Anda di halaman 1dari 28

PERCOBAAN 10 : Faktor Fisik Kebutuhan akan Oksigen

I. Tujuan Percobaan

1 Mengetahui kebutuhan akan oksigen bebas (atmosfer) dalam pertumbuhan


mikroorganisme.
2 Mengetahui metode untuk menumbuhkan bakteri pada kondisi anaerob

II. Prinsip Percobaan

Dalam proses pertumbuhan, mikroorganisme memiliki kebutuhan yang


berbeda-beda setiap jenisnya, salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme adalah kebutuhan akan oksigen. Pada bakteri keberadaan oksigen
menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhannya. Tidak semua bakteri
membutuhkan oksigen untuk tumbuh, terdapat beberapa bakteri yang sangat
membutuhkan oksigen untuk tumbuh, sedikit oksigen atau tidak butuh oksigen
sedikitpun dalam pertumbuhannya.

III. Teori Dasar

Oksigen sangat berperan sebagai penerima hidrogen. Mikroorganisme yang


sangat tergantung dengan adanya oksigen untuk proses metabolismenya bersifat aerob
obligat. Beberapa juga bersifat fakultatif, anaerob, dan ada pula bersifat anaerob
obligat yang memerlukan zat lain sebagai penerima hidrogen.

Kebutuhan oksigen untuk oksidasi biologis yang terjadi dalam sel


mikroorganisme dapat menggunakan senyawasenyawa lain yang tergantung kepada
jenis mikroorganismenya. Oksigen yang terdapat dalam senyawa senyawa penyusun
protoplasma, tidak berasal dari O2 udara, akan tetapi berasal dari senyawasenyawa
organik yang mengandung atom atom oksigen dari air. Unsur oksigen tersedia
dalam bentuk air. Selanjutnya oksigen juga terdapat dalam CO2 dan dalam banyak
senyawa organik. (Moat, 2007). Pada respirasi aerob, oksigen berfungsi sebagai
akseptor terminal. Pada proses ini, air akan mereduksi oksigen. Oksigen dari molekul
kompleks oksigen hanya akan diinkorporasi ke dalam substansi sel. Untuk sumber
karbon menggunakan metana atau hidrokarbon aromatik. Berdasarkan kebutuhan
oksigen, mikroorganisme dapat dikelompokkan menjadi :
Gambar : Kebutuhan bakteri akan oksigen

Sumber : http://biologipedia.blogspot.co.id/2011/01/morfologi-mikroba.html

a. Mikroorganisme aerob

Mikroorganisme ini hidupnya sangat tergantung terhadap adanya oksigen.


Oksigen akan digunakan untuk proses metabolisme. Mikroorganisme aerob ini
menggunakan oksigennya untuk melangsungkan oksidasi biologis. Ini merupakan
keuntukan bagi mikroorganisme tersebut karena banyaknya energi yang tersediadari
oksidasi sempurna molekul glukosa lebih besar daripada energi dari fermentasi
glukosa. (Sumarsih, 2003)

b. Mikroorganisme anaerob

Mikroorganisme ini menganggap adanya oksigen bersifat sebagai racun yang


dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan. Mikroorganisme yang
termasuk golongan ini tidak dapat menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogen.
Adanya oksigen dapat meracuni mikroorganisme ini karena tidak adanya enzim
katalase yang diproduksi menyebabkan senyawa hidrogen peroksida tidak dapat
terurai sehingga dapat menimbulkan racun bagi mikroorganisme tersebut. Ada
mikroorganisme lain yang termasuk golongan ini, bukan aerob bukan pula
fermentatif. Bakteri ini adalah anaerob obligat tetapi bukannya menggunakan hasil
antara metabolisme tersebut menggunakan ionion anorganik sebagai penerima
elektron terakhir. (Linda 2008). Contohnya adalah Micrococcus denitrificans, Clostri-
dium botulinum dan Clostridium tetani.

1. Pereduksi sulfat

Mikroorganisme ini menggunakan sulfat sebagai penerima elektron


terakhir dengan mereduksinya sampai tahap sulfida. Mikroorganisme ini
memerlukan bahan organik karbon, oleh karana itu mikroorganisme ini
bersifat heterotrof. (Mokosuli, 2009)

2. Pereduksi nitrit

Mikroorganisme ini menggunakan nitrit sebagai akseptor elektron


terakhir dan dipandang sebagai mikroorganisme anaerob fakultatif. Jika nitrat
tersedia, maka dapat digunakan, jika tidak maka mikroorganisme ini akan
melakukan metabolisme aerob atau metabolisme fermentasi.

3. Bakteri metan

Beberapa mikroorganisme dapat menggunakan karbondioksida sebagai


akseptor elektron dan dapat mereduksinya menjadi metan. (Sumarsih, 2003)

c. Mikroorganisme Fakultatif Anaerob

Mikroorganisme ini dapat menyesuaikan hidupnya di lingkungan yang tidak


mengandung oksigen. Jika ada oksigen, maka mikroorganisme ini akan
memanfaatkan oksigen sebagai akseptor elektron akhir menggunakan oksigen untuk
respirasi secara aerobik. Namun, jika tida ada oksigen, mikroorganisme ini akan
melangsungkan fermentasi atau respirasi anaerob. (Minasari, Lisna, 2009) . Contoh
bakteri anaerob fakultatif adalah Escherichia coli dan Lacto-bacillus .

d. Mikroorganisme yang Mikroaerofil

Mikroorganisme ini tidak dapat hidup di suasana adanya oksigen maupun


tanpa adanya oksigen dengan sempurna. Mikroorganisme ini hanya membutuhkan
oksigen dalam kuantitas yang sangat sedikit, yakni 20% dalam atmosfer atau kurang
dari persentasi oksigen dalam atmosfer. Pada media makanan padat didalam tabung
reaksi, mikroorganisme ini dapat tumbuh pada suatu kedalaman dimana oksigen dapat
masuk secara difusi kedalam medium. (Lud, 2006)

Toksisitas O2 terjadi akibat dari reduksi oleh enzim dalam sel menjadi hidrogen
peroksida dan ion-ion peroksida. Mikroorganisme aerob dan anaerob aerotoleran
dapat terlindung karena adanya superoksida dismutase, suatu enzin yang mengkatalisa
reaksi:

2O2 - + 2H+ O2 + H2O2

Adanya katalase, suatu enzim yang mengkatalisa reaksi:

2H2O2 2H2O + O2

Satu pengecualian yang tersebut diatas ialah kuman asam laktat, kuman
anerob yang aerotoleran dan tidak mengandung katalase. Kelompok ini malah
mengandalkan peroksidase yang mereduksi H2O menjadi 2H2O dengan
mengorbankan zat-zat organik yang dapat dioksidasi. Semua mikroorganisme yang
anerob obligat tidak memiliki superoksidase dismutase dan katalase; enzim yang
pertama perlu untuk dapat bertahan dalam suasana ada O2. (Minasari, Lisma, 2009)

e. Mikroorganisme Anaerob Aerotoleran

Mikroorganisme ini pada dasarnya tidak membutuhkan oksigen untuk


pertumbuhannya. Dalam keadaan tidak ada oksigen, mikroorganisme ini dapat
tumbuh dengan baik. Berbeda dengan mikroorganisme Anaerob Obligate yang tidak
dapat tumbuh dalam kondisi adanya oksigen, mikroorganisme Anaerob Aerotoleran
masih dapat tumbuh dalam kondisi terdapat oksigen. Mikroorganisme ini dapat
mentolerir keadaan oksigen dengan kadar yang sedikit.

IV. Alat dan Bahan

a. Alat

1. 4 Cawan petri berisi medium agar nutrisi.


2. Pembakan bunsen
3. Jarum Inokulasi
4. Anaerobik Jar
5.
b. Bahan
1. Kultur bakteri berumur 24-48 jam Bacillus cereus, Escherichia coli, Proteus
vulgaris dan Pseudomonas.
V. Analisis dan Pembahasan

Pada percobaan 10, kami tidak mempraktekan secara langsung, melainkan


kami diberikan demonstrasi oleh analis laboratorium. Cara kerja pada percobaan ini
dimulai dengan menyiapkan dua cawan petri yang telah berisi medium agar nutrisi.
Masing-masing cawan petri tersebut diinokulasi dengan kultur bakteri. Setelah cawan
petri diinokulasi dengan kultur bakteri secara aseptik, tutup cawan petri. Masing-
masing cawan petri akan diinkubasi dalam keadaan yang berbeda, yang satu akan
diinkubasi dalam keadaan aerob pada suhu 37oC, sedangkan cawan yang lain akan
diinkubasi dalam keadaan anaerob. Bungkus kembali cawan yang akan diinkubasi
dalam keadaan aerob, sedangkan untuk cawan yang akan diinkubasi dalam keadaan
anaerob biarkan saja tanpa pembungkus. Untuk inkubasi anaerob, digunakan
peralatan anaerobic jar. Alat ini berbentuk seperti stoples dengan kaca tebal yang
tersusun dari polikarbonat. Anaerobic jar ini mempunyai kapasitas 2,5-3,5 L.

Untuk dapat menciptakan keadaan anaerob dalam stoples ini dilengkapi


dengan 2 sachet yang sangat krusial perannya dalam proses ini. Satu sachet besar dan
satu sachet lebih kecil. Pada sachet besar berisi senyawa kimia, yakni Sodium
Borohidrida (NaBH4), Sodium Bikarbonat (NaHCO3), Asam sitrat (C3H5O(COOH)3),
dan Kobalt Klorida (CoCl2). Sedangkan pada sachet kecil berfungsi sabagai indikator,
dan akan berubah warna, yang semula kuning berubah menjadi merah muda ketika
keadaan anaerob sudah tercapai. Regaen anaerob yang baik akan langsung bereaksi
dengan menghasilkan embun. Dihasilkannya embun merupakan salah satu ciri dari
reaksi yang bersifat eksoterm dan melepaskan energi dan menghasilkan panas. Cawan
petri yang akan diinkubasi pada keadaan anaerob ini dimasukkan dalam stoples dalam
keadaan tidak terbalik. Hal ini berlawanan dengan inkubasi pada umumnya yang
mengharuskan cawan dalam keadaan terbalik. Cawan petri diletakkan dengan keadaan
tidak terbalik dengan tujuan untuk menghindari jatuhnya medium agar nutrisi yang
disebabkan karena tekanan dalam anaerobic jar tersebut. Jika medium rusak, maka
pertumbuhan mikroorganisme akan terganggu pula. Pada tutup anaerobic jar terdapat
katup. Pada saat pengikatan oksigen oleh reagen, udara dalam jar akan berkurang
sedikit demi sedikit sehingga menyebabkan tekanan didalam jar akan meningkat
secara perlahan. Dalam beberapa hari, untuk membuka anaerobic jar kita perlu
membuka katup ini sebelum membuka tutup secara keseluruhan. Hal ini bertujuan
untuk menyamakan tekanan pada dalam jar dengan tekanan pada lingkungan.

Gambar : Anaerobic jar

Sumber : http://www.slideshare.net/shababali1/3-bio265-microbial-growth-instructor-dr-di-bonaventura

Senyawa-senyawa kimia yang berperan dalam tercapainya keadaan anaerob akan


saling bergabung membentuk reaksi sebagai berikut :

NaBH4 + 2H2O NaBO2 + 4H2O


C3H5O(COOH)3 + 3NaHCO3 + COCl3 C3H5O(COONa)3 + 3CO2 + 3H2 +
COCl2
2H2 + O2 + COCl2 2H2O +COCl2
Fungsi COCl2 hanya sebagai katalis untuk membantu terjadinya reaksi kimia.
Hidrogen yang dihasilkan pada reaksi 2 akan bereaksi dengan oksigen yang ada dalam
stoples dan reaksi akan berlangsung di palladium catalyst pellete. Keadaan anaerob akan
tercapai jika oksigen yang ada dalam stoples telah habis berikatan dengan hidrogen dan
indikator juga berubah warna.

VII. Kesimpulan

Masing-masing mikroorganisme memiliki tingkat kebutuhan


oksigen yang berbeda-beda untuk melangsungkan metabolismenya.
Ada yang bersifat aerob, anaerob, anaerob fakultatif, anaerob
aerotoleran, dan mikroaerofilik. Setiap bakteri akan tumbuh dengan
baik sesuai dengan jenisnya dan kebutuhannya akan oksigen.

VIII. Daftar Pustaka

http://www.medical-labs.net/gaspak-system-the-anaerobic-jar-2914/

(diakses tanggal 13 Oktober 2016 pukul 19.07)

http://classes.midlandstech.edu/carterp/courses/bio225/chap06/lect
ure2.htm

(diakses tanggal 12 Oktober 2016 pukul 19.21)

Barti, Setiani dan Mayrina Firdayati. 2013.Penuntun Praktikum Mikrobiologi Lingkungan.


Bandung: ITB

MODUL V
FAKTOR FAKTOR FISIKA DAN KIMIA YANG MENGONTROL
PERTUMBUHAN MIKROORGANISME

PERCOBAAN 11: Tekanan Osmosis Lingkungan

I. Tujuan Percobaan

Mengetahui kemungkinan akibat tekanan osmosis lingkungan pada mikroorganisme.

II. Prinsip Percobaan

Osmosis adalah pergerakan molekul air melalui membran semipermiabel dari


larutan yang memiliki konsentrasi tinggi ke larutan yang konsentrasi rendah. Dimana
larutan tersebut mengalir dari yang memiliki tekanan osmosis tinggi yaitu yang
memiliki konsentrasi tinggi ( hipertonik ) mengalir pada larutan yang memiliki
tekanan osmosis rendah dimana larutan tersebut memiliki konsentrasi yang rendah
( hipotonik). Sementara pada sel organisme osmosis ini akan selalu berlangsung untuk
menyesuaikan kondisi sel dengan kondisi lingkungannya. Pada saat sel berada pada
konsentrasi yang sangat tinggi maka dinding sel akan lisis, dan sel akan mengkerut,
peristiwa ini dinamakan dengan peristiwa plasmolisis. Sementara pada kondisi
konsentrasi yang sangat rendah, air di lingkungan akan masuk kedalam sel melalui
membrane semipermiabel yang ada pada dinding sel maka sel akan menggembung,
peristiwa ini dinamakan plasmotisis.

III. Teori Dasar

Tekanan Osmosis adalah gejala yang timbul ketika perbedaan konsentrasi


larutan dimana Osmosis adalah pergerakan molekul air melalui membrane
semipermiabel dari larutan yang memiliki konsentrasi tinggi ke larutan yang
konsentrasi rendah. Dimana larutan tersebut mengalir dari yang memiliki tekanan
osmosis tinggi yaitu yang memiliki konsentrasi tinggi ( hipertonik ) mengalir pada
larutan yang memiliki tekanan osmosis rendah dimana larutan tersebut memiliki yang
rendah ( hipotonik ).Pengaruh tekanan osmosis pada pertumbuhan bakteri disebabkan
karena adanya perbedaan tekanan osmosis di dalam dan di luar sel yang akan
menyebabkan gangguan pada sistem metabolisme di dalam sel bakteri jika lingkungan
mempunyai tekanan osmosis yang besar akan dapat mengganggu metabolisme dalam
sel. Meskipun demikian beberapa jenis bakteri dan juga mikroba lainnya ada yang
mempunyai ketahanan terhadap tekanan osmosis tinggi, misalnya mikroba golongan
osmofilik.(Waluyo,2005)

Pada umumnya mikrobia terhambat pertumbuhannya di dalam larutan yang


hipertonis. Karena sel-sel mikrobia dapat mengalami plasmolisa. Didalam larutan
yang hipotonis sel mengalami plasmoptisa yang dapat di ikuti pecahnya sel. Beberapa
mikrobia dapat menyesuaikan diri terhadap tekanan osmose yang tinggi; tergantung
pada larutanya dapat dibedakan jasad osmofil dan halofil atau halodurik. Medium
yang paling cocok bagi kehidupan bakteri ialah medium yang isotonik terhadap isi sel
bakteri. Jika bakteri di tempatkan di dalam suatu larutan yang hipertonik terhadap isi
sel, maka bakteri akan mengalami plasmolisis. Larutan garam atau larutan gula yang
agak pekat mudah benar menyebabkan terjadinya plasmolisis ini. Sebaliknya, bakteri
yang ditempatkan di dalam air suling akan kemasukan air sehingga dapat
menyebabkan pecahnya bakteri, dengan kata lain, bakteri dapat mengalami
plasmoptisis. Berdasarkan inilah maka pembuatan suspense bakteri dengan
menggunakan air murni itu tidak kena, yang digunakan seharusnyalah medium
cair.Jika perubahan nilai osmosis larutan medium tidak terjadi sekonyong konyong,
akan tetapi perlahan-lahan sebagai akibat dari penguapan air, maka bakteri dapat
menyesuaikan diri, sehingga tidak terjadi plasmolisis secara mendadak.
(Waluyo,2005)

Tekanan osmosis sebenarnya sangat erat hubungannya dengan kandungan air.


Apabila mikroba diletakkan pada larutan hipertonis, maka selnya akan mengalami
plasmolisis, yaitu terkelupasnya membran sitoplasma dari dinding sel akibat
mengkerutnya sitoplasma. Apabila diletakkan pada larutan hipotonis, maka sel
mikroba akan mengalami plasmoptisa, yaitu pecahnya sel karena cairan masuk ke
dalam sel, sel membengkak dan akhirnya pecah. (Pelczar dan Chan,2006)

Berdasarkan tekanan osmose yang diperlukan dapat dikelompokkan menjadi :

1. Mikroba osmofil, adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kadar gula
tinggi.
2. Mikroba halofil, adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kadar garam
halogen yang tinggi,

3. Mikroba halodurik, adalah kelompok mikroba yang dapat tahan (tidak mati)
tetapi tidak dapat tumbuh pada kadar garam tinggi, kadar garamnya dapat
mencapai 30 %. (Pelczar dan Chan,2006)

Contoh mikroba osmofil adalah beberapa jenis khamir. Khamir osmofil


mampu tumbuh pada larutan gula dengan konsentrasi lebih dari 65 % (aw = 0,94).
Contoh mikroba halofil adalah bakteri yang termasuk Archaebacterium, misalnya
Halobacterium. Bakteri yang tahan pada kadar garam tinggi, umumnya mempunyai
kandungan KCl yang tinggi dalam selnya. Selain itu bakteri ini memerlukan
konsentrasi Kalium yang tinggi untuk stabilitas ribosomnya. Bakteri halofil ada yang
mempunyai membran purple bilayer, dinding selnya terdiri dari murein, sehingga
tahan terhadap ion Natrium.(Waluyo,2005)

Larutan garam atau larutan gula yang agak pekat mudah benar menyebabkan
terjadinya plasmolisis ini. Sebaliknya, bakteri yang ditempatkan di dalam air suling
akan kemasukan air sehingga dapat menyebabkan pecahnya bakteri dengan kata lain
bakteri dapat mengalami plasmoptisis. Jika perubahan nilai osmosis larutan medium
tidak terjadi, akan tetapi perlahan lahan sebagai akibat dari penguapan air, maka
bakteri dapat menyesuaikan diri, sehingga tidak terjadi plasmolosis secara mendadak.
(Dwidjosepoetro, 1995)

Osmosis adalah difusi melintasi semipermiabel yang memisahkan dua macam


larutan dengan konsentrasi solut yang berbeda. Pada sel hewan yang tidak mempunyai
dinding yang kaku, dapat teramati penyusutan sel yang sesungguhnya sebagai akibat
plasmolisis. Bakteri memiliki dinding sel yang kaku yang dapat mempertahankan
perubahan tekanan osmosik, sehingga biasanya tidak menunjukkan perubahan bentuk
ataupun ukuran yang menyolok bila terjadi plasmolisis atau plasmoptisis.(Pelczar dan
Chan,2006)

Bahan yang diinokulasikan pada medium disebut inokulum dengan


menginokukasi medium agar nutrien dengan metode cawan tuang sel sel itu akan
terpisah sendiri sendiri setelah inkubasi, sel sel mikroba individu itu
memperbanyak diri sedemikian lipatnya sehingga di dalam waktu 18 24 jam
terbentuklah massa jel yang dapat dilihat dan dinamakan koloni. Koloni ini tampak
oleh mata telanjang. (Pelczar dan Chan,2006)

IV. Alat dan Bahan

a. Alat
1. Pembakar bunsen
2. Jarum Inokulasi
3. Delapan tabung reaksi berisi agar nutrisi miring terbagi menjadi dua seri
dimana tiap seri memiliki empat macam konsentrasi NaCl; 0,5% ; 5% ; 10% ;
15%
b. Bahan
1. Kultur bakteri dengan media kaldu nutrisi berusia 24-48 jam Staphylococcus
aureus, Escherichia coli.

V. Data

Hasil 11
No. Hasil Pengamatan Keterangan
1. 1. 0,5% Bakteri : Staphylococcus
aureus
Sumber Media : Suspensi
Kultur berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5
Oktober 2016
Pengamatan :
1. 0,5%
2. 5%
3. 10%
2. 5% 4. 15%
Sumber : Kelompok
Sumber : Kelompok 2

3. 10%

Sumber : Kelompok 3
4. 15%
Sumber : Kelompok 4

2. 1. 0,5% Bakteri : Escherichia coli


Sumber Media : Suspensi
Kultur berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5
Oktober 2016
Pengamatan :
1. 0,5%
2. 5%
3. 10%
4. 15%
Sumber : Kelompok5
Sumber : Kelompok 5
2. 5%

Sumber : Kelompok 6

3. 10%
Sumber : Kelompok 7
4. 15%

Sumber : Kelompok 8
3. 1. 0,5% Bakteri : Pseudomonas
Sumber Media : Suspensi
2. 5% Kultur berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5
Oktober 2016
Pengamatan :
1. 0,5%
2. 5%
3. 10%
Sumber : Kelompok 10 4. 15%
3. 10% Sumber : Kelompok 10

4. 15%
Sumber : Kelompok 4

VI. Analisis

Percobaan 11 bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui pengaruh faktor


fisik ( konsentrasi NaCl) terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu,
percobaan ini mampu menentukan pertumbuhan bakteri yang terbanyak serta yang
lebih sedikit berdasarkan jumlah koloninya oleh pengaruh faktor fisik dari
lingkungannya (konsentrasi NaCl). Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, terlihat
bahwa mikroba yang tumbuh pada tekanan osmotik, semakin besar kadar atau
persentase NaCl yang diberikan, akan semakin banyak pula bakteri tumbuh yang
ditandai dengan semakin banyak jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Begitu juga
pada paparan waktu yang lebih lama pertumbuhan koloni bakteri semakin banyak.

Tekanan osmosis juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri


karena merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroba. Pekat atau encernya konsentrasi pada bahan kimia dan lamanya berada di
bawah pengaruh larutan, merupakan faktor-faktor yang diperhitungkan. Berdasarkan
hasil percobaan ini terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan garam dan
glukosa serta paparan waktu , pertumbuhan bakteri semakin sedikit. Pada percobaan
11, kami menggunakan bakteri Escherichia coli dengan konsentrasi NaCl sebesar 5%.
Dari hasil percobaan, terjadi pertumbuhan bakteri yang cukup tinggi. Namun jika
dibandingkan dengan percobaan yang menggunakan konsentrasi NaCl sebesar 0,5% ,
hasil yang kami dapatkan lebih sedikit. Konsentrasi NaCl sangat berpegaruh terhadap
pertumbuhan mikroorganisme, jika konsentrasinya sangat tinggi, sel akan mengalami
plasmolisis yaitu kondisi dimana semua sel kehilangan air karena konsentrasi larutan
yang lebih tinggi (hipertonik) dan sel akan mengkerut. Dari hasil pengamatan dapat
kita lihat bahwa bakteri Escherichia coli masih dapat tumbuh dalam konsentrasi NaCl
yang tinggi 15% hal ini menandakan bahwa bakteri Escherichia coli merupakan
bakteri Halofilik yaitu bakteri yang tahan dalam kondisi salinitas (kadar garam) yang
tinggi.

Pada percobaan yang menggunakan bakteri Staphylococcus terjadi


kejanggalan, pada hasil percobaan didapatkan bahwa pertumbuhan bakteri
Staphylococcus pada konsentrasi 15% sangat tinggi, sementara pada konsentrasi NaCl
0,5 % pertumbuhannya tidak signifikan. Terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan pertumbuhan bakteri yang tidak sesuai, salah satunya kesalahan
praktikan dalam menginokulasikan kultur biakan murni ke media. Selain itu, pada
percobaan yang menggunakan bakteri Pseudomonas pertumbuhan bakteri menurun
seiring dengan bertambahnya konsentrasi NaCl. Hal ini membuktikan bahwa bakteri
Pseudomonas tidak termasuk kedalam bakteri halofilik.

Pertumbuhan bakteri yang banyak dan ada pula yang sedikit tersebut
membuktikan adanya tekanan osmosis. Menurut Waluyo (2005),Pengaruh tekanan
osmosis pada pertumbuhan bakteri disebabkan karena adanya perbedaan tekanan
osmosis di dalam dan di luar sel yang akan menyebabkan gangguan pada sistem
metabolisme di dalam sel bakteri jika lingkungan mempunyai tekanan osmosis yang
besar akan dapat mengganggu metabolisme dalam sel. Meskipun demikian beberapa
jenis bakteri dan juga mikroba lainnya ada yang mempunyai ketahanan terhadap
tekanan osmosis tinggi, misalnya mikroba golongan osmofilik.
Larutan garam dan larutan gula yang agak pekat mudah benar menyebabkan
terjadinya plasmolisis ini. Sebaliknya, bakteri yang ditempatkan di dalam air suling
akan kemasukan air sehingga dapat menyebabkan pecahnya bakteri, dengan kata lain,
bakteri dapat mengalami plasmoptisis. Berdasarkan inilah maka pembuatan suspense
bakteri dengan menggunakan air murni itu tidak kena, yang digunakan seharusnyalah
medium cair. Jika perubahan nilai osmosis larutan medium tidak terjadi sekaligus,
akan tetapi perlahan-lahan sebagai akibat dari penguapan air, maka bakteri dapat
menyesuaikan diri, sehingga tidak terjadi plasmolisis secara mendadak.
(Waluyo,2005).

VII. Kesimpulan

Setiap bakteri memiliki karakteristik yang berbeda dan kebutuhan yang


berbeda untuk pertumbuhannya. Salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan
bakteri yaitu salinitas lingkungannya. Bakteri yang mampu tumbuh dalam kondisi
garam yang sangat tinggi termasuk dalam bakteri Halofil yang sebagian besar
diantaranya merupakan kelompok dari Archaebacteria. Pada percobaan 11 terjadi
perbedaan pertumbuhan pada setiap bakteri. Pada umumnya, pertumbuhan bakteri
akan menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi NaCl pada lingkungannya.
Karena pertambahan konsentrasi NaCl akan mempercepat proses Plasmolisis pada sel
bakteri tersebut.

VIII. Daftar Pustaka

Entijang, Indan . 2003 . Mikrobiologi dan Parasitologi . P.T. Citra Aditya Bakti :
Bandung.

Suharjono . 2006 . Komunitas Kapang Tanah di Lahan Kritis Berkapur DAS Brantas
Pada Musim Kemarau. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Brawijaya : Malang.

Hasanah Uswatun, Neneng.2015.Praktikum Mikrobiologi.

PERCOBAAN 12 : Agen Chemotherapeutic

I. Tujuan Percobaan
Mengetahui pengaruh antibiotika sebagai agen chemotherapeutic mengontrol
pertumbuhan mikroorganisme.

II. Prinsip Percobaan

Agen chemotherapeutic adalah senyawa kimia yang digunakan dalam


pengobatan infeksi. Modus kerjanya adalah mengganggu metabolisme mikroba,
menghasilkan efek mematikan atau statis pada mikroorganisme, tanpa efek yang sama
bagi hostnya. Agen chemotherapeutic terbagi menjadi dua kategori yaitu Antibiotik
yang disintesa dan dikeluarkan oleh bakteri, aktinomisetes dan jamur yang dapat
merusak atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Beberapa
antibiotika saat ini sudah merupakan hasil sintesa atau modifikasi laboratorium,
namun asalnya tetap dari sel hidup, dan Obat Sintetis yang disintesa di laboratorium,
untuk menggunakannya, kita harus mengetahui modus kerjanya, kemungkinan efek
sampingnya yang merugikan untuk host dan jangkauan aktivitas antimikrobanya.
Mekanisme aksi spesifik dari tiap obat akan berbeda. Pengaruh lama pemakaian obat
akan memberikan efek samping yang sistemik bagi hostnya, terutama adanya
kerusakan jaringan yang permanen.

III. Teori Dasar

Antibiotik merupakan suatu senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme


atau yang diproduksi secara sintetis kimia yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain. Aktivitas antibiotika dibagi dua yaitu bakteriostatik dan
bakterisid. Pengertian dari bakteriostatik yakni aktivitas antibiotik yang menghambat
pertumbuhan bakteri. Contoh senyawa yang memiliki sifat bakteriostatik di antaranya
tetrasiklin,kloramfenikol, eritromisin, sulfonamid dan trimetoprim. Sedangkan
aktivitas antibiotik yang bersifat bakterisid yang berarti dapat membunuh bakteri.
Yang termasuk dalam bakterisid di antaranya penicillin, sefalosporin, aminoglikosid
dan basitrasin. Berdasarkan daya basmi, antibiotik dikelompokkan menjadi antibiotik
spektrum luas dan antibiotik spektrum sempit. Antibiotik spektrum luas memiliki
daerah kerja yang luas juga karena antibiotik ini mampu bekerja aktif pada bakteri
gram positif maupun bakteri gram negatif. Sedangkan antibiotik spektrum sempit
hanya mampu bekerja aktif pada bakteri gram negatif.

Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik dikelompokkan sebagai


berikut (Stringer, 2006) :
a. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri memiliki efek bakterisid dengan
memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding
sel. Contohnya antara lain golongan -Laktam seperti penisilin, sefalosporin,
karbapenem, monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel lainnya seperti
vancomysin, basitrasin, fosfomysin, dan daptomysin.
b. Inhibitor sintesis protein bakteri memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik
dengan cara menganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel-sel normal dan
menghambat tahap-tahap sintesis protein. Obat- obat yang aktivitasnya
menginhibitor sintesis protein bakteri seperti aminoglikosida, makrolida,
tetrasiklin, streptogamin, klindamisin, oksazolidinon, kloramfenikol.
c. Mengubah permeabilitas membran sel memiliki efek bakteriostatik dan
bakteriostatik dengan menghilangkan permeabilitas membran dan oleh karena
hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obatobat yang
memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B, gramisidin,
nistatin, kolistin.
d. Menghambat sintesa folat mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti
sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam folat,
tetapi harus membuat asam folat dari PABA (asam para amino benzoat), dan
glutamat. Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan vitamin dan kita
tidak dapat menyintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu target yang baik dan
selektif untuk senyawa-senyawa antimikroba.
e. Mengganggu sintesis DNA mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat
seperti metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat asam
deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis DNA. DNA
girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan terbukanya
dan terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat replikasi
DNA.

Kerja antibiotik secara tidak langsung dikode oleh gen, namun antibiotik
diproduksi dalam sel dengan reaksi katalis enzim. Enzim disusun berdasarkan intruksi
dari gen spesifik. Melalui fusi sel, gen akan saling berkombinasi dan mensintesis
enzim-enzim baru, sehingga mikroba dapat menghasilkan antibiotik baru.

Berdasarkan daya hambat antibiotik, terdapat 2 pola hambat antibiotik terhadap


kuman yaitu (Anonim, 2008) :
a. Time dependent killing
Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya
dipertahankan cukup lama di atas Kadar Hambat Minimal kuman. Contohnya
pada antibiotik penisilin, sefalosporin, linezoid, dan eritromisin.

b. Concentration dependent killing.


Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika
kadarnya relatif tinggi atau dalam dosis besar, tapi tidak perlu
mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama. Contohnya pada
antibiotik aminoglikosida, fluorokuinolon, dan ketolid.
Perlakuan terhadap penyakit dengan substansi kimiawi disebut chemotherapy
sedangkan substansi kimianya disebut chemoteurapeutic agent. Dalam kegunaannya,
agen chemoteurapeutic ini harus memiliki syarat :

1. Menghambat pertumbuhan parasit tanpa merusak sel inang (host)

2. Kemampuan kontak dengan parasit melalui penetrasi sel dan jaringan inang
dalam konsentrasi yang efektif

3. Mencegah timbulnya mekanisme pencegahan secara alami dari inang


seperti fagositosis dan produksi antibodi.

Pemilihan agen chemoteurapeutic yang terbaik memiliki kriteria :

1. Toksisitas yang selektif

2. Kepekaan patogen

3. Aktivitas spektrum

4. Kemungkinan adanya reaksi yang merugikan

5. Tempat infeksi dan distribusi obat dalam inang

6. Metabolisme obat antimikroba

7. Lamanya waktu pengobatan

8. Interaksi obat antimikroba


IV. Alat dan Bahan

a. Alat
1. Cawan Petri berisi media agar nutrisi
2. Pembakar Bunsen
3. Swab kapas steril
4. Kertas Isap
5. Pinset
b. Bahan
1. Kultur biakan bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Proteus vulgaris
dan Bacillus cereus
2. Larutan anti mikroba; penicillin, streptomycin, tetrasiklin atau kloromfenikol.

V. Data

No Hasil Pengamatan Keterangan


.
1 Bakteri : Escherichia coli
Sumber Media : Suspensi Kultur
berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5 Oktober
2016
Pengamatan :
1. Tetrasiklin
2. Tiamfenikol
3. Kloroamfenikol
2 Bakteri : Staphylococcus aureus
Sumber Media : Suspensi Kultur
berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5 Oktober
2016
Pengamatan :
4. Tetrasiklin
5. Tiamfenikol
6. Kloroamfenikol

3 Bakteri : Proteus vulgaris


Sumber Media : Suspensi Kultur
berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5 Oktober
2016
Pengamatan :
A. Tetrasiklin (Kelompok 7)
B. Tiamfenikol (Kelompok 8)
C. Kloroamfenikol (Kelompok 9)
4 Bakteri : Bacillus cereus
Sumber Media : Suspensi Kultur
berumur 24-48 jam
1
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
5 Tanggal Pengamatan : 5 Oktober
2016
Pengamatan :
10. Tetrasiklin
11. Tiamfenikol
1
5. Kloroamfenikol
1

VI. Analisis

Pada percobaan 12 kami menggunakan antibiotik kloroamfenikol dengan


bakteri Staphylococcus pada cawan petri nomor 2. Antibiotik merupakan agen
chemotherapeutic yang berfungsi sebagai pengobatan infeksi dan mempunyai efek
menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya
dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan
dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa
genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman.
Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai
metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotika berbeda
dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desinfektan membunuh kuman dengan
menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup. Tidak seperti
perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine,
antibiotika dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai
tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau
nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam
melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram
negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga
bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.
Pada percobaan 12 digunakan 3 antibiotik yang berbeda yaitu Tetrasiklin, Tiamfenikol
dan Kloroamfenikol.

Antibiotic golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah klortetrasiklin


yang dhasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin
dari Sterptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari
klortetrasiklin,tetapi juga ddapat diperoleh dari species Streptomyces lain. Tetrasiklin
merupakan basa yang sukar larut dalam air,tetapi merupakan bentu garam natrium
atau garam HCl-nya mudah larut. Dalam keadaan kering,bentuk basa dan garam HCl
tetrasiklin bersifat relative stabil. Dalam larutan,kebanyakan tetrasiklin sangat labil
jadi cepat berkurang potensinya. Tetrasklin memperlihatkan spectrum antibakteri
yang luas meliputi kuman gram positif dan negative,aerobic dan anaerobic. Selain itu
juga aktif terhadap spiroket, mikroplasma, riketsia, klmidia, legionela, dan protozoa
tertentu. Pada umumnya tetrasiklin tidak digunakan untuk pengobatan infeksi oleh
sterptokokus karena ada obat lain yang lebih efektif yaitu penisilin
G,eritromiin,sefaloporin : kecuali doksisiklin yang digunakan untuk pengobatan
sinusitis pada orang dewasa yang disebabkan oleh Str. Pneumoniae dan Stepyogenes.
Banyak strain S. Aureus yang resisten terhadap tetrasiklin.

Efektivitasnya tinggi terhadap infeksi batang gram-negatif seperti Brucella,


Francisella tularensis, Pseudomonas mallei, Pseuodomonas pseudomallei, Vibrio
cholera, Campylobacter fetus, Haemophilus ducreyi dan Calymmatobacterium
granulomatis, Yersinia pestis, Pasteurella multocida,Spirillium minor, Leptotrichia
buccalis, Bordetella pertusis, Acinetobacter dan Fusobacterium. Strain tertentu
H.influinzae mungkin sensitif, tetapi E.colli, Klebsiella, Enterbacter, Proteus indol
positif dan Pseudomonas umumnya resisten. Tetrasiklin tidak menghambat fungi.
Mereka secara temporer menekan sebagian flora perut normal, tapi dapat saja
menyebabkan superinfeksi, khususnya dengan pseudomonas yang resisten terhadap
tetrasiklin, proteus, stafilokokus, dan ragi.

Kloramfenikol (chloramphenicol) adalah antibiotik yang digunakan secara


luas pada infeksi bakteri. kloramfenikol (chloramphenicol) adalah antibiotika jenis
bakteriostatik dengan menghambat sistesis protein dengan cara menghambat aktivitas
peptidil transferase dari ribosom bakteri, secara spesifik mengikat residu A2451 dan
A2452 dari 23s rRNA subunit ribosom 50s untuk mencegah terjadinya ikatan peptida.
Kegunaan obat kloramfenikol (chloramphenicol) adalah untuk pengobatan demam
tifus, paratifus, infeksi Salmonella sp, H.influenzae, terutama infeksi
Lympogranulloma psitatacosis, bakteri gram negatif penyebab bakteria meningitis,
infeksi kuman yang resisten terhadap antibiotik lain, tidak untuk hepatobilier dan
gonorrhoea. Mekanisme kerja kloramfenikol menghambat sistesis portein pada
bakteri dan dalam jumlah terbatas, pada sel eukariot. Obat ini segera berpenetrasi ke
sel bakteri, kemungkinan melalui difusi terfasilitasi. Kloramfenikol terutama bekerja
dengan memikat subunit ribosom 50 S secara reversibel (di dekat tempat kerja
antibiotic makrlida dan klindamisin, yang dihambat secara kompetitif oleh obat ini).
Walaupun pengikatan tRNA pada bagian pengenalan kodon ini ternyata menghalangi
pengikatan ujung tRNA aminosil yang mengandung asam amino ke tempat akseptor
pada subunit ribosom 50 S. interkasi antara pepdiltranferase dengan substrat asam
aminonya tidak dapat terjadi, sehingga pembentukan ikatan peptide terhambat.

Kloramfenikol juga dapat menghambat sistesis protein mitokondria pada sel


mamalia, kemungkinan karena ribosom mitokondria lebih menyerupai ribosom
bakteri (keduanya 70 S) dari pada ribosom sitoplasma 80 S pada sel mamalia.
Peptidiltransferase ribosom mitokondria, dan bukan ribosom sitoplasma, rentan
terhadap kerja penghambtan kloramfenikol. Sel eritropoietik mamalia tampaknya
terutama peka terhadap obat ini. Kloramfenikol memiliki aktivitas antimikroba
berspektrum luas. Galur dianggap peka apabila dapat dihambat oleh konsentrasi 8
g/ml atau kurang, kecuali N. gonnorhoeae, S. pneumoniae, dan H. influenza, yang
memiliki batas MIC yang lebih rendah. Kloramfenikol terutama bersifat
bakteriostatik, walupun dapat bersifat bakterisida terhadap spesies tertentu, seperti N.
gonnorhoeae, S. pneumoniae, dan H. influenza.Lebih dari 95% galur bakteri gram-
negatif berikut ini dihambat secara in vitro oleh kloramfenikol 8,0 g/ml atau kurang.,
yakni N. gonnorhoeae, S. pneumoniae, dan H. influenza. Demikian juga, kebanyakan
juga bakteri anaerob, termasuk kokus gram-positif dan Clostridium spp, serta batang-
batang negative termasuk B. fragilis dihambat oleh obat ini pada konsentrasi tersebut.
Beberapa kokus gram-positif aerob, termasukStreptococcus pyogenes, Streptococcus
agalactiae (streptokokus kelompok B), dan S. pneumonia peka terhadap 8 g/ml.
galur S. aeruscenderung tidak begitu rentan, dengan MIC yang lebih besar dari 8
g/ml. kloramfenikol aktif terhadap Mycoplasma, Chlamydia, dan Rickettsia. Bakteri
dikatakan resistensi bila pertumbuhannya tidak dapat dihambat oleh antibiotika pada
kadar maksimum yang dapat ditolerir oleh pejamu.

Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat


oleh asetil transferase yang diperantarai oleh faktor-R yang menimbulkan
ketidakmampuan organisme untuk mengakumulasikan obat sehingga menimbulkan
resistensi. Resistensi terhadap P.aeruginosa. Proteus dan Klebsiella terjadi karena
perubahan permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam sel
bakteri. Beberapa strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N. Meningitidis bersifat
resisten. Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.Coli, K. Pneumoniae, dan
P. Mirabilis, kebanyakan Serratia, Providencia dan Proteus rettgerii resisten, juga
kebanyakan strain P. Aeruginosa dan S. Typhi.

Tiamfenikol adalah antibiotik spektrum luas yang mempunyai cara kerja


seperti kloramfenikol. Tiamfenikol kurang aktif dibandingkan dengan kloramfenikol,
namun sama efektifnya dan efek bakterisidnya lebih baik terhadap Haemophilus spp
dan Neisseria spp. Tiamfenikol bekerja dengan cara berikatan dengan ribosom bakteri
secara reversiblesehingga menghambat sintesis protein dari bakteri yang peka, yang
pada akhirnya menghambat pertumbuhan bakteri. Tiamfenikol merupakan turunan
dari Kloroamfenikol sehingga mekanisme kerjanya tidak jauh berbeda dengan
Kloroamfenikol. Dari seluruh hasil percobaan, dapat kita lihat bahwa Tetrasiklin
memiliki pengaruh paling kuat dalam mengontrol dan menghambat pertumbuhan
bakteri.

VII. Kesimpulan

Antibiotik yang digunakan pada percobaan 12 memiliki sifat yang berbeda


satu sama lain. Selain itu, setiap bakteri memiliki resistensi pada antibiotik tertentu,
seperti bakteri Escherichia coli dan Bacillus aureus yang resisten terhadap antibiotik
Tetrasiklin. Sementara Kloramfenikol dan Tiamfenikol memiliki aktivitas antimikroba
berspektrum luas.
VIII. Daftar Pustaka

Dwidjoseputro. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan. Surabaya. 206 hlm.

Irianto, K. 2007. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Yrama Widya.


Bandung. 256 hlm.

Lay, B.W. & Hastomo. 1990. Mikrobiologi. Rajawali Press. Jakarta. 514 hlm.

http://classes.midlandstech.edu/carterp/courses/bio225/chap06/lecture2.htm (diakses
tanggal 25 Oktober 2016 pukul 19.54)

Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi : ulasan bergambar Ed.2. Jakarta : Widya


Medika.

TIM MIKROBIOLOGI FK Universitas Brawijaya.2003.Bakteriologi.


Medik.Malang : Bandung Publising

Harvey A. Richard.Farmakologi.1995.Widya Medika : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai