Disusun oleh:
dr. Muammar Kadafi
Pembimbing:
dr. Wiwin Herwini
RSUD TAIS
KABUPATEN SELUMA
BENGKULU
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada TB paru, dengan prevalensi
16%76%. Pada negara berkembang seperti Indonesia, konsentrasi hemoglobin darah
didapati lebih rendah pada anak dengan TB paru dibandingkan dengan anak tanpa TB paru.
Anemia pada TB paru dapat terjadi sebagai konsekuensi dari inflamasi kronik.(2)
Anemia merupakan suatu gejala yang ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin
(Hb) dalam darah dibandingkan dengan nilai normal pada usia tertentu. Anemia didefinisikan
sebagai penurunan jumlah massa eritrosit dan atau massa hemoglobin sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
(penurunan oxygen carrying capacity). Anemia merupakan masalah medik yang paling sering
dijumpai di klinik di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat,
terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta
orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal didaerah topik.(3)
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. W
Umur : 35 tahun
Suku : Melayu
Agama : Islam
Pekerjaan : Supir
Pendidikan : SMA
No CM : 02 85 26
2. Identitas Keluarga
4. Vital Sign
a. Keadaan Umum : Tampak lemas
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 100/ 70 mmHg
Denyut jantung : 90x / menit
Frekuensi nafas : 26x / menit
Temperatur : 37.6C
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak lemas
Kesadaran : E4M6V5 (Compos Mentis)
Kulit : Keriput (-), turgor kembali cepat, sianosis (-), pucat (+), ikterus
(-),
Kepala : Normocephali
Telinga : Normotia
Ekstremitas :
Superior : Edema (-/-), pucat (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-/-), akral hangat, CRT <3
Inferior : Edema (-/-), pucat (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-/-), akral hangat, CRT <3
5. Pemeriksaan Penunjang
URINALISA
Makroskopik: WIDAL TEST
- S. Thypi O : negatif
Berat jenis : 1,015 - S. Parathypi AO : negatif
- S. Parathypi BO : 1/80
pH : 6,0 - S. Parathypi CO : negatif
- S. Thypi H : 1/80
Leukosit : negatif
- S. Parathypi AH : negatif
Protein : negatif - S. Parathypi BH : negatif
- S. Parathypi CH : negatif
Nitrit : negatif
Urobilinogen : negatif
Mikroskopik
Leukosit : 2-3 LPB
Eritrosit : 0-1 LPB
Epitel :+
5.2 Imaging
Ekspertise
1. Thoraks PA:
- Cor/aorta: normal
- Lung : tampak perselubungan pada apex paru
- Sinus pherinococostalis kanan dan kiri tajam
Conclusion : TB paru
2.6 Diagnosa
TB Paru kasus kambuh dengan BTA+
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Suportif
Rawat ruangan isolasi
Monitoring vital sign pasien
2.7.2 Medikamentosa
o Diet 2100 kkal + protein + susu cair
o IVFD RL 30 gtt/i makro
o Infus PCT /8 jam
o Inj. ceftriaxone 2gr/ 12 jam (IV)
o Inj. Esomeprazole 40mg/ 12 jam (IV)
o Inj. Streptomicin 750mg (IM)
o OAT 4 FDC: 3 tab (PO)
o Azytromicin 1x500mg tab (PO)
o Molagit 3x1 tab (PO)
o Ambroxol syr 3x cth 1
o Candistatin drops 1cc/ 8 jam
o Transfusi PRC 1 Kolf Post transfusi injeksi Ca. Gluconas 1 ampul IV bolus
pelan
2.8 Planning
-
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam
2.10 Follow up harian
(-/-)
Inf : edema (-/-),
pucat (-/-), ikterik
(-/-)
Tanggal SOAP Pemeriksaan Fisik Terapi
31/3/2017 S/ Batuk (+) Kepala: CA (+/+), SI (-/-) Diet 2100 kkal+ extra
H4 Demam (+)
T/H/M : candidiasis oral protein + susu cair
Makan sulit (+)
IVFD KDN1 20 gtt/i
(+)
O/ makro
Leher : Pemb. KGB (-)
TD: 100/70 mmHg Inj. Ceftriaxone 2gr/ 12
N: 82 x/i Thorak: Simetris, Retraksi
RR: 24x/i jam (h5)
(-), ves (+/+), rh Azytromicin 1x500mg
T: 37oC
(+/+), wh (-/-), tab (h3)
Ass/ Pct 3x 500 mg tab
Cor : Bj I > BJ II, Reg,
-kasus kambuh TB Vit B. comp 1x1
Bising (-) Diabion 1x1 tab
paru BTA+
dd/ Abd : Distensi (+), Ambroxol syr 3x c1
-MDR TB Hydro kortison kream
Nyeri seluruh
-pneumonia komunitas
-candidiasis oral region abdomen P/
-malnutrisi
Extr : Sup : edema (-/-), -cek BTA S/P/S
-anemia peny. kronis
pucat (-/-), ikterik +3/+3/+3 (31/3/17)
(-/-) -cek diftel count
Inf : edema (-/-), 0/1/4/86/7/13 (31/3/17)
pucat (-/-), ikterik
(-/-) -cek Gene Expert
-cek Urinalisa
-cek DR, SGOT/SGPT,
Ur/Cr
Tanggal SOAP Pemeriksaan Fisik Terapi
1/4/2017 S/ Batuk (+) Kepala: CA (+/+), SI (-/-) Diet 2100 kkal+ extra
H5 Demam turun (+)
T/H/M : candidiasis oral protein + susu cair
Makan sulit (+)
IVFD RL 30 gtt/i makro
(+)
Inj. Ceftriaxone 2gr/ 12
O/
Leher : Pemb. KGB (-)
TD: 110/80 mmHg jam (h6)
N: 78 x/i Thorak: Simetris, Retraksi Azytromicin 1x500mg
RR: 22x/i
(-), ves (+/+), rh tab (h4)
T: 37oC
(+/+), wh (-/-), Pct 3x 500 mg tab
Ass/ Vit B. comp 1x1
Cor : Bj I > BJ II, Reg, Diabion 1x1 tab
-kasus kambuh TB
Bising (-) Ambroxol syr 3x c1
paru BTA+ Hydro kortison kream
dd/ Abd : Distensi (+),
-MDR TB
Nyeri seluruh P/
-pneumonia komunitas
-candidiasis oral region abdomen -cek Gene Expert
-malnutrisi
Extr : Sup : edema (-/-), (menunggu hasil)
-anemia peny. kronis
pucat (-/-), ikterik
(-/-) -Urinalisa (1/4/17)
Inf : edema (-/-), Epitel +, lain2 dbn.
pucat (-/-), ikterik
(-/-) -DR (1/4/17)
Hb/leu/eri/trom:
8/6700/2,6/184.000
Sgot/sgpt: 14/22
Ur/cr: 31/1,6
3.1 DEFINISI
3.2 ETIOLOGI
Kultur Agar yang biasa digunakan untuk kultur M. tuberculosis dapat berupa kultur
pada atau kultur cair yang may berbasis telur seperti LwensteinJensen, BACTEC,
Middlebrook 7H10/ 7H11. Kultur M. Tuberculosis pada medium cair tergolong lebih cepat.
3.3 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010) sekitar 8,8 juta
(antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Hal yang perlu dicermati adalah
penurunan jumlah absolut kasus TB sejak tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi
kejadian dengan angka estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di
tahun 2009 menjadi yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Rao et al dari Universitas Queensland berdasarkan
data epidemiologi tahun 2007-2008 menunjukkan bahwa angka kematian akibat tuberculosis
di Indonesia sangat tinggi terutama di propinsi Papua.
3.4 PATOFISOLOGI
A. Proses penularan
B. Proses infeksi
Dropet nukleus cukup kecil untuk masuk kedalam saluran nafas dan mampu bertahan
dari proses filtrasi di saluran nafas atas. Sekali terhirup, droplet nukleus dapat mencapai
alveoli untuk melakukan invasi dan menimbulkan infeksi. Pada sekitar 5 % pasien yang
terinfeksi, M. Tuberculosis mampu berkembang biak dalam jangka waktu mingguan hingga
bulanan dan dapat memberikan pembesaran limfonodus perihilar dan peritracheal serta dapat
memberikan gambaran pneumonia lobaris dan merangsang terjadinya reaksi serosa serta efusi
pleura.
Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan sitokin seperti TNF dan IL-1 serta sitokin
lainnya untuk merangsang Monosit dan Limfosit T terutama CD4+ yang akan membentuk
IFN yang akan mengaktivasi makrofag lainnya. Proses ini dikenal sebagai Macrophage
Activating response sedangkan sel CD4+ Th2 akan memproduksi IL 4, IL 5, IL 10 dan IL 13
dan merangsang sistem imun humoral. Sel Dendritik juga berperan dalam mempresentasikan
antigen dan merangsang proses imun lebih jauh didalam limfonodus. Tahapan ini dikenal
sebagai proses Cell Mediated Immunity.Pada tahapan ini pasien dapat menunjukkan
gambaran delayed-type-hypersensitivity terhadap protein tuberkulin. Reaksi ini dapat timbul
48-96 jam setelah injeksi tuberkulin dan bertahan hingga 6 minggu namun sekitar 20 %
pasien tidak bereaksi terhadap tes tuberkulin.
Pada jaringan, Makrofag tersebut dapat membentuk sel raksasa berinti banyak dan akan
membentuk granuloma yang dikelilingi oleh limfosit dan makrofag yang teraktifasi. Pada
granuloma, pertumbuhan M. Tuberculosis dapat terhambat karena lingkungan yang rendah
oksigen dan derajat keasaman yang rendah. Ketika mengalami proses penyembuhan dapat
terbentuk fibrosis. Proses ini dikenal sebagai Tissue Damaging Reponse. Dalam jangka waktu
tahunan, granuloma dapat meluas dan membentuk kalsifikasi dan akan tampak dalam
gambaran radiologi sebagai densitas radioopaque pada lapangan paru atas, apex paru (fokus
Simon), atau limfonodus perihilar. Focus granuloma juga dapat ditemukan pada jaringan
lainnya tergantung seberapa luas penyebaran M. Tuberculosis.
Pada kasus tertentu, pada pusat lesi, material kaseosa mencair, dinding bronchial dan
pembuluh darah menjadi rusak dan terbentuklah kavitas.Pada materi caseosa yang mencair
terdapat basil M. Tuberculosis dalam jumlah besar yang dapat menyebar ke jaringan paru
lainnya dan dapat keluar saluran nafas melalui batuk dan berbicara.
Bila tidak timbul penyakit, maka telah terjadi keseimbangan antara sistem imun dan
reaksi patologis dari M. Tuberculosis. Faktor yang dapat menimbulkan terjadinya aktivasi M.
Tuberculosis adalah kekuatan sistem imun. Sekitar 10% pasien dengan imunokompeten
biasanya akan menderita tuberculosis. Pada pasien dengan infeksi laten, infeksi dapat
teraktivasi dalam jangka waktu beberapa tahun, aktivasi dapat terjadi pada hampir semua
jaringan karena M. Tuberculosis menyebar secara limfogen. Lokasi tertentu yang lebih sering
terjadi reaktivasi adalah jaringan paru.Rekativasi muncul pada fokus granuloma terutama
pada apeks paru.Fokus kaseosa yang besar dapat membentuk kavitas pada parenkim paru.
e. Kasus kronik
Pasien dengan BTA (+) setelai selesai pengobatan ulang dengan pengobatan
kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik
f. Kasus Bekas TB
- Hasil pemeriksaan BTA (-), biakan (-), gambaran radiologis TB tidak aktif
atau foto serial menunjukan gambaran menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung.
- Pada kasus dengan gambaran radiologis meragukan atau telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologis.
3.6 Penegakan Diagnosis
a) Gejala sistemik/umum
a. Bahan pemeriksaan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya
Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml
Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak
Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di
dalam dus
Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil
Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak
Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain
atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang di curigai lesi TB inaktif
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan. Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis atau biasanya disebut dengan OAT yang
dipakai dalam pengobatan TB adalah jenis antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Aktivitas obat TB ini dapat didasarkan dengan
limamekanisme, yaitu aktivitas membunuh bakteri, aktivitas sterilisasi, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah resistensi. Obat yang umumnya
dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid dan Streptomisin. Kelompok
obat ini disebut sebagai obat primer atau sebagai obat lini pertama.
Obat lain sebagai obat sekunder atau lini kedua yang juga pernah dipakai adalah
Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin
dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid dan
Kanamisin umumnya memiliki efek yang lebih toksik dibandingkan dengan obat lini kedua
lainnya.
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg
dan pirazinamid 400 mg
Kanamisin
Kuinolon
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif
selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi).
Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya,
sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji
resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program
P2TB).
- Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
1) Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT STOP
2) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama
4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan
atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan
kembali sesuai jadual.
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2
macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah
dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid
3.8 PROGNOSIS
Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan yang
baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya muncul 1
tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah.
Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis
biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh
penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga
menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien laki-laki 35 tahun datang ke IGD RSUD Tais diantar oleh keluarganya dengan
keluhan utama batuk yang dirasakan memberat 2 minggu terakhir. Pasien sebelum nya
memiliki riwayat batuk lama yang terjadi sejak beberapa tahun yang lalu, batuk berdahak
sesekali batuk diserai darah. Batuk lama ini juga disertai dengan demam yang tidak kunjung
turun dan keringat dingin, Pasien juga mengeluhkan sesak nafas pada saat batuk sejak
beberapa minggu ini. Sesak tidak dipengaruhi suhu maupun aktivitas. Keringat malam (+),
riwayat demam(+), penurunan berat badan juga dikeluhkan pasien sejak 1 bulan terakhir.
Batuk berdarah yang terjadi pasien ini merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu
penyakit infeksi salah satu contohnya Mycobacterium tuberculosis. Volume darah yang
dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif,
tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis adalah
ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan
yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Pada kasus tuberkulosis, batuk berdarah
dapat terjadi karena rupturnya aneurisma arteri pulmoner (dinding kaviti aneurisma
Rassmussen), akibat pecahnya anastomosis bronkopulmoner atau karena proses erosif pada
arteri bronkialis.
Riwayat sering demam sebelumnya pada pasien ini disebabkan oleh karena proses
infeksi. Selain itu, gejala lain yang dirasakan oleh pasien ini adalah keringat malam. Keringat
malam bukan gejala yang patognomonis untuk penyakit tuberkulosis paru. Keringat malam
umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang dengan vasomotor
labil, keringat malam dapat timbul lebih dini. Keringat malam merupakan gejala sistemik
pada tuberculosis, disertai gejala lain seperti malaise, mudah lelah, anoreksia, sampai
penurunan berat badan.
Setelah dilakukan anamnesis, maka cukup jelas bahwa keluhan yang dikeluhkan
pasien YE ini adalah gejala khas dari TB paru. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,
pasien pernah mendapatkan OAT dan telah menjalani pengobatan lengkap, maka dicurigai
kasus TB pada pasien ini merupakan TB paru kasus kambuh dengan suspect MDR-TB.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan pada inspeksi dada simetris statis dan dinamis,
pada palpasi fremitus taktil normal, dan tidak ada nyeri tekan, pada saat perkusi didapatkan
somor diseluruh lapangan paru dan saat dilakukan auskultasi didapatkan didapatkan suara
bronkovesikuler serta ronkhi di lapangan paru kanan atas.
Pada tuberkulosis paru, tempat kelainan lesi TB yang perlu dicurigai adalah bagian
apeks paru. Bila dicurigai infiltrat yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup
dan auskultasi nafas bronkial. Akan didapatkan suara nafas tambahan berupa ronkhi basah,
kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya
menjadi vesikular melemah.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini adalah foto thorax. Dari
hasil foto sangat jelas terlihat gambaran infiltrat pada lapangan paru kanan disertai penebalan
hilus. Hal ini sangat khas pada kasus tb paru. Seharusnya pemeriksaan penunjang yang harus
dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan BTA sputum untuk menentunkan TB paru BTA
(-) atau BTA (+), tetapi pemeriksaan tidak dilakukan. Pemeriksaan lainnya yang menunjang
diagnosis pada pasien ini adalah pemeriksaan Gene X-pert yang merupakan uji kepekaan
untuk mengidentifikasi M. Tuberculosis dan resistensi terhadap Rifampisin. Hasil yang
diperoleh ditemukan kuman M.tuberkulosis dalam jumlah medium, dengan resistensi
terhadap rifampisin (-). Maka didapatkan kesimpulan bahwa diagnosis sementara pasien ini
adalah TB paru kasus kambuh.
BAB V
KESIMPULAN
TB paru kasus kambuh ialah penderita tuberkulosis yang sebelumnya sudah pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dengan OAT sebelumnya dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan BTA
positif atau klinis TB. Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Mycobacteria. Penularan TB biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet
nukleus yang mengandung basil TB. Hanya droplet nukleus ukuran 1-5 mikron yang dapat
melewati atau menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan
bersarang di bronkiolus maupun alveolus.
Jenis pengobatan TB lini pertama yang digunakan ialah antara lain rifampisin,
etambutol, streptomisin, pirazinamid, dan isoniazid. Sediaan terbagi menjadi 2 jenis dosis
yaitu dosis tunggal dimana obat disediakan terpisah dan kombinasi dosis tetap yaitu beberapa
jenis obat digabungkan menjadi satu jenis obat. Panduan pengobatan pada pasien TB dengan
kasus kambuh menggunakan OAT kategori II dengan regimen 2 RHZES/RHZE/5RHE.
2. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC; 1997. p. 598.
3. World Health Organization. WHO report on the Global tuberculosis control report.
(Online); 2011(cited 2011 November 17). Available from: URL:
http//www.whqlibdoc.who.int /publications/2011/9789241564380_eng.pdf.
6. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi kelima Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UniversitasIndonesia, 2009; h. 2230 - 472.
7. Alsagaff Hood, Mukty Abdul. Bab 2 Infeksi: Tuberkulosis Paru. Dasar - dasar Ilmu
Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press, 2008. hal.73 -1098.