Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

TB PARU KASUS KAMBUH


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Internship di
RSUD Tais, Kab. Seluma

Disusun oleh:
dr. Muammar Kadafi

Pembimbing:
dr. Wiwin Herwini

RSUD TAIS
KABUPATEN SELUMA
BENGKULU
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang dapat menimbulkan


morbiditas dan mortalitas. World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dengan angka tertinggi di
Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Peningkatan kasus tuberkulosis baru pada anak terjadi
sekitar 1,3 juta setiap tahun dan lebih dari 450.000 anak kurang dari 15 tahun meninggal
dunia.(1) Laporan WHO pada tahun 2008 menyebutkan Indonesia menduduki peringkat ketiga
dalam jumlah kasus baru TB (0,5 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1
juta kasus). Di Indonesia terdapat tiga juta penduduk dengan tersangka TB dan 220.000
dengan sputum BTA positif (2,4 per 1000 penduduk). Diperkirakan jumlah kasus TB anak per
tahun 5%-6% dari seluruh kasus TB. Kelompok usia terbanyak 12-60 bulan (42,9%),
sedangkan 16,5% bayi kurang dari 12 bulan. Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan nilai
skoring lebih besar sama dengan 6 (skoring TB 6). Berdasarkan fakta epidemiologis tersebut,
dibutuhkan upaya lebih lanjut untuk mengendalikan TB di Indonesia.(2)

Anemia merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada TB paru, dengan prevalensi
16%76%. Pada negara berkembang seperti Indonesia, konsentrasi hemoglobin darah
didapati lebih rendah pada anak dengan TB paru dibandingkan dengan anak tanpa TB paru.
Anemia pada TB paru dapat terjadi sebagai konsekuensi dari inflamasi kronik.(2)

Anemia merupakan suatu gejala yang ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin
(Hb) dalam darah dibandingkan dengan nilai normal pada usia tertentu. Anemia didefinisikan
sebagai penurunan jumlah massa eritrosit dan atau massa hemoglobin sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
(penurunan oxygen carrying capacity). Anemia merupakan masalah medik yang paling sering
dijumpai di klinik di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat,
terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta
orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal didaerah topik.(3)

BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. W

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku : Melayu

Agama : Islam

Pekerjaan : Supir

Pendidikan : SMA

Alamat : Bunut Tinggi

No CM : 02 85 26

Tanggal Masuk : 29 Maret 2017

Tanggal Pemeriksaan : 5 April 2017

2. Identitas Keluarga

A. Nama ayah : (Alm) Tn. AB B. Nama ibu : Ny. R


Umur : 61 tahun Umur : 58 tahun
Suku : Melayu Suku : Melayu
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : Sekolah Dasar Pendidikan : Sekolah Dasar
Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Bunut Tinggi Alamat : Bunut Tinggi
3. Anamnesa
Heteroanamnesa
Keluhan Utama : Batuk
Keluhan Tambahan : Sesak nafas, lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki 35 tahun datang ke IGD RSUD Tais diantar oleh keluarganya dengan
keluhan utama batuk yang dirasakan memberat 2 minggu terakhir. Pasien sebelum nya
memiliki riwayat batuk lama yang terjadi sejak beberapa tahun yang lalu, batuk
berdahak sesekali batuk diserai darah. Batuk lama ini juga disertai dengan demam yang
tidak kunjung turun dan keringat dingin, Pasien juga mengeluhkan sesak nafas pada
saat batuk sejak beberapa minggu ini. Sesak tidak dipengaruhi suhu maupun aktivitas.
Keringat malam (+), riwayat demam(+), penurunan berat badan juga dikeluhkan pasien
sejak 1 bulan terakhir.

Riwayat Penyakit Dahulu


pasien memiliki riwayat TB 7 tahun yang lalu namun telah dinyatakan bebas TB setelah
menyelesaikan pengobatan selama 6 bulan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang pernah atau sedang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien, DM serta HT (-)

Riwayat pemakaian obat

oOAT 7 tahun yang lalu

4. Vital Sign
a. Keadaan Umum : Tampak lemas
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 100/ 70 mmHg
Denyut jantung : 90x / menit
Frekuensi nafas : 26x / menit
Temperatur : 37.6C
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak lemas
Kesadaran : E4M6V5 (Compos Mentis)

Kulit : Keriput (-), turgor kembali cepat, sianosis (-), pucat (+), ikterus
(-),

Kepala : Normocephali

Mata : Konjungtiva palpebra inferior anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),


mata cekung (+/+),

Telinga : Normotia

Hidung : NCH (-), sekret (-)

Mulut : Mukosa bibir kering (+), Candidiasis Oral (+)

Leher : Pembesaran KGB (-)

Thoraks : Simetris, ves (+/+), rh (+/+), wh (-/-), , retraksi (-)

Cor : BJ I > BJ II, reguler (+), bising (-)

Abdomen : Distensi, simetris, peristaltik (+) nyeri seluruh lapangan abdoman

Genetalia : dalam batas normal

Anus : dalam batas normal

Ekstremitas :

Superior : Edema (-/-), pucat (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-/-), akral hangat, CRT <3
Inferior : Edema (-/-), pucat (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-/-), akral hangat, CRT <3
5. Pemeriksaan Penunjang

5.1 Pemeriksaan Laboratorium


Lab Darah Rutin (27/03/2017)
Hb : 9,7 gr/dl
Leukosit : 6,5 x 103/mm3
Trombosit : 221.000U/L
Hitung jenis : 0/1/3/88/6/2
GDS :87 g/dl
SGOT/SGPT : 14/22
Ur/Cr : 31/1,6
BTA S/P/S : +3/+3/+3
Gene Xpert : negative
VCT : negative

URINALISA
Makroskopik: WIDAL TEST
- S. Thypi O : negatif
Berat jenis : 1,015 - S. Parathypi AO : negatif
- S. Parathypi BO : 1/80
pH : 6,0 - S. Parathypi CO : negatif
- S. Thypi H : 1/80
Leukosit : negatif
- S. Parathypi AH : negatif
Protein : negatif - S. Parathypi BH : negatif
- S. Parathypi CH : negatif
Nitrit : negatif
Urobilinogen : negatif

Mikroskopik
Leukosit : 2-3 LPB
Eritrosit : 0-1 LPB
Epitel :+
5.2 Imaging

Gambar 2.1 Foto Thorax PA

Ekspertise

1. Thoraks PA:
- Cor/aorta: normal
- Lung : tampak perselubungan pada apex paru
- Sinus pherinococostalis kanan dan kiri tajam
Conclusion : TB paru
2.6 Diagnosa
TB Paru kasus kambuh dengan BTA+
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Suportif
Rawat ruangan isolasi
Monitoring vital sign pasien
2.7.2 Medikamentosa
o Diet 2100 kkal + protein + susu cair
o IVFD RL 30 gtt/i makro
o Infus PCT /8 jam
o Inj. ceftriaxone 2gr/ 12 jam (IV)
o Inj. Esomeprazole 40mg/ 12 jam (IV)
o Inj. Streptomicin 750mg (IM)
o OAT 4 FDC: 3 tab (PO)
o Azytromicin 1x500mg tab (PO)
o Molagit 3x1 tab (PO)
o Ambroxol syr 3x cth 1
o Candistatin drops 1cc/ 8 jam
o Transfusi PRC 1 Kolf Post transfusi injeksi Ca. Gluconas 1 ampul IV bolus
pelan

2.8 Planning
-
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam
2.10 Follow up harian

Tanggal SOAP Pemeriksaan Fisik Terapi


30/3/2017 S/ Batuk (+) Kepala: CA (+/+), SI (-/-) Diet TKTP
H3 Demam (+) IVFD KDN1 20 gtt/i
T/H/M : candidiasis oral
Makan sulit (+)
makro
(+)
Inj. Ceftriaxone 2gr/ 12
O/
Leher : Pemb. KGB (-)
TD: 100/70 mmHg jam (h4)
N: 80 x/i Thorak: Simetris, Retraksi Azytromicin 1x500mg
RR: 22x/i
(-), ves (+/+), rh (h2)
T: 37,5oC
(+/+), wh (-/-), Pct 3x 500 mg tab
Ass/ Vit B. comp 1x1
Cor : Bj I > BJ II, Reg, Diabion 1x1 tab
-pneumonia komunitas
Bising (-) Ambroxol syr 3x c1
dd/ -TB paru
- MDR TB Abd : Distensi (+),
-candidiasis oral P/
Nyeri seluruh
-dehidrasi low intake
-anemia peny. kronis region abdomen -cek BTA S/P/S

Extr : Sup : edema (-/-), (menunggu hasil)

pucat (-/-), ikterik -cek diftel count

(-/-)
Inf : edema (-/-),
pucat (-/-), ikterik
(-/-)
Tanggal SOAP Pemeriksaan Fisik Terapi
31/3/2017 S/ Batuk (+) Kepala: CA (+/+), SI (-/-) Diet 2100 kkal+ extra
H4 Demam (+)
T/H/M : candidiasis oral protein + susu cair
Makan sulit (+)
IVFD KDN1 20 gtt/i
(+)
O/ makro
Leher : Pemb. KGB (-)
TD: 100/70 mmHg Inj. Ceftriaxone 2gr/ 12
N: 82 x/i Thorak: Simetris, Retraksi
RR: 24x/i jam (h5)
(-), ves (+/+), rh Azytromicin 1x500mg
T: 37oC
(+/+), wh (-/-), tab (h3)
Ass/ Pct 3x 500 mg tab
Cor : Bj I > BJ II, Reg,
-kasus kambuh TB Vit B. comp 1x1
Bising (-) Diabion 1x1 tab
paru BTA+
dd/ Abd : Distensi (+), Ambroxol syr 3x c1
-MDR TB Hydro kortison kream
Nyeri seluruh
-pneumonia komunitas
-candidiasis oral region abdomen P/
-malnutrisi
Extr : Sup : edema (-/-), -cek BTA S/P/S
-anemia peny. kronis
pucat (-/-), ikterik +3/+3/+3 (31/3/17)
(-/-) -cek diftel count
Inf : edema (-/-), 0/1/4/86/7/13 (31/3/17)
pucat (-/-), ikterik
(-/-) -cek Gene Expert
-cek Urinalisa
-cek DR, SGOT/SGPT,
Ur/Cr
Tanggal SOAP Pemeriksaan Fisik Terapi
1/4/2017 S/ Batuk (+) Kepala: CA (+/+), SI (-/-) Diet 2100 kkal+ extra
H5 Demam turun (+)
T/H/M : candidiasis oral protein + susu cair
Makan sulit (+)
IVFD RL 30 gtt/i makro
(+)
Inj. Ceftriaxone 2gr/ 12
O/
Leher : Pemb. KGB (-)
TD: 110/80 mmHg jam (h6)
N: 78 x/i Thorak: Simetris, Retraksi Azytromicin 1x500mg
RR: 22x/i
(-), ves (+/+), rh tab (h4)
T: 37oC
(+/+), wh (-/-), Pct 3x 500 mg tab
Ass/ Vit B. comp 1x1
Cor : Bj I > BJ II, Reg, Diabion 1x1 tab
-kasus kambuh TB
Bising (-) Ambroxol syr 3x c1
paru BTA+ Hydro kortison kream
dd/ Abd : Distensi (+),
-MDR TB
Nyeri seluruh P/
-pneumonia komunitas
-candidiasis oral region abdomen -cek Gene Expert
-malnutrisi
Extr : Sup : edema (-/-), (menunggu hasil)
-anemia peny. kronis
pucat (-/-), ikterik
(-/-) -Urinalisa (1/4/17)
Inf : edema (-/-), Epitel +, lain2 dbn.
pucat (-/-), ikterik
(-/-) -DR (1/4/17)
Hb/leu/eri/trom:
8/6700/2,6/184.000
Sgot/sgpt: 14/22
Ur/cr: 31/1,6

-transfusi PRC 2 kolf


dengan premedikasi

Tanggal SOAP Pemeriksaan Fisik Terapi


3/4/2017 S/ Batuk (+) Kepala: CA (+/+), SI (-/-) Diet 2100 kkal+ extra
H7 Makan sulit (+)
T/H/M : candidiasis oral protein + susu cair
Lemas (+)
IVFD RL 30 gtt/i makro
(+)
Inj. Ceftriaxone 2gr/ 12
O/
Leher : Pemb. KGB (-)
TD: 90/60 mmHg jam (h8)
N: 82 x/i Thorak: Simetris, Retraksi Azytromicin 1x500mg
RR: 22x/i
(-), ves (+/+), rh tab (h6)
T: 34,5oC
(+/+), wh (-/-), Pct 3x 500 mg tab
Ass/ Vit B. comp 1x1
Cor : Bj I > BJ II, Reg,
-kasus kambuh TB Diabion 1x1 tab
Bising (-) Ambroxol syr 3x c1
paru BTA+
dd/ Abd : Distensi (+), Hydro kortison kream
-MDR TB
Nyeri seluruh
-pneumonia komunitas P/
-candidiasis oral region abdomen
-malnutrisi -cek Gene Expert
Extr : Sup : edema (-/-),
-anemia peny. kronis (menunggu hasil)
pucat (-/-), ikterik
(-/-)
-Urinalisa (1/4/17)
Inf : edema (-/-),
Epitel +, lain2 dbn.
pucat (-/-), ikterik
(-/-)
-DR (1/4/17)
Hb/leu/eri/trom:
8/6700/2,6/184.000
Sgot/sgpt: 14/22
Ur/cr: 31/1,6

-transfusi PRC 2 kolf


dengan premedikasi

Tanggal SOAP Pemeriksaan Fisik Terapi


4/4/2017 S/ Batuk (+) Kepala: CA (+/+), SI (-/-) Diet 2100 kkal+ extra
H8 Demam turun (+)
T/H/M : candidiasis oral protein + susu cair
Makan sulit (+)
IVFD RL 30 gtt/i makro
(+)
Infus PCT/ 8 jam
O/
Leher : Pemb. KGB (-) Inj. Ceftriaxone 2gr/ 12
TD: 110/80 mmHg
N: 78 x/i Thorak: Simetris, Retraksi jam (h9)
RR: 22x/i Inj. Steptomicin
(-), ves (+/+), rh
T: 37oC Azytromicin 1x500mg
(+/+), wh (-/-),
Ass/ tab (h7)
Cor : Bj I > BJ II, Reg, OAT 4FDC 3 tab
-sepsis e.c TB
- Pneumonia Bising (-) Vit B. comp 1x1
-GE Kronik Ambroxol syr 3x c1
Abd : Distensi (+),
-candidiasis oral Nyeri seluruh Hydro kortison kream
-malnutrisi Transfuse darah kolf 1
region abdomen
-anemia peny. kronis
Extr : Sup : edema (-/-),
P/
pucat (-/-), ikterik
-cek Gene Expert
(-/-)
negatif
Inf : edema (-/-),
-feses rutin
pucat (-/-), ikterik
(-/-)

Tanggal SOAP Pemeriksaan Fisik Terapi


5/4/2017 S/ Batuk (+) Kepala: CA (+/+), SI (-/-) Diet 2100 kkal+ extra
H9 Demam turun (+)
T/H/M : candidiasis oral protein + susu cair
Makan sulit (+)
IVFD RL 30 gtt/i makro
(+)
Infus PCT/ 8 jam
O/
Leher : Pemb. KGB (-) Inj. Ceftriaxone 2gr/ 12
TD: 110/80 mmHg
N: 78 x/i Thorak: Simetris, Retraksi jam (h9)
RR: 22x/i Inj. Esomeprazole
(-), ves (+/+), rh
T: 37oC
(+/+), wh (-/-), 40mg/ 24 jam
Ass/ Azytromicin 1x500mg
Cor : Bj I > BJ II, Reg,
-sepsis e.c TB tab (h4)
- Pneumonia Bising (-) Vit B. comp 1x1
-GE Kronik Ambroxol syr 3x c1
Abd : Distensi (+),
-candidiasis oral Hydro kortison kream
-malnutrisi Nyeri seluruh Transfuse darah kolf 2
-anemia peny. kronis
region abdomen
Extr : Sup : edema (-/-), P/
pucat (-/-), ikterik -feses rutin
(-/-) (menunggu hasil)

Inf : edema (-/-),


pucat (-/-), ikterik
(-/-)
BAB III
Analisa Kasus

3.1 DEFINISI

Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis


dan varian mycobacterium lainnya seperti M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
canettii, dan M. microti. Bakteri patogen ini menyerang paru-paru dan organ tubuh lainnya.
Mycobacterium tuberculosis umumnya disebarkan melalui udara dalam bentuk droplet nuklei
yang menimbulkan respon granuloma dan inflamasi jaringan.

Tuberculosis sebenarnya dapat menyerupai penyakit paru lainnya seperti penumonia,


penyakit paru interstitial bahkan keganasan akan tetapi dengan anamnesis yang baik,
tuberculosis dapat dengan mudah di tegakkan. Pada dasarnya pasien dengan sistem imun
yang baik biasanya terserang tuberculosis hanya pada satu area saja misalnya pada paru atau
salah satu organ ekstra paru sedangkan pada pasien dengan immunokompeten, tuberculosis
dapat terjadi lebih daripada satu organ. Terlepas dari pasien dengan HIV positif, sekitar 80%
pasien dewasa menderita tuberculosis paru, 15% ekstra paru dan 5% menderita tuberculosis
paru dan ekstra paru.

3.2 ETIOLOGI

Mycobacterium tuberculosis merupakan suatu bakteri berbentuk basil non spora


berukuran 0.5-3 m. Gram netral dan bersifat tahan asam. Sifat tahan asamnya disebabkan
oleh banyaknya kandungan asam mikolik, asam lemak rantai panjang dan beberapa unsur
lemak lainnya. Asam mikolik tersebut terikat dalam struktur arabinogalactan dan
peptidoglikan yang menyebabkan permeabilitas dinding sel bakteri sangat rapat sehingga
menurunkan kerja antibiotik. Lipoarabinomannan juga merupakan suatu struktur bakteri yang
berperan dalam proses interaksi dan pertahanan diri dalam makrofag. Oleh sebab itu bakteri
ini dapat diwarnai dengan carbol fuchsin dan dipanaskan. Mycobacteriun tuberculosis
biasanya ditemukan di udara, tanah, bahkan air. Mycobacterium tuberculosis tumbuh lambat
dan berkembang biak dalam 18-24 jam. Mycobacteriun tuberculosis biasanya akan tampak
membentuk koloni dalam agar sekitar 2-5 minggu.
Mycobacterium tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya tampak serupa namun
berbeda dalam tes biokimia. Mycobacterium bovis biasanya terdapat pada susu basi dan
varian mycobacterium lainnya menyerang hewan pengerat. Biasanya varian lain lebih sering
ditemukan di Afrika.

Kultur Agar yang biasa digunakan untuk kultur M. tuberculosis dapat berupa kultur
pada atau kultur cair yang may berbasis telur seperti LwensteinJensen, BACTEC,
Middlebrook 7H10/ 7H11. Kultur M. Tuberculosis pada medium cair tergolong lebih cepat.

3.3 EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010) sekitar 8,8 juta
(antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Hal yang perlu dicermati adalah
penurunan jumlah absolut kasus TB sejak tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi
kejadian dengan angka estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di
tahun 2009 menjadi yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.

Gambar 1. Perkiraan jumlah insiden, Berdasarkan negara, tahun 2010


Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 terdapat 5.7 kasus TB paru baru setara dengan
65% angka prediksi di tahun 2011. India dan China memberikan kontribusi 40% total
penderita baru TB dan Afrika menyumbang 24% pasien baru. Secara global angka
keberhasilan terapi pada penderita baru TB dengan sputum BTA positif adalah 87% di tahun
2009 MDR-TB dideteksi mencapai 46.000 kasus. Walaupun jauh dibawah angka estimasi
yakni 290.000 kasus, MDR-TB masih menjadi tantangan besar hingga saat ini.
Survei prevalensi TB yang dilakukan di enam provinsi di Indonesia pada tahun 1983-
1993 menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia berkisar antara 0,2 0,65%.
Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TB Global yang dikeluarkan oleh WHO pada
tahun 2010, angka insiden TB di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 430.000 kasus, dan
dengan 62.000 kasus berakhir dengan kematian.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Rao et al dari Universitas Queensland berdasarkan
data epidemiologi tahun 2007-2008 menunjukkan bahwa angka kematian akibat tuberculosis
di Indonesia sangat tinggi terutama di propinsi Papua.

Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia mencapai 1.200.000


kasus atau 484 kasus per 100.000 populasi dengan angka mortalitas mencapai 91.000 kasus
atau 38 orang per 100.000 populasi. Insidensi TB mencapai 540.000 kasus atau 226 kasus per
100.000 populasi dengan 29.000 kasus TB HIV positif.

Diperkirakan telah terdapat 440.000 kasus dari Multi-drug Resistant TB (MDR-TB)


pada tahun 2008. Keempat negara yang memiliki jumlah kasus MDR-TB tertinggi adalah
China (100.000 kasus), India (99.000 kasus), Federasi Rusia (38.000 kasus), dan Afrika
Selatan (13.000 kasus). Pada Oktober 2011, 77 negara dan wilayah telah melaporkan
setidaknya terdapat satu kasus dari extensively drug-resistant TB (XDR-TB).

3.4 PATOFISOLOGI

A. Proses penularan

M. tuberculosis ditularkan melalui udara dalam bentuk aerosolisasi 3000 droplet


nukleus berukuran 5-10 m yang dapat dikeluarkan pada saat batuk, bersin bahkan saat
bercakap-cakap, terutama pada pasien dengan Tuberculosis saluran pernapasan. Droplet
tersebut mengering dengan cepat, bertahan di udara selama beberapa jam dan masuk kedalam
saluran nafas. Selain melalui udara, penularan melalui kulit dan plasenta juga dapat terjadi
walaupun sangat tidak umum.

Resiko terjangkitnya M. Tuberculosis tergantung pada jumlah M. Tuberculosis yang


masih bertahan hidup di udara. Penularan secara outdoor biasanya lebih rendah daripada
diruangan tertutup dimana pertukaran udara diluar ruangan berlangsung baik dan ekspose
trehadap sinar ultraviolet jauh lebih tinggi. Penularan juga dapat terjadi melalui alat-alat
intervensi seperti bronchoscopy atau intubasi endotracheal. Selain melalui udara, penularan
juga dapat terjadi melalui abses yang mengandung M. Tuberculosis. Faktor yang
mempengaruhi kerentanan tertularnya Mycobacterium tuberculosis adalah lamanya kontak
dengan penderita, dan derajat keparahan penyakit. Pasien dengan smear negatif cenderung
lebih aman terutama pasien dengan TB ekstra paru.

B. Proses infeksi

Dropet nukleus cukup kecil untuk masuk kedalam saluran nafas dan mampu bertahan
dari proses filtrasi di saluran nafas atas. Sekali terhirup, droplet nukleus dapat mencapai
alveoli untuk melakukan invasi dan menimbulkan infeksi. Pada sekitar 5 % pasien yang
terinfeksi, M. Tuberculosis mampu berkembang biak dalam jangka waktu mingguan hingga
bulanan dan dapat memberikan pembesaran limfonodus perihilar dan peritracheal serta dapat
memberikan gambaran pneumonia lobaris dan merangsang terjadinya reaksi serosa serta efusi
pleura.

M. tuberculosis kemudian ditelan oleh makrofag alveolar melalui proses introduksi


yang melibatkan aktivasi komplemen C3b. Liporabinomannan yang terdapat dalam dinding
M. Tuberculosis mampu menghambat peningkatan ion Ca2+ yang dapat menyebabkan
terjadinya gangguan pada jalur calmodulin yang akan menimbulkan gangguan fusi phagosom
dan lisosom sehingga tidak ada percampuran antara bakteri dengan lisosom yang
menyebabkan bakteri dapat bertahan dan berkembang biak didalam makrofag. Selain itu
faktor yang dapat mendukung pertumbuhan M. Tuberculosis didalam makrofag adalah
adanya gen protektif antara lain katG yang memproduksi enzim katalase/peroksidase yang
dapat melindungi M.tuberkulosis dari proses oksidatif, gen rpoV yang merupakan gen
induk dari beberapa protein penting M. Tuberculosis. Dua gen ini merupakan gen yang
penting dalam proses virulensi M. Tuberculosis. Selain itu gen lain seperti erp membantu
proses pembentukan protein untuk multiplikasi.

Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan sitokin seperti TNF dan IL-1 serta sitokin
lainnya untuk merangsang Monosit dan Limfosit T terutama CD4+ yang akan membentuk
IFN yang akan mengaktivasi makrofag lainnya. Proses ini dikenal sebagai Macrophage
Activating response sedangkan sel CD4+ Th2 akan memproduksi IL 4, IL 5, IL 10 dan IL 13
dan merangsang sistem imun humoral. Sel Dendritik juga berperan dalam mempresentasikan
antigen dan merangsang proses imun lebih jauh didalam limfonodus. Tahapan ini dikenal
sebagai proses Cell Mediated Immunity.Pada tahapan ini pasien dapat menunjukkan
gambaran delayed-type-hypersensitivity terhadap protein tuberkulin. Reaksi ini dapat timbul
48-96 jam setelah injeksi tuberkulin dan bertahan hingga 6 minggu namun sekitar 20 %
pasien tidak bereaksi terhadap tes tuberkulin.

Pada jaringan, Makrofag tersebut dapat membentuk sel raksasa berinti banyak dan akan
membentuk granuloma yang dikelilingi oleh limfosit dan makrofag yang teraktifasi. Pada
granuloma, pertumbuhan M. Tuberculosis dapat terhambat karena lingkungan yang rendah
oksigen dan derajat keasaman yang rendah. Ketika mengalami proses penyembuhan dapat
terbentuk fibrosis. Proses ini dikenal sebagai Tissue Damaging Reponse. Dalam jangka waktu
tahunan, granuloma dapat meluas dan membentuk kalsifikasi dan akan tampak dalam
gambaran radiologi sebagai densitas radioopaque pada lapangan paru atas, apex paru (fokus
Simon), atau limfonodus perihilar. Focus granuloma juga dapat ditemukan pada jaringan
lainnya tergantung seberapa luas penyebaran M. Tuberculosis.

Pada kasus tertentu, pada pusat lesi, material kaseosa mencair, dinding bronchial dan
pembuluh darah menjadi rusak dan terbentuklah kavitas.Pada materi caseosa yang mencair
terdapat basil M. Tuberculosis dalam jumlah besar yang dapat menyebar ke jaringan paru
lainnya dan dapat keluar saluran nafas melalui batuk dan berbicara.

Bila tidak timbul penyakit, maka telah terjadi keseimbangan antara sistem imun dan
reaksi patologis dari M. Tuberculosis. Faktor yang dapat menimbulkan terjadinya aktivasi M.
Tuberculosis adalah kekuatan sistem imun. Sekitar 10% pasien dengan imunokompeten
biasanya akan menderita tuberculosis. Pada pasien dengan infeksi laten, infeksi dapat
teraktivasi dalam jangka waktu beberapa tahun, aktivasi dapat terjadi pada hampir semua
jaringan karena M. Tuberculosis menyebar secara limfogen. Lokasi tertentu yang lebih sering
terjadi reaktivasi adalah jaringan paru.Rekativasi muncul pada fokus granuloma terutama
pada apeks paru.Fokus kaseosa yang besar dapat membentuk kavitas pada parenkim paru.

Semakin banyak jumlah basil M. Tuberculosis yang ditularkan maka semakin


infeksius.Hal ini dapat dilihat dari jumlah M. Tuberculosis pada sediaan tahan asam. M.
tuberculosis dapat dideteksi pada sputum yang mengandung sedikitnya 104 M. Tuberculosis.
Pada pasien dengan TB paru berkavitas biasanya lebih infeksius.
3.5 Klasifikasi

3.5.1 Berdasarkan letak anatomi penyakit

1. Tuberkulosis paru : Kasus TB yang mengenai parenkim paru. Tuberkulosis


milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya yang terletak dalam
paru.
2. TB ekstra paru : TB yang mengenai organ lain selain paru seperti pleura,
kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus), abdomen traktus
genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak.

3.5.2 Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)

1. Tuberkulosis paru BTA (+) :

a. sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak hasilnya BTA(+)


b. satu spesimen dahak BTA(+) dan radiologis menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif
c. satu spesimen dahak BTA (+) dan biakan (+)

2. Tuberkulosis paru BTA (-)


a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-), gambaran klinis
dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-) dan biakan M.
Tuberculosis (+)
3.5.3 Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
a. Kasus baru
Pasien belum pernah mendapat pengobatan OAT atau pernah mendapat OAT
kurang dari 1 bulan.

b. Kasus relaps atau kambuh


Pasien sebelumnya sudah mendapat pengobatan tuberkulosis kemudian
dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat karena BTA (+) atau biakan (+)

c. Kasus drop out


Pasien menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat dalam 2 bulan
berturut-turut sebelum pengobatan selesai.

d. Kasus gagal pengobatan


Pasien BTA (+) yang masih (+) atau kembali menjadi (+) lagi pada akhir bulan ke-
5 atau pada akhir pengobatan.

e. Kasus kronik
Pasien dengan BTA (+) setelai selesai pengobatan ulang dengan pengobatan
kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik

f. Kasus Bekas TB
- Hasil pemeriksaan BTA (-), biakan (-), gambaran radiologis TB tidak aktif
atau foto serial menunjukan gambaran menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung.
- Pada kasus dengan gambaran radiologis meragukan atau telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologis.
3.6 Penegakan Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,


mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional, penemuan
BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain
seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto


toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis.

3.6.1 Gejala Klinis

a) Gejala sistemik/umum

Penurunan nafsu makan dan berat badan.


Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang- kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbul.
b) Gejala khusus (respiratori)

Batuk > 2 minggu.


Batuk darah.
Sesak nafas.
Nyeri dada.

c) Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala yang di timbulkan tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
Getah bening, sementara pada pleuritis akan terlihat gejala sesak nafas dan kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

3.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara nafas


bronkial,amforik,suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak,pada auskultasi suara
napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

3.6.3 Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksaan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti


yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik
ini dapat berasa l dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:

Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)


Dahak Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam
pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus
pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya
Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml
Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak
Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di
dalam dus
Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil
Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak
Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif


1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif
bila 3 kali negatif BTA negatif

3.6.4 Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain
atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang di curigai lesi TB inaktif

Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas


Kalsifikasi atau fibrotik
Kompleks ranke .
Fibrotoraks / Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.

Berikut adalah alur diagnosa pasien TB Paru:


3.7 Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan. Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis atau biasanya disebut dengan OAT yang
dipakai dalam pengobatan TB adalah jenis antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Aktivitas obat TB ini dapat didasarkan dengan
limamekanisme, yaitu aktivitas membunuh bakteri, aktivitas sterilisasi, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah resistensi. Obat yang umumnya
dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid dan Streptomisin. Kelompok
obat ini disebut sebagai obat primer atau sebagai obat lini pertama.

Obat lain sebagai obat sekunder atau lini kedua yang juga pernah dipakai adalah
Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin
dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid dan
Kanamisin umumnya memiliki efek yang lebih toksik dibandingkan dengan obat lini kedua
lainnya.

3.7.1 OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

Obat yang dipakai:

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

Rifampisin

INH

Pirazinamid

Streptomisin

Etambutol

2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :


Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan

Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg
dan pirazinamid 400 mg

3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

Kanamisin

Kuinolon

Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat

Derivat rifampisin dan INH

3.7.2 PANDUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas

Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH

Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE

Paduan ini dianjurkan untuk

a. TB paru BTA (+), kasus baru

b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)

c. TB di luar paru kasus berat


Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan
2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:

a. TB dengan lesi luas

b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat imunosupresi /


kortikosteroid)

c. TB kasus berat (milier, dll)

TB Paru (kasus baru), BTA negatif

Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH

Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE

Paduan ini dianjurkan untuk :

a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal

b. TB di luar paru kasus ringan

TB paru kasus kambuh

Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif
selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi).
Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya,
sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji
resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program
P2TB).

TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan


4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif (seandainya H resisten, tetap
diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji
resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi

- Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal

- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

TB Paru kasus lalai berobat

Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :

- Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT dilanjutkan


sesuai jadual

- Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu

1) Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT STOP

2) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama

3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama

4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan
atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama

5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan
kembali sesuai jadual.

TB Paru kasus kronik

- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2
macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah
dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid

- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup

-Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan

- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

Pilihan obat fase awal


Pilihan obat fase lanjutan

3.8 PROGNOSIS

Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan yang
baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya muncul 1
tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah.
Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis
biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh
penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga
menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien laki-laki 35 tahun datang ke IGD RSUD Tais diantar oleh keluarganya dengan
keluhan utama batuk yang dirasakan memberat 2 minggu terakhir. Pasien sebelum nya
memiliki riwayat batuk lama yang terjadi sejak beberapa tahun yang lalu, batuk berdahak
sesekali batuk diserai darah. Batuk lama ini juga disertai dengan demam yang tidak kunjung
turun dan keringat dingin, Pasien juga mengeluhkan sesak nafas pada saat batuk sejak
beberapa minggu ini. Sesak tidak dipengaruhi suhu maupun aktivitas. Keringat malam (+),
riwayat demam(+), penurunan berat badan juga dikeluhkan pasien sejak 1 bulan terakhir.

Batuk berdarah yang terjadi pasien ini merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu
penyakit infeksi salah satu contohnya Mycobacterium tuberculosis. Volume darah yang
dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif,
tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis adalah
ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan
yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Pada kasus tuberkulosis, batuk berdarah
dapat terjadi karena rupturnya aneurisma arteri pulmoner (dinding kaviti aneurisma
Rassmussen), akibat pecahnya anastomosis bronkopulmoner atau karena proses erosif pada
arteri bronkialis.

Riwayat sering demam sebelumnya pada pasien ini disebabkan oleh karena proses
infeksi. Selain itu, gejala lain yang dirasakan oleh pasien ini adalah keringat malam. Keringat
malam bukan gejala yang patognomonis untuk penyakit tuberkulosis paru. Keringat malam
umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang dengan vasomotor
labil, keringat malam dapat timbul lebih dini. Keringat malam merupakan gejala sistemik
pada tuberculosis, disertai gejala lain seperti malaise, mudah lelah, anoreksia, sampai
penurunan berat badan.

Setelah dilakukan anamnesis, maka cukup jelas bahwa keluhan yang dikeluhkan
pasien YE ini adalah gejala khas dari TB paru. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,
pasien pernah mendapatkan OAT dan telah menjalani pengobatan lengkap, maka dicurigai
kasus TB pada pasien ini merupakan TB paru kasus kambuh dengan suspect MDR-TB.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan pada inspeksi dada simetris statis dan dinamis,
pada palpasi fremitus taktil normal, dan tidak ada nyeri tekan, pada saat perkusi didapatkan
somor diseluruh lapangan paru dan saat dilakukan auskultasi didapatkan didapatkan suara
bronkovesikuler serta ronkhi di lapangan paru kanan atas.

Pada tuberkulosis paru, tempat kelainan lesi TB yang perlu dicurigai adalah bagian
apeks paru. Bila dicurigai infiltrat yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup
dan auskultasi nafas bronkial. Akan didapatkan suara nafas tambahan berupa ronkhi basah,
kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya
menjadi vesikular melemah.

Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini adalah foto thorax. Dari
hasil foto sangat jelas terlihat gambaran infiltrat pada lapangan paru kanan disertai penebalan
hilus. Hal ini sangat khas pada kasus tb paru. Seharusnya pemeriksaan penunjang yang harus
dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan BTA sputum untuk menentunkan TB paru BTA
(-) atau BTA (+), tetapi pemeriksaan tidak dilakukan. Pemeriksaan lainnya yang menunjang
diagnosis pada pasien ini adalah pemeriksaan Gene X-pert yang merupakan uji kepekaan
untuk mengidentifikasi M. Tuberculosis dan resistensi terhadap Rifampisin. Hasil yang
diperoleh ditemukan kuman M.tuberkulosis dalam jumlah medium, dengan resistensi
terhadap rifampisin (-). Maka didapatkan kesimpulan bahwa diagnosis sementara pasien ini
adalah TB paru kasus kambuh.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang, maka diagnosa pasien berinisial YE ini ialah TB paru. Kemudian
dilihat dari pengklasifikasian TB berdasarkan tipe pasien maka pasien ini termasuk dalam TB
paru kasus kambuh.

TB paru kasus kambuh ialah penderita tuberkulosis yang sebelumnya sudah pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dengan OAT sebelumnya dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan BTA
positif atau klinis TB. Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Mycobacteria. Penularan TB biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet
nukleus yang mengandung basil TB. Hanya droplet nukleus ukuran 1-5 mikron yang dapat
melewati atau menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan
bersarang di bronkiolus maupun alveolus.

Jenis pengobatan TB lini pertama yang digunakan ialah antara lain rifampisin,
etambutol, streptomisin, pirazinamid, dan isoniazid. Sediaan terbagi menjadi 2 jenis dosis
yaitu dosis tunggal dimana obat disediakan terpisah dan kombinasi dosis tetap yaitu beberapa
jenis obat digabungkan menjadi satu jenis obat. Panduan pengobatan pada pasien TB dengan
kasus kambuh menggunakan OAT kategori II dengan regimen 2 RHZES/RHZE/5RHE.

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,


mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT. Prognosis pengobatan sangat bergantung pada beberapa faktor. Faktor
yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB antara lain peran sarana, peran
keluarga, dan peran penderita.
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanggulangan


tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: Depkes RI ;2008.hal.8-14.

2. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC; 1997. p. 598.

3. World Health Organization. WHO report on the Global tuberculosis control report.
(Online); 2011(cited 2011 November 17). Available from: URL:
http//www.whqlibdoc.who.int /publications/2011/9789241564380_eng.pdf.

4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis.Pedoman,Diagnosis dan Pedoman


Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006. Hal. 14.

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional: penanggulangan


tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: Depkes RI ; 2008.hal.8-14.

6. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi kelima Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UniversitasIndonesia, 2009; h. 2230 - 472.

7. Alsagaff Hood, Mukty Abdul. Bab 2 Infeksi: Tuberkulosis Paru. Dasar - dasar Ilmu
Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press, 2008. hal.73 -1098.

8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Jakarta: 2006.

9. Faisal, A, Penampilan Kelainan Radiologik Pada Koch Pulmonum Orang Dewasa.


Majalah Radiologi Indonesia Tahun ke - 2, No 2 : 3135. 1991.

10. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2. Jakarta : Departemen


Kesehatan RI, 2007.

11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta : Depkes RI, 2005.

Anda mungkin juga menyukai