Anda di halaman 1dari 38

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi sebagai Landasan

Penelaahan Ilmu

Oleh: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

I. Pendahuluan

Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa


berkembang. Hal itu dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar
dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut
tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran
filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk dari semua ilmu. Di antara
corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya
hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan
berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme,
idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme,
post-strukturalisme dan lain-lain.

Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam


filsafat mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti
pada permasalahan wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan berkenaan
dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh tataran praktis, terutama
berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut merupakan implikasi logis dari
perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan
upaya untuk menemukan kebenaran.

Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu


sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain,
mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis).
Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari Apa itu kebenaran? yaitu
Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu atau sesuatu yang

1
ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem
epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenran dan cara untuk
mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan
kata lain, pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah
didapatkan pada tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya
apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan
umat atau justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas. Singkatnya,
wilayah ontologi bertanya tentang apa wilayah epistemologi bertanya tentang
bagaimana sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang untuk apa.

Tiga problem filosofis inilah ontologi, epistemologi dan aksiologi


yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-
masing aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga
hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah yang
menjadi alasan bagi penulis untuk mengetengahkan pembahasan tersebut dalam
makalah ini.

II. Pembahasan

Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan)


yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu
merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam
dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang
bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam
atau ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing
bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak
mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari
pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang

2
prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya
mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.1

Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab


beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah
ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan
antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan
mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah
kriterianya? Cara atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu? Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu
dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-
kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-
pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?2

Jika disimpulkan berbagai macam pertanyaan di atas maka yang pertama


adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah ontologis. Kedua,
masuk dalam wilayah kajian epistemologis. Sedangkan yang ketiga adalah
problem aksiologis. Semua disiplin ilmu pasti mempunyai tiga landasan ini. Di
bawah ini penulis akan memaparkan sekilas pembahasan mengenai Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi.

A. Ontologi

1 Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta,


2003), hlm. 33

2 Jujun S. Suriasumantri. hlm. 35

3
Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau
ontos yang berarti ada dan logos yang berarti ilmu.3 Sedangkan secara
terminologi ontologi adalah ilmu tentang hakekat yang ada sebagai yang ada (The
theory of being qua being). Sementara itu, Mulyadi Kartanegara menyatakan
bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud sebagai wujud, terkadang
disebut sebagai ilmu metafisiska.4 Metafisika disebut sebagai induk semua ilmu
karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan paling penting yang
dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.5

Mulla Shadra berpendapat Tuhan sebagai wujud murni. Hal ini


dibenarkan oleh Suhrawardi bahwa alam merupakan emanasi. Alam merupakan
manifestasi (tajalli). Sedang Plato berpendapat bahwa cunia yang sebenarnya
adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia atau pikiran univewrsal (the
universal mind). Aristoteles tidak menyangsikan pendapat gurunya (Plato), hanya
saja dia lebih percaya bahwa yang kita lihat adalah riil. Sedangkan Thales
beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti
apa yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh
kehidupan berasal dari air dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah
berakhir.6

Adapun yang termasuk dalam pembahasan ontologi adalah fisika,


matematika dan Metafisika. Fisika sebagai tingkatan yang paling rendah,
matematika sebagai tingkatan tengah-tengah sedangkan teologi sebagai tingkatan
yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut adalah karena ilmu itu ada kalanya

3 Drs. Surajiyo. Filsafat Ilmu (Jakarta, 2008), hlm. 158

4 Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta:


Baitul Ihsan. 2006. hlm. 156.

5 Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
2003. Hlm. 165.

6 Jostein Gaarder, Dunia Sophie, hal. 48.

4
berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu sesuatu yang berbenda,
yaitu fisika. Ada kalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud
tersendiri, yaitu matematika. Dan ada yang tidak berhubungan dengan suatu
benda yaitu metafisika.

Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut


dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan.
Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat,
substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah, eksistensi dan esensi,
keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan, realita,
malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.7

Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya diarahkan pada


pendeskripsian tentang sifat dasar dari wujud, sebagai kategori paling umum yang
meliputi bukan hanya wujud Tuhan, tetapi juga pembagian wujud. Wujud dibagi
ke dalam beberapa kategori, yakni wajib (wajib al-wujud), yaitu wujud yang
niscaya ada dan selalu aktual, mustahil (mumtanial wujud) yaitu wujud yang
mustahil akan ada baik dalam potensi maupun aktualitas, dan mungkin (mumkin
al-wujud), yaitu wujud yang mungkin ada, baik dalam potensi maupun aktualitas
ketika diaktualkan ke dalam realitas nyata.8

Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama di bidang


filsafat, baik filsafaf kuno maupun modern. Ontologi adalah cabang dari filsafat
yang membahas realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus
pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam ontologi ini melahirkan
pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya realitas yang ada ini; apakah
realitas yang tampak ini suatu realita materi saja; adakah sesuatu di ballik realita
itu; apakah realita ini terdiri dari satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau

7 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan


Pendidikan (Jogjakarta, 2007), hlm. 126-127

8 Lihat Fazlur Rahman. The Philosophy of Mulla Shadra. Albany: State


University of new ayork Press. 1975. hlm. 10.

5
serba banyak (pluralisme).9 Di bawah ini adalah berbagai macam pandangan
tentang ontologi.

a. Monisme

Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanya satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber
yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin
ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya
merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang
lainnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe.
Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran yaitu materialisme dan
idealisme.10

Materialisme menganggap bahwa yang benar-benar ada hanyalah materi.


Sedangkan ruh atau jiwa bukanlah suatu kenyataan yang bisa berdiri sendiri
bahkan ia hanya merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan
salah satu cara tertentu. Materialisme sering juga disebut dengan naturalisme
artinya bahwa yang benar-benar ada hanyalah alam saja. Sedangkan yang di luar
alam tidaklah ada. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh para filosof pra-sokratik
seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Democritos dan lainnya. Thales
misalnya beranggapan bahwa unsur dari semua makhluk hidup adalah air.
Sedangkan Anaximandros beranggapan bahwa alam semesta ini berasal dari
apeiron artinya yang tak terbatas yaitu yang bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan
dan meliputi segalanya. Anaximenes beranggapan lain, bahwa prinsip yang
merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dan Democritos menganggap
bahwa alam ini tersusun dari atom-atom yang tak terhingga jumlahnya.

9 Jalaluddin dan Abdullah Idi. hlm. 127

10 Dr. Amsal Bakhtiar. hlm. 135

6
Sedangkan sebagai lawan dari materialisme yaitu idealisme yang berarti
juga spiritualisme berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh.
Idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal
dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan
menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan
ruhani.11

Perintis dari aliran ini adalah Plato yang selanjtunya akan dikembangkan
oleh George Barkeley, kemudian oleh Kant, Fichte, Hegel hingga Schelling.
Menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri dari dua dunia. Satu
dunia mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indera.
Pada taraf ini diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Bunga yang
kini bagus, keesokan harinya sudah layu. Lagi pula dunia inderawi ditandai oleh
pluralitas. Selain bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus juga. Harus diakui
juga bahwa di sini tidak ada sesuatu pun yang sempurna. Di samping dunia
inderawi itu terdapat satu dunia lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri
atas ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Semua ide
bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang
bagus, hanya ada satu ide yang bagus. Demikian halnya dengan ide-ide yang
lain. Dan setiap ide-ide bersifat sama sekali sempurna. 12 Oleh sebab itu, menurut
Plato yang benar-benar real itu hanyalah idea atau dunia ide sedangkan yang
materi merupakan pengejawantahan dari ide.

Dalam dialog Politeia yang sangat masyhur Plato bercerita mitos tentang
gua. Ia menggambarkan kehidupan di dunia ini ibarat tahanan dalam gua yang
hanya mempunyai pengalaman di dalam gua saja. Sebaliknya mereka tidak
mengetahui realitas di luar gua yang nyata adanya. Baru ketika mereka keluar dari
gua mereka baru percaya bahwa ada realitas selain pengalaman yang mereka lihat

11 Dr. Amsal Bakhtiar. hlm. 138

12 K. Berten. Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta, 2006), hlm. 131

7
selama di dalam gua. Artinya gua itu adalah dunia yang disajikan kepada panca
indera kita. Kita menerima semua pengalaman secara spontan begitu saja. Padahal
sebenarnya pengalaman inderawi itu tak lebih dari sekedar bayang-bayang
semata.13

b. Dualisme

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh,
jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh dan ruh bukan muncul dari benda.
Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri
sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan
dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama ini kedua
hakikat ini adalah dalam diri manusia.14

Tokoh paham ini adalah Rene Descartes. Sebagai pendobrak filsafat


modern Descartes mempunyai concern yang jauh lebih rumit. Ia tidak lagi melihat
alam yang secara terus-menerus dijadikan objek kajian dalam ilmu pengetahuan.
Lebih jauh lagi ia melihat relasi antara subjek yang mengetahui dengan objek
yang diketahui. Dengan demikian ia memosisikan manusia tidak hanya sebagai
subjek saja tetapi sekaligus sebagai objek. Pertanyaannya adalah apakah
pengetahuan yang kita miliki itu karena memang ada realitas di luar sana atau
justru karena faktor keberadaan manusia sebagai subjek yang berpikir. Diktum
Descartes Cogito Ergo Sum aku berpikir maka aku ada jelas sekali memosisikan
manusia sebagai subjek berpikir yang bebas. Karena saya berpikir maka saya
menjadi ada demikian realitas yang lain menjadi ada pula. Manusia merupakan
subjek yang sadar akan keberadaan dirinya. Paham inilah yang kemudian menjadi
cikal bakal aliran eksistensialisme.

13 K. Berten. hlm. 137

14 Dr. Amsal Bakhtiar. hlm. 142

8
c. Pluralisme

Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan


kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy
and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam
ini tersusun dari unsur banyak, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini
pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan
bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah,
air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James seorang filosof
dan psikolog kenamaan asal Amerika. Ia berpendapat bahwa dunia ini terdiri dari
banyak kawasan yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan
suatu multi-versum. Dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang
beraneka ragam atau pluralis.15

d. Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada.
Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternative yang positif. Istilah
nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fathers and
Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu Bazarov
sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima
nihilisme. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman
Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Georgias yang memberika tiga proposisi
tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu
sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini
disebabkan oleh pengindraan itu sumber ilusi. Akal juga tidak mampu
meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah dikungkung

15 Dr. Amsal Bakhtiar. hlm. 143-144

9
oleh dilema subjektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui ia tidak akan
dapat kita beritahukan kepada orang lain.16

e. Agnostisisme

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat


benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnosticisme berasal dari
bahasa Yunani yaitu agnostos yang berarti unknown. A artinya not dan no
artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal
dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri dan
dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu
kenyataan mutlak yang bersifat transcendent.17 Beberapa tokoh aliran ini
misalnya Soren Kiekegaar, Heidegger, Sartre, dan Jasper.

Masalah ontologi ini semakin lama semakin berkembang tidak hanya di


dunia filsafat Barat tetapi juga di dunia filsafat Islam. Misalnya dalam Islam kita
kenal ada aliran Isyraqi dengan tokohnya Suhrawardi dan Hikmah Mutaalliyah
oleh Mulla Sadra. Suhrawardi misalnya mendiskripsikan realitas ini bagaikan
cahaya yang mempunyai gradasi dari sumber cahaya itu sendiri yang paling terang
hingga yang paling lemah. Sumber cahaya itu adalah Tuhan dan cahaya yang
semakin meredup itu bagaikan ciptaan-Nya yang bermacam-macam dari yang
paling sempurna hingga yang paling rendah. Sedangkan Mulla Sadra terkenal
dengan pandangan Asalat al-Wujud dan Wahdat al-Wujud. Sadra beranggapan
bahwa yang primer itu adalah wujud. Tanpa wujud segala sesuatu tidak akan
pernah ada. Dan wujud dari semua hal adalah sama. Oleh sebab itu ia meyakini
kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Sedangkan yang membuat sesuatu itu berbeda
dengan yang lain adalah karena aksidennya seperti warna dan lainnya.

16 Dr. Amsal Bakhtiar. hlm. 145-146

17 Dr. Amsal Bakhtiar. hlm. 146-147

10
Masalah ontologis memang menjadi perhatian yang paling serius dalam
filsafat ilmu. Sebab ia bertanggungjawab atas kebenaran dari suatu ilmu itu. Oleh
sebab itu, ia tidak berbicara tentang apa yang tampak tapi apa yang nyata. Sebab
penampakan itu belum tentu sesuai dengan kenyataannya.. Wilayah ontologi
bukan berbicara pada tataran penampakan tapi kenyataan. Mampu mengetahui
kenyataan yang hakiki itulah sebagai ilmu pengetahuan yang valid. Jadi,
pembahasan wujud dalam ontologi merupakan realitas mutlak dan lawan dari
ketiadaan. Wujud dalam hal ini mencakup segala hal, mulai dari Dzat Ilahi,
realitas-realitas abstrak dan material, baik substansi maupun aksiden dan baik
esensi maupun keadaan.18

B. Epistemologi

Jika kita berbicara tentang ilmu pengetahuan, apakah anda pernah


memikirkan apa itu pengetahuan? Pastinya anda menganggap bahwa saya orang
yang aneh. Kalau saya bertanya, apakah kita tahu? Pastinya kita semua tahu.
Tentang nama kita sendiri, Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, Manusia terdiri dari
laki-laki dan perempuan, dan bahwa 2+2 = 4. Sebuah lompatan drastis yang
dilakukan Socrates pada zamannya, dan mungkin sampai sekarang ini masih,
dengan pernyataannya apa yang saya ketahui adalah apa yang tidak saya ketahui
bagaimana akal kita bisa menerima pernyataan yang kontradiksi ini?

Akar permasalahan adalah pengetahuan yang rupanya menuntutut sejenis


kepastian tertentu yang tidak dimiliki oleh kepercayaan yang biasa. Tetapi sekali
saja anda bertanya, apa yang akan membenarkan kepastian ini, anda mulai
merasakan sangatlah sulit menemukan jawabannya.

Mudah mengetahui mengapa begitu banyak pemikir memperdebatkan


pengetahuan yang menuntut adanya sebuah kepastian. Mengetahui bisa kita
sebut dengan kata yang sukses. Demikian dengan kata belajar. Untuk

18 Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Hlm. 177.

11
mengetahui seseorang telah mempelajari sesuatu, sama denga mengatakan mereka
telah mempelajari sesuatu dengan sukses dan kini telah menyerap apa saja yang
telah mereka pelajari. (mengatakan mereka sedang belajar jelas tidak
menunjukkan bahwa mereka telah menguasai secara sempurna, hanya sedang
mengejar kesempurnaan itu. Misal; anda sedang mempelajari aritmatika, apakah
bisa dikatakan anda menguasai aritmatika?). kita bisa mengatakan bahwa
seseorang telah sukses dengan apa yang telah mereka pelajari apabila mereka
dapat menyatakan kembali apa yang telah mereka peroleh di masa lalu.

Epistemologi merupakan tahapan berikutnya setelah pembahasan ontologi


dalam filsafat. Istilah epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere yang
maksudnya untuk membedakan antara dua cabang filsafat, yaitu epistemologi dan
ontologi (metafisika umum). Kalau dalam metafisika pertanyaannya adalah apa
yang ada itu? Maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah apa yang dapat
saya ketahui?19

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme


biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau
teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar
dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya
menjadi theory of knowledge.20

Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang membahas


pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya. 21 Isu-isu
yang akan muncul berkaitan dengan masalah epistemologi adalah bagaimana
pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu mempunyai gradasi
(tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan menggunakan
apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera
19 Drs. Surajiyo. hlm. 24

20 Drs. Surajiyo. hlm. 24

21 Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Hlm. 83.

12
sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan
dengan menggunakan intuisi sebagaimana urafa (para sufi)? Oleh sebab itu yang
perlu dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan
metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.

Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu pengetahuan ada yang


berasal dari manusia dan dari luar manusia. Pengetahuan yang berasal dari
manusia meliputi pengetahuan indera, ilmu (akal) dan filsafat. Sedangkan
pengetahuan yang berasal dari luar manusia (berasal dari Tuhan) adalah wahyu.
Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau teori pengetahuan,
kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan, serta klasifikasi
ilmu pengetahuan.

1. Sumber-Sumber Pengetahuan

Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-


sumber pengetahuan. Dengan fakultas apa manusia mencapai pengetahuan?
Bagaimanakah nilai pengetahuan yang diperoleh manusia? Sampai batasan mana
manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait erat dengan
sumber-sumber pengetahuan.

Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa


sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah. 22
Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal
sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan,
merupakan ranah irfan bukan filsafat.23 Agaknya karena alasan inilah bahwa
fakultas hati (qalb, fuad) merupakan pembahasan irfan bukan filsafat, kita bisa
memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati dalam
epistemologiyang merupakan cabang filsafat. Ada juga yang menganggap
22 Lihat Murtadha Muththahari, Mengenal Epistemologi, diterj. dari Masale-ye
Syenokh oleh Muhammad Jawad Bafaqih (Jakarta : Lentera, 2003), bab Sumber-
Sumber Epistemologi, hal. 80-109.

13
bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-
daya lain lebih sebagai sumber sekunder.

Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati
(intusi, qalb, fuad). Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan
dalam bentuk teks (kitab suci), tidak dimasukkan sebagai sumber pengetahuan.
Karena kitab suci merupakan teks, yang akan berbicara ketika seseorang
membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-teks suci tersebut yang
dimasukkan sebagai sumber pengetahuan (Suteja, 2006).

Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk


menyampaikan pengetahuan membutuhkan penafsiran dari sang pengamat,
walaupun struktur pengetahuan tersebut tidak memisahkan antara sang penahu
dengan yang diketahui, tetap saja ia meniscayakan kemampuan manusia untuk
menangkap pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan
fakultas indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai
sumber pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai
sumber pengetahuan.24

a. Indera

Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Manusia bisa


mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan indera yang dimilkinya. Dengan
mata manusia bisa melihat, dengan hidung kita bisa mencium, dengan kulit kita
bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar dan dengan lidah kita bisa
merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah benda-benda yang
sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu menangkapnya atau
mengetahuinya.

23 Lihat Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, diterj. dari
Philosophical Instructions: An Introduction To Contemporary Islamic Philosophy
oleh Musa Kazhim dan Saleh Bagir (Bandung: Mizan, 2003), bab Epistemologi,
hal.77-161.

14
Aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa manusia memperoleh
pengetahuan melalui indera disebut dengan empirisme. Aliran ini berpendapat,
bahwa empirisme atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik
pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan,
tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari
pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Para Filosof empirisme
antara lain John Locke, David Hume dan William James. David Hume termasuk
dalam empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada
sensasi-sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari
kenyataan. Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah
hubungan di antara benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang
diperoleh secara langsung dengan indera.25

24 Muththahari mengartikan epistemologi sebagai sesuatu yang dapat


memberikan pada kita suatu kekuatan dan tenaga praktis, ataupun sesuatu yang
dapat menunjukkan suatu hakikat. Karenanya ia menganggap bahwa alam
merupakan salah satu sumber pengetahuan. Masalahnya, ada pemahaman dari
sudut lain bahwa walaupun alam merupakan sesuatu yang dapat memberikan
suatu kekuatan dan suatu tenaga praktis, ia tetap membutuhkan kemampuan
fakultas manusia untuk menangkap sesuatu (realitas) itu. Sebagai misal,
perkembangan fisika modern mutakhir, dalam hal ini fisika mekanika-kuantum,
membuktikan bahwa keterlibatan manusia sebagai penahu menentukan realitas.
Terkadang subatom ketika diamati dengan cara tertentu oleh sang pengamat
menjadi gelombang, terkadang juga partikel. Hal ini disebut sebagai teori
ketidakpastian Heisenberg. Dunia fisika yang meyakini bahwa objek (yang
diamati) mampu menyantirkan dirinya sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi
sang pengamat, telah diguncangkan oleh teori relativitas-Einstein, teori
ketidakpastian Heisenberg maupun mekanika kuantum. Dengan demikian, saya
menganggap bahwa pemahaman atas alam, dan sejarah (maupun kitab suci) yang
dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Pembahasan mengenai fisika modern
lebih lanjut lihat Husain Heriyanto, Paradigma-Holistik (Bandung: Teraju-Mizan,
2002).

25 Drs. Surajiyo. hlm. 33-34

15
John Locke dengan teori tabula rasanya mengatakan bahwa manusia itu
ketika lahir bagaikan kertas putih tanpa goresan apa pun artinya ia sama sekali
belum memiliki pengetahuan. Baru kemudian ia mendapatkan pengetahuan
dengan menggunakan panca inderanya untuk mengenali objek-objek yang ada di
sekelilingnya. Begitu seterusnya hingga semua pengalaman dalam hidupnya
tersimpan dalam memori pikirannya. Metode ilmiah yang dipakai untuk
memperoleh pengetahuan empiris ini adalah eksperimentasi atau kalau di dalam
Islam kita kenal metode tajribi.

b. Akal

Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan selanjutnya setelah indera. Akal


semakin diperhitungkan sebagai sumber pengetahuan karena keterbatasan
kemampuan yang dimiliki oleh indera yang hanya sebatas pada benda-benda fisik
saja. Padahal di luar fisik masih terhampar luas samudera pengetahuan. Selain itu
juga pengetahuan inderawi cenderung menempatkan antara subjek yang
mengetahui dengan objek yang diketahui sama-sama hadir artinya tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Jika demikian sungguh manusia akan mengalami
kerepotan. Misalnya jika kita tidak mengenal pengetahuan matematissebagai
salah satu produk ilmu akalseseorang akan kesulitan dalam melakukan
perhitungan. Tidak mungkin kita menghadirkan benda-benda dalam jumlah yang
banyak karena hal itu akan menyulitkan. Maka cukuplah dengan menggantinya
dengan konsep-konsep angka dalam matematika.

Akal dengan kemampuannya bisa membedakan antara mana yang salah


dan mana yang benar. Selain itu juga akal bekerja dengan menggunakan hukum-
hukum logika yang diakui kebenarannya. Akal dengan tegasnya bisa
menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber kebenaran. Misalnya ketika
sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera akan tampak
membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan setelah
dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak mungkin melihat karakter

16
kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke dalam
air. Di sinilah akal diakui sebagai sumber kebenaran. Dan tentu saja banyak bukti
yang lain. Faham filosofis yang yang menjadikan akal sebagai sumber
pengetahuan disebut rasionalisme.

Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui


akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu
mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman
hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal
dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas
pertama yang pasti. Metode yang diterapakan adalah deduktif. Teladan yang
dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para filosof rasionalis adalah Rene
Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.26 Rasionalisme memakai prinsip koherensi
dalam pembenarannya. Jadi apa yang benar adalah apa yang koheren dengan akal.
Metode ilmiah yang dipakai adalah metode burhani.

Descartes merupakan filosof pendobrak dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia


dianggap sebagai bapak filosof modern. Gagasannya yang paling monumental
adalah Cogito Ergo Sum aku berpikir maka aku ada. Sejak itulah akal benar-
benar mendapatkan tempat yang agung sebagai sumber pengetahuan. Manusia
mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai subjek yang berpikir karena ia
mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar akan keberadaan dirinya sendiri dan
keberadaan dunia di sekitarnya.

Berawal dari kesangsian dirinya akan segala hal, ia berusaha membangun


landasan filososif tentang kebenaran yang tak kuat. Ia berpikir bahwa segala
sesuatu bisa kita sanksikan. Bahkan keberadaan dirinya sendiri ia meragukannya.
Tapi ada satu hal yang tidak mungkin bisa ia sanksikan bahwa ia dalam keadaan
sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin ia yakin akan kebenaran kesanksian
atas dirinya dan semakin pula ia yakin akan keberadaan dirinya. Dari sinilah
kemudian Descartes baru mengakui akan keberadaan yang lain. Namun

26 Drs. Surajiyo. hlm. 33

17
bagaimana jika manusia itu berhenti berpikir, ketika dalam keadaan tidur
misalnya? Descartes mengatakan bahwa masih ada Tuhan yang selalu hidup, yang
tidak pernah berhenti dari semua aktivitasnya.

c. Intuisi

Jika indera dan akal mampu digunakan untuk memperoleh pengetahuan


maka demikian halnya dengan intuisi. Bahkan pengetahuan yang berasal dari
intuisi inilah yang diakui kebenarannya. Sebab indera dan akal hanya mampu
mendiskripsikan, melukiskan dan menganalisa sedangkan intuisi bisa
menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri seseorang. Maka
pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan ushuli artinya
pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan pengetahuan
intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu itu sendiri hadir ke
dalam diri subjek yang mengetahui tanpa sebuah perantara apapun. Sehingga
pengetahuan hushuli cenderung rentan terhadap kesalahan. Misalnya saja ketika
ada yang tidak benar dengan indera maupun akal kita. Sebaliknya pengetahuan
intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.

Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan atas sebuah realita. Jadi


seorang subjek benar-benar merasakan secara langsung apa yang ia alami. Tidak
ada pengenalan secara langsung terhadap sebuah realita selain melalui intuisi. Di
sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi berbeda dengan pengetahuan inderawi
dan akal yang hanya memperlihatkan penampakannya saja.

Di antara para filosof intusionismesebuah aliran yang menjadikan intuisi


sebagai sumber pengetahuannyaadalah Henry Bergson seorang filosof Perancis.
Pengetahuan intuisi ini juga sangat familiar di kalangan para mazhab irfani (kaum
sufi). Metode yang dipakai kita kenal dengan metode irfani.

d. Wahyu

18
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak bisa diusahakan oleh
manusia adalah wahyu. Artinya ia benar-benar bersumber dan pemberian dari
Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak perlu disanksikan lagi. Biasanya
pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan dan utusan Tuhan
dalam bentuk kitab suci.

Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan dan menjadi salah satu pilar
keyakinan beragama. Orang yang beragama harus meyakini kebenaran semua isi
kandungan kitab suci. Di dalam kitab suci biasanya terkandung cerita-cerita masa
lalu. Berita tentang surga, neraka, pahala dan dosa. Tentu saja yang tak kalah
pentingnya adalah kebenaran akan keberadaan Tuhan pencipta alam. Dan masih
banyak berita-berita yang lainnya. Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang
kaya. Metode yang dipakai adalah metode bayani.

2. Kebenaran Pengetahuan

Sebelum membahas tentang teori kebenaran terlebih dahulu penting


kiranya untuk mendefinisikan apa arti kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi
isu sentral dalam ilmu pengetahuan karena tujuan dari ilmu pengetahuan adalah
untuk mencari kebenaran.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta


ditemukan arti kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok
dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya).27 Menurut William James yang
dikutip oleh Titus dkk (1984: 344), kebenaran (truth) adalah yang menjadikan
berhasil cara kita berpikir dan kebenaran adalah yang menjadikan kita berhasil
cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis Kattsoff (1992: 178) kebenaran
menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan artinya, proposisinya sungguh-
sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya, maka

27 Drs. Surajiyo. hlm. 122

19
kita mengatakan bahwa proposisi itu sesat.28 Selanjutnya berkaitan dengan teori
kebenaran ada beberapa macam.

a. Teori Koherensi

Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz,


Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements
of Philosophy, teori koherensi dijelaskan .suatu proposisi cenderung benar jika
proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi
lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling
berhubungan dengan pengalaman kita.29

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi,


suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila
kita menganggap bahwa semua manusia pasti mati adalah suatu pernyataan
yang benar, maka pernyataan, si polan adalah manusia dan si polan pasti mati
adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang
pertama.30

b. Teori Korespondensi

Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan


mereka berpegang pada pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara
luas oleh kelompok realis. Menurut paham ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada

28 Mulyana dalam Diktat Kuliah Filsafat Agama UIN Bandung (Bandung, 2001),
hlm. 3

29 Drs. Surajiyo. hlm. 105

30 Mulyana. hlm. 55

20
realita objektif. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan
fakta itu sendiri.31

Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi


sehingga ada atau tidak adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung
terhadap kebenaran atau kekeliruan. Misalnya pernyataan Kota Bandung berada
di wilayah Jawa Barat bukan karena pernyataan ini berguna atau apa, tapi karena
secara geografis dan berdasarkan pengalaman maupun bukti empiris memang
demikian.

c. Teori Kebenaran Pragmatis

Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914)


dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul How to Make
Our Ideas Clear. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat
yang kebanyakan berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering
dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini misalnya William James,
John Dewey, George Herbert Mead dan C. I. Lewis.32

Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika


secara fungsional ia memberikan manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil yang
didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia baik dan benar dan
sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah.

Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah


penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam
konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian
yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah benar. Misalnya
pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri,
penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan dilihat

31Mulyana. hlm. 6

32 Jujun S. S. hlm. 57

21
karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat
karena berhenti di posisi kiri.33

3. Batasan Pengetahuan

Berbicara tentang masalah ontologi memang sangat luas sekali


cakupannya. Ia tidak hanya berbicara soal keberadaan yang sifatnya materi tetapi
juga immateri. Kalau wujud yang materi bisa diketahui dengan menggunakan
pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita yakini keberadaannya begitu
saja. Paling kita percaya karena wujud yang immateri ituseperti keberadaan
Tuhan, surga, neraka dan lainnyaditerangkan dalam kitab suci (wahyu) bagi
kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme tentu saja mereka
tidak memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.

Lantas apakah batas yang merupakan ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di


manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada
pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang
membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan yang lain? Jawaban dari semua
pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman
manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal
ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah tidak sebab surga dan neraka berada di
luar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab musabab
kejadian terciptanya manusia? Jawabnya juga adalah tidak sebab kejadian itu
berada di luar jangkauan pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup
maupun yang terjadi setelah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan
ilmu.34

33Drs. Surajiyo. hlm. 106

34 Jujun S. S. hlm. 91

22
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan
yang hanya bisa dijangkau oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji
kebenarannya secara empiris. Sebuah ilmu harus memenuhi standar metodologis
dan bisa diuji dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Jika suatu ilmu itu
berada di luar jangkauan pengalaman manusia bagaimana kita bisa menguji
kebenarannya dengan standar metodologis dan metode-metode ilmiah.

Pembatasan ruang lingkup ilmu yang seperti ini nampaknya sangat sempit sekali.
Memang hal ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi keilmuan yang berkembang di
Barat. Ilmu yang dalam bahasa Barat disebut dengan science merupakan suatu
pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya karena ia memenuhi
standar-standar ilmiah. Ia bisa dibuktikan secara empiris dan bisa di
eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang tidak memenuhi kualifikasi itu
bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu hal yang sifatnya immateri
bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan ia dianggap tidak ada. Seperti
itulah asumsi para saintis tentang ilmu terutama yang berkembang di dunia Barat.

4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

Ada berbagai macam kalsifikasi ilmu pengetahuan yang diberikan oleh


para ahli. Tapi dalam kesempatan ini saya hanya akan memberikan gambaran
klasifikasi ilmu yang disusun oleh Ibn khaldun dalam kitab al-Muqaddimah. Ia
memberikan gambaran yang sangat komprehensif mulai dari yang paling utama
dalam arti mencapai tingkat kematangannyahingga yang paling bawah yaitu
ilmu fisik. Ia membagi ilmu ke dalam dua kategori besar yaitu:

I. Ilmu-ilmu Naqliyyah (Transmitted Science) yang terdiri dari:

(1) Tafsir al-Quran dan Hadits

(2) Ilmu fiqih yang meliputi fiqh, faraid dan ushul fiqh

(3) Ilmu Kalam

23
(4) Tafisr-tafsir ayat Mutasyabihat

(5) Tasawuf

(6) Tabir Mimpi (tabir al-Ruyah)

II. Ilmu-ilmu Aqliyyah (Rational Science)

(1) Ilmu logika, yang terdiri dari

a. Burhan (Demonstrasi)

b. Jadal (Dialektika)

c. Khitbah (Retorik)

d. Syir (Puitik)

e. Safsathah (Sofistik)

(2) Fisika, yang terdiri dari:

a. Minerologi

b. Botani

c. Zoologi

d. Kedokteran

e. Ilmu Pertanian

(3) Matematika, yang terdiri dari:

a. Aritmetika

- Kalkulus

- Aljabar

b. Geometri

24
- Figur Sferik

- Kerucut

- Mekanika

- Surveying

- Optik

c. Astronomi

(4) Metafisika

a. Ontologi

b. Teologi

c. Kosmologi

d. Eskatologi

Selain itu, ada kelompok ilmu-ilmu praktis yang meliputi etika,


ekonomi dan politik. Ibn Khaldun juga terkenal sebagai bapak sosiologi
Islam yang telah melahirkan sebuah disiplin ilmu sosial yang disebut ilmu
budaya atau yang biasa kita sebut sosiologi yang meliputi:

1. Sosiologi secara umum

2. Sosiologi politik

3. Sosiologi ekonomi

4. Sosiologi kota

5. Sosiologi ilmu35

35 Lihat Mulyadi Kartanegara dalam Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, 2006,


hlm. 65-67.

25
5. Metode Ilmiah

Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia


mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain,
mengapa manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau kita telaah lebih lanjut
ternyata bahwa kita mulai mengamati objek tertentu kalau kita mempunyai
perhatian tertentu terhadap objek tersebut. Perhatian tersebut dinamakan John
Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita
menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan.36

Selanjutnya setelah seseorang mendapatkan suatu permasalahan, tahapan


selanjutnya adalah berusaha mencoba menyelesaikan permasalahan itu. Hanya
saja dalam penyelesaian suatu masalah itu seseorang mempunyai cara yang
berbeda-beda. Mungkin itu hanyalah kenyataan yang sering terjadi di dalam
kehidupan sehari-hari.

Namun dalam tradisi keilmuan kita mengenal apa yang disebut dengan
metode ilmiah. Metode ilmiah ini merupakan langkah-langkah yang harus
ditempuh supaya mendapatkan ilmu pengetahuan yang valid. Oleh sebab itu
metode ilmiah ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilalui mulai dari awal
yaitu perumusan masalahhingga tahap yang paling terakhir yaitu penarikan
kesimpulan. Jika suatu ilmu didapatkan dengan melalui tahapan-tahapan ini
kepastian kebenarannya tidak diragukan lagi.

Metode ilmiah pada dasarnya sama bagi semua disiplin keilmuan baik
yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila pun terdapat
perbedaan dalam kedua kelompok ilmu ini maka perbedaan itu sekedar terletak
pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berpikir atau aspek
metodologisnya.37

36 Jujun S. S. hlm. 121

26
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam
beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah.
Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logic-hypothetico verifikasi ini
pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris


yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang
terkait di dalamnya

(2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan


argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara
berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi
permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan
premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan
memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.

(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan


terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan
dari kerangka berpikir yang dikembangkan

(4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang


relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah
terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak

(5) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apkah sebuah hipotesis


yang diajukan itu diterima atau ditolak. Kiranya dalam proses pengujian
terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu
diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta
yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis
yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari ilmu pengetahuan
ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai
kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah

37 Jujun S. S. hlm. 132

27
sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini
harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum
terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.38

Semua itu adalah langkah-langkah yang harus ditempuh dalam


mendapatkan pengetahuan ilmiah. Meskipun antara langkah yang satu dengan
yang lain saling terkait dan langkah yang awal menjadi dasar bagi langkah yang
selanjutnya tapi dalam praktiknya bisa berbeda. Seorang peneliti bisa memulainya
dengan menemukan fakta-fakta di lapangan kemudian merumuskannya dan
mengambil kesimpulan secara umum (induksi) atau membuktikan premis-premis
yang sudah ada kemudian disesuaikan dengan fakta (deduksi).

Dalam sebuah tradisi keilmuan, ilmu bisa berkembang bila dilakukan


sebuah proses falsifikasi. Artinya kita sesuaikan antara teori-teori yang ada dengan
kenyataan yang ada di lapangan (mencari pembuktian). Artinya jika teori yang
kita miliki tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan maka kewajiban kita adalah
merumuskan teori baru. Demikian proses itu berlangsung secara terus menerus
hingga dicapai kesesuaian antara teori dengan fakta. Dari sinilah sebuh ilmu itu
akan selalu mengalami perkembangan. Bukan sebaliknya mencari pembenaran
terhadap teori yang sudah ada. Artinya teori yang sudah ada tersebut dianggap
sudah benar sehingga tinggal mencari pembenaran fakta-faktanya di lapangan.
Jika tidak sesuai antara fakta dengan teori fakta tersebut disingkirkan sampai
menemukan fakta yang sesuai dengan teori. Jika demikian maka suatu ilmu itu
tidak akan mengalami perkembangan.

C. Aksiologi

Jika ontologi berbicara tentang hakikat yang ada (objek ilmu) dan
epistemologi berbicara tentang bagaimana yang ada itu bisa diperoleh (cara

38 Jujun S. S. hlm. 128

28
memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan manfaat dari pada ilmu itu
sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan kaidah-kaidah moral.

Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang
berarti nilai dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah
ilmu tentang nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu
mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang
nalai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek
yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral atau profesional?

Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi.


Pertama, moral conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus
yaitu etika. Kedua, esthetic expression, ekspresi keindahan yang melahirkan
estetika. Ketiga, socio-political life, kehidupan sosio-politik. Bidang ini
melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.39

1. Teori Nilai (Etika)

Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan


dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai.
Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini akan dibahas beberapa hal saja yang
kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan masalah nilai. Tema-tema
yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu subjektif atau objektif.

Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu


menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia

39 Abdullah Idi dan Jalaluddin. hlm. 129 dalam Muhammad Noor Syam. 1986,
hlm. 34-36

29
bersifat universal. Di mana pun tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan
diterima oleh semua orang. Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah karena
hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan
kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah
salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas
nilai.40

Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai
subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai
berarti berbicara tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang terhadap
sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda tergantung selera, tempat,
waktu, dan juga latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang
memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben
(membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap
orang mati dan bagi mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi.
Namun bagi orang Islam hal itu diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar
nikah asal atas dasar suka sama suka hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di
Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang
terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak
pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini.
Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang
menilai, waktu dan tempatnya.

Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan
salah dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak
yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan
porno tentu bagussetiap orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-
pura dan sok bermoraltapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik
tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.

40 Drs. Sidi Gazalba. Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori Nilai


(Jakarta, 1978), hlm. 490

30
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu
sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada
sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai. Susuatu itu baru mempunyai
nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada objek. Suatu barang
tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang melihatnya.
Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidaak ada mata manusia yang
memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia
tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan
manusia yang mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi
hubungan antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai objek.41

Namun yang paling penting dari masalah etika adalah implikasi


praksisnya. Artinya sesuatu yang buruk itu seharusnya ditinggalkan sedangkan
yang baik seharusnya dilaksanakan. Dengan demikian ilmu pengetahuan akan
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia bukan justru malah mengancam
eksistensi manusia itu sendiri.

Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang inidunia modern


bagaimana sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak yang
disalahgunakan untuk tujuan-tujuan kejahatan. Misalnya saja dalam kejahatan
perang. Banyak kasus yang bisa kita utarakan berkaitan dengan masalah ini
seperti Perang Dunia, Perang Teluk, Perang Vietnam hingga perseturuan antara
Palestina dan Israel yang tidak ada henti-hentinya. Mereka yang secara
persenjataan lebih maju seolah dengan alasan pembelaan membenarkan tindakan
pengeboman dan pembantaian masal di mana seringkali korbannya adalah warga
sipil. Tindakan seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan, tak berperikemanusiaan dan
amoral. Selain itu juga misalnya pembuatan senjata nuklir dan senjata pemusnah
masal yang jelas sekali mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Itu adalah
sekedar contoh dari pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna. Tentunya masih

41 Drs. Sidi Gazalba. hlm. 186-187

31
banyak yang lainnya. Oleh sebab itu aksiologi dalam hal ini berfungsi untuk
memberikan tuntunan bagaimana suatu hal itu bisa digunakan secara tepat guna.

Memang segala sesuatu itutermasuk implikasi kemajuan di bidang ilmu


pengetahuanmempunyai dampak negatif dan positif. Tapi sebenarnya dampak
yang negatif itu bisa dihindari atau setidaknya diminimalisir. Semua itu adalah
demi kepentingan kehidupan manusia itu sendiri.

2. Estetika

Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori tentang pencerapan


penghayatan pengalaman indera, sesuai dengan istilah Kant dengan
transzendentale asthetik (teori tentang susunan penghayatan panca-indra dalam
ruang dan waktu, berlawanan dengan transzendentale logic: pengetahuan rasional
dan penuturan). Perlawanan yang dikemukakan oleh Kant itu juga dinyatakan
oleh Baumgarten42.

Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian pemikiran yang benar dan


estetika sebagai teori tentang penghayatan sempurna panca-indera. Masalah yang
timbul tentang estetika yang dihadapi oleh banyak ahli pikir semenjak Plato dan
Aristoteles ialah pernyataan tentang hakikat keindahan dan seni. Dengan demikian
seluruh lapangan nilai, dalam mana keindahan dan seni merupakan bagiannya,
dinamakan lapangan estetika, dikordinasikan dengan logika dan estetika. Estetika
dalam pengertian baru itu diapakai oleh Kant dan Schiller sehingga menjadi
umum di Jerman, meluas ke dalam pemakaian internasional.43

Perdebatan lain yang menarik perhatian berkaitan dengan masalah estetika


adalah tentang keindahan, apakah keindahan itu sesuatu yang sifatnya objektif
atau subjektif? Jika teori tentang nilai mengatakan bahwa persoalan nilai itu
adalah masalah yang subjektif maka sebaliknya dengan persoalan estetika.
42 Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762): filofof Jerman, guru besar di
Frankurt, yang mula-mula mempergunakan estetika untuk teori keindahan.

43 Drs. Sidi Gazalba. hlm. 567

32
Persoalan estetika lebih berpihak pada pandangan objektivisme. Artinya bahwa
keindahan itu merupakan sifat yang objektif yang dimiliki oleh suatu benda. Ia
bukanlah penilain subjektif seseorang. Diantara yang berpandangan seperti ini
adalah Hegel. Hegel menganggap bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari
Cita Mutlak, Absolut Idea. Keindahan adalah pancaran Cita Mutlak melalui
saluran indera. Ia adalah sejenis pernyataan ruh. Seni, agama dan filsafat
merupakan tingkat-tingkat tertinggi dari perkembangan ruh.44

Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama sekali dalam mencari
keterangan tentang estetika. Dengan Kant dimulailah studi ilmaih dan psikologi
tentang teori estetika. Ia mengatakan dalam The Critique of Judgement bahwa
akal memiliki indera ketiga di atas pikiran dan kemauan. Itulah inder rasa. Yang
khas pada rasa atau kesenangan estetika ialah ia tidak mengandung kepentingan.
Ini membedakannya daripada kesenangan-kesenangan yang lain yang
mengandung unsur keinginan atau terlibat dalam kepentingan pribadi atau hayat.
Gula misalnya tidaklah indah tapi dikehendaki. Kita menginginkannya untuk
menikmatinya. Demikian pula tindakan moral tidal indah. Ia adalah baik. Kita
menyetujuinya karena kepadanya kita mempunyai kepentingan. Sebaliknya
dengan keindahan. Selalu Ia merupakan objek kepuasan yang tidak mengandung
kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang lain. Indah, sekalipun
ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu merupakan objek penilaian. Kita
mengatakan: Barang ini indah. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan itu
merupakan sifat objek, tidak hanya sekedar selera yang subjektif. Demikianlah
teori Kant.45

Di dalam Islam sendiri konsep keindahan itu sangat jelas sekali. Sumber
keindahan itu bahkan bersumber dari Ilahi. Dikatakan bahwa Allah itu Maha
Indah dan menyukai keindahan. Demikian juga alam sebagai ciptaannya
merupakan sesutau yang indah dan menakjubkan. Bagaimana kita seringkali

44 Drs. Sidi Gazalba. hlm. 570

45 Drs. Sidi Gazalba. hlm. 571-572

33
mengagumi keindahan alam yang ada di sekitar kita. Hal ini merupakan sebuah
ekspresi nyata yang sering kali kita ungkapkan. Artinya suatu nilai estetika benar-
benar merupakan sesuatu yang objektif bukan subjektif sebagaimana nilai etika.

3. Sosio Politik

Bagian ketiga dari aksiologi adalah tentang sosio-politik. Sosio-politik ini


merupakan ilmu praksis. Yang pertama mengenai ilmu sosial, dalam hal ini ia
berfungsi sebagai ilmu yang mengatur bagaimana manusia hidup bermasyarakat.
Hanya saja ia mempunyai concern yang lebih spesifik yaitu berkaitan dengan
masalah tindakan manusia atau bagaimana manusia itu harus bergaul, berinteraksi
antara yang satu dengan yang lain. Manusia sebagai makhluk sosial pasti tidak
bisa dilepaskan dari manusia yang lain untuk mempertahankan hidup. Artinya
mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dalam perkembagannya, ilmu sosial
ini nantinya akan menjadi disiplin ilmu trsendiri yaitu sosiologi.

Berbicara tentang ilmu sosial tentu juga tidak bisa dilepaskan dari yang
namanya ilmu ekonomi karena masalah sosial juga mencakup masalah ekonomi.
Misalnya bagaimana manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk
memenuhi kebutuhan ekonominya.

Ekonomi dalam tradisi ilmiah Islam, sebagaimana dipahami juga di dalam


tradisi Yunani, harus dipahami sebagai manajemen rumah tangga (tadbir al-
manzil), yang tujuannya adalah memberi bimbingan kepada semua anggota
keluargaterutama anggota keluarganyatentang berbagai masalah yang
berkaitan dengan pengelolaan rumah tangga. Jadi bukan dalam arti ekonomi
makro atau ekonomi perusahaan seperti yang layaknya dipelajari pada masa
sekarang di sekolah-sekolah. Karena itu sebagaimana etika memberikan petunjuk-
petunjuk praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai individu, demikian

34
juga ekonomi memberikan bimbingan praktis bagaimana bertindak sebaik
mungkin sebagai anggota keluarga.46

Berkaitan dengan masalah manajemen rumah tangga juga adalah


bagaimana caranya mencari nafkah yang halal, cara menyimpannya,
membelanjakannya dan sebagainya. Bahkan juga dibahas bagaimana mencari
pembantu yang baik, apa kriteria pembantu yang baik dan bagaimana sikap kita
terhadapnya. Yang tidak kalah pentingnya dalam membangun sebuah rumah
tangga adalah bagaimana mencari istri yang baik. Karena istri merupakan tiang
dari sebuah rumah tangga itu sendiri. Demikian juga dibahas alasan-alasan apa
yang menyebabkan seseorang butuh rumah tangga. Apa prinsip-prinsipnya dan hal
apa saja yang diperlukan dalam pengelolaan sebuah rumah tangga.

Selanjutnya adalah masalah politik. Sebagaimana etika dan ekonomi,


politik juga dipandang dalam tradisi ilmiah Islam, sebagai ilmu praktis, yang
tujuannya member bimbingan kepada manusia, bagaimana menjadi manusia
sebaik-baiknya sebagai seorang anggota masyarakat atau dengan kata lain
sebagai makhluk sosial. Ilmu politik ini terutama penting sekali bagi para
pemimpin masyarakat ataupun pemerintah, karena Ia juga memberi kita arahan
tentang bagaimana memerintah atau mengelola masyarakat yang dipimpinnya.47

Masalah politik juga menyangkut masalah kenegaraan sehingga ia juga


berbicara tentang bagaimana mencari seorang pemimpin yang baik dan adil.
Apakah kualifikasinya. Demikian juga dibahas tipe-tipe negara. Misalnya ada
negara utama dan tidak utama. Negara utama hanya punya satu jenis saja
sedangkan negara tidak utama ada yang disebut negara bodoh, negara yang
durjana dan negara yang keliru.

46 Mulyadi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta, 2006), hlm.


167

47 Mulyadi K. hlm. 169

35
III. Penutup

Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian
filsafat mulai dari masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga
cabang utama filsafat tersebut merupakan masalah yang paling fundamental dalam
kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal
itu dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang diawali dengan
pembahasan Apa itu kebenaran?, Bagaimana mendapatkan kebenaran?, dan
Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?

Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai


induk dari semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan
mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua
permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal tersebut
harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua
ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis,
epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara
tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan
apa manfaatnya buat kehidupan manusia.

Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia


filsafat, ini. Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan
demi perkembangan pemikiran manusia. Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat
melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan filosof semata karena berdasaekan pada
aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena
merupakan tahapan pencarian kebenaran yang hakiki. Hal itu dikarenakan ilmu
pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi. Walaupun, sesungguhnya
terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal itu.
Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya

36
mencapai kebenaran tersebut sampai akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk
kemaslahatan umat manusia.

Daftar Pustaka

Bakar, Osman. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah. 2008

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2004

Berten, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. 2006

Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori nilai. Jakarta: Bulan

Bintang. 1978

Idi, Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidika:Manusia, Filsafat dan

Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007

Kartanegara, Mulyadi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan.

2006.

Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi. Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan.

2003.

Mulyana. Filsafat Agama, Diktat Kuliah Filsafat Agama UIN Bandung. Bandung:

Fak Ushuluddin. 2001

Surajiyo. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT

Total Grafika Indonesia. 2003

37
38

Anda mungkin juga menyukai