Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Sedangkan anestesi
umum merupakan hilangnya rasa sakit disertai hilangnya kesadaran. Anestesi
dilakukan oleh dokter spesialis anestesi atau anestesiologis. Dokter spesialis
anestesiologi selama pembedahan berperan memantau tanda-tanda vital pasien
karena sewaktu-waktu dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan
secepatnya. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran,
sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh
tertentu dan pemakainya tetap sadar.

1.2 Sejarah Anestesi


Eter ([CH3CH2]2O) adalah salah satu zat yang banyak digunakan sebagai
anestesi dalam dunia kedokteran hingga saat ini. Eter ditemukan seorang ahli
kimia berkebangsaan Spanyol, Raymundus Lullius pada tahun 1275. Lullius
menamai eter "sweet vitriol". Eter pertama kali disintesis Valerius Cordus,
ilmuwan dari Jerman pada tahun 1640. Kemudian seorang ilmuwan bernama
W.G. Frobenius mengubah nama "sweet vitriol" menjadi eter pada tahun 1730.
Sebelum penemuan eter, Priestly menemukan gas nitrogen-oksida pada tahun
[[1777], dan berselang dua tahun dari temuannya itu, Davy menjelaskan kegunaan
gas nitrogen-oksida dalam menghilangkan rasa sakit.

Sebelum tahun 1844, gas eter maupun nitrogen-oksida banyak digunakan


untuk pesta mabuk-mabukan. Mereka menamai zat tersebut "gas tertawa", karena
efek dari menghirup gas ini membuat orang tertawa dan lupa segalanya.

1
Penggunaan eter atau gas nitrogen-oksida sebagai penghilang sakit dalam
dunia kedokteran sebenarnya sudah dimulai Horace Wells sejak tahun 1844.
Sebagai dokter gigi, ia bereksperimen dengan nitrogen-oksida sebagai penghilang
rasa sakit kepada pasiennya saat dicabut giginya. Sayangnya usahanya
mempertontonkan di depan mahasiswa kedokteran John C. Warren di Rumah
Sakit Umum Massachusetts, Boston gagal, bahkan mendapat cemoohan.
Usahanya diteruskan William Thomas Green Morton.

Morton adalah sesama dokter gigi yang sempat buka praktik bersama
Horace Wells pada tahun 1842. Ia lahir di Charlton, Massachusetts, Amerika
Serikat pada tanggal 9 Agustus 1819. Pada usia 17 tahun, ia sudah merantau ke
Boston untuk berwirausaha. Beberapa tahun kemudian mengambil kuliah
kedokteran gigi di Baltimore College of Dental Surgery. Morton meneruskan
kuliah di Harvard pada tahun 1844 untuk memperoleh gelar dokter. Namun
karena kesulitan biaya, tidak ia teruskan. Pada tahun yang sama, ia menikah
dengan Elizabeth Whitman dan kembali membuka praktik giginya. Ia
berkonsentrasi dalam membuat dan memasang gigi palsu serta cabut gigi. Suatu
pekerjaan yang membutuhkan cara menghilangkan rasa sakit.

Morton berpikir untuk menggunakan gas nitrogen-oksida dalam


praktiknya sebagaimana yang dilakukan Wells. Kemudian ia meminta gas
nitrogen-oksida kepada Charles Jackson, seorang ahli kimia ternama di sekolah
kedokteran Harvard. Namun Jackson justru menyarankan eter sebagai pengganti
gas nitrogen-oksida.

Morton menemukan efek bius eter lebih kuat dibanding gas nitrogen-
oksida. Bahkan pada tahun 1846 Morton mendemonstrasikan penggunaan eter
dalam pembedahan di rumah sakit umum Massachusetts. Saat pasien dokter
Warren telah siap, Morton mengeluarkan gas eter (atau disebutnya gas letheon)
yang telah dikemas dalam suatu kantong gas yang dipasang suatu alat seperti
masker. Sesaat pasien yang mengidap tumor tersebut hilang kesadaran dan

2
tertidur. Dokter Warren dengan sigap mengoperasi tumor dan mengeluarkannya
dari leher pasien hingga operasi selesai tanpa hambatan berarti.

Tanggal 16 Oktober 1846 menjadi hari bersejarah bagi dunia kedokteran.


Demonstrasi Morton berhasil dengan baik dan memicu penggunaan eter sebagai
anestesi secara besar-besaran. Revolusi pembedahan dimulai dan eter sebagai
anestesi dipakai hingga saat ini. Ia bukanlah yang pertama kali menggunakan
anestesia, namun berkat usahanyalah anestesia diakui dunia kedokteran. Wajar
jika Morton masuk dalam 100 orang paling berpengaruh dalam sejarah dunia
dalam buku yang ditulis William H. Hart beberapa tahun yang lalu.

Di balik kesuksesan zat anestesi dalam membius pasien, para penemu dan
penggagas zat anestesi telah terbius ketamakan mereka untuk memiliki dan
mendapatkan penghasilan dari paten anestesi yang telah digunakan seluruh dokter
di seluruh bagian dunia.

Terjadilah perseteruan di antara Morton, Wells, dan Jackson. Masing-


masing mengklaim zat anestesi adalah hasil penemuannya. Di tempat berbeda,
seorang dokter bernama Crawford W. Long telah menggunakan eter sebagai zat
anestesi sejak tahun 1842, empat tahun sebelum Morton memublikasikan ke
masyarakat luas. Ia telah mengunakan eter di setiap operasi bedahnya. Sayang, ia
tidak memublikasikannya, hanya mempraktikkan untuk pasien-pasiennya.
Sementara ketiga dokter dan ilmuwan yang awalnya adalah tiga sahabat itu mulai
besar kepala, dokter Long tetap menjalankan profesinya sebagai dokter spesialis
bedah.

Wells, Morton, dan Jackson menghabiskan hidupnya demi pengakuan dari


dunia bahwa zat anestesi merupakan hasil temuannya. Morton selama dua puluh
tahun menghabiskan waktu dan uangnya untuk mempromosikan hasil temuannya.
Ia mengalami masalah meskipun ia telah mendaftarkan hak patennya di lembaga
paten Amerika Serikat (U.S. Patent No. 4848, November 12, 1846). Ketika tahun
1847 dunia kedokteran mengetahui, zat yang digunakan adalah eter yang telah

3
digunakan sejak abad 16, Morton tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk
mendapat keuntungan dari patennya. Jackson juga mengklaim, dirinya juga
berhak atas penemuan tersebut.

Ketika Akademi Kedokteran Prancis menganugerahkan penghargaan


Monthyon yang bernilai 5.000 frank di tahun 1846, Morton menolak untuk
membaginya dengan Jackson. Ia mengklaim, penemuan tersebut adalah miliknya
pribadi. Sementara itu, Wells mencoba eksperimen dengan zat lain (kloroform)
sebagai bahan anestesi.

Selama bertahun-tahun Morton menghabiskan waktu dan materi untuk


mengklaim patennya. Ia mulai stres dan tidak memedulikan lagi klinik giginya.
Morton meninggal tanggal 15 Juli 1868 di usia 49 tahun di Rumah Sakit St.
Luke's, New York. Begitu juga dengan Jackson yang meninggal dalam keadaan
gila dan Wells yang meninggal secara mengenaskan dengan cara bunuh diri.(Dewi
Marthaningtyas:"Terbius Memburu Paten Gas Tertawa", Cakrawala, 2005).

BAB II
ISI

4
2.1 Teori Anestesi Umum.

Sampai sekarang mekanisme terjadinya anastesi belum jelas meskipun


dalam bidang fisiologi SSP dan susunan saraf perifer terdapat kemajuan hebat,
maka timbul berbagai teori berdasarkan sifat obat anestesi, misalnya penurunan
transmisi sinaps, penurunan konsumsi dan penurunan aktifitas listrik SSP.
1. Teori koloid, teori ini mengatakan bahwa dengan pemberian zat anestesi
terjadi penggumpalan sel koloid yang menimbulkan anesthesia yang
bersifat reversible diikuti dengan proses pemulihan. Christiansen (1965)
membuktikan pemberian eter dan halotan akan menimbulkan
penghambatan gerakan dan aliran protoplasma dalam amoeba.
2. Teori lipid, teori ini mengatakan bahwa ada hubungan antara larutan zat
anestesi dalam lemak dan timbulnya anesthesia. Makin larut anestesi
dalam lemak makin kuat anestesinya. Teori ini hanya cocok untuk
beberapa zat anestesi yang larut dalam lemak.
3. Teori adsorpsi dan tegangan permukaan, teori ini menghubungkan potensi
zat anestetik dengan kemampuan menurunkan tegangan permukaaan.
Pengumpulan zat anastesik pada permukaan sel menyebabkan proses
metabolisme dan transmisi neural terganggu sehingga timbul anestesia.
4. Teori biokimia, teori ini menyatakan bahwa pemberian zat anestetik in
vitro menghambat pengambilan oksigen di otak dengan cara menghambat
system fosforilasi oksidatif. Akan tetapi hal ini mungkin hanya menyertai
anesthesia, bukan penyebab anestesia.
5. Teori neurofisiologi, teori ini menyatakan bahwa pemberian zat anestetik
akan menurunkan transmisi sinaps di ganglion cervicalis superior dan
menghambat formasio retikularis asenden untuk berfungsi
mempertahankan kesadaran .
6. Teori fisika. Beberapa penyelidik menyatakan adanya hubungan potensi
aestetik dengan aktivitas termodinimik dan ukuran molekul zat anestetik
tersebut. Anestesia terjadi karena molekul yang inert dari zat anastetik
akan menempati ruang dalam sel yang tidak mengandung air, dan
pengisian ini akan menimbulkan gangguan permeabilitas membrane

5
terhadap molekul dan ion yang penting untuk fungsi sel. Pendapat lain
mengatakan bahwa, zat anastetik dengan air didalam SSP dapat
membentuk mikro-kristal sehinga mengganggu fungsi sel otak. Teori yang
sekarang banyak penganutnya adalah teori neurofisiologi
2.2 Tipe Anestesi
Beberapa tipe anestesi adalah:

1. Pembiusan total hilangnya kesadaran total


2. Pembiusan lokal hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan
(pada sebagian kecil daerah tubuh).
3. Pembiusan regional hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari
tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang
berhubungan dengannya

Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang
hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia
kehilangan kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi
pembedahan, maka setelah selesai operasi tidak membuat lama waktu
penyembuhan operasi.

2.3 Stadium Anestesi Umum

Semua zat anestetik umum menghambat SSP secara bertahap, mula-mula


fungsi yang kompleks akan dihambat dan paling akhir dihambat ialah medulla
oblongata dimana terletak pusat fasomotor dan pusat pernafasan yang vital.
Guedel (1920) membagi anestesia umum dengan eter dalam 4 stadia sedangkan
stadium III di bagi lagi dalam 4 tingkat.
1. Stadium I (analgesia).
Stadium analgesia dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat mengikuti
perintah, dan rasa sakit hilang (analgesia). Pada stadium ini dapat
dilakukan tindakan pembedahan ringan, seperti mencabut gigi, biopsi
kelenjar dan sebagainya.

6
2. Stadium II (delirium/eksitasi)
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium
pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan
yang tidak menurut kehedak, penderita tertawa, berteriak, menangis,
menyanyi, pernafasan tidak teratur, kadang2 apnea dan hiperpnea, tonus
otot rangka meninggi, inkontinesia urin dan alvi, muntah, medriasis,
hipertensi, takikardi, hal ini terutama terjadi karena adanya hambatan pada
pusat hambatan. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, karena itu
stadium ini harus cepat dilewati.

3. Stadium III (Pembedahan).


Dimulai dengan teraturnya pernafasan sampai pernafasan spontan
hilang. Tanda yang harus dikenal adalah :
a. Pernafasan yang tidak teratur pada stadium 2 menghilang,
pernafasan menjadi spontan dan teratur oleh karena tidak ada
pengaruh psikis, sedangkan pengontrolan kehendak hilang.
b. Refleks kelopak mata dan konjungtifa menghilang, bila kelopak
mata atas diangkat dengan pelahan dan dilepaskan tidak akan
menutup lagi, kelopak mata tidak berkedip bila bulu mata disentuh.
c. Kepala dapat digerkkan kekanan dan kekiri bebas. Bila lengan di
angkat lalu dilepaskan maka akan jatuh bebas tanpa tahanan.
d. Gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak merupakan tanda
spesifik untuk permulaan stadium 3.

Stadium III dibagi menjadi empat tingkat berdasarkan tanda-tanda


berikut ini:
1. Tingkat 1 : Pernapasan teratur, spontan, terjdi gerakan bola mata
yang tidak menurut kehendak, miosis, pernapasan dada dan perut
seimbang, belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.
2. Tingkat 2 : Pernapasan teratur tetapi kurang dalam dibandingka
tingka 1, bola mata tidak bergerak, pupil mulai melebar relaksasi otot
sedang, reflek laring hilang sehingga dapat dikerjeakan intubasi.

7
3. Tingkat 3 : Pernapasan perut lebih nyata dari pada pernapasan dada
karena otot intercostal mulai mengalami paralysis, relaksasi otot
lurik sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal.
4. Tingkat 4 : Pernapasan perut sempurna karena kelumpuhan otot
intercostals sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat
lebar dan reflek cahaya hilang.

4. Stadium IV (paralysis medulla oblongata).


Stadium IV ini diumulai dengan melemahnya pernapasan perut
dibanding dengan stadium III tingkat 4, tekanan darah tak dapat diukur
karena kolaps pembuluh darah, berhantinya denyut jantung dan dapat
disusul kematian. Pada stadium ini kelumpuhan pernapasan tidak dapat
diatasi dengan pernapasan buatan.
Dalamnya anestesia ditentukan oleh ahli anesthesia berdasarkan
jenis rangsangan rasa sakit, derajat kesadaran, relaksasi otot dan
sebagainya. Perangsangan rasa sakit dibagi atas tiga derajat kekuatan:
Kuat yang terjadi sewaktu pemotongan kulit, manipulasi peritoneum,
kornea, mukosa uretra terutama bila ada peradangan.
a. Sedang, yang terjadi sewaktu manipulasi fasia, otot dan jaringan
lemak.
b. Ringan, yang terjadi sewaktu pemotongan dan menjahit usus serta
memotong otak.

2.4 Mekanisme Kerja Anestesi Umum

Kerja neurofisiologi yang penting pada obat anestesi umum adalah dengan
meningkatkan ambang rangsang sel. Dengan meningkatnya ambang rangsang
akan terjadi penurunan aktifitas neuronal. Obat anestetik inhalasi seperti juga intra
vena barbiturate dan benzodiazepin menekan aktifitas neuron otak sehingga akson
dan transmisi sinaptik tidak berkerja. Kerja tersebut digunakan pada transmisi
aksonal dan sinaptik, tetapi proses sinaptik lebih sensitive dibandingkan efeknya.
Mekanisme ionik yang diperkirakan terlibat adalah berfariasi. Anestetik inhalasi

8
gas telah dilaporkan menyebabkan hiperpolarisasi saraf dengan aktifitas aliran K +,
sehingga terjadi penurunan kemampuan aksi potensial awal, yaitu peningkatan
ambang rangsang.
Mekanisme molecular dengan anestetik gas mengubah aliran ion pada
membrane neuronal belumlah jelas. Efek ini akan menghasilakan hubungan
interaksi langsung antara molekul anestetik dan tempat hidrofobik pada saluran
membrane protein yang spesifik. Mekasinme ini telah diperkenalkan pada
penelitian interaksi anestetik gas dengan saluran kolinoreseptor nikotinik interkais
yang tampaknya untuk menstabilakan saluran pada keadaan tertutup. Interpretasi
alternative, yang di coba untuk di ambil dalam catatan perbedaan struktur yang
nyata diantara anestetik, memberikan interaksi yang kurang spesifik pada obat ini
dengan membran matriks lipid, dengan perubahan sekunder pada fungsi saluran.
Interpretasi ini diperkuat dengan penelitian yang lama dimana kekuatan obat
anestesi umum berkolerasi baik dengan larutan lipidnya (prinsip Meyer-overton).

2.4 Efek Samping Obat Anestetik Umum

1. Anestesi Inhalasi
Delirium bisa timbul selama induksi dan pemulihan Anestesia
Inhalasi walaupun telah di berikan medikasi preanestitik.Muntah yang
dapat menyebabkan aspirasi bias terjadi sewaktu induksi atau sesudah oran
dan operasi.
Enfluran dan halotan menyebabkan depresi miocard yang dose
related ,sedangkan isofluran dan N 2 O tidak.Enfluran ,isofluran dan N2O
Dapat menyebabkan takicardi, sedangkan halotan tidak .Aritmia
supraventrikular biasanya dapat diatasi kecuali bila curah janyung dan
tekanan arteri menurun.Aritmia ventrikel jarang terjadi bila timbul
hipoksia atau hiperkapsia. Halotan menimbulkan sensitisasi jantung
terhadap katekolamin, sehingga penggunaan adrenalin,nor adrenaln atau
iso proterenol bersama halotan akan menyebabkan aritmia
ventrikel.Halotan berbahaya diberikan padapenderita dengan rasa khawatir

9
berlebihan karena pada penderita tersebut ditemukan katekolamin yang
tinggi.
Depresi pernafasn dapat timbul pad semua stadium anesthesia
dengan anestetik inhalasi.Oleh karena itu perlu diperhatikan keadaan
pernafasan penderita anastesi inhalasi.
Gangguan fungi hati ringan sering timbul pada penggunan
anastesik inhalasi tetap jarang terjadi gangguan yang serius.
Dapat terjadi oliguria reversible karena menurukan aliran darah
ginjal dan filtrasi glomerulus,dan ini dapat dicegah dengan pemberian
cairan yang cukup dan menghidari anesthesia yang dalam.Metoksifloran
secara langsung dapat menimbulkan kerusakan tubuli gainjal ,sehingga di
kontra indikasikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan yang
mendapat obat Nefrotoksit seperti srteptomisin, tertasiklin, dll.

2. Anestetik parenteral
Efek samping derivat barbiturat antara lain kantuk disertai
menguap, batuk dan spasme laring. Hipotensi terjadi terutama pada
penderita hipovolemik atau penderita kontraktilitas jantung yang menurun.
Sifat anestesianya ringan karena obat segera mengalami
redistribusi dari SSP. Depresi pernafasan dan apnea dapat terjadi segera
sesudah sutikan IV cepat atau dosis berlebih. Eksitasi, menggigil, delirium,
rasa nyeri dapat terlihat selama masa pemulihan. Barbirut dapat
menimbulkan porfiria intermiten akut, sehingga dikontraindikasikan pada
penderita porfiria. Penyuntikan IV harus hati-hati agar tidak terjadi
ekstravasasi atau masuk ke dalam arteri. Ekstravasasi dapat menimbulkan
nekrosis jaringan dan gangren.

2.6 Obat Anestesi Umum

Obat anestetik umum dibagi menurut bentuk fisiknya menjadi tiga


golongan yaitu :
1. Anestetik gas

10
Pada umumnya anestetik gas berpotensi rendah, sehingga hanya
digunakan untuk induksi dan operasi ringan. Anestetik gas tidak mudah
larut dalam darah sehingga tekanan parsial dalam darah cepat meninggi.
Batas keamanan antara efek anestesia dan efek letal cukup lebar.
Nitrogen monoksida (N2O = gas Gelak), nitrogen monoksida
merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan lebih
berat dari pada udara. Nitrogen monoksida sukar larut dalam darah,
diekskresi dalam bentuk utuh melalui paru-paru dan sebagian kecil melalui
kulit. Gas ini tidak mudah terbakar, tetapi bila dikombinasi dengan zat
anestetik yang mudah terbakar akan memudahkan terjadinya ledakan
misalnya campuran eter dan N2O.
Siklopropan, merupakan anestetik gas yang kuat berbau spesifik
tidak berwarna, lebih berat dari pada udara dan disimpan dalam bentuk
cairan bertekanan tinggi. Gas ini mudah terbakar dan meledak karena itu
hanya digunakan dengan close method. Siklopropan menyebabkan
relaksasi otot cukup baik dan sedikit sekali mengiritasi saluran nafas.
Namun depresi pernafasan ringan dapat terjadi pada anestesi dengan
siklopropan.

2. Anestetik yang menguap


Anestetik yang menguap (volatile anesthetic), mempunyai 3 sifat
dasar yang sama yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar, mempunyai sifat
anestetik kuat pada kadar rendah dan relative mudah larut dalam lemak,
darah dan jaringan.
Kelarutan yang baik dalam darah dan jaringan memperlambat
terjadinya keseimbangan dan terlewatinya induksi, untuk mengetasi hal ini
diberikan kadar yang lebih tinggi dari kadar yang dibutuhkan. Umumnya
anestetik yang menguap dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan eter
misalnya eter (dietileter) dan golongan hidrokarbon halogen misalnya
halotan, metoksifluran, etilklorida, trikoretilen, dan fluroksen.
a. Eter (dietileter)
Eter merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap,
berbau, mengiritasi saluran nafas, mudah terbakar dan mudah

11
meledak. Di udara terbuka eter teroksidasi menjadi peroksida dan
bereaksi dengan alcohol membentuk asetaldehid sehingga eter
yang sudah terbuka beberapa hari sebaiknya tidak digunakan lagi.
Eter menyebabkan iritasi saluran nafas dan merangsang
sekresi kelenjar broncus. Pada induksi dan waktu pemulihan, eter
menimbulkan salivasi, tetapi pada stadium yang lebih dalam,
salvias akan dihambat dan terjadi depresi nafas. Eter menyebabkan
mual dan muntah terutama pada waktu pemulihan, tetapi dapat
pula terjadi pada waktu induksi.
b. Enfluran
Enfluran ialah anestetik eter berhalogen yang tidak mudah
terbakar. Enfluran cepat melewati stadium induksi tanpa atau
sedikit menyebabkan eksitasi. Kecepatan induksi terhambat bila
penderita menahan nafas atau batuk. Kadar yang tinggi dapat
menyebabkan depresi kardiofaskular dan perangsangan SSP.
Enfluran bias menyebabkan efek samping setelah
pemulihan berupa menggigil karena hipotermi, gelisah, delirium,
mual atau muntah. Enfluran dapat menyebabkan depresi nafas
dengan kecepatan fentilasi tetap atau meningkat. Tidal volume dan
menute volume menurun. Enfluran bisa menyebabkan kelainan
fungsi hati.

3. Anestetik parenteral
Pemakaian obat anestetik intravena, dilaksanakan untuk : (1)
induksi anesthesia; (2) induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat;
(3) suplementasi hypnosis pada anesthesia atau analgesia local, dan (4)
sedasi pada beberapa tindakan medik.
Anestesia intravena ideal membutuhkan criteria yang sulit dicapai
oleh hanya satu macam obat yaitu :
1. Cepat menghasilkan efek hypnosis
2. Mempunyai efek analgesia
3. Disertai oleh amnesia pasca anesthesia
4. Dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat
antagonisnya
5. Cepat dieliminasi oleh tubuh

12
6. Tidak atau sedikit mendepresi fungsi restirasi dan kardiovaskular
7. Pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ

i. Barbiturat
Seperti anastetik inhalasi barbiturate menghasilkan kesadaran
dengan blockade system stimulasi (perangsang) di formasio retikulkaris.
Pada pemberian barbiturate dosis kecil terjadi penghambatan system
penghambat ekstra lemnikulus, tetapi bila dosis ditingkatkan system
perangsang juga dhambat sehingga respon korteks menurun.
Barbiturat menghambat pusat pernapasan di medulla oblongata.
Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi sewaktu anesthesia.
Pernapasan abdominal akan lebih jelas bila telah terjadi penurunan
kontraksi intercostals.
Kontraksi otot jantung dihambat oleh barbiturate tetapi tonus
vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung
sedikit menurun. Barbiturat tidak menimbulkan sensitisasi jantung
terhadap katekolamin.
Barbiturat yang digunakan untuk anesthesia ialah yang termasuk
babiturat kerja sangat singkat yaitu :
1. Natrium thiopental
Dosis yang dibutuhkan untuk induksi dan mempertahankan
anesthesia tergantung dari berat badan, keadaan fisik dan penyakit
yang diderita. Untuk induksi pada orang dewasa diberikan 2 sampai 4
larutan 2,5% secara intermiten setiap 30 sampai 60 detik sampai
tercapai efek yang diinginkan.
2. Natrium tiamilal
Dosis untuk induksi pada orang dewasa ialah 2 sampai 4 ml
larutan 2,5%, diberikan IV secara intermiten setiap 30 sampai 60 detik
sampai efek yang diinginkan tercapai, dosis penunjang 0,5 sampai 2 ml
larutan 2,5%, atau digunakan larutan 0,5 % yang diberikan secara terus
menerus.
3. Natrium metoheksital
Dosis induksi pada orang dewasa ialah 5 sampai 12 ml larutan
1% diberikan secara IV dengan kecepatan 1 ml/5 detik, dosis

13
penunjang 2 sampai ml larutan 1% atau bila akan diberikan secara
terus menerus dapat digunakan larutan 0,2%.
4. Status
Merupakan anastetik yang dibutuhkan. Thiopental digunakan
sebagai standar. Anestesi umum yang didapatkan dengan injeksi IV
menimbulkan tidur sebelum prosedur operasi.
5. Ketamin
Ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan
relative aman ( batas keamanan lebar ). Ketamin mwempunyai sifat
analgesic, anastetik dan kataleptik dengan kerja singkat. Ketamin akan
meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan curah jantung sampai
kurang lebih 20%. Ketamin menyebabkan reflek faring dan laring tetap
normal atau sedikit meninggi. Pada dosis anesthesia merangsang,
sedangkan dengan dosis yang berlebihan akan menekan pernapasan.
Ketamin sering menimbulkan halusinasi terutama pada orang dewasa.
Ketamin merupakan anestetik yang memuaskan bersama dengan
diazepam utuk kondisi tertentu. Cara ini sangat berguna untuk trauma,
operasi gawat darurat, pembersihan luka baker prosedur radiologic
pada anak dan malahan untuk berberapa operasi jantung tertentu.

ii. Diazepam
Obat ini menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai
nistakmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesic. Juga tidak
menimbulkan potensiasi terhadap efek penghambat neuromuscular dan
efek analgesic obat narkotik. Diazepam digunakan untuk menimbulkan
sedasi basal pada anesthesia regional, endoskopi dan prosedur dental, juga
untuk induksi anastesia terutama pada penderita dengan penyakit
kardiovascular dibandingkan dengan ultrashort acting barbiturate, efek
anestesi diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat dan
masa pemulihannya lama. Diazepam juga digunakan untuk medikasi

14
preanestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi onvulsi
yang disebabkan oleh anestesi local.

1. Farmakokinetik
Diazepam dimetabolisasi menjadi metabolit yang aktif. Masa
paruhnya bertambah panjang dengan meningkatnya usia, pada usia 20
tahun kira-kira 20jam, dan kira-kira 90 jam pada usia 80 tahun.
2. Efek nonterapi
Pemberian diazepam IV untuk mendapatkan sedasi, tidur dan
amnesia anterograt tidak menurunkan tekanan arteri atau curah
jantung, hanya dapat terjadi takikardi sedang dan depresi napas ringan.
Pernah dilaporkan terjadinya kegagalan sirkulasi dan henti napas pada
orang dewasa sehat yang mendapat suntikan 20 mg diazepam IV
secara cepat.

Suntikan diazepam IV sebaliknya toidak dicampur dengan larutan


obat lain. Diazepam disuntikan pada selang infuse dekat vena sementara
infuse tetap mengalir untuk mencegah rasa terbakar akibat suntikan dan
,mengurangi kemungkinan trombosis. Karena diazepam tidak mempunyai
efek analgesic, pemberian anestetik local akan membantu prosedur
anesthesia pada beberapa penderita misalnya sebelum endoskopi.

2.7 Pemilihan Sediaan

Pemilihan anestetik umum didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu


keadaan penderita, sifat anestetik umum, jenis operasi yang dilakukan dan
peralatan serta obat yang tersedia. Agar anesthesia umum berjalan sebaik
mungkin, pertimbangan utama ialah memilih anestetik ideal dengan sifat antara
lain: mudah didapat, murah, cepat melampaui stadium II, tidak menimbulkan efek
samping terhadap alat vital seperti hipersekresi saluran napas atau menyebabkan
sensitisasi jantung terhadap katekolamin, tidak mudah terbakar, stabil, cepat
dieliminasi, sifat analgesic cukup baik, relaksasi otot cukup baik, kesadaran cepat

15
kembali, tanpa efek yang tidak diingini. Hanya sayangnya tidak ada satu obatpun
yang memenuhi semua sifat di atas.
Pada operasi ringan seperti ekstraksi gigi dan insisi abses tidak diperlukan
relaksasi otot yang sempurna, oleh sebab itu cukup dipilih anestetik umum yang
bersifat analgesic baik seperti N2O dan trikloretilen, juga dapat digunakan
neurolep analgesia. Pada operasi besar seperti laparotomi diperlukan anestetik
yang menimbulkan relaksasi otot cukup baik, misalnya eter, atau dikombinasi
dengan diazepam. Untuk tindakan kauterisasi sebaiknya digunakan halotan yang
tidak mudah terbakar.
2.8 Penggunaan obat-obatan dalam anestesi
Dalam membius pasien, dokter anestesi memberikan obat-obatan (suntik,
hirup, ataupun lewat mulut) yang bertujuan menghilangkan rasa sakit (pain killer),
menidurkan, dan membuat tenang (paraytic drug). Pemberian ketiga macam obat
itu disebut triangulasi.

Bermacam obat bius yang digunakan dalam anestesi saat ini seperti:

1. Thiopental (pertama kali digunakan pada tahun 1934)

2. Benzodiazepine Intravena

3. Propofol (2,6-di-isopropyl-phenol)

4. Etomidate (suatu derifat imidazole)

5. Ketamine (suatu derifat piperidine, dikenal juga sebagai 'Debu


Malaikat'/'PCP' (phencyclidine)

6. Halothane (d 1951 Charles W. Suckling, 1956 James Raventos)

7. Enflurane (d 1963 u 1972), isoflurane (d 1965 u 1971), desflurane,


sevoflurane

16
8. Opioid-opioid sintetik baru - fentanyl (d 1960 Paul Janssen), alfentanil,
sufentanil (1981), remifentanil, meperidine

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu


analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai
hilangnya perasaan secara total. Analgetik tidak selalu menghilangkan
seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri.
Empat rangkaian kegiatan yang merupakan kegiatan sehari-hari dokter
anestesi adalah:
1. Mempertahankan jalan napas
2. Memberi napas bantu
3. Membantu kompresi jantung bila berhenti
4. Membantu peredaran darah
5. Mempertahankan kerja otak pasien.
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan
kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor-
faktor pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien,
pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan total.Blokade

17
neuraksial bisa mengurangi resiko thrombosis vena, emboli paru, transfusi,
pneumonia, tekanan pernafasan, infark miokardial dan kegagalan ginjal.

3.2 Saran

Dalam penulisan makalah ini mungkin banyak kesalahan dan kekurangan


baik dalam segi penulisan maupun dalam segi penyampaian. Oleh karena itu
bimbingan dan saran sangat kami butuhkan dari dosen pembimbing demi
kemajuan di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ganiswara, Sulistia G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Ed. 4. Fakultas


Kedokteran UI : Jakarta.
2. Katzung, Bertram G. (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik. Ed. 6. Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
3. Suryanto, dr. (1998). Trauma Selama dan Setelah Operasi. Wikipedia.
4. Martaningtyas, Dewi. (2005). Terbius Memburu Paten Gas Tertawa.
Wikipedia.
5. EKM, Seminar. (2006). Pemilihan Vasopresor untuk Hipotensi akibat
Anestesia Regional. Geogle.

18

Anda mungkin juga menyukai