Anda di halaman 1dari 13

TUGAS INDIVIDU

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN


ANALISIS ARTIKEL

Disusun Oleh:
Nama : Ema Hardiana
Stambuk : A 501 15 080
Kelas : A (BK)
Semester : III

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2016
ANALISIS ARTIKEL 1
1. Judul artikel : Berbagai Alternatif Model dan Pendekatan dalam
Pembelajaran Matematika
2. Penulis : Didik Sugeng Pambudi
3. Waktu Terbit : Juli 2007
4. Bahasa : Indonesia
5. Nama jurnal : Jurnal Pendidikan Matematika
6. Volume/Jilid/Tahun :1
7. Nomor Terbitan :2
8. Jumlah halaman : 7 lembar (39-45)

PENDAHULUAN
Matematika bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga kita, setiap saat dan dikehidupan
sehari-hari pasti kita selalu dihadapkan dengan yang namanya matematika, seperti
memperkirakan waktu tidur dan bangun tidur, menghitung uang, membeli barang, dan
sebagainya. Tak heran, semua cabang ilmu pasti memerlukan perhitungan, oleh karena itu
matematika disebut sebagai induk dari semua ilmu.
Ilmu pengetahuan tentang matematika sudah dipelajari oleh anak-anak mulai dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga ke perguruan tinggi. Tetapi, ironi yang terjadi sekarang yaitu
ternyata masih banyak pihak yang kurang puas akan hasil dari pembelajaran matematika. Hal
tersebut bukan semata-mata hanya menjadi kesalahan siswa, melainkan bisa juga disebabkan
oleh cara mengajar guru yang masih menggunakan metode atau model lama (konvensional)
seperti menyuruh siswa untuk datang, duduk, diam, dengar, catat, dan menghafal tanpa
membuat siswa harus bernalar luas menggunakan pikirannya sendiri. Dikarenakan hal itulah
siswa menjadi lemah dalam pemahaman konsep matematika. Terlebih lagi, siswa juga harus
berpikir keras untuk menyelesaikan beberapa soal yang diberikan guru, padahal bisa jadi
mereka belum memahami betul cara pengerjaan soal tersebut. Untuk itulah mereka
memerlukan bimbingan dari guru yang bersangkutan.
Oleh karena masalah di atas, sekarang pemerintah telah mengeluarkan Kurikulum 2013
(K13) dimana dalam hal ini pembelajaran berpusat pada siswa dan guru hanya menjadi
fasilitator dalam membimbing siswanya melakukan, menemukan, dan memecahkan masalah
matematika. Inilah yang menjadi alternatif model paradigma baru dalam dunia pendidikan di
Indonesia.
METODE
Metode yang digunakan dalam artikel ini yaitu penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah suatu metode penelitian untuk mendeskripsikan suatu keadaan. Sesuai
dengan judulnya, isi dari artikel ini membahas tentang berbagai alternatif model dalam
pembelajaran matematika yang saat ini telah banyak diterapkan dan diharapkan guru mampu
untuk melaksanakan model-model tersebut, agar siswa lebih menyenangi matematika dan
hasil belajarnya dapat ditingkatkan pula.

PEMBAHASAN
Ada beberapa model pembelajaran matematika yang telah diterapkan di berbagai belahan
dunia dan sedang menjadi trend dalam mengajar, antara lain:
a. Model pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam
kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru pada model ini yaitu dimulai
dengan menanamkan konsep, memberikan soal latihan untuk melatih skill siswa, jika
skill tadi sudah terbentuk, maka tambahan soal dapat diberikan terutama bagi yang
memiliki kecerdasan tinggi. Lalu, guru perlu memberikan beberapa contoh soal
beserta penyelesaiannya dan diikuti dengan pemberian soal yang hampir serupa
bahkan lebih sulit daripada contoh. Setelah itu, guru patut melakukan evaluasi untuk
mengukur kemampuan siswa-siswanya.
b. Model pengajuan soal atau pengajuan masalah (problem posing) merupakan model
pembelajaran yang mengharuskan siswa menyusun pertanyaan sendiri atau
memecahkan suatu soal menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sederhana yang
mengacu pada penyelesaian soal tersebut. Langkah-langkah yang perlu dilakukan
pada model ini yaitu: pertama, guru mengajarkan konsep yang diperlukan, lalu
memberikan soal, kemudian menugaskan kepada siswanya untuk membuat
pertanyaan (soal baru), setelah itu siswa disuruh untuk membentuk kelompok dan
mengumpulkan soal dari masing-masing anggota lalu mereka selesaikan, dan terakhir
guru mengumpulkan seluruh soal dari tiap kelompok guna untuk dibahas bersama.
c. Model pembelajaran berdasarkan masalah (problem-based instruction) merupakan
suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan suatu permasalahan
dengan maksud untuk membentuk pengetahuan mereka sendiri, serta meningkatkan
keterampilan berpikir. Guru dapat menerapkan model ini dengan cara yang pertama
yaitu menjelaskan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa agar mau terlibat dalam
aktivitas pemecahan masalah. Selanjutnya, siswa dibagi dalam kelompok, dan guru
harus mampu mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi dan melaksanakan
eksperimen guna mencapai penyelesaian masalah. Berikutnya, guru membimbing
siswa membuat laporan. Terakhir, guru membantu mengevaluasi proses pemecahan
masalah yang digunakan murid.
d. Model pembelajaran kooperatif yaitu model kegiatan belajar bersama dalam suatu
kelompok untuk mendiskusikan dan menyelesaikan suatu masalah secara bersama-
sama. Langkah yang perlu dilakukan guru untuk menerapkan metode ini yaitu dimulai
dengan menjelaskan materi dan tujuan pembelajaran, meyuruh siswa untuk membuat
suatu kelompok kecil, guru hendaknya memotivasi siswa agar bisa aktif dan mampu
bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok. Kemudian, guru memberikan
beberapa pertanyaan untuk menggali pengetahuan awal siswa, pengetahuan tersebut
dikaitkan dengan materi yang akan dikaji. Lalu, siswa diberi kepercayaan oleh guru
untuk menggali pengetahuan mereka sendiri dengan cara pemberian soal-soal latihan.
e. Pendekatan matematika realistik merupakan pendekatan baru dalam pendidikan
matematika di Indonesia. Teori ini mengacu pada realita bahwa matematika harus
dekat dengan situasi dan keadaan sehari-hari anak. Untuk menerapkan model ini, guru
perlu mempelajari beberapa prinsip pada pendekatan matematika realistik ini, antara
lain:
Guided reinvention yaitu siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri suatu
konsep atau hasil yang berhubungan dengan matematika.
Didactical phenomenology berarti bahwa cara atau sifat matematika tidak diajarkan
oleh guru, tetapi siswa berusaha sendiri menemukan hal tersebut.
Self-developed models berarti pada prinsip ini siswa diajarkan untuk
mengembangkan model mereka sendiri.
Selain prinsip, guru juga perlu mengetahui dan memahami karakteristik dari
pendekatan matematika realistik, di antaranya:
Menggunakan konteks
Menggunakan model
Menggunakan kontribusi siswa
Interaktivitas, dan
Keterkaitan antar topik.
ANALISIS ARTIKEL 2
1. Judul artikel : Pengaruh Kecerdasan Emosional (EQ) dan Motivasi Belajar
terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa SMA Negeri 3 Kota
Palopo
2. Penulis : Firdaus Daud
3. Waktu Terbit : Oktober 2012
4. Bahasa : Indonesia
5. Nama jurnal : Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran
6. Volume/Jilid/Tahun : 19
7. Nomor Terbitan :2
8. Jumlah halaman : 13 lembar (243-255)

PENDAHULUAN
Tak dapat dipungkiri lagi, bahwasannya sektor pendidikan itu harus berjalan seirama
dengan sektor-sektor lainnya, seperti yang dikatakan oleh Tilaar (1992) guna untuk
kelangsungan hidup suatu bangsa. Pendidikan nasional bertujuan mecerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Pendidikan nasional juga harus mampu
menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air, semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan
sosial. Dalam rangka mewujudkan tujuan dari pendidikan nasional tersebut, maka harus
diikuti dengan pelayanan administrasi sekolah yang teratur, terencana, dan terarah sehingga
menunjang penyelenggaraan proses belajar mengajar agar dapat meningkatkan hasil belajar
siswa seperti yang diharapkan dari tujuan pendidikan nasional yang hendak dicapai.
Walaupun berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan,
masih ada beberapa indikator mutu pendidikan yang belum menunjukkan peningkatan yang
berarti. Misalnya, sebagian sekolah di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan
yang cukup menggembirakan, akan tetapi di pedesaan justru memprihatinkan. Ada beberapa
faktor penyebab rendahnya prestasi belajar siswa SMA sekarang ini, di antaranya yang
pertama, faktor dari dalam diri (kecerdasan intelektual, psikologis, kecerdasan emosional),
kedua, yaitu faktor dari luar (lingkungan masyarakat, keluarga, sekolah, teman).
Fenomena lain yang kini menjalar di kalangan sebagian besar siswa SMA, terutama di
Kabupaten Palopo yaitu rendahnya motivasi belajar di sekolah pada mata pelajaran Biologi.
Mereka menganggap bahwa mata pelajaran ini sangat sulit, sehingga cenderung kurang untuk
memperhatikannya. Hal itulah yang menjadi penyebab utama mereka tidak mendapatkan
hasil belajar yang memuaskan.
Tujuan penelitian ini, antara lain: 1) untuk mengetahui pengaruh kecerdasan
emosional terhadap hasil belajar Biologi siswa SMAN 3 Kota Palopo, 2) untuk mengetahui
pengaruh motivasi belajar terhadap hasil belajar Biologi siswa SMAN 3 Kota Palopo, 3)
untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional dan motivasi belajar terhadap hasil belajar
Biologi siswa SMAN 3 Kota Palopo.
Pertama-tama, kita akan membahas terlebih dahulu mengenai kecerdasan, emosi,
kecerdasan emosi, motivasi belajar, dan hasil belajar biologi. Penjelasannya sebagai berikut:
a. Kecerdasan
Kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan suatu masalah, kemampuan untuk
bernalar, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar.
b. Emosi
Emosi merupakan suatu perasaan ataupun reaksi yang ditujukan kepada seseorang,
sesuatu, atau kejadian. Emosi dapat berupa kesenangan, ketakutan, dan marah
terhadap sesuatu.
c. Kecerdasan emosi
Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengelola serta mengontrol
emosi dirinya dan orang lain di lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu
pada perasaan akan suatu hubungan.
d. Motivasi belajar
Motivasi belajar adalah kemampuan untuk menggerakan diri seseorang pada kegiatan
belajar sehingga tujuan yang diinginkan oleh individu itu bisa tercapai.
e. Hasil belajar biologi
Hasil belajar biologi adalah hal-hal yang dicapai atau keberhasilan seseorang setelah
melalui proses belajar biologi.
Hipotesis penelitian ini adalah: 1) motivasi dan kecerdasan emosional berpengaruh
terhadap hasil belajar biologi siswa SMAN 3 Kota Palopo, 2) motivasi belajar berpengaruh
positif terhadap hasil belajar siswa SMAN 3 Kota Palopo, 3) kecerdasan emosional
berpengaruh positif terhadap hasil belajar biologi siswa SMAN 3 Kota Palopo.

METODE
Penelitian ini mempunyai variabel bebas dan terikat. Variabel bebasnya yaitu motivasi
belajar (X1) dan kecerdasan emosional (X2), serta variabel terikatnya yaitu hasil belajar
biologi (Y).
Metode penelitian yang digunakan pada artikel ini adalah penelitian ex post facto
yang bersifat korelasional, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh motivasi belajar dan
kecerdasan emosional terhadap hasil belajar biologi siswa SMAN 3 Kota Palopo. Penelitian
ex post facto merupakan penelitian yang bertujuan menemukan penyebab yang
memungkinkan terjadinya perubahan perilaku, gejala atau fenomena yang disebabkan oleh
suatu peristiwa atau perilaku.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMAN 3 Kota Palopo, tahun
ajaran 2008/2009 yang berjumlah 380 orang. Sampel penelitian dipilih secara cluster random
sampling. Cluster random sampling adalah teknik memilih sebuah sampel dari kelompok-
kelompok unit yang kecil yang heterogen.
Instrumen penelitian yang digunakan ada tiga buah, antara lain: 1) tes hasil belajar
dalam bentuk pilihan ganda dan esay, 2) angket motivasi belajar, 3) angket kecerdasan
emosional.
Data yang dikumpulkan dari penelitian ini diolah dengan menggunakan analisis
statistik yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Statistik deskriptif
digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik skor responden untuk masing-masing
variabel. Sedangkan statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis penelitian.

PEMBAHASAN
Pembahasan hasil penelitian sebagai berikut:
1. Kecerdasan emosional pada umumnya termasuk dalam kategori tinggi. Skor rata-rata
tersebut berada pada interval 152-174 dengan kualifikasi kecerdasan emosi tinggi.
Ada 5 orang siswa yang kecerdasan emosionalnya berada pada kategori tinggi, 31
orang siswa berada pada kategori sedang, dan 3 orang lainnya memiliki kecerdasan
emosi pada kategori rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional
siswa SMAN 3 Kota Palopo berada dalam kualifikasi sedang sampai tinggi. Hal ini
menunjukkan kecerdasan emosional siswa dalam bentuk kecerdasan diri, pengaturan
diri, motivasi, empati, dan keterampilan.
2. Motivasi belajar siswa SMAN 3 Kota Palopo, pada umumnya berkategori tinggi. Skor
rata-rata tersebut berada pada interval 81-92 dengan kualifikasi motivasi belajar
tinggi. Sebanyak 37 dan ada 25 siswa berkategori sedang serta 2 orang siswa
berada pada kategori sangat tinggi. Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar
siswa SMAN 3 Kota Palopo berada dalam kualifikasi sedang sampai tinggi. Hal ini
terlihat dalam bentuk kebutuhan kinerja, penghargaan, tantangan, tanggung jawab,
keterlibatan, dan kesempatan.
3. Hasil belajar Biologi siswa SMAN 3 Kota Palopo, pada umumnya berkategori tinggi.
Terdapat 55 responden menunjukkan hasil belajar Biologi siswa SMAN 3 Kota
Palopo berada pada kategori tinggi, ada 11 responden berada dalam kategori sedang,
dan ada pula 11 responden yang menunjukkan hasi belajar Biologi siswa SMAN 3
Kota Palopo berada dalam kategori tinggi. Hal ini bergantung pada materi yang sudah
dipelajari siswa.
4. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap hasil belajar Biologi siswa SMAN 3 Kota
Palopo yaitu positif dan signifikan. Ada 47,4% hasil belajar Biologi siswa SMAN 3
Kota Palopo dapat dijelaskan oleh kecerdasan emosional dan 52,6% ditentukan oleh
variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. Berarti bahwa semakin tinggi
kecerdasan emosional, maka akan semakin baik pula hasil belajarnya.
5. Pengaruh motivasi belajar juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap hasil
belajar Biologi siswa SMAN 3 Kota Palopo menyatakan bahwa 34,1% hasil belajar
Biologi siswa SMAN 3 Kota Palopo dapat dijelaskan oleh motivasi belajar dan 65,9%
ditentukan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam penelitian ini. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi motivasi belajar, maka akan semakin baik pula hasil belajarnya.
6. Pengaruh kecerdasan emosional dan motivasi belajar terhadap hasil belajar Biologi
siswa SMAN 3 Kota Palopo yaitu berpengaruh positif dan nyata, sebanyak 59,4%
hasil belajar Biologi siswa SMAN 3 Kota Palopo, ditentukan oleh kecerdasan
emosional dan motivasi belajar, sedangkan 40,6% ditentukan oleh variabel lain yang
tidak masuk dalam penelitian ini. Berarti semakin positif kecerdasan emosional dan
semakin tinggi motivasi belajar, maka akan semakin tinggi pula hasil belajar Biologi
siswa SMAN 3 Kota Palopo.
ANALISIS ARTIKEL 3
1. Judul artikel : Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut
Lawrence Kohlberg
2. Penulis : Anata Ikrommullah
3. Waktu Terbit : Agustus 2015
4. Bahasa : Indonesia
5. Nama jurnal : Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
6. Volume/Jilid/Tahun : 28
7. Nomor Terbitan :2
8. Jumlah halaman : 11 lembar (77-87)

PENDAHULUAN
Agama tentu memiliki hubungan yang sangat erat dengan moral. Dengan demikian,
maka lembaga pesantren yang merupakan lembaga pendidikan keagamaan tentu saja juga
mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan moral. Moral dianggap sebagai rambu
atau aturan yang berfungsi untuk mengarahkan perjalanan manusia ke arah yang benar. Moral
juga merupakan kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan salah.
Namun, terdapat pula banyak hambatan dalam perkembangan moral. Salah satunya
yaitu tentang definisi maupun ukuran dari moral itu sendiri dan untuk mengetahui tingkatan
moral seseorang selalu diperlukan suatu alat ukur yang sesuai guna mengukur moral orang
tersebut. Hal inilah yang membuat pesantren tidak mempunyai data acuan yang jelas
mengenai moral dari peserta didiknya, yang kemudian membuat pihak pesantren lemah
dalam mengontrol peserta didiknya dalam perilaku moral mereka.
Sebenarnya, jika pesantren memang ingin mengukur tingkatan moral peserta
didiknya, hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan 3 jenis alat ukur tahapan moral
dari peserta didik atau individu. Alat ukur tersebut adalah teori psikoanalisa, social learning,
dan kognitif. Ketiga alat ukur tersebut memiliki corak penekanan yang berbeda dalam
mendefinisikan moral. Psikoanalisa misalnya, menekankan tindakan moral terjadi
berdasarkan dorongan-dorongan psikoseksual yang bersifat irrasional. Kedua, Social
learning lebih menekankan kepada hal-hal lain di luar variabel-variabel yang terkait dalam
perkembangan moral, pada umumnya mereka lebih tertarik untuk mengkaji aspek-aspek yang
spesifik dari tingkah laku moral secara langsung. Ketiga, pendekatan perkembangan moral
melalui teori kognitif. Pendekatan ini lebih menekankan pada aspek kognisi, sehingga
mengesampingkan peran emosi dan lingkungan dalam perkembangan moral suatu individu.
Dan pendekatan inilah yang sangat cocok untuk diterapkan di lingkungan pesantren,
dikarenakan pendekatan kognitif memiliki format yang terperinci dalam penelitiannya dan
tahapan moral yang dibuat oleh Kohlberg yang berjumlah 6 tahapan perkembangan moral
sangatlah rinci dan khusus sehingga akan memudahkan bagi para tenaga pengajar di
pesantren untuk memetakan tahapan atau tingkatan moral para peserta didiknya.
Terlebih dahulu kita akan membahas mengenai teori perkembangan moral kognitif
berawal dari Jean Piaget, yang pertama kali memperkenalkan konsep perkembangan moral
(moral development). Kemudian, oleh Lawrence Kohlberg dikembangkan lagi menjadi teori
perkembangan moral kognitif (cognitive moral development) modern. Teori perkembangan
moral berusaha untuk menjelaskan kerangka yang mendasari pengambilan keputusan
individu dalam konteks dilema etika. Tujuan teori ini yaitu memahami proses penalaran
kognitif seorang individu dalam mengatasi dilema etika, bukan untuk menilai benar atau
salah. Kohlberg menyatakan bahwa proses perkembangan penalaran moral merupakan
sebuah proses alih peran, yaitu proses perkembangan yang menuju ke arah yang lebih baik
dan lebih terstruktur dibandingkan sebelumnya. Lalu, Kohlberg memperluas penelitian Piaget
tentang penalaran aturan konvensi sosial menjadi tiga tingkat, terdiri dari pra-konvensional,
konvensional, dan pasca-konvensional. Tiga tingkat tersebut kemudia dibagi lagi atas enam
tahap. Berikut penjelasannya:
1. Tingkat pra-konvensional
Pada tingkat awal ini individu akan sangat responsif terhadap norma-norma simbol-
simbol kebudayaan, seperti halnya yang berkaitan dengan baik, buruk, benar, salah
dan lain sebagainya. Walupun biasanya individu akan mempresentasikan norma-
norma tersebut sesuai dengan konsekuensi dari tindakannya hal ini dapat berupa
hukuman dan balasan berupa pujian maupun hadiah. Dalam tingkat ini terdapat dua
tahapan, yaitu orientasi hukuman-kepatuhan dan orientasi relativis-instrumental.
2. Tingkat konvensional
Pada tingkat ini, seseorang menyadari dirinya sebagai individu yang berada di tengah-
tengah keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Individu menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan di kelompoknya tersebut, karena jika individu tersebut menyimpang
kelakuannya dari kelompok ini ia akan terisolasi. Tingkat ini mempunyai dua tahap,
yakni tahap orientasi anak manis dan orientasi hukum dan ketertiban.
3. Tingkat pasca-konvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip. Pada tahap ini sudah ada sudah ada
suatu usaha yang jelas bagi individu untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
moralnya sendiri tanpa harus dikaitkan lagi dengan kelompok-kelompok tempat ia
berada. Tetapi harus diingat bahwasannya prinsip-prinsip yang dibuat sendiri oleh
individu tersebut haruslah dapat dipertanggungjawabkan dan sebaiknya selalu berarah
pada arah yang benar. Ada dua tahap pada tingkat ini yakni orientasi kontrak sosial
legalistis dan orientasi prinsip etika universal.

METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif untuk memperoleh profil tahapan
perkembangan moral santri mahasisiwa.
Sedangkan metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode penelitian
deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Artinya,
tujuan perhitungan statistik yang telah dianalisis mampu memaparkan tingkat penalaran
moral santri mahasiswa.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini secara umum menggunakan kuesioner
tertutup dan DIT (Deffining Issue Test). Kuisioner merupakan daftar pertanyaan yang diisi
sendiri oleh responden dalam bentuk tertulis. Dimana keuntungan kuisioner tertutup ialah
mudah diselesaikan, mudah dianalisis, dan mudah memberikan jangkauan jawaban.
Sedangkan DIT adalah alat ukur yang digunakan untuk mengukur tahapan moral seseorang.

PEMBAHASAN
Adapun tahapan perkembangan moral santri mahasiswa yaitu sebagai berikut:
1. Tahapan perkembangan moral santri mahasiswa yang paling besar berada pada
tahapan ke-empat yakni tahap hukum dan ketertiban (law and order) sebesar 62,5%.
Dalam tahapan ini, tingkah laku dianggap bermoral apabila tingkah laku tersebut
diarahkan kepada hal-hal baik, seperti pelaksanaan kewajiban, penghormatan, dan
pemeliharaan tertib sosial yang diakui di lingkungan tersebut. Cara berpikir moral
seperti ini diwujudkan dengan tingkah laku seperti menjunjung tinggi aturan yang
berlaku di lingkungan manapun ia berada dan berusaha untuk tidak melanggar aturan
tersebut sebisanya.
2. Sebanyak 22,2% berada pada tahapan ke-tiga yaitu tahap orientasi anak manis (good
boy and nice girl). Pada tahap ini, santri mahasiswa akan berpikiran bahwa tindakan
yang bermoral adalah suatu tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan
yang diakui dan diterima oleh orang lain. Dalam tahapan ini, santri mahasiswa selalu
berusaha untuk disenangi orang lain dengan cara melakukan tindakan yang dianggap
wajar oleh masyarakat.
3. Tahapan terbanyak selanjutnya ialah tahapan ke-lima yaitu dikenal dengan tahapan
kontrak sosial (social contract) yakni sebanyak 12,5%. Dalam tahapan ini, santri
mahasiswa melakukan suatu tindakan moral berdasarkan suatu cara berpikir
bahwasannya kewajiban moral menjadi suatu keharusan jika hal tersebut merupakan
kesepakatan bersama dari masyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa konsensus
memegang peranan penting pada tahapan ini.
4. Tahap terakhir yaitu tahap meaningless memiliki besaran sejumlah 2,5%, ini bukanlah
kategori dari tahapan Kohlberg, melainkan tahapan untuk mengecek atau mengukur
tingkat kekonsistenan dan ketidak-konsistenan jawaban dari angket dilema moral DIT
James Rest.
Dari ke-empat poin hasil deskripsi tahapan perkembangan moral santri mahasiswa,
dapatlah dianalisis sebagai berikut:
1. Mayoritas santri mahasiswa berada dalam tahapan ke-empat yaitu tahap hukum dan
ketertiban (law and order) yang berada dalam kategori konvensional. Berarti, para
santri mahasiswa menafsirkan bahwasannya hukum atau aturan merupakan syarat
utama agar mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Kebenaran dipandang
sebagai aturan yang memiliki sifat mengikat dan mampu menyelesaikan harapan dari
masyarakat luas. Santri pada tahapan ini akan selalu berpikir untuk menjunjung tinggi
peraturan pesantren dan berusaha mentaatinya, juga melakukan penghormatan pada
pihak-pihak yang berwenang.
2. Selanjutnya merupakan tahap orientasi anak manis (good boy and nice girl). Dalam
tahap ini, santri mahasiswa akan berpikir bahwa pada dasarnya segala tindakan itu
baik, asalkan sesuai dengan keinginan orang-orang terdekatnya, seperti keluarga,
sahabat ataupun teman dekat yang memegang peranan penting dalam pembentukan
moralnya, benar dan salah suatu tindakan merupakan hasil dari penilaian orang
terdekatnya. Disini santri mahasiswa akan sangat mempertimbangkan perasaan,
kebutuhan, dan harapan dari orang lain.
3. Tahapan selanjutnya yang memiliki besaran sekitar 12,5% yaitu tahapan kontrak
sosial (social contract). Di dalam tahap ini, santri mahasiswa mulai memahami
mayoritas sebagai suatu kekuatan paling penting untuk mencetak dan memproduksi
hukum atau aturan. Oleh karena itu, hukum atau aturan haruslah dibuat oleh
masyarakat itu sendiri guna menjaga keharmonisan kehidupan dalam masyarakat dan
juga aturan tersebut haruslah diseleseksi dan dicari kira-kira aturan mana yang paling
bisa mewakili kehendak masyarakat dan bisa meminimalisir kerusakan dalam
masyarakat. Hal terpenting yang harus diingat adalah hanya masyarakat yang telah
dilindungi hak dasarnya yang dapat menjalankan perannya dalam upaya meyeleksi
hukum atau aturan dan membuat hukum atau aturan tersebut.
4. Tahap terakhir yakni tahap meaningless yang memiliki besaran sebesar 2,5%. James
Rest menjelaskan bahwa tahap ini gunanya untuk mengukur tingkat kekonsistenan
dan ketidak-konsistenan jawaban dalam angket dilema moral DIT. Meaningless
merupakan sebuah tes yang dibuat oleh James Rest dan bukanlah tahap yang dibuat
oleh Lawrence Kohlberg. Pada tahapan ini, ada satu orang santri yang memiliki
ketidak-konsistenan jawaban yang tinggi, sehingga dalam penentuan moral santri
mahasiswa tersebut tidak mampu didefinisikan.

Anda mungkin juga menyukai