Anda di halaman 1dari 28

PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT

IBN JAMAAH
Oleh:
LULUK SUSANTI (16771021)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A. Pendahuluan
Etika dalam Tradisi Intelektual Islam, di tempatkan pada posisi yang sangat
tinggi, sehingga tidak jarang di temukan pernyataan yang menggandengkan ilmu
dan etika seolah-olah dua sisi dari sebuah koin; kebermaknaan yang satu
tergantung pada yang lainnya. Manusia hidup di dunia ini sebagai makhluk sosial
perlu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, maka etikalah yang
mempunyai kedudukan terpenting dalam menjaga hubungan tersebut agar terarah
ke hal-hal yang positif. Dan etika merupakan kebutuhan esensial, tanpa etika
mustahil seseorang atau sekelompok manusia dapat hidup dengan baik.
Pendidikan merupakan tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga
tercapai kedewasaan jasmani dan ruhani, dalam interaksi dengan alam dan
lingkungan masyarakatnya. Pendidikan merupakan proses yang terus menerus,
tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia
sangat diutamakan karena ia mrenjadi subjek dari pendidikan tersebut. Karena
manusia menjadi subjek dalam pendidikan maka ia dituntut oleh suatu tanggung
1
jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Oleh karena manusia
sebagai pelajar dalam kegiatan pendidikan dibebani suatu tanggung jawab yang
berat demi tercapainya tujuan pendidikan, maka manusia (pelajar) harus memiliki
etika-etika yang baik yang dapat menunjang keberhasilan belajarnya.

1
Suwito, Pendidikan yang Memberdayakan, dalam pidato pengukuhan Beliau sebagai guru besar
sejarah pemikiran dan pendidikan Islam,( Jakarta, : UIN Syarif Hidayatullah, 2002). h. 23.
1
Tulisan ini berupaya memahami Konsep pendidikan islam dalam pemikiran
Ibn Jamaah berdasarkan pemahaman penulis terhadap karya Beliau yang
berjudul Tadzkirah al-Smi wa al-Mutakallim f Adab al-lim wa al- Mutaallim,
tentang etika pelajar. Dalam pada itu, Ibn Jamaah menempatkan orang-orang
yang berilmu pada posisi tinggi melebihi orang yang ahli ibadah, karena orang-
orang yang berilmu adalah pewaris para Nabi.
B. Riwayat Hidup Ibn Jamaah
Nama lengkap Ibn Jamaah adalah Badruddin Muhammad Ibn Ibrahim Ibn
Saadullah Ibn Jamaah Ibn Hazim Ibn Shakhr Ibn Abdullah al-Kinaniy al-
Hamwa al-Syafiiy. Beliau dilahirkan pada malam Sabtu, 4 Rabiul Akhir 639
H. bertepatan dengan bulan Oktober l24l M. di Hamwa Mesir. dan wafat
pada malam Senin 2l Jumadil Ula 733H/l333 M. dalam usia 64 tahun, satu
bulan dan satu hari. Beliau setelah dishalatkan di masjid Jami al-Nashiriy Mesir
kemudian dimakamkan di Qirafah Mesir.
Ibn Jamaah termasuk salah satu dari beberapa pemikir Muslim termasyhur
di Mesir pada masa itu. Ibn Jamaah hidup pada masa akhir pemerintahan dinasti
2
Ayyubiyah dan pada masa dinasti Mamalik Bahriyah. Dua dinasti ini
merupakan dinasti yang berkuasa di Mesir. Bila dilihat perjalanan sejarah,
Mesir adalah negara yang selamat dari serangan Mongol maupun Timur Lenk.
Oleh karena negeri ini terhindar dari kehancuran, maka perkembangan
peradabannya masih terus berlangsung, termasuk dalam dunia ilmu pengetahuan
banyak berkembang dan melahirkan ilmuwan-ilmuwan terkenal pada masa itu.
Tercatat nama-nama besar seperti; al-Razi, Ibn Taimiyah, ibn Khaldun, al-
3
Sayuthi, al-Asqalani, dan tokoh-tokoh lainnya.

2
Abd al-Jawad Khalaf, al-Qadli Badruddin Ibn Jamaah, 94. Mamalik Bahriyah adalah dinasti
Mamalik periode I, yang dimulai sejak masa pemerintahan Aybak yaitu sejak berdirinya dinasti ini
(l250M.) dan brakhir pada pemerintahan Hajji II (l389M.). Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, l995), l26.
3
Abd al-Jawad Khalaf, al-Qadli Badruddin Ibn Jamaah Hayatuhu Wa Atsaruhu, (Pakistan: Jamiah
al-Dirasah al-Islamiyyah,l988), h.32.
Ibn Jamaah hidup di negeri yang memiliki kondisi sosial dan politik
yang cukup baik dan stabil serta didukung penguasa yang sangat
memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan. Dukungan tersebut
diwujudkan dengan pendirian madrasah-madrasah di berbagai tempat yang
nantinya menjadi pusat kegiatan belajar-mengajar ulama terkemuka pada masa
itu dengan mengajarkan berbagai disiplin ilmu. Alasan lainnya adalah karena
Ibn Jamaah dibesarkan dalam keluarga yang sangat mencintai ilmu, faqih, dan
zuhud, maka beliau tumbuh dan besar menjadi tokoh dan ilmuwan yang sangat
berpengaruh pada masa itu.
Ibn Jamaah memperoleh pendidikan awal dari ayahnya sendiri, Ibrahim
Sadullah, yang dikenal sebagai ulama besar, ahli fiqh dan juga seorang sufi.
Selain itu ibn Jamaah juga memperoleh pendidikan dari sejumlah ulama
terkenal. Ibn Jamaah mulai belajar Hadis pada tahun 650 H. dari gurunya
yang bernama Ibn Izzun dan guru-guru lainnya di Hamwa. Kemudian beliau
belajar ke Damaskus untuk belajar ilmu-ilmu lainnya kepada beberapa ulama di
antaranya Ibn Abi al-Yasar, Ibn Abdillah, Ibn Azraq, al-Najib, Ibn Ilaq, al-
Muin al-Dimasqi, dan lain- lain. Beliau juga menuntut ilmu ke Mesir, dan
sebagian besar ilmunya dipelajari dari Taqiyyuddin Ibn Ruzain yang terkenal
sebagai Qadli.
Selanjutnya beliau juga belajar Nahwu kepada Jamaluddin Ibn Malik, al-
Rasyid, al-Athar, Ibn Abi Umar, al-Taj al-Qasthalaniy, al- Majid Ibn al-Daqiq,
al-Id, al-Bushiriy, Ibn abi Salamah, Makiy ibn Ilan, ismail al-Iraqi, dan
masih banyak lagi guru-guru lainnya. Ibn Jamaah terkenal sebagai hakim yang
adil, pendidik, khatib, dan juga sebagai mufti. Beliau juga mempunyai banyak
karya tulis dalam bidang Tafsir, Hadis, Fiqh, ilmu kalam, Nahwu, Adab, dan
bidang pendidikan, serta bidang-bidang lainnya.
Adapun nama-nama kitab karya tulis beliau tersebut antara lain: al-Tibyan
Fi Mubhamat al-Quran, Ghurur al-Tibyan Fi Man lan Yusamma Fi al-Quran,
Kasyf al-Maaniy an Mutasyabih Min al- Matsaniy, al-Fawaid al-Laihah Min
Surah al-Fathihah, al-Munhil al- Rawi fi Mukhtashar Ulum al-Hadis al-
Nabawiy, al-Masalik Fi Ilm al- Manasik, al-Thaah Fi Fadlilah Sholatul
Jamaah, al-Mukhtashar al- Kabir Fi al- Sirah, Tadzkirah al-Sami Wa al-
Mutakallim Fi Adabi al- Alim Wa al-Mutaallim, dan masih banyak lagi karya
tulis beliau lainnya. Di samping itu Ibn Jamaah juga disibukkan dengan
kegiatan mengajar di beberapa madrasah, dintaranya mengajar di madrasah
Qimriyyah, Kamiliyyah, al-Nashiriyyah, Jami Ibn Thulun, al-Adiliyyah, al-
Shalihiyyah, al-Zawiyah al-Mansubah Li-al-Syafii, dan madrasah- madrasah
lainnya.
Adapun kitab Tadzkirah al-Sami Wa al-Mutakallim Fi Adabi al- Alim Wa
al-Mutaallim adalah salah satu karya tulis Ibn Jamaah yang membahas tentang
keutamaan ilmu dan orang-orang yang memilikinya, etika orang yang belajar
dan mengajarkan ilmu, serta hal-hal lain yang berkaitan dengannya.
C. Konsep Guru/Ulama
Menurut Ibnu Jamaah bahwa Ulama sebagai mikrokosmos manusia dan
secara umum dapat dijadikan sebagai tipologi makhluk terbaik (khair al-bariyah).
Atas dasar ini maka, maka derajat orang alim berada setingkat dibawah derajat
Nabi. Hal ini dadasarkan pada alas an karena para ulama adalah orang yang
4
paling takwa dan takut kepada Allah.
Dari konsep tentang seorang alim tersebut, Ibnu Jamaah membawa konsep
tentang guru. Dalam rangka pemberdayaan peserta didik sebagaimana akan
dikemukakan pada bagian uraian ini, Ibn Jamaah membawa konsep tentang guru.
Untuk itu Ibn Jmaah menawarkan sejumlah criteria yang harus dipenuhi oleh
seseorang yang akan menjadi guru.

4
Badr al-Din Ibn Jamaah al-kinani, Tadzkirat as-sami wa al-mutakallim fi adab alim wa al-mutaallim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth), h. 5-6
Criteria pendidik tersebut meliputi enam hal:
1. Menjaga akhlak selama melaksanakan tugas pendidik.
2. Tidak menjadikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan
ekonominya.
3. Mengetahui situasi social masyarakat.
4. Kasih saying dan sabar.
5. Adil dalam memperlakukan peserta didik.
5
6. Menolong dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dari keenam criteria tersebut, yang menarik adalah criteria tentang tidak
bolehnya profesi guru dijadikan sebagai usaha mendapatkan keuntungan material,
suatu konsep yang dimasa sekarang tampak kurang relevan, karena salah satu cirri
kerja professional. Adalah pekerjaan dimana orang yang melakukannya
menggantungkan kehidupan diatas profesinya itu. Namun Ibn Jamaah
berpendapat demikian sebagai konsekuensi logis dari konsepnya tentang
pengetahuan. Bagi Ibn Jamaah pengetahuan atau ilmu sangat agung lagi luhur,
bahkan bagi pendidik menjadi kewajiban tersendiri untuk mengagungkan
pengetahuan tersebut, sehingga pendidik tidak menjadikan pengetahuannya itu
sebagai lahan komoditasnya dan jika hal itu dilakukan berarti telah merendahkan
6
keagungan pengetahuan.
Alasan tersebut sesungguhnya rasional, karena disatu sisi telah
memperlihatkan hubungan kausalitas antara ilmu dan pengajaran dalam
perspektifnya. Namun pada sisi lain, kausalitas yang muncul jika dikaitkan dalam
konteks pendidikan dewasa ini menjadi dipertanyakan.
Secara umum criteria-kriteria tersebut diatas menampakkan kesempurnaan
sifat-sifat dan keadaan pendidik dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu
sehingga layak menjadi pendidik sebagaimana mestinya.

5
Lihat Hasan Ibrahim Abd al-Al, Fann atTalim ind Badr ad-Din bin Jamaah, (Riyadl: Maktabah at-
Tarbiyat al-Arabi li Duwal al-Khalij, 1985), h. 123-131
6
Ibid, h. 125
D. Konsep Pelajar dalam Pemikiran Ibn Jamaah
Menurut Ibn Jamaah pelajar adalah orang yang belajar dalam kegiatan
belajar mengajar. Ibn Jamaah dalam pemikiran pendidikannya tampaknya sangat
mengutamakan akhlak atau etika yang harus dimiliki oleh para pelaksana
pendidikan. Menurut hemat penulis, hal ini cukup wajar jika dikaitkan dengan
kondisi sosial masyarakat pada waktu itu secara umum, yakni kondisi masyarakat
di luar Mesir yang sedang mengalami kemunduran dan kemerosotan moral seiring
dengan mundur dan hancurnya pusat-pusat peradaban Islam, maka upaya
pembinaan dan penataan kembali moral para pelajar sebagai generasi yang sangat
dibutuhkan di masa berikutnya adalah menjadi sangat penting. Pemikiran Ibn
Jamaah tentang pelajar sangat terkait dengan pemikirannya tentang ulama.
Menurutnya pelajar yang baik adalah mereka yang memiliki karakter
7
sebagaimana ulama.
Pelajar menurut Ibn Jamaah harus memiliki tiga etika sebagai berikut:
1. Etika Pelajar terhadap Dirinya
Menurut Ibn Jamaah pelajar sebagimana seorang guru, haruslah memenuhi
syarat-syarat yang penting yang terkait dengan dirinya, motivasi, keinginan,
dan kehendaknya. Syarat-syarat ini dikhususkan bagi para pelajar yang
menghendaki kedudukan tinggi yang berupa keutamaan dan kemuliaan
yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang berilmu.
Oleh karena itu maka pelajar harus:
a. Mensucikan hatinya dari sifat-sifat tercela, misalnya; sifat dengki,
hasad, dan penyakit-penyakit hati lainnya. Hal ini sangat penting bagi
pelajar, karena hati yang tidak bersih atau suci tidak akan mampu
menerima dan menghafalkan ilmu. Karena menuntut ilmu menurut
sebagian ulama adalah sebagai ibadah hati, maka Ibn Jamaah
berpendapat bahwa sebagaimana shalat yang merupakan ibadah dhahir

7 Abd. al-Amir Syamsuddin, al-Mazhab al-Tarbawiy inda Ibn Jamaah (tt.: Dar Iqra, tth.), h. 27
tidak sah kecuali bila dikerjakan dalam keadaan suci, maka begitu juga
dengan menuntut ilmu juga harus ditempuh dengan hati yang suci dari
segala kotoran (penyakit-penyakit hati), dan apabila hati itu bersih maka
ia akan memperoleh keutamaan atau memperoleh fadlilah dari ilmu itu
8
sendiri.
b. Niat yang baik dan ikhlas dalam menuntut ilmu. Karena niat adalah
syarat pokok dalam setiap amal kebaikan, maka menurut ibn Jamaah
seorang pelajar harus memulai belajarnya dengan niat yang baik, yaitu
dengan niat menuntut ilmu karena Allah SWT., mengamalkannya,
menegakkan syariat, menyinari hatinya, menghiasi batinya,
mendekatnya diri kepada Allah serta mengharapkan keridhaan Allah.
Sejalan dengan pendapat Ibn Jamaah ini Prof. Dr. Suwito,
MA.,mengatakan bahwa karena ilmu termasuk sesuatu yang immateri
maka harus disertai dengan niat yang benar agar tujuan dari menuntut
ilmu itu dapat tercapai. Apabila dalam menuntut ilmu tidak disertai
dengan niat sebagaimana disebutkan diatas serta tidak dibarengi dengan
semangat yang tinggi, maka pelajar tersebut akan mengalami kegagalan
dan kehilangan akan segala tujuan yang dicita- citakannya.
c. Segera menuntut ilmu sejak usia muda dan sampai akhir hayatnya. Ibn
Jamaah menganjurkan pelajar agar segera menempuh ilmu segera
pada waktu usia muda. Pada masa ini ia harus segera mempersiapkan dan
melaksanakan belajarnya, karena menunda dan memperlambat akan
berbahaya bagi pelajar, maka ia wajib mempergunakan waktu muda itu
dengan baik dengan meninggalkan kemalasan. Karena waktu akan
terus berjalan dan setiap waktu yang telah dilewatkan dalam hidupnya
tidak akan pernah kembali lagi. Pendapat ini cukup dapat dikaitkan
dengan teori yang mengatakan bahwa dalam belahan otak kiri dan otak

8 Abd. al-Amir Syamsuddin, al-Mazhab al-Tarbawiy inda Ibn Jamaah (tt.: Dar Iqra, tth.), h. . 67.

7
kanan yang dimiliki manusia itu terdapat ratusan miliar sel otak yang
disebut neuron, yang mencakup beberapa triliun jenis informasi dalam
hidup manusia, tetapi menurut suatu penelitian sel sebanyak itu yang
terpakai hanya sekitar lima persen saja, itupun hanya dapat tercapai jika
sel-sel otak tersebut dikembangkan (melalui pendidikan) pada saat
manusia itu berusia belasan tahun (pubertas), dan jika
pengembangannya tidak dilakukan secara terus menerus maka sel-sel
tersebut akan mati. Untuk itulah maka seseorang sangat dianjurkan
untuk segera menuntut ilmu, terutama ketika masih berusia muda.
d. Menghindarkan diri dari kesibukan dunia dan merasa cukup dengan apa
yang ada. Ibn Jamaah berpesan agar seorang pelajar mau hidup
sengsara, merasa puas, rela dengan harta yang sedikit, dan sabar
terhadap kesulitan hidup, serta menghindari hal-hal yang dapat
mengganggu pikirannya dalam menuntut ilmu. Imam al- Syafii
berpendapat bahwa seseorang tidak akan memperoleh ilmu dengan
limpahan harta sehingga dia berbahagia, akan tetapi orang yang
menuntut ilmu hendaklah ia mengerahkan jiwa dan bersedia hidup
kekurangan serta mendekati para Ulama karena itu lebih
membahagiakan. Karena menuntut ilmu tidak akan berjalan lancar
kecuali bagi orang yang pailit, dan bukan bagi orang yang serba
berkecukupan karena ia akan disibukkan untuk mengurusi harta dan
melupakan menuntut ilmu.
e. Mengatur waktunya untuk belajar dan mengajar. Pelajar hendaknya
membagi waktu -siang dan malam- sepanjang usianya untuk menuntut
dan menyebarkan ilmu. Di samping itu pelajar hendaknya menghindari
tempat-tempat yang dapat menggangu konsentrasinya dalam belajar,
misalnya; di dekat taman, di dekat sungai, di tengah jalan, di dekat
kebisingan, dan tempat-tempat lain yang dapat mengganggu kebebasan
hati dalam memahami dan menerima suatu ilmu. Ibn Jamaah
menganjurkan pelajar untuk disiplin dalam menggunakan waktu yang
ada. Beliau menganjurkan pada pelajar agar menggunakan waktu sahur
untuk menghafal, waktu pagi untuk berdiskusi, siang hari untuk menulis,
dan waktu malam untuk muthalaah dan mudzakarah.
f. Sedikit makan atau makan sekedar hanya untuk menjaga kesehatan
9
bukan untuk berfoya-foya. Ibn Jamaah berpendapat seorang pelajar
hendaknya melakukan sesuatu yang dapat membantunya berhasil dalam
belajar. Di antaranya dengan makan secukupnya, dan tidak memakan
makanan yang dapat membahayakan badan karena hal itu dapat menjadi
penghalang baginya meraih sukses dalam belajar. Karena dengan
banyak makan dapat menyebabkan pelajar menjadi mengantuk dan
malas, sehingga kemampuannya dalam menghafal dan mengingat
pelajaraannya menjadi berkurang.
g. Pelajar hendaknya memiliki sifat Wara. Pelajar hendaknya makan,
minum, berpakaian serta bertempat tinggal dengan selalu berhati-hati
dalam menentukan halal dan haramnya, karena sifat ini sangat
menunjang keberhasilan belajarnya.
h. Pelajar hendaknya meninggalkan makanan yang menyebabkan ia mudah
lupa dan susah dalam memahami dan menghafal pelajarannya.
i. Tidur dan istirahat secukupnya untuk menjaga kesehatan. Ibn Jamaah
juga mengingatkan kepada pelajar untuk memberikan hak pada
badannya untuk istirahat. Beliau menganjurkan pelajar untuk
menggunakan sepertiga waktu (delapan Jam) dalam sehari untuk tidur
10
dan istirahat. Teori ini menurut hemat penulis masih tetap sesuai jika
diterapkan pada masa sekarang, walaupun tidak harus tepat selama
delapan jam tetapi disesuaikan dengan kondisi pelajar itu sendiri.

9 Ibn Jamaah mendasarkan pendapatnya ini pada QS. al-Araf: 3l


10 Ibn Jamaah Al-Kinaniy, Tazkirah al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al- Alim wa al-
Mutaallim
(Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah,tth.), h. 84.
j. Mencari teman yang shaleh dan tidak bergaul dengan lawan jenis.
Teman yang baik (shaleh) akan membantu pelajar itu untuk memperoleh
keutamaan dan akan terbawa pada keshalehannya. Di samping itu bila
mencari teman, pilihlah teman yang cerdas, yang mempunyai sifat-sifat
baik dan sedikit sifat buruknya. Dari sini dapat dikatakan bahwa Ibn
Jamaah sangat memperhatikan terhadap lingkungan bagi seorang
pelajar. Menurutnya lingkungan yang baik adalah lingkungan yang di
dalamnya mengandung pergaulan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan yang bebas. Hal ini terlihat
pada pendapat beliau bahwa pelajar tidak boleh bergaul dengan lawan
jenisnya. Sebab hal itu akan menjadikankan terbuangnya waktu dan
menyia- nyiakan materi. Dan orang yang dapat dijadikan teman
pergaulan adalah orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak
11
dan ajaran agama. Mengenai etika yang terakhir ini tampaknya juga
tidak harus diterapkan secara buta, karena bergaul dengan lawan jenis
bisa dibenarkan jika pergaulan itu masih berkaitan dengan
pengembangan ilmu dan tetap berpegang pada norma-norma agama.
2. Etika Pelajar terhadap Gurunya
Oleh karena guru adalah orang yang mempunyai ilmu, maka beliau
berhak mendapatkan kemuliaan dan keutamaan sebagaimana orang-orang
alim atau ulama karena mereka adalah pewaris para Nabi. Maka Ibn Jamaah
memberikan nasihat-nasihat penting bagi pelajar. Beliau berpendapat bahwa
seorang pelajar harus selalu taat dan tawadldlu kepada gurunya dalam segala
urusan. Beliau mengibaratkan ketaatan tersebut dengan orang sakit dengan
dokter yang pandai. Ini adalah salah satu cara memuliakan guru
sebgaimana beliau nasihatkan. Di samping itu pelajar haruslah mengetahui

11
Abd. al-Amir Syamsuddin, al-Mazhab al-Tarbawiy inda Ibn Jamaah (tt.: Dar Iqra, tth 27.
12
hak-hak guru, mendoakan, menghormati dan mensyukurinya. Maka dari itu
ibn Jamaah juga mengharuskan pelajar untuk memilih seorang guru yang
memiliki akhlak yang baik, mampu mengajar dengan baik, dan bertaqwa
kepada Allah SWT.
Pandangan Ibn Jamaah di atas, untuk masa sekarang tentunya
harus dikaji ulang. Saat ini, pelajar harus dibawa pada kreativitas dan
semangat dalam belajar. Apabila dikaitkan dengan pendapatnya Paulo
Freire, maka pendidikan yang ditawarkan oleh ibn Jamaah termasuk
dalam pendidikan yang bergaya bank, dimana ruang yang disediakan bagi
13
para pelajar hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.
Sementara pendidikan yang dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang
membebaskan, pendidikan yang mendorong pada guru dan murid untuk
sama-sama menjadi subjek dari proses pendidikan dengan menghilangkan
sikap otoriter dan intelektualisme yang mengasingkan.
Menurut Prof. Suwito, dalam pidato pngukuhan guru besarnya,
Nabi Muhammad Saw juga memberdayakan para sahabat dan bahkan
musuhnya. Nabi Muhammad memperlakukan para sahabatnya sebagai mitra
sejajar, egaliter dan berada dalam posisi dan relasi yang demokratis. Sikap
nabi yang demikratis ini sebagaimana terlihat dalam dialog nabi dan Muad
bin Jabal setelah diangkat sebagai gubernur yaman. Namun terlepas dari
masalah tersebut di atas, di satu sisi Ibn Jamaah juga memberi kebebasan
kepada pelajar untuk memilih guru yang sesuai dengan ilmu yang
dikehendakinya, dan memilih guru yang mempunyi akhlak yang luhur,
memiliki jiwa kepemimpinan serta bertaqwa kepada Allah.

12
Secarakhusus Ibn Jamaah membagibentuk bentuk ketaatantersebut menjadil3 macam. Lihat Ibn
Jamaah, Tazkirah al-Sami wa al-Mutakallim, 85-ll0.
13
Paulo Freire, Pedagogy Of The Oppressed, diterjemahkan oleh Tim Redaksi LP3ES dengan judul
Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, 2000), h. 50.
3. Etika Pelajar terhadap Pelajaran, Halaqah, dan Teman Belajarnya
Pelajar juga dituntut untuk menghormati pelajarannya agar
mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Adapun etika yang harus dilakukan oleh
pelajar terhadap pelajarannya adalah:
a. Pelajaran yang harus dikaji terlebih dahulu adalah al-Quran al- Karim dan
Hadis serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya. Kemudian barulah
dilanjutkan dengan ushul, nahwu, dan sharaf, karena ilmu-ilmu tersebut
14
merupakan bidang kajian yang penting. Ibn Jamaah mensyaratkan
mempelajari al-Quran terlebih dahulu karena dengan demikian pelajar
akan dapat lebih mendalam hafalannya, bersungguh-sungguh dalam
mendalami tafsir al-Quran, serta seluruh ilmu karena al-Quran memuat
sumber, cabang, dan ilmu-ilmu penting lainnya. Sudah seyogyanya jika
Ibn Jamaah memprioritaskan al-Quran sebagai materi pertama yang
harus dikaji oleh para pelajar, karena di dalam al-Quran terdapat ayat-
ayat yang mampu menjadi motivator bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Karena al-Quran pula maka lahirlah ilmu-ilmu lain, seperti
Ulum al-Quran, Tafsir, Fiqh, dan semacamnya.
b. Pelajar harus waspada terhadap perbedaan pendapat para ulama dalam
suatu masalah. Pelajar yang berada dalam tahap awal, hendaknya jangan
mempelajari pendapat-pendapat yang saling bertentangan dan jangan
sampai terjebak pada masalahmasalah yang diperdebatkan ulama
maupun manusia secara umum, karena hal ini dapat membingungkan
akal. Pelajar yang masih pemula seharusnya memegangi satu kitab saja
yang mencakup suatu masalah atau beberapa kitab yang masih berkaitan
15
dengan masalah tersebut dan harus disetujui oleh gurunya.

15
Ibn Jamaah Al-Kinaniy, Tazkirah al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al- Alim wa al-Mutaallim
(Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah,tth.), h. ll6.

12
14
Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Press, 2002), h.
l9-20.

15
Ibn Jamaah Al-Kinaniy, Tazkirah al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al- Alim wa al-Mutaallim
(Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah,tth.), h. ll6.

13
c. Pelajar harus memahami, mengkaji, dan menelaah secara mendalam
terhadap setiap mata pelajaran sebelum menghafalkannya, karena jika
tidak demikian dikhawatirkan akan menimbulkan penyimpangan dan
16
pengkaburan makna yang dikehendaki.
d. Pada tahapan selanjutnya pelajar hendaknya mempelajari Hadis Nabi
Saw, yakni di antaranya dengan mempelajari sanad, rijal, hukum-hukum,
faedah-faedah, bahasa serta sejarah Hadis. Di samping itu beliau juga
menganjurkan untuk mempelajari ilmu dirayah Hadis, sifat-sifat dan
tingkatan muhaddis. Ibn Jamaah menganjurkan pelajar untuk
mempelajari kitab-kitab Hadis yang dianggap atau telah dinyatakan
Sahih. Misalnya: Sahih bukhari, Shahih Muslim, al-Muwaththa,
Sunan Abu Daud, al-Nasai dan kitab-kitab sahih lainnya.
e. Pelajar harus melanjutkan mempelajari masalah lain yang lebih luas,
untuk menunjukkan semangatnya yang tinggi dalam menuntut ilmu dan
tidak merasa cukup dengan ilmu yang sedikit.
f. Pelajar agar membiasakan diri untuk ber-halaqah dengan para guru dan
juga dengan teman-temannya untuk mendalami pelajarannya serta agar
memperoleh kebaikan, keberhasilan, dan keutamaan- keutamaan.
g. Ketika mendatangi suatu majlis (forum belajar) pelajar hendaknya
mengucapkan salam ketika datang, mengikutinya sampai selesai,
memuliakan guru, menghormati teman-teman yang ada di sekitarnya, dan
lain-lain.
h. Pelajar hendaknya menghormati dan menghargai teman-teman yang ada
dalam suatu majlis belajar.
i. Adanya komunikasi antara pelajar dengan guru. Seorang pelajar
hendaknya tidak malu dan enggan bertanya kepada guru terhadap
masalah yang belum dipahaminya. Adapun dalam bertanya hendaknya
16
Ibn Jamaah Al-Kinaniy, Tazkirah al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al- Alim wa al-Mutaallim
(Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah,tth.), h. l22.

13
pelajar mendapat izin dari guru.
j. Bersungguh-sungguh dalam belajar, dan memulai belajarnya dengan doa
yaitu dengan membaca taawudz, basmalah, shalawat, serta mendoakan
guru dan pengarang kitab yang dipelajarinya.
17
k. Senang dalam mencapai keberhasilan.

Dari uraian di atas, tampaknya Ibn Jamaah sangat mendorong pelajar


untuk menuntut ilmu secara sistematis dan agar pelajar beretika dan
berakhlak mulia dalam belajar, walaupun pada sebagian pemikirannya
terdapat pendapat-pendapat yang kurang relevan dan dapat menjadikan
pelajar sebagai orang yang pasif dan mengalami ke- jumud-an dalam
berpikir jika diterapkan dalam konsep pendidikan yang memberdayakan
dan membebaskan terhadap proses berpikir para pelajar, sebagaimana yang
sedang digalakkan saat ini.
E. Konsep Materi Pelajaran/Kurikulum
Materi pelajaran yang dikemukakan Ibn Jamaah terkait dengan tujuan
belajar yaitu semata-mata menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, dan
tidak untuk kepentingan mencari dunia atau materi. Tujuan semacam inilah yang
18
merupakan esensi dari tujuan pendidikan Islam yang sesungguhnya.
Sejalan dengan tujuan belajar tersebut, maka materi pelajaran yang
diajarkan harus berkaitan dengan dengan etika dan nilai-nilai spiritualitas.
Dengan demikian, ruang lingkup epistimologi persoalan kajian keagamaan dan
epistimologi diluar wilayah kajian sekuler tersebut harus senantiasa mengacu
kepada tata nilai religi. Namun demikian, Ibn Jamaah lebih menitik beratkan
pada kajian materi keagamaan. Hal ini antara lain terlihat pada pandangannya
mengenai urutan materi yang dikaji sangat menampakkan materi-materi
keagamaan.

Ibn Jamaah, Tazkirah al-Sami wa al-Mutakallim, l62.


17

Psikososial dan cultural, (Jakarta: Golden Trayon Press, 1994), h. 80

14
18
Muzayin Arifin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat: Suatu Pendekatan Filosofis,

Psikososial dan cultural, (Jakarta: Golden Trayon Press, 1994), h. 80

15
Urutan mata pelajaran yang dikemukakan Ibn Jamah adalah pelajaran al-
Quran, Tafsir, Hadist, Ulumul Quran, Ushul Fiqh, Nahwu dan Shorof. Setelah
itu dilanjutkan dengan pengembangan-pengembangan bidang lain dengan tetap
19
mengacu kepada kurikulum lainnya. Ini artinya bahwa peserta didik dapat
melakukan kajian terhadap kurikulum diatas secara sistematik.
Selanjutnya apabila dibedakan berdasarkan muatan materi dari kurikulum
yang dikembangkan Ibn Jamaah agaknya ada dua hal yang dapat
dipertimbangkan:
1. Kurikulum dasar yang menjadi acuan dan paradigma pengembangan
disiplin lainnya. Kurikulum pertama ini secara konkrit dijelaskan
dengan kurikulum agama dan kebahasaan.
2. Kurikulum pengembangan yang berkenaan dengan mata pelajaran non-
agama, tetapi tinjauan yang dipakai adalah kurikulum yang pertama
diatas. Dengan demikian kurikulum yang pertama ini dapat
membarikan corak bagi kurikulum kedua yang bersifat pengembangan.
Hal ini menjadi suatu keharusan, sejalan dengan Muhammad Iqbal
yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan non-agama harus
dipengaruhi oleh agama. Jika hal ini tidak dilakukan, maka ilmu
pengetahuan itu menjadi jahat. Namun jika kurikulu non agama itu
dipengaruhi oleh agama, maka ia akan menjadi rahmat bagi umat
20
manusia. Dengan demikian, jelas bahwa kurikulum yang diajukan Ibn
Jamaah adalah kurikulum yang dari segi pembagian keilmuwannya
terpisah antara ilmu agama dan ilmu non agama, namun dari segi
substansi dan hakikatnya kedua ilmu tersebut saling berkaitan.

19
Ibn Jamaah Al-Kinaniy, Tazkirah al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al- Alim wa al-Mutaallim
(Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah,tth.), h. 112-116
20
Majd arsan al-Kailani, Tathowwur Mafhum an-Nazhariyah at-Tarbawiyah al-Islamiyah,
(Damaskus: Dar Ibn al-Katsir, 1995), h. 192

15
Selanjutnya Ibn Jamaah memprioritasnya kurikulum al-Quran daripada
yang lainnya. Mengedepankan kurikulum ini agaknya tepat. Karena,
sebagaimana pendapat Muhammad Faishal Ali Saud, kurikulum al-Quran
merupakan cirri yang membedakan antara kurikulum pendidikan Islam dengan
pendidikan lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad Fadhil al-
Jamali yang mengatakan bahwa al-Quran adalah kitab terbesar yang menjadi
sumber filsafat pendidikan dan pengajaran bagi umat Islam. Sudah seharusnya
kurikulum pendidikan Islam disusun sesuai dengan al-Quran al-Karim, dan
21
ditambah dengan al-Hadist untuk melengkapinya.
Dengan demikian kurikulum yang dapat memberdayakan peserta didik
adalah kurikulum yang senantiasa mengacu pada dimensi keagamaan, terutama
yang berlandaskan pada al-Quran.
F. Konsep Metode Pembelajaran
Konsep Ibn Jamaah tentang metode pembelajaran banyak ditekankan pada
hafalan ketimbang dengan metode lain. Sebagaimana dikatakan bahwa hafalan
sangat penting dalam proses pembelajarannya, sebab ilmu ilmu itu didapat bukan
dari tulisan dibuku, melainkan dengan pengulangan secara terus menerus.
Penekanan hafalan selain sebagai salah satu karakteristik tradisi Syafiiyah
22
juga agaknya menjadi salah satu ciri umum dalam pndidikan islam.
Metode hafalan memang kurang memberikan kesempatan kepada akal
untuk mendayagunakan secara maksimal dalam penajaman proses berfikir.
Namun disisi lain, hafalan sesungguhnya menantang kemampuan memori akal
untuk selalu aktif dan konsentrasi dengan pengetahuan yang didapat.
Sejalan dengan metode pembelajaran ini, Ibn Jamaah tampak juga
menekankan tentang pentingnya menciptakan kondisi yang mendorong
timbulnya kreativitas para siswa. Menurut Ibn Jamaah bahwa kegiatan belajar
tidak hanya digantungkan sepenuhnya pada pendidik selaku orang yang
21
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam mulia, 1994), h. 65
22
Ibrahim Husain, Sejarah dan Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 122
memberikan informasi dan ilmu pengetahuan, melainkan juga pada anak didik.
Bagi Ibn Jamaah peserta didik dapat diposisikan sebagai subjek pendidikan.
Untuk itu, perlu diciptakan peluang-peluang yang memungkinkan dpt
mengembangkan daya kreasi dan daya intelek peserta didik oleh peserta didik itu
sendiri, disamping peranan yang dilakukan oleh orang lain. Konsep ini
selanjutnya membawa kepada apa yang dikenal dengan sebagai pemberdayaan
peserta didik.
Pemberdayaan peserta didik yang dapat dilakukan oleh dirinya sendiri
adalah dengan mengembangkan sikap batin dan mental peserta didik yang benar-
benar menampakkan kesempurnaan dan menjauhi nilai-nilai yang memberikan
pengaruh negative terhadap dirinya. Menurut Ibn Jamaah, peserta didik harus
mempunyai sebuah prinsip yang benar dan suci dengan kebebasan jiwa dan
tekad yang utuh untuk senantiasa menampakkan hal-hal yang terbaik. Segala
keinginan dan motivasi yang kurang etis dalam pandangannya tidak boleh
terlintas dalam dirinya, sehingga mentalnya senantiasa siap untuk menerima
pengetahuan secara terbuka, dengan batasan-batasan kebenaran menurut dirinya.
Selajutnya proses belajar mengajar dapat mencapai tujuan yang diharapkan
dengan cara mengaplikasikan perilaku-perilaku yang luhur. Pengembangan
potensi peserta didik dapat pula dilakukan oleh dirinya sendiri dengan
menggunakan waktu untuk belajar secara efektif dan dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Usia muda merupakan masa yang tepat untuk dimanfaatkan bagi
kepentingan belajar, sebab pada usia ini kemampuan intelegensi dan ptensi
lainnya sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Dengan demikian pula
waktu keseharian dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mempertajam
pengetahuan.
Sehubungan dengan hal diatas, Ibn Jamaah telah pula mengajukan konsep
tentang penggunaan waktu untuk belajar. Menurut Ibn Jamaah bahwa waktu
sahur adalah waktu yang paling baik untuk menghafal, pagi untuk membahas
dan diskusi, tengah siang untuk menulis dan malam diskusi dan mengkaji
23
ulang. Dengan demikian, tampaknya Ibn Jamaah mengisyaratkan bahwa
peserta didik layak memiliki jadwal belajar untuk kesehariannya.
Aspek lain dalam rangka pemberdayaan peserta didik adalah
memperhatikan kesehatan jasmaninya. Peserta didik harus hati-hati dalam hal
makanan dan minuman, sehingga konsentrasi belajarnya tetap utuh. Dengan
perhatian terhadap hal ini diharapkan memori ingatan peserta didiktetap terjaga
dan tidak terjebak pada lupa. Memperhatikan kesehatan juga dapat dilakukan
dengan memperhatikan waktu istirahat. Mata dan anggota tubuh peserta didik
masing-masing mempunyai hak.
Selanjutnya kebiasaan peserta didik untuk tidak bersikap malu-malu sangat
dianjurkan dalam pemberdayaan ini. Sebab Ibn Jamaah menyatakan
24
ketidaksukaannya dengan sikap tersebut dalam proses belajar. Memang, sikap
ini sesungguhnya tidak akan memberikan penyelesaian dalam mengatasi
problem dan kesulitan belajar peserta didik, juga tidak memberikan peluang
untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Budaya malu untuk
bertanya pada akhirnya akan mengantarkan dirinya pada ketidakjelasan dan
ketersesatan.
Permberdayaan selanjutnya adalah membentuk situasi hubungan antara
peserta didik dengan pendidik yang harmonis, penuh dengan kasih saying dan
dialogis. Pemberdayaan dengan semacam ini sangat perlu dilakukan dalam
pencapaian proses pembelajaran. Karena pendidikan adalah masalah perorangan
dalam batas yang luas maka seorang guru harus mempunyai hubungan dengan
23
Ibn Jamaah Al-Kinaniy, Tazkirah al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al- Alim wa al-Mutaallim
(Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah,tth.), h. 73
24
Ibid , h. 156-158
muridnya, dan murid harus mempunyai kesempatan yang luas untuk mengambil
faedah dari tugasnya sebagai guru, baik yang berkenaan dengan akhlak, maupun
25
ilmu pengetahuan.
Terciptanya hubungan personal yang bersifat kasih saying antara guru dan
murid bias menjadi factor sukses jalannya proses belajar mengajar. Sukses
seorang pendidik akan ditandai oleh tertanamnya semangat dan kecintaan antara
guru dan murid. Apabila guru menyayangi murid-muridnya dan mereka
merasakan kasih saying dari gurunya, maka problema-problema dan kesulitan di
dalam pengajaran akan dapat dengan mudah diatasi, serta yang sulit menjadi
mudah. Hal tersebut perlu dilakukan karena seringkali kebencian murid terhadap
suatu ilmu pengetahuan disebabkan karena kebenciannya terhadap guru yang
mengajarkan ilmu tersebut. Demikian pula sebaliknya, seorang murid
menyayangi suatu ilmu pengetahuan disebabkan karena kecintaan mereka
26
terhadap guru yang mengajar ilmu pengetahuan tersebut.
Lebih mendasar lagi dapat dikatakan bahwa didalam proses belajar
mengajar perlu adanya hubungan yang bersifat faedagogis antara guru dan
murid. Dalam kegiatan pendidikan tersebut seorang guru harus dapat menyelami
dan menghayati jiwa anak didik. Dan pada saat yang sama, peserta didik pun
27
dalam memasuki dunia kedewasaan yang dialami pendidik. Dengan demikian
sangat jelas bahwa pembentukan nuansa yang harmonis antara peserta didik
dengan pendidik sangat penting.

25
Abd al-Rahman Hijazy, al-Madzhab at-Tarbawi ind Ibn Sabnun, (Beirut: Muasasah al-Risalah,
1986), h. 70
26
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Rub al-Islam, (Mesir, Dar al-Maarif, 1968), h. 76-77
19
27
Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 103

20
G. Lingkungan Pendidikan
Lingkungan merupakan salah satu aspek yang tidak bisa dipisahkan dari
proses pendidikan. Bagi kelompok yang menganut paham konvergensi misalnya,
bahwa kurikulum merupakan factor yang mempunyai andil dalam mendukung
tingkat keberhasilan kegiatan belajar-mengajar. Bahwa para ahli pendidikan
social umumnya berpendapat bahwa perbaikan lingkungan merupakan syarat
28
mutlak untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Sejalan dengan hal diatas, Ibn Jamaah memberikan perhatian yang besar
terhadapa lingkungan. Menurutnya bahwa lingkungan yang baik adalah
lingkungan yang didalamnya mengandung pergaulan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan bebas, tetapi pergaulan
yang ada batas-batasnya. Hal ini terlihat dari pendapatnya yang mengatakan
bahwa peserta didik tidak boleh bergaul dengan lawan jenisnya. Sebab hal itu
akan menjadikan terbuangnya waktu serta menghambur-hamburnya materi.
Bergaul dapat dilakukan jika nilai-nilai positif ada didalamnya. Selanjutnya
orang yang dapat dijadikan teman bergaul adalah mereka yang memenuhi
29
criteria yang menunjukkan akhlak dan agamanya.
Konsep lingkungan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibn Jamaah itu
memiliki kesamaan dengan konsep lingkungan yang dikemukakan Az-Zarnuji.
Menurut az-Zarnuji bahwa orang yang dapat dijadikan teman adalah orang yang
memiliki kesungguhan, menjaga diri dari perbuatan yang kurang baik, konsisten
dalam berfikir dan senantiasa sabar.

28
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara dan Departemen Agama, 1992), h.
65
29
Abd. al-Amir Syamsuddin, al-Mazhab al-Tarbawiy inda Ibn Jamaah (tt.: Dar Iqra, tth.), h. 27
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Ibn Jamaah dan a-Zarnuji sama-
sama mengasumsikan bahwa pergaulan sebagian dari lingkungan yang
mempengaruhi proses pendidikan. Lingkungan memiliki peranan dalam
pembentukan keberhasilan pendidikan. Keduanya mengiginkan adanya
lingkungan yang kondusif untuk kegiatan belajar mengajar, yaitu kondisi
lingkungan yang mencerminkan nuansa-nuansa etis dan agamis.
H. Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Nama lengkap Ibn Jamaah adalah Badruddin Muhammad Ibn Ibrahim Ibn
Saadullah Ibn Jamaah Ibn Hazim Ibn Shakhr Ibn Abdullah al-Kinaniy al-
Hamwa al-Syafiiy. Beliau dilahirkan pada malam Sabtu, 4 Rabiul Akhir
639 H. bertepatan dengan bulan Oktober l24l M. di Hamwa Mesir. dan
wafat pada malam Senin 2l Jumadil Ula 733H/l333 M. dalam usia 64 tahun,
satu bulan dan satu hari. Beliau setelah dishalatkan di masjid Jami al-
Nashiriy Mesir kemudian dimakamkan di Qirafah Mesir.
2. Adapun kitab Tadzkirah al-Sami Wa al-Mutakallim Fi Adabi al- Alim Wa al-
Mutaallim adalah salah satu karya tulis Ibn Jamaah yang membahas
tentang 1) konsep Guru, 2) Konsep Peserta Didik, 3) Konsep Materi
Pelajaran Kurikulum, 4) Metode Pembelajaran, 5) Lingkungan Pendidikan.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Mulyono. l999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:
PT. Rineka Cipta
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. 1968. Rub al-Islam. Mesir, Dar al-Maarif
Al-Kailani, Majd Arsan 1995. Tathowwur Mafhum an-Nazhariyah at-Tarbawiyah al-
Islamiyah. Damaskus: Dar Ibn al-Katsir
Al-Kinaniy, Ibn Jamaah. tth .Tazkirah al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al- Alim
wa al-Mutaallim. Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Arifin, M. l976. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama; di Lingkungan Sekolah
dan Keluarga. Jakarta: Bulan Bintang
Arifin, Muzayin. 1994. Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat: Suatu
Pendekatan Filosofis, Psikososial dan cultural. Jakarta: Golden Trayon Press
Ashraf, Ali. l993. Horizon Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Daradjat, Zakiah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara dan
Departemen Agama
Freire, Paulo. 2000. Pedagogy Of The Oppressed, diterjemahkan oleh Tim Redaksi
LP3ES dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES
Hasan Ibrahim, Abd Al. Al-Fikr al-Tarbawiy inda Badruddin Ibn Jamaah dalam
Min Alam li al-Tarbiyah al-Islamiyyah, jilid III. tt.: Maktabah al-Tarbiyah
al-Arabi li dauli al-Khalij
Hasan Ibrahim, Abd al-Al. 1985. Fann atTalim ind Badr ad-Din bin Jamaah.
Riyadl: Maktabah at-Tarbiyat al-Arabi li Duwal al-Khalij
Hijazy, Abd al-Rahman. 1986. al-Madzhab at-Tarbawi ind Ibn Sabnun,. Beirut:
Muasasah al-Risalah
Husain, Ibrahim. 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan. Jakarta: Bulan Bintang
Ibn Hanbal, Ahmad. l996. Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadis 2ll52, CD ROM
Mausuah al-Hadis al-Syarif . Kuwait: Sakhr al-Alamiah Software
Khalaf, Abd al-Jawad. l988. Al-Qadli Badruddin Ibn Jamaah Hayatuhu Wa
Atsaruhu. Pakistan: Jamiah al-Dirasah al-Islamiyyah
Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta:Raja
Grafindo Persada
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
Ramayulis. 1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam mulia
Suwito. 2002. Pendidikan Yang Memberdayakan, dalam pidato pengukuhan Beliau
sebagai guru besar sejarah pemikiran dan pendidikan Islam. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Syamsuddin, Abd. al-Amir. Tth. al-Mazhab al-Tarbawiy inda Ibn Jamaah .tt.: Dar
Iqra,
Yatim, Badri. l995. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai