Anda di halaman 1dari 5

Kerja Sama Internasional dalam Masalah Tindak Pidana Pencucian Uang

BAB X
KERJA SAMA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG

Pasal 89
(1) Kerja sama internasional dilakukan oleh PPATK dengan lembaga sejenis yang ada di
negara lain dan lembaga internasional yang terkait dengan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
(2) Kerja sama internasional yang dilakukan PPATK dapat dilaksanakan dalam bentuk
kerja sama formal atau berdasarkan bantuan timbal balik atau prinsip resiprositas.

Pasal 90
(1) Dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang,
PPATK dapat melakukan kerja sama pertukaran informasi berupa permintaan,
pemberian, dan penerimaan informasi dengan pihak, baik dalam lingkup nasional
maupun internasional, yang meliputi:
a. Instansi penegak hukum:
b. lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa
keuangan;
c. lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara;
d. lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana Pencucian
Uang; dan
e. financial intelligence unit negara lain.
(2) Permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi dalam pertukaran informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas inisiatif sendiri atau atas
permintaan pihak yang dapat meminta informasi kepada PPATK.
(3) Permintaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPATK diajukan
secara tertulis dan ditandatangani oleh:
a. hakim ketua majelis;
b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah;
c. Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi;
d. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik, selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. pemimpin, direktur atau pejabat yang setingkat, atau pemimpin satuan kerja atau
kantor di lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia
jasa keuangan;
f. pimpinan lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara;
g. pimpinan dari lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak
pidana Pencucian Uang; atau
h. pimpinan financial intelligence unit negara lain.

Pasal 91
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang, dapat
dilakukan kerja sama bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara lain
melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan jika negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan
timbal balik dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip
resiprositas.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama perkembangan


transportasi, komunikasi, dan informasi mengakibatkan satu negara dengan negara lain
seakan-akan tanpa batas sehingga perpindahan orang atau barang dari satu negara ke negara
lain dilakukan dengan mudah dan cepat. Hal ini mengakibatkan pula perkembangan
kejahatan dan modus operandinya semakin canggih sehingga penanggulangannya diperlukan
kerja sama antara negara yang satu dengan negara yang lain. Kerja sama antarnegara
diperlukan untuk mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah pidana yang timbul baik di Negara
Peminta maupun Negara Diminta.
Untuk memberikan dasar hukum yang kuat mengenai kerja sama antarnegara maka
dibentuk UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
Asas atau prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam Undang-Undang ini
adalah didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, perjanjian antarnegara yang dibuat,
dan konvensi dan kebiasaan internasional. Serta mengatur secaa rinci mengenai permintaan
bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari Pemerintah Republik Indonesia kepada
Negara Diminta dan sebaliknya yang antara lain menyangkut pengajuan permintaaan
bantuan, persyaratan permintaan, bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi orang,
bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang.

International Standard Setter


Sejarah mencatat pula bahwa kelahiran rezim hukum internasional yang memerangi
kejahatan pencucian uang dianggap sebagai paradigma baru dalam memberantas kejahatan
yang tidak lagi fokuskan pada upaya menangkap pelakunya, melainkan lebih pada penyitaan
dan perampasan harta kekayaan yang dihasilkan. Di samping itu, hasil kejahatan merupakan
darah yang menghidupi para kriminal yang harus disita oleh negara agar kriminalitas tidak
berkembang dan hasil kejahatan ini merupakan mata rantai yang paling lemah dari suatu
rangkaian tindak pidana. Untuk masalah money laundering terdapat beberapa organisasi
berskala internasional yang merupakan International Standard Setter yang melahirkan
ketentuan atau standard internasional dalam upaya mencegah dan memberantas money
laundering, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), The Financial Action Task
Force on Money Laundering (FATF), The Basle Committe on Banking Supervision (Basel
Committe), International Assosiation of Insurance Supervisors (IAIS), International
Organization of Securities Commissions (IOSCO) dan The Egmont Group. Berikut ini
peranan masing-masing lembaga dengan beberapa produk atau ketentuan yang dilahirkannya.

- Perserikatan Bangsa-bangsa
Program PBB ini bernama Global Programme Against Money Laundering (GPML) adalah
proyek riset dan bantuan teknis dengan tujuan meningkatkan efektifitas upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan menawarkan bantuan teknis,
pelatihan dan nasihat kepada negara yang membutuhkan.
- The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF)
Tahun 1989 negara-negara yang tergabung dalam G-7 countries menyepakati dibentuknya
FATF. FATF mengelurkan 40 rekomendadi sebagai kerangka komprehensif untuk
memerangi kejahatan money laundering.

- The Basle Committe on Banking Supervision (Basel Committe)


Tahun 1974 didirikan oleh himpunan bank-bank sentral dari 13 negara yang
mengeluarkan standar, pedoman rekomendasi untuk masalah yang berkaitan dengan
pengawasan bank terkait money laundering.
- International Assosiation of Insurance Supervisors (IAIS)
Didirikan tahun 1994 beranggotakan regulator dan pengamat (observer) yang mewakili
asosiasi industri, asosiasi professional, perusahaan asuransi dan reasuransi, konsultan dan
lembaga keuangan internasional. Pada Januari 2002 IAIS mengeluarkan Guidance Paper
No. 5, Anti Money Laundering Guidance Notes for Insurance Supervisors and Insurance
Entities yang isinya mematuhi sepenuhnya UU Money Laundering, penerapan prinsip
mengenal nasabah, perlunya kerjama antara industri dan penegak hukum dan perlunya
industri memiliki kebijakan internal, prosedur dan training mengenai anti money
laundering rezim.
- International Organization of Securities Commissioners (IOSCO)
Lembaga ini beranggotakan 90 negara. IOSCO lembaga yang punya kewenangan untuk
memberikan rekomendasi untuk diterapkan oleh Negara anggotanya. Pada tahun 1992
IOSCO menerbitkan dokumen Resolution on Money Laundering yang berisi prinsip
mengenal nasabah.
- The Egmont Group
adalah asosiasi dari Financial Intelligence Unit (FIU) yaitu lembaga yang dibentuk oleh
masing-masing Negara sebagai focal point untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana pencucian uang seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) di Indonesia. Maksud dari The Egmont Group adalah untuk menyediakan forum
untuk FIU untuk meningkatkan dukungan satu sama lain dalam rangka mencegah dan
memberantas money laundering.

Definisi di atas berisikan tiga fungsi dasar yang dimiliki oleh semua jenis FIU yaitu:
- Setiap FIU memiliki fungsi sebagai repository artinya unit ini adalah pusat informasi
tentang money laundering. FIU tidak saja menerima informasi tentang transaksi
keuangan akan tetapi FIU juga dapat mengontrol informasi.
- Fungsi analisis. Dalam memproses informasi yang diterimanya FIU kemudian
memberikan nilai tambah terhadap informasi tersebut. Kinerja fungsinya ini
tergantung pada pada sumber informasi yang dapat diakses oleh FIU. Dalam
memproses informasi FIU berwenang memutuskan apakah suatu informasi bernilai
untuk ditindaklanjuti menjadi investigasi/penyidikan.
- Sebagai clearing house. Dalam kapasitas ini FIU memfasilitasi pertukaran informasi
tentang transaksi keuangan tidak lazim atau transaksi keuangan mencurigakan.
Pertukaran informasi ini dapat terkait dengan informasi dalam segala bentuk
(individual atau umum) dan dapat berlangsung dengan berbagai mitra kerja di dalam
maupun di luar negeri.
-

Anda mungkin juga menyukai