Anda di halaman 1dari 8

KORTIKOSTEROID Kortikosteroid adalah hormon yang diproduksi dan disekresikan oleh

kelenjar korteks adrenal. Sekresi hormon kortikosteroid dikontrol oleh pelepasan kortikotropin
hipofisis (ACTH). Hormon kortikosteroid disintesis dari kolesterol. Terdapat 2 hormon
kortikosteroid yang di sekresikan: - Glukokortikoid (kortisol) - Mineralokortikoid (aldosteron)

GLUKOKORTIKOID Sintesis dan sekresi kortisol diregulasi secara ketat oleh sistem saraf
pusat, dan sensitif terhadap umpan balik negatif oleh kortisol dan glukokortikoid sintetik
(eksogen) dalam peredaran. Pada orang dewasa normal tanpa stres, disekresikan 10-20 mg
kortisol setiap hari. Laju sekresinya berpuncak pada dini hari dan sesudah makan. Di dalam
plasma, kortisol terikat pada protein dalam peredaran. Kebanyakan kortisol dimetabolisasi di
hati. GLUKOKORTIKOID SINTETIK Biasanya disintesis dari asam folat yang didapat dari
ternak atau steroid sapogenin yang ditemukan pada tanaman.

MINERALOKORTIKOID Aldosteron Laju sekresinya dipengaruhi oleh berbagai keadaan


seperti stimulasi oleh ACTH, aktivitas angiotengsin, serta variasi independen antar sekresi
aldosteron-kortisol. Deoksikortikosteron (DOC) Dalam keadaan normal, deoksikortikosteron
disekresikan dalam jumlah sekitar 200 mcg/hari. Pengendalian sekresinya dikendalikan oleh
ACTH. Sekresi DOC dapat meningkat pada kondisi abnormal . Fludrokortison Merupakan
mineralokortikoid yang paling banyak digunakan. Mempunyai aktivitas retensi garam yang kuat
dan efek anti-inflamasi yang berarti walaupun digunakan dalam dosis yang sedikit.

KEGUNAAN GLUKOKORTIROID mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan protein,


Hormon ini disentesis dalam sel-sel zona fasikulata dan zona retikularis yang mengatur
metabolisme karbohidrat. Sekresi dipengaruhi oleh ACTH (Adreno Corticotropin Hormon).
MINERALOKORTIKOID mempunyai aktivitas menahan garam dan disintesis dalam sel-sel
zona glomerulosa yang mengatur keseimbangan elektrolit. Sekresi dipengaruhi oleh kadar
mineral (Na+ dan K+) dan volume plasma.

SEDIAAN OBAT Glukokortikoid kerja singkat hingga sedang Hydrocortisone (Solu


Cortef, . . . ) Corisone Prednisone (Lexacort) Prednisolone Methylprednisolone (Phadilone, . . .)
Glukokortikoid kerja intermedia Triamcinolone (Flamicort, . . .) Paramethasone
Fluprednisolone Glukokortikoid kerja lama Betamethasone (Cortamine, . . .) Dexamethasone
(Cortidex, Dextina, . . ) Mineralokortikoid Fludrocortisone Desoxycorticosterone acetate ( - - - - -
- -) = contoh nama paten

MEKANISME KERJA berinteraksi dengan protein reseptor spesifik pada jaringan yang
menjadi target untuk mengatur perilaku gen terhadap kortikosteroid, dan mengubah kadar
susunan protein yang disintesis oleh jaringan yang menjadi target tersebut. adanya proses
pengubahan yang dilakukan sehingga terjadi penundaan sebelum khasiat dari kortikosteroid
muncul, dan akan terlihat beberapa jam setelah penggunaan. Cepat lambatnya reaksi
kortikosteroid juga dipengaruhi oleh kemampuan menghantarkan khasiat oleh reseptor yang
terikat pada membran sel yang menjadi target.

INDIKASI FARMAKOLOGIS Reaksi alergik edema angioneurotik, asma, sengatan lebah,


dermatitis kontak, reaksi obat, rintis alergika, penyakit serum, urtikaria. Kelainan vaskular
kolagen arteritis sel raksasa, lupus eritermatosus, sindrom jaringan ikat campuran, polimiositis,
polimialgia reumatika, artritis rematoid, arteritis temporalis. Penyakit mata uveitis akut,
konjungtivitas alergika, koroiditis, neuritis optika. Penyakit saluran cerna penyakit peradangan
usus, sprue nontropis, nekrosis hati subakut. Kelainan hematologik anemia hemolitik akuisita,
purpura alergika akut, leukemia, anemia hemolitik autoimun, purpura trombositopenik idiopatik,
multipel mieloma.

Inflamasi sistemik sindrom distres pernapasan akut (terapi berkesinambungan dengan dosis
sedang mempercepat perbaikan dan menurunkan mortalitas) Infeksi sindrom distres pernapasan
akut, sepsis, sindrom inflamasi sistemik Gangguan peradangan tulang dan sendi artritis, bursitis,
tenosinovitis Kelainan neurologik edema serebrum (deksametason dosis besar diberikan pada
penderita pasca operasi otak untuk meminimalkan edema serebrum pada masa pasca operasi),
multipel sklerosis. Transplantasi organ pencegahan dan terapi penolakan organ (imunosupresi)

Penyakit paru pneumonia aspirasi, asma bronkiale, pencegahan sindrom gawat napas janin,
sarkoidosis Kelainan ginjal sindrom nefrotik Penyakit kulit dermatitis atopik, dermatosis, liken
simpleks kronik (neurodermatitis terlokalisasi), mikosis fungoides, pemfigus, dermatitis
seboroik, xerosis Penyakit tiroid eksoftalmus maligna, tiroiditis subakut Lain-lain hiperkalsemia,
mountain sickness

EFEK SAMPING EFEK METABOLIK Kebanyakan pengguna kortikosteroid dengan dosis


100 mg/hari atau lebih tiap harinya selama lebih dari 2 minggu, mengalami perubahan yang
disebut sindrom cruhing iatrogenik. Wajah biasanya berubah menjadi bulat/muka bulan (pletorik)
dan bengkak karena terjadi penumpukan lemak pada daerah wajah, daerah ekstremitas ke batang
tubuh (daerah badan), tengkuk, dan fossa supraclavicular. Kecepatan perkembangannya
bergantung pada dosis dan latar belakang genetik penguna. Terdapat peningkatan pertumbuhan
rambut halus pada wajah, paha, dan batang tubuh. Dijumpai pula adanya insomnia dan
peningkatan nafsu makan.

Pemecahan protein dan pengalihan asam amino menjadi glukosa secara berkelanjutan, dapat
menimbulkan peningkatan kebutuhan akan insulin, dan kemudian mengakibatkan miopati, dan
penghabisan massa otot; penipisan kulit, disertai striae dan memar; hiperglikemia; dan akhirnya
menimbulkan osteoporosis, diabetes, dan nekrosis aseptik pada pinggang. Penyembuhan luka
juga mengalami gangguan.

KOMPLIKASI LAIN Komplikasi ulkus peptikum adalah efek samping lain yang berat dari
penggunaan kortikosteroid. Timbul rasa mual, pusing, dan penurunan berat badan pada beberapa
penderita. Hipomania atau psikosis akut dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat
kortikosteroid dosis besar. Pengunaan kortikosteroid kerja- intermediet dan kerja-lama dapat
menimbulkan depresi dan katarak subkapsular posterior. Peningkatan tekanan intraokular,
hipertensi intrakranial jinak, dan juga sering terjadi induksi glaukoma. Pada pemberian
hidrokortison dosis 45 mg/m2/hari, terjadi retardasi pertumbuhan pada anak. Ini disebabkan
karena glukokortikoid kerja-intermediet dan kerja-lama memiliki potensi untuk menekan
pertumbuhan yang lebih besar daripada kortikosteroid alamiah dengan dosis yang sama.
Jika diberikan dengan dosis/jumlah yang lebih besar daripada jumlah fisiologis, steroid
seperti kortison dan hidrokortison, yang mempunyai efek mineralokortikoid, dapat menyebabkan
retensi berlebih pada natrium dan hilangnya kalium pada cairan dalam tubuh. Dapat
menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik pada penderita dengan fungsi kardiovaskular
dan ginjal yang normal, yang berujung pada peningkatan tekanan darah. Terjadi edema pada
pengguna dengan hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati. Pada penderita penyakit
jantung, sedikit retensi natrium dapat menyebabkan gagal jantung. Retensi =
penahanan/penyimpanan Retardasi = perlambatan (retard)
SUPRESI ADRENAL Penggunaan kortikosteroid lebih dari 2 minggu atau peningkatan dosis
penggunaan kortikosteroid pada seseorang dengan trauma kecelakaan atau bedah mayor dapat
menyebabkan stres ringan sampai berat. Pengurangan dosis maupun pemakaian harus dilakukan
secara bertahap. Jika dosis dikurangi terlalu cepat pada penderita yang mendapat glukokortikoid
untuk kelainan tersebut dapat menimbulkan kembali bahkan meningkatkan intensitas gejala
supresi adrenal seperti anoreksia, mual/muntah, penurunan berat badan, letargi, sakit kepala,
demam, nyeri sendi/otot, dan hipotensi postural dan menunjukkan adanya ketergantungan
terhadap glukokortikoid.
KONTRA INDIKASI Agen kortikosteroid harus digunakan sangat hati-hati pada penderita
ulkus peptikum, penyakit jantung, atau hipertensi dengan gagal jantung, penyakit infeksi tertentu
seperti varisela dan tuberkulosis, psikosis, diabetes, osteoporosis, atau glaukoma. Terjadi pula
gangguan terhadap fungsi ginjal, prematur pada neonatus (penggunaan oleh ibu hamil),
hipersensitif terhadap komponen obat, dan gangguan psikologis
Obat Anti Alergi Antihistamin dan Efek Sampingnya
Pemberian obat alergi untuk penderita alergi bukan jalan keluar utama yang terbaik.
Pemberian obat jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan menghindari
penyebab.

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada
awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis
reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi
reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2.
Berdasarkan penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni
antagonis reseptor-H1 (sH1-blockers atau antihistaminika) dan antagonis reseptor H2
( H2-blockers atau zat penghambat-asam)

Berbagai Jenis Antihistamin


H1-receptor antagonists

Dalam penggunaan umum, antihistamin merujuk hanya untuk antagonis H1, juga dikenal sebagai
antihistamin H1. Telah ditemukan bahwa antihistamin H1-agonis adalah benar-benar berlawanan
dengan reseptor histamin H1. Secara klinis, H1 antagonis digunakan untuk mengobati reaksi
alergi. Sedasi adalah efek samping yang umum, dan antagonis H1 tertentu, seperti
diphenhydramine dan Doksilamin, juga digunakan untuk mengobati insomnia. Namun,
antihistamin generasi kedua ini tidak melewati penghalang darah-otak, dan dengan demikian
tidak menyebabkan kantuk.

Azelastine

Brompheniramine

Buclizine

Bromodiphenhydramine

Carbinoxamine

Cetirizine
Chlorpromazine (antipsychotic)

Cyclizine

Chlorpheniramine

Chlorodiphenhydramine

Clemastine

Cyproheptadine

Desloratadine

Dexbrompheniramine

Deschlorpheniramine

Dexchlorpheniramine

Dimenhydrinate (most commonly used as an antiemetic)

Dimetindene

Diphenhydramine (Benadryl)

Doxylamine (most commonly used as an OTC sedative)

Ebastine

Embramine

Fexofenadine

Levocetirizine

Loratadine

Meclozine (sering digunakansebagai antiemetik)

Olopatadine
Orphenadrine (sejenis diphenhydramine digunakan terutama sebagai relaksan otot rangka
dan anti-Parkinson)

Phenindamine

Pheniramine

Phenyltoloxamine

Promethazine

Pyrilamine

Quetiapine (antipsychotic)

Rupatadine

Tripelennamine

Triprolidine

H2-receptor antagonists

Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis terbalik tidak benar. H2 reseptor
histamin, ditemukan terutama di sel parietal dari mukosa lambung, digunakan untuk mengurangi
sekresi asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk tukak lambung dan penyakit
gastroesophageal reflux.

Cimetidine

Famotidine

Lafutidine

Nizatidine

Ranitidine

Roxatidine

Experimental: H3- and H4-receptor antagonists

Obat ini baru dalam tahap eksperimental dan belum memiliki penggunaan klinis, meskipun
sejumlah obat ini sedang dalam percobaan manusia. H3-antagonis memiliki stimulan dan efek
nootropic, dan sedang diselidiki untuk pengobatan kondisi seperti ADHD, penyakit Alzheimer,
dan skizofrenia, sedangkan H4-antagonis tampaknya memiliki peran imunomodulator dan
sedang diteliti sebagai obat anti-inflamasi dan analgesik .

H3-receptor antagonists

A-349,821

ABT-239

Ciproxifan

Clobenpropit

Conessine

Thioperamide

H4-receptor antagonists

Thioperamide

JNJ 7777120

VUF-6002

Lainnya

Atipical antihistamin Obat ini menghambat aktivitas enzimatik dekarboksilase histidin:

tritoqualine

catechin

Mast cell stabilizers

Mast cell stabilizers untuk menstabilkan sel mast untuk mencegah degranulasi dan pelepasan
mediator. Obat ini tidak biasanya digolongkan sebagai antagonis histamin, tetapi memiliki
indikasi serupa.

Cromoglicate (cromolyn)

Nedocromil
Beta 2 (2) adrenergic agonists

Anda mungkin juga menyukai