Anda di halaman 1dari 26

BAB II

DESKRIPSI PROSES

2.1 Spesifikasi Produk dan Bahan Baku


1. Spesifikasi Produk

Hasil Produksi dari proses produksi PG. Lestari adalah sebagai berikut:

a. Gula Pasir
Merupakan produk utama yang dihasilkan pabrik. Mengenai penjualan gula
tersebut adalah tersebut adalah wewenang pemerintah melalui Badan Urusan
Logistik (BULOG)
b. Tetes
Merupakan nira yang tidak dapat menjadi gula yang dapat digunakan untuk
produksi alkohol, spirtus, sebagai bahan penyedap rasa yang djual ke perusahan
lain, dan sebagai campuran konstruksi bangunan.
c. Ampas Tebu
Yaitu ampas terakhir perasan tebu dari stasiun gilingan yang dapat digunakan
sebagai bahan baku pembuatan kertas. Biasanya ampas tebu dijual secara intern
oleh pihak pabrik atau bahan bakar di Stasiun Ketel (Boiler).
2. Bahan Baku
Bahan yang dipergunakan dalam proses produksi gula terdiri dari:
a. Bahan baku utama yang digunakan dalam proses produksi adalah tebu.
Perolehan bahan baku ini berasal dari tebu sendiri sebanyak 11,4% dan Tebu
Rakyat Intensif (TRI) sebanyak 89,6%. TRI dibagi menjadi TRI Kredit dan TRI
Mandiri (TRI Non Kredit). Baik Tebu Sendiri maupun TRI, keduanya ditanam
pada dua lahan yaitu lahan sawah dan tegal. Perolehan bahan baku jenis TRI
diperoleh dari petani yang dikoordinir oleh KUD yang ada di sekitar wilayah
kerja pabrik. terletak di Kabupaten Kediri, Nganjuk, Tuban, Bojonegoro. Bahan
baku yang digunakan di PG lestari memiliki syarat tertentu yaitu dari MBS
(Manis Bersih dan Segar). Rasa manis pada tebu dapat diketahui dari umur tebu
dimana semakin tua umurnya maka kadar gulanya semakin tinggi. Syarat bersih
bisa diketahui secara fisik dimana tidak ada kotoran pada tebu termasuk tanah
yang menempel sogolan (tunas kecil yang tidak manis), bonggol, daun, dan
akar. Tebu dikatakan segar dapat diketahui darai waktu ejak tebu ditebang
hingga siap digiling.
Menurut hasil analisa laboratorium PG. Lestari, tebu yang digunakan memiliki
komposisi yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel IV.1 Komposisi Tanaman Tebu

Senyawa Kadar (%)


Sukrosa 11-19
Air 77-88
Sabut 11-19
Senyawa Anorganik 0,2-0,6
Senyawa Organik 0,5-1,0
Gula Reduksi 0,5-1,5

b. Bahan Penolong merupakan bahan baku selain tebu, yaitu:


Kapur
Kapur dijadikan sebagai larutan susu kapur dan digunakan pada
Stasiun Pemurnian Nira yang berfungsi untuuk menaikkan kadar pH nira
dan memurnikan kotoran yang terkandung dalam nira mentah. Pada proses
ini aka dihasilkan nira jernih dan selanjutnya diolah menjadi gula kristal
pada stasiun masakan. Berikut adalah reaksi pembuatan susu kapur:

CaO + H2O Ca(OH)2 + kalori

Belerang
Digunakan padatan belerang untuk proses pembuatan gas SO2 pada
proses Sulfitasi.Ada dua macam cara pembuatan SO2 di PG. Lestari, yaitu:
1. Film type Sulphur Burner (FSB)

Sistem ini terdiri dari empat unit alat yaitu:

a. Melter: alat pertama yang berfungsi untuk meleburkan padatan-padatan


belerang pada suhu operasi 200 C yang dihasilkan dari boiler.
b. Tobong: Belerang dialiri udara kering bersuhu 450-550 C sehingga
dapat bereaksi dengan O2 dan membentuk gas SO2. Reaksi yang terjadi:
S(l) + O2(g) SO2(g)
c. Sublimator: Gas SO2 yang panas dialirkan ke cooler untuk proses
pendinginan oleh air yang berada di dalam anulus.
d. Continuous juice reactor: Terjadi proses pencampuran antara nira
mentah, susu kapur dan gas SO2.
2. Dapur Belerang (Sulphur Burner)
Digunakan bahan baku padatan belerang yang dikontakkan
dengan udara kering bersuhu tinggi sehingga terjadi kontak dengan O2
dan membentuk gas SO2. Reaksi yang terjadi:
S(s) + O2(g) SO2(g)
SO2 dibutuhkan untuk membentuk endapan CaSO3 yang akan
diabsorbsi oleh inti endapan Ca3(PO4)2 yang sudah ada, sehingga diameter
endapan lebih besar dan memudahkan proses pemisahan. Gas SO2 juga
bermanfaat sebagai bleaching agent yaitu untuk mengurangi intensitas
warna pada nira sehingga gula hasil produksi menjadi lebih putih. Selaain
itu, SO2 digunakan untuk menetralisir pH nira yang tinggi akibat
penambahan susu kapur.

Air, digunakan untuk keperluan seperti sanitasi, pendingin mesin,


kondensor, keperluan laboratorium, air injeksi, air imbibisi, pencucian dan
lain sebagainya. Air imbibisi yang digunakan merupakan campuran air
kondensat dari evaporator, jice heater (pemanas pendahuluan), dan Van
masakan yang mengandung gula dengan air treatment.
Pupuk TSP, digunakan sebagai bahan pembantu di Stasin Pemurnian Nira
yaitu dengan membentuk gumpalan atau mikrofilik dari gumpalan yang
dibentuk oleh penambahan susu kapur. Penambahan pupuk phospat dapat
meningkatkan kemurnian dan menurunkan warna.
Bahan Penggumpal (Fluccolant), digunakan flocculant anion dengan merk
amifloc yang berfungsi untuk mempercepat pengendapan kotoran pada nira
mentah dengan membentuk gumpalan yang selanjutnya akan dibawa ke
gilingan III agar dapat dimanfaatkan lagi nira yang masih tersisa bersama
dengan hasil gilingan III.
Caustic Soda, digunakan untuk bahan pembersih kerak penguapan.
Asam Fosfat, digunakan untuk pemurnian sehingga dapat terbentuk nira
mentah yang jernih.
Timbal (Pb) Asetat, digunakan untuk larutan penjernih yang akan digunakan
dalam analisis laboratorium

Bahan baku dan baha penolong tersebut adalah menggunakan mesin-mesin


dan peralatan lainnya menjadi produk jadi melalui proses yang disebut
degan proses produksi.

2.2 Langkah Proses


Produk gula yang dihasilkan oleh PG. Lestari adalah gula jenis SHS
(Superiior Hoofd Suiker) dengan melewati beberapa proses, yaitu: persiapan, gilingan,
pemurnian, penguapan, masakan, putaran, pengemasan.
2.2.1. Proses persiapan
Persiapan diawali dengan seleksi tebu berdasarkan uji brix di emplacement
1 menggunakan alat refractometer/handbrix. Setelah terseleksi maka tebu akan
diangkut menuju ke emplacement 2 untuk ditimbang sehingga dapat diketahui jumlah
tebu yang akan digiling dan kemudian agar dapat diatur sebelum proses penggilingan.
Peraturan penggilingan yaitu didasarkan pada kapasitas giling pabrik yang mencapai
4170,1 TCD (Ton Canes per Day) dan berdasarkan seberapa besar kebijakan target
giling dan sisa giling tiap hariya.
Penimbangan tebu dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Penimbangan dengan lori: Lori merupakan alat pengangkut tebu yang
masih digunakan di dalam sekitar pabrk gula. Alat ini hanya digunakan
untuk mengangkut tebu dari timbangan DCS dibawa ke halaman pabrik
dengan bantuan traktor. Di PG. Lestari lori juga digunakan untuk membawa
tebu ke halaman juga menggunakan truk, pada malam hari penampungan
lori akan penuh sehingga dibawa menggunakan truk karena timbangan DCS
pada malam hari tidak berfungsi.
2. Penimbangan dengan truk: Truk yang akan ditimbang masuk ke dalam
landasan timbang, kemudian berat truk terbaca load sel yang datanya akan
terkirim ke CPU yang kemudian hasil timbangan diterjemahkan ke monitor
digital yang terpasang di operator timbangan berkel. Sistim penimbangan
seperti in memudahkan sopir truk dan pihak petan mengetahui hasil
timbangan.

2.2.2. Stasiun gilingan

Stasiun gilingan bertujuan untuk memotong tebu dan mencacah tebu agar sel-sel
tebu tebuka untuk membantu memudahkan proses pemerahan. Pada tahap pendahuluan
digunakan 2 cane cutter, 1 unigator. Dari cane carrier, tebu dibawa ke cane cutter I untuk
dipotong, dipecah, dan dicacah hingga tebu menjadi bagian yang lebih kecil. Dari cane
cutter I kemudian dilanjutkan ke cane cutter II hingga tebu menjadi potongan yang lebih
kecil lagi. Setelah dari cane cutter, tebu dibawa ke unigator yang didalamnya terdapat
hammer shredder yang berfungsi untuk menyempurnakan cacahan tebu dari cane cuter
dengan pukulan (impact) berkali-kali untuk menghancurkan atau memecah tebu, sehingga
menjadi serabut yang lebih halus.

Tahap selanjutnya yaitu penggilingan dengan jumlah total gilingan 4 unit secara
seri. Masing-masing unit gilingan terdiri dari 3 buah rol pemerah (rol depan, rol atas, dan
rol belakang), 1 buah shapper (sisi ampas) dan 1 buah trash plate. Dalam proses
penggilingan, tebu mengalami 8 kali pemerahan, dimana setiap alat gilingan terjadi 2 kali
pemerahan, yaitu saat tebu melewati rol atas dengan rol depan dan saat melewati rol atas
dengan rol belakang. Rol gilingan pada setiap rangkaian disusun segitiga sehingga
membentuk celah antara ketiganya . celah tersebut akan semakin kecil dari gilingan I ke
gilingan IV, karena volume ampas makin kecil dan halus. Arah putaran rol depan dan rol
belakang searah jarum jam, sedangkan untuk rol atas putarannya berlawanan arah jarum
jam jika feed masuk dari kiri. Gilingan I, II, dan III berputar dengan kecepatan 60rpm,
sedangkan gilingan IV berputar dengan kecepatan maksimal 40 rpm. Gilingan IV
merupakan gilingan terakhir sehingga ampasnya sudah tidak terlalu mengandung nira,
sehingga kecepatan putarnya harus diturunkan untuk memperoleh perahan nira. Pada tahap
ini, tebu yang telah dipotong dan dicacah kemudian diperas (ditekan) dengan bantuan rol
gilingan di PG. Lestari menggunakan 4 unit gilingan. Inti proses di stasiun gilingan adalah
proses pemerahan untuk diambil nira sebanyak-banyaknya sebagai bahan dasar pengolahan
gula, sehingga digilingan diharapkan diperoleh % pol ampas < 2%.

Cacahan tebu yang keluar dari unigator akan diangkut oleh slide carrier II menuju
ke gilingan (mill) I. Dari proses pada gilingan I akan diperoleh nira perahan pertama
(NPP), dimana ampasnya akan diangkut oleh intermediate cane carrier I menuju ke
gilingan II untuk diperah kembali. NPP dan nira II akan dicampur menjadi nira mentah dan
ditambahkan dengan Ca(OH)2 hingga pH nira mentah mencapai 6,2. Selanjutnya nira
mentah tersebut disaring dalam satu vibrating screen untuk memisahkannya dari ampas
halus.

Nira yang telah terpisah dari ampas halusnya kemudian dialirkan menuju ke rotary
cush-cush untuk memisahkannya dari ampas halus yang berukuran lebih kecil.
Selanjutnya, nira akan disaring lagi oleh DSM screen yang terletak di bawah rotary cush-
cush untuk menyaring lagi nira dari kotoran yang masih belum bisa disaring, ukuran dari
DSM screen adalah 23x23 mesh. Selanjutya anira mentah akan ditampung ke dalam
sebuah tangki untuk kemudian ditambakan H3PO4. Sementara itu, ampas halus yang
tersaring di vibrating screen, rotary cush-cush dan DSM screen akan diangkut oleh cush
elevator ke intermediate cane carrier I untuk diperah kembali pada gilingan II.

Aliran nira yang keluar dari stasiun gilingan akan melewati magnetic flow meter,
yaitu alat yang terpasang pada pipa transfer dan berfungsi untuk mengukur flow nira yang
masuk ke tangki. Setelah melewati alat tersebut, nira kan mengalir menuju ke stasiun
pemurnian.

Sementara itu, ampas dari gilingan II akan diangkut oleh intermediate cane carrier
II menuju ke gilingan III. Dari gilingan III akan diperoleh nira III yang kemudian dicampur
dengan ampas I dan masuk ke gilingan II. Sedangkan ampas III akan disiram dengan air
imbibisi bersuhu 60-80 C. Jika suhu air imbibisi lebih tinggi dari range suhu tersebut,
maka unsur-unsur bukan gula akan ikut terlarut serta menyebabkan slip pada gilingan.
Sementara jika suhunya terlalu rendah, maka akan ada banyak gula yang tidak larut. Maka,
suhu imbibisi harus dijaga dalam range 60-80 C.

Selanjutnya ampas yang sudah dibasahi dengan air imbibisi akan masuk ke gilingan
IV sehingga diperoleh nira IV yang ditambahkan dengan NaHPO4 (disinfektan) dan
kemudian dicampur dengan ampas gilingan II lalu dialirkan masuk ke gilingn III.
Ampasnya dianguk ke stasiun boiler dengan pengangkut bagasse carrier.

Ampas yang masuk gilingan tidak perlu memiliki ketebalan tetap, sehingga
diperlukan alat penekan gilingan yang bekerja secara hidrolik untuk mengatur tekanan
pada ampas agar dapat konstan.

2.2.3. Stasiun pemurnian

Tujuan utama pemurnian nira yaitu menghilangkan sebanyak mungkin komponen


bukan gula di dalam nira serta mencegah kerusakan sukrosa dan pereduksi
(monosakarida) dengan cara membuat endapan yang akan menyerap (absorbsi)
kotoran/koloid melalui reaksi kimia, serta pemisahan fisis seperti pengendapan saringan.
Nira mentah yang akan diproses di stasiun pemurnian mengandung air, gula,
monosakarida, bahan lilin, asam organik, dan protein, bahan anorganik serta kotoran
tanah dan pasir. Kandungan bukan gula yang terdapat dalam nira harus dihilangkan.

Nira mentah yang keluar dari stasiun gilingan melalui magnetic flow meter akan
ditampung pada tangki nira mentah tertimbang. Pengukuran ini bertujuan untuk
mengetahui jumlah nira mentah yang dihasilkan tiap jamnya. Nira mentah yang telah
tertimbang tersebut akan dicampur dengan nira tapis dari rotary vacuum filter dan
dilarikan ke pemanas pendahuluan (PP) I. Digunakan suhu optimal pada operasi agar
dapat mengurangi kerugian dan menghasilkan keuntungan sebesar mungkin. Pada
pemanas ini digunakan suhu 75-80 C dan untuk pemanas nira II beroperasi pada suhu
105-110 C. Pemanasan pada suhu ini bertujuan untuk membunuh
mikroorganisme,pengurai sukrosa, menggumpalkan protein dari enzim-enzim
mikroorganisme tersebut, dan sekaligus untuk mempersiapkan nira mentah masuk ke
dalam reaktor JFS (juice flow stabilization).

Selanjutnya nira akan masuk ke dalam pre-contactor (static mixer) untuk dicampur
lagi dengan susu kapur. Terdapat dua sistem pada pemurnian ini yaitu yang pertama
dengan menggunakan sistem defekator dan reaktor sulfitasi. Sistem yang kedua yaitu
menggunakan sistem reaktor juice flow. Pada sistem defekator, nira mentah dari stasiun
gilingan dengan pH 5-5,5 yang telah dipanasi di PP I kemudian dipanasi lagi sampai suhu
75 C dan setelah itu ditambahkan kapur 6 Be di defekator I hingga dicapai pH 6,8-7,2
selama 4,4 menit, lalu nira masuk ke defekator II untuk diberi susu kapur lagi sampai
8,6-8,8 dengan waktu tinggal 1 menit. Peningkatan pH bertujuan untuk mencegah
terjadinya kerusakan pada sukrosa dan korosi peralatan akibat pH nira yang terlalu asam.
Static mixer menyebabkan aliran turbulensi pada nira mentah dan susu kapur sehingga
pencampuran lebih homogen. Selanjutnya, nira mentah terdefekasi tersebut akan masuk
ke dalam reaktor FSB. Reaktor ini berfungsi untuk menyempurnakan reaksi antara kapur
sehingga terbentuk endapan kalsium fosfat yang dapat membantu mengikat zat-zat non-
gula dalam nira. Reaksi yang terjadi adalah:

H3PO4 3 H++PO43-

Ca(OH)2 Ca2++2 OH-

2PO43-+ Ca3(PO4)2

Pada proses ini terjadi koagulasi, yitu proses distabilisasi muatan partikel koloid
dengan penambahan koagulan disertai dengan pencampuran sistem overflow di dalam
reaktor untuk mendispersikan bahan kimia secara merata. Apabila muatan koloid
dihilangkan, maka kesetabilan koloid akan berkurag dan menyebabkan koagulasi. Pada
sistem reaksi juiceflow, hasil nira mentah akan langsung direaksikan dengan kapur dan
sulfur dalam satu reaktor. Biasanya sistem ini digunakan ketika proses giling bekerja sudah
mencapai keadaan stabil atau steady state.
Gambar 2.1. Stasiun Pemurnian
Gambar 2.2. Sistem FSB (Film type Sulphur Burner)

Melter

Furnace

Gambar 2.3. Tobong Belerang


Gambar 2.4. Continuous Juice Reactor

Di salam reaktor FSB terjadi proses sulfitasi dengan mencampur nira susu kapur
dan gas belerang (SO2), dimana penambahan susu kapur ini dilakukan secara volume by
volume dan dikontrol dengan control valve yang terdapat pada control room FSB. Waktu
tinggal di dalam reaktor FSB maksimal adalah 30 detik. Hal ini disebabkan karena sifat
gula reduksi yang mudah rusak pada pH tinggi, sehingga reaksi dalam reaktor tidak boleh
terlalu lama dengan kondisi alkalis.

SO2 yang digunakan merupakan hasil pembakaran belerang cair dengan O2 dalam
furnace FSB. Syarat pembakarannya adalah sebagai berikut:

1. Arus masuk belerang dan gas SO2 harus konstan


2. Jumlah air pendingin bersuhu 70-80 C harus cukup banyak agar gas
yang dihasilkan dan cepat didinginkan hingga suhunya di bawah 200 C
agar suhunya sama dengan suhu nira mentah yang masuk reaktor.
Proses pembakaran pada furnace FSB adalah sebagai berikut:

1. Udara dilewatkan pada dehumidifier untuk menyaring udara luar


sehingga diperoleh udara kering.
2. Tekanan udara yang masuk pada pembakaran dijaga konstan yaitu
sebesar 0,5 kg/cm2 dengan menggunakan root blower.
3. Belerang cair hasil dari melter dimasukkan ke dalam cerobong yang
diselubungi mantel berisi steam bersuhu 200 C dan kemudian
dihembuskan dengan udara kering sehingga bereaksi dengan O2
menjadi gas CO2.
4. Gas SO2 yang panas dialirkan ke cooler, dimana gas tersebut akan
dingin kembali dengan suhu di bawah 200 C (disesuaikan dengan suhu
pada reaktor FSB).
5. Gas SO2 kemudian dialirkan ke sublimator untuk menangkap padatan
belerang yang terbentuk karena O2 yang berlebih (ekses).

Seteelah nira mengalami proses sulfitasi, kemudian dialirkan ke Pemanas


Pendahuluan (PP) II untuk dipanaskan kembali dengan suhu 100-105 C. Sama halnya
dengan PPI, di dalam PP II juga terdiri dari dua unit juice heater. Tujuan dari pemanasan
ini adalah untuk menyempurnakan reaksi gas SO2 dengan kapur yang berlebih dalam nira,
mempercepat pengendapan, serta untuk menurunkan viskositas dan densitas nira sehingga
dapat mempermudah pengeluaran gas dan proses pengendapan. Nira selanjutnya dialirkan
ke flash tank, dimana gas-gas terlarut yang ikut terbawa nira dilepas ke udara agar tidak
mengganggu proses pengendapan.

2.2.4. Stasiun penguapan

Stasiun penguapan bertujuan untuk menguapkan sebagian air yang terkandung


dalam nira, sehingga diperoleh nira yang lebih pekat dengan konsentrasi yang mendekati
jenuh (32 oBe, brix 64%). Proses penguapan di Pabrik Gula Lestari menggunakan system
quadruple effect yang memiliki 4 badan penguap. Badan 1A dan 1B, 2A dan 2B bekerja
secara paralel, sedangkan badan 3, 4, dan 5 bekerja seacara seri, sehingga dapat dikatakan
bahwa sistem penguapan yang digunakan adalah Quadruple Effect. Namun dalam
kenyataannya di PG Lestari untuk BP 1A tidak digunakan (standby).

Uap bekas yang dihasilkan turbin unigrator dan gilingan langsung dialirkan ke
ruang pemanas evaporator IB dan IIA, karena untuk evaporator IA tidak digunakan lagi
(standby). Uap nira yang dihasilkan evaporator IIA digunakan untuk memanaskan nira
pada evaporator IIB. Uap nira evaporator IIB ini dipakai untuk menguapkan nira di
evaporator III. Uap nira dari evaporator III digunakan untuk menguapkan nira di
evaporator IV. Pada badan akhir di dalamnya diberi alat penangkap nira dengan tujuan agar
percikan nira yang terikut uap akan dikembalikan kedalam evaporator, sedangkan uap
niranya dialirkan menuju kondensor. Adapun proses yang berlangsung dalam stasiun
penguapan adalah sebagai berikut:

Nira encer dari DSM Screen dialirkan masuk ke dalam Clear Juice Tank (CJT). Kemudian
dialirkan menuju evaporator IB dan IIA. Konsentrasi nira jernih yang masuk Badan
Penguapan I sekitar 30Be. Titik didih nira pada badan penguapan I sampai dengan badan
penguapan IV semakin rendah dan nira encer menjadi semakin kental. Uap bekas dengan
suhu 117Be dan tekanan 1,8 kg/cm2 (absolute) di pakai untuk menguapkan nira di
evaporator IB dan IIA di panasi hingga suhu 107Be dengan tekanan 1,3 kg/cm2
(absolute), dari evaporator IB dan IIA kemudian masuk ke evaporator IIB dengan suhu
97Be dan tekanan 0,9 kg/cm2 (absolute), kemudian masuk ke evaporator III dengan suhu
82Be dan tekanan 0,5 kg/cm2 (absolute), selanjutnya nira masuk ke evaporator IV dengan
suhu 55 0C dan vacuum 64 cmHg. Dan yang terakhir nira masuk ke evaporator V dengan
suhu 76Be dan vacuum 56 cmHg. Karena adanya beda tekanan pada tiap-tiap badan maka
terjadi proses aliran nira dari badan penguap I, II, III, dan IV. Nira dari badan akhir
dipompa ke tangki penampungan nira kental, kemudian nira dipompa ke bejana sulfitasi
untuk pemucatan warna dan penurunan viskositas, yang selanjutnya dipompa dan dialirkan
ke tangki diksap yang ada di stasiun masakan.

Dari Badan Penguapan I menghasilkan nira, uap nira, bleeding dan kondensat, dimana nira
mengalir ke Badan Penguap II dan uap niranya digunakan sebagai pemanas Badan
Penguapan II. Bleeding merupakan sisa uap nira yang digunakan sebagai pemanas pada
pan di Stasiun Masakan dan Pemanas Pendahuluan II. Dari Badan Penguapan II
menghasilkan nira, uap nira, bleeding dan kondensat, dimana niranya mengalir ke Badan
Penguapan III pada evaporator IV dan uap niranya digunakan sebagai pemanas Badan
Penguapan III. Sedangkan bleeding digunakan sebagai pemanas Pemanas Pendahuluan I.
Demikian seterusnya sampai evaporator V, tetapi Badan Penguapan III sampai IV tidak
menghasilkan bleeding. Sedangkan uap nira dari evaporator V masuk ke tangki penampung
uap nira untuk diembunkan dengan air injeksi dan menjadi air jatuhan, hal tersebut
merupakan treatment untuk mengkondisikan tangki penguapan dalam keadaan vacuum.
Pada badan I sampai IV sisa uap pemanas akan dikeluarkan melalui pipa amoniak. Karena
kandungan 3% gas tak terembunkan dalam penguapan akan mengurangi 30% efektifitas
penguapan atau proses pindah panas antara uap panas dan nira. Pipa amoniak merupakan
pipa yang terhubung langsung dengan udara bebas, sehingga gas-gas yang tak terembunkan
dapat langsung dibuang menuju udara bebas.

Kondensat yang dihasilkan dari Badan Penguapan I sampai IV di tampung pada suatu
tangki dan dilakukan analisa pH. Kondensat tersebut akan digunakan sebagai air pengisi
ketel dan untuk air proses. Kondensat yang digunakan sebagai air pengisi ketel harus
mempunyai pH sekitar 7. Sedangkan kondensat yang digunakan kembali untuk proses
tidak mempunyai syarat pH tertentu. Kondensat yang digunakan sebagai pengisi air ketel
hanya berasal dari kondensat Badan Penguapan I sampai II, karena air kondensat Badan
Penguapan I, dan II merupakan air negatif yang artinya tidak mengandung gula. Sedangkan
hasil kondensat dari Badan Penguapan III sampai IV digunakan untuk proses, karena air
kondensat tersebut merupakan air positif yang artinya mengandung gula dan digunakan
untuk proses. Selain dilakukan analisa pH, air kondensat juga dilakukan analisa adanya
kandungan gula di dalam air kondensat. Analisa ini dilakukan dengan cara penambahan
indikator Alpha Naphtol sebanyak 3 tetes dan asam sulfat sebanyak 15 tetes, bila warna
menjadi ungu maka dapat disimpulkan bahwa air kondensat masih mengandung gula. Hal
tersebut dilakukan bertujuan untuk meminimalisir terikutnya gula ke tangki pengisi air
ketel.

Nira dari Badan Penguapan IV ditampung pada tangki penampung nira kental dan
diharapkan memiliki kekentalan 30-32Be, yang kemudian dialirkan ke tangki sulfitasi II
(tangki sulfitasi nira kental). Apabila konsentrasi kurang dari 30-32Be akan
mengakibatkan beban penguapan di proses kristalisasi terlalu besar. Pada tangki sulfitasi II
dilakukan penambahan gas SO2 dengan tujuan untuk bleaching (pemucatan warna) serta
menurunkan pH. Nira kental sampai pH 5,4-5,6 kemudian dialirkan menuju Stasiun
Masakan.

Pada Badan Penguapan I sampai IV dikondisikan dalam keadaan vacuum, dengan cara
menginjeksikan air pada pompa vacuum sehingga dapat memvakumkan badan penguapan,
air yang digunakan untuk penginjeksi adalah air campuran dari Sungai Brantas dan air sisa
proses yang sudah mengalami demineralisasi. Hal ini bertujuan untuk menurunkan titik
didih nira sehingga kerusakan nira dapat ditekan, karena jika suhu nira terlalu tinggi maka
nira akan terbentuk menjadi karamel. Selain itu juga berfungsi untuk mengikat ammonia
yang tidak terembunkan. Gas ammonia bereaksi dengan air sehingga akan saling tarik
menarik, reaksi inilah yang akan membuat vacuum. Nira dan uap nira dapat mengalir dari
Badan Penguapan I sampai III karena adanya tenaga pendorong dari pompa sebelum
memasuki Badan Penguapan. Sedangkan pada Badan Penguapan IV sampai V nira dan uap
nira dapat mengalir karena kondisi Badan Penguapan vacuum, sehingga nira dapat tertarik
atau terhisap. Pada Pabrik Gula Lestari, setiap hari ada badan penguapan yang di off-kan
untuk di scrap.

2.2.5. Stasiun masakan

Proses masakan ini bertujuan untuk mengubah sukrosa dari larutan nira menjadi
kristal sukrosa yang mudah dipisahkan dari larutan induknya. Proses utama yang terjadi
pada Stasiun Masakan adalah proses kristalisasi. Proses kristalisasi yang terjadi terbagi
menjadi tiga tahap, yaitu:
1. Tahap pemekatan nira, yaitu pemanasan nira sampai lewat jenuh.
Larutan sukrosa disebut jenuh apabila sukrosa tidak dapat lagi larut dalam larutan
pada suhu tertentu. Dalam keadaan demikian, larutan memperlihatkan keseimbangan
konsentrasi atau kandungan gula tertentu pada suhu tertentu pula. Karena daya larut
sukrosa sangat tinggi, ada suatu kondisi larutan yang masih memungkinkan gula lebih
banyak lagi larut dalam larutan jenuh tersebut pada suhu yang sama. Larutan gula yang
demikian dinamakan larutan gula dalam keadaan lewat jenuh. Keadaan lewat jenuh
tersebut menyebabkan pembentukan suatu pola kristal sukrosa. Kristalisasi diusahakan
terjadi pada suhu serendah mungkin, karena suhu tinggi dapat menyebabkan karamelisasi
(kerusakan struktur) sukrosa. Oleh karena itu, pan-pan masakan pada Stasiun Masakan
dioperasikan dalam keadaan vakum.
2. Tahap pembibitan
Penambahan bibit kristal gula berfungsi sebagai inti Kristal yang selanjutnya dapat
dibesarkan menjadi kristal yang sesuai standar pada pan-pan selanjutnya.
3. Tahap pembesaran Kristal
Pembesaran inti kristal yang telah terbentuk dengan pelapisan molekul-molekul
sukrosa pada inti kristal. Adapun prinsip proses kristalisasi pada Stasiun Masakan adalah
sebagai berikut:
1. Proses kristalisasi dilakukan pada daerah kejenuhan air agar diperoleh pembentukan
kristal yang maksimal. Untuk persiapan memasak terlebih dahulu pan masakan
dibersihkan dengan steam pada suhu 100-120oC selama beberapa menit hingga semua
sisa gula melarut. Kemudian semua pipa pemasukan udara ditutup dan pan masakan
dibuat vakum (60-65 cmHg). Aliran steam dibuka sedikit untuk memanasi pan
masakan dengan suhu pemanasan 60-65oC.
2. Perkembangan proses kristalisasi seringkali harus dicek dengan pengambilan sampel
masakan dan mengamatinya dengan mikroskop. Apabila diketahui terdapat kristal
palsu, maka segera dihilangkan dengan cara penyiraman air panas ke dalam pan agar
pertumbuhan kristal berjalan dengan baik dan ukurannya seragam.
3. Masakan siap diturunkan ke dalam palung apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
% brix sudah tinggi
Apabila ditekan dengan jari terasa ada pasir dan tidak licin
Ukuran kristalnya telah memenuhi ukuran standar
Bahan dasar pembuatan kristal gula pada Stasiun Masakan adalah nira kental
tersulfitasi yang keluar dari Stasiun Penguapan. Banyaknya tingkat proses kristalisasi
tergantung pada kemurnian nira kental tersulfitasi sebagai bahan baku, dimana HK (Hasil
bagi Kemurnian) yang diinginkan adalah yang kandungannya rendah di dalam tetes yang
dihasilkan. Bila HK nira tersebut lebih dari 80, maka proses dilakukan dengan 3 tingkatan,
yaitu ACD. Sedangkan bila HK-nya di bawah 80, maka proses cukup dilakukan dengan 2
tingkatan, yaitu AC/D.
HK pada PG. Lestari lebih dari 80, sehingga menggunakan sistem masakan ACD
atau 3 tingkatan proses, yaitu masakan A merupakan masakan gula produk, masakan C
merupakan masakan yang menghasilkan gula einwurf (babonan/bibitan) bagi masakan A,
sedangkan masakan D merupakan bahan babonan untuk masakan C atau A. Proses
masakan berlangsung dalam suatu calandria pan pada tekanan vakum 0,5 cmHg untuk
mencegah kerusakan pada nira dengan suhu 65-70oC. Dengan sistem bertingkat dan
kondisi vakum, diharapkan:
1. Proses kristalisasi dapat berjalan secara optimal.
2. Tingkat memasak rendah.
3. HK masakan tinggi.
4. Kualitas masakan prima:
Ukuran kristal kasar SHS rata-rata 0,9-1,1 mm.
Volume masakan yang turun optimal (volume efektif).
Masakan yang turun dalam kondisi tua, yaitu memiliki stroop yang tipis dan tidak
terdapat kristal palsu.
5. Dapat dilakukan pengendalian % brix dan HK pada masakan yang turun :
Masakan A: % brix > 94% dan HK > 81
Masakan C: % brix > 96% dan HK > 71
Masakan D: % brix > 99,5% dan HK > 58-60
Adapun proses yang terjadi pada Stasiun Masakan dengan sistem ACD akan
dijelaskan sebagai berikut:
Masakan D2
Proses yang terjadi pertama kali adalah pada pan untuk masakan D2. Bahan
masakan pada pan ini adalah stroop A dan fondan. Fondan adalah bibit kristal halus yang
merupakan inti kristal gula D. Tujuan dari penambahan fondan ini adalah agar
pengambilan sukrosa dari larutan nira kental dapat berlangsung lebih cepat, sehingga
proses pembesaran inti kristal gula juga dapat berlangsung lebih cepat. Selanjutnya bahan-
bahan tersebut dimasak sampai masakan menjadi tua, yaitu diperoleh kristal dengan
lapisan stroop seminimal mungkin. Namun, pada masa awal gilingan, sebelum ada stroop
A, digunakan nira kental sebagai bahan masakan. Penambahan nira kental ini juga dapat
dilakukan jika HK nira kurang dari standar.
Setelah mencapai total volume tertentu, nira masakan D2 dibagi menjadi 2 masakan
D1 dengan volume yang sama dalam 2 pan yang berbeda. Pada pan D1 ini, nira tersebut
dimasak dengan stroop C dan klare D yang ditambahkan sedikit demi sedikit. Stroop C
merupakan nira yang terpisah dari gula C pada centrifuge C. Sedangkan klare D
merupakan nira yang terpisah dari gula D2 yang masuk pada centrifuge D1 dan D2. Proses
pemasakan ini dilakukan hingga kristal yang dihasilkan memenuhi ukuran standar, yaitu
0,3 mm. Hasil masakan (massecuite) D ini kemudian diturunkan ke dalam palung D untuk
dilakukan pendinginan.
Tujuan dari pendinginan pada palung D adalah untuk menurunkan suhu hasil
masakan dan meningkatkan nilai kejenuhan sehingga dapat mendorong terjadinya proses
penempelan sukrosa pada kristal yang telah terbentuk dan memudahkan proses
pengkristalan. Pengkristalan ini disebabkan oleh proses pendinginan masakan yang
berjalan lambat. Dengan semakin banyaknya kristal yang terbentuk, viskositas masakan
menjadi semakin rendah, sehingga proses centrifuge nantinya dapat berlangsung lebih
mudah. Masakan selalu diusahakan bergerak agar pendinginannya teratur dan tidak
membatu atau mengeras menjadi kerak. Oleh karena itu, palung pendingin dilengkapi
dengan spiral pengaduk yang dapat berputar pada porosnya dan digerakkan oleh suatu
wormwheel. Massecuite D1 akan diputar dengan LGF (Low Grade Fugal) khusus D1 pada
Stasiun Putaran sehingga diperoleh gula D1 serta hasil samping berupa tetes. Gula D1 akan
di-centrifuge kembali dengan LGF D2 untuk memisahkan gula D2 dengan klare D. VI-44
Masakan C
Bahan pada masakan C adalah stroop A yang ditambah dengan gula D2 sebagai inti
kristalnya. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam pan masakan C dan dipanaskan
menggunakan exhaust steam sampai masakan menjadi tua. Setelah diperoleh kristal sesuai
standar yang diinginkan, massecuite C ini diturunkan dan dimasukkan ke dalam palung
pendingin C untuk didinginkan sambil diputar. Selanjutnya, massecuite C tersebut akan di-
centrifuge dengan LGF C untuk memisahkan antara gula C dengan stroop C.
Masakan A
Bahan pada masakan A adalah nira kental tersulfitasi, klare SHS dan gula C atau
D2. Proses masakan dilakukan pada pan masakan A2 dengan kondisi vakum 60-65 cmHg.
Bahan masakan tadi dipanaskan dengan exhaust steam sampai daerah jenuh dan
ditambahkan bibitan C atau D2. Selanjutnya, campuran tersebut dipanaskan kembali dan
ditambahkan bahan baku nira secara bertahap. Pemanasan dilakukan sampai terbentuk
bibitan A, dimana bibitan A ini dibagi menjadi 2 bagian masakan A1. Pada pan A1 ini
dilakukan pembesaran kristal kembali dengan cara yang sama. Nira kental tersulfitasi,
klare SHS dan leburan gula C atau D2 ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam pan A1
sampai mencapai keadaan jenuh.
Setelah memenuhi standar ukuran kristal, yaitu 0,9-1,1 mm, massecuite A
kemudian diturunkan ke dalam palung pendingin A untuk didinginkan. Dari palung
pendingin, massecuite A dipompa ke dalam centrifuge HGF (High Grade Fugal) A pada
Stasiun Putaran. Dari proses centrifuge ini, akan diperoleh gula SHS, klare SHS dan stroop
A. Stroop A akan digunakan sebagai bahan masakan C dan D, klare SHS menjadi bahan
baku masakan A, sementara gula SHS akan masuk ke Stasiun Penyelesaian.
Adapun jenis pan masakan yang digunakan di PG. Lestari ini adalah Calandria Pan
yang merupakan jenis pan masakan dimana larutan gula berada di dalam pipa, sedangkan
steam pemanasnya berada di luar pipa.
Gambar 2.5. Pan A

Gambar 2.6. Pan D


Gambar 2.7. Pan C

2.2.6. Stasiun putaran

Setelah nira dimasak di Stasiun Masakan, massecuite (hasil masakan) ditempatkan


terlebih dahulu di palung pendingin (Crystallizer) agar mengalami proses Na-Kristalisasi.
Dimana proses ini berfungsi untuk menguatkan kristal gula yang ada pada massecuitte.
Selanjutnya, massecuite masuk ke Stasiun Putaran. Di dalam Stasiun Putaran ini terjadi
proses centrifuge yang bertujuan untuk memisahkan kristal gula yang telah terbentuk dari
larutan induknya. Pemisahan ini dilakukan dengan menggunakan prinsip gaya putar
sentrifugal, dimana massecuite didiorong ke sisi-sisi basket menjauhi poros putaran. Gula
akan tertahan di saringan pada sisi basket tersebut, sedangkan larutannya akan keluar
menembus saringan.

Yang perlu diperhatikan dalam proses ini adalah adanya penambahan air siraman
pada tiap alat centrifuge. Penambahan air ini dimaksudkan agar stroop yang tertinggal
dalam ruang antar kristal dapat terdorong keluar (menghindari kerak) dan yang masih
menempel pada gula dapat larut dan terbawa keluar. Bila terdapat kristal gula yang sangat
kecil dalam jumlah banyak, maka akan menghambat laju keluarnya stroop sehingga gula
hasil centrifuge menjadi tidak putih seperti yang diinginkan. Air siraman yang digunakan
adalah air sumur bersuhu 30oC agar pengenceran stroop yang menempel pada gula
menjadi lebih mudah dan viskositasnya tetap rendah. Penambahan air ini harus dikontrol
jumlahnya untuk menghindari ikut terlarutnya gula produk.

Ada 2 jenis centrifuge machine di PG. Lestari, dimana masing-masing memiliki


fungsi khusus. Peralatan dan proses yang terjadi di dalamnya tersebut antara lain:

1 Low Grade Fugal (LGF) atau putaran continue


Massecuite D yang turun ke palung D didinginkan selama 8-14 jam kemudian
dipompa masuk ke bak penampung (feeding mixer) khusus massecuite D. Kemudian
massecuite tersebut akan masuk ke dalam tiap LGF melalui katup pengisian dan di-
centrifuge secara kontinyu serta ditambahkan air siraman untuk memisahkan kristal dari
kotorannya. Di PG. Lestari terdapat 10 buah LGF yang digunakan di setiap masakan.
Untuk masakan D1 menggunakan 2 putaran LGF. Untuk masakan D2 menggunakan 6
putaran LGF dan untuk masakan C menggunakan 2 putaran LGF. Dari centrifuge ini akan
diperoleh hasil berupa gula D1 dan tetes akhir. Gula D1 akan tertahan, sedangkan tetes
keluar dari saringan yang kemudian akan ditampung, ditimbang dan dialirkan ke tangki
penyimpanan. Tetes ini nantinya digunakan oleh produsen lain untuk memproduksi spirtus
dan monosodium glutamate (MSG).

Sementara itu, gula D1 dialirkan ke feeding mixer lainnya dan ditambahkan air
untuk kemudian dipompa ke distributor mixer gula D2. Selanjutnya gula ini dimasukkan ke
centrifuge D2 dan dilakukan penyiraman sekali yang menghasilkan gula D2 . Kemudian
gula D2 dialirkan turun ke mixer gula D2 dan dipompa ke tangki pembibitan C atau D2
untuk proses pembibitan C di Stasiun Masakan serta klare D yang dipompa ke tangki klare
D. Prinsip kerja pada centrifuge ini sama dengan centrifuge LGF D1. Gula D2 akan
tertahan dan dialirkan masuk ke pan masakan A atau C. Sedangkan klare D dapat keluar
saringan untuk ditampung dalam tangki klare dan siap digunakan sebagai bahan baku pada
masakan D.

Pada proses centrifuge hasil masakan C digunakan alat centrifuge kontinyu semi
otomatis, dimana hanya dilakukan sekali penyiraman yang menghasilkan gula C dan
stroop C. Gula C akan tertahan di saringan dan turun untuk dialirkan sebagai bahan
masakan A, sedangkan stroop C yang lolos saringan akan dialirkan ke tangki penampung
stroop dan disiapkan untuk bahan masakan D.

2 High Grade Fugal (HGF) atau putaran semi discontinue


Alat ini digunakan untuk proses centrifuge massecuite A, dimana sistemnya
berjalan secara diskontinyu atau batch dimana prosesnya berlangsung sebanyak 1 kali
putaran. Pada PG. Lestariterdapat 7 alat HGF yang digunakan, masing masing alat
memiliki kapasitas sebesar 12,23 ton/jam. 3 alat HGF untuk gula SHS dan 4 alat HGF
untuk masakan gula A.

Gambar 2.8. Low Grade Fugal (LGF)

Gambar 2.9. High Grade Fugal (HGF)


Sebelum centrifuge dimulai, alat ini dibersihkan secara manual dengan steam dan
dilanjutkan dengan penyiraman air. Larutan gula masuk ke dalam alat centrifuge dan
kemudian dilakukan 1 tingkat pemutaran (Single Curring). Massecuite A dari palung
pendingin dialirkan ke dalam centrifuge HGF dan masuk melalui katup pengisian. Stroop A
yang keluar lolos dari saringan ditampung dan dialirkan kembali ke Stasiun Masakan untuk
bahan masakan C dan D.

Dari proses centrifuge tadi juga menghasilkan klare SHS dimana klare SHS yang
lolos dari saringan tersebut akan dicampur dengan nira kental dan dialirkan ke Stasiun
Masakan sebagai bahan masakan A, sedangkan kristal gula SHS akan turun ke talang
goyang.

2.2.7. Stasiun penyelesaian

Tujuan dari semua proses di Stasiun Penyelesaian ini meliputi pengeringan gula,
pendinginan gula, pemilahan gula berdasarkan ukuran kristalnya, serta penimbangan dan
pengemasan. Gula yang keluar dari HGF masih mengandung sedikit air dan ukurannya
tidak merata sesuai kualitas yang diinginkan. Gula tersebut akan turun ke talang goyang,
dimana alat ini berfungsi sebagai transfer dan pengering atau pendingin agar memenuhi
syarat pengemasan, untuk memecah gula yang masih menggumpal, serta menghilangkan
steam kering yang masih tertinggal.

Setelah melewati talang goyang, gula akan dipisahkan antara gula kasar dengan
gula halus dan gula produksi. Setelah terpisah, gula halus dan gula produksi juga akan
dipisahkan dan dimasukkan ke bucket elevator dalam keadaan telah kering dan dingin
untuk diangkut menuju ke vibrating screen. Saringan ini berfungsi untuk memisahkan gula
berdasarkan ukuran kristalnya, dimana gula yang ukurannya tidak memenuhi syarat (terlalu
besar atau terlalu kecil) akan dilebur kembali. Alat ini tersusun atas 2 saringan yang
berguna untuk menahan gula yang ukuran kristalnya lebih besar daripada gula kasar dan
untuk meloloskan gula yang ukuran kristalnya lebih kecil daripada gula halus. Sehingga
gula yang tertahan di saringan bagian bawah merupakan gula produk SHS yang sesuai
dengan standar yang diinginkan. Gula kasar dan gula halus akan dilebur dalam tangki
leburan yang kemudian akan dipompa masuk ke dalam tangki nira tersulfitasi dan
disiapkan sebagai bahan masakan A. Sedangkan gula produk akan masuk dan ditampung
dalam corong sugar bin.

Proses pengemasan berlangsung secara manual, dimana karung plastik dipasang


secara manual pada bagian bawah sugar bin dan gula diisikan ke dalam karung tersebut.
Setelah itu, dilakukan penimbangan untuk memastikan bahwa beratnya 50 kg per
karungnya. Karung gula yang sudah ditimbang kemudian dijahit dengan mesin jahit, dan
ditumpuk untuk dihitung rate produksi tiap jamnya. Kemudian karung-karung berisi gula
tersebut akan dibawa ke gudang penyimpanan gula, dan dilakukan perhitungan ulang.

Adapaun syarat-syarat gula yang dapat dimasukkan ke dalam gudang gula, yaitu:

1 Gula berada dalam karung atau sak yang sudah ditimbang


2 Ukuran kristal rata-rata sesuai dengan standar.
3 Gula harus berada dalam kondisi kering.
4 Jahitan karung atau sak harus kuat dan tidak bocor.
5 Gula harus bersih dari kotoran dan warna gula sesuai dengan standar.
6 Karung atau sak ditulis label mengenai isi, berat netto, periode dan tahun produksi.

Gambar 2.10. Sugar Dryer&Cooler


Gambar 2.11. Vibrating Screen

Gambar 2.12. Sugar Bagging


Gambar 2.13. Sugar Bagging

2.2.8. Gudang bahan baku

Gudang merupakan sarana pendukung kegiatan produksi industri yang berfungsi untuk
menyimpan bahan baku penunjang, peralatan produksi, dan produk gula yang belum
didistribusikan. Selain untuk penyimpanan, gudang juga berfungsi untuk melindungi bahan
baku penunjang, peralatan produksi dan gula dari pengaruh luar, binatang pengerat dan
serangga serta melindungi dari kerusakan. Bahan baku penunjang yang disimpan antara lain
padatan belerang (S), kapur, HCl, NaOH, asam fosfat, dan bahan kimia yang lain yang
diperlukan pabrik. Sedangkan peralatan produksi yang disimpan berupa oli, pipa, rantai, dan
peralatan mekanis lainnya yang dibutuhkan PG Lestari
Gambar 2.14. Gudang Material PG Lestari

Gambar 2.15. Tampak Dalam Gudang Material PG Lestari

Anda mungkin juga menyukai