DISUSUN OLEH:
DOSEN PEMBIMBING:
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
A. Profil Singkat Bridgeton
B. Ringkasan Kasus
Semua hasil produksi ACF dijual kepada tiga perusahaan besar dalam negeri.
Pesaing utama Bridgeton berasal dari perusahaan lokal dan pabrik Bridgeton lainnya.
Persaingan menjadi kurang efektif ketika harga minyak di luar negeri menjadi mahal
sehingga Bridgeton kehilangan pangsa pasarnya. Hal itu berdampak terhadap
menyusutnya kontrak produksi Bridgeton dengan para pembelinya. Sepanjang tahun
1980-an, Bridegeton mengalami pengurangan dan tekanan penjualan yang serius.
Walaupun pada tahun 1989/1990 Bridgeton menerapkan. Model tahun berjalan dari 1
September - 31 Agustus tahun berikutnya yang berbasis untuk penganggarannya.
Kontrak produksi biasanya digunakan untuk setiap tahunnya.
2. Strategic Analysis
Selama tahun 1986/1987 perusahaan menyewa perusahaan konsultan untuk
menguji semua produk Bridgeton dan mengklasifikasikannya ke dalam produk
yang berpotensi dan mampu bersaing di kelas dunia. Kriteria dari produk
tersebut adalah:
a. Kualitas
Dinilai dengan cara melihat jaminan kerusakan, jumlah barang yang tidak
layak dijual, persentase pemeliharaan yang terjadwal dan rincian
pemeliharaannya, jumlah komplain pelanggan, dan rating skala perbaikan
yang diterbitkan.
b. Layanan pelanggan
Dinilai dengan cara wawancara, penelitin untuk menguji presentase jadwal
produksi dan pengiriman, presentase variasi jadwal tersebut, waktu untuk
menanggapi permintaan informasi, waktu untuk menanggapi keluhan
pelanggan, dan batas waktu untuk mendesain produk, dan penurunan
fleksibilitas produksi.
c. Kemampuan dan pengalaman teknisi
Sebagian besar dinilai dengan cara diestimasi melalui wawancara dengan
pelanggan. Data yang dikumpulkan dalam wawancara ini berupa fitur
inovasi produk yang diciptakan, tingkat teknologi yang dimiliki, dan
kedalaman keahlian tentang permesinan.
d. Kos yang kompetitif
Dinilai dengan cara melakukan wawancara tentang keuangan, pembelian,
dan jumlah personel permesinan. Analisis kos dilakukan dengan menguji
kos produksi yang dikurangi dari masing-masing kos produk ke dalam tiga
elemen yaitu bahan baku, tenaga kerja langsung beserta manfaatnya dan
overhead.
Kos produk dianalisis oleh konsutan untuk mengklasifikasikan produk dengan
penurunan kos yang kompetitif. Klafisikasi dari produk tersebut adalah:
1. Produk kelas I : Produk diklasifiksikan sebagai kelas dunia (memiliki
jumlah kos yang sama atau lebih rendah dari kos yang dimiliki
pesaingnya)
2. Produk kelas II : Produk yang memiliki potensial untuk menjadi produk
kelas dunia (memiliki kos sebesar 5%-15% lebih tinggi dari kos
pesaingnya)
3. Produk kelas III : Produk yang tidak mempunya harapan untuk menjadi
produk kelas dunia (memiliki kos >15% lebih tinggi dari pesaing terbesar)
3. Product Outsourcing
Pada akhir tahun 1987/1988 ACF mengoutsourching oil pans dan muffler-
exhaust systems. Outsourcing ini mengakibatkan pengurangan 60 tenaga kerja
langsung(produksi) dan 30 tenaga kerja tidak langsung (tenaga ahli). Terdapat
90 pekerja yang dipindahkan ke tempat lain untuk dilath dan diatur serta
dibayar oleh serikat pekerja. Pengurangan yang kedua adalah pimpinan dan
buruh mesin pabrik dipindahkan untuk bekerjasama mengelola bisnis yang
tersisa. Beberapa program diperkenalkan untuk memperbaiki kualitas produk
dan menaikan produktivitas. Program ini bertujuan untuk membuka batasan-
batasan manajemen dan serikat pekerja untuk bekerja mencari solusi yang
kreatif untuk menghadapi tantangan ke depan.
Salah satu dari usaha tersebut dipimpin oleh Free Simmonds, seorang
pembuat keputusan yang berpengalaman. Melalui kombinasi program dan
keahlian ini, ACF telah menurunkan waktu proses produksi yang diminta dari
12 jam menjadi 90 menit dan ini terbaik di Bridgeton karena di tempat lain
rata-rata 4 sampai 5 jam. Produktivitas di Bridgeton mengalami perbaikan
yang diciptakan oleh Simmons dan Peter dengan menggunakan “per jam
menjadi satu jam sekali”. Dalam program ini para pekerja yang dibayar per
jam akibat penurunan waktu dan dikategorisasikan menjadi per waktu per
orang, per perlengkapan dan peralatan atau per penyetelan. Pekerja yang telah
dilatih kembali yang dibayar sebelumnya berdasarkan waktu pemberhentian
diminta menjadi per waktu dan harus diamati setiap saat. Pelaporan
ditekankan pada posisi penggunaan informasi yang positif untuk menunjukkan
progres ke arah tujuan waktu kelas dunia yaitu 80% yang diminta oleh Jepang.
Hasil dari usaha perbaikan waktu produksi ini telah menaikkan penggunaan
waktu dari rata-rata 30% menjadi 65% dan terbaik di Bridgeton.
C. IDENTIFIKASI MASALAH
Masalah lainnya yang timbul adalah kenaikan harga produk di pasar akan
memungkinkan terjadinya death spiral yaitu keadaan dimana harga yang ditawarkan
oleh perusahaan tidak dapat mengimbangi atau mengungguli kompetitornya sehingga
akan terjadi penurunan permintaan dan berimbas juga pada penurunan penjualan dan
pendapatan perusahaan.
Masalah ketiga yang muncul di Bridgetone adalah jatuhnya level produk
manifolds yang sebelumnya berada di kelas II ke kelas III padahal Bridgetone telah
berusaha mengembangkan produksinya dan melakukan efisiensi dan penurunan biaya
unit produk. Masalah tersebut ditegaskan dalam kalimat yang tercantum di kasus, “In
spite of these improvements in the production process, manifolds, designated Class II
in the initial study, were downgraded to Class III in the 1989/90 model year budget
and identified as candidates for outsourcing.”
D. ANALISA MASALAH
Dengan penggunaan traditional costing yang jauh lebih mudah dan hemat
biaya pembebanan indirect cost menjadi tidak tepat, karena pada sistem traditional
costing yang diterapkan di perusahaan penghitungan indirect cost menggunakan
ukuran tenaga kerja langsung. Dapat dilihat di tahun 1988/89 biaya direct labor
mengalami penurunan tetapi presentase indirect cost terhadap direct labor sebaliknya
menunjukkan kenaikan. Hal tersebut memacu permasalahan kedua yaitu
kemungkinan terjadinya death spiral atau downward demand spiral dimana
outsourcing yang dilakukan perusahaan menyebabkan biaya produk lain yang
diproduksi sendiri meningkat karena beberapa biaya overhead terkait dengan produk
outsource tetap ada. Kenaikan biaya produksi produk non-outsource menyebabkan
harga produk di pasar terus meningkat dan tidak dapat bersaing dengan kompetitor
lain sehingga terjadi penurunan permintaan atau yang kita sebut dengan death spiral.
Product I Product II
1989/9
1987/88 1989/90 1989/90
0
Expected Selling Price 62 62 54 54
Standard Material Cost 16 16 27 27
Standard Labor Cost 6 6 3 3
Overhead Allocation Rate (OAR) 434% 563% 434% 563%
Overhead (OAR*DL Cost) 26.1 33.8 13 16.9
Gross Margin on sale of one unit
13.9 6.2 11 7.1
(Price - DM - DL - Overhead)
Gross Margin Percentage 22% 10% 20% 13%
Dari tabel di atas dapat dilihat penurunan gross margin perusahaan dari tahun
1987/88 atau tahun sebelum perusahaan melakukan outsource dengan tahun 1889/90
dimana perusahaan telah melakukan outsource.
E. SOLUSI
Untuk mengatasi permasalahan kesalahan penghitungan biaya perlu
diterapkan sistem baru yaitu ABC (Activity-Based Cost) system disamping
penggunaan sistem lama yakni traditional costing yang selama ini dipakai oleh
Bridgetone. ABC digunakan untuk memberikan cara yang lebih tepat dalam
mengukur biaya indirect cost untuk selanjutnya dilakukan pembebanan atas resource
dari indirect cost kepada aktivitas indirect cost tersebut sesuai dengan resources
driver-nya. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Bridgetone dalam sistem
ABC adalah sebagai berikut :
Dalam kasus Bridgetone disebutkan bahwa produk manifolds jatuh ke kelas III
atau sebagai produk yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan outsourcing.
Sebelum Bridgeton menghentikan produksi manifolds yang notabene adalah produk
unggulan karena memiliki omset penjualan tinggi dengan keuntungan yang cukup
besar dan memilih untuk melakukan outsource dari tempat lain ada baiknya
Bridgetone mengusahakan pengefisienan produksi manifolds dan tidak melakukan
outsource terhadap manifolds karena hal tersebut akan mengurangi penjualan dan
pendapatan Bridgetone.
F. KESIMPULAN KASUS
Berdasarkan hasil analisis yang telah kami lakukan terkait dengan masalah-masalah
yang dihadapi oleh Bridgeton Industries terkait dengan pola pembebanan kosnya,
kami dapat menarik kesimpulan bahwa:
1. Keputusan untuk melakukan strategi analisis, strategi shutdown dan klasifikasi
produk berdasarkan perbandingan kos produksi dengan kompetitor diperlukan
untuk menilai posisi perusahaan di pasar. Dengan adanya klasifikasi tersebut,
perusahaan mengetahui bahwa hanya satu dari lima produknya yang dapat
dikategorikan memiliki kualitas dunia. Atas dasar hal ini perusahaan diharapkan
mampu menyusun strategi berikutnya dalam rangka mempertahankan dan
meningkatkan jumlah produk yang dapat dikategorikan berkualitas dunia.
2. Harga jual yang tinggi disebabkan karena adanya distorsi kos. Oleh karena itu
perhitungan overhead pabrik yang dialokasikan ke produk menggunakan sistem
tarif tunggal yaitu 435% dari kos tenaga kerja langsung tidak tepat karena proses
produksi banyak menggunakan mesin dan robot. Seharusnya perusahaan bisa
menggunakan tarif jam mesin karena mempertimbangkan proses produksi kelima
produk perusahaan yang telah terotomatisasi sehingga semakin rendah tenaga
kerja langsung yang diperlukan. Sistem tarif berdasarkan kos tenaga kerja
langsung telah terbukti menghasilkan kos produksi per unit yang tinggi sehingga
menghasilkan harga jual yang tinggi dan tidak kompetitif.
3. Nilai penjualan dan kos produksi produk manifold merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan produk yang lain. Oleh karena itu, kebijakan untuk meng-
outsorce manifold tidaklah tepat karena justru akan menurunkan jumlah
penjualaan dan profitabilitas.