Anda di halaman 1dari 6

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

A. Kasus
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu M.S berusia 50 tahun, mengeluhkan bahwa akhir-akhir ini jika buang
air kecil tidak lancar (anyang-anyangan), sehingga kadang terasa sakit.
Pernah saat BAK, urine disertai darah (hematuria).
Dengan Data Pemeriksaan Laboratorium :
Tensi : 140/90 mmHg
Suhu tubuh : 37oC
WBC : 12.109/L
MCV : 75 f
Hb : 10 g/dL
Bakteri pada urin : 100.000/ml
b. Riwayat Pengobatan
Memiliki riwayat alergi terhadap antibiotika golongan penicillin dan
resisten terhadap quinolon, karena tidak sembuh dengan terapi
antibiotik golongan quinolon.

B. Penatalaksaan Terapi
Penyelesaian Kasus dengan Metode SOAP
1. Subjektif
Nama : Ny. M.S
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Gejala : Buang air kecil tidak tidak lancar
(anyang-anyangan), sehingga kadang terasa
sakit, urine disertai darah (hematuria).
Riwayat Pengobatan : Alergi terhadap antibiotika golongan
penicillin dan resisten terhadap quinolon.
2. Objektif
Hasil pemeriksaan terhadap data-data klinik pasien tersaji pada
tabel di bawah ini :

Jenis Data Pasien Data Normal Keterangan


Pemeriksaan
Tekanan Darah 140/90 mmHg 120/80 mmHg Meningkat
Suhu Tubuh 37oC 37oC Normal
WBC 12 x 109/L 3,8 - 9,8 x 109/L Meningkat
MCV 75 f 80 - 97,6 f Menurun
Hb 10 g/dL 12,1 - 15,3 g/dL Menurun
Bakteri pada urin 100.000/ml - Bakteri (+)

3. Assessment
Berdasarkan gejala dan pemeriksaan terhadap data klinik pasien
maka pasien di diagnosa menderita infeksi saluran kemih bagian bawah
(sistitis) dan anemia mikrositik.

4. Planning
a. Tujuan Terapi
1) Tujuan Terapi Jangka Pendek
Eradikasi bakteri penyebab infeksi saluran kemih
Menghilangkan gejala dengan cepat
Meningkatkan kadar hemoglobin untuk mencegah keparahan
anemia.
2) Tujuan Terapi Jangka Panjang
Mencegah terjadinya infeksi ulangan (rekurensi)
Mencegah komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih yang
kronis
Mengurangi morbiditas dan mortalitas

b. Sasaran Terapi
1) Eradikasi bakteri penyebab infeksi
2) Menghilangkan gejala
3) Mengatasi anemia mikrositik

c. Strategi Terapi
1) Terapi Farmakologi :
Kotrimoksazole 2 dd 2 tablet @480 mg
Phenazopyridin HCl 3 dd 2 tablet 100 mg (jika perlu)
Ferrofumarat 2 dd 200 mg
2) Terapi Non Farmakologi :
Minum air putih dalam jumlah yang banyak agar urine yang
keluar juga meningkat (merangsang diuresis).
Buang air kecil sesuai kebutuhan untuk membilas
mikroorganisme yang mungkin naik ke uretra.
Menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan
saluran kencing agar bakteri tidak mudah berkembang biak.
Diet rendah garam untuk membantu menurunkan tekanan
darah.
Mengkonsumsi jus anggur atau cranberry untuk mencegah
infeksi saluran kemih berulang.
Mengkonsumsi makanan yang kaya akan zat besi, misalnya
buah-buahan, daging tanpa lemak dan kacang-kacangan.
Tidak menahan bila ingin berkemih.

C. Pembahasan Kasus secara terperinci


Pada kasus ini akan dibahas tentang penatalaksanaan penyakit
infeksi saluran kemih. Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum
yang dipakai untuk mengatakan adanya invasi mikroorganisme pada
saluran kemih. Beberapa orang memang memiliki resiko menderita infeksi
saluran kemih lebih besar daripada yang lainnya. Ketidaknormalan fungsi
saluran kemih menjadi salah satu penyebabnya. Batu saluran kemih, dan
pembesaran prostat akan menghambat pengeluaran urine sehingga
mempermudah atau dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri. Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu dari saluran
perkemihan yang disebabkan oleh bakteri terutama Escherichia coli, resiko
dan beratnya meningkat dengan kondisi seperti refuks vesikouretral,
obstruksi saluran perkemihan, statis perkemihan, pemakaian instrumen
uretral baru, dan septicemia.
Pada kasus yang diberikan adalah pasien mengeluhkan bahwa
akhir-akhir ini jika buang air kecil tidak lancar (anyang-anyangan),
sehingga kadang terasa sakit. Pernah saat buang air kecil, urine disertai
darah (hematuria). Pasien memiliki riwayat alergi terhadap antibiotika
golongan penicillin dan resisten terhadap antibiotik golongan quinolon,
karena tidak sembuh dengan terapi antibiotik golongan quinolon. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan tekanan darah : 140/90 mmHg,
suhu tubuh : 37oC, WBC : 12.109/L, MCV: 75 f, Hb : 10 g/dL, bakteri pada
urin : 100.000/ml.
Penyelesaian kasus diatas dilakukan dengan metode SOAP
(Subjective, Objective, Assesment dan Planning). Berdasarkan keluhan dan
gejala serta hasil pemeriksaan laboratorium maka pasien di diagnosa
menderita infeksi saluran kemih bagian bawah (sistitis) dan anemia
mikrositik.
Diagnosa infeksi saluran kemih bagian bawah ini ditegakkan
berdasarkan gejala yang khas muncul pada ISK bagian bawah yaitu buang
air kecil tidak lancar (anyang-anyangan), hematuria, terasa sakit pada
waktu berkemih, dan ditemukannya sel darah putih di dalam urin (piuria).
Sedangkan diagnosa anemia mikrositik ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan kadar hemoglobin dan MCV (Mean Corpuscular Volume)
dimana kadar Hb hanya 10 g/dL (normalnya 12,1-15,3 g/dL) dan MCV 75 f
(normalnya 80-97,6 f), dimana jika MCV mengalami penurunan hal ini
berarti ukuran rata-rata Red Blood Cells kecil (microcytic). Kemungkinan
MCV menurun karena individu yang bersangkutan mengalami anemia
defisiensi besi (anemia kekurangan zat besi). Anemia ini terjadi karena
pasien mengalami hematuria sehingga sel-sel darah keluar bersamaan
dengan urin yang keluar.
Tujuan terapi pada penatalaksanaan terapi ini dibagi menjadi dua
yaitu tujuan terapi jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan terapi
jangka pendek meliputi eradikasi bakteri penyebab infeksi saluran kemih,
menghilangkan gejala dengan cepat, meningkatkan kadar hemoglobin
untuk mencegah keparahan anemia. Tujuan jangka panjangnya adalah
mencegah terjadinya infeksi ulangan (rekurensi), mencegah komplikasi
dari penyakit infeksi saluran kemih yang kronis, mengurangi morbiditas
dan mortalitas.
Sasaran terapi pada infeksi saluran kemih bagian bawah adalah
eradikasi bakteri penyebab infeksi, menghilangkan gejala, mengatasi
anemia mikrositik. Strategi terapi yang dilakukan meliputi terapi non
farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non farmakologi yang harus
dilakukan pasien untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit
antara lain adalah minum air putih dalam jumlah yang banyak agar urine
yang keluar juga meningkat (merangsang diuresis), buang air kecil sesuai
kebutuhan untuk membilas mikroorganisme yang mungkin naik ke uretra,
menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kencing
agar bakteri tidak mudah berkembang biak, karena wanita memiliki faktor
resiko yang besar menderita ISK bagian bawah. Hal ini dikarenakan wanita
uretranya lebih pendek (2-3 cm) daripada pria, sehingga kandung kemih
mudah dicapai oleh bakteri dari dubur melalui perineum, khususnya basil
Escherichia coli. Pasien juga harus melakukan diet rendah garam untuk
membantu menurunkan tekanan darah, namun diet ini juga harus
dimonitor dengan ketat karena hipertensi yang dialami pasien tidak
termasuk kategori parah. Hipertensi yang dialami pasien dapat
disebabkan karena proses berkemih yang terhambat sehingga kadar Na di
dalam tubuh juga tinggi, sehingga pasien dianjurkan untuk minum air
putih yang banyak agar dapat merangsang diuresis dan secara otomatis
tekanan darah juga akan berangsur-angsur turun. Pasien dapat
mengkonsumsi jus anggur atau cranberry untuk mencegah infeksi saluran
kemih berulang, khasiat jus ini diperkirakan berdasarkan penurunan daya
melekat bakteri pada sel-sel epitel dari vagina dan kemungkinan karena
peranan kandungan zat aktifnya yaitu hippuric acid. Mengkonsumsi
makanan yang kaya akan zat besi, misalnya buah-buahan, daging tanpa
lemak dan kacang-kacangan untuk membantu memulihkan anemia. Dan
pasien dianjurkan tidak menahan bila ingin berkemih, karena air kemih
yang tertampung dapat menjadi media pertumbuhan yang baik bagi
mikroba.
Sedangkan terapi farmakologi yang diberikan meliputi
Kotrimoksazole 2 dd 2 tablet @480 mg, Phenazopyridin HCl 3 dd 2 tablet
100 mg setelah makan (jika perlu), Ferrofumarat 2 dd 200 mg. Terapi
antibiotik dipilih kotrimoksazole karena merupakan antibiotik pilihan untuk
ISK bagian bawah (sistitis) dimana belum terjadi komplikasi lanjut dari ISK
dan merupakan antibiotik empirik yang digunakan jika bakteri penyebab
ISK bagian bawah belum diketahui secara pasti karena kotrimoksazole ini
memiliki keefektifan yang tinggi terhadap banyak bakteri aerobik kecuali
Pseudomonas.
Untuk menghilangkan gejala dan keluhan pasien yaitu sering
merasa sakit ketika berkemih maka dapat diberikan Phenazopyridine HCl,
yang merupakan zat kimia dimana ketika disekresi ke dalam urin, memiliki
efek lokal analgesik. Obat ini sering digunakan untuk mengurangi nyeri,
iritasi, ketidaknyamanan, atau keadaan mendesak yang disebabkan oleh
infeksi saluran kemih, operasi, atau cedera pada saluran kemih.
Phenazopyridine HCl digunakan dengan tujuan untuk memberikan efek
analgesik lokal pada saluran kemih. Obat ini biasanya digunakan
bersamaan dengan antibiotik ketika mengobati infeksi saluran kemih.
Phenazopyridine bukan golongan antibiotik, tetapi ketika digunakan
bersamaan dengan antibiotik dapat mempercepat pemulihan periode awal
dari infeksi saluran kemih. Pada kombinasi kedua obat ini,
phenazopyridine digunakan hanya untuk waktu yang singkat (hanya
simptomatis), biasanya dua hari sementara itu antibiotik digunakankan
lebih lama. Efek samping penggunaan Phenazopyridine HCl adalah dapat
menyebabkan perubahan warna berbeda dalam urin, biasanya untuk
oranye gelap ke warna kemerahan, perubahan warna urine adalah
merupakan efek yang umum dan tidak berbahaya, dan memang indikator
kunci keberadaan obat dalam tubuh.
Terapi anemia mikrositik dapat diberikan Ferrofumarat karena
anemia jenis ini disebabkan karena defisiensi besi untuk sintesa
hemoglobin (anemia kekurangan zat besi). Anemia ini terjadi karena
pasien mengalami hematuria sehingga sel-sel darah keluar bersamaan
dengan urin yang keluar. Anemia mikrositik ini bercirikan kadar
hemoglobin per eritrosit dibawah normal (hipokrom) dengan eritrosit yang
abnormal kecilnya (mikrositer) dan MCV rendah (MCV / Mean Corpuscular
Volume merupakan salah satu karakteristik sel darah merah). Tujuan
pemberian ferro fumarat adalah untuk menormalisasi kadar Hb, dosis
yang diberikan adalah 2 dd 200 mg diminum setelah makan.
Monitoring yang dilakukan untuk mengetahui keberhasilan terapi
adalah monitoring terhadap penggunaan antibiotik, jika setelah
penggunaan antibiotik kotrimoksazole selama 2 minggu (14 hari)
kemudian dilakukan evaluasi terhadap terapi, yaitu dilakukan pemeriksaan
terhadap kultur bakteri, jika masih terdapat bakteri dengan jumlah
>10.000 CFU/ml maka pemberian antibiotik perlu diganti dengan
nitrofurantoin. Monitoring terhadap data-data laboratorium seperti
tekanan darah, MCV dan hemoglobin, jika dengan pemberian obat belum
dapat meningkatkan kadar hemoglobin maka dapat dilakukan transfusi
darah dan perlu di dukung dengan terapi non farmakologi. Monitoring efek
samping obat yang mungkin timbul selama terapi dijalankan, jika efek
samping dari obat yang digunakan tidak dapat ditoleransi maka obat
dapat diganti dengan obat lain yang masih satu golongan terapi.
Monitoring juga dilakukan terhadap penyakit infeksi saluran kemih
(apakah pasien masih terinfeksi), dengan melakukan kultur bakteri di
dalam urine, jika dari hasil kultur jumlah bakteri <10.000 CFU/ml maka
pasien dinyatakan hanya terkontaminasi dan pada keadaan ini pasien
tidak perlu diterapi dengan antibiotik, tetapi jika jumlah bakteri >10.000
CFU/ml maka pasien dinyatakan masih terinfeksi oleh bakteri dan terapi
perlu dilanjutkan.
Untuk mengetahui dengan pasti bakteri penyebab infeksi pada
saluran kemih bagian bawah dapat dilakukan beberapa pengujian, seperti
uji nitrit dan kultur bakteri. Uji nitrit dilakukan dengan strip yang
mengandung nitrat yang dicelupkan ke dalam urin. Praktis bakteri Gram
negatif dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit yang ditandai dengan
perubahan warna, sedangkan bakteri Gram positif tidak terdeteksi. Selain
itu, dapat dilakukan kultur bakteri dengan pembiakan lengkap. Dengan
mengetahui dengan pasti jenis bakteri penyebab infeksi maka pemilihan
antibiotik juga akan lebih spesifik untuk bakteri penyebab infeksi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai