Anda di halaman 1dari 22

John Deere Components Works

Profil Perusahaan

Deere & Company


John Deere, didirikan pada tahun 1837 oleh John Deere pandai besi yang
mengembangkan alat bajak baja pertama yang sukses secara komersial.
Selama tahun 1970, Deere menghabiskan lebih dari satu miliar dollar pada
modernisasi pabrik, perluasan usaha dan perkakas. Selama tiga dekade,
Deere mengembangkan lini produknya, membangun pabrik baru dan
menjalankan usaha sesuai dengan kapasitas pabrik, namun tetap tidak
mampu untuk memenuhi permintaan.

Dalam periode yang sama, Deere melakukan diversifikasi terhadap


peralatan industri lainnya seperti konstruksi, utility, dan pertambangan.
Pada tahun 1962 Deere mulai membangun gedung dan traktor
perkebunan dan peralatan lainnya.

Pada pertengahan tahun 1980 Deere menjadi perusahaan yang bergerak


dalam bidang pertanian dan perkebunan terbesar di dunia. Di tahun 1980,
komoditas pertanian mengalami penurunan dan oleh karena itu, Deere
mengambil beberapa kebijakan yaitu menurunkan level operasinya,
memotong biaya yang memungkinkan, meningkatkan tekanan untuk
mendorong pengambilan keputusan, dan melakukan restrukturisasi. Untuk
meningkatkan volume produksi, Deere ingin agar produksi komponennya
memasok untuk perusahaan dan industri lain.

John Deere Components Works


Selama beberapa tahun, komponen traktor dibuat dan dirakit di pabrik
traktor, Waterloo. Untuk menghasilkan produk lain, pada tahun 1970
Deere berhasil memisahkan komponen produksi traktor menjadi mesin
dan perakitan. Untuk perakitan traktor dan mesin dipindahkan ke pabrik
baru di area Waterloo. Pada akhir tahun ke 10, gedung lama untuk
produksi traktor digunakan untuk memproduksi komponen traktor yang
dinamakan John Deere Component Works (JDCW). JDCW memiliki 3 divisi,
yaitu divisi hydraulics, drive trains division, dan gear dan divisi produk
spesial. JDCW didesain untuk menjadi bagian dari produsen peralatan yang
diproduksi Deere, terutama traktor.

Selama tahun 1970, kegiatan operasi dan peralatan JDCW telah dirancang
untuk membantu divisi traktor sebesar 150 unit per hari. Pada
pertengahan tahun 1980, JDCW memproduksi suku cadang kurang dari
kebutuhan. Aktivitas volume yang rendah merupakan efek yang sangat
merugikan mesin dan bisnis karena mesin tersebut lebih efisien untuk
produksi bervolume tinggi.

Penjualan Internal dan Transfer Pricing


Hampir seluruh penjualan JDCW merupakan penjualan internal. Pabrik
peralatan diminta untuk membeli secara internal komponen-komponen
utama, misalnya transmisi desain lanjutan dan roda yang akan
memberikan keuntungan kompetitif pada Deere. Kebijakan perusahaan
menyatakan bahwa transfer pricing antara divisi ditentukan pada nilai full
cost. Perusahaan juga memiliki kebijakan make-buy, pada saat terjadi
kelebihan kapasitas, divisi yang akan melakukan pembelian harus
menggunakan direct cost dan bukan full cost sebagai acuan untuk
dibandingkan dengan tawaran harga pasar.

Turning Machine Business


Pada awal tahun 1984, operasi JDCW berada jauh di bawah kapasitas dan
para manajer menyadari bahwa mereka tidak dapat menunggu hingga
pasar agrikultur berubah menjadi lebih baik. Pada divisi gear and produk
spesial, sebagian orang memprediksi bahwa produk turning machine akan
menjadi fokus yang menjanjikan. Turning machine ini merubah bahan
mentah menjadi komponen akhir dan merupakan kegiatan operasi divisi
yang paling independen. Turning machine ini memiliki 3 departemen di
JDCW. Ketiga departemen ini dibedakan berdasarkan diameter barstock
yang dapat dibuat oleh mesin tersebut berdasakan katup dalam mesin.

JDCW Standard Cost Accounting System


Dalam perhitungan dengan standard costing, JDCW menjumlahkan unsure-
unsur biaya-biaya terdiri dari:
Direct Labor (run time only)
Direct Material
Overhead (direct + period) applied on direct labor
Overhead (direct + period) applied on material dollars
Overhead (direct + period) applied on ACTS (Actual Cycle Time
Standards) machine hours

Menetapkan Tarif Overhead


Setiap satu tahun sekali, departemen akuntansi JDCW menetapkan
kembali tarif overhead berdasarkan dua studi, studi normal dan studi
proses. Dalam studi normal, menentukan nilai standar dari direct labor dan
machine hours dan total overhead untuk tahun berikutnya dengan
menetapkan volume normal. Studi proses meruntuhkan overhead yang
diproyeksikan pada volume normal di antara 100-plus proses JDCW seperti
lukisan, lembaran logam, menggiling, turning machines, dan heat treating.

Basis Evaluasi untuk Tarif Overhead


Selama beberapa tahun JDCW menggunakan tenaga kerja langsung
sebagai tarif untuk mengalokasikan overhead. Namun pada tahun 1960,
perusahaan menerapkan pemisahan overhead berdasarkan material. Tarif
tersebut termasuk biaya pembelian, penerimaan, pemeriksaan, dan bahan
mentah. Biaya-biaya tersebut dialokasikan ke persentase markup
disamping biaya material. Dari waktu ke waktu tarif terpisah ini sudah
ditetapkan untuk baja, castings, dan pembelian untuk merefleksikan
perbedaan permintaan.

Perhtungan menggunakan tenaga kerja langsung dan material overhead


ini dibagi atas biaya langsung (biaya variabel), seperti biaya setup, scrap,
materials handling, bervariasi tergantung volume aktivitas produksi dan
periode (biaya tetap), seperti pajak, biaya depresiasi, listrik, gaji tidak
dipengaruhi oleh aktivitas produksi. Pada tahun 1984, JDCW
memperkenalkan machine hours sebagai basis alokasi overhead seperti
basis tenaga kerja dan material. Dengan peningkatan penggunaan mesin,
maka basis tenaga kerja langsung tidak lagi digunakan sebagai basis
overhead, karena tidak lagi merefleksikan performa kerjanya. Jam kerja
digunakan untuk proses dimana waktu kerja setara machine hours, jika
terdapat perbedaan maka jam atas ACTS digunakan untuk
mengalokasikan biaya overhead.

Permasalahan

Sejarah mencatat kehancuran agribisnis yang dimulai dengan turunnya


nilai tanah pertanian dan harga komoditas yang menurun tajam yang
mengakibatkan Deere untuk mengatur tingkat pelaksanaan operasi
semakin ke menurun, pemotongan biaya, menekankan pembuat
keputusan dilakukan secara desentralisasi, dan rekstrukturisasi pada
proses manufaktur. Deere juga melakukan pengurangan tempat produksi,
mengurangi karyawan, mendorong agar karyawan pensiun dini, dan tidak
melakukan penggantian untuk karyawan yang keluar dari perusahaan.

Sejumlah kegagalan terjadi terus-menerus dalam kompetisi JDCW untuk


melakukan penawaran. Mereka memberikan kontrak, dan semua
pekerjaan dijual ke supplier luar. JDCW hanya mendapatkan segilintir
barang yang diminta yang kebanyakan merupakan low-volume stuf yang
tidak diinginkan. JDCW berfikir bahwa mungkin mereka akan mendapatkan
bisnis yang mana direct cost-nya lebih murah dibandingkan dengan
penawaran luar walaupun sebenarnya full cost-nya tidak. Penyebab
penawarannya tidak kompetitif adalah karena harganya lebih mahal
dibandingkan supplier luar, dan lebih mahal dibandingkan dengan divisi-
divisi lain di Deere Company. Karena hal tersebut JDCW mempertanyakan
ketepatan metode pembiayaan yang dipakai saat ini, yang menyebabkan
JDCW tidak dapat bersaing dengan kompetitor-kompetitornya.

JDCW mempunyai 3 divisi yaitu The Hidraulics Division, The Drive Trains
Division, dan Gear and Special Product Division. Sebagai bagian dari
sebuah perusahaan terintegrasi secara vertikal, JDCW mendapatkan part
dari Deeres Equipment Division, karena dapat memproduksi berbagai
macam part dalam jumlah yang banyak, walaupun produksi traktor relatif
rendah. Rendahnya produksi traktor memberikan kerugian pada mesin
karena mesin lebih efisien beroperasi pada jumlah yang besar.

Kebijakan perusahaan, melakukan transfer antar divisi berdasarkan full


cost (direct material+direct labour+direct iverhead +period overhead).
Perusahaan juga punya kebijakan make-buy policy ketika kapasitas
mencukupi, yaitu divisi pembeli bisa membandingkan yang mana yang
lebih rendah antara direct cost (bukan full cost) dibandingkan dengan
penawaran dari luar.

Equipment Division tampaknya hanya melihat harga, berperilaku seperti


profit center bukan cost center, karena hanya memerhatikan keuntungan
divisi dibandingkan perusahaan secara keseluruhan. Dalam prakteknya
equipment division tidak mengikuti kebijakan perusahaan, sehingga JDCW
kehilangan porsi untuk equipment factory karena perusahaan pesaing.

Pada awalnya JDCW menggunakan standar costing untuk perhitungan


biayanya, alokasi overhead berdasarkan pada direct labor hours, machine
hours, dan material. Pada kenyataannya metode biaya ini bekerja cukup
baik di masa lalu karena perusahaan memproduksi produk yang spesifik
dalam secara konsisten. Namun, metode biaya ini tidak memberikan
sistem alokasi biaya yang terbaik bagi JDCW.

Keith William menyadari kekurangan dari penggunaan standard costing


tersebut dan beralih menggunakan Activity-Based Activity Costing, yang
mencerminkan nilai cost per unit yang tepat untuk tiap produk. Namun,
perbedaan nilai cost penggunaan standard costing dan Activity-Based
Costing bervariasi, ada beberapa produk yang mengalami penurunan cost
dan ada yang justru cost-nya menjadi lebih besar.

Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan yang terjadi di perusahaan


yaitu:
1. Penggunaan Standard Costing System yang tidak sesuai dengan nature
perusahaan yang besar dan memproduksi barang yang sangat
bervariasi dan tidak mencerminkan actual cost per unit.
2. Perusahaan menyadari adanya kesalahan dalam menentukan biaya
dengan penggunaan Standard Costing dan beralih menggunakan
Activity Based-Costing, namun hasil yang diperoleh sangat bervariasi,
ada yang biayanya menjadi lebih kecil dan menjadi lebih besar.

Teori Activity-Based Costing

Dalam pengunaan Activity Based Costing System (ABC), terdapat dua


tahapan untuk menentukan biaya overhead atas produk. Tahap pertama
adalah, mengidentifikasi aktivitas yang signifikan di dalam kegiatan
produksi atas produk dan menentukan biaya overhead untuk masing-
masing aktivitas berkenaan dengan sumber biaya organisasi yang
digunakan oleh aktivitas. Biaya overhead ditentukan oleh masing-masing
aktivitas yang terdiri dari activity cost pool. Setelah menentukan biaya
overhead atas activity cost pool dalam tahap pertama, cost driver yang
layak untuk masing-masing cost pool diidentifikasikan dalam tahap kedua.
Ketika biaya overhead dialokasikan untuk masing-masing activity cost
pool untuk lini produk dalam proporsi dalam jumlah atas cost driver yang
dikonsumsi oleh lini produk.
Untuk menentukan cost driver, ada 3 kriteria yang harus dipenuhi:
1. Tingkat korelasi/hubungan
Kita harus dapat menyimpulkan bagaimana setiap lini produk
mengkonsumsi dalam aktivitas dengan mengamati bagaimana setiap
lini produk mengkonsumsi cost driver. Oleh karena itu, keakuratan
penetapan biaya tergantung dari tingkat korelasi antara konsumsi dari
aktivitas dan konsumsi dari cost driver.
2. Biaya Pengukuran
Kita perlu merancang sistem informasi dari setiap cost-benefit trade-
ofs. Semakin banyak activity cost pool yang digunakan, maka semakin
tinggi akurasi dari biaya pengukuran. Dengan demikian juga maka
semakin banyak cost drivernya yang menghasilkan sistem biaya
pelaksanaan dan pemeliharaan yang lebih baik.
3. Efek Perilaku
Sistem informasi memiliki potensi tidak hanya untuk memfasilitasi
pengambilan keputusan, tetapi juga mempengaruhi perilaku dari
pengambil keputusan, bisa baik atau buruk, tergantung efek
perilakunya. Dalam menentukan cost driver kita perlu
mempertimbangkan kemungkinan konsekuensi perilaku. Contoh, dalam
sistem produksi just-in-time , tujuannya adalah untuk mengurangi
persediaan dan kegiatan material-handling seminimum mungkin. Jumlah
pergerakan barang bisa menjadi dasar pengukuran yang paling tepat,
yang dapat menimbulkan efek perilaku yang diinginkan dan
mempengaruhi manajer untuk mengurangi jumlah pergerakan material,
sehingga mengurangi material-handling cost.

Analisis Permasalahan

Pengalokasian biaya overhead ke dalam setiap produk dilakukan dalam


dua tahap. Tahap pertama adalah mengidentifikasi aktivitas-aktivitas
proses produksi yang signifikan dari setiap produk. Dalam tahap ini, JDWC
mengidentifikasi 7 aktifitas signifikan dalam proses produksi. Oleh karena
itu, total biaya overhead akan dialokasikan ke dalam 7 aktifitas
dibandingkan menggunakan standard cost yang hanya memiliki dua cost
driver (direct labor dan machine hour). Ketujuh aktifitas yang digunakan
JDWC sebagai cost driver sebagai berikut;
1. Direct Labor Support, overhead dialokasikan berdasarkan karyawan
langsung yang menangani pembuatan komponen-komponen. Biaya ini
termasuk allowance for benefits, break period, gaji, personnel,
percentage of supervision dan gaji industrial engineering. Seluruh direct
labor yang menunjang overhead dapat dijumlahkan menjadi $
1,898,000 (in 1985) dan dibagi oleh total direct labor dollar $ 1,714,000
yang menghasilkan overhead rate untuk aktifitias ini sebesar 111%.
2. Machine Operation, overhead yang dihasilkan dari beroperasinya
turning machine, ditambah pengalokasian biaya kapasitas dan fasilitas.
Total biaya yang digunakan untuk mengoperasikan turning machine $
4,045,000 dan dibagi total machine hour 242,000 yang menghasilkan $
16.70 per hour overhead rate untuk aktifitas ini.
3. Setup Hours, overhead yang dihasilkan berdasarkan perubahan dari
tugas yang harus dijalankan. Hal ini termasuk biaya actual setup; small
share machine, small tool maintenance, supervision, dan gaji industrial
engineering. Biayanya adalah $ 1,111,000 dibagi dengan estimated
number of setup hours 32,900 yang menghasilkan overhead rate per
jamnya $33.80.
4. Production Order Activity, dihasilkan dari kegiatan penjualan yang
menghasilkan pesanan komponen-komponen. Total biaya dibagi dengan
total pesanan produksi per tahun 7,150 yang menghasilkan biaya $ 114
setiap production order.
5. Materials Handling, biaya overhead yang muncul dari aktifitas
perpindahan barstock ke dalam mesin dan perpindahan komponen-
komponen yang dihasilkan ke tahap selanjutnya. Biaya yang
mendominasi aktifitas ini adalah karyawan yang menangani material
dan perawatan peralatan. Overhead rate-nya adalah $ 19.42 yang
dihasilkan dari membagi total biaya yang dialokasikan ($303,000)
dengan total muatan (15,600). Total muatan diestimasikan berdasarkan
6 tahapan;
Part Weig h t Annual Volume
a. =weig h t /run
runs / year for t h at part
Weig h t / run
b. =Loads/run
Pounds /load
c. loads/run + 0.5
d. multiply result in (c) by number of runs of that part/year = number of
loads/year moved away from machine
e. loads/year 2 (movement to and from machine) = total number of
loads/year for that part
f. repeat process for all numbers, and add number of load/part to obtain
total number of loads per year
6. Parts Administration, biaya overhead didapat dari total biaya $ 999,000
yang ketika didistribusikan ke 2,050 parts di dalam system,
menghasilkan head tax $ 487 per komponen.
7. General and Administrative, biaya overhead dihubungkan keseluruh
pabrik, tidak hanya pada suatu aktifitas atau proses manufakture
tertentu. Biaya ini termasuk pajak, depresiasi, etc. Total General and
Administrative ($ 998,000) dibagi rata kesetiap produk dengan dasar
value added.

Setelah menentukan aktifitas-aktfitas yang signifikan untuk


mengalokasikan total overhead, dalam tahap kedua JDWC dapat
menentukan biaya per unit produk berdasarkan ketujuh cost driver untuk
menghasilkan satu unit produk. Kedua tahapan dalam biaya berdasarkan
aktifitas dapat disimpulkan kedalam bagan sebagai berikut;

JDCW melakukan penawaran sebanyak 275 suku cadang. Tetapi dari 275
suku cadang yang menjadi penawaran JDCW hanya 58 suku cadang yang
harganya dibawah penawaran dari luar. 103 suku cadang yang harga
direct cost-nya lebih murah dibandingkan dengan full cost dari luar.
Sedangkan sisanya, baik direct cost ataupun full costnya, lebih tinggi
dibandingkan dengan penawaran dari luar. Dengan harga yang tidak
kompetitif ini, keinginan divisi gear and special products untuk menjual
suku cadangnya tidak dapat dilaksanakan.

Harga per unit yang tidak kompetitif ini sebagian besar disebabkan karena
JDCW menggunakan standard cost accounting system dalam
mengalokasikan overheadnya. Tarif overhead didasarkan pada basis direct
labor, material dollars, dan actual cycle time standard (ACTS). Setelah
dilakukan analisis lebih lanjut oleh manajer akuntansi JDCW, maka
sebaiknya JDCW menggunakan sistem Activity Based Costing (ABC) dalam
mengalokasikan overhead. Sistem ABC yang dirancang oleh JDCW ini
menggunakan 7 cost driver dalam mengalokasikan overheadnya, yaitu
1. Direct labor support
2. Machine operation
3. Setup hours
4. Production order activity
5. Materials handling
6. Parts administration
7. General and administrative

Berikut alokasi Turning Machine dengan Standard Costing:

Berikut alokasi turning machine overhead dengan metode ABC:


Perbandingan antara alokasi overhead dengan menggunakan standard
cost dan ABC:
ABC
Cost
N activity Pool
activity cost driver driver
o cost pool Rate
quantity
Direct labor 1,898,00 total direct 1,714,00
1 111%
support 0 labor dollars 0
Machine 4,045,00 Machine
2 242,000 $16.70
Operation 0 Hours
estimated
1,111,00
3 setup hours number of 32,900 $33.80
0
setup hours
Production annual
4 order 817,000 production 7,150 $114
activity orders
Materials the number
5 303,000 15,600 $19.42
Handling of loads
Parts
parts in
6 Administrati 999,000 2,050 $487
system
on
General and
10,887,0
7 administrati 998,000 Value Added 9.10%
00
ve
10,171,0
Total
00

STANDARD COST
Total
Standar Overhea Overhea
No Overhea
d d base d Rate
d
Direct 3,501,00 1,714,0
1 205%
Labor 0 00
Machine 6,670,00
2 242,000 $27.56
Hours 0
10,171,0
Total 00
Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa alokasi overhead dengan
menggunakan ABC memiliki keragaman cost driver dibandingkan dengan
standard cost. Dengan total overhead yang sama dapat menghasilkan
alokasi overhead yang berbeda-beda berdasarkan driver costnya.

JDCW sebaiknya menggunakan ABC dalam menentukan costs/unitnya


karena JDCW memiliki keragaman produk yang dihasilkan dan setiap
produk mengkonsumsi overhead yang berbeda-beda. Oleh sebab itu
apabila menggunakan standard costing maka hasil alokasi overhead
menjadi tidak akurat. Keakuratan yang dihasilkan dengan sistem ABC ini
akan mencerminkan kegiatan yang sebenarnya terjadi dalam membuat
suatu produk.

Sedangkan dengan menggunakan sistem lama, standard cost system,


membuat efek yang buruk terutama pada alokasi harga per unit yang
menjadi tidak akurat. Ketidak akuratan ini berdampak pada cost per unit
yang tidak sesuai. Ada suku cadang yang ditetapkan terlalu rendah (under
costs) dan ada pula suku cadang yang ditetapkan terlalu tinggi (over
costs).

Berikut element of costing Part A103 tahun 1985 dengan Standard


Costing:
Berikut merupakan perhitungan elements part A103 dengan
menggunakan ABC
Direct Materials : 6.44
Direct Labor : (0.185x4.2hr) 2.36
Overhead :
Direct Labor Support (0.185x111%x12.76) 2.62
Machine Operation (0.31x(8.99+7.61)) 5.15
Setup hours (33.76x4.2x2)/(8000/100) 3.54
Production order activity (114.27x2/80) 2.86
Materials handling (19.42x4)/80 0.97
Parts administration (487x0.176)/80 1.07
General and administrative (9.1%x(2.36+16.21)) 1.69 17.9
Total costs (per 100 parts) 26.7

Hal-hal yang Dipengaruhi Setelah Implementasi


ABC
Frank Stevenson merangkum hasil yang didapat divisi Gear and Special
Product dalam mengimplementasikan Activity Based Costing:
ABC Costing Estimating Model
Dalam rangka penggunaan ABC untuk menentukan biaya individu
komponen, sebuah model diciptakan menggunakan Lotus 1-2-3
spreadsheet IBM. Model ABC, contohnya, dapat mengkalkulasi biaya
material atas dasar jenis baja, panjang, dan nomor mesin (yang
mempengaruhi jenis alat yang dipakai). Oleh karena itu, biaya material
yang dialokasikan ke suatu komponen tergantung dari bagaimana material
itu digunakan juga harga perolehannya. Penggunaan selanjutnya model
ABC atas biaya material adalah;
Model ABC yang telah dikembangkan JDWC dapat menghasilkan
data biaya trade-off bila harga pembelian material komponen
berbeda.
Model ABC tersebut dapat mengkalkulasi jumlah tahun berjalan
yang dapat menghasilkan biaya manufaktur terendah setiap
tahunnya
Membandingan setup mesin yang berbeda
Dapat mengkalkulasikan costs at par level of utilization, walaupun
metode ABC yang dikembangkan berbasis normal volume

Completing the ABC Study


Keith William dan Nick Vintila telah mencoba mengaplikasikan ABC dalam
44 sample komponen JDWC dan membandingkannya dengan biaya yang
dihasilkan oleh standard costing system. Mereka juga bereksperimen
dengan merubah lot size yang saat ini digunakan dalam system MRP.
Khususnya, Model ABC merekomendasikan mereka untuk
melipatgandakan lot size rata-rata dalam rangka untuk mengoptimisasi
biaya manufaktur. Penelitian selanjutnya menunjukan pengaruh yang kuat
dari pergeseran produk bauran (product mix) untuk mengefisiensikan
penggunaan turning machine.
Division Changes
Selama tahun 1985 1986, divisi JDWC mengalami pembatasan lini
produk ke dalam 5 bisnis: gear and shaft, machined parts, cast iron
making, heat treating, dan sheet metal work. Sedapat mungkin
departemen dapat diorganisir ulang dari proses hingga maufaktur cell dan
pengadopsian pendekatan Just In Time untuk mempersingkat lead
time, meningkatkan kualitas, dan juga menurunkan biaya

Agar ABC Model yang digunakan lebih efektif maka dilakukan


beberapa perubahan dalam implementasinya, yaitu terhadap
1. Penawaran
ABC digunakan untuk menghitung biaya mesin dan menyiapkan
penawaran untuk Deere ataupun pelanggan dari luar. Dengan
menggunakan ABC perusahaan tahu mana saja produk yang cost
nya tinggi dalam low-volume.
Dan divisi juga harus merubah sistem penawaran dalam praktek
transfer pricing mereka. Dan memulai untuk untuk menegosiasikan
market-based-price yang berada di bawah full cost
2. Process Planning
Bagian Proses enginering menggunakan model perbandingan
relative efisiensi mesin untuk tipe yang berbeda dari baja dan part
number untuk memilih bagian mana saja yang diproses sesuai tipe
mesinnya, karena ABC menunjukan setup dan biaya produksi yang
tinggi dari pada MRP. Process engineering menggunakan ABC untuk
menghitung biaya pada basis optimal run/ tahun dan bisa
dinegosiasi untuk customer untuk meneriman run yang lebih kecil
pada harga yang lebih murah

3. Low Value- Added Parts


Gear and special produk mempercepat perpindahan dari low-
volume, short-running part dari turning mesin. Kira-kira 31% part
membutuhkan lebih dari 20 jam direct labor; secara keseluruhan
dihitung 97% dari semua direct labor tersisa untuk mesin. Tapi part
yang kurang dari 8 jam akan di outsource. Secara kebetulan part
yang tersisa masih belum ditentukan, tapi keputusanyang dibuat
berdasarkan costing yang lebih akurat yaitu ABC.
Kombinasi dari perpindahan LVA part diharapkan dapat
meningkatkan rata-rata run time, mengurangi kerumitan
penjadwalan dan mengurangi permintaan untuk staf pendukung.
4. Cell Arrangements
Infrastruktur pabrik berubah dari sistem row mesin menjadi sistem
per-sel. Beberapa mesin dikelompokkan bersama dan dipakai untuk
high-run part.
5. Layout
ABC juga membantu manajemen dalam mengatur departemen
permesinan. Secondari operations yang memiliki cost yang tinggi
menyebabkan manajemen untuk mengembalikan menjad divisi
sebelumnya dan mengembalikan ke gedung sebelum dipindahkan.
Untuk mendapatkan tempat yang lebih besar, turning machine yang
sudah tidak efisien lagi dibuang. Lalu untuk meminimalisir jarak
penanganan antara barstock dengan packaging dan shipping,
kegiatan-kegiatan tersebut dibuat menjadi lebih dekat agar lebih
efisien. Tetapi sayangnya layout yang baru ini belum pernah dicoba
selama proses produksi dikarenakan baru diatur selama bulan
agustus 1986, sedangkan pada januari 1987 pabrik tersebut ditutup.
Walaupun begitu terdapat satu perubahan layout yang sudah
diterapkan tahun 1985 dan membuat perubahan yang signifikan.
Layout yang berhasil diterapkan pada tahun tersebut adalah process
engineering group. Mulanya, process engineering group ini berada
jauh dari lantai penjualan tetapi sekarang berada tepat ditengah
area permesinan. Akibat dari pemindahan layout ini komunikasi
antar personelnya menjadi lebih mudah.

Berikut Perbandingan Machine Parts Overhead Standard Costing dan ABC


dengan 44 sampel (hanya Turning Machine Operation)
Dari perbandingan atas 44 sampel di atas, diperoleh hasil yang bervariasi
dari pada saat awal menggunakan standard costing lalu menggunakan
ABC, ada yang biayanya menjadi lebih kecil dan menjadi lebih besar.
Namun kelebihan dari penggunaan metode ABC adalah biaya yang muncul
merupakan biaya yang sebenarnya dan lebih akurat. Sehingga
menghindari terjadinya overcosting ataupun undercosting dan perusahaan
dapat bersaing dengan vendor lain dengan penetapan harga berdasarkan
cost yang aktual, meskipun terdapat beberapa barang menjadi lebih tinggi
costnya, banyak juga barang lain yang lebih rendah costnya. Pada saat
menggunakan standard costing sangat memungkinkan terjadi overcosting
dan undercosting sehingga profit margin yang diperoleh pun tidak aktual.
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa tujuan dari penggunaan metode
ABC bukanlah untuk mendapatkan biaya yang lebih kecil, melainkan untuk
mendapatkan ceminan biaya yang sebenarnya.

Future of ABC
Walaupun ABC ini sangat berguna, tetapi manfaatnya juga masih terbatas
pada:
1. ABC hanya berjalan pada komputer tiap individu, bukan pada komputer yang
terintegerasi dengan data base divisi
2. ABC hanya digunakan untuk operasi yang meggunakan turning machine
Kesimpulan

1. Penetapan biaya dengan standard costing tidak sesuai untuk digunakan


oleh perusahaan yang memproduksi barang dengan banyak aktivitas
produksi dan variasi produk yang beragam, tidak mencerminkan cost
yang sebenarnya. Hanya menggunakan direct labor dan machine hours
sebagai cost driver, sedangkan ada banyak tahapan dalam aktivitas
produksi yang menuntut penentuan cost driver yang lebih akurat.
2. Dengan menggunakan Activity Based Costing perusahaan dapat
mengetahui actual cost per unit, sehingga tidak akan terjadi
undercosting atau overcosting dalam penentuan biaya. Penggunaan
cost driver untuk yang disesuaikan berdasarkan aktivitas produksi yang
telah ditetapkan activity cost pool-nya, terdiri dari 7 cost driver yaitu
direct labor support, machine operation, setup hours, production order
activity, materials handling, parts administration, general and
administrative.
3. Tujuan dari penggunaan metode ABC bukan untuk menghasilkan biaya
per unit yang kecil, namun menghasilkan biaya yang sebenarnya.
Terbukti dari kasus John Deere, perbedaan cost dari awal perusahaan
menggunakan standard costing menjadi Activity Based Costing hasilnya
bervariasi, ada yang biayanya menjadi lebih kecil dan menjadi lebih
besar.
4. Meskipun terdapat variasi perubahan cost karena beralih menggunakan
metode ABC, John Deere tetap dapat bersaing dengan lebih percaya diri
karena keakuratan penentuan biaya, karena menghindari profit margin
yang semu akibat adanya overcosting dan undercosting.
5. Agar pengaplikasian ABC menjadi lebh efisien makan harus dibantu
dengan perubahan-perubahan pada pabrik. Misalkan dalam kebijakan
transfer pricing yang diubanh dengan menggunakan market based
dibandingkan dengan direct cost v.s full cost. Selain kebijakan, layout
pabrik juga diubah untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan ABC.
6. Saat ini ABC hanya diterapkan untuk operasi-operasi yang
menggunakan turning machine, namun tidak ada salahnya dikemudian
hari untuk mengaplikasikan ABC pada proses-proses produksi lain. Hal
ini dikarenakan penggunaan ABC dalam mengalokasikan overhead tepat
untuk John deere karena John deere memiliki variasi produk yang
berbeda-beda.
Referensi

- Hilton, Ronald and Avid E. Platt, Managerial Accounting: Creating Value


in a Dinamyc Business Environment, 9th Edition: McGraw-Hill (2011)

- John Deere Component Works case

Anda mungkin juga menyukai