TAHUN 2009
1. Tujuan
2. Menciptakan sarana bagi seluruh jemaat HKBP Rawamangun untuk mengungkapkan
sukacita dan syukur atas segala berkat yang dilimpahkan Tuhan Allah dalam kehidupan
warga jemaat HKBP Rawamangun,
3. Memperkuat dan menggerakkan partisipasi serta keterlibatan sebanyak-banyaknya anggota
jemaat HKBP Rawamangun dalam Pembangunan Gedung Sekolah Minggu HKBP
Rawamangun melalui wijk-wijk dan kelompok-kelompok kategorial yang ada.
4. Mendorong warga gereja HKBP Rawamangun untuk melakukan interaksi iman dan budaya
khususnya budaya (Batak, Indonesia dan moderenitas) yaitu menghayati budaya (Batak,
Indonesia, dan modernitas) dalam terang dan iman Kristen dan sebaliknya mengungkapkan
iman Kristen dalam konteks budaya (Batak, Indonesia dan modernitas) tersebut.
5. Menghimpun dana untuk penyelesaian pembangunan gedung sekolah minggu HKBP
Rawamangun,
6. Sasaran
7. Terselenggaranya suatu pesta budaya yang diikuti oleh seluruh wijk dan unsur-unsur
pelayan kategorial (anak, remaja, pemuda, bapak/ibu, lansia dan punguan-punguan) yang
ada di HKBP Rawamangun.
8. Menghimpun dana melalui pesta pembangunan sebesar Rp. 500.000.000, yang
diperuntukkan bagi penyelesaian pembangunan fisik Gedung Sekolah Minggu.
5. Komunikasi dan sosialisasi. Untuk mencapai tujuan dan sasaran, panitia memberikan
sistem informasi dan komunikasi yang baik. Seluruh informasi tentang Pesta Pembangunan
diusahakan juga secara tertulis (tidak hanya secara lisan), dan tersebar cepat dan merata.
Seluruh warga jemaat diharapkan dapat memperoleh informasi pesta dengan murah,
mudah, cepat dan akurat (detil).
6. Tempat / Waktu
7. Di halaman gereja HKBP Rawamangun pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 15 dan 16
Agustus 2009
8. HKBP Rawamangun, Kebaktian Minggu Puncak Acara 16 Agustus 2009
9. Untuk dapat berlangsung dalam dua hari maka kami mengusulkan perubahan jadwal
kebaktian minggu pada tanggal 16 Agustus 2009 yaitu:
- Kebaktian Minggu pagi jam 09.30 WIB dimajukan menjadi jam 08.30 WIB.
- Kebaktian Minggu sore jam 16.30 WIB digabung dengan jam 19.00 WIB.
10. Peserta
11. Anggota Jemaat/ Ruas HKBP Rawamangun melalui wijk-wijk dan punguan kategorial yang
ada.
12. Undangan baik dari dalam maupun dari luar HKBP Rawamangun (khususnya keluarga
muda anggota jemaat HKBP Rawamangun atau yang pernah menjadi anggota HKBP
Rawamangun)
1. Peserta Pesta Tortor dan Gondang HKBP Rawamangun 2009 terdiri dari 30 (tiga puluh)
rombongan. Setiap anggota jemaat yang ingin ikut manortor agar bergabung dengan wijk/
punguan masing-masing:
2. Urutan waktu manortor wijk-wijk akan ditentukan melalui undian di Rapat Pleno Panitia
Pembangunan. Nomor urut yang sudah didapatkan agar dipakai pada saat pelaksanaan dan
mengikuti jadwal yang dibuat panitia. Tortor wijk-wijk akan diselenggarakan Sabtu 15 Agustus
2009. Tortor unit-unit lain HKBP Rawamangun dan undangan akan diselenggarakan pada hari
Minggu 16 Agustus 2009 sesudah Ibadah Minggu.
5. Setiap rombongan mendapat kesempatan manortor selama 25 (dua puluh lima) menit dan
persiapan 5 (lima) menit. Bila waktu yang disediakan telah habis Panitia dapat meminta
rombongan mengakhiri tortor yang bersangkutan.
6. Rombongan tortor yang memasuki halaman tortor akan disambut oleh Panitia Pesta, Panitia
Pembangunan dan Parhalado dengan diringi oleh gondang panomunomuan yang diminta oleh
Panitia.
7. Setiap rombongan diwajibkan hadir pada waktunya dan sudah siap sedia di tempat persiapan
yang ditentukan Panitia 30 (tiga puluh) menit sebelum waktu manortor.
8. Setiap rombongan menunjuk salah seorang anggotanya menjadi pemimpin (ulu ni tortor)
sekaligus jurubicara (parhata) rombongan untuk meminta 3(tiga) gondang, yaitu: (1) gondang
mula-mula danatau sombasomba, (2) gondang liatliat dan (3) gondang sitiotio atau hasahatan.
Dalam meminta gondang juru bicara (parhata) wajib harus berdasarkan iman dan berpodaman
pada Alkitabiah/Teologis. Seluruh proses rangkaian gondang dan tortor harus digarami dan
disirami Iman Kristiani, ucapan pada saat meminta gondang harus memperhatikan Matius
12:37 Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan dan menurut ucapanmu pula
engkau akan dihukum.
9. Pakaian manortor bebas dan rapih dengan ulos Batak diselempangkan. Tiap rombongan
diharapkan menggunakan/memakai pakaian yang sopan, yang layak untuk menghadiri acara
Gereja. Tiap peserta/rombongan yang ingin manortor wajib memakai ulos masing-masing : Laki-
laki mengenakan ulos ragi hotang, perempuan mengenakan ulos sadum atau menggunakan
ulos yang sesuai bagi seseorang.
10. Jumlah dan jenis silua (persembahan) rombongan untuk huria bebas. Silua diserahkan kepada
panitia sesudah rombongan panortor masuk ke halaman dan sebelum meminta gondang atau
pada saat gondang liat-liat.
11. Pada saat tortor atau gondang liat-liat berlangsung, hadirin diberi kesempatan untuk mangolopi
atau mengelu-elukan rombongan. Seluruh uang olop-olop pada saat manortor akan
dikumpulkan oleh Panitia. Masing-masing peserta dapat mengajak kerabat/ relasi/ simpatisan
untuk mangolopi/ mengelu-elukan rombongan saat manortor. Rombongan dapat juga bekerja-
sama dengan rombongan wijk lain untuk saling mangolopi (masiolopan).
12. Rombongan yang sudah selesai manortor dipersilahkan menuju tempat yang disediakan panitia
untuk berdoa dan bersantap bersama. Agar tertib dan rapih, Panitia akan memberikan makanan/
minuman rombongan kepada pemimpin tortor atau orang yang ditunjuk oleh wijk sebagai
koordinator sesuai dengan jumlah yang sudah disampaikan kepada panitia.
13. Hasil Tortor akan digunakan untuk tahap penyelesaian Gedung Sekolah Minggu HKBP
Rawamangun.
14. Gondang
Lazimnya gondang terdiri dari 1-7 gondang. Namun pada acara pesta ini ditampilkan 3 gondang
antara lain :
1. Gondang Mulamula dan Sombasomba
2. Gondang Liatliat
3. Gondang Sitiotio dan Hasahatan
Rombongan tortor akan disambut oleh Panitia Pesta, Panitia Pembangunan dan Parhalado.
Pada saat rombongan memasuki area tortor akan diiringi dengan gondang panomunomuan
yang diserukan Panitia yang menyambut. dan dalam kesempatan ini rombongan tortor dapat
menyerahkan Siluanya kepada panitia sesudah itu acara akan diserahkan kepada pimpinan
rombongan tortor. Sebelum pemimpin rombongan meminta gondang maka pemimpin/juru bicara
(parhata) dari rombongan tortor tersebut dapat menyapa tim pemusik (Pargual Pargonsi) agar
memberikan tanda untuk mengungkapkan seruan (alualu) para penari (panortor) kepada Allah
Tri Tunggal. Seluruh Panortor berdiri dengan sikap hormat dengan ulos diselempangkan dibahu.
2. Gondang Liatliat
Sesudah mengungkapkan tanda sukacita kepada Allah dan hormat kepada sesama dengan
berdiri di tempat, tortor dilanjutkan dengan meminta gondang liatliat. Mangaliat (berkeliling)
merupakan simbol persekutuan dan kebersamaan (komunitas) batak yang sangat khas dan
sesuai dengan ke-Kristenan. Gerak dan posisi berkeliling menunjuk kepada kesatuan dan
keadilan. Bahwa tiap orang diterima dan diakui sebagai bagian dari persekutuan dan memiliki
hak dan kewajiban yang sama. Hal ini juga simbol dinamika komunitas masyarakat, bahwa kita
tidak dapat tinggal diam atau statis, namun harus selalu aktif bergerak dan berkarya.
Antong Amang pargual pargonsi, bahen damang ma gondang liatliat i asa mangaliat
hami, manghalason jala manghamuliatehon pasupasu ni Debata naung sahat tu hami be.
Asa mangaliat hami mangolophon haluaon naung pinatupa ni Tuhan Yesus Kristus, jala
hasesaan ni dosa naung ni lehonNa, asa mangaliat hami mamaritahon barita nauli, jala
patupahon ulaon asi ni roha, asa liat horas, liat las ni roha, liat hadameon, liat
hasonangan tu bangso nami tarlumobi tu rencana penyelesaian pembangunan godung
sikola minggu napinaradeMi tu hami, hata umpasa mandok :
Tinaba hau toras bahen sopo dibalian, naburju marnatoras ingkon dapotan
parsaulian.
Habang ambaroba diatas sibuntuon, sai naburju ma hami marroha, jala sitiruon.
Jonjong di purbatua, manatapnatap di panamaron, sahat ma hita saur matua
leleng mangolu didongani Tuhan.
bahen damangma gondang liatliat i.
1. Seni tari dan musik yang kita kenal sebagai Tortor dan gondang adalah warisan budaya leluhur kita
yang berasal dari suku Batak. Tidak dapat disangkal, oleh para leluhur kita yang belum mengenal
Kristus seni tortor dan gondang itu dihayati sebagai bagian ritus atau upacara keagamaan
tradisional Batak sebelum datangnya kekristenan. Melalui tortor dan gondang atau seni tari dan seni
musik yang sangat indah dan khas itu leluhur kita dahulu mengungkapkan sikap keagamaan dan
religiositasnya kepada dewa-dewa yang mereka kenal pada saat itu dan sekaligus membangun
kebersamaan dan sikap komunalitasnya.
2. Pada waktu yang ditentukanNya, Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaries dari
Eropah ke Tanah Batak yang selama berabad-abad terisolasi di pedalaman Sumatera bagian Utara
untuk memperkenalkan INJIL kepada kakek-nenek (ompung) dan ayah-ibu kita. Mereka pun
menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi beriman kepada dewa-dewa
dan roh-roh nenek moyang yang mati tetapi kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus)
yang hidup. Mereka berpindah dari gelap kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan,
dan terutama dari kematian kepada kehidupan yang kekal. Kakek-nenek dan ayah-ibu kita bukan
lagi sipele begu (penyembah hantu) tetapi telah menjadi pengikut Kristus.
3. Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat tidaklah membuat warna
kulit kakek-nenek kita berubah dari sawo matang menjadi putih (bule), atau mengubah rambut
mereka yang hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi
dan bukan roti, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus itu
juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari Batak menjadi Jerman. Sewaktu menerima
Injil dan dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kakek-nenek dan ayah-ibu kita
tetaplah tinggal Batak dan hidup sebagai masyarakat agraris Sumatera dengan segala dinamika dan
pergumulannya. Para missionaries itu juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek dan ayah-ibu kita
yang Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan sehari-harinya. Bahkan mereka bersusah-payah
menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak agar kakek-nenek kita dapat mengerti dan
menghayati Firman Tuhan itu dengan baik sekali. Selanjutnya juga melatih mereka memuji dan
berdoa kepada Kristus yang baru mereka kenal itu juga dengan bahasa Batak (baca: bukan Inggris
atau Yahudi).
4. Injil itu kini juga sampai kepada kita anak, cucu atau cicit dari orang Batak pertama Kristen tersebut.
Sebagaimana kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu kita sekarang pun menerima dan mengakui
Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat, Anak Allah yang hidup. Melalui iman kepada Kristus
itulah kita menerima hidup baru yang kekal, pengampunan, berkat, damai sejahtera Allah dan Roh
Kudus. (Yoh 3:16). Sama seperti kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu, kita yang sekarang pun
mengalami bahwa babtisan dan kekristenan tidaklah mengubah warna kulit kita dari sawo matang
menjadi putih. Juga tidak mengubah kita dari Batak-Indonesia menjadi Eropah-Amerika. Agar dapat
hidup sebagai pengikut Kristus kita tidak harus menjadi orang yang berbahasa dan berbudaya lain.
Tidak ada bahasa dan budaya atau status social tertentu yang lebih menjamin kita dekat kepada
Kristus. Itu artinya tidak ada juga bahasa, budaya atau status social yang merupakan penghalang
atau kendala menjadi Kristen (Gal 3:28, I Kor 8:8). Termasuk Batak. Firman telah menjadi manusia
(Yoh 1:1-14) artinya Firman itu juga telah menjadi manusia Batak. Sekarang Firman itu juga telah
menjadi manusia Indonesia dan moderen. Sebab itu tidak ada keragu-raguan kita untuk menyapa,
memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa, idiom, terminology, symbol, ritme, corak dan
seluruh ekspressi kultur Batak (termasuk Indonesia dan modernitas) kita. Mengapa? Sebab Allah
juga telah datang menyapa kita dengan cara Batak yang sama. Inilah sebabnya Rasul Paulus
mengatakan bahwa sebagai pewarta Injil dia harus menjadi Yahudi untuk memenangkan orang
Yahudi dan menjadi Yunani untuk memenangkan orang Yunani
5. Kembali ke soal tortor, gondang dan ulos: bagaimanakah kita menyikapinya sebagai orang Kristen?
Memang harus diakui bahwa pada awalnya jaman dahulu tortor dan gondang adalah merupakan
ritus atau upacara keagamaan tradisional Batak yang belum mengenal kekristenan. Harus kita akui
dengan jujur dan jernih bahwa leluhur kita yang belum Kristen menggunakan seni tari dan musik
tortor dan gondang itu untuk menyembah dewa-dewanya dan roh-roh, selain membangun
kebersamaan dan komunalitas mereka. Disinilah kita sebagai orang Kristen (sekaligus Batak-
Indonesia) harus bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati serta kreatif. Kita komunitas Kristen Batak
sekarang mau menerima seni tari dan musik Tortor dan Gondang Batak warisan leluhur pra
kekristenan itu namun dengan memberinya makna atau arti yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi
sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang tetapi sebagai sarana
mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah Bapa yang menciptakan langit dan bumi, Tuhan
Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dari dosa, dan Roh Kudus yang membaharui hidup dan
mendirikan gereja. Bentuknya mungkin masih sama namun isinya baru. Ini mirip dengan apa yang
dilakukan gereja purba dengan tradisi pohon natal. Pada awalnya pohon terang itu adalah tradisi
bangsa-bangsa Eropah yang belum mengenal Kristus namun kemudian diberi isi yang baru, yaitu
perayaan kelahiran Kristus. Begitu juga dengan tradisi telur Paskah, Santa Claus dll.
6. Dalam Alkitab kita juga pernah menemukan problematika yang sama. Di gereja Korintus pernah ada
perdebatan yang sangat tajam apakah daging-daging sapi yang dijual di pasar (sebelumnya
dipersembahkan di kuil-kuil) boleh dimakan oleh orang Kristen. Sebagian orang Kristen mengatakan
boleh namun sebagian lagi mengatakan tidak. Rasul Paulus memberi nasihat yang sangat bijak.
Makanan tidak mendekatkan atau menjauhkan kita dari Tuhan. Makan atau tidak makan sama
saja. (I Kor 8:1-11). Keadaan yang mirip juga terjadi di gereja Roma: apakah orang Kristen boleh
memakan segalanya. (I Kor 14-15). Rasul Paulus memberi nasihat Kerajaan Allah bukan soal
makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (I
Kor 14:). Sebelumnya Yesus mengatakan yang menajiskan bukanlah apa yang masuk ke dalam
mulut tetapi apa yang keluar dari mulut. ( ) Kita boleh menarik analogy dari ayat-ayat ini untuk
persoalan tortor dan gondang dan juga ulos. Benar bahwa tortor dan gondang dahulu dipakai untuk
penyembahan berhala, namun sekarang kita pakai untuk memuliakan Allah Bapa, Anak dan Roh
Kudus. Benar bahwa orang Batak jaman dulu menenun ulos, menanam padi, membangun rumah dll
dengan memuja dewa-dewanya, namun sekarang kita menenun ulos dan menanam padi atau
membangun rumah dll dengan iman yang tertuju kepada Tuhan Yesus Kristus. Selanjutnya: kita
sadar bahwa kekristenan bukanlah soal makanan, minuman, jenis tekstil atau musik, tetapi soal
kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus. Nasi dengan sangsang atau roti dengan selai
tidak ada bedanya di hadapan Tuhan. Tenunan ulos Batak dengan batik Jawa atau brokart Prancis
sama saja harganya di hadapan Kristus. Taganing atau orgel adalah sama-sama alat yang tidak
bernyawa dan netral, keduanya dapat dipakai memuliakan Allah (atau sebaliknya merendahkannya).
7. Pemahaman ini menyadarkan kita untuk menempatkan persoalan tortor, gondang dan ulos pada
proporsinya. Yaitu bagaimana sesungguhnya hubungan antara iman Kristen dan budaya. Dalam
Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk tinggal dalam dunia. Itu artinya kita
memang disuruh untuk hidup sebagai orang Kristen dalam realitas ekonomi, social, politik dan
budaya. Kita hidup di tengah-tengah masyarakat dan belum di sorga namun bukan juga di neraka.
Selanjutnya Tuhan Yesus menyuruh kita untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan
Yesus menyuruh kita mempengaruhi, mewarnai, merasuki, memperbaiki realitas social, ekonomi,
politik dan budaya yang ada.
8. Kembali ke pokok soal, itu artinya sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri
atau memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos) namun untuk menggarami dan meneranginya
dengan firman Tuhan, kasih dan kebenaranNya. Namun sebaliknya kita juga diingatkan agar tidak
terhisab atau tunduk begitu saja kepada tuntutan budaya itu! Agar dapat menggarami dan
menerangi budaya (tortor, gondang dan ulos dll) kita tidak dapat bersikap ekstrim, baik menolak total
atau tunduk secara total. Kita sadar sebagai orang Kristen bahwa kita hanya tunduk secara absolute
kepada Kristus dan bukan kepada budaya (warisan nenek moyang). Sebaliknya kita juga sadar
bahwa sebagai orang Kristen (di dunia) kita tidak dapat mengasingkan diri dari budaya dan
masyarakat yang melahirkan dan melingkupi kita. Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya
membangun sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan iman Kristen dan budaya Batak itu,
termasuk tortor dan gondang serta ulos. Mana yang baik dan mana yang buruk? Mana yang harus
dipertahankan dan mana yang harus diubah? Mana yang relevan dengan kekristenan, Indonesia
dan modernitas dan mana yang tidak lagi relevan?
9. Kita akui jujur sebelum datangnya kekristenan tortor dan gondang adalah sarana untuk meminta
kesuburan (sawah, ternak, dan manusia), menolak bala dan atau menghormati dewa-dewa dan roh
nenek moyang. Bagi kita orang Kristen tortor dan gondang bukanlah sarana membujuk Tuhan Allah
agar menurunkan berkatNya, namun salah satu cara kita mengekspressikan atau menyatakan
syukur dan sukacita kita kepada Allah Bapa yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan membangun
persekutuan sesama kita. Selanjutnya sebelum datangnya kekristenan gondang dianggap sebagai
reflektor atau yang memantulkan permintaan warga kepada dewa-dewa. Bagi kita yang beriman
Kristen gondang itu hanyalah alat musik belaka dan para pemainnya hanyalah manusia fana ciptaan
Allah. Kita dapat menyampaikan syukur dan atau permohonan kita kepada Allah Bapa tanpa
perantara atau reflektor kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum
kekristenan, tortor dan gondang, sangat terikat kepada aturan-aturan pra-kristen yang
membelenggu: misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh manortor dengan membuka
tangan. Bagi kita yang beriman Kristen sekarang, tentu saja semua orang boleh bersyukur dan
bersukacita di hadapan Tuhannya termasuk orang yang belum atau tidak menikah, belum atau tidak
memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak laki-laki. Semua manusia berharga di mata Tuhan dan
ditebusNya dengan darahNya yang suci dan mahal.
Disadur kembali dari Pesta huria 2003
CONTOH JADWAL PESTA PEMBANGUNAN
Pkl.08.30 09.40 Ibadah Minggu (Koor kategorial ditiadakan, koor ASM + Ensamble
Haleluya + Gondang sabangunan)
Pkl.09.40 10.05 Rombongan Tortor Panitia Pesta dan Panitia Pembangunan XXI
Pkl.10.10 10.35 Rombongan Tortor Sekolah MInggu XXII
Pkl.10.40 11.05 Rombongan Tortor Lansia XXIII
Pkl.11.10 11.35 Rombongan Tortor Seksi Parompuan XXIV
Pkl.11.40 12.05 Rombongan Tortor Seksi Ama XXV
Pkl.12.10 14.00 Istirahat/Break/Laporan Hasil Pengumpulan Dana/Silua
Pkl.14.05 14.30 Rombongan Tortor XXVI (klp. Gading)
Pkl.14.35 15.00 Rombongan Tortor XXVII (Duren Sawit)
Pkl.15.05 15.30 Rombongan Tortor XXVIII (kayu Putih/Kayu Mas/Kav.Polri)
Pkl.15.35 16.00 Rombongan Tortor Wijk Penggilingan/p.gebang/Parserahan XXIX
Pkl.16.05 16.30 Rombongan Tortor Parhalado HKBP Rawamangun XXX
Pkl.16.35 17.10 Laporan Hasil Pengumpulan Dana/Silua
Ibadah Penutup :oleh Pendeta.
Penyesuaian Jadwal :
- Kebaktian jam 09.30 WIB diusulkan maju menjadi 08.30 WIB dan dilanjutkan
dengan Pesta Pembangunan Gedung Sekolah Minggu.
- Kebaktian jam 16.30 WIB diusulkan digabung dengan kebaktian jam 19.00 WIB.
Technical Meeting : Hari Jumat tanggal 3 Juli 2009 jam 20.00 WIB di
HKBP Rawamangun (seluruh peserta harap
mengirimkan perwakilan untuk mengundi giliran
di Pesta Pembangunan dan menerima petunjuk teknis)