Disusun Oleh :
Anggota :
Pajak pertambahan nilai (value added tax) pertama kali diperkenalkan oleh Carl Friedrich
Von Siemens, seorang Industrialis dan konsultan pemerintah Jerman pada tahun 1919.
Pemerintah Indonesia mulai mengadopsi system Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tanggal
1 April 1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang sudah berlaku di Indonesia
sejak tahun 1951.
Pajak pertambahan nilai yaitu pajak dikenakan oleh karena adanya perbuatan yaitu
penyerahan barang dan jasa di daerah pabean di Indonesia.
Karateristik PPN
1. Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas
pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
2. Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
3. Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
4. Menghindari pengenaan pajak berganda.
5. Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu
dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.
Objek Pajak
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha
2. Impor Barang Kena Pajak
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
7. Kegiatan membangun sendiri tidak dalam lingkungan kegiatan/usaha
8. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
Subjek Pajak
Dalam hah Pajak Pertambahan Nilai , Subjek pajak disebut Pengusaha Kena Pajak
(PKP) dikaitkan dengan Objek Pajaknya.
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang,
teridir dari :
1. Harga Jual ( Untuk penyerahan Barang Kena Pajak )
2. Nilai Penggantian ( Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak )
3. Nilai Impor ( Untuk penyerahan Barang Kena Pajak )
4. Nilai Ekspor ( Untuk penyerahan Barang Kena Pajak )
5. Nilai Lain
o Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor
o Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor
o Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual
rata-rata
o Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film
o Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran
o Untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar
o Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan
o Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
o Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
o Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
10. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
1. PKP A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp. 25.000.000
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000
PPN sebesar Rp2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak A.
3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar Rp15.000.000. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
2. Kemudian PKP D menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari
suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif
misalnya 35%. Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor
tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000 dapat
ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP D atau dibebankan
sebagai biaya. Misalnya PKP D menjual BKP yang dihasilkannya, maka
penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
PPN sebesar Rp500.000 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP
D dan PPN sebesar Rp5.000.000 merupakan pajak keluaran bagi PKP D. Sedangkan
PPnBM sebesar Rp1.000.000 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar
Rp17.500.000 tidak dapat dikreditkan oleh PKP X.