Anda di halaman 1dari 3

TAHU BULAT

(Masih ingat dengan tahu bulat yang dulu digoreng dadakan?

Nasibnya kini.... Simak selengkapnya)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil di tengah kelesuan

ekonomi dunia serta ambruknya harga komoditas di pasar global tidak

terlepas dari peran UMKM. Sektor UMKM mampu menopang perekonomian

Indonesia di tengah proses perlambatan ekonomi China sebagai akibat dari

kebijakan rebalancing the economy. Padahal elastisitas PDB Indonesia

terhadap China saat ini mencapai 0.11%, yang artinya jika PDB China

turun satu persen maka PDB Indonesia akan turun 0.11%. Hal ini tidaklah

aneh ketika disandingkan dengan data bahwa kontribusi UMKM terhadap

PDB di Indonesia mencapai angka 60%. Bahkan yang lebih menakjubkan

jumlah UMKM di Indonesia menguasai pasar, dimana lebih dari 90%

jumlah pengusaha yang ada di Indonesia adalah pelaku UMKM.

Jumlah UMKM yang fantastis tentunya menyimpan potensi yang


besar pula, salah satunya di sektor perpajakan. Dominasi UMKM di dalam

perekonomian seharusnya tercermin pada komposisi penerimaan pajak.

Sayangnya hal ini tidak terjadi, sebagian besar penerimaan pajak justru

didominasi oleh Wajib Pajak besar yang jumlahnya kurang dari 1%

dibanding total Wajib Pajak di Indonesia. Oleh karena itu pengawasan yang

dilakukan oleh DJP lebih banyak dilakukan kepada WP besar ini. Inilah

salah satu alasan kenapa sampai saat ini kepatuhan WP UMKM terhitung

masih rendah. Dengan tingginya geliat dari UMKM, tidak seharusnya lagi

DJP sebagai otoritas perpajakan memandang sebelah mata potensi yang

ada pada UMKM.


Eva Hofmann, Katharina Gangl, Erich Kirchler, & Jennifer Stark

dalam jurnalnya yang berjudul Enhancing Tax Compliance Through Coercive

and Legitimate Power of Authorities menyatakan bahwa terdapat dua power

atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi seseorang akan bermaksud

membayarkan pajaknya secara jujur atau tidak atau dengan kata lain

disebut kepatuhan wajib pajak. Dua power tersebut adalah coercive power

dan legitimate power. Coercive power bisa dianalogikan sebagai pure-

enforced sementara legitimate power adalah modified-enforced. Coercive

power dilakukan dengan cara pemberian sanksi, gijzeling, penyitaan, dan

pencekalan. Berbeda coercive yang memang merupakan pure-enforced,

penggunaan legitimate power lebih diarahkan pada peningkatan

kewibawaan DJP, keterbukaan informasi, maupun, dan masifnya sosialisasi

perpajakan. Saat ini DJP tengah berupaya keras untuk memperkuat

legitimate power ini dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak

UMKM. Sebuah strategi atau pendekatan yang cukup tepat untuk

dilakukan.

Penggunaan coercive power merupakan cara yang cepat untuk

meningkatkan kepatuhan. Akan tetapi perlu diingat, pure-enforced seperti

ini membutuhkan biaya yang relatif besar apalagi WP UMKM secara

kuantitas jumlahnya massive. Jumlah Wajib Pajak akan berbanding lurus

dengan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan coersive (pure-enforced).

Ditambah lagi, dengan coersive power maka iklim antagonis yang

sebelumnya telah ada antara fiskus dan WP akan bertambah besar dan

semakin memanas. Inilah salah satu alasan mengapa penguatan legitimate

power merupakan langkah tepat yang dilakukan DJP untuk saat ini.

Pendekatan kehumasan adalah satu satu sektor yang harus dikuatkan DJP

untuk memunculkan legitimate power ini. Kegiatan kehumasan tidak hanya

berfokus pada sosialisasi program DJP, akan tetapi dapat berupa kegiatan
pelatihan, bantuan akses produk ke dalam pasar, maupun permodalan

untuk UMKM. Kegiatan seperti ini diharapakan dapat menimbulkan ikatan

emosional yang berdampak pada peningkatan kepatuhan pajak.

Hal ini pun sebenarnya telah diamini oleh Eva Hofmann, Katharina

Gangl, Erich Kirchler, dan Jennifer Stark dan dituangkan dalam jurnal

berjudul Enhancing tax compliance through coercive and legitimate power of

authorities menyebutkan bahwa penggunaan legitimate power dengan

sedikit sentuhan coercive akan meningkatkan kepatuhan pajak yang lebih

tinggi dibandingkan jika komposisinya ditukar. Pendekatan kehumasan

seperti ini juga harus ditopang melalui kegiatan sounding ke masyarakat

luas yang tujuannya adalah untuk meyakinkan masyarakat bahwa DJP

saat ini merupakan institusi yang bersih. DJP harus belajar banyak pada

penjual tahu bulat yang saat ini bisa dibilang sebagai Center of Public

Relations. Tahu bulat dengan slogan digoreng dadakan anget-anget yang

terus diulang-ulang mampu mempengaruhi psikologis masyarakat untuk

berlomba-lomba membelinya. Meskipun pada kenyataanya tahu yang kita

beli sebenarnya sudah digoreng 10-15 menit yang lalu. Akan tetapi dengan

pengulangan kata yang terus-menerus dan gerakan yang seolah-olah

meggoreng tahu padahal hanya mengaduk minyak akhirnya bisa membuat

masyarakat percaya bahwa tahunya memang masih anget. Sekian.

Anda mungkin juga menyukai