Anda di halaman 1dari 7

Tugas

Akuntansi Manajemen Lanjutan

Bridgeton Industries Automotive Component And Fabrication Plant

Oleh kelompok 5:

Muhamad Balia F 023151900088

Fajar Pamungkas 023151900080

Asep Jamaludin 023151900072

Sintha Larasati Fauzi 023151900094

Yudith Setiorini 0231519000100

Program Profesi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Trisakti
Jakarta
2020
Bridgeton Industries Automotive Component And Fabrication Plant

Pendahuluan

Automotif Component and Fabrication Plant (ACF) adalah lokasi pabrik Bridgeton
Industries yang merupakan pemasok domestik terbesar dari komponen automotif. Semua
produknya dijual ke Big Three manufaktur domestik, namun kenaikan harga bensin dan
persaingan dengan pasar internasional memberi tantangan yang cukup berat bagi ACF.

Bridgeton sendiri memiliki dua pabrik manufaktur mesin diesel hemat bahan bakar
yang salah satunya berada di fasilitas ACF, jika perkembangan mobil dengan tenaga diesel
tidak dapat diteruskan lagi salah satu operasi harus ditutup.

Bridgeton kemudian menyewa konsultan strategi untuk memeriksa semua produk


Bridgeton dan menglasifikasikannya. Biaya produk diklasifikasikan ke dalam tiga kelas.
Kelas I untuk produk kelas dunia, kelas II untuk produk yang memiliki potensi untuk
menjadi kelas dunia dan produk kelas III yang tidak memiliki harapan untuk menjadi kelas
dunia dimana sebaiknya produk tersebut outsource saja.

Untuk tetap bertahan pada akhir tahun 1987 dilakukan outsource atas oil pans dan
muffler-exhaust systems. Beberapa program lain juga dilakukan untuk meningkatkan
kualitas produk dan produktivitas, tetapi bukannya meningkatkan produksi program-
program yang diaplikasikan malahan membuat produk manifold yang tadinya berada di
kelas II turun ke kelas III dan perusahaan tidak dapat melakukan apa-apa untuk
mempertahankan bisnisnya.
Identifikasi Masalah

Permasalahan utama yang ditemui di kasus Bridgetone adalah ketidakmampuan


Bridgetone untuk bersaing harga produk dengan kompetitor lain baik kompetitor lokal
maupun internasional. Hal tersebut tercermin dari perkataan Mike Lewis selaku plant
manager perusahaan, “ This doesn’t make sense. I know we are more competitive. We
have made all kinds of improvements, but our cost keep going up and we’re still losing
business. What more can we do?” Selain itu Ronald Peter, seorang pegawai di fasilitas
mesin lama, mengatakan, “ Management told us we were not cost competitive. We worked
ourselves into the ground and lowered the unit cost, and still lost the business.” Dari
perkataan tersebut dapat terlihat bahwa meskipun ACF telah berusaha semaksimal
mungkin dalam menurunkan biaya unit produk nyatanya usaha tersebut tidak memberikan
hasil yang positif dan perusahaan tetap tidak bisa bersaing dengan para kompetitor lainnya.

Masalah lainnya yang timbul adalah kenaikan harga produk di pasar akan
memungkinkan terjadinya death spiral yaitu keadaan dimana harga yang ditawarkan oleh
perusahaan tidak dapat mengimbangi atau mengungguli kompetitornya sehingga akan
terjadi penurunan permintaan dan berimbas juga pada penurunan penjualan dan
pendapatan perusahaan.

Masalah ketiga yang muncul di Bridgetone adalah jatuhnya level produk manifolds
yang sebelumnya berada di kelas II ke kelas III padahal Bridgetone telah berusaha
mengembangkan produksinya dan melakukan efisiensi dan penurunan biaya unit produk.
Masalah tersebut ditegaskan dalam kalimat yang tercantum di kasus, “In spite of these
improvements in the production process, manifolds, designated Class II in the initial study,
were downgraded to Class III in the 1989/90 model year budget and identified as
candidates for outsourcing.”
Analisa Masalah

Penyebab utama dari kekalahan Bridgetone dalam persaingan harga produk dengan
para kompetitor yang menyebabkan perusahaan sedikit demi sedikit kehilangan bisnisnya
adalah adanya kesalahan penghitungan biaya overhead yang dibebankan ke produk, dimana
biaya overhead sangatlah tinggi mencapai 435% biaya direct labor seperti terlihat pada tabel
dibawah ini:

Tahun Direct Labor Cost Overhead Cost Overhead Rate


1986 / 87 24.682 107.954 437,37%
1987 / 88 25.294 109.890 434,45%
1988 / 89 13.537 78.157 577,36%
1989 / 90 14.102 79.393 562,99%

Terlalu besarnya biaya overhead ini disebabkan oleh perusahaan yang masih
menggunakan traditional costing atau activity-based management system, dimana pada
traditional costing biaya produksi tidak langsung dibebankan ke production cost center. Jika
kita menghitung biaya produksi tidak langsung dibandingkan dengan biaya langsung tenaga
kerja pada tahun 1986/87 – 1989/90 maka hasil yang didapatkan adalah peningkatan
persentase perbandingan kedua biaya tersebut dari tahun ke tahun. Hal itu disebabkan oleh
penurunan biaya tenaga kerja langsung, sebagai imbas dari outsource yang dilakukan
perusahaan dimulai tahun 1988/99, namun tidak diimbangi dengan penurunan indirect cost
yang signifikan.

Dengan penggunaan traditional costing yang jauh lebih mudah dan hemat biaya
pembebanan indirect cost menjadi tidak tepat, karena pada sistem traditional costing yang
diterapkan di perusahaan penghitungan indirect cost menggunakan ukuran tenaga kerja
langsung. Dapat dilihat di tahun 1988/89 biaya direct labor mengalami penurunan tetapi
presentase indirect cost terhadap direct labor sebaliknya menunjukkan kenaikan. Hal tersebut
memacu permasalahan kedua yaitu kemungkinan terjadinya death spiral dimana outsourcing
yang dilakukan perusahaan menyebabkan biaya produk lain yang diproduksi sendiri meningkat
karena beberapa biaya overhead terkait dengan produk outsource tetap ada. Kenaikan biaya
produksi produk non-outsource menyebabkan harga produk di pasar terus meningkat dan tidak
dapat bersaing dengan kompetitor lain sehingga terjadi penurunan permintaan atau yang kita
sebut dengan death spiral.

Penurunan permintaan membawa dampak negatif pada pendapatan dan keuntungan


perusahaan. Walaupun perusahaan telah melakukan pengembangan proses produksi agar
efisien, perusahaan tidak dapat lari dari kenyataan bahwa produk manifolds yang sebelumnya
berada di kelas II harus turun peringkat menjadi produk kelas III dimana untuk produk kelas
III konsultan yang disewa oleh perusahaan menyarankan agar perusahaan melakukan
outsourcing pada produk tersebut.
Solusi

Untuk mengatasi permasalahan kesalahan penghitungan biaya perlu diterapkan sistem baru
yaitu ABC (Activity-Based Cost) system disamping penggunaan sistem lama yakni traditional
costing yang selama ini dipakai oleh Bridgetone. ABC digunakan untuk memberikan cara yang
lebih tepat dalam mengukur biaya indirect cost untuk selanjutnya dilakukan pembebanan atas
resource dari indirect cost kepada aktivitas indirect cost tersebut sesuai dengan resources driver-
nya. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Bridgetone dalam sistem ABC adalah sebagai
berikut :

1. Tentukan aktivitas pendukung (overhead)

2. Bebankan resource expense ke aktivitas

3. Identifikasi cost driver masing-masing


aktivitas

4. Hitung activity cost driver rate

5. Bebankan biaya ke produk dengan


menggunakan cost driver rate

Penggunaan sistem ABC akan membuat perusahaan membebankan indirect cost ke produk
dengan jumlah yang lebih akurat penetapan harga jual pun akan semakin akurat. Selain itu sistem
ABC dapat digunakan untuk mengawasi konsumsi sumber daya dan membantu mengatur
consumption dan spending dalam perusahaan. Dengan sistem ABC manajer dapat berusaha
melakukan aktivitas dengan lebih efisien, membuat perhitungan ulang atas harga produk atau
memperbaiki product mix perusahaan ( Cooper, pp. B1-9).

Bridgetone sendiri sebaiknya menggunakan ABC berdampingan dengan traditional


costing agar produktivitas meningkat dan efisiensi tetap terjaga atau bahkan dapat meningkat juga.
Dengan penggunaan sistem traditional costing berdampingan dengan sistem ABC diharapkan
Bridgetone dapat mengklasifikasikan aktivitas produksinya mulai dari yang paling menguntungkan
hingga pada produk yang tidak dapat memberikan profit yang maksimal kemudian membuat
strategi untuk melakukan pengefisienan produk yang kurang menguntungkan.

Dalam kasus Bridgetone disebutkan bahwa produk manifolds jatuh ke kelas III atau
sebagai produk yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan outsourcing. Sebelum Bridgeton
menghentikan produksi manifolds yang notabene adalah produk unggulan karena memiliki omset
penjualan tinggi dengan keuntungan yang cukup besar dan memilih untuk melakukan outsource
dari tempat lain ada baiknya Bridgetone mengusahakan pengefisienan produksi manifolds dan
tidak melakukan outsource terhadap manifolds karena hal tersebut akan mengurangi penjualan dan
pendapatan Bridgetone.

Anda mungkin juga menyukai