Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN STRUMA NODOSA NON

TOXIC

OLEH
DARMA RIYANI, S.Kep
70900115007

CI LAHAN CI
INSTITUSI

( ) (
)

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2016

BAB I

KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi

Pembesaran pada kelenjar tiroid biasa disebut sebagai struma nodosa atau

struma. Pembesaran pada tiroid yang disebabkan akibat adanya nodul, disebut

struma nodosa (Tonacchera, Pinchera & Vitty, 2009). Biasanya dianggap

membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran ini dapat

terjadi pada kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon

tiroid (hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon (hipertiroidisme) (Black

and Hawks, 2009).

Menurut Penelitian Framingham, setiap orang berisiko 5-10% untuk

menderita struma nodosa dan perempuan berisiko 4 kali lipat dibanding laki-laki

(Incidence and Prevalence Data, 2012). Kebutuhan hormon tiroid meningkat pada

masa pertumbuhan, masa kehamilan dan menyusui. Pada umumnya struma nodosa

banyak terjadi pada remaja, wanita hamil dan ibu menyusui. Struma nodosa

terdapat dua jenis, toxic dan non toxic. Struma nodusa non toxic merupakan struma

nodusa tanpa disertai tanda- tanda hipertiroidisme (Hermus& Huysmans, 2004).

Pada penyakit struma nodusa non toxic tiroid membesar dengan lambat.

Struma nodosa toxic ialah keadaan dimana kelenjar tiroid yang mengandung nodul
tiroid yang mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan

hipertiroid. Dampak struma nodosa terhadap tubuh dapat mempengaruhi

kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid

terdapat trakea dan esophagus. Struma nodosa dapat mengarah ke dalam sehingga

mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas

dan disfagia (Rehman, dkk 2006). Hal tersebut akan berdampak terhadap

gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran

keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak,

jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia

B. Etiologi

Penyebab utama struma nodosa ialah karena kekurangan yodium (Black and

Hawks, 2009). Defisiensi yodium dapat menghambat pembentukan hormon tiroid

oleh kelenjar. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam

jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan

tiroglobulin dalam jumlah yang besar ke dalam folikel, dan kelenjar menjadi

bertambah besar. Penyebab lainnya karena adanya cacat genetik yang merusak

metabolisme yodium, konsumsi goitrogen yang tinggi (yang terdapat pada obat,
agen lingkungan, makanan, sayuran), kerusakan hormon kelenjar tiroid, gangguan

hormonal dan riwayat radiasi pada kepala dan leher (Rehman dkk, 2006).

Hal yang mendasari pertumbuhan nodul pada struma nodosa non toxic

adalah respon dari sel-sel folikular tiroid yang heterogen dalam satu kelenjar tiroid

pada tiap individu. Dalam satu kelenjar tiroid yang normal, sensitivitas sel-sel

dalam folikel yang sama terhadap stimulus TSH dan faktor perumbuhan lain (IGF

dan EGF) sangat bervariasi. Terdapat sel-sel autonom yang dapat bereplikasi tanpa

stimulasi TSH dan sel-sel sangat sensitif TSH yang lebih cepat bereplikasi. Selsel

akan bereplikasi menghasilkan sel dengan sifat yang sama. Sel-sel folikel dengan

daya replikasi yang tinggi ini tidak tersebar merata dalam satu kelenjar tiroid

sehingga akan tumbuh nodul-nodul.

C. Patofisiologi

Yodium merupakan bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan

hormon tiroid. Bahan yang mengandung yodium diserap usus, masuk kedalam

sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar,

yodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimulasikan oleh Tiroid

Stimulating Hormon (TSH) kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang

terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin

membentuk tiroksin (T4) dan molekul triiodotironin (T3). Tiroksin (T4)

menunjukan pengaturan umpan balik negatif dari seksesi TSH dan bekerja

langsung pada tirotropihypofisis, sedangkan T3 merupakan hormon metabolik yang

tidak aktif. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan

pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid

dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.


Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan

metabolisme tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui

rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar

hipofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Biasanya tiroid

mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat

dewasa. Karena pertumbuhannya berangsurangsur struma dapat menjadi besar

tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma

nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma

nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol kebagian depan, sebagian

lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral.

D. Tanda dan gejala

Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat.

Awalnya kelenjar membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup

besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada

respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Klien

tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Benjolan

dileher, peningkatan metabolisme karena klien hiperaktif dengan meningkatnya

denyut nadi. Peningkatan simpatis seperti : jantung menjadi berdebar-debar,

gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar, dan kelelahan

Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal:

1. Jumlah nodul, satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel)

2. Konsistensi, lunak, kistik, keras, atau sangat keras

3. Nyeri pada penekanan ada atau tidak ada

4. Perlekatan dengan sekitarnyya, ada atau tidak ada


5. Pembesaran kelenjar getah bening disekitar tiroid, ada atau tidak ada

E. Pemeriksaan diagnostik/penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk struma nodosa antara lain (Tonacchera, dkk,

2009):

1. Pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan tes fungsi hormon : T4 atau T3, dan TSH.

2. Pemeriksaan radiologi.

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau

pembesaran struma yang pada umumnya secara klinis sudah bias

diduga, foto rontgen pada leher lateral diperlukan untuk evaluasi

kondisi jalan nafas.

Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Manfaat USG dalam pemeriksaan

tiroid:

- Untuk menentukan jumlah nodul.

- Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik.

- Dapat mengukur volume dari nodul tiroid.

- Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak

menangkap yodium, dan tidak terlihat dengan sidik tiroid. Untuk

mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan

dilakukan biopsi terarah.

- Pemeriksaan sidik tiroid. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah

tentang ukuran, bentuk, lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-

bagian tiroid.
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy). Biopsi ini

dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.

F. Komplikasi

1. Gangguan menelan atau bernafas

2. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung

kongestif ( jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh)

3. Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga tulang

menjadi rapuh, keropos dan mudah patah

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan struma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Penatalaksanaan konservatif

a. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid.

Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini

diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH.

Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon

tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang

terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid

(tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan

metimasol/karbimasol..

b. Terapi Yodium Radioaktif .

Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada

Kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang

tidak mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat

mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut


berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran

terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko

kanker, leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif diberikan

dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit,

obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum

pemberian obat tiroksin.

2. Penatalaksanaan operatif

a. Tiroidektomi

Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat kelenjar tiroid

adalah tiroidektomi, meliputi subtotal ataupun total. Tiroidektomi subtotal

akan menyisakan jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar tiroid, sedangkan

tiroidektomi total, yaitu pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus

(Sudoyo, A., dkk., 2009). Tiroidektomi merupakan prosedur bedah yang

relative aman dengan morbiditas kurang dari 5 %. Menurut Lang (2010),

terdapat 6 jenis tiroidektomi, yaitu :

-. Lobektomi tiroid parsial, yaitu pengangkatan bagian atas atau bawah satu

lobus

- Lobektomi tiroid, yaitu pengangkatan seluruh lobus

- Lobektomi tiroid dengan isthmusectomy, yaitu pengangkatan satu lobus dan

istmus

- Subtotal tiroidektomi, yaitu pengangkatan satu lobus, istmus dan sebagian

besar lobus lainnya.

- Total tiroidektomi, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar.


- Tiroidektomi total radikal, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar dan kelenjar

limfatik servikal.
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, penulis menggunakan pedoman

asuhan keperawatan sebagai dasar pemecahan masalah pasien secara ilmiah dan

sistematis yang meliputi tahap pengkajian, perencanaan keperawatan, tindakan

keperawatan dan evaluasi keperawatan.

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam proses keperawatan

secara keseluruhan guna mendapat data atau informasi yang dibutuhkan untuk

menentukan masalah kesehatan yang dihadapi pasien melalui wawancara,

observasi, dan pemeriksaan fisik meliputi :

a. Aktivitas/istirahat

Data subyektif : insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan

berat.

Data obyektif : atrofi otot.

b. Eliminasi

data subyektif : urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces,

diare.

c. Integritas ego

Data subyektif : mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik.
Data obyektif : emosi labil, depresi.

d. Makanan/cairan

Data subyektif : kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan

meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah.

Data obyektif : pembesaran tyroid, goiter.

e. Rasa nyeri/kenyamanan

Data subyektif : nyeri orbital, fotofobia.

f. Pernafasan

Data subyektif : frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema

paru (pada krisis tirotoksikosis).

g. Keamanan

Data subyektif : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan,

alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan).

Data obyektif : suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus,

hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus :

retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering

terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.

h. Seksualitas

Data subyktif : libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali,

impotensi.

Setelah kseluruhan data terkumpul, selanjutnya dikelompokkan menjadi

dua kelompok yaitu :

a. Data subyektif
Data subyektif mencakup gangguan koordinasi insomnia, perubahan

pola eliminasi, kemampuan untuk menangani tekanan-tekanan (stress),

penurunan berat badan, nafsu makan meningkat, nyeri orbital,

frekuensi pernafasan meningkat, daya penyesuaian terhadap panas dan

dingin, libido menurun.

b. Data obyektif

Hal ini ditandai dengan adanya atropi otot, emosi labil, depresi,

pembesaran tiroid, goiter, peningkatan suhu di atas 37,40 C,

diaphoresis, sifat dan ciri-ciri tubuh, keadaan rambut termasuk

kualitasnya serta keadaan mata.

B. Diagnose keperawatan

1. Nyeri akut

2. Intoleransi Aktivitas

3. Risiko Infeksi

4.

C. Intervensi Keperawatan

1. Nyeri akut

Batasan Karakteristik

Subjektif

Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan (nyeri) dengan isyarat

Objektif

a. Posisi untuk menghindari nyeri

b. Perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas, tidak bertenaga sampai

kaku
c. Perubahan selera makan

d. Perilaku ekspresif (misalnya gelisah, merintih, menangis, peka terhadap

rangsang, dan menghela napas panjang)

e. Wajah topeng (nyeri)

f. Perilaku menjaga atau sikap melindungi

g. Bukti nyeri yang dapat diamati

h. Berfokus pada diri sendiri

i. Gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur, atau tidak

menentu dan menyeringai)

Tujuan dan Kriteria Hasil NOC

a. Memperlihatkan Pengendalian Nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai

berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering atau

selalu ):

1) Mengenali awitan nyeri

2) Menggunakan tindakan pencegahan

3) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan

b. Melaporkan Tingkat Nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut

(sebutkan 1-5: sangat berat, berat, sedang, ringan atau tidak ada):

1) Ekspresi nyeri pada wajah

2) Gelisah atau ketegangan otot

3) Durasi episode nyeri

4) Merintih dan menangis

5) Gelisah
SKALA NYERI

Nilai Skala Nyeri

0 Tidak nyeri

1 Seperti gatal, tersetrum / nyut-nyut

2 Seperti melilit atau terpukul

3 Seperti perih

4 Seperti keram

5 Seperti tertekan atau tergesek

6 Seperti terbakar atau ditusuk-tusuk

79 Sangat nyeri tetapi dapat dikontrol oleh klien

dengan aktivitas yang biasa dilakukan.

10 Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol oleh klien.

Keterangan : 13 (Nyeri ringan)

46 (Nyeri sedang)

79 (Nyeri berat)

10 (Sangat nyeri)

Intervensi NIC

a. Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala 0-10

b. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri

dan respon pasien

c. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, imajinasi tebimbing, terapi musik,

terapi bermain, distraksi, kompres hangat atau dingin sebelum, setelah, dan

jika memungkinkan , selama aktivitas yang menimbulkan nyeri, sebelum


nyeri terjadi atau meningkat, dan bersama penggunaan tindakan peredaan

nyeri yang lain.

d. Lakukan perubahan posisi, massase punggung dan relaksasi

e. Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang menyangkut aktivitas

keperawatan

f. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa

tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui TV, radion, dan

interaksi dengan pengunjung

g. Kolaborasi pemberian analgesik sesuai program terapi

2. Intoleransi aktivitas

a. Defenisi

Ketidakcukupan energi fisiologis atau psikologis untuk melanjutkan atau

menyedlesaikan aktivitas sehari-hari yang ingin atau harus dilakukan.

b. Batasan Karakteristik

Subjektif:

a. Ketidaknyamanan atau dispnea saat beraktivitas

b. Melaporkan keletihan secara verbal atau kelemahan secara verbal

Objektif:

1) Frekuensi jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai respons

terhadap aktivitas

2) Perubahan ekg yang menunjukkan aritmia atau iskemia

c. Faktor yang Berhubungan

1) Tirah baring dan imobilitas

2) Kelemahan umum
3) Ketidakseimbangan antara suplai dan kebututhan oksigen

4) Gaya hidup kurang gerak

d. Hasil NOC:

1) Toleransi aktivitas

2) Ketahanan

3) Penghematan energi

4) Kebugaran fisik

5) Energi psikomotorik

6) Perawatan diri: Aktivitas Hidup Sehari-hari ( AKS)

7) Perawatan diri: Aktivitas Hidup Sehari-hari Instrumental (AKSI)

e. Tujuan/Kriteria Evaluasi NOC:

1) Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan yang dibuktikan oleh

toleransi aktivitas, ketahanan, penghematan energi, kebugaran fisik,

energi psikomotorik, dan perawatan diri.

2) Menunjukkan toleransi yang dibuktikan oleh indikator: (sebutkan 1-5:

gangguan ekstrim, berat, sedang, ringan, tidak ada gangguan):

Saturasi O2 saat beraktivitas

Frekuensi pernapasan saat beraktivitas

Kemampuan untuk berbicara saat beraktivitas fisik

3) Mendemostrasikan penghematan energi yang dibuktikan oleh

indikator: (sebutkan 1-5: gangguan ekstrim, berat, sedang, ringan,

tidak ada gangguan):

Menyadari keterbatasan energi

Menyeimbangkan aktivitas dan istirahat


Mengatur jadwal aktivitas untuk menghemat energi.

f. Intervensi NIC:

1) Terapi aktivitas

2) Manajemen energi

3) Manajemen lingkungan

4) Terapi latihan fisik: mobilitas sendi

5) Terapi latihan fisik: pengendalian otot

6) Promosi latihan fisik: latihan kekuatan

7) Bantuan pemeliharaan rumah

8) Manajemen alam perasaan

9) Bantuan perawatan diri

g. Aktivitas Keperawatan:

Pengkajian:

1) Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur,

berdiri, ambulasi, dan melakukan AKS dan AKSI

2) Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas

3) Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas

4) Manajemen Energi NIC:

i. Tentukan penyebaba kelelahan

ii. Pantau respons kardiorespiratori terhadap aktivitas (misalnya

takikardi, disritmia, dispnea, diaforesis, dan pucat.

iii. Pantau respons oksigen pasien (mis: denyut nadi, irama jantung,

dan frekuensi pernapasan) terhadap aktivitas perawatan diri atau

aktivitas keperawatan
iv. Pantauasupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi yang

adekuat

v. pantau dan dokumentasikan pola tidur dan lamanya waktu tidur

dalam jam

Penyuluhan untuk Paisen/Keluarga:

1) Penggunaan teknik napas terkontrlo selama ktivitas, jika perlu

2) Mengenali tanda dan gejala intoleransi aktivitas

3) Pentingnya nutrisi yang baik

4) Penggunaan teknik relaksasi selama aktivitas

5) Instruksikan untuk menghemat energi (mis: menyimpan benda yang sering

digunakan di tempat yang mudah dijangkau)

6) Manajemen energi (NIC):

Ajarkan pada klien dan keluarga teknik perawatan diri yang akan

meminimalkan konsumsi o2

Ajarkan pengaturan aktivitas dan teknik manajemen waktu untuk

mencegah kelelahan

Aktivitas Kolaboratif:

1) berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas jika nyeri merupakan

salah stu faktor penyebab

2) rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna meningkatkan

asupan makanan yang kaya energi

3) rujuk pasien ke pusat rehabilitasi jantung jika keletihan berhubungan

dengan penyakit jantung.

Aktivitas Lain:
1) Pantau TTV sebelum, selama, dan setelah aktivitas; hentikan aktivitas

jika TTV tidak dalam rentang normal

2) Identifikasi aktivitas atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang

dapat menyebabkan intoleransi aktivitas

3) Bantu klien mengubah posisi secara berkala, bersandar, duduk, dan

ambuasi sesuai toleran

3. Risiko Infeksi

Faktor Risiko

a. Penyakit kronis

b. Penekanan sistem imun

c. Ketidakadekuatan imunitas dapatan

d. Pertahanan primer tidak adekuat (mis. Kulit luka, trauma jaringan, statis

cairan tubuh, perubahan pH sekresi)

e. Pertahanan lapis kedua yang tidka emadai (mis.Hb menurun, leukopenia,

dan supresi respon inflamation)

f. Peningkatan pemajanan lingkunganterhadap patogen

g. Pengetahuan kurang untuk emnghindari pajanan patogen

h. Prosedur invasif

i. Malnutrisi

j. Agens farmasi (mis. Obat imunosupresi)

k. Kerusakan jaringan

l. Trauma

Saran Penggunaan:
Jangan selalu menggunakan diagnosis ini pada pasien insisi pembedahan.

Untuk populasi bedah umumnya, mempertahankan standar perawatan rutin

tepat mencegah infeksi insisi. Jangan pula selalu emnggunakan Risiko infeksi

pada pasien yang terpasang kateter menetap. Gunakan teknik antiseptik.

Pada kenyataannya, setiap orang berisiko terkena infeksi. Oleh sebab itu,

gunakan diagnosis ini hanya pada pasien yang mempunyai risiko infeksi lebih

tinggi dari risiko lazim. Sebagai contoh, pada pasien kurang gizi atau

gangguan sistem imun. Untuk pasien yang mengidap infeksi aktual, gunakan

permasalahan kolaboratif (misalnya, potensi kompliasi: sepsis).

Tujuan/Kriteria Hasil NOC

a. Faktor risiko infeksi akan hilang yang dibuktikan oleh pengendalian risiko

komunitas: penyakit menular; stataus imun; keparahan infeksi;

penyembuhan luka primer dan sekunder

b. Terbebas dari tanda dan gejala infeksi

c. Melaporkan tanda atau gejala infeksi serta mengikuti prosedur skrining

dan pemantauan

d. Memperlihatkan hygiene personal yang adekuat

Intervensi NIC

a. Pantau tanda dan gejala infeksi (mis. Suhu tubuh, denyut jantung,

drainase, penampilan luka, suhu kulit, lesi kulit, keletihan dan malaise)

b. Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi

(malnutrisi,luluh imun, usia lanjut, usia kurang dari 1 tahun)

c. Pantau hasil laboratorium (hitung darah lengkap, granulosit, protein

serum, dan albumin)


d. Amati penampilan praktik higiene personal untuk perlindungan terhadap

infeksi

e. Instruksikan untuk menjanga higiene persoanl untuk melindungi tubuh

terhadap infeksi

f. Ajarkan pada pasien teknik mencuci tangan yang benar dan

pengunjungsewaktu masuk dan meninggalkan ruang pasien

4. Risiko Perdarahan

Tujuan setelah 3 x 24 jam pemberian asuhan keperawatan cedera post

operasi tiroidektomi tidak terjadi.

Kriteria evaluasi :

Klien tidak menunjukkan tanda-tanda kegawatan tiroid seperti parastesia

dan hipermetabolisme.

Klien terbebas dari cedera akibat keterbatasan fisik dan efek anestesi.

Klien melakukan aktivitas tanpa menimbulkan cedera.

TTV dalam batas normal.

Rencana intervensi :

Mandiri

1. Monitor tanda-tanda vital post operasi.

R/ Tanda-tanda vital memberikan informasi mengenai perubahan kondisi

klien pasca tiroidektomi.

2. Pantau tingkat kesadaran klien

R/ Efek anestesi dan kondisi fisik mempengaruhi tingkat kesadaran.


3. Pantau terhadap tanda-tanda hipokalsemia seperti kebas, kedutan,

kesemutan

pada wajah dan ekstremitas dengan pemeriksaan Trousseaus dan Chvosteks

signs.

R/ Kebas dan kesemutan menunjukkan tanda dari kondisi hipokalsemia

pasca

pembedahan tiroid.

4. Pantau tanda-tada hipermetabolisme seperti keringat berlebih dan jantung

berdebar.

R/ Hipermetabolisme seperti keringat berlebih dan jantung berdebar akibat

manipulasi kelenjar selama tiroidektomi.

5. Instruksikan kepada keluarga untuk memeriksakan kondisi kulit setiaphari

terhadap kerusakan integritas kulit.

R/ Perubahan sensori persepsi beresiko meningkatkan kerusakan integritas

kulit.

6. Berikan lingkungan yang aman pada klien, pasang handrail, jauhkan dari

benda-benda berbahaya.

R/ Mencegah resiko jatuh dan cedera pada klien.

Kolaborasi

7. Pemeriksaan kalsium 24 jam post op.

R/ Untuk mengetahui apakah klien membutuhkan terapi pengganti.

Anda mungkin juga menyukai