Anda di halaman 1dari 10

IMAM ALI BIN ABI THALIB RA, KEAN

SANTANG & RAKEYAN SANCANG


Posted by Ahmad Yanuana Samantho on Mei 26, 2016 in Internasional dan dunia Islam, Sejarah Islam di Jawa
Barat,Sejarah Wali Songo dan Waliyullah lainnya di Nusantara

Sofia Abdullah
IMAM ALI BIN ABI THALIB RA, KEAN SANTANG & RAKEYAN SANCANG

Bagi pemerhati sejarah Sunda dan


tentunya masyarakat Sunda sendiri yang ingin mengetahui sejarah
leluhur, pastinya sudah tidak asing lagi dengan ketiga nama tokoh
penting ini, yang terkait erat dengan sejarah masuknya Islam ke wilayah
jawa bagian barat.
Namun sayangnya sumber tertulis yang asli mengenai kisah masuk
Islamnya Kean Santang ini bisa dikatakan hampir tidak ada, hingga
terjadilah simpang siur informasi seperti yang terjadi saat ini.

Sejarah Kean Santang yang pada hakikatnya adalah menjabarkan ttg


kedatangan Islam di tanah Sunda ini, hanya dapat kita dengar versi
narasinya dari generasi ke generasi, baik melalui pantun ataupun kisah
wayang, dan telah mendapatkan penambahan dan pengurangan di
beberapa bagian kisahnya, dan tidak lupa ada pesanan dari pemerintah
kolonial untuk menyisipkan kisah-kisah yang memberikan citra buruk
pada Islam, di antaranya melalui kisah pemaksaan untuk menganut
ajaran Islam hingga terjadi perkelahian dan pengejaran antara Kean
Santang dan ayahnya Prabu Siliwangi dan diakhiri dengan ngahiang-
nya sang prabu, berubah wujud menjadi maung (harimau).
Enter a caption
https://kanzunqalam.com/2015/02/05/misteri-pedang-sayyidina-ali-dari-
negeri-panjalu-tanah-pasundan/
Misteri Pedang Sayyidina Ali, dari Negeri Panjalu (Tanah Pasundan) ?
Darimanakah kisah-kisah tidak masuk akal ini bersumber? Terlihat jelas
ada pemalsuan data, kisah-kisah ajaib dan sikap intoleran seorang
muslim, yang bila pada ayahnya saja ia melakukan demikian,
bagaimana dengan rakyat biasa? Tentunya hal ini sangat bertentangan
dengan ajaran Islam itu sendiri. Lalu kembali lagi pertanyaan di atas
darimanakah kisah2 ini bersumber?

https://kanzunqalam.com/2015/02/05/misteri-pedang-sayyidina-ali-dari-
negeri-panjalu-tanah-pasundan/
Ternyata setelah dilakukan penelusuran, sumber utama kekacauan
sejarah Islam di Indonesia adalah banyaknya sumber-sumber sejarah
tertulis palsu atau salinan yang dibuat pada era kolonial, tepatnya
setelah tahun 1860-an hingga 1900-an awal, sementara sumber-sumber
sejarah tertulis yang asli di bawa ke Universitas Leiden Belanda.

Dari naskah2 aspal atau salinan inilah kemudian kita membaca dan
mendengar banyak cerita-cerita aneh dan tidak masuk akal seputar
sejarah masuknya Islam di Indonesia.
Kekacauan data sejarah yang paling sering ditemukan adalah terjadinya
tumpang tindih tahun kehidupan para tokoh, hingga tidak ad titik temu
antara tokoh dalam naskah kuno dengan fakta sejarah yang diambil dari
sumber lain, misalnya tokoh yang harusnya hidup pada tahun 630 M,
seolah olah hidup pada tahun 1400-an, di mana Islam pada masa itu
yang faktanya telah tersebar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke
seolah-olah baru saja dipeluk oleh masyarakat Nusantara dalam waktu
singkat.

Salah satu kisah yang mengalami perusakan dan pemalsuan sejarah ini
adalah kisah pertemuan Kian Santang dan Imam Ali.
Berdasarkan data-data yang telah kami kumpulkan dan tidak mungkin
saya masukkan ke dalam tulisan ini, karena banyaknya data-data
tersebut, diketahui bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak masa Rasul
SAW masih hidup, baik melalui utusan beliau SAW maupun penduduk
dari seluruh dunia yang memang sengaja datang untuk mengenal Nabi
terakhir sekaligus mempelajari Islam.

Di antara mereka yang datang ke jazirah Arab 1437 tahun yang lalu
adalah Kean Santang yang diperintahkan ayahandanya, Prabu
Siliwangi, untuk berguru ke tanah Arab pada seorang sakti bernama Ali.

Mayoritas penduduk Indonesia saat itu adalah penganut agama tauhid


atau Millatu Ibrahim (Sunda Wiwitan dan Kapitayan Jawa, Kaharingan
Dayak kalimatan, Parmalim-Batak, To Manurung Sulawesi, tambahan
info oleh editor AYS), yang telah mengetahui kedatangan nabi terakhir
berikut ciri-cirinya melalui kitab-kitab mereka dengan bahasa mereka ,
seperti yang disebutkan dalam Al Quran surat Ibrahim (14):4 Allah SWT
berfirman, bahwa Allah SWT mengutus nabi dan rasul dengan bahasa
kaumnya, agar dia dpt memberi penjelasan kepd mereka.
Dalam sejarah Nabi SAW, yang bukunya dijual bebas di toko-toko buku,
juga dikisahkan tentang nubuat (ramalan) kedatangan Nabi terakhir
yang diketahui oleh pemeluk ahlul kitab, karena terdapat pada kitab-
kitab mereka.
Ahlul Kitab yaitu para pemeluk agama yang memiliki kitab sebagai
rujukan tata cara dan peribadatan mereka, bukan hanya Yahudi dan
Kristen tapi juga termasuk Hindu dan Budha serta agama-agama lain
yang tersebar di seluruh dunia, termasuk agama tauhid yang ada di
Nusantara saat itu yang menyembah Tuhan yang satu (Sang Hyang
Widi).
Kisah tentang nubuat (ramalan) kedatangan Nabi Muhammad
tergambar jelas pada kisah pertemuan Nabi SAW ketika masih belia
dengan Biarawan Bahira yang mengetahui detail ciri-ciri kenabian pada
Muhammad kecil yang kelak akan menjadi rasul terakhir, kisah tentang
sahabat Bilal RA yang beragama Tauhid dari Afrika datang untuk
bertemu Nabi terakhir seperti yang telah tercantum dalam kitab beliau,
namun diperjalanan beliau dirampok dan dijual sebagai budak, atau
kisah Abu Dzar dari bani Ghiffar yang datang ke Mekkah untuk
memastikan kedatangan Nabi yang baru, demikian pula hal-nya dengan
Salman al Farisi yang mengetahui detail kenabian Muhammad SAW
melalui kitab Injil, atau kisah penduduk Madinah, yang telah mengetahui
Nabi Muhammad SAW jauh sebelum Nabi hijrah dan masih banyak lagi,
berita tentang kelahiran nabi Muhammad SAW yang telah mereka
ketahui dari kitab-kitab mereka, hanya saja di antara mereka ada yang
menentang dan menerima.
Dari penggalan kisah nabi Muhammad SAW di atas pertemuan Kean
Santang dan Imam Ali as atau Sayyidina Ali RA menjadi tidak aneh lagi,
sebagai seorang penganut Tauhid, baik Kean Santang ataupun ayahnya
sang Prabu Siliwangi tentunya akan merasa terpanggil untuk melihat
sang Nabi terakhir, Muhammad SAW, yang namanya telah tersebut
dalam kitabnya, hingga kemudian memerintahkan putranya berguru
langsung pada beliau saw.

Apalagi bila ditambah bukti hubungan perdagangan yang terjadi antara


penduduk Nusantara dan Jazirah Arab telah terjalin jauh sebelum
kelahiran Rasul SAW, semakin wajarlah bila kedua tokoh ini memang
pernah bertemu, hanya saja kisahnya mungkin tidak semistis dan segaib
seperti yang kebanyakan kita ketahui di berbagai blog internet.

Imam Ali As adalah guru bagi Kian Santang, bukan hanya bertemu
Imam Ali dan berguru pada beliau, dalam salah satu sumber yang kami
dapatkan Kean Santang juga belajar dan bertemu langsung dengan
Rasul saw, setelah sebelumnya bertemu atau berpapasan dengan Imam
Ali AS.
Rasul SAW kemudian memerintahkan Kean Santang untuk belajar Islam
dengan Sayyidina Ali RA, hal ini pun bukan sesuatu yang aneh karena
bisa di baca dalam kisah-kisah sejarah Rasul SAW, Rasul SAW biasa
memerintahkan para sahabat pilihan untuk mengajarkan Islam bagi
mereka yang baru mengenal Islam.

Rakeyan Sancang atau Kean Santang?


Dua nama ini muncul setelah ditemukannya data dari seorang ulama
Mesir bahwa salah seorang sahabat Imam Ali adalah pangeran dari
Timur Jauh (Nusantara). Data ini diambil dari manuskrip kuno yang
tersimpan di universitas al-Azhar Mesir yang diantaranya mengisahkan
tentang sahabat Imam Ali, seorang pangeran yang berasal dari Timur
Jauh, yang ikut perang Shiffin dan beberapa peperangan lain bersama
Imam Ali.

Setelah di teliti oleh Ir H. Dudung Faithurohman, satu-satunya kisah


pertemuan pangeran dari Timur jauh dengan Imam Ali adalah kisah
Kean Santang yang terjadi di jawa, dan setelah diteliti kembali pangeran
jawa yang hidupnya satu masa dengan Imam Ali dan menjadi sahabat
Imam Ali, serta ikut dalam perang Shiffin tidak lain adalah Rakeyan
Sancang putra raja Kertawarman, penguasa Tarumanegara VIII dari
tahun 561-628 M.

Kesimpulan ini tentunya banyak menimbulkan opini dari berbagai


kalangan pemerhati sejarah, karena jelas terjadi perbedaan tokoh
utama, kisah yang beredar di masyarakat Sunda selama berabad-abad
adalah Kean Santang sementara tokoh yang bertemu dengan Imam Ali
as, yaitu Rakeyan Sancang pangeran Sunda/Jawa yang masa
hidupnya satu masa dengan Imam Ali, lalu mana yang benar? Rakeyan
Sancang atau Kean Santang?

Berikut adalah pembuktian-pembuktian yang kami dapatkan dari


beberapa tahun meneliti sejarah Islam di Sunda berdasarkan naskah-
naskah kuno, situs purbakala, Mitos, legenda, kisah turun temurun,
naskah silsilah, kajian ilmu anthropologi, Filologi dan arkeologi yang
kami dapatkan.
Pembuktian pertama tentu saja melalui penelusuran sumber, baik lisan,
tulisan atau mengunjungi situs yang terkait dengan tokoh Kean Santang
dan Prabu Siliwangi.

Terdapat beberapa sumber tertulis berupa naskah kuno yang menjadi


rujukan data tahun, dua di antaranya didapat dari naskah Wangsakerta
dan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang mengatakan bahwa
Kean Santang adalah putra Prabu Siliwangi yang hidup pada era 1400-
1500-an Masehi, sementara fakta sejarah membuktikan pada kita Imam
Ali hidup pada tahun 600M-663M, yang artinya jarak waktu antara Imam
Ali dengan Kean Santang sekitar 900 tahun! Dan tentunya mustahil
secara ilmu sejarah kedua tokoh ini dapat bertemu.

Namun lain hal-nya dengan Rakeyan Sancang yang masa hidupnya


kurang lebih satu masa dengan Imam Ali, hingga dapat ditarik
kesimpulan yang bertemu dengan Imam Ali adalah Rakeyan Sancang
dan beliau adalah tokoh yang berbeda dengan Kean Santang. Benarkah
demikian? Benarkah Rakeyan Sancang dan Kean Santang adalah 2
tokoh yang berbeda? Bila benar demikian artinya kita telah membuang
seluruh sumber lisan sejarah dan silsilah para tokoh muslim yang telah
menjadi pemimpin di Jawa Barat sejak tahun 800-an Masehi. (lebih
lengkapnya bisa dibaca tulisan kami tentang Cangkuang, Situs Hindu
atau Islam? Di Liputan Islam)

Setelah kami pelajari dari penelitian Prof. Boechari (alm), seorang filolog
yang cukup terkenal mengatakan bahwa kedua naskah di atas adalah 2
di antara ratusan naskah salinan yang dibuat atas perintah kolonial, jadi
sangat memungkinkan pada kedua naskah ini terjadi penambahan dan
pengurangan data sesuai pesanan pemerintah kolonial pada masa itu,
masih menurut Prof. Boechari (alm), untuk mengetahui keotentikan isi
ke-2 naskah tersebut harus melakukan seleksi dan perbandingan
dengan data sejarah yang lain.

Dari penelusuran inilah kami juga menemukan fakta sejarah penting


mengenai tokoh Prabusiliwangi.
Berdasarkan peninggalan bangunan dan silsilah dan kisah-kisah pada
naskah kuno seperti Babad, Cariosan dsb, diketahui bahwa Prabu
Siliwangi pun sebenarnya hanya gelar yang digunakan untuk menyebut
para penguasa yang adil di Nusantara dari masa ke masa, dari mulai
zaman Nabi Nuh AS hingga Prabu Siliwangi terakhir sebelum era
kolonial yang mencapai puncak kejayaan pada 1482-1521, dan inilah
Prabu Siliwangi yang umumnya diketahui masyarakat kini, dari gelar Haji
dan silsilah dapat dipastikan bahwa Prabu Siliwangi adalah seorang
muslim, seperti yang tercantum dalam gelarnya : Sang Sribaduga, Ratu
Haji Di Pakuan Pajajaran.

Dan sangat mungkin sSng Kertawarman, ayahanda dari Rakeyan


Sancang adalah salah seorang dari Prabu Siliwangi atau penguasa
yang adil yang memerintahkan putranya untuk belajar Islam ke Mekkah.

Mengenai prabusiliwangi, InsyaAllah akan saya bahas dalam tulisan


yang lain.

Pembuktian kedua bisa dilihat melalui nama. Kian Santang adalah


sebutan bukan nama. Kean/Kian adalah kependekan dari Kata
Rakeyan/Rakryan yang diambil dari bahasa sanskrta yang artinya
pangeran atau pemimpin.
Sementara kata Santang adalah kata yang mengalami perubahan bunyi
atau turunan dari kata Sancang.
Sancang adalah nama kota kuno di Jawa Barat, yang lokasi-nya saat ini
masih dapat kita kunjungi di hutan Sancang, Garut Selatan.

Dalam ilmu filologi perubahan kata adalah hal yang umum terjadi,
seperti kata Rakeyan seiring dengan perubahan zaman, perpindahan
kisah dari generasi ke generasi kata Rakeyan menjadi Rahadyan dan
setelah kedatangan kaum muslim yang hijrah dari Arab dan persia
sekitar tahun 700-800an Masehi, masuklah unsur arab kedalam kata
Rahadyan menjadi RaDien yang artinya pemimpin agama, kata Radin
kemudian berubah menjadi Raden. Dari perjalanan kata dari Rakeyan
menjadi Raden saja membutuhkan waktu ratusan tahun.
Hal yang sama pun terjadi dengan kata Sancang seiring dengan
perubahan dialek dan pengaruh yang lain dalam kisah turun temurun
menjadi kata Santang.

Jadi berdasarkan temuan diatas, kami menyimpulkan bahwa Keyan


Santang/ Kian Santang dan Rakeyan Sancang adalah tokoh yang sama,
yang dikisahkan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun hingga
mengalami perubahan bunyi dan makna, yaitu yang pada awalnya
hanya gelar menjadi nama. Rakeyan Sancang sendiri bila dilihat dari arti
bahasa, artinya pangeran yg berasal dari Sancang, menegaskan
jabatan dan asal kota atau tempat dimakamkannya sang pangeran.

Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, Sancang adalah kota


kuno yang sekarang lokasinya berada di Garut Selatan dan terkenal
dengan hutan/leuweung Sancang-nya, diketahuinya bahwa hutan
Sancang adalah lokasi bekas pemukiman kuno, ditandai dengan adanya
kompleks pemakaman di dalam hutan Sancang.

Kisah Rakeyan Sancang dan pertemuannya dengan Sayyidina Ali RA


dikisahkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, baik dalam
bentuk pantun maupun wayang, dan seperti umumnya tradisi lisan pasti
mengalami penambahan, pengurangan isi kisah dan perubahan nama
tokoh yang disesuaikan dengan dialek sang penutur.

Mengenai sumber tertulis yang asli bukan salinan, kami yakin pasti ada,
hanya saja sebagian besar sumber tertulis ini telah diambil oleh pihak
kolonial dan kini tersimpan di universitas Leiden-Belanda.

Sumber tertulis yang ada sekarang umumnya adalah salinan yg dibuat


pada era kolonial atau berdasarkan kisah turun temurun yang kemudian
ditulis dalam bentuk pantun atau prosa. (ttg pemalsuan sumber sejarah
tertulis utk lebih lengkapnya bisa dibaca tulisan yang say aposting di FB
berjudul sumber sejarah tertulis di Indonesia)

Salah satu sumber tertulis yang kami dapatkan dari salah satu pondok
pesantren di Banten, mengenai kisah Kian Santang yang mendekati
versi aslinya mengatakan bahwa pertemuan antara Kean Santang
dengan Imam Ali terjadi di Mekkah setelah peristiwafathu Makkah/
penaklukkan Makkah (629 M) pertemuan ini memang disengaja karena
perintah dari sang ayah, Prabu Siliwangi, agar putranya mencari guru
yang ilmunya mumpuni.
Singkat kisah setelah mempelajri Islam langsung dari Rasul SAW dan
Imam Ali as, Kian Santang diperintahkan Rasul SAW untuk
mengabarkan tentang Islam atau syiar di tanah Jawa (Sunda).

Kisah Prabu Siliwangi yang berperang melawan anaknya sendiri, atau


Prabu Siliwangi yang berubah atau ngahiang menjadi maung (Harimau)
setelah kalah berperang dengan putranya sebenarnya tidak pernah ada,
kisah-kisah tersebut hanyalah penambahan-penambahan yang
dipaksakan dengan tujuan merusak data sejarah hingga tidak layak lagi
dijadikan sumber, karena berdasarkan sumber dari Banten tadi Prabu
Siliwangi-lah justru yang memerintahkan putranya untuk berguru ke
Imam Ali di Mekkah.
Peperangan antara ayah dan anak, ketika sang anak memilih Islam
adalah kisah rekayasa buatan era kolonial untuk memperburuk citra
Islam, kisah seperti ini terdapat hampir di setiap naskah kuno di
Indonesia, karena memang mayoritas naskah-naskah ini buatan era
kolonial, baik yang berbentuk buku atau lontar.

Kisah orang tua melawan anaknya setelah sang anak memeluk Islam
yang terkenal selain Kean Santang dan Prabu Siliwangi antara lain
Raden Fatah berperang melawan ayahnya, raja Majapahit, Prabu
Brawijaya V. Kisah Raden Fatah dan Brawijaya V dari Majapahit
memiliki alur cerita yang hampir mirip dengan kisah Kean Santang dan
Prabu Siliwangi, dan beberapa kisah serupa yang kami temukan pula
pada naskah-naskah kuno salinan dari Sumatera dan Kalimantan, dari
sini dapat ditarik benang merah bahwa kisah-kisah yang hampir mirip ini
pada dasarnya adalah kisah leluhur yang sama hanya saja dikisahkan di
lokasi yang berbeda dengan bahasa dan dialek yang berbeda, seperti
yang dikatakan Pangeran Wangsakerta dalam naskah
Wangsakertanya :
Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira
wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran.
Dadyeka dudu ngaran swaraga nira.
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat
yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan
nama pribadinya)
Adanya usaha pemalsuan sejarah Islam melalui sistem penyalinan dari
naskah-naskah aslinya juga tidak bisa dianggap remeh, karena
pemalsuan naskah = pemalsuan sejarah, dan masih menurut Boechari
penyalinan ini tidak terbatas hanya pada naskah namun juga terdapat
pada prasasti dan bangunan atau situs-situs kuno.

Kisah2 yang tertulis untuk memperburuk citra Islam ini, jumlahnya


sangat banyak dalam naskah2 salinan yang ada di Indonesia, bisa jadi
data yang ada dalam naskah salinan adalah data yang asli dan tetap
bisa digunakan sebagai sumber sejarah, namun untuk berhati-hati harus
dilakukan croschek dengan sumber sejarah yang lain yang dapat dirujuk
kebenarannya.

Mudah2an sepotong kisah penelitian sejarah Islam yang sedang kami


tekuni ini dapat bermanfaat dan memberikan sedikit kejelasan tentang
sejarah Islam di tanah Sunda.

*********

Catatan: Tulisan diatas adalah ringkasan penelitian kami mengenai


sejarah Islam di Nusantara yang telah kami tekuni selama 5 tahun
terakhir, oleh sebab itu sumber tulisan ini sangat banyak yang kami
dapat dari penelusuran naskah-naskah kuno, kunjung situs pubakala
dan penelitian para ahli dibidangnya masing-masing.
(Sofia Abdullah-Penulis)
LINK TERKAIT:
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/02/06/misteri-pedang-
sayyidina-ali-dari-negeri-panjalu-tanah-pasundan-2/
http://joloksancang.blogspot.com/2009/01/islam-masuk-ke-garut-sejak-
abad-1.html
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/11/23/melacak-jejak-imam-
ali-melalui-bendera-macan-ali/
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2011/

Anda mungkin juga menyukai