Anda di halaman 1dari 10

Kerajaan cirebon

Mitos

Kian Santang adalah tokoh tasawuf dari tanah pasundan yang ceritanya melegenda khususnya di
hati masarakat pasundan dan kaum tasawuf ditanah air pada umumnya. Tokoh kian-santang ini
pertama kali berhembus dan dikisahkan oleh raden CAKRABUANA atau pangeran walangsungsang
ketika menyebarkan islam di tanah cirebon dan pasundan. Pangeran cakrabuana adalah anak dari
prabu sili-wangi atau jaya dewata raja pajajaran, yang dilahirkan dari permaisuri ketiga yang
bernama nyi subang larang, subang-larang sendiri murid dari mubaliq kondang yaitu syeh
maulana-hasanudin atau terkenal dengan syeh kuro krawang.

Mulanya yaitu, ketika raden walangsungsang memilih untuk pergi meninggalkan galuh pakuan
atau pajajaran, yang di sibebabkan oleh keberbedaan haluan dengan keyakinan ayahnya yang
memeluk agama “shangyang”, pada waktu itu. diriwayatkan beliau berkelana mensyi’arkan islam
bersama adiknya yaitu rara santang (ibu dari syarif hidayatullah atau “sunan gunung jati”) dengan
membuka perkampungan di pesisir utara yang menjadi cikal-bakal kerajaan caruban atau
kasunanan cirebon yang sekarang adalah “kota madya cirebon”.

Legenda kian-santang sendiri diambil dari sebuah kisah nyata, dari tanah pasundan tempo dulu
yang ceritanya pada waktu itu tersimpan rapi berbentuk buku di perpustakaan kerajaan pajajaran.
Karena pajajaran adalah hasil penyatuan dua kerajaan antara galuh dan kerajaan sunda pura yang
dimana kerajaan galuh dan sundapura adalah dua kerajaan pecahan dari taruma negara, yang di
masa prabu PURNA-WARMAN yaitu raja ketiga dari kerajaan taruma negara yang di pecah
menjadi dua yaitu tarumanegara yang berganti sundapura dan ibukota lama menjadi galuh
pakuan. Dan jaya dewata menyatukan kembali dua pecahan kerajaan taruma negara menjadi
pajajaran.

Di mana di kisahkan pada waktu itu yaitu abad ke 4m atau tahun 450 pernah terdapat putra
mahkota yang sakti mandraguna bernama GAGAK LUMAYUNG yang dalam ceritanya “di tataran
suda dan sekitarnya ,tak ada yang mampu mengalahkan ilmu kesaktiannya. hingga suatu saat
datang pasukan dari dinasti TANG yang hendak menaklukkan kerajaan tarumanegara. namun
berkat gagak lumayung, pasukan TANG dapat di halau dan tunggang-langgang meninggalkan
taruma negara.

Semenjak itu raden gagak lumayung di beri sebutan ”KI AN SAN TANG” atau ”penakluk pasukan
tang” Di ceritakan sang kiansantang ini karena saking saktinya hingga dia rindu kepingin melihat
darahnya sendiri. Hingga sampailah di suatu ketika sa’at dia mendapat wangsit di tapabratanya
bahwah di tanah arab terdapat orang sakti mandraguna.  Konon: dengan ajian napak sancangnya
raden kian santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja. “Di mana dalam ceritanya
ketika sampai di pesisir beliau bertemu seorang kakek ,dan padanya dia minta untuk di tunjukan
di mana orang sakti yang kian santang maksud tersebut”.  Dan dengan senang hati si-kakek
tersebut menyanggupinya dan sementara dia mengajak beliau “kiansantang” untuk mampir dulu
ke rumahnya.
Al-kisah setelah sampai di rumahnya tongkat dari sang kakek tersebut tertinggal di pesisir dan
minta kian santang untuk mengambilkanya ,konon dikisahkan si-kian santang tak mampu
mencabutnya sampai tanganya berdarah-darah ,disitulah kian santang baru sadar kalau kakek itu
adalah orang yang di carinya.  Dan akhirnya dengan membaca kalimah syahadat yang di ajarkan
sang kakek tadi “yang akhirnya menjadi guru spiritualnya” tongkat tersebut dapat di cabut .

Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang. Dan yang aneh, kebanyakan orang
menduga kalau kian santang itu adalah raden walang sungsang. Padahal banyak sekali cerita yang
sepadan dengan kisah raden walang sungsang tersebut. Yang sesungguhnya dialah yang
mengisahkan justru dialah yang di kira pelaku (raden walang sungsang atau pangeran cakrabuana)
sebagai tokoh yang diceritakan itu. Tujuannya adalah hanya sebagai media dakwah dan
penyebaran islam di bumi cirbon dan sekitarnya. Sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang
menyangka raden walangsungsang adalah kian santang bahkan ada yang menafikan kian santang
adalah adik cakrabuana dan kakak dari rara santang.

Raden walangsungsang mengambil cerita ini dari perpustakaan kerajaan pajajaran dengan
pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya, Yang di mana kian santang setelah pulang
dari arab dia ingin meng-islamkan ayahnya prabu purnawarman namun di tolaknya dan kian
santang memilih meninggalkan istana dan tahtanya di berikan adiknya yaitu darmayawarman.
Begitu pula raden walang sungsang yang pernah merantau ke arab dan meningkahkan adiknya
rara santang yang di ambil istri oleh putra kerajaan mesir waktu itu dan pernikahan berlangsum di
mesir yang dari perkawinan inilah nanti akan lahirlah raden syarif hidayatullah atau sunan gunung
jati.

Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 masehi,
dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya
di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat,
membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda.

LATAR BELAKANG BERDIRINYA KERAJAAN CIREBON

Cirebon pada awalnya adalah sebuah dusun kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-
kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban ( Campuran )
karena bercampurnya para pendatang dari berbagai macam suku, agama, bahasa, adat, dan
mata pencaharian yang berbeda-beda. Mengingat sebagian besar mata pencaharian
masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan
rebon (udang kecil), serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan
terasi dari udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda: air rebon) yang
kemudian menjadi Cirebon
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara
Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan
bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama
Islam di Jawa Barat

PARA PENGUASA CIREBON

Pangeran Cakrabuana
Penguasa Cirebon pertama yang mendirikan istana Pangkuwati dan membentuk pemerintahan
adalah Pangeran Cakrabuana. Raja Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati
dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

Sunan Gunung Jati (1479-1568)

Pangeran Cakrabuana menyerahkan tampuk pemerintahan Cirebon pada Sunan Gunung Jati pada
1479 M, selaku keponakan sekaligus Menantu. Dengan berkuasanya Syarif Hudayatullah ini, maka
Cirebon menjadi Kesultanan Cirebon. Penobatan Sunan Gunung Jati didukung oleh para Wali Allah
di Pulau Jawa yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Sunan Gunung Jati oleh para wali dianugrahi gelar
sebagai penetep/panata agama Islam di tanah Sunda dan sebagai Tumenggung Cirebon. Dengan
demikian, Sunan Gunung Jati merupakan “Pandita Ratu” karena selain sebagai kepala
pemerintahan (penguasa) ia juga berperan sebagai Wali Sanga penyebar Islam.

Sistem politik yang dikembangkan oleh Sunan Gunung Jati didasarkan oleh Desentralisasi yang
berpola kerajaan pesisir. Pelabuhan menjadi bagian yang sangat penting dengan pedalaman
sebagai unsur penunjang yang vital. Strategi politik desentralisasi itu dilakukan dengan
menerapkan program pemerintahan yang bertumpu pada intensitas pengembangan dakwah Islam
ke seluruh wilayah bawahannya di tanah Sunda dengan didukung oleh perekonomian yang
menitikberatkan pada perdagangan dengan berbagai negara seperti Campa, Malaka, India, Cina,
dan Arab.

KESULTANAN BANTEN

Mitos Kampung Kecirebonan

Sebuah kampung bernama Kecirebonan, cerita mitos yang diduga paling tua, pada


masa awal Islamisasi daerah Banten.

Kampung ini didirikan oleh Kibuyut ‘Afil atas perintah Syarif Hidayatullah atau lebih
dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau satu dari Wali Songo (sembilan wali).

Dalam kisahnya, Kibuyut ‘Afil pergi dari Cirebon ke Banten atas bimbingan gaib
Sinuhun Panembahan Maulana Syarif Hidayatullah. 

Setibanya di Banten, Kibuyut ‘Afil mulai mencari sebuah tempat untuk dijadikan
tempat tinggal Syarif Hidayatullah.

Dari Cirebon, Syarif Hidayatullah melemparkan sebuah tongkat ke arah Banten,


seiring dengan keberangkatan Kibuyut ‘Afil.

Tongkat tersebut, jatuh di sebuah tempat yang bernama Kecirebonan. Di tempat


inilah, Kibuyut ‘Afil mendirikan tempat tinggal untuk Syarif Hidayatullah.

Ketika tiba di Banten untuk mengislamkan daerah ini, Syarif Hidayatullah tinggal di


kampung ini.
Sampai akhirnya, Syarif Hidayatullah meninggalkan Banten dan kembali Cirebon
setelah memandang anaknya, Maulana Hasanudin, cukup ilmu untuk menyebarkan
agama Islam.

Sementara, kampung Kecirebonan sebagai tempat tinggal Syarif Hidayatullah, terus


dijaga oleh Kibuyut ‘Afil sampai ia meninggal dunia

Mitos Pindahnya Simbol Kekuasaan Cirebon ke Banten

Mitos pindahnya simbol kekuasaan Cirebon ke Banten, diawali keputusan para wali
untuk menghukum mati Syeh Lemah Abang.

Paham Syeh Lemah Abang yang berbeda, dianggap sangat berbahaya jika diajarkan
kepada kaum muslimin yang awam.

Dengan menggunakan keris Kantanaga milik Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus
menusuk tubuh Syeh Lemah Abang sampai meninggal dunia.

Suara gaib itu berkata, “Bahwa Cirebon akan menjadi negara merdeka sampai anak-
cucu, tetapi nanti jika telah datang kerbau putih, anak-cucu harus tahu sendiri”.

Sunan Gunung Jati bahkan membenarkan ramalan suara gaib itu, hingga akhirnya
terjadi pada generasi kesembilan keturunannya.

Dalam Babad Cirebon dikisahkan, terjadilah perkawinan antara Ratu Ayu dan Ratu
Bagus Faseh. 

Ratu Ayu merupakan anak Sunan Gunung Jati sekaligus bekas istri Sultan Demak. 

Pernikahan itu melahirkan seorang putri yang bernama Ratu Nawati Rarasa yang
kemudian dinikahi oleh Pangeran Dipati Pakungja, anak Pangeran Pasarean. Mereka
kemudian memiliki putra yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Ratu. Setelah
Sunan Gunung Jati meninggal dunia, kekuasaan atas Cirebon diserahkan kepada
Panembahan Ratu.

Pada masa itu, Mesjid Agung Cirebon terbakar dan bagian atas masjid itu (momolo)
meloncat menuju Banten.

Lalu berdirilah Kesultanan Banten yang mengalami perkembangan begitu


pesat. Sebaliknya dengan Cirebon, sejak peristiwa itu mengalami kemunduran.
Hal itu diitandai dengan takluknya Panembahan Ratu atas Sultan Mataram. Selain
takluk kepada Sultan Mataram, ia pun kemudian menjadi bayangan
penguasa Banten.*

Banten dalam laporan perjalanan Tome Pires (1513) adalah salah satu bandar Kerajaan Sunda
yang cukup ramai. Sebuah kota niaga yang baik, terletak di tepi sungai.

Sebelum menjadi kesultanan Islam, Banten termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan
Sunda Pajajaran, dengan agama resmi Hindu.

Pada 1525 M, atas perintah Sultan Trenggono dari kerajaan Denak, pasukan gabungan Demak-
Cirebon yang dipimpin oleh Fatahillah dan Maulana Hasanuddin menyerbu Kadipaten Banten
Girang. Pasukan Gabungan tidak mengalami kesulitan dalam menguasai banten. Setelah
dikuasai, sunan Gunung Jati memerintahkan Hasanuddin untuk memindahkan pusat
pemerintahan dari Banten Girang ke dekat pelabuhan Banten. Kerajaan Banten didirikan karena
kesultanan Cirebon mendengar informasi bahwa terjadinya perjanjian antara Pajajaran dan
Portugis dalam membangun benteng sunda kelapa yang konon bertujuan untuk menghambat
penyebaran islam di bagian barat pulau jawa.

Pada 1526, ditetapkan Maulana Hasanuddin menjadi Sultan Banten. Pada mulanya memang
Banten masih merupakan wilayah penaklukan yang berada dalam naungan Kerajaan Demak,
namun sejak masa kepemimpinan Maulana Hasanuddin (1552-1570) kerajaan Banten
melepaskan diri dari supremasi Demak. Dengan demikian, Banten berdiri menjadi sebuah
Kesultanan dengan pemerintahan yang mandiri dengan potensi-potensi yang dimilikinya tanpa
diikut campuri oleh kekuasaan dari kerajaan atau kesultanan yang lain.

Sultan Maulana Hasanuddin adalah raja sekaligus pemuka agama. Ia memberikan andil yang
sangat besar dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang pendiri
Kesultanan Banten.

Fatahillah (1568-1570)

kekosongan pemegang kekuasaan setelah Sunan Gunung Jati Wafat diisi oleh Fatahillah atau Fadillah
Khan

Panembahan Ratu I (1570-1649)

kondisi Cirebon pada masa itu sangat kondusif. Namun demikian, pada masa Panembahan Ratu I
Kesultanan Cirebon tidak lagi melebarkan wilayahnya ke daerah-daerah lain, karena pada waktu itu
posisi Cirebon terjepit di antara dua kerajaan besar, yaitu Banten di barat dan Mataram di timur.
Akan tetapi kedua kerajaan tersebut masih menghormati Cirebon. Banten menghormati Cirebon
sebagai tahta leluhurnya, yaitu Sunun Gunung Jati, sedangkan Mataram memandang Cirebon
sebagai guru dan keramat

Panembahan Ratu II (1649-1677)

Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu II, Cirebon mulai mengalami masalah dalam bidang
politik.
SISTEM PEMERINTAHAN 

Dalam pemerintahannya kerajaan Cirebon menerapkan sistem kekuasaan yang diberikan secara
turun temurun atau kekerabatan.  Sistem Pemerintahan Monarki

Organisasi politik mengacu pada prinsip primus inter pares (pemerintahan yang dipegang oleh tetua
masyarakat atau kaolotan), yang mendapat mandat masyarakat dan legitimasi religius-magis. Ini
menjelaskan posisi Sunan Gunung Jati sebagai kepala pemerintahan dan Pemuka Agama dalam hal
ini sebagai salah satu dari wali sanga selaku penyebar utama ajaran islam di daerah tersebut.

Sebelum menjadi kerajaan Cirebon adalah sebuah dusun yang dikepalai oleh seorang kuwu, dan
setelah menjadi kerajaan dipimpin oleh seorang raja atau sultan

Masa Kejayaan Kesultanan Cirebon

Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Kesltan Cirebon mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Pada masa itu, bidang keagamaan, politik, dan perdagangan sangat maju. Dimulai dari
angkah awal Sunan Gunung Jati setelah menjadi penguasa Kesultanan Cirebon yakni menggalang
kekuatan dengan Demak dan melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan Sunda Padjajaran. Sunan
Gunung Jati menghentikan kewajiban memberi upeti tahunan berupa garam dan terasi kepada
Kerajaan Sunda Pajajaran. Tindakan Sunan Gunung Jati itu membuat Raja Sunda Pajajaran marah
dan kemudian mengutus Tumenggung Jagabaya beserta 60 orang pasukannya untuk mendesak
supaya penguasa Cirebon menyerahkan upeti. Akan tetapi setibanya di Cirebon, Tumenggung
Jagabaya beserta pasukannya tidak menjalankan perintah dari Raja Pajajaran, bahkan “membelot”
dan semuanya berkeinginan masuk agama Islam dan menjadi bagian dari kesultanan Cirebon.

Kedua, Upaya Islamisasi sangat diintensifkan. Sunan Gunung Jati mengirim berbagai utusannya ke
banyak daerah di Nusantara. Seperti ke Banten dengan mengirimkan putranya yakni Maulana
Hasanuddin. Selain itu juga mengirimkan utusannya ke wilayah Priangan Timur, yaitu Galuh dan
Talaga. ini tidak hanya semata-mata menyebarkan agama tetapi juga memperluas wilayah.
Penyebaran Islamisasi di masa ini juga tidak terlepas dari motif ekonomi. Ini dimaksudkan unutk
memperbesar posisi Cirebon di bidang perdagangan dan pelayaran dengan menguasai daerah
pedalaman yang menjadi sumber penghasil komoditas perdagangan.

Ketiga, membendung pengaruh Portugis yang sudah menduduki Malaka sejak tahun 1511. Pada
saat kesultanan Banten telah berdiri, Kesultanan Cirebon melakukan koalisi dengan Kesultanan
demak dan Banten dalam menyerang pelabuhan sunda kelapa yang menjadi pelabuhan utama
Kerajaan Sunda Padjajaran pada 1527. Dengan dikuasainya Pelabuhan SUnda Kelapa, tiga kesultanan
ini dapat leluasa dalam menyingkirkan Portugis dari jalur lalu lintas perdagangan internasional dan
regional dari daerah Maluku ke berbagai pelabuhan di sepanjang pesIsir jawa melalui selat sunda.
Karna saat itu, kehadiran Portugis di lautan hindia merusak kedamaian pelayaran di kawasan ini.
Dengan diblokirnya portugis di pelabuhan sunda kelapa, pelabuhan sepanjang pesisir utara jawa
menjadi ramai oleh banyak pedagang dari Timur Tengah, India, Tionghoa, dan negri2 asia tenggara
lainnya, dan tentu kondisi ini menjadikan Cirebon mengalami kemajuan yang pesat.

Keempat, Sunan Gunung Jati dalam memimpin Kesultanan Cirebon berbentuk perpaduan
antara sistem pengelolaan negara dengan dakwah islam sehingga aspek-aspek pemerintahan,
pengendalian masyarakat, dan pengembangan agama menyatu menjadi bagian yang tidak
terpisahkan. Begitulah sistem pemerintahan di Kesultanan Cirebon. Artinya, dalam urusan
kenegaraan, pengembangan agama mendapat prioritas yang utama.
Kelima, pembangunan sarana dan prasarana umum. Diantaranya:

- Perluasan dan penambahan bangunan keraton Dalem Pangkuwati


- Pembangunan pangkalan perahu di sebelah tenggara keraton di tepi sungai Kriyan
- Perbaikan dan penyermpurnaan fasilitas pelayaran di pelabuhan Muara Jati. Dan dibangun
jalan besar utama menuju pelabuhan. Karna pelabuhan ini menjadi pasar tempat transaksi
perdagangan rempah-rempah, beras, hewan potong, dan tekstil.
- Pembangunan sarana transportasi dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi.
- Dibentuk pasukan keamanan yang disebut pasukan Jagabaya dengan jumlah dan kualitas
yang memadai.
- Memabngun Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang terletak di samping kiri keraton dan sebelah
barat aluln-alun.

Pada aspek Kebudayaan, terdapat simbol kosmis diwujudkan dalam bentuk payung sutera
berwarna kuning dengan kepala naga. Adapun payung menjadi simbol semangat perlindungan
dari raja kepada rakyatnya.

Simbol-simbol yang berasal dari Islam dibagi menjadi 4 tingkatan:

a. Syariat- wayang. Adapun wayang itu sndiri perwujudan manusia dengan dalangnya adalah
Allah SWT.
b. Tarekat-barong.
c. Hakekat-Topeng
d. Ma’rifat- ronggeng

Keempat ini adalah jenis pertunjukan kesenian masyarakat Cirebon dan masyarakat Jawa pada
umumnya. Simbol-simbol diatas juga muncul dalam bentuk acara selametan yang menjadi tradisi
di bulan-bulan tertentu dan perayaan hari besar Islam dari tradisi Walisongo seperti sekaten
dalam merayakan hari maulid nabi Muhammad SAW. Dan ini adalah salah satu bentuk dari
upaya penyebaran islam dengan mengasimilasikan atau mengakulturasikan budaya dari zaman
hindu budha sehingga mengandung niali-nilai Islam.

Kemunduran Kesultanan Cirebon

Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu II, raja Amangkurat I yaitu mertuanya meminta
agar Panembahan membujuk Banten untuk bersahabat dengan Mataram dan berhenti
menyerang Belanda. Tetapi Panembahan II gagal dalam membujuk Sultan Ageng Tirtayasa.
Sehingga di satu waktu, Panembahan ratu II dijadikan tahanan politik oleh Amangkurat I. ini
menjadikan kesultanan Cirebon kehilangan kedaulatannya. Pada 1667, Panembahan Ratu II
wafat dan dimakamakan di Girilaya.

10 tahun kemudian, kedua pangeran Cirebon yaitu Pangeran Martawidjaja dan Pangeran
Kertawidjaja dibebaskan oleh Raden Trunojoyo yang menyerang Mataram secara besar-
besaran pada 1677. Setelah dibawa ke Kediri, dua pangeran ini diambil oleh utusan Sultan
Ageng Tirtayasa ke Banten dan setelahnya mengangkat kedua pangeran ini menjadi penguasa
Cirebon dan menetapkan wilayah masing-masing. Namun demikian, Sultan Ageng Tirtaysa
tidak mengangkat anak laki-laki ketiga dari Panembahan Ratu II, yang bernama Pangeran
Wangsakerta sebagai sultan. Dengan terbaginya Cirebon menjadi dua kesultanan yang
sederajat dan satu panembahan, sulit bagi Cirebon untuk mengembalikan lagi kebesaran dan
kewibawaan yang pernah diraih semasa Cirebon dipegang oleh Sunan Gunung Jati. Kondisi
semacam itu tentu saja dimanfaatkan oleh Kompeni Belanda untuk menanamkan
kekuasaannya di Cirebon. Sejak saat itu maka dimulailah suatu era perjanjian, berbagai
perjanjian diadakan oleh pihak Kompeni Belanda dengan kedok mendamaikan para elit
Cirebon tetapi dibalik itu semua diprogramkan upaya merebut kekuasan secara bertahap
namun pasti.

Kesultanan Banten

Sebagai sultan pertama, Maulana Hasanuddin membangun insfrastruktur perkotaan Islam


modern, antara lain.

 Membangun Keraton Surosowan sebagai pusat pemerintah.

 Membangun Masjid Agung Banten sebagai pusat peribadatan

 Membangun Alun-alun sebagai pusat informasi dan berkomunikasi dengan rakyatnya.

 Membangun Pelabuhan Karangantu sebagai pelabuhan internasional yang menghantarkan


Banten sebagai kesultanan dengan pelabuhan terkuat di Nusantara.

Kebesaran Kesultanan Banten pada masa itu ditunjang oleh beberapa faktor, seperti letak
geografis yang stategis, kondisi lingkungan (ekologis) yang menguntungkan, struktur masyarakat,
dan pemerintahan yang kuat. Pada waktu kota Banten menjadi pusat pemerintahan, kota ini
banyak didatangi oleh para pedagang asing dan Nusantara.

Silsilah raja-raja banten

Sultan Hasanuddin (1552-1570)

Maulana Yusuf (1570-1580)

Maulana Muhammad (1580-1596)

Sultan Abulmufaki (1596-1640)

Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672)

Masa Keemasan Kesultanan Banten

Setelah Sultan AbulMufaki meninggal dunia, ia digantikan oleh pangeran Adipati Anom
Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, menjadi Sultan Banten yang kelima pada tanggal
10 Maret 1651. Sultan itu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. adalah
seorang yang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa
menaruh perhatian yang besar pada perkembangan pendidikan agma islam. Di masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa ini, kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya. Saat
itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten
maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan
Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.

Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam


menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang
pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut
berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis.

Di bawah pemerintahannya, Banten memiliki armada yang mengesankan, Banten memiliki


armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang
Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga
mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat
sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari
tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal
dagang menuju Banten.

Kemunduran politik Kesultanan Banten

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda
ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng
Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda
membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint
Martin.

Kemudian, kesultanan banten resmi dihapuskan pada tahun 1813 oleh pemerintah kolonial
Inggris.

Kondisi ekonomi

Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten telah merupakan tempat berniaga penting dalam
perniagaan internasional di Asia. Kedudukan penguasa setempat ditunjang oleh kaum
bangsawan, yang mempunyai kekuatan lokal, sedangkan administrasi pelabuhan, perkapalan,
dan perniagaan diurus oleh Syahbandar. Kegiatan perniagaan dilakukan di pasar pada waktu
siang dan malam. Kegiatan ekonomi, dan perdagangan Banten mencapai puncaknya pada
masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam bidang perdagangan internasional
Kesultanan Banten makin dikembangkan ketika berhubungan dagang dengan negeri-negeri
Iran, Hindustan, Arab, Inggris Perancis, Denmark, Jepang, Pegu, Filipina Cina dan Sebagainya.

Komoditas dagang berupa lada, beras, gula, cengkeh, dll.

Sistem perdagangan.

Transaksi yang terjalin di perdagangan Banten sudah berorientasi ekonomi pasar, sehingga
dikenal pasar Konkrit (nyata) dan pasar Abstrak.

Pasar Konkrit menampung barang-barang kebutuhan seharihari yang diperjual belikan secara
langsung di pasar yang diselenggarakan setiap harinya. Dengan demikian pada pasar konkrit
berlangsung pasar barang konsumsi dan pasar sumber daya produksi. Sedangkan, pada pasar
Abstrak calon penjual menawarkan barang barang melalui contoh yang sudah ditentukan jenis
dan kualitasnya.

Kondisi agama
Saluran islamisasi banten melalui;

1. Penaklukan Pakuwan Padjajaran (ekspansi kerajaan)


Penaklukan Banten oleh Demak dan Cirebon dikarenakan Banten merupakan daerah
kekuasaan Pakuan Padjajaran yang memeluk agama Hindu sejak dahulu menguasai jalur
pedagang di Teluk Banten
2. Kesenian
saat pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1652) berkembang kesenian debus yang
bertujuan untuk melatih prajurit Banten dalam ketabahan dan ketangkasan. Kesenian
tersebut merupakan atraksi yang bernafaskan Islam karena di iringi degan doa-doa zikir
kepada Allah SWT.
3. Pendidikan
Setelah memindah ibukota kerajaan yang baru dari pedalaman ke wilayah pesisir Maulana
Hasanuddin segera membangun beberapa sarana pendukung pemerintahan seperti keraton
Surosowan, Masjid Agung, alun-alun dan pasar. Pada mulanya saat pertama kali di Banten
Sunan Gunung Jati membangun sebuah masjid Pacinan Tinggi dengan Maulana Hasanuddin
dibantu oleh para santrinya.
4. Perdagangan
sebagai bandar perdagangan yang ramai sebelum datangnya Islam, sudah banyak bangsa
asing yang berkunjung ke Banten. Para pedagang tersebut salah satunya berasal dari Arab
dan Gujarat yang dimungkinkan menyebarkan pula agama Islam selama berdagang dan
persinggahannya
5. Pernikahan
Jalur Islamisasi secara Amalgamasi ini terbilang cukup efektif, sebab ketika seorang wanita
pribumi yang dinikahi oleh pedagang muslim, ia terlebih harus dahulu memeluk agama
islam. Jalan lainnya adalah dengan menikahi putri raja yang berkuasa.

Anda mungkin juga menyukai