Anda di halaman 1dari 17

DNA

1.1 Definisi
DNA (Deoxyribonuleic Acid)

Deoxyribonucleic acid (DNA) adalah suatu materi yang terdapat pada tubuh

manusia dan semua makhluk hidup yang diwarisi secara turun menurun. Semua sel

pada tubuh memiliki DNA yang sama dan sebagian besar terdapat pada nukleus. DNA

juga dapat ditemukan pada mitokondria (Campbell et al., 2004). Struktur dari DNA

terdiri dari gugus fosfat, gula deoksiribosa dan basa nitrogen. Informasi yang dibawa

oleh DNA bergantung pada urutan basa nitrogen yang terdiri dari Adenin (A), Timin (T),

Guanin (G) dan Sitosin (C). Basa pada DNA selalu berpasangan yaitu A-T dan G-C

(Stansfield et al., 2002; Lewis, 2003). Masing-masing pasangan basa melekat pada

molekul gula (deoksiribosa) dan fosfat membentuk unit nukleotida. Nukleotida tersusun

berpasangan pada baris panjang yang berbentuk spiral yang sering disebut double

helix (Suryo, 2011).

DNA dapat bereplikasi dan memperbanyak jumlahnya ketika akan terjadi

pembelahan sel sehingga tiap sel baru akan memiliki DNA yang sama seperti sel yang

lama. Proses replikasi DNA dimulai ketika untaian DNA dibuka dan dipisahkan oleh

enzim helikase sehingga terjadi pemisahan antara untaian satu dengan untaian lainya
(Stanfield et al., 2002). Selanjutnya, tiap untaian DNA yang terpisah tersebut menjadi

dasar cetakan (template) pasangan basa baru yang prosesnya dibantu oleh enzim

DNApolymerase. Enzim ini akan memasangkan basa-basa yang sesuai dengan

templatnya (Yuwono, 2005). Fungsi DNA adalah untuk bereplikasi dan mensintesis

protein. Replikasi diperlukan untuk

memberikan informasi yang sama pada tiap sel baru ketika terjadi pembelahan. Dalam

proses sintesis protein, DNA menyediakan informasi genetik yang diperlukan oleh sel

untuk dapat berfungsi secara fungsional dan struktural. Informasi dari DNA diturunkan

dari generasi ke generasi dan merupakan kombinasi dari ayah dan ibu (Butler, 2005).

1.2 Struktur DNA


DNA terdiri atas dua utas benang polinukleotida yang saling berpilin membentuk
heliks ganda (double helix). Model struktur DNA itu pertama kali dikemukakan oleh
James Watson dan Francis Crick pada tahun 1953 di Inggris. Struktur tersebut mereka
buat berdasarkan hasil analisis foto difraksi sinar X pada DNA yang dibuat oleh
Rosalind Franklin. Karena yang difoto tingkat molekul, maka yang tampak hanyalah
bayangan gelap dan terang saja.

Gambar 1.1 Struktur rantai ganda DNA


Bayangan foto dianalisis sehingga mereka berkesimpulan bahwa molekul DNA
merupakan dua benang polinukleotida yang berpilin. Dalam gambar terdiri dari dua
untai rangkaian nukleotida yang saling melilit kekanan dengan aksis yang sama. Satu
lilitan berukuran 36 , atau tersusun atas 10,5 pasangan basa. Struktur utama, yang
merupakan rangkaian deoksiribosa yang berselang-seling dengan gugus fosfat, berada
di bagian luar lilitan. Pasangan basa purin dan pirimidin dari masing-masing untaian
mengisi bagian dalam lilitan.

Gambar 1.2 Bagian DNA


Seutas polinukleotida pada molekul DNA tersusun atas rangkaian nukleotida.
Setiap nukleotida tersusun atas :
1. Gugusan gula deoksiribosa (gula pentosa yang kehilangan satu atom
oksigen)
2. Gugusan asam fosfat yang terikat pada atom C nomor 5 dari gula)
3. Gugusan basa nitrogen yang terikat pada atom C nomor 1 dari gula
Untaian benang DNA merupakan Pasangan benang DNA, namun bukan identik
tetapi berpasangan, dimana C berpasangan dengan G, sedangkan A dengan T. Kedua
benang DNA berpasangan secara antiparallel. Urutan basa ditulis dari ujung yang
memiliki fosfat bebas di atom C no 5' dari gugus deoksiribosanya ke arah ujung yang
memiliki hidroksil bebas di atom C no 3' dari gugus deoksiribosanya. Struktur ini sangat
sesuai untuk penyimpanan dan transfer informasi.
Ketiga gugus tersebut saling terkait dan membentuk tulang punggung yang
sangat panjang bagi heliks ganda. Strukturnya dapat diibaratkan sebagai tangga,
dimana ibu tangganya adalah gula deoksiribosa dan anak tangganya adalah susunan
basa nitrogen. Sedangkan fosfat menghubungkan gula pada satu nukleotida ke gula
pada nukleotida berikutnya untuk membentuk polinukleotida.
Gambar 1.3 Untaian Benang DNA
Basa nitrogen penyusun DNA terdiri dari basa purin, yaitu adenin (A) dan guanin
(G), serta basa pirimidin yaitu sitosin atau cytosine (C) dan timin (T). Ikatan antara gula
pentosa dan basa nitrogen disebut nukleosida. Ada 4 macam basa nukleosida yaitu :
1. Ikatan A-gula disebut adenosin deoksiribonukleosida (deoksiadenosin)
2. Ikatan G-gula disebut guanosin deoksiribonukleosida (deoksiguanosin)
3. Ikatan C-gula disebut sitidin deoksiribonukleosida (deoksisitidin)
4. Ikatan T-gula disebut timidin deoksiribonukleosida (deoksiribotimidin)
Ikatan asam-gula-fosfat disebut sebagai deoksiribonukleotida atau sering disebut
nukleotida. Ada 4 macam deoksiribonukleotida, yaitu adenosin deoksiribonukleotida,
timidin deoksiribonukleotida, sitidin deoksiribonukleotida, timidin deoksiribonukleotida.
Nukleotida-nukleotida itu membentuk rangkaian yang disebut polinukleotida. DNA
terbentuk dari dua utas poinukleotida yang saling berpilin.
Basa-basa nitrogen pada utas yang satu memiliki pasangan yang tetap dengan
basa-basa nitrogen pada utas yang lain. Adenin berpasangan dengan timin dan guanin
berpasangan dengan sitosin. Pasangan basa nitrogen A dan T dihubungkan oleh dua
atom hidrogen (A=T). Adapun pasangan basa nitrogen C dan G dihubungkan oleh tiga
atom hidrogen (CG). Dengan demikian, kedua polinukleotida pada satu DNA saling
komplemen. Pada gambar dibawah ini pasangan basa C-G (merah) dan A-T (biru)
merupakan pasangan isosterik (bentuk dan ukurannya sama), sehingga memungkinkan
pengisian ruang antar lilitan yang tidak dipengaruhi oleh urutan basa penyusunnya.
Gambar 1.4 Pengisian Ruangan Antar Lilitan
Pada tahun 1947, sebelum ditemukannya struktur molekul DNA, seorang ahli
biokimia bernama Erwin Chargaff menganalisis komposisi basa DNA sejumlah
organisme yang berbeda. Hasil analisisnya adalah tiap spesies organisme memiliki
komposisi DNA yang berbeda-beda. Banyaknya keempat basa nitrogen pada tiap
spesies tidak sama, tetapi memiliki perbandingan yang khas. Artinya, tiap spesies
memiliki jumlah basa yang khas.
Dalam DNA setiap spesies yang ditelitinya, Chargaff mengemukakan bahwa
jumlah adenin hampir sama dengan jumlah timin dan jumlah sitosin hampir sama
dengan jumlah guanin. Selain itu, urutan basa dan panjang DNA pada tiap spesies
berbeda. Dengan 4 macam basa dan DNA yang panjang, akan terbentuk berbagai
kemungkinan urutan basa. Karena gen tersusun dari urutan basa tertentu, maka jumlah
gen pada DNA juga sangat banyak kemungkinannya. Jadi, hanya dengan 4 macam
basa akan terbentuk banyak gen yang menentukan sifat individu.
Gambar 1.5 Satu molekul gula dan satu molekul basa disebut "nukleosida"

Struktur molekul DNA terdiri dari atom karbon berwarna hitam, oksigen merah,
nitrogen biru, fosfor hijau dan hydrogen putih. Asam dekoksiribonukleat yang lebih
dikenal dengan DNA adalah sejenis asam nukleat yang tergolong biomolekul utama
penyusun berat kering stiap organism. Di dalam sel, DNA umumnya terletak dalam inti
sel. Secara garis besar, peran DNA bagi sebuah sel adalah sebagai materi genetik,
artinya DNA menyimpan seluruh cetak biru segala aktivitas sel. Ini berlaku bagi seluruh
jenis sel (diantara beberapa perkecualian yang menonjol adalah beberapa jenis virus
(dan vius tidak termasuk ke dalam suatu organisme) seperti HIV ( Human
Immunodeficiency Virus).
Secara garis besar mengenai DNA:
- Persenyawaan kimia yang membawa informasi genetik dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
- Komponen kimia utama kromosom, merupakan bahan penyusun gen, sehingga
secara kimia dapat dikatakan bahwa gen adalah DNA
- Pada prokariotik, DNA tersebar didalam nukleoid.
- Pada eukariot, DNA berada di dalam nucleus sel
- Informasi genetik terdapat pada urutan basa nitrogen yang dibawa oleh DNA.
- Segmen polipeptida dari DNA disebut gen, biasanya merupakan molekul RNA

1.3 Fungsi DNA:


1. Membawa informasi genetik dari satu generasi ke generasi yang lain
2. Menyimpan dan mentransmisi informasi genetik
3. Mengontrol aktivitas hidup secara langsung dan tidak langsung
4. Mensintesis RNA
5. Berperan dalam proses sintesis protein
DNA (Deoxyribo Nukleat Acid)
Letak Dalam inti sel, mitokondria,
kloroplas, senriol.
Bentuk Polinukleotida ganda yang
terpilin panjang
Gula Deoxyribosa
Basa Golongan purin : adenine dan
guanine Golongan pirimidin :
cytosine dan timin
Fungsi mengontrol sifat yang
menurun, sintesis protein dan
sintesis RNA
Kadar Tidak dipengaruhi sintesis
protein.Letak basa nitrogen
dari kedua pita ADN saling
berhadapan dengan
pasangan yang tetap yaitu
Adenin selalu berpasangan
dengan Timin, Cytosin dengan
Guanin. Kedua pita itu
diikatkan oleh ikatan hidrogen.

1.4 Sintesis Protein

Proses sintesis protein terbagi atas transkripsi dan translasi. DNA sebagai
media untuk proses transkripsi suatu gen berada di kromosom dan terikat oleh
protein histon. Saat menjelang proses transkripsi berjalan, biasanya didahului
signal dari luar akan kebutuhan suatu protein atau molekul lain yang dibutuhkan
untuk proses pertumbuhan, perkembangan, metabolisme, dan fungsi lain di
tingkat sel maupun jaringan. Kemudian RNA polymerase II akan mendatangi
daerah regulator element dari gen yang akan ditranskripsi. Kemudian RNA
polymerase ini akan menempel (binding) di daerah promoter spesifik dari gene
yang akan disintesis proteinnya, daerah promoter ini merupakan daerah
consesus sequences, pada urutan -10 dan -35 dari titik inisiasi (+1) yang
mengandung urutan TATA-Box sebagai basal promoter. Setelah itu, polimerase
ini akan membuka titik inisiasi (kodon ATG) dari gene tersebut dan mengkopi
semua informasi secara utuh baik daerah exon maupun intron, dalam bentuk
molekul immature mRNA (messenger RNA). Kemudian immature mRNA ini
diolah pada proses splicing dengan menggunakan smallnuclearRNA (snRNA)
complex yang akan memotong hanya daerah intron, dan semua exon akan
disambungkan menjadi satu urutan gen utuh tanpa non-coding area dan disebut
sebagai mature mRNA.
Pada tahap berikutnya, mRNA ini diproses lebih lanjut pada proses
translasi di dalam ribosom, dalam tiga tahapan pokok yaitu inisiasi sebagai
mengawali sintesis polipeptida dari kodon AUG yang ditranslasi sebagai asam
amino methionine. Proses ini berlangsung dengan bantuan initiation factor (IF-1,
IF-2 dan IF3) dan enzim tRNA-methionine synthethase (pada bakteri diawali oleh
formylmethionine) sehingga tRNA dan asam amino methionine membentuk
ikatan cognate dan bergerak ke ribosom tempat sintesis protein berlangsung.
Langkah selanjutnya adalah elongasi atau pemanjangan polpeptida sesuai
denga urutan kodon yang dibawa oleh mRNA.

Gambar 1.6 Proses splicing dari pematangan mRNA.


Pada proses elongasi ini diperlukan elongation factor complex. Seperti
juga proses inisiasi enzim tRNA-amino acid synthethase berperan dalam
pembentukan cognate antara tRNA dan asam amino lainya dari sitoplasma yang
sesuai dengan urutan kodon mRNA tersebut. Proses elongasi akan berhenti
sampai kodon terminasi dan poly-adenyl (poly-A), dan diakhiri sebagai proses
terminasi yang dilakukan oleh rho-protein. Polipeptida akan diproses sebagai
molekul protein yang fungsional setelah melalui proses post-translation di
retikulum endoplasmik (RE) hingga tingkat jaringan.

1.5 Regulasi gen

Sebelum penemuan DNA, telah diketahui bahwa gen adalah unit fisik dan
fungsional dari hereditas yang mengandung informasi untuk sintesis protein. Jadi
gen mengandung informasi hereditas.
Protein adalah molekul makro yang berperan dalam hampir
semua fungsi sel yaitu: sebagai bahan pembangun struktur sel dan
membentuk enzim-enzim yang mengkatalisis reaksi-reaksi kimia di
dalam sel; meregulasi ekspresi gen, memungkinkan sel untuk
bergerak dan berkomunikasi antar sel.

Jadi fungsi paling penting dari DNA adalah membawa gen


yang mengandung informasi yang menentukan jenis protein yang
harus disintesis, kapan, dalam tipe sel yang mana, dan seberapa
banyak jumlah protein yang harus disintesis.

Gambar 1.7 Proses sintesis protein pada prokariota.


Dengan semakin berkembangnya pengetahuan molekuler
maka definisi dari gen adalah :
Keseluruhan sekuen asam nukleat yang dapat ditranskrip
menjadi RNA fungsional dan protein, pada waktu dan tempat
yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan
oraganisme.
Komposisi gen adalah daerah pengkode (exon and intron)
yang mengkode RNA atau protein + sekuen-sekuen
pengaturan (Regulatory sequences: termasuk. promoter
yang menginisiasi terjadinya transkripsi, enhancer/silencer
yang menentukan tinggi rendahnya aktivitas transkripsi,
polyadenylation site, splicing sites serta signal terminasi
transkripsi).
Produk gen :
RNA yang kemudian ditranslasi menjadi protein
Hanya RNA seperti rRNA, tRNA, snRNA, snoRNA dan
miRNA
Satu gen mempunyai potensi menghasilkan banyak produk
karena adanya :
promoter-promoter yang berbeda
alternative splicing

1.6 Kerusakan DNA


Kerusakan pada DNA dapat terjadi dan dapat disebabkan bahan
kimia, fisik dan lingkungan. Jenis kerusakan DNA ada 4 jenis, yaitu
1. Perubahan satu basa
a. Depurinasi
b. Deaminasi sitosin menjadi urasil
c. Deaminasi adenine menjadi hipoxantin
d. Alkilasi basa
e. Insersi atau delesi nukleotida
f. Penyertaan analog basa
2. Perubahan dua basa
a. Dimer antar thimin (pirimidin) yang diindikasi oleh sinar UV
b. Ikatan silang agen pengalkil bifungsional
3. Pemutusan rantai
a. Radiasi pengion
b. Disingtegrasi elemen rangka oleh radioaktif
c. Pembentukan radikal bebas oksidatif
4. Ikatan silang
a. Antara basa di untai yang sama atau berlawanan
b. Antara DNA dan molekul protein

1.7 Respon kerusakan DNA


Respon kerusakan DNA adalah jalur transduksi sinyal kompleks
yang diperlukan untuk menjaga informasi genetik yang dikode oleh DNA
dan untuk memastikan transmisi akurat antar generasi. Kerusakan DNA
yang diperbaiki dapat menyebabkan mutasi, sedangkan kerusakan yang
tidak diperbaiki dapat mengakibatkan penuaan seluler atau apoptosis
(Welsh et al, 2004;.. Mendoza et al, 2013; Ciccia dan Elledge, 2010).
Disregulasi dari sistem perbaikan terhadap kerusakan DNA dapat
menyebabkan beberapa gangguan manusia yang berhubungan dengan
kerentanan kanker, penuaan dini, dan kelainan perkembangan (Pan et al.,
2016).
Respon kerusakan DNA dipicu oleh berbagai penyimpangan fisiko-
kimia dalam genom. Beberapa penyimpangan DNA disebabkan oleh
proses fisiologis seperti ketidaksesuaian selama replikasi DNA dan untai
DNA mutilasi yang disebabkan oleh aktivitas gangguan fungsi
topoisomerase I dan II (Jackson dan Bartek, 2009). Lesi pada DNA juga
dapat timbul dari pelepasan spesies oksigen reaktif (ROS) pada respirasi
oksidatif atau melalui peristiwa redoks- oleh logam berat (Valko et al.,
2006). Agen perusak DNA lainnya adalah sinar ultraviolet, radiasi pengion
dan berbagai macam bahan kimia (Hoeijmakers, 2009). Juga replikasi
stres akibat sinyal onkogenik dapat mengakibatkan ketidakstabilan genom
(Halazonetis et al., 2008). Faktor-faktor endogen dan eksogen
menyebabkan lesi beragam di DNA seperti perubahan nukleotida
(substitusi, penghapusan, dan penyisipan), adduct besar, untai tunggal
istirahat (SSBs) dan double-strand breaks (DSBs) (Rodriguez, 2011).
Signal kerusakan DNA adalah langkah awal dari mekanisme
perbaikan kerusakan DNA dan melibatkan sekelompok molekul
penginderaan lesi spesifik. Deteksi kerusakan diikuti oleh perekrutan
sekelompok sel transduser, yang terdiri dari sejumlah protein kinase.
Sehingga sistem perbaikan (efektor) termasuk regulator siklus sel,
nucleases, helicases, polimerase, ligases terlibat dalam memperbaiki
kerusakan, sehingga menjaga integritas genom (Pan et al., 2016).

1.7.1 Inflamasi kronis sebagai akibat dari respon kerusakan DNA


Peradangan adalah respon protektif untuk mengeliminasi agen
merugikan, menghilangkan sel nekrotik dan inisiasi perbaikan jaringan.
Meskipun efeknya menguntungkan, respon inflamasi berkepanjangan
dapat menyebabkan kerusakan seperti luka pada jaringan normal dan
memperparah penyakit inflamasi. Peradangan berkepanjangan dapat
menjadi suatu hasil dari respon kerusakan DNA yang menetap atau
akumulasi kerusakan DNA akibat mekanisme perbaikan yang kurang.
Kerusakan DNA yang diakibatkan peradangan juga dapat
mendorong pembentukan tumor. Misalnya, karsinoma hepatoseluler yang
diinduksi diethylnitrosamine (DEN) dimediasi peradangan IKK.
Karsinogen DEN menyebabkan kerusakan DNA dan menyebabkan
hepatosit kematian nekrotik mengakibatkan aktivasi respon inflamasi
mempromosikan perkembangan tumor (Maeda et al., 2005).
Respon kerusakan DNA memicu sel untuk mengeluarkan faktor
pertumbuhan, protease, dan sitokin inflamasi, disebut penuaan terkait
sekretorik fenotipe (SASP;. Freund et al, 2011). Sekresi sitokin meningkat
pada respon kerusakan DNA persisten dan bukan pada respon kerusakan
akut.

1.7.2 Inflamasi kronis sebagai pemicu kerusakan DNA dan keganasan


Beberapa studi telah meneliti peran respon kerusakan DNA kondisi
fisiologis in vivo, seperti peradangan, dalam menginduksi kerusakan DNA.
Peradangan kronis baru-baru ini muncul sebagai modulator penting dari
kerentanan mutasi DNA. Penyakit inflamasi kronis seperti radang usus,
hepatitis dan pankreatitis menginduksi enzim oksidan yang menghasilkan
termasuk NADPH oksidase dan nitrat oksida sintase (iNOS), sehingga
menghasilkan produksi yang berlebihan dari senyawa mutagenik seperti
ROS dan spesies nitrogen reaktif (RNS; Bartsch dan Nair, 2006). ROS
diproduksi oleh neutrofil dan makrofag (Coussens dan Werb, 2002) dapat
menyebabkan kerusakan DNA nuklir dan mitokondria (Wiseman dan
Halliwell, 1996). Kerusakan yang disebabkan oleh reaksi nitrasi, oksidasi,
metilasi dan deaminasi menyebabkan perubahan dalam struktur DNA
yang pada akhirnya dapat menyebabkan mutasi, penyusunan ulang,
penghapusan dan sisipan dan tidak langsung mengarah ke basis alkilasi
melalui peroksidasi lipid (LPO; Wiseman dan Halliwell, 1996). Secara
paralel untuk menyebabkan kerusakan DNA, ROS dapat menyebabkan
kerusakan protein oksidatif dengan memodifikasi aktivitas polimerase
DNA, sehingga merusak jalur perbaikan DNA (Wink et al., 1998). ROS
dapat juga memodifikasi fungsi protein yang terlibat dalam proliferasi dan
diferensiasi sel (Wiseman dan Halliwell, 1996). Akumulasi kerusakan DNA
yang disebabkan oleh salah satu peningkatan kerusakan oksidatif atau
penurunan efisiensi perbaikan, menyebabkan penyakit keganasan.
Misalnya, kerusakan DNA oksidatif yang terjadi pada gen supresor tumor,
onkogen dan regulator kunci dari proliferasi sel dapat mendorong
terjadinya pembentukan tumor (Meira et al., 2008). Sel dalam kondisi stres
oksidatif mengembangkan transformasi keganasan. Secara bersama-
sama, peradangan kronis disertai dengan generasi ROS mendorong
transformasi sel normal menjadi sel ganas melalui produksi kerusakan
DNA oksidatif dan penurunan jalur perbaikan DNA.
Ada bukti yang berkembang menunjukkan bahwa peradangan
kronis menginduksi ROS yang menyebabkan kerusakan DNA memicu
terjadinya beberapa kanker pada manusia. Misalnya, kanker hati terkait
dengan infeksi virus hepatitis B. Pasien yang terinfeksi HBV kronis dengan
hepatitis kronis dan sirosis hati memiliki marker urin penanda perbaikan
DNA yang lebih tinggi dibandingkan dengan penderita asimtomatik HBV.
Induksi perbaikan DNA yang rusak dapat berhubungan dengan
peradangan kronis HBV-diinduksi menyebabkan lesi DNA melalui produksi
berlebihan dari ROS dan RNS (Nair et al., 2002). Contoh lain
mengungkapkan cholangiocarcinoma, kanker yang timbul dari sel-sel di
dalam saluran empedu itu terbukti berhubungan dengan respon inflamasi.
Paparan cholangiocarcinoma sel terhadap respon sitokin inflamasi seperti
IL-1, IFN-, dan TNF- menyebabkan aktivasi iNOS dan produksi
berlebihan dari nitrat oksida (NO) yang menyebabkan kerusakan DNA dan
gangguan perbaikan DNA (Jaiswal et al., 2000). Peradangan telah terbukti
secara sinergis dengan kerusakan DNA dalam rangka untuk menginduksi
mutasi pemicu perkembangan kanker.
Meskipun demikian, peradangan kronis dapat menyebabkan
kerusakan DNA secara independen tanpa rilis ROS. Hubungan antara
peradangan kronis dan pembentukan tumor ini lebih didukung oleh
penemuan yang menunjukkan bahwa mediator inflamasi menyebabkan
ketidakstabilan genetik dengan mengarah ke akumulasi perubahan
genetik acak dalam sel-sel kanker. Contoh pemain kunci peradangan
terkait kanker (CRI) termasuk limfosit tumor-infiltrasi, makrofag tumor
terkait (TAM), sekresi sitokin seperti TNF, IL-1, IL-6, dan kemokin seperti
CCL2 dan CXCL8, selain terjadinya remodeling jaringan dan angiogenesis
(Colotta et al., 2009). Sekresi sitokin mengaktifkan faktor transkripsi
onkogenik NF-kB dan STAT3, baik menginduksi ekspresi gen target
penting bagi pembentukan tumor seperti gen anti-apoptosis, gen stres-
respon dan molekul pro-angiogenik.
Singkatnya, respon inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi,
penyakit autoimun atau paparan iritasi pada organ yang dipilih memicu
terjadinya kanker melalui peningkatan kerusakan DNA dan menghambat
jalur perbaikan DNA .
1.8. Hubungan Terapi HBO dengan DNA pada kasus Acne Vulgaris

Hyperbaric oxygen (HBO2) therapy adalah modalitas terapi yang


mana seseorang menghirup 100% O2 sementara dipaparkan dengan
tekanan atmosfer yang meningkat. Telah diterima baik bahwa bernafas O2
pada tekanan lebih dari 1 ATA akan meningkatkan produksi reactive
oxygen species (ROS). Ini sangat penting sebagai dasar molekular untuk
sejumlah mekanisme terapeutik (Thom, 2011). Spesies reaktif tersebut
dapat menghasilkan efek positif atau efek negatif bergantung pada
konsentrasi dan lokalisasi intraseluler (Thom, 2011).
Akne vulgaris adalah peradangan kronik folikel pilosebasea yang
ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, dan kista (Irma Bernadette
dan Sjarif, 2016). Propionibacterium acnes meningkatkan respon
inflamasi dengan mengaktifkan komplemen, yang pada akhirnya
mengawali kaskade proses pro-inflamasi. P.acnes memfalisitasi inflamasi
dengan merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat dengan
memproduksi lipase, protease, hyaluronidase, dan faktor kemotaktik.
Disamping itu, P.aknes tampak menstimulasi regulasi sitokin dengan
berikatan dengan Toll-like receptor 2 pada monosit dan sel
polimorfonuklear yang mengelilingi folikel sebacea. Setelah berikatan
dengan Toll-like receptor 2, sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12,
dan TNF- dilepaskan. (Zanglein AL, 2008).
Respon inflamasi berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan
seperti luka pada jaringan normal dan memperparah penyakit inflamasi.
Peradangan berkepanjangan dapat menjadi suatu hasil dari respon
kerusakan DNA yang menetap atau akumulasi kerusakan DNA akibat
mekanisme perbaikan yang kurang. Respon kerusakan DNA memicu sel
untuk mengeluarkan faktor pertumbuhan, protease, dan sitokin inflamasi,
disebut penuaan terkait sekretorik fenotipe (SASP;. Freund et al, 2011).
Sekresi sitokin meningkat pada respon kerusakan DNA persisten dan
bukan pada respon kerusakan akut. Beberapa studi telah meneliti peran
respon kerusakan DNA kondisi fisiologis in vivo, seperti peradangan,
dalam menginduksi kerusakan DNA.
ROS diproduksi oleh neutrofil dan makrofag (Coussens dan Werb,
2002) dapat menyebabkan kerusakan DNA nuklir dan mitokondria
(Wiseman dan Halliwell, 1996). Secara paralel untuk menyebabkan
kerusakan DNA, ROS dapat menyebabkan kerusakan protein oksidatif
dengan memodifikasi aktivitas polimerase DNA, sehingga merusak jalur
perbaikan DNA (Wink et al., 1998). ROS dapat juga memodifikasi fungsi
protein yang terlibat dalam proliferasi dan diferensiasi sel (Wiseman dan
Halliwell, 1996).
Terapi hiperoksigen meningkatkan kadar ROS pada intraseluler dan
ekstraseluler, mengurangi penyerapan glukosa dan pelepasan laktat serta
meningkatkan pelepasan gliserol. Ketika ada stress oksidatif Cull3 dan
kelch yang terletak di kf1 akan meningkatkan DLG dan ETGE yang
terletak di nrf2. Kemudian basic yang terletak di nrf6 akan mengaktivasi
antioksidan reaktif elemen (Emilia, 2013).
Salah satu mekanisme peningkatan ekspresi gen antioksidan
adalah melalui aktivasi nuclear factor erythroid related factor 2(nrf2)
sehingga terjadi peningkatan gen yang berperan dalam sintesis enzim
antioksidan endogen seperti misalnya gen SOD. Penelitian pada tikus
dengan iskemi, terapi HBO menyebabkan peningkatan kadar glutathione
dan SOD pada hati dan memproteksi hati terhadap kerusakan sel (Cheng
O, 2011).
Superoksida dismutase (SOD) merupakan basis pertama
pertahanan terhadap toksisitas oksigen. SOD memainkan peran sentral
dalam pertahanan terhadap stres oksidatif pada semua organisme
aerobik. Enzim SOD termasuk kelompok metalloenzymes dan
mengkatalisis dismutasi dari O2 menjadi O2 dan H2O2. Enzim ini
mengkatalisis konversi superoksida menjadi hydrogen peroksida yang
kurang toksik. Superoksida dismutase berperan dalam melawan radikal
bebas pada mitokondria, sitoplasma dan bakteri aerob dengan
mengurangi radikal bebas superoksida. Kelebihan SOD telah dilaporkan
menghasilkan toleransi stres oksidatif ditingkatkan pada tanaman (Pallavi
Sharma et al,2012)

Pallavi Sharma, Ambuj Bhushan Jha, Rama Shanker Dubey, and


Mohammad Pessarakli, 2012.
Reactive Oxygen Species, Oxidative Damage, and Antioxidative Defense
Mechanism in Plants under
HBOStressful Conditions

pO2

SOD

ROS

Stres Oksidatif

DNA damage Apoptosis

Sitokin
Proinflamasi Tumorogenesis
(IL-1, IL-8, IL-12,
dan TNF-)

Inflamasi

Acne vulgaris

Anda mungkin juga menyukai