Anda di halaman 1dari 10

AKUNTANSI MANAJEMEN LANJUTAN

Bridgeton Industries Automotive Component And Fabrication Plant

DISUSUN OLEH:

Zora Nayaka Widyadhana (01044882023005)

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. Emylia Yuniarti, S.E., M.Si., Ak., CA.

PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2021
A. Profil Singkat Bridgeton

Bridgeton merupakan perusahaan manufaktur berteknologi modern (proses


produksi berbasis robotik) namun menerapkan sistem perhitungan kos tradisional.
Bridgeton membuka kantor pertamanya pada tahun 1900-an. Awal terbentuknya
Bridgeton bermula dari The Automative Component and Fabrication Plant yang
berdiri sejak tahun 1840-an yang terletak di dekat kota Wagon Wokrs.

B. Ringkasan Kasus

Semua hasil produksi ACF dijual kepada tiga perusahaan besar dalam negeri.
Pesaing utama Bridgeton berasal dari perusahaan lokal dan pabrik Bridgeton lainnya.
Persaingan menjadi kurang efektif ketika harga minyak di luar negeri menjadi mahal
sehingga Bridgeton kehilangan pangsa pasarnya. Hal itu berdampak terhadap
menyusutnya kontrak produksi Bridgeton dengan para pembelinya. Sepanjang tahun
1980-an, Bridegeton mengalami pengurangan dan tekanan penjualan yang serius.
Walaupun pada tahun 1989/1990 Bridgeton menerapkan. Model tahun berjalan dari 1
September - 31 Agustus tahun berikutnya yang berbasis untuk penganggarannya.
Kontrak produksi biasanya digunakan untuk setiap tahunnya.

Dalam rangka menumbuhkan kembali pasarnya, Bridgeton melakukan tiga


strategi yaitu :

1. Engine plant shutdown


ACF mengalami kegagalan pertama pada tahun 1985 dikarenakan kerugian
dari pangsa pasar saham domestik. Perusahaan membangun dua pabrik mesin
diesel hemat energi dalam rangka mengantisipasi pertumbuhan pasar yang
berkelanjutan. Salah satu dari pabriknya menggunakan fasilitas ACF.
Penelitian khusus telah dilakukan untuk menentukan kos yang relatif untuk
dua mesin pabrik tersebut. Semua usaha telah dilakukan untuk mengurangi
kos produk untuk mesin ACF. Manajemen juga telah berusaha mengurangi
dan menekan kos per unit produk namun tidak berhasil dan akhirnya fasilitas
mesin pabrik di ACF dipilih untuk ditutup. Ketika terjadi penutupan pada
akhir tahun 1985/1986 , semua yang berkaitan dengan kegiatan produksi akan
dihentikan,tetapi mereka yang memiliki keahlian khusus akan dipindahkan ke
tempat yang dibutuhkan. Setelah itu, semua mesin fisik, peralatan, dan
bangunan yang tercatat akan dihapus dari pembukuan.

2. Strategic Analysis
Selama tahun 1986/1987 perusahaan menyewa perusahaan konsultan untuk
menguji semua produk Bridgeton dan mengklasifikasikannya ke dalam produk
yang berpotensi dan mampu bersaing di kelas dunia. Kriteria dari produk
tersebut adalah:
a. Kualitas
Dinilai dengan cara melihat jaminan kerusakan, jumlah barang yang tidak
layak dijual, persentase pemeliharaan yang terjadwal dan rincian
pemeliharaannya, jumlah komplain pelanggan, dan rating skala perbaikan
yang diterbitkan.
b. Layanan pelanggan
Dinilai dengan cara wawancara, penelitin untuk menguji presentase jadwal
produksi dan pengiriman, presentase variasi jadwal tersebut, waktu untuk
menanggapi permintaan informasi, waktu untuk menanggapi keluhan
pelanggan, dan batas waktu untuk mendesain produk, dan penurunan
fleksibilitas produksi.
c. Kemampuan dan pengalaman teknisi
Sebagian besar dinilai dengan cara diestimasi melalui wawancara dengan
pelanggan. Data yang dikumpulkan dalam wawancara ini berupa fitur
inovasi produk yang diciptakan, tingkat teknologi yang dimiliki, dan
kedalaman keahlian tentang permesinan.
d. Kos yang kompetitif
Dinilai dengan cara melakukan wawancara tentang keuangan, pembelian,
dan jumlah personel permesinan. Analisis kos dilakukan dengan menguji
kos produksi yang dikurangi dari masing-masing kos produk ke dalam tiga
elemen yaitu bahan baku, tenaga kerja langsung beserta manfaatnya dan
overhead.
Kos produk dianalisis oleh konsutan untuk mengklasifikasikan produk dengan
penurunan kos yang kompetitif. Klafisikasi dari produk tersebut adalah:
1. Produk kelas I : Produk diklasifiksikan sebagai kelas dunia (memiliki
jumlah kos yang sama atau lebih rendah dari kos yang dimiliki
pesaingnya)
2. Produk kelas II : Produk yang memiliki potensial untuk menjadi produk
kelas dunia (memiliki kos sebesar 5%-15% lebih tinggi dari kos
pesaingnya)
3. Produk kelas III : Produk yang tidak mempunya harapan untuk menjadi
produk kelas dunia (memiliki kos >15% lebih tinggi dari pesaing terbesar)

3. Product Outsourcing

Pada akhir tahun 1987/1988 ACF mengoutsourching oil pans dan muffler-
exhaust systems. Outsourcing ini mengakibatkan pengurangan 60 tenaga kerja
langsung(produksi) dan 30 tenaga kerja tidak langsung (tenaga ahli). Terdapat
90 pekerja yang dipindahkan ke tempat lain untuk dilath dan diatur serta
dibayar oleh serikat pekerja. Pengurangan yang kedua adalah pimpinan dan
buruh mesin pabrik dipindahkan untuk bekerjasama mengelola bisnis yang
tersisa. Beberapa program diperkenalkan untuk memperbaiki kualitas produk
dan menaikan produktivitas. Program ini bertujuan untuk membuka batasan-
batasan manajemen dan serikat pekerja untuk bekerja mencari solusi yang
kreatif untuk menghadapi tantangan ke depan.

Salah satu dari usaha tersebut dipimpin oleh Free Simmonds, seorang
pembuat keputusan yang berpengalaman. Melalui kombinasi program dan
keahlian ini, ACF telah menurunkan waktu proses produksi yang diminta dari
12 jam menjadi 90 menit dan ini terbaik di Bridgeton karena di tempat lain
rata-rata 4 sampai 5 jam. Produktivitas di Bridgeton mengalami perbaikan
yang diciptakan oleh Simmons dan Peter dengan menggunakan “per jam
menjadi satu jam sekali”. Dalam program ini para pekerja yang dibayar per
jam akibat penurunan waktu dan dikategorisasikan menjadi per waktu per
orang, per perlengkapan dan peralatan atau per penyetelan. Pekerja yang telah
dilatih kembali yang dibayar sebelumnya berdasarkan waktu pemberhentian
diminta menjadi per waktu dan harus diamati setiap saat. Pelaporan
ditekankan pada posisi penggunaan informasi yang positif untuk menunjukkan
progres ke arah tujuan waktu kelas dunia yaitu 80% yang diminta oleh Jepang.
Hasil dari usaha perbaikan waktu produksi ini telah menaikkan penggunaan
waktu dari rata-rata 30% menjadi 65% dan terbaik di Bridgeton.

Terlepas dari perbaikan dalam proses produksinya manifold yang


sebelumnya didesain kelas II diturunkan menjadi kelas III di tahun 1989/1990
dan diidentifikasi sebagai kandidat produk yang akan di-outsourcing (dari
tahun 1986/1987 sampai 1989/1990). Beberapa keputusan untuk meng-
outsourcing manifold menyulitkan dalam menaikan standar emisi yang
diminta oleh kendaraan baru yang dipasang dengan bobot yang lebih ringan,
manifold yang lebih efisien. Jika terjadi permintaan bahan baku manifold akan
naik secara dramatis dan juga kemungkinan meningkatkan harga jual. Reaksi
dari perubahan dalam status manifold Lewis bersama dengan pengawas
pabriknya dan perwakilan serikat pekerja.

C. IDENTIFIKASI MASALAH

Permasalahan utama yang ditemui di kasus Bridgetone adalah ketidak


mampuan Bridgetone untuk bersaing harga produk dengan kompetitor lain baik
kompetitor lokal maupun internasional. Hal tersebut tercermin dari perkataan Mike
Lewis selaku plant manager perusahaan, “ This doesn’t make sense. I know we are
more competitive. We have made all kinds of improvements, but our cost keep going
up and we’re still losing business. What more can we do?” Selain itu Ronald Peter,
seorang pegawai di fasilitas mesin lama, mengatakan, “ Management told us we were
not cost competitive. We worked ourselves into the ground and lowered the unit cost,
and still lost the business.” Dari perkataan tersebut dapat terlihat bahwa meskipun
ACF telah berusaha semaksimal mungkin dalam menurunkan biaya unit produk
nyatanya usaha tersebut tidak memberikan hasil yang positif dan perusahaan tetap
tidak bisa bersaing dengan para kompetitor lainnya.

Masalah lainnya yang timbul adalah kenaikan harga produk di pasar akan
memungkinkan terjadinya death spiral yaitu keadaan dimana harga yang ditawarkan
oleh perusahaan tidak dapat mengimbangi atau mengungguli kompetitornya sehingga
akan terjadi penurunan permintaan dan berimbas juga pada penurunan penjualan dan
pendapatan perusahaan.
Masalah ketiga yang muncul di Bridgetone adalah jatuhnya level produk
manifolds yang sebelumnya berada di kelas II ke kelas III padahal Bridgetone telah
berusaha mengembangkan produksinya dan melakukan efisiensi dan penurunan biaya
unit produk. Masalah tersebut ditegaskan dalam kalimat yang tercantum di kasus, “In
spite of these improvements in the production process, manifolds, designated Class II
in the initial study, were downgraded to Class III in the 1989/90 model year budget
and identified as candidates for outsourcing.”

D. ANALISA MASALAH

Penyebab utama dari kekalahan Bridgetone dalam persaingan harga produk


dengan para kompetitor yang menyebabkan perusahaan sedikit demi sedikit
kehilangan bisnisnya adalah adanya kesalahan penghitungan biaya overhead yang
dibebankan ke produk, dimana biaya overhead sangatlah tinggi mencapai 435% biaya
direct labor. Terlalu besarnya biaya overhead ini disebabkan oleh perusahaan yang
masih menggunakan traditional costing atau activity-based management system,
dimana pada traditional costing biaya produksi tidak langsung dibebankan ke
production cost center, lalu dibebankan kembali ke cost drive. Cost pool yang
digunakan juga biasanya hanya terdiri dari 1-2 macam costpool. Jika kita menghitung
biaya produksi tidak langsung dibandingkan dengan biaya langsung tenaga kerja pada
tahun 1986/87 – 1989/90 maka hasil yang didapatkan adalah peningkatan persentase
perbandingan kedua biaya tersebut dari tahun ke tahun. Hal itu disebabkan oleh
penurunan biaya tenaga kerja langsung, sebagai imbas dari outsource yang dilakukan
perusahaan dimulai tahun 1988/99, namun tidak diimbangi dengan penurunan
indirect cost yang signifikan.

Tahun Direct Labor Cost Overhead Cost Overhead Rate


1986 / 87 24.682 107.954 437,37%
1987 / 88 25.294 109.890 434,45%
1988 / 89 13.537 78.157 577,36%
1989 / 90 14.102 79.393 562,99%

Dengan penggunaan traditional costing yang jauh lebih mudah dan hemat
biaya pembebanan indirect cost menjadi tidak tepat, karena pada sistem traditional
costing yang diterapkan di perusahaan penghitungan indirect cost menggunakan
ukuran tenaga kerja langsung. Dapat dilihat di tahun 1988/89 biaya direct labor
mengalami penurunan tetapi presentase indirect cost terhadap direct labor sebaliknya
menunjukkan kenaikan. Hal tersebut memacu permasalahan kedua yaitu
kemungkinan terjadinya death spiral atau downward demand spiral dimana
outsourcing yang dilakukan perusahaan menyebabkan biaya produk lain yang
diproduksi sendiri meningkat karena beberapa biaya overhead terkait dengan produk
outsource tetap ada. Kenaikan biaya produksi produk non-outsource menyebabkan
harga produk di pasar terus meningkat dan tidak dapat bersaing dengan kompetitor
lain sehingga terjadi penurunan permintaan atau yang kita sebut dengan death spiral.

Penurunan permintaan membawa dampak negatif pada pendapatan dan


keuntungan perusahaan.

Product I Product II
1989/9
1987/88 1989/90 1989/90
0
Expected Selling Price 62 62 54 54
Standard Material Cost 16 16 27 27
Standard Labor Cost 6 6 3 3
Overhead Allocation Rate (OAR) 434% 563% 434% 563%
Overhead (OAR*DL Cost) 26.1 33.8 13 16.9
Gross Margin on sale of one unit
13.9 6.2 11 7.1
(Price - DM - DL - Overhead)
Gross Margin Percentage 22% 10% 20% 13%

Dari tabel di atas dapat dilihat penurunan gross margin perusahaan dari tahun
1987/88 atau tahun sebelum perusahaan melakukan outsource dengan tahun 1889/90
dimana perusahaan telah melakukan outsource.

Walaupun perusahaan telah melakukan pengembangan proses produksi agar


efisien, perusahaan tidak dapat lari dari kenyataan bahwa produk manifolds yang
sebelumnya berada di kelas II harus turun peringkat menjadi produk kelas III dimana
untuk produk kelas III konsultan yang disewa oleh perusahaan menyarankan agar
perusahaan melakukan outsourcing pada produk tersebut.

E. SOLUSI
Untuk mengatasi permasalahan kesalahan penghitungan biaya perlu
diterapkan sistem baru yaitu ABC (Activity-Based Cost) system disamping
penggunaan sistem lama yakni traditional costing yang selama ini dipakai oleh
Bridgetone. ABC digunakan untuk memberikan cara yang lebih tepat dalam
mengukur biaya indirect cost untuk selanjutnya dilakukan pembebanan atas resource
dari indirect cost kepada aktivitas indirect cost tersebut sesuai dengan resources
driver-nya. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Bridgetone dalam sistem
ABC adalah sebagai berikut :

1. Tentukan aktivitas pendukung (overhead)

2. Bebankan resource expense ke aktivitas

3. Identifikasi cost driver masing-masing


aktivitas

4. Hitung activity cost driver rate

5. Bebankan biaya ke produk dengan


menggunakan cost driver rate

Penggunaan sistem ABC akan membuat perusahaan membebankan indirect


cost ke produk dengan jumlah yang lebih akurat penetapan harga jual pun akan
semakin akurat. Selain itu sistem ABC dapat digunakan untuk mengawasi konsumsi
sumber daya dan membantu mengatur consumption dan spending dalam perusahaan.
Dengan sistem ABC manajer dapat berusaha melakukan aktivitas dengan lebih
efisien, membuat perhitungan ulang atas harga produk atau memperbaiki product mix
perusahaan ( Cooper, pp. B1-9).
Bridgetone sendiri sebaiknya menggunakan ABC berdampingan dengan
traditional costing agar produktivitas meningkat dan efisiensi tetap terjaga atau
bahkan dapat meningkat juga. Dengan penggunaan sistem traditional costing
berdampingan dengan sistem ABC diharapkan Bridgetone dapat mengklasifikasikan
aktivitas produksinya mulai dari yang paling menguntungkan hingga pada produk
yang tidak dapat memberikan profit yang maksimal kemudian membuat strategi untuk
melakukan pengefisienan produk yang kurang menguntungkan.

Dalam kasus Bridgetone disebutkan bahwa produk manifolds jatuh ke kelas III
atau sebagai produk yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan outsourcing.
Sebelum Bridgeton menghentikan produksi manifolds yang notabene adalah produk
unggulan karena memiliki omset penjualan tinggi dengan keuntungan yang cukup
besar dan memilih untuk melakukan outsource dari tempat lain ada baiknya
Bridgetone mengusahakan pengefisienan produksi manifolds dan tidak melakukan
outsource terhadap manifolds karena hal tersebut akan mengurangi penjualan dan
pendapatan Bridgetone.

F. KESIMPULAN KASUS
Berdasarkan hasil analisis yang telah kami lakukan terkait dengan masalah-masalah
yang dihadapi oleh Bridgeton Industries terkait dengan pola pembebanan kosnya,
kami dapat menarik kesimpulan bahwa:
1. Keputusan untuk melakukan strategi analisis, strategi shutdown dan klasifikasi
produk berdasarkan perbandingan kos produksi dengan kompetitor diperlukan
untuk menilai posisi perusahaan di pasar. Dengan adanya klasifikasi tersebut,
perusahaan mengetahui bahwa hanya satu dari lima produknya yang dapat
dikategorikan memiliki kualitas dunia. Atas dasar hal ini perusahaan diharapkan
mampu menyusun strategi berikutnya dalam rangka mempertahankan dan
meningkatkan jumlah produk yang dapat dikategorikan berkualitas dunia.
2. Harga jual yang tinggi disebabkan karena adanya distorsi kos. Oleh karena itu
perhitungan overhead pabrik yang dialokasikan ke produk menggunakan sistem
tarif tunggal yaitu 435% dari kos tenaga kerja langsung tidak tepat karena proses
produksi banyak menggunakan mesin dan robot. Seharusnya perusahaan bisa
menggunakan tarif jam mesin karena mempertimbangkan proses produksi kelima
produk perusahaan yang telah terotomatisasi sehingga semakin rendah tenaga
kerja langsung yang diperlukan. Sistem tarif berdasarkan kos tenaga kerja
langsung telah terbukti menghasilkan kos produksi per unit yang tinggi sehingga
menghasilkan harga jual yang tinggi dan tidak kompetitif.
3. Nilai penjualan dan kos produksi produk manifold merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan produk yang lain. Oleh karena itu, kebijakan untuk meng-
outsorce manifold tidaklah tepat karena justru akan menurunkan jumlah
penjualaan dan profitabilitas.

Anda mungkin juga menyukai