Anda di halaman 1dari 5

Sebuah keputusan akan berdampak pada masa depan suatu perusahaan.

Salah satunya untuk menentukan sebuah biaya untuk satu produk atau barang jadi

perusahaan. Bisa saja perusahaan menilai barangnya terlalu murah dari

pesaingnya, akhirnya berdampak pada keputusan harga jual yang terlalu rendah,

otomatis akan berpengaruh pada laba yang harus perusahaan seharusnya bisa

maksimal namun terganjal karena keputusan harga jual yang terlalu rendah.

Berbeda lagi kasusnya jika harga jual terlalu tinggi. Perusahaan akan bertanya-

tanya mengapa perusahaan lain menjual lebih rendah dari produk perusahaan.

Berbagai permasalahan itulah yang menjadi pokok bahasan mengenai

bagaimanakah pembebanan biaya suatu produk dalam satu periode.

Full VS Variable Cost

Akademisi akuntan beranggapan bahwa variable cost adalah dasar

penentuan keputusan dalam pembebanan biaya sesungguhnya terjadi pada proses

produksi suatu perusahaan. Namun, berbeda halnya dengan praktisi akuntansi,

pembebanan biaya menggunakan full cost.

Definisi dari variable cost menurut akademisi adalah pemilihan atau produk

bersifat jangka pendek hingga hitungan caturwulan. Perspektif ini beranggapan

bahwa nilai biaya dalam produksi akan lebih terlihat mana yang biaya tetap dan

variable ketika terjadi perubahan volume produksi. Jika berubah, maka dapat

dikategorikan sebagai variable cost.

Perspektif di atas nampaknya ditolak oleh kalangan praktisi. Mereka

beranggapan bahwa kontrak atas suatu produk tidak untuk jangka pendek, namun
harus dipertahankan untuk jangka panjang sehingga metode akademisi dianggap

tidak dapat mewakili jangka panjang. Kaplan dan Cooper (1988) melakukan

penelitian ke berbagai perusahaan dengan produk yang cukup bervariasi, produksi

dan penjualan secara masal. Disimpulkan bahwa dari keseluruhan perusahaan ada

3 perusahaan yang memiliki kemiripan, yaitu biaya produksi memegang peran

atas penentuan biaya pengenalan produk, harga jual dan biaya pemberhentian

produk. Tidak hanya itu, pembebanan biaya juga memegang peran penting bagian

marketing dalam memasarkan produknya.

Keakuratan Biaya Produk

Salah satu contohnya, Rockford, mengkompesasikan adanya margin besar

atas pembebanan biaya dengan volume produksi yang kecil. Menurut perusahaan

ini, taktik tersebut adalah salah satu celah untuk dapat bersaing dengan

perusahaan-perusahaan dengan produksi jumlah besar. Celah tersebut ada di nilai

margin penjualannya.

Schrader Bellows, mengungkapkan bahwa estimasi biaya produksi cukup

sulit untuk dilakukan, namun perusahaan ini meyakinkan bahwa keunggulan dari

perusahaan ini adalah efisiensi dan efektivitas produksinya yang bagus, sehingga

dapat dilakukan penekanan biaya produksi.

Berbeda lagi dengan Mayers Tap. Biaya produksi lebih cenderung untuk

berjudi oleh para Manajer Senior. Jika memang ada peluang untuk menaikkan

margin maka akan meng-over price biaya produksi sehingga harga jual
meningkat, dan sebaliknya jika dirasa pasar kurang bagus. Efeknya, laba

perusahaan riilnya selalu lebih terlihat kecil dari estimasi yang dilakukan.

TWO-STAGE Cost Allocation System

Menurut penelitian Kaplan dan Cooper (1988), beberapa perusahaan

mengalokasi biaya produksi melalui 2 tahapan. Tahapan pertama adalah

menempatkan biaya variabel sesuai cost center-nya. Kedua, setelah mengatahui

biaya pemicunya maka mengalokasikan ke masing-masing produk. Biasanya

perusahaan akan mengelompokkan overhead pabrik pada biaya variabel sesuai

pemicunya, selanjutnya adalah mengalokasi biaya-biaya tersebut dengan membagi

jam tenaga kerja,

namun biaya tenaga

kerja bisa langsung

berkurang bila lebih

banyak menggunakan

mesin sehingga

pembaginya adalah

jam mesin.

The Failure of Marginal Costing

Akademisi kuno merekomendasi untuk marginal costing ketika biaya

variabel (tenaga kerja, bahan baku, dan sebagainya) bersanding dengan jumlah

tingkat proporsi produksi yang tinggi dengan tingkat variasi atau diferensiasi
produk kecil. Namun saat ini hukum tersebut tidak berlaku karena perusahaan

menggunakan volume produksi yang besar dan bauran produk yang banyak pula.

The Failure of Fixed-Cost Allocation

Kekurangan dari fixed-costing adalah ketika saat dulu banyak perusahaan

menggunakan perhitungan biaya kerja ke dalam cost center dari suatu produk

sedangkan saat ini banyak yang beralih menjadi otomatis atau beralih ke mesin.

Jam tenaga kerja tidak lagi dapat dijadikan acuan menjadi cost center alokasi

biaya tetap suatu produk. Dengan memperkenalkan otomatisasi mesin, akan

berdampak pada pengurangan tenaga kerja dan jam kerja, namun mungkin dapat

menambah biaya set up mesin dan biaya supervisor. Oleh sebab itu banyak yang

menggunakan jam mesin untuk dasar alokasi biaya tetap dari suatu produk. Lalu

bagaimana dengan biaya-biaya lainnya seperti kenaikan gaji supervisor? Ternyata

melalui penelitian Kaplan dan Cooper (1988), akan lebih baik jika biaya ini tidak

dihitung dari jumlah jam, unit produksi dan sebagainya, namun dipisah sesuai

dengan behavior dan relasi dengan volume produksi.

The Cost of Complexity

Sebagai perumpamaan untuk mempermudah pemahaman, ada dua

perusahaan identik, keduanya menggunakan mesin yang sama, jumlah produksi

yang sama. Namun mesin kedua setiap 200 buah produksi diwajibkan untuk

melakukan inspeksi produk, baik persediaan, hingga barang jadi. Sistem akuntansi

biaya tradisional untuk kasus pertama telah dikalsifikasikan dengan gamblang

sebagai biaya tetap, namun berbeda dengan kasus kedua. Kompleksitas biaya

kedua sangat tinggi. Ada berbagai departemen yang dilibatkan. Oleh sebab itu
biaya support-department lebih fleksibel dan disahkan setiap tahun.

Pertanyaannya adalah bagaimana menentukan kebebasan dalam menentkan biaya

overhead? Jawabannya adalah melalui permintaan dari aktivitas transaksi

produksi dalam kapasitas penuh dan diversity atas lini produk.

Anda mungkin juga menyukai