau akan
menemukan pohon tumbang dan pondok kayu
bekas peti kemas. Aku tinggal di situ.
Memang kau pikir aku akan mengunjungimu?
Mungkin saja. Untuk seseorang yang tidak tahu
akan melakukan apa, hari-hari di sini akan terasa
panjang. Tidak ada alat bantu untuk menemanimu
membunuh waktu. Jadi, tak ada pilihan lain
bagimu, selain berteman denganku.

52
Senyum Darga mengembang. Kalau kau tidak
datang, aku yang akan mencarimu.
Tidak akan kukatakan tempat aku tinggal,
tantang Puan.
Apa susahnya? Tidak ada hotel di sini. Jadi, kau
pasti tinggal di rumah penduduk.
Puan kehilangan selera untuk membantah.
Darga melangkah pergi. Langkahnya ringan,
namun tegap, menampakkan ketangguhan. Samar
terdengar siulan mengiringi langkahnya.
Kalimatnya indah. Tatap matanya
menggetarkan hati. Bahkan, Limar pun tak pernah
memandangnya begitu tajam, tak pernah
mengucapkan kata-kata seindah itu....
Suatu petang Darga membuktikan janjinya. Dia
menemukan Puan di antara jajaran pohon karet.
Siang itu agak panas sehingga Puan bermaksud
menikmati keteduhan di sana. Dibawanya
perangkat lukis, berharap akan menemukan objek

53
yang menarik. Tapi, bukannya ide yang datang,
justru kantuk yang membuai. Puan bersandar pada
sebatang pohon dan tertidur.
Beberapa saat kemudian helaian kelopak bunga
jatuh menyentuh pipinya. Puan membuka mata.
Astaga, Darga sedang berjongkok di sampingnya.
Kau mengagetkan aku. Ngapain di sini?
Darga tersenyum. Menunggumu bangun.
Anginnya sangat nyaman. Mengapa kau
membangunkan aku?
Harus. Sebentar lagi gelap. Apalagi di hutan
seperti ini. Gelap lebih cepat datang, juga
binatang malam.
Refleks Puan melompat dan berdiri.
Tidak perlu tergesa, ini masih petang, masih
ada waktu. Jadi, kau pelukis? Tapi, kanvasmu
masih kosong. Belum menemukan ide? tanya
Darga, sambil menunjuk alat-alat lukisnya.

54
Puan menggeleng. Darga meraih tangannya dan
membawa gadis itu mengikuti langkahnya.
Kutunjukkan sesuatu yang inspiratif.
Darga membawa Puan pada sebuah tempat di
ketinggian. Di bawahnya terhampar sebuah
lembah. Lembah di kaki gunung dengan alur sungai
berkelok-kelok, berair bening, membelah hutan
pinus dan hutan karet pada kedua sisinya.
Lembah yang cantik, gumam Puan, takjub.
Tunggulah, sebentar lagi efek matahari
tenggelam akan memunculkan kesan magis yang
unik.
Benar. Sesaat kemudian, ketika matahari mulai
bersembunyi di balik bukit, sisa sinarnya
memunculkan semburat cahaya jingga. Dari
tempatnya berdiri, Puan melihat jelas pergerakan
cahaya melewati daun-daun. Hutan bagai berlapis
warna, ada semburat cahaya kuning, jingga, dan
merah saga.

55
Luar biasa. Indah sekali, Puan kehilangan
kata-kata.
Rekam dalam benakmu. Perhatikan sedetail
mungkin dan besok pindahkan ke kanvasmu, bisik
Darga.
Saran yang baik.
Menakjubkan, bukan? Aku melihatnya hampir
setiap hari. Itu salah satu yang membuatku betah
di sini, kata Darga.
Salah satu? Berarti ada yang lain?
Tentu saja. Ada hutan karet yang
menidurkanmu tadi, aliran sungai, dan bulan
purnama di tebing ini. Kalau beruntung, seusai
hujan terkadang muncul pelangi di sini.
Sungguh? Aku sudah lama tidak melihat
pelangi.
Kalau begitu, berdoalah minta hujan di siang
hari. Siapa tahun Tuhan bermurah hati

56
memunculkan pelangi untukmu. Sekarang, ayo,
kuantar pulang. Darga mengulurkan tangan.
Kau pasti ingin tahu di mana aku tinggal, kata
Puan.
Aku sudah tahu. Rumah Nenek Umi, kan?
Puan mengerling. Lalu, untuk apa
mengantarku? Malam baru mulai. Aku bisa pulang
sendiri.
Di kota, malam seperti ini memang masih dini.
Di sini pun kondisi sosial relatif aman. Tapi, ingat,
ini hutan karet. Kau tak berbekal cahaya. Ada
beberapa binatang malam yang terkadang muncul
begitu saja. Meski tidak menyerang, akan cukup
mengagetkan dan pasti membuatmu panik. Aku
tidak yakin kau mampu mengatasinya sendirian.
Puan terenyak. Ia baru ingat harus melewati
hutan karet.
Oke, kalau kau keberatan, begini saja, aku
akan berjalan beberapa meter di belakangmu.

57
Sampai di batas perkampungan, kau bisa pulang
sendiri. Bagaimana?
Puan menunduk. Lebih baik kita berjalan
bersama-sama saja.
Darga mengangkat alis, matanya tertawa
menggoda. Yakin?
Pipi Puan merona dadu. Dianggukkannya kepala,
mencoba menyembunyikan rona wajahnya. Tapi,
Darga telanjur melihatnya. Cahaya bulan
membantu pria itu melihat ranum dadu di pipi
Puan.
Siang sudah terik ketika Puan menyudahi
lukisannya. Lukisan tentang senja eksotis di
lembah yang dilihatnya kemarin. Lukisan itu belum
selesai, masih memerlukan penyempurnaan. Puan
tidak membawa semua perlengkapan lukisnya.
Tapi, sebagai sketsa awal, cukuplah. Puan ingin
menunjukkannya pada Darga.

58
Ragu-ragu Puan menghentikan langkah. Pondok
kayu yang dicarinya ada di bantaran sungai.
Pondok itu sederhana, hanya berhias pintu dan
jendela tanpa tirai yang terbuka lebar. Diketuknya
pintu.
Suara Darga menjawab ketukan. Setengah menit
kemudian Darga muncul di ambang pintu dan
mengajaknya masuk.
Puan ragu-ragu. Nalurinya mengatakan, Darga
sedang melakukan sesuatu. Gerakannya tampak
terburu-buru. Anehnya, ada semacam tepung putih
pada hidung dan lengannya.
Sedang sibuk? tanya Puan.
Tidak, masuklah. Darga membuka pintu lebih
lebar.
Tapi, ada tepung menempel, Puan
memberikan isyarat.
Darga mengusap hidung dengan lengannya.

59
Kau sedang melakukan sesuatu. Lebih baik
tidak kuganggu. Lain kali aku datang lagi. Puan
beranjak pergi.
Tunggu, aku sama sekali tidak terganggu. Aku
sedang memasak.
Mata Puan membesar. Darga mengajak Puan
mengikuti langkahnya.
Masak apa? tanya Puan, heran.
Tumis sawi dan bakwan kampung.
Kau pandai memasak?
Apa susahnya? Tumis sawi cuma memerlukan
bawang putih dan garam. Untuk bakwan, campur
saja semua bahan: terigu, telur, wortel, taoge,
beri air sedikit, dan digoreng kecil-kecil. Sangat
gampang.
Puan takjub. Darga menjelaskan semua itu
dengan lancar. Gerakan tangannya saat memotong
sayuran dan mengaduk adonan juga sangat luwes.
Sungguh tidak terduga. Sama sekali tidak terlintas

60
di benaknya bahwa teman barunya ini mampu
menguasai dapur dengan sangat baik.
Belajar dari mana? Puan tak mampu menahan
rasa ingin tahu.
Ibuku. Ayah meninggal sejak aku balita. Jadi,
kami banyak melakukan hal bersama, termasuk
memasak.
Tapi, kau tetap maskulin.
Darga tergelak. Sekarang, ayo, makan. Kau
harus mencicipi hasil karyaku.
Di lantai kayu Darga menggelar tikar pandan.
Dihidangkannya hasil masakannya: nasi putih
hangat, tumis sayur sawi hijau, bakwan goreng,
dan cabe rawit. Makan siang yang istimewa.
Puan menatap Darga. Dia seorang pria yang
berteladan pada ibunya. Jadi, ia memperlakukan
wanita lain seperti menjaga ibunya sendiri. Tipe
pelindung sekaligus pintar memasak. Perpaduan
yang unik.

61
Mengapa tidak menyempurnakan lukisanmu
dengan warna yang ada. Maksimalkan saja warna
yang ada. Kalau ternyata warna itu tidak sesuai
dengan objek aslinya, apa salahnya? Kau bukan
pelukis potret. Objek yang ada hanya sekadar
inspirasi, selanjutnya kemampuan kreatifmulah
yang menentukan jiwa lukisanmu.
Tapi, aku ingin memindahkan senja yang indah
itu ke kanvas.
Boleh saja. Tapi, jangan memasung jiwa dalam
lukisanmu. Kalau hanya memindahkan objek,
kamera digital mampu melakukannya dengan lebih
baik. Tapi, lukisan membawa sesuatu yang
berbeda, coretanmu berjiwa, merepresentasikan
apa yang ada dalam dirimu.
Puan tercenung. Dalam diam ditatapnya Darga,
nyaris tanpa kedip. Ia telah membuat banyak
lukisan selama ini. Diterimanya beberapa kritik

62
dan ulasan. Tapi, baru kali ini didengarnya analisis
yang sedemikian dalam.
Filsuf Alfred Tonele mengatakan, The artist
does not see things as they are, but as he is.
Seorang seniman tidak melihat sesuatu
sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana dia
kehendaki. Bukankah begitu? tanya Darga, serius.
Puan kehilangan kata-kata. Sosok Darga terlalu
banyak memberi kejutan.
Hari berikutnya Puan kembali ke tebing. Analisis
Darga menantangnya untuk menyelesaikan sketsa
awalnya menjadi lukisan yang lebih baik, tanpa
terhalang oleh koleksi warna cat airnya yang tidak
lengkap. Puan ingin membebaskan dirinya
menggunakan warna yang ada.
Menjelang tengah hari, matahari hampir
mencapai titik kulminasinya. Panasnya bersinar
dengan kekuatan penuh. Puan yang sedang asyik
dengan kuas dan kanvasnya seakan terlena, tak

63
menyadari bahwa sinar ultraviolet sedang
menyerap energinya.
Sesaat kemudian serangan awal mulai
menampakkan gejalanya. Pandangan Puan mulai
berkunang-kunang, diikuti keringat dingin dan
sesak napas, ditambah nyeri perut bawah seakan
terpelintir.
Tertatih Puan mencari tempat berteduh dan
bersandar di batang pohon. Perlahan diaturnya
napas, meredakan sesak di dada. Diusapnya peluh
di dahi, sembari menahan nyeri perutnya. Puan
tahu, ia mengalami gejala awal proses pingsan.
Puan memerlukan sesuatu untuk menghentikan
gejala itu. Tapi, rumah Nenek Umi terlalu jauh. Ia
tidak akan bertahan berjalan sejauh itu. Lokasi
terdekat adalah pondok Darga.
Puan menghimpun tenaga untuk berjalan ke
pondok Darga, mencari pertolongan pertama.
Dengan pandangan nyaris kabur dan sisa tenaga,

64
akhirnya Puan mampu mencapai pondok itu. Gadis
itu tersungkur di beranda kayu, menimbulkan suara
berdebam. Suara yang memanggil pemilik rumah.
Darga membuka pintu dan terkejut.
Kau pucat sekali. Ada apa? seru Darga, sambil
meraih Puan.
Tolong, lukisanku masih di tebing, gumam
Puan, kehabisan napas.
Nanti kuambil. Yang penting, sekarang kau
sembuh dulu, kata Darga, sambil memapah gadis
itu masuk pondok dan membaringkannya. Dengan
cepat disiapkannya teh manis.
Minumlah, kau hampir pingsan. Apa kau tidak
sarapan?
Puan meneguk habis teh manis itu. Cairan yang
melegakan dan memberikan energi baru untuknya.
Sudah, tapi sedikit.

65
Darga menyeka peluh di dahi gadis itu.
Mungkin, kau anemia atau tekanan darahmu
turun.
Puan memejamkan mata. Nyeri perutnya makin
melilit.
Perutku sakit sekali. Ada obat gosok?
Tidak ada, tapi tunggu sebentar. Darga segera
beranjak.
Beberapa saat kemudian ia kembali dengan
botol kecil berisi air panas yang dibalut sapu
tangan.
Taruh ini di perutmu. Gulingkan perlahan. Pasti
sakitnya akan mereda.
Puan tampak ragu.
Coba saja. Ibuku dulu juga melakukannya. Aku
sering membantunya menggulingkan botol di
perutnya.

66
Puan mengangguk. Tolong, dong, segera ambil
lukisanku di tebing. Kau harus cari sampai
ketemu, kata Puan.
Darga mengangguk. Cobalah untuk tidur
sebentar supaya tensimu normal.
Puan mengangguk.
Menjelang sore, Puan baru bangun. Begitu pulas
tidurnya sehingga dia nyaris lupa berada di mana.
Dia berbaring pada sebuah kasur busa tanpa dipan.
Perlahan diamatinya sekeliling. Dia terbangun di
sebuah ruangan sederhana yang berisi seperangkat
meja gambar, gulungan kertas kalkir rancang
bangun di sudut ruang, tumpukan buku arsitektur,
dan CD. Di sudut meja lukisan senjanya tersandar
di dinding.
Perlahan kemudian kesadarannya muncul. Detik
berikutnya dirasakannya perutnya hangat. Botol
berisi air itu masih menempel di perutnya. Sudah
sesore ini, mana mungkin botol itu tetap panas

67
sejak tadi siang? Pasti air panas di dalamnya sudah
diperbarui. Itu berarti, Darga sudah melihat perut
dan pusarnya.
Puan jengah. Dengan cepat dia bangun dan
melangkah keluar. Sungguh tidak nyaman
menyadari diri berada di kamar seorang pria asing.
Ia bahkan belum pernah masuk ke kamar Limar.
Darga ditemukannya di tengah ruangan. Tampak
sedang melakukan sesuatu pada gambar rancang
bangunnya yang terhampar di lantai kayu.
Hai, sudah sehat? sapa Darga menyambut.
Puan mengangguk, lalu bersimpuh di lantai,
mengamati kertas gambar. Jadi, kau arsitek?
Darga mengangguk dan menerangkan tentang
proyek resor yang sedang dikerjakannya.
Kau mengingatkanku pada Lee Jung Jae.
Seorang aktor Korea.
Aku tidak tahu. Hanya satu kali kulihat film
Korea. Itu pun bukan untuk melihat filmnya,

68
melainkan untuk melihat karya arsitektur yang
dipakai sebagai lokasi. Rancangan itu bagus.
Sebuah rumah yang dibangun di atas laut atau
danau, yang di musim tertentu airnya mengering.
Rumah yang setiap pergantian musim menampilkan
pemandangan berbeda.
Apakah rumah itu berdermaga panjang dengan
kotak surat di ujung dermaga? sambung Puan.
Ya, kotak surat ajaib yang mempertemukan
dua dimensi waktu.
Puan mengangguk. Lee Jung Jae adalah si
pemilik rumah berdermaga itu.
Darga menghentikan gerakannya. Diangkatnya
mata dan ditatapnya Puan lurus.
Kurasa, aku sama sekali tidak mirip
dengannya.
Mengingatkan tidak harus berarti mirip. Kau
hanya serupa. Tidak cakep, tapi menarik.

69
Dengan kata lain, kau mengatakan bahwa aku
menarik?
Tidak, bukan begitu maksudku, bantah Puan,
jengah. Aku lapar. Lebih baik aku pulang,
sambungnya, sambil berpamitan.
Tunggu, aku punya sesuatu untukmu. Kau
beruntung, aku punya sepotong ayam hari ini.
Darga menghidangkan semangkuk bubur. Kumasak
bubur ayam. Memang tidak lengkap karena tidak
ada cakue dan emping, kuganti dengan dadar iris
dan bawang goreng. Makanlah, pasti enak selagi
hangat begini.
Puan tertegun. Apa yang dilakukan Darga, untuk
kesekian kali, sungguh tidak terduga. Hal-hal tidak
terduga yang menyentuh hati. Darga sungguh
membuat hatinya bergetar.
Terima kasih. Puan menerima uluran itu.
Apakah kau selalu sebaik ini?

70
Tentu tidak. Hanya karena kau sedang sakit
saja.
Karena itu mengingatkanmu pada ibumu?
Darga mengangguk.
Di mana ibumu sekarang? tanya Puan.
Di rumah.
Aku rasa, kau sedang merindukannya.
Darga terdiam. Sejurus ditatapnya Puan.
Tatapan itu begitu dalam, begitu jauh. Seakan
menjelajah sudut hati Puan. Hati Puan bergetar
hebat. Tatapan itu sangat menggetarkan hati.
Bahkan, tatapan Limar pun tidak pernah
memberikan getar sedahsyat ini. Dengan susah
payah digerakkannya tangan untuk menyuap bubur,
sambil meredakan getar hatinya. Rasa gurih dan
lembut bubur menyentuh lidah. Sama sekali tak
mampu mengangkat matanya. Nalurinya
mengatakan, mata Darga masih menatapnya lekat.

71
Puan menikmati makan malam dengan Nenek
Umi. Sebenarnya, Puan tidak merasa lapar karena
perutnya masih berisi bubur ayam buatan Darga.
Tapi, Puan tidak ingin memunculkan pertanyaan di
benak Nenek Umi. Hatinya mengatakan, apa yang
terjadi hari ini lebih baik disimpannya sendiri.
Tapi, menutupi sesuatu ternyata tidak mudah.
Kau sedang tak selera makan. Bukan karena
makanan ini tak sesuai selera, tapi karena kau
sedang gelisah, kata Nenek Umi.
Puan menghentikan suapannya. Diteguknya air
putih. Sungguh tidak diduganya Nenek Umi akan
menebak setepat ini.
Entah apa yang membuat saya gelisah. Saya
merasa ada yang mengganggu hati. Tapi, saya
memang sedang menstruasi.
Semoga itu bagian dari perubahan hormon
yang tidak selalu bisa dipahami. Usahakan

72
menikmatinya. Apa boleh buat, itu ritual kita
sebagai perempuan.
Puan mengangguk.
Perutmu masih sakit. Nenek punya balsem.
Nanti diseka dengan botol air hangat saja,
lebih nyaman.
Nenek Umi terheran. Jadi, selama ini kau juga
memakai cara tradisional itu?
Puan terenyak. Nyaris digelengkannya kepala.
Tapi, sesuatu menghentikannya. Entah mengapa, ia
ingin menyamarkan Darga.
Gelisah bukan sesuatu yang menyenangkan
untuk dinikmati. Justru sebaliknya, gelisah bisa
membuat segala sesuatu menjadi tidak nyaman.
Langit malam yang cerah, cahaya kemilau
menjelang purnama, dan embusan angin sejuk
sangat menyenangkan untuk dinikmati. Tapi,
kegelisahan mengalahkan semua itu dan
mengubahnya menjadi sesuatu yang menyesakkan.

73
Puan tidak bisa tidur. Berkali-kali diubahnya
posisi tidur, tapi tak juga ditemukan kenyamanan.
Tak tahan lagi, sesaat kemudian Puan membuka
jendela, berharap aliran udara malam bisa
membantunya mengusir kegelisahan. Saat jendela
terbuka, gadis itu terkejut. Sesosok bayangan
orang berdiri di halaman. Bayangan itu melangkah
perlahan, dalam gerakan kegelisahan.
Jantung Puan berdegup. Nalurinya mengatakan
sesuatu tentang bayangan itu. Sesaat kemudian
cahaya bulan memberikan jawaban. Bayangan itu
datang dari sosok Darga.
Gerak bayangan itu terhenti. Lurus berhadapan
dengan jendela. Dalam remang cahaya bulan,
tatap mata keduanya bertemu.
Ada apa? tanya Puan, dengan suara berbisik.
Darga menggeleng, terdiam sesaat. Hanya
ingin melihatmu.

74
Puan tercenung. Nada kalimat itu seakan
membawa nada kegelisahan yang sama seperti
dalam benaknya. Puan kemudian keluar dan duduk
di beranda rumah panggung.
Mengapa ingin melihatku? dicobanya mencari
jawaban.
Mata Darga menatap gelisah. Entahlah.
Puan menghela napas. Ada apa ini, pikirnya.
Mengapa kami ada dalam kegelisahan yang sama?
Akukah yang ada dalam kegelisahannya?
Sesaat keduanya terdiam.
Begini saja, anggaplah aku hanya ingin
memastikan bahwa kau sudah sehat dan baik-baik
saja, kata Darga, dengan nada aneh.
Puan mengangguk. Lalu, suasana kembali
hening.
Aku tidak bisa tidur, gumam Puan.
Gelisah? Memikirkan seseorang? tanya Darga.

75
Puan tidak menjawab. Matanya menatap bulan
di langit. Bulan redup sesaat terlewati awan yang
bergerak perlahan. Siapakah yang kupikirkan?
Mungkin, seharusnya aku berpikir tentang Limar.
Tapi, mengapa sosoknya tidak pernah terlintas?
Aku memikirkanmu, kata Darga, menjawab
pertanyaannya sendiri.
Puan terenyak. Pernyataan itu, meski sudah
diduganya, tetap mengejutkan.
Aku baik-baik saja. Tidak perlu kau pikirkan,
Puan berusaha tetap tenang. Nalurinya
mengatakan situasi ini tidak bisa dibiarkan
berkembang makin jauh, harus dilakukan sesuatu
untuk menghentikannya.
Sudah larut. Pulanglah, katanya.
Darga diam, tatap matanya lurus, menyiratkan
sesuatu.
Apakah aku boleh memelukmu? tanya Darga
hati-hati, hingga nyaris tak terdengar.

76
Puan berdiri, mundur selangkah. Tidak... tidak
boleh.
Mengapa? desak Darga. Matanya tajam,
menuntut jawaban.
Puan kehilangan kata-kata. Sesaat diaturnya
napas dan dikendalikannya diri.
Karena, aku bukan seorang yang bebas. Aku
adalah calon pengantin yang akan menikah
beberapa bulan lagi, katanya, tenang.
Darga terdiam. Lalu, mengapa kau datang
kemari?
Aku tidak melarikan diri dari sesuatu.
Persiapan proses pernikahan membuatku tertekan,
sehingga aku memerlukan semacam pelepasan. Aku
datang untuk mencari energi baru untuk pemulihan
batinku.
Calon suamimu membiarkanmu pergi
sendirian?
Aku yang meminta.

77
Dia setuju?
Mengapa tidak?
Andai aku di posisinya, tidak akan kubiarkan
kau melakukan ini.
Darga menatap Puan, tepat di manik mata.
Karena, aku akan terlalu mencintaimu
sehingga tidak akan sanggup membiarkanmu pergi
sejauh ini, lanjutnya.
Puan terkesima. Tatapan mata itu begitu
menghanyutkan. Kalimat itu sangat menggetarkan
hati. Sangat tak terduga. Limar tidak pernah
mengucapkan kalimat seindah ini.
Puan mendadak kehilangan daya sehingga tidak
tahu harus melakukan apa. Yang tersisa hanyalah
kepasrahan belaka. Ketika Darga melangkah
mendekat dan merangkumnya dalam pelukan,
Puan tak lagi memiliki penolakan. Juga ketika bibir
Darga menyentuh bibirnya dengan lembut. Yang
ada dalam dirinya hanyalah sensasi kepasrahan

78
total. Tiada hasrat untuk melawan. Puan
terhanyut.
Namun, beberapa saat kemudian, kesadaran
datang. Sesuatu mengentakkan hati dan
membangunkan gadis itu dari mimpi. Bagai
terhenti dari laju kereta, bagai terempas dari
pusaran angin. Puan bergerak cepat, melepaskan
diri dari pelukan dan melangkah mundur menjauh
dari jangkauan Darga.
Mengapa melakukan ini padaku? seru Puan.
Naluri, suara Darga bergetar.
Ini tidak pantas, emosi Puan terguncang.
Darga terdiam. Matanya dingin, sarat perasaan
tak terungkap. Tapi, mata itu begitu menjerat,
dengan tatapan yang dalam bagai lautan yang
menenggelamkan.
Puan menghindar dari mata itu. Melindungi diri
dari jerat yang bisa jadi tak terelakkan.
Pergilah, pinta Puan, nyaris tak terdengar.

79
Darga tak bergerak.
Please..., lanjut Puan. Perih suara itu.
Darga sungguh tak ingin pergi. Dia ingin tinggal
dan mempertahankan gadis itu. Dia merasa masih
ada kesempatan untuk itu. Janur belum
melengkung, rumah belum berhias bunga
pengantin. Artinya, sang putri calon pengantin
masih bisa diperebutkan. Darga merasa memiliki
kekuatan penuh untuk melakukan perjuangan itu.
Tapi, suara sarat kepedihan itu menghadang
langkahnya. Tampak jelas gadis itu bergumul
melawan dirinya sendiri. Pergumulan yang hebat
dalam usaha untuk menghindar dari jangkauannya.
Haruskah dipaksakannya kehendak itu dan
membuat gadis itu makin tersudut? Atau, mungkin
justru di situlah peluangnya untuk meraih
kesempatan? Darga menghela napas panjang.

80
Ia undur diri. Tanpa suara, dia berbalik,
menuruni tangga beranda dan melangkah pergi
dalam gelap malam.
Puan tertegun gamang. Nanar ditatapnya
bayang itu menjauh. Punggung itu melangkah
pergi. Perlahan, selangkah demi selangkah
kegelapan malam merangkumnya sehingga tak lagi
tergapai cahaya bulan. Puan memejamkan mata.
Bayang punggung itu mengabur dalam genangan air
matanya.
Lalu gelap. Lalu sunyi. Pedih menekan ulu hati.
Darga sudah pergi.
Kalimatnya indah. Tatap matanya
menggetarkan hati. Bahkan, Limar pun tak pernah
memandangnya begitu tajam, tak pernah
mengucapkan kata-kata seindah itu....
aya akan pulang, Nek, kata Puan.
Sepagi ini? Ada masalah, Nak? Nenek Umi
menyentuh bahunya.

81
Saya tak bisa menjelaskan. Tapi, saya harus
pergi secepatnya.
Kalau itu yang terbaik, lakukanlah, kata
Nenek Umi.
Terima kasih. Akan ada seseorang yang datang
mencari saya. Tolong, berikan lukisan ini padanya.
Dia akan mengerti, kata Puan, sambil
mengulurkan lukisannya.
Nenek Umi mengangguk tanpa suara.
Puan menggigit bibir. Lukisan senja dalam
tatapannya perlahan mengabur. Dia ingat senja itu.
Senja saga di tebing Tanah Bumi.
Puan sedang melukis di beranda belakang ketika
bel pintu berbunyi. Ia mengamati hasil karyanya.
Lukisan setengah jadi. Lukisan hitam-putih dengan
medium pensil. Teknik melukis yang sudah lama
tidak ia gunakan. Ia menghela napas panjang, lalu
menutup lukisan itu dengan selendang.

82
Sedang sibuk? Limar menyapanya di ambang
pintu.
Puan menggeleng, sambil tersenyum.
Gerai perhiasan menelepon, cincin kita sudah
siap. Kita ambil sekarang? Kita kan harus mencoba
cincin itu. Mungkin saja tidak pas.
Cincin itu sudah telanjur jadi. Sekalipun tidak
nyaman di jari, tindakan apa yang bisa dilakukan
untuk mengubahnya?
Limar mengamati perangkat lukis yang
bertebaran. Kau sedang melukis rupanya. Kalau
begitu, kita ambil cincin itu lain hari. Mood
seniman tidak selalu datang setiap saat, bukan?
Melukis apa?
Puan terdiam. Ia tak ingin menjawab
pertanyaan itu. Ia ingin menyembunyikan sesuatu.
Entah apa. Sebelum menjawab, Limar telah
menarik selendang penyelubung lukisan. Lukisan
setengah jadi itu tampak jelas. Lukisan tentang

83
bayangan seorang laki-laki tanpa wajah. Tampak
postur dari belakang, memperlihatkan punggung
dengan rambut sebahu sedang melangkah
menjauh.
Limar menatap lukisan itu. Kau memakai
pensil. Sudah lama kau tidak melukis dengan
pensil. Siapa dia?
Puan terkejut. Bukan siapa-siapa. Waktu di
Tanah Bumi, aku sering duduk di beranda. Banyak
pejalan kaki melintas di depan rumah Nenek Umi.
Bagiku, mereka fenomena menarik. Karena aku
tidak mengenal mereka, aku tidak menampakkan
wajah mereka. Sebab, menggambar wajah
memerlukan pendalaman karakter. Jadi, kupilih
menggambar punggung mereka.
Sudut pandang yang menarik. Tapi, kalau boleh
kukatakan, karakter punggung ini terlalu bergaya
kota. Dia mengenakan T-shirt dan jins. Seragam
anak muda perkotaan.

84
Tanah Bumi bukan pedalaman. Ada angkutan
kereta api yang memungkinkan alur kehidupan
kota memengaruhi gaya hidup mereka. Yuk, kita
pergi, kata Puan, mengalihkan pembicaraan.
Nanti pulangnya diantar sopir, ya. Sore nanti
aku harus presentasi, kata Limar, sambil
membuka pintu mobil.
Puan tertegun. Limar membiarkan dia pulang
sendiri. Padahal, di suatu tempat, seseorang
begitu peduli padanya, bahkan bersedia berjalan di
belakangnya, untuk mengantarnya melewati
hutan.
Puan mematut diri di depan cermin. Berbalut
gaun putih selutut, rambut ditata rapi dengan
sematan bunga putih. Pantulan wajahnya begitu
cantik. Serupa peri bunga di buku dongeng.
Sudah siap? Fotografer sudah menunggu, kata
Limar.

85
Puan beranjak. Sekilas ditatapnya cermin untuk
melihat bayang dirinya. Ia terkejut saat menyadari
bahwa di dalam cermin bayangan dirinya tidak
sendirian lagi. Limar mendampinginya. Seorang
pria gagah berjas kasual. Wajahnya bersih
menyimpan senyum. Matanya menyorot tajam,
menyiratkan ketakjuban. Mereka bertemu pandang
lewat pantulan cermin.
Akan kulakukan apa pun untukmu. Tidak akan
pernah kau temukan cinta lain seindah yang aku
miliki untukmu, kata Limar.
Puan memejamkan mata. Benarkah tiada cinta
seindah cinta Limar padanya? Lalu, bagaimana
dengan cinta Darga? Dua cinta yang indah.
Manakah yang lebih indah?
Ketika pemotretan, Puan tampak selalu gugup
dan salah tingkah sehingga berkali-kali ia ditegur
oleh sang pengarah gaya.

86
Apakah kau baik-baik saja? tanya Limar,
seusai sesi foto.
Puan mengeluh, Aku tidak pernah merasa
nyaman difoto.
Kau tampak gelisah, seperti memikirkan
sesuatu, kata Limar, sambil menggenggam jemari
Puan. Tak usah terlalu memikirkan hari
pernikahan kita. Kau hanya perlu mempersiapkan
dirimu sebaik mungkin untuk menjadi pengantinku
yang tercantik.
Puan tercenung. Itu impian Limar. Sanggupkah
diwujudkannya mimpi itu untuk Limar? Sementara,
dirinya kini adalah diri yang terbelah, yang
menyimpan bayang pria lain di sudut hati.
Limar dan Puan bersama mengamati foto-foto
pranikah mereka. Sebagian besar foto hitam-putih,
merefleksikan diri mereka dalam berbagai gaya.
Ada yang tampak romantis, ada yang tidak.

87
Puan tertegun. Seolah ia terlempar pada suatu
waktu. Pada sebuah malam, pada sebuah beranda.
Ketika sebuah bayang merangkumnya dalam
pelukan dan memberinya sebuah kecupan
menggetarkan. Getaran yang masih tersisa hingga
hari ini. Jantung Puan berdegup keras, hingga
mengucurkan keringat dingin di tengkuknya.
Kau pucat sekali. Ada apa? seru Limar.
Puan mengatur napas, lalu mengerjapkan mata.
Di depannya sepasang mata tampak menyimpan
kecemasan. Cemas yang berasal dari cinta yang
begitu besar. Cinta Limar untuknya. Tapi, apa yang
dilakukannya untuk membalas cinta itu?
Puan menghindar dari tatapan itu, tanpa
mampu menyembunyikan gelisah. Kita pergi,
yuk, katanya, sambil beranjak.
Limar menghentikan gerak gadis itu. Matanya
menatap tajam penuh selidik. Ada apa?
tanyanya, lebih tegas.

88
Puan terdiam. Dia benar-benar tersudut, tiada
celah untuk berkelit.
Aku tidak siap, katanya, pelan.
Apa maksudmu? Kau tidak siap menikah
denganku? tanya Limar.
Anggukan pelan Puan membuat Limar terkesiap.
Apa artinya? Kita sudah sejauh ini dan kau
bilang tidak siap? Apa yang sebenarnya terjadi?
Suara Limar gemetar.
Bibir Puan bergetar. Bagaimana menjelaskan
apa yang terjadi bila dirinya sendiri juga tidak
paham akan apa yang ada dalam benaknya?
Hening. Waktu berlalu dalam diam. Entah
berapa lama. Sesaat kemudian terdengar helaan
napas panjang. Napas Limar.
Aku merasa, kau sedang memikirkan orang
lain. Apakah ia pemilik punggung dalam
lukisanmu? gumam Limar, dingin.

89
Sunyi. Tidak ada suara dan gerak apa pun juga.
Hampa. Puan tahu, inilah akhirnya. Dia telah
sampai pada suatu jalan. Jalan buntu.
Ditutupnya wajah dengan seluruh jemarinya.
Bukan untuk menahan air mata, tapi untuk
menyembunyikan diri. Tak mampu dia berdiri di
hadapan Limar, apalagi bersanding di pelaminan.
Adakah yang lebih hina daripada yang dilakukannya
saat ini? Adakah yang lebih memalukan daripada
apa yang terjadi padanya saat ini? Dia, seorang
calon pengantin, menyimpan bayang lelaki lain
dalam benaknya.
Maaf..., gumam Puan.
Limar menggigit bibir, gigitan keras yang
menimbulkan luka. Pedih, tapi tak sebanding
dengan kepedihan di hati.
Jangan katakan apa pun. Kita sama-sama
sedang emosi. Yang perlu kita lakukan saat ini
adalah pulang. Lalu, kita akan bertemu lagi,

90
sesudah kau dan aku siap untuk itu, kata Limar.
Kalimat itu begitu dingin, lurus, datar, dan tak
terbantah.
suatu pagi Limar datang. Bibirnya tersenyum.
Matanya tidak.
Kau marah padaku? tanya Puan, ragu.
Limar terdiam sesaat, lalu menggeleng.
Benci? tanya Puan lagi.
Tidak. Hanya, aku merasa tidak mengenalmu.
Kebersamaan kita yang sekian lama itu ternyata
tidak berarti.
Puan menunduk. Rasa bersalah
menyudutkannya.
Limar menyentuh bahunya. Tatap matanya
lembut Seharusnya, aku yang shock. Tapi,
mengapa sepertinya kau yang lebih tertekan?
Kelembutan Limar sesungguhnya sangat
menyentuh hati. Tapi, bagi Puan, kelembutan itu
justru lebih tajam dari pisau mana pun juga. Andai

91
boleh memilih, Puan lebih siap menerima
kemarahan.
Aku bersalah padamu, bisik Puan, bergetar.
Limar menghela napas panjang. Beberapa hari
ini aku merenung. Bukan hal mudah menentukan
sebuah keputusan. Tapi, ini tak bisa dihindari. Apa
pun alasannya, kita harus bersama
menghadapinya. Merenung membuatku
menemukan satu hal, yaitu bahwa cinta
seharusnya bukanlah sesuatu yang egois.
Kebahagiaan terbesar dalam proses mencintai
seseorang adalah membuatnya bahagia. Begitu
juga aku. Aku sangat mencintaimu. Tapi, aku bukan
manusia yang sempurna sehingga cinta yang
kupunya tak cukup membahagiakanmu.
Limar, bukan itu....
Karena itu, aku tidak akan membuat diriku
menjadi duri dalam daging bagi hidupmu.
Malapetaka terbesarku adalah jika cintaku

92
mengikatmu dan membuatmu kehilangan
kesempatan untuk meraih kebahagiaanmu. Dia, si
pemilik punggung itu, barangkali mempunyai
sesuatu yang tak kupunya. Sesuatu yang membuat
hatimu terbelah. Jangan mengingkari hatimu
sendiri. Yang penting, temukan kebahagiaanmu.
Selama itu akan membahagiakanmu, aku rela
melepasmu.
Puan terpana, sungguh tak terduga. Jadi?
Terserah padamu. Aku tak punya hak
mengendalikan hidupmu. Kita masing-masing
berhak atas hidup kita sendiri. Aku bisa
memaksamu melakukan itu. Tapi, apakah itu layak
kulakukan? Apakah bisa hatimu kurebut dengan
paksaan? Tidak, aku tidak akan pernah melakukan
itu. Aku akan mendapat cintamu bila memang
hatimu menginginkan itu. Bukan karena alasan
lain. Jadi, jangan menipu aku atau dirimu sendiri.

93
Puan menatap mata Limar. Tampak bening, tapi
tidak bercahaya. Mata itu menyimpan kepedihan,
memohon kejujuran. Permohonan yang harus
dihargai, meski berarti menambah kepedihan.
Puan menghentikan langkah. Pondok kayu di
bantaran sungai itu masih sama seperti saat
ditinggalkannya beberapa bulan lalu.
Sesaat kemudian Puan membuka pintu pondok
untuk mendapatkan jawaban. Ruang berlantai kayu
yang dulu rapi, kini sangat berantakan. Gulungan
kertas kalkir, tumpukan buku, aneka botol
minuman, kertas bungkus makanan. Asap tipis
beraroma tembakau bakar menebar di segala
ruang. Puan melangkah mencari sumber asap. Asap
itu berasal dari seseorang yang sedang menekuni
meja gambar. Sebatang rokok terselip di antara
jarinya.
Darga? desis Puan, ragu.

94
Sosok itu terkejut. Sosok itu bagai seorang asing
yang sama sekali tidak dikenalnya. Di hadapannya
kini adalah seorang berambut panjang tidak rapi
dengan pipi dan dagu penuh rambut tak rata.
Apa yang terjadi? tanya Puan.
Aku yang seharusnya menanyakan itu. Mengapa
datang? Tajam mata Darga menyambar gadis itu.
Puan mundur. Ketajaman mata Darga
membuatnya jengah. Tapi, tatap mata yang sama
menyiratkan luapan rindu yang menggetarkan.
Ada apa? tanya Puan. Darga mendekat, tanpa
melepaskan tatapan.
Tidak terjadi apa-apa. Proyek berjalan lancar
dan aku masih di pondok ini, seperti yang kau
lihat, kata Darga, enteng.
Lalu, bagaimana dengan ruangan berantakan
ini?
Itu biasa. Tidak semua orang harus rapi, bukan?
Anggap saja aku sedang malas. Apa susahnya?

95
Kurasa, suasana hatimu sedang tidak enak. Aku
pulang saja, kata Puan, beranjak pergi.
Suara Darga menghentikan langkah Puan.
Sesudah kau pergi, aku tidak ingin melakukan apa
pun.
Kau pikir hidup berhenti?
Kau yang menghentikannya bagiku.
Puan mengerjap. Kalimat yang menyentuh,
nyaris memabukkan.
Darga menatap gadis itu. Apa yang terjadi?
Dia merasa telah terjadi sesuatu padaku. Lalu,
ia memintaku untuk bersikap jujur. Dan, dia
membebaskanku untuk memilih.
Dan, kau meninggalkannya? tanya Darga.
Puan mengangguk. Baginya, mencintai
seseorang berarti memberikan kebahagiaan karena
cinta yang dia miliki adalah cinta yang
membebaskan, bukan cinta egois yang mengikat.

96
Mungkin, dia juga belum siap menikah. Aku
bukannya berprasangka, tapi rasanya dia terlalu
mudah melepasmu.
Puan menggeleng. Aku mengenal Limar dengan
sangat baik. Dia selalu bersungguh-sungguh dengan
apa yang dikatakannya.
Darga berpikir sesaat. Apakah dia
mencintaimu?
Mungkin.
Mungkin? Sekian lama bersamanya, kau tidak
yakin akan kadar cintanya? Katamu, kau
mengenalnya dengan sangat baik.
Itu sudah berlalu. Tidak nyaman lagi
membicarakannya.
Jadi, dia mencintaimu? tanya Darga lagi.
Mata Puan membesar. Ya, amat sangat. Puas?
Lalu, mengapa memilihku?

97
Puan angkat bahu. Entahlah. Apakah selalu
perlu alasan untuk menolak atau memilih sesuatu
atau seseorang?
Puan mengisyaratkan tidak ingin membahas
lebih jauh.
Segeralah mandi dan cuci rambutmu. Lalu,
masakkan sesuatu untukku. Sesudah itu, kau boleh
memelukku, kata Puan.
Aroma sabun mandi segar menebar ketika Darga
muncul dengan rambut basah. Dia tampil sangat
rapi. Ruangan juga telah rapi. Gulungan kertas
rancang gambar tersusun di sudut ruang. Tatami
terhampar di tempatnya. Tidak ada lagi ceceran
sampah.
Apa yang akan kau masak untukku? tanya
Puan.
Aku tidak akan memasak apa pun. Aku akan
mengantarmu pulang. Nada suara Darga terdengar
dingin.

98
Puan terkejut. Mengapa?
Aku adalah tipe pejuang. Yang menarik bagiku
adalah proses perjuangan untuk mencapai sesuatu.
Dalam cinta, yang kunikmati adalah proses meraih
cinta itu. Melakukan strategi untuk menarik
simpati sasaran adalah dinamika yang sangat
menarik. Dan, ketika sasaran takluk, tujuanku
berakhir.
Puan terenyak. Nyaris tidak percaya.
Jadi, keliru jika kau memilihku. Apa yang kau
harapkan? Aku tidak akan berhenti, apalagi
mengikatkan diri pada seseorang. Betapapun
menariknya tempat ini, aku akan pergi sesudah
menyelesaikan resor ini. Salah besar jika kau
meninggalkan kekasihmu dan memilihku. Kau
berharap aku menjadi pengantinmu? Maaf, tidak
bisa kulakukan itu. Aku tidak pernah berpikir untuk
berkomitmen apa pun juga.

99
Kata-kata Darga bagai petir menyambar,
mengempaskan dan membuat dirinya menjadi
serpihan retak. Puan melihat betapa remuk
serpihan itu. Nyaris tanpa bentuk. Puan terbawa
pada satu kesadaran. Dia salah jalan. Dia berbelok
di tikungan yang hampa.
Darga mengulurkan tangan. Kuantar pulang.
Hampir malam.
Jangan ulurkan apa pun padaku! serunya,
setajam pisau. Kalimatnya terhenti. Tidak ada satu
kata pun yang sepadan untuk mengungkapkan
kemarahan dan kepedihan hatinya pada Darga.
Puan membuka pintu dan melangkah pergi.
Puan duduk tercenung. Tepat di hadapannya
sepasang cincin berukir nama tergeletak menunggu
keputusan akhirnya. Nama Puan dan Limar yang
terukir. Tidak mungkin cincin itu berpindah tangan.
Sepasang cincin itu harus dilebur untuk
menghilangkan segala goresan dan memisahkan

100
kandungan logam campurannya, sehingga menjadi
lelehan emas murni.
Puan, apakah kita jadi melebur cincin itu?
tanya Limar.
Mengapa kau ingin aku yang menentukan
jawaban untuk cincin ini? Kau memberiku
kesempatan untuk memilih, untuk menentukan
kata akhir, untuk menyelesaikan dan bukan
diselesaikan, untuk memosisikan aku, bukan
sebagai seseorang yang tersingkirkan. Begitulah
kau menghargai perasaanku. Bagaimana bila aku
menjawab tidak? Mungkinkah cincin ini akan
tetap utuh untuk kita kenakan pada hari
perkawinan kita? Apakah itu mungkin?
Puan menghela napas. Dikendalikannya emosi
diri.
Kita akan meleburnya, katanya, tanpa emosi.
Limar menatapnya dengan ketenangan yang
sama. Cahaya matanya meredup. Yakin?

101
Puan mengangguk, lalu berpaling,
menyembunyikan bening di sudut mata. Seribu
belati bagai menghujam ulu hatinya.
Dan, sepasang cincin itu menerima hari
akhirnya. Perjalanannya telah usai, bahkan
sebelum sempat dimulai.
Menjelang pulang, langkah Puan terhenti di
ambang pintu. Digenggamnya jemari Limar, lalu
dikecupnya lembut.
Terima kasih, kau selalu baik padaku. Salam
perpisahan yang lazim adalah sampai bertemu
kembali. Tapi, rasanya kita lebih pantas
mengucapkan selamat tinggal.
Limar tercenung. Aliran darahnya bagai
membeku. Dipeluknya Puan. Puan tergetar dalam
pelukan itu. Sesaat serasa dimilikinya kembali hari-
hari itu. Ketika kebahagiaan ada dalam
genggaman. Ketika hari-hari begitu sempurna bagai
mimpi tanpa akhir. Namun, hanya sesaat. Ia sadar,

102
hari-hari itu telah lewat menjadi sebuah masa lalu.
Yang tertinggal kini hanyalah kenangan. Kenangan
yang terlalu indah untuk dilupakan, tapi juga
terlalu pedih untuk dikenang.
Puan melepas pelukan. Selamat tinggal,
katanya, lalu berbalik cepat dan melangkah
menjauh. Meninggalkan Limar dalam keheningan
panjang.
Ya, selamat tinggal, jawab Limar, nyaris tanpa
suara. Langkah Puan telah jauh. Limar menghela
napas. Sendirian.
Darga
Melihatmu kembali adalah kejutan tak
terlukiskan. Seperti musafir menemukan oase,
seperti daun kering menemukan tetes embun.
Seperti pertanyaan yang menemukan jawaban.
Ketika kau pergi, aku berharap ada kesempatan
untuk memiliki seseorang sepertimu. Hanya
seseorang sepertimu, bukan dirimu.

103
Ketika kau datang lagi padaku, kusadari, aku tak
mampu menerimamu. Bukan karena aku tidak
mencintaimu, tapi karena aku tidak cukup layak
untuk menggantikan kekasihmu. Cinta kekasihmu
terlalu sempurna. Apa yang kupunya tidak akan
cukup menjadi pengganti dari apa yang kekasihmu
persembahkan untukmu.
Sesuatu akan mengecewakanmu suatu hari
nanti. Ketika itu terjadi, segala sesuatunya sudah
terlambat. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku harus
membuatmu kembali pada kekasihmu sekarang
juga.
Jalan kekasihmu akan memberikan banyak hal.
Ke sanalah seharusnya kau melangkah. Jangan
bawa langkahmu pada jalanku karena jalanku tidak
menjanjikan apa pun. Aku tidak memiliki pijar
cahaya seperti yang dimiliki kekasihmu untukmu.
Jalanku barangkali hanya kesunyian semata.
Puan

104
Sesungguhnya aku tidak sedang melamun. Aku
hanya sedang berharap hari itu tidak pernah ada.
Aku berharap, sepasang cincin itu akan tetap
menunaikan tugasnya pada hari yang terpilih itu.
Aku berharap, cincin itu akan menjadi milik kita
bersama, selamanya sesuai janji kudus yang akan
kita ikrarkan.
Tapi, kau menyerahkan pertanyaan itu padaku.
Kamulah yang berhak menjawab pertanyaan itu.
Tapi, dengan kemurahan hatimu, kau memberikan
hak jawab itu padaku. Begitulah kau menjaga
perasaanku, agar bukan aku yang menerima
penolakan itu, melainkan dirimu. Dan, begitulah
adanya. Aku meninggalkanmu. Kulepaskan gaun
pengantin, kulebur cincin, dan kutoreh luka di
hatimu. Demi mengejar sesuatu yang ternyata
tidak ada.
Ketika hak menjawab itu kau berikan padaku,
sesungguhnya masih tersisa satu harapan untuk

105
melanjutkan mimpi yang terpenggal. Cahaya
matamu masih menyiratkan cinta untukku. Hatimu
sangat baik. Aku yakin, kau akan memberiku
peluang untuk kembali.
Tapi, aku tidak punya keberanian untuk
kembali. Aku tidak punya pengampunan untuk
memaafkan diri sendiri. Jadi, jawaban itulah yang
harus kupilih, melebur cincin. Jawaban yang
membawaku pada sebuah jalan sunyi, yang entah
berujung di mana.
Limar
Melihatmu melangkah pergi adalah kepedihan
tak tersembuhkan. Aku ingin menghentikan
langkahmu, meraihmu, dan memintamu kembali
padaku. Aku ingin. Tapi, apakah itu mungkin?
Ruang hatimu telah dimiliki orang lain. Tak
tersisa sedikit celah pun untukku. Segala cinta
yang kupunya tak mampu menghadirkan celah itu.
Segala cinta yang kuberikan selama ini ternyata

106
tak sanggup untuk mengikat hatimu. Tak juga
cukup untuk membuat hatimu nyaman berada
dalam duniaku. Lalu, apa lagi yang bisa kulakukan
untukmu?
Dulu, kita telah sampai pada sebuah jalan.
Jalan yang telah kita rancang dengan segala angan
masa depan, yang kita yakin akan terlalui dengan
sukacita. Namun, sekarang? Bayangmu pergi
menjauh. Langkahmu tak terhenti. Maka hanya
tersisa satu hal yang bisa kulakukan, yaitu
merelakanmu. Dan, akan kususuri jalan sunyiku,
sendirian.
Tamat

107

Anda mungkin juga menyukai