Anda di halaman 1dari 26

SMF/BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI TELAAH JURNAL

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2016


UNIVERSITAS NUSA CENDANA

Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery

Disusun Oleh :

Yuselin Taopan, S.Ked


1008012013
Pembimbing :
dr. Laurens David Paulus, Sp.OG (K) Onk

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITRAAN KLINIK


SMF/ BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF.DR.W.Z.JOHANNES
KUPANG
2016

HALAMAN PENGESAHAN
Telaah jurnal ini diajukan oleh :
Nama : Yuselin Taopan, S.Ked
NIM : 1008012013
Bagian : Obstetri dan Ginekologi RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes - Kupang
Telaah jurnal ini disusun dan dilaporkan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang
diperlukan untuk mengikuti ujian komprehensif di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD. Prof.
Dr. W. Z. Johannes Kupang

PembimbingKlinik

1. dr. Laurens David Paulus, SpOG (K) Onk 1. .


Pembimbing Klinik

Ditetapkan di : Kupang
Waktu : September 2016

TERJEMAHAN JURNAL

MANAJEMEN PERDARAHAN SELAMA OPERASI GINEKOLOGI

STEVE P. YU, MD, *JOSHUA G. COHEN, MD, and WILLIAM H. PARKER, MD*

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 2


Departmen *Obstetri and Ginecologi, David Geffen School of Medicine, Division of Minimally
Invasive Surgery; and Obstetrics and Gynecology, David Geffen School of Medicine, Division of
Gynecologic Oncology, UCLA School of Medicine, Los Angeles, California

Abstrak: Kehilangan darah Operasi >1000ml atau kehilangan darah yang membutuhkan
transfusi darah biasanya didefinisikan sebagai perdarahan intraoperatif. Perdarahan intraoperatif
telah dilaporkan pada 1% sampai 2% dari histerektomi. Ketidakstabilan kardiovaskular dengan
hipotensi yang signifikan sering terjadi akibat hilangnya 30% sampai 40% dari volume darah
pasien dan >40% kehilangan darah mengancam nyawa. Persiapan, perencanaan, dan pelatihan
untuk pendarahan masif adalah sangat penting untuk semua ahli bedah dan tim ruang operasi
ginekologi. Langkah-langkah penanganan keadaan darurat harus ditulis dan ditempelkan di
operasi kamar serta dilatih setiap tiga bulan sekali.

Kata kunci: perdarahan ginekologi, operasi ginekologi, manajemen perdarahan ginekologi,


manajemen perdarahan operasi, perdarahan setelah operasi.

Pembukaan
Perdarahan adalah komplikasi yang ditakutkan oleh banyak ahli bedah. Perdarahan
selama operasi terjadi pada 1% sampai 2% dari histerektomi. Perdarahan selama operasi
didefinisikan sebagai kehilangan darah >1 L atau kehilangan darah yang membutuhkan transfusi
darah. Perdarahan massif didefinisikan sebagai kehilangan >25% dari volume darah pasien, atau
kehilangan darah mengancam jiwa yang membutuhkan intervensi segera. Syok kardiogenik
dengan hipotensi yang signifikan sering akibat hilangnya 30% sampai 40% dari volume darah
pasien. Kehilangan darah >40% merupakan hal yang mengancam kehidupan kecuali jika
resusitasi dapat dilakukan segera.
Anemia berat setelah operasi dengan hemoglobin <7 g/dL, dapat menyebabkan kematian.
Sebuah penelitian terdiri dari 300 pasien yang menolak transfusi darah dengan alasan keagamaan
ditemukan pasien dengan kadar hemoglobin 5,1 sampai 7,0 g/dL mempunyai angka kematian
sebesar 9%. Angka kematian sebesar 30% pada pasien dengan kadar hemoglobin antara 3,1 dan
5,0 g/dL. Pada kadar hemoglobin <3,0g/dL, angka kematian sebesar 64%. Mengenai angka
kematian pada kadar hemoglobin antara 7 sampai 8g/dL tidak ditemukan.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 3


Evaluasi sebelum operasi
Riwayat terperinci dari pasien, hasil laboratorium, dapat membantu mempersiapkan
perencanaan operasi untuk mencegah perdarahan selama operasi. Evaluasi sebelum operasi juga
membantu dalam penanganan perdarahan jika terjadi.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat sebelum operasi termasuk di dalamnya evaluasi adanya riwayat perdarahan dari
pasien atau keluarga, perdarahan berat saat menstruasi sejak menarke, perdarahan setelah partus,
sering epistaksis, mudah memar, anemia lama, dan adanya riwayat transfusi darah.
Penyakit Von Willebrand terjadi pada 2% wanita pada populasi umum, sebanyak 17%
wanita dengan menorrhagia menderita penyakit Von Willebrand. Menorrhagia adalah indikasi
untuk operasi genekologi, riwayat menorrhagia sejak menarke harusnya menjadi bahan evaluasi
oleh ahli hematologi. Jika diagnosis telah ditegakkan, desmopressin dapat digunakan untuk
mengurangi perdarahan selama operasi dengan cara meningkatkan konsentrasi plasma dan
aktivitas dari faktor von Willebrand. Wanita dengan alasan keagamaan yang menolak tranfusi
darah allogenic perlu diidentifikasi sebelum dilakukan operasi elektif. Untuk pasien ini,
mengoptimalisasi kadar hemoglobin sebelum operasi perlu dilakukan.

DAFTAR OBAT
Obat-obatan dapat mempengaruhi kaskade pembekuan darah dan agregasi platelet
sehingga menyebabkan kehilangan darah yang tidak terduga. Obat ini termasuk obat resep, obat
bebas, dan obat herbal. Pasien sering tidak menyebutkan pengobatan alternatif atau herbal saat
anamnesis, namun, hal itu sangat penting untuk ditanyakan secara spesifik tentang penggunaan
produk herbal.
Aspirin menghambat siklooksigenasi (COX) platelet dalam 1 jam setelah diiminum dan
menghambat agregasi platelet. Obat ini merupakan inhibitor non-kompetitif dari COX, sehingga
efeknya bersifat ireversibel dan agregasi platelet dapat menjadi abnormal dalam lebih dari 10
hari setelah dosis terakhir. Sangat penting untuk mengedukasi pasien menghentikan penggunaan
aspirin dalam 10 hari sebelum operasi. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) dapat
juga menghambat COX platelet. Namun, NSAIDs adalah kompetitif inhibitor dan bersifat
reversibel. Fungsi platelet kembali normal relatif cepat. Fungsi platelet kembali normal dalam 24

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 4


jam setelah dosis terakhir ibuprofen, tetapi dengan obat NSAIDs yang lain fungsi platelet
menjadi abnormal dalam 3 hari. Asetaminofen tidak mengganggu pembekuan darah dan dapat
dipakai setiap saat sebelum operasi.

Clopidogrel bisulfat (Plavix), sebuah obat antiplatelet oral jangka panjang menyebabkan
penghambatan tergantung dosis dari agregasi platelet 2 jam setelah dosis pertama. Setelah
penghentian, dibutuhkan sekitar 5 hari untuk waktu perdarahan untuk kembali ke normal. Ada
banyak antiplatelet lainnya obat yang sekarang banyak digunakan. Dokter bedah harus
memastikan bahwa obat tersebut aman dikonsumsi sebelum operasi.

Pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular atau trombosis yang menggunakan


aspirin atau clopidogrel untuk profilaksis harus diterapi bersama dengan ahli penyakit dalam atau
ahli hematologi. Keputusan mengenai terus digunakan akan tergantung pada risiko dibandingkan
manfaat: yaitu, menimbang potensi risiko komplikasi trombotik yang timbul jika aspirin
dihentikan dibandingkan dengan risiko perdarahan selama operasi terkait dengan dilanjutkannya
terapi. Menghentikan terapi aspirin untuk >5 hari pada pasien dengan penyakit kardiovaskular
dapat meningkatkan risiko sindrom koroner akut atau stroke.

PENGOBATAN HERBAL

Sekitar 18% dari populasi di Amerika Serikat memakai obat herbal. Sebuah tinjauan terbaru dari
obat herbal teridentifikasi 65 obat herbal bersifat antiplatelet atau antikoagulan. Bawang putih,
Ginkgo biloba, dan ginseng adalah obat herbal yang lebih sering diketahui berdampak pada
koagulasi melalui penghambatan agregasi platelet. Individu yang mamakai obat-obatan
tradisional herbal Cina yang dua kali lipat lebih mungkin untuk memiliki gangguan hemostasis
dibandingkan dengan yang tidak menggunakannya.

EVALUASI LABORATORIUM SEBELUM OPERASI


Hemoglobin awal dan hematokrit harus diperiksa sebelum operasi. Jika dicurigai anemia,
pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan terlebih dahulu sehingga hemoglobin bisa
dikoreksi sebelum operasi.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 5


Golongan darah ABO dan jenis Rh serta antibodi harus diperiksa untuk pasien yang akan
menjalani operasi dengan estimasi kehilangan darah yang signifikan. Jika kehilangan darah
diantisipasi, kemudian tuliskan dan dilakukan crossmatching dari 2 sampai 4 kantong darah
PRC (Packed Red Cells) yang direkomendasi.
Pemeriksaan rutin faal hemostasis [Prothrombin Time (PT), International Normalized Ratio
(INR) dan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)] tidak diperlukan kecuali pasien
memiliki diatesis perdarahan, penyakit yang terkait dengan kecenderungan terjadi perdarahan
atau telah menggunakan obat-obatan yang memiliki potensi untuk menyebabkan
antikoagulasi. Jika dicurigai menderita penyakit von Willebrand, evaluasi oleh ahli penyakit
dalam atau ahli hematologi dianjurkan.

MANAJEMEN ANEMIA SEBELUM OPERASI

Terapi Besi

Pada populasi ginekologi, penyebab paling umum dari anemia adalah anemia karena
kekurangan zat besi akibat menorrhagia atau defisiensi diet. Anemia defisiensi besi harus diterapi
sebelum operasi dengan tablet besi secara oral sebagai terapi lini pertama. Dosis yang cukup
adalah 150 sampai 200 mg /hari. Besi tidak boleh diminum bersama makanan karena banyak zat
yang dikonsumsi dapat mengikat besi dan mengurangi penyerapan. Pemakaian 250 mg vitamin
C dengan zat besi akan meningkatkan penyerapan zat besi. Efek samping dari zat besi yaitu
mual, konstipasi, dan nyeri epigastrium pada sekitar 10% sampai 20% dari pasien. Setelah terapi
zat besi oral, konsentrasi hemoglobin akan naik perlahan-lahan, biasanya dimulai dalam 1
sampai 2 minggu. Hemoglobin biasanya meningkat 2 g/dL selama 3 minggu berikutnya. Dengan
tidak adanya perdarahan lanjutan, hemoglobin kembali normal dalam 6 sampai 8 minggu.

Apabila kadar hemoglobin perlu dikoreksi segera, atau jika pasien memiliki
kontraindikasi untuk zat besi oral (misalnya, penyakit radang usus atau penyakit ginjal kronis),
terapi besi intravena seharusnya dipertimbangkan. Pemberian zat besi intravena saja dapat
meningkatkan kadar hemoglobin 1 sampai 2 g dalam 1 minggu. Sebuah tinjauan dari 14
penelitian menunjukkan peningkatan yang signifikan secara klinis dan secara statistik kadar
hemoglobin pada pasien yang diterapi dengan besi intravena saja.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 6


Terapi besi intravena yang tersedia meliputi: besi dekstran, besi sukrosa, besi glukonat
kompleks, besi dekstran, ferumoxytol, ferric carboxymaltose. Tidak ada cukup bukti untuk
menyarankan bahwa salah satu dari jenis terapi di atas adalah unggul dalam hal profil
keamanannya. Namun, besi dengan berat molekul tinggi besi dekstran menunjukkan kejadian
dengan insiden yang merugikan jauh lebih tinggi, termasuk reaksi infus dan anafilaksis, daripada
berat molekul yang lebih rendah. Oleh karena itu, besi dengan berat molekul tinggi besi dekstran
harus dihindari. Jarang terjadi namun menyebabkan efek merugikan yaitu anafilaksis, yang
diketahui tidak terjadi dengan suplementasi oral.

Gonadotropin-releasing hormone agonist (GnRH-A): GnRH-A dapat digunakan sebelum


operasi untuk menghentikan perdarahan uterus abnormal dan meningkatkan kadar hemoglobin.
Wanita yang telah terjadwal untuk operasi, dengan masalah yang berhubungan dengan fibroid
dimana berarti kadar hemoglobin 10,2g akan dirandomisasi sebelum operasi untuk diterapi
dengan GnRH-A ditambah besi oral atau plasebo ditambah besi oral. Setelah 12 minggu, 74%
dari wanita yang diterapi dengan GnRH-A dan besi oral menunjukkan kadar hemoglobin >12g
sedangkan 46% dari wanita yang diterapi besi saja. Efek samping, yaitu berupa hot flashes,
insomnia, kering pada vagina, nyeri kepala mengurangi penggunaan dari GnRH-A.

Transfusi darah Autologus

Donor darah autologous meminimalkan risiko penularan patogen, seperti Human


Immunodeficiency Virus (HIV) dan virus hepatitis. Selain itu, juga memiliki manfaat tambahan
untuk menghindari risiko hemolitik, demam, dan reaksi alergi transfusi. Unit darah autologus
harus diambil mingguan, dengan unit terakhir diambil 2 minggu sebelum operasi untuk
memperbaiki kadar hemoglobin sebelum menjalani operasi.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 7


Acute Normovolemic Hemodilution (ANH)
ANH adalah strategi untuk konservasi darah. Biasanya, 500 sampai 1500ml darah hilang
sebelum operasi atau segera setelah pemberian anestesi umum. Volume yang hilang diganti
dengan kristaloid dan / atau cairan koloid sampai normovolemia dicapai.
Dengan demikian, setelah normovolemia dicapai, kehilangan darah operasi menyebabkan
dilusi darah. Penggantian PRC setelah operasi akan berdampak lebih signifikan pada kadar
hemoglobin.

Saat ini, profil keamanan ANH belum memadai, dan efektifitas berkaitan dengan
terhindar dari transfusi alogenik tidak diketahui. Kesulitan lainnya melibatkan persyaratan dari
staf anestesi yang terlatih dan berdedikasi. Monitoring intensif adalah wajib ketika mengelola
pasien hemodilusi intraoperatif yang agresif.

Rekombinan Erythropoietin (EPO)

Meskipun sering tidak dianggap oleh dokter ahli ginekologi, bentuk rekombinan EPO
adalah yang biasa digunakan untuk meningkatkan kadar hemoglobin sebelum operasi di bagian
jantung, ortopedi, dan bedah saraf. Untuk lebih efektif, persediaan besi harus memadai. Bahkan,
besi harus diberikan sebelum atau bersamaan dengan EPO. Ketika terjadi kehilangan darah
signifikan dapat diantisipasi pada wanita yang menolak menerima produk darah, EPO adalah
pilihan untuk meningkatkan kadar hemoglobin sebelum operasi.

Penelitian randomisasi menunjukkan bahwa penggunaan sekitar 15,000U EPO per


minggu selama 3 minggu sebelum operasi elektif meningkatkan kadar hemoglobin 1,6 g/dL.
Selanjutnya, penelitian ini menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kebutuhan transfusi
darah. Sebuah penelitian nonrandomisasi prospektif, menemukan peningkatan yang signifikan
dalam meningkatkan kadar hemoglobin sebelum operasi dengan menggunakan EPO. EPO telah
dikaitkan dengan kardiovaskular dan aktivitas trombotik pada pasien kanker yang menggunakan
obat berulang-ulang saat menerima kemoterapi. Namun, masalah ini belum dilaporkan untuk
penggunaan jangka pendek pada wanita yang sehat.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 8


Manajemen Pendarahan intraoperatif

INTERVENSI AWAL
Langkah awal untuk mengontrol perdarahan adalah tampon. Tekanan dengan jari atau
sponge stick ke daerah perdarahan secara sementara ke pembuluh darah sambil dipertimbangkan
langkah-langkah lain yang akan diambil. Selama laparotomi, jika tekanan lokal tidak dapat
mengontrol perdarahan, damp pads laparotomi dapat ditempatkan pada lokasi perdarahan.
Tekanan perlu dilakukan selama 10 sampai 15 menit dan diamati untuk mengkonfirmasi
perdarahan telah berhenti.
Selama operasi laparoskopi, instrumen atraumatic laparoscopic grasper dapat
diaplikasikan pada lokasi perdarahan di pembuluh darah kecil. Spons kasa dapat dimasukan
melalui lubang 10-mm dan sering digunakan untuk tamponasi area perdarahan yang luas. Jika
timbul perdarahan pada pembuluh darah besar, jenis cedera ini sepertinya tidak dapat diperbaiki
secara laparaskopi; oleh karena itu insisi midline secara vertikal harus dibuat. Strategi terbaik
yang digunakan adalah penggunaan atraumatic laparoscopic grasper untuk tamponasi pembuluh
darah besar secara laparaskopi pada awalnya, kemudian dilakukan insisi midline. Insisi vertikal
akan memberikan akses bagi ahli bedah vaskular ke aorta, vena kava, dan pembuluh darah iliaka,
dimana pembuluh darah besar tersebut lebih sering mengalami cedera selama operasi ginekologi.
Akan lebih bermanfaat jika pasien diposisikan dalam posisi trendelenberg untuk meningkatkan
aliran darah ke otak dan mempertahankan tekanan tinggi pada pneumoperitoneal, yang dapat
membantu tamponasi pada cedera pembuluh darah vena kecil.

Abdomen dapat dimasuki secara cepat dengan menempatkan probe tumpul kedalam
lubang umbilikus dan menarik ke atas dinding anterior abdomen sementara ahli bedah akan
memotong kulit pada daerah midline. Memasuki kavum abdomen akan secara langsung
dibuktikan dengan keluarnya karbondioksida dari cavum peritoneal. Meskipun mengamankan
hemostasis merupakan hal yang penting, tindakan yang hati-hati perlu dilakukan untuk
mencegah nekrosis jaringan, cedera organ, trombosis vaskular atau disfungsi saraf. Sekali area
perdarahan berhasil diidentifikasi dan tampon berhasil diaplikasikan, identifikasi ureter dan
pembuluh darah mayor dapat membantu menghindarkan cedera pada struktur tersebut.

Tim anestesi harus menginformasikan kemungkinan kehilangan darah yang signifikan.


Status hemodinamik pasien harus didiagnosa secara cepat oleh ahli anestesi dan

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 9


dikomunikasikan dengan ahli bedah dimana proses komunikasi ini harus terus berlanjut hingga
situasi terkontrol. Penggantian cairan yang diberikan untuk perdarahan harus dalam rasio 3:1
untuk cairan kristaloid pada kehilangan darah. Monitoring tambahan dan permintaan produk
darah untuk penggantian harus dipikirkan, jika diindikasikan. Ahli bedah, ahli anestesi, dan tim
ruangan operasi harus saling berdiskusi dan berkoordinasi untuk langkah selanjutnya. Sikap
tenang dan waktu untuk mengorganisir akan memberikan pemikiran yang jernih dan
menghindarkan aksi yang berdasarkan pada kepanikan dan ketakutan. Seringkali pemberian
penekanan yang terus-menerus sambil menunggu ahli bedah vaskular merupakan tindakan
terbaik. Percobaan yang tidak dipertimbangkan terlebih dahulu untuk mendapatkan kontrol
vaskular dapat memperparah cedera, terutama pada vena mayor di daerah retroperitoneal.

Kebutuhan akan tenaga tambahan harus dipertimbangkan sejak awal. Tambahan ahli
anestesi untuk membantu pemasangan jalur arteri maupun vena; penambahan perawat dapat
membantu memindahkan peralatan operasi, spesimen laboratorium, dan produk darah; serta
bantuan ahli bedah yang memiliki keahlian di bedah vaskular dapat sangat berharga.

Jika bank darah tidak memiliki sampel darah yang sesuai, sampel yang dikirim berupa
jenis dan crossmatched. Pemeriksaan darah lengkap dan pembekuan darah harus dicek.
Komunikasi yang sering antara anggota tim ruangan operasi dan bank darah harus terus berlanjut
hingga hemostasis sudah dipastikan.

BLOOD SALVAGE SELAMA OPERASI DENGAN CELL SAVER


Cell savers sudah digunakan secara ekstensif pada pembedahan ortopedi, kardio, dan
neurologi dan harus dipikirkan untuk digunakan selama operasi ginekologi apabila kehilangan
darah dalam jumlah besar telah diantisipasi. Proses yang dilakukan berupa, penghisap (suction)
mengumpulkan darah dari area lapangan operasi, dicampur dengan heparinized saline (heparin
dalam cairan normal salin), dan darah disimpan pada wadah kecil. Jika pasien membutuhkan
retransfusi darah, maka darah yang tersimpan harus dibersihkan dengan larutan salin, difiltrasi,
disenrifugasi untuk hematokrit yang mencapai 50%, dan diberikan kembali ke pasien di ruangan
operasi. Ketika ditemukan perdarahan yang cepat, cell saver akan menyediakan hingga 12 unit
persediaan darah tersimpan per jam. Meskipun setelah transfusi ketahanan sel darah merah baik,
namun cell saver darah mengurangi fungsi platelet, sel darah putih dan faktor pembekuan darah.
Penggunaan cell saver akan mencegah risiko infeksi dan reaksi transfusi. Selain itu, pada

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 10


beberapa wanita yang tidak dapat menerima transfusi allogenic karena alasan agama dapat
menggunakan cell saver darah tersebut.

IDENTIFIKASI SUMBER PERDARAHAN


Lokasi kehilangan darah paling utama dan umum di daerah pelvis (dari kaput hingga kaudal)
adalah vena cava inferior, vena presakrum, pembuluh darah ovarika, pembuluh darah iliaka
komunis dan iliaka eksterna, pembuluh darah iliaka interna, parametrial and paracervical
varicosities, serta daerah sekitar dan posterior vesika urinaria. Struktur pembuluh darah traktus
reproduksi terkurung dalam jaringan yang memisahkan area avaskulararea paravesika,
pararektal, vesikovagina, dan retrovagina. Pengembangan penanganan dari area yang sesuai akan
memungkinkan pengontrolan lokasi perdarahan sekaligus menghindari trauma pada struktur
yang penting di pelvis.
Area pararektal dibatasi oleh arteri iliaka interna disisi lateral dan ureter disisi medial
serta dapat dijangkau melalui insisi pada peritoneum lateral di daerah pelvis hingga pembuluh
darah iliaka. Area paravesikel dikelilingi oleh pembuluh darah iliaka eksterna disisi lateral dan
arteri hipogastrik yang tidak terlihat (ligamentum umbilikal medial) disisi medial, diseksi pada
area ini akan memperlihatkan bagian lateral vesika urinaria, vagina dan rektum.
Dinding vena besar bersifat rapuh sehingga perlu ketelitian selama proses diseksi untuk
mencegah cedera dan risiko perdarahan. Percabangan dari vena iliaka komunis, vena kava
inferior, pembuluh darah di sisi luar pelvis, dan vena presakrum dapat ber-avulsi selama diseksi
sehingga menghasilkan perdarahan dengan volume yang besar.
Pada akhirnya, perdarahan dari lokasi insersi intravena dan perdarahan dari semua lokasi
operasi mengindikasikan kemungkinan adanya Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
dan harus diatasi secara medis.

KONTROL PERDARAHAN
Elektrokauter, penjahitan, atau klem bedah dapat digunakan untuk mengontrol
perdarahan yang berasal dari pembuluh darah kecil. Pembuluh darah tersebut harus dipisahkan
dan struktur vital harus diidentifikasi sebelum dilakukan ligasi untuk menghindari cedera yang

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 11


tidak disengaja. Penjahitan secara menyeluruh atau penggunaan kauter secara sembarangan harus
dihindari. Untuk cedera pada pembuluh darah kecil perlu disertai pertimbangan kemungkinan
adanya embolisasi arteri jika perdarahan tersebut berlanjut. Ligasi arteri iliaka interna dapat
mencegah embolisasi berikutnya.
Perdarahan vena dapat menjadi tipe perdarahan yang paling sulit dikontrol karena volume
darah yang besar mengalir melalui pembuluh darah yang rapuh dengan dinding yang ireguler.
Penekanan pada daerah vena yang mengalami cedera merupakan hal yang paling tepat untuk
mengontrol dan meminimalkan kehilangan darah. Biasanya lebih baik menghindari bebat tekan
yang dapat meningkatkan risiko stasis vena dan trombosis vena distalis atau pelvis. Penempatan
klem pembuluh darah sering dapat mengontrol perdarahan. Meskipun demikian, penggunaan
klem pada defek dengan cara tertentu justru dapat mengurangi kaliber lumen sehingga memicu
terjadinya trombosis.
Ahli bedah vaskular harus dikonsulkan untuk memperbaiki aorta, vena kava, dan
pembuluh darah iliaka komunis maupun eksterna yang berkaitan dengan perfusi pada
ekstremitas. Secara umum, pembuluh darah ini diperbaiki dengan penekanan pada pembuluh
darah dibagian atas dan bawah area cedera dengan klem vaskular dan penjahitan defek dengan
benang monofilament 4-0 dan 6-0 dengan jarum kardiovaskular. Pada daerah pelvis yang tidak
disoroti sirkulasi arteri kolateral yang ekstensif pada pelvis perifer memperbolehkan ligasi pada
pembuluh darah iliaka interna.
Pleksus vena pada area presakrum dapat menjadi area yang sulit untuk dikontrol
perdarahannya. Meskipun penekanan, kauter, klem atau penjahitan terbukti berguna, namun
penekanan dengan thumbtack steel yang steril secara langsung pada tulang di daerah yang
mengalami perdarahan akan lebih efektif.

LIGASI ARTERI UTERINA


Ligasi arteri uterina dapat dilakukan selama operasi jika pendekatan konservatif untuk
menstabilkan hemostasis tidak berhasil. Arteri uterina dapat dijangkau melalui diseksi anterior
pada ligamentum rotundum, seperti apa yang biasanya dilakukan pada histerektomi abdominal.
Meskipun demikian, selama miomektomi, lebih praktis dan cepat untuk mengakses arteri uterina
di dekat isthmus uterus. Hal ini dapat dilakukan melalui diseksi pada peritoneum anterior pada
vesika urinaria. Diseksi tersebut harus dimulai pada daerah midline segmen bawah uterus atau

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 12


serviks dan diperluas secara lateral melalui istmus uterus. Hal ini dapat meminimalkan risiko
cedera yang tidak disengaja pada pembuluh darah uterus selama proses diseksi. Pendekatan
alternatif untuk mengakses arteri uterina lateral ke arah istmus uterus adalah melalui bagian
posterior ligamentum latum uteri. Sebelum proses diseksi, penting sekali untuk mengidentifikasi
ureter yang arahnya sama dengan peritoneum. Pendekatan lainnya dimulai dengan identifikasi
dan traksi ligamentum umbilikus medial. Dengan penarikan pada ligamentum ke arah posterior,
koneksinya dengan arteri uterina dapat diidentifikasi. Elevasi arteri uterina dapat memberikan
identifikasi terhadap ureter dibawahnya. Jika ureter tidak terlihat, ureterolisis harus dilakukan,
dimulai dimana ureter menyilang bifukarsio pembuluh darah iliaka komunis pada pelvis.
Setelah ligasi, pembuluh darah uterina akan mengalami rekanalisasi, karena itu, secara
teori kehamilan berikut harus tetap dipertahankan. Meskipun demikian, efek pada fertilitas dan
persalinan untuk saat ini tidak meyakinkan berdasarkan data yang ada dari embolisasi arteri
uterina. Untuk alasan ini, maka ligasi arteri uterina harus dijadikan sebagai cadangan untuk
situasi dimana pendekatan lainnya mengalami kegagalan hemostasis dibutuhkan untuk mencegah
histerektomi.

PENANGANAN PERDARAHAN RETROPERITONEAL


Pada situasi dimana terjadi perdarahan retroperitoneal, visualisasi dalam lapangan operasi
merupakan kunci utama. Perdarahan retroperitoneal atau hematom yang meluas membutuhkan
evaluasi yang segera. Untuk menjangkau retroperitoneum, harus dilakukan ligasi, kauter, dan
transeksi ligamentum rotundum. Bagian posterior dari ligamentum latum uteri kemudian di-
diseksi dengan elektrokauter atau gunting metzenbaun secara hati-hati untuk menghindari cedera
pada ureter yang berjalan sepanjang bagian medial ligamentum latum uteri.
Memperhatikan area perdarahan secara adekuat harus tercapai untuk membantu proses
identifikasi secara tepat terhadap sumber perdarahan. Hal ini dapat tercapai melalui konversi ke
insisi yang lebih besar menggunakan self-retaining retractor disertai pencahayaan yang cukup
termasuk melalui penggunaan lampu kepala. Dengan adanya perdarahan retroperitoneal,
perdarahan harus dikontrol dengan penekanan dan atau pembebatan. Jika diperlukan, kompresi
pada aorta dibagian bawah pembuluh darah renalis dengan penekanan yang singkat dan
intermiten dapat mempertahankan waktu 1 2 jam tanpa berdampak bahaya pada daerah
ekstremitas.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 13


Sekali perdarahan aktif sudah terkontrol, gunakan alat suction tambahan, intrumen bedah
diperlukan jika tidak tersedia alat suction tambahan, rencanakan konsultasi jika diperlukan, dan
komunikasikan dengan ahli anesthesi untuk memulai resusitasi cairan sebelum tindakan operasi
dilanjutkan. Mintalah vascular tray, vessel loops, hemoclip appliers, dan agen hemostatik
standar (seperti, FloSeal, GelFoam, Nu-Knit) sesuai keperluan. Untuk mendiagnosa secara
adekuat perdarahan atau hematoma yang meluas, yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah
apakah sumber perdarahannya berasal dari arteri atau vena. Pada akhir operasi, drainase pelvis
harus dibiarkan in situ untuk memonitor perdarahan aktif pada periode setelah operasi. Pulsasi
daerah kaki harus dimonitor selama 12 24 jam setelah operasi terutama jika aorta, vena kava
inferior dan cabang pembuluh darah iliaka di klem untuk periode waktu tertentu selama
dilakukan prosedur.

Perdarahan Arterial/Ligasi Arteri Hipogastrika


Jika sumber perdarahan retroperitoneal adalah cedera pada arteri, terapkan penekanan
dengan jari lalu gunakan umbilical tape dan/atau klem vaskular perifer pada bagian proksimal
dan distal sumber arteri. Defek yang kecil dapat diperbaiki dengan penjahitan menggunakan fine
prolene (6-0) secara hati-hati untuk mencegah penyempitan lumen arteri. Jika ditemukan defek
yang besar, maka ahli bedah vaskular dibutuhkan untuk memperbaiki dengan menggunakan
grafting.
Jika percobaan awal untuk mencapai hemostasis tidak berhasil, langkah berikutnya
adalah dengan menurunkan aliran darah pelvis. Ligasi arteri iliaka interna secara bilateral akan
menurunkan tingkat aliran darah ke pelvis hingga setengah dan menurunkan tekanan pembuluh
darah hingga 85%. Ligasi menurunkan tekanan arterial dimana hal ini akan memudahkan
pembentukan bekuan darah.
Jika perlu, dilakukan ligasi arteri iliaka interna dengan retraksi peritoneum dan ureter ke
arah medial. Arteri iliaka interna kemudian dipotong hingga cabang posterior dapat
diidentifikasi. Posisi yang tepat untuk klem adalah diletakan sekitar 5 cm dari distal bifukarsio
iliaka komunis untuk memastikan bahwa bagian posterior tidak terligasi. Perlu dilakukan ligasi
pada arteri di bagian distal dari sisi posterior untuk mencegah iskemik pada nervus ischiadikus.
Usahakan agar tidak mencederai vena iliaka, klem diletakan dari bagian lateral ke medial. 2
ligature kemudian ditempatkan di sekeliling pembuluh darah iliaka interna untuk melindungi

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 14


daerah tersebut. Arteri iliaka eksterna harus dipalpasi untuk mengkonfirmasi suplai darah.
Prosedur tersebut harus diulang pada sisi yang berlawanan. Jangan melakukan ligasi arteri
hipogastrik bilateral jika sumber perdarahan pada pelvis berasal dari vena.

Perdarahan Vena
Jika sumber perdarahan berasal dari vena, lakuan penekanan dengan menggunakan jari
atau sponge sticks dan telusuri aliran vena secara teliti sampai defek ditemukan. Klem vaskular
seperti klem bulldog atau Satinsky dapat juga digunakan untuk mencapai kontrol pada proksimal
dan distal. Klem Allis dapat digunakan untuk mengelevasi defek dan baru dilepaskan jika
defeknya sudah ditutup. Prolene 4-0 sampai 5-0 digunakan untuk menutup defek dengan 8
jahitan atau metode cepat lainnya namun dengan hati-hati untuk mencegah penyempitan lumen.
Klem bedah merupakan salah satu pilihan yang digunakan jika terdapat vena kecil yang
tersembunyi dimana defek baru bisa ditutup secara V.
Pada saat tersebut jika terjadi perdarahan yang hebat atau lapangan pandang yang tidak
adekuat pada area yang dalam, maka diperlukan pembebatan. Saat pembebatan sudah dilakukan,
manfaatkan proses hemostasis natural, dan tunggu setidaknya 10 menit sebelum dilepaskan. Pada
saat pelepasan, secara perlahan buka area tersebut untuk mengidentifikasi perdarahan yang
spesifik. Jika perdarahan vena menetap akibat DIC, pembebatan harus diteruskan selama 48 jam
kemudian kembali ke ruang operasi begitu faktor pembekuan sudah tergantikan dan kaskade
koagulasi sudah meningkat. Intervensi radiologi diperlukan untuk melihat kemungkinan
embolisasi sebelum kembali ke ruang operasi.

OKLUSI BALON INTRA-AORTA


Ketika intervensi bedah tidak berhasil memperbaiki perdarahan aktif, intervensi radiologi
dapat menawarkan teknik life-saving. Oklusi balon intra-aorta merupakan salah satu pendekatan
untuk penanganan antisipatif terhadap perdarahan postpartum pada kasus seperti plasenta
perkreta. Prosedur ini memerlukan perencanaan sebelum operasi dengan penempatan balon intra-
aorta infrarenal melalui pedoman fluroskopi sebelum operasi. Ketika sudah ditempatkan, balon
tersebut akan mengembang secara intermiten selama operasi untuk membuat oklusi temporer
pada bagian distal aorta dan menurunkan secara signifikan perdarahan di daerah pelvis.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 15


Penempatan balon intra-aorta sudah dilakukan dengan penandaan anatomis intraoperatif
tanpa penggunaan fluroskopi. Hal ini memerlukan ahli radiologi intervensi terlatih yang siap
untuk melakukan prosedur tersebut. Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi trauma pada
aorta, cedera iskemik-reperfusi, tromboemboli, dan penurunan perfusi organ vital. Komunikasi
yang dini dengan ahli radiologi intervensi dibutuhkan untuk menyediakan segala hal yang
dibutuhkan sebelum operasi disertai antisipasi perdarahan atau pada kondisi dimana terjadi
perdarahan aktif.

AGEN HEMOSTASIS TOPIKAL


Agen hemostasis topikal digunakan ketika hemostasis tidak adekuat setelah dilakukan teknik
standar pembedahan seperti penjahitan. Agen ini juga sangat bermanfaat ketika penggunaan
elektrokauter misalnya, ternyata tidak bermanfaat pada daerah dekat saraf atau pembuluh darah
besar. Bukti klinis terhadap efektivitas agen hemostasis topikal masih kurang. 2 kategori utama
dari agen tersebut adalah agen fisikal yang menggunakan substrat untuk memicu hemostasis dan
agen biologikal yang memfasilitasi koagulasi pada daerah perdarahan.
a. Agen fisikal
Matriks gelatin (GelFoam, SurgiFoam) merupakan derivat kolagen porsin; namun
tidak antigenik. Jenis ini tersedia dalam bentuk bubuk kering atau bentuk spons.
Spons gelatin dapat menyerap darah hingga 40 kali beratnya dan melebar hingga
200% volumenya. Spons tersebut mudah digunakan ketika lembab dan dapat
dengan mudah dimasukan dalam celah laparaskopi. Ketika sudah ditempatkan
pada area perdarahan, lakukan penekanan langsung selama beberapa menit.
Matriks gelatin akan diabsorbsi dalam 4-6 minggu.
Selulosa oksidasi teregenerasi (Surgicel) merupakan sejenis mesh steril yang
lentur yang dapat di gulung dan dimasukan melalui lubang laparaskopi. Biasa
digunakan pada potongan dipermukaan organ solid atau dilingkarkan pada area
anastomosis vaskular. Jenis ini akan diabsorbsi dalam 2 minggu.
Polisakarida mikroporus (Arista) merupakan derivat dari pati kentang. Pati ini
memfasilitasi pembentukan bekuan darah melalui konsentrasi platelet dan faktor
pembekuan lewat karakteristiknya yang absorbtif. Jenis ini berbentuk bubuk
kering dan diaplikasikan dengan aplikator, idealnya pada daerah yang kering.
Setelah itu lakukan penekanan selama 1 2 menit. Keuntungannya karena produk

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 16


ini cepat diabsorbsi dalam 2 hari sehingga mengurangi risiko infeksi dan reaksi
benda asing dari tubuh.
Kolagen mikrofibrilar (Avitene) adalah derivat dari kolagen sapi yang bekerja
dalam agregasi platelet dan pembentukan klot. Jenis ini dalam bentuk formulasi
bubuk dan busa. Penggunaannya disertai dengan penekanan langsung selama
beberapa menit. Jenis ini membutuhkan waktu selama 3 bulan untuk bisa
diabsorbsi secara penuh.

b. Agen biologikal
Trombin topikal dalam bentuk cairan dapat digunakan langsung dan efektif untuk
perdarahan yang luas pada daerah yang relatif besar. Meskipun demikian, akan
lebih efektif jika digunakan bersama matriks gelatin (FloSeal, Surgiflo) karena
menyediakan secara langsung untuk pembentukan klot.
Fibrin sealant (Tisseel, Cryoseal, Evicel) merupakan campuran fibrinogen, faktor
XII, trombin, dan kalsium. Sediaan beku harus dicairkan sebelum digunakan dan
dicampur langsung sebelum diaplikasikan. Produk akhir berupa fibrin clot.
Karena merupakan produk plasma, maka kontraindikasi untuk pasien dengan
riwayat anafilaksis terhadap produk plasma atau yang mengalami defisiensi IgA.

EFEK MERUGIKAN DARI AGEN HEMOSTASIS TOPIKAL


Efek merugikannya berkaitan dengan unsur yang dikandung dan waktu absorbsi. Matriks
gelatin berkaitan dengan peningkatan insiden infeksi, granuloma, dan pembentukan fibrosis.
Ketika trombin dicampurkan dengan matriks gelatin (FloSeal), hal ini akan 7 kali meningkatkan
abses pelvis dengan risiko absolut mencapai 5,7%.
Agen hemostasis topikal tidak dimaksudkan untuk penggunaan intravaskular.
Penggunaan intravaskular akan mengakibatkan terjadinya embolisasi jaringan distal, dan pada
kasus yang berat akan mengakibatkan DIC. Agen ini tidak digunakan pada sistem blood-
scavenger karena sistem ini tidak dapat menyaring secara baik kolagen mikrofibrilar, karena itu
darah yang sudah terkumpul setelah peng-aplikasian produk tidak dapat dikembalikan ke tubuh
pasien.

PEMBEBATAN PADA PELVIS

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 17


Jika metode yang digunakan tidak dapat mengontrol perdarahan pada pelvis, maka bebat
tekan harus dibiarkan pada pelvis selama 48-72 jam. Plastik pembungkus film x-ray yang steril
diisi dengan gulungan kasa yang diikat bersama dan bagian ujungnya dibiarkan menonjol
melalui bagian yang terbuka dari wadah tersebut lalu kemudian dikencangkan. Perhatikan
dengan teliti untuk mencegah terjebaknya usus dan ovarium, bebat diletakkan di pelvis dan ujung
kasa akan dibiarkan melewati celah vagina. Untuk mempertahankan tekanan yang konstan,
1000mL cairan intravena akan dikaitkan dengan bebat tersebut melalui prosedur operasi dan
dibiarkan menggantung di bagian bawah tempat tidur. Drain Jackson-Pratt juga diletakan di
pelvis supaya perdarahan yang berlanjut dapat dimonitor. Kateter digunakan untuk mencegah
obstruksi aliran urin akibat bebat sehingga keluaran urin dapat dimonitor. Setelah 48-72 jam,
dengan berkurangnya drainase pada vagina dan Jackson-Pratt maka kasa dapat dilepaskan secara
perlahan-lahan dalam 4 jam. Wadahnya dapat dilepaskan melalui vagina dan celah vagina
dibiarkan terbuka untuk drainase lebih lanjut.
Perdarahan intraperitoneal atau retroperitoneal yang signifikan akan mengarah pada
peningkatan tekanan intra-abdomen dan sindrom kompartemen pada abdominal. Peningkatan
tekanan intra-abdomen akan berpindah ke pleural space dan menyebabkan menurunnya
pengembangan paru dan hipoksemia serta penurunan aliran balik vena. Penurunan perfusi organ
intra-abdomen akan menyebabkan oliguria dan gagal ginjal.

Perdarahan Setelah Operasi


Tanda dan gejala umum dari perdarahan setelah operasi meliputi takikardi, hipotensi,
distensi abdomen, oliguria, konfusi, berkeringat, dan peningkatan nyeri abdomen. Respon
fisiologis pada perdarahan yang luas tergantung pada usia pasien, kondisi kardiovaskular, dan
faktor komorbid. Kadar hemoglobin dan hematokrit sering tidak secara akurat menggambarkan
kemampuan tubuh untuk mengantarkan oksigen ke jaringan pada periode setelah operasi.
Hemodilusi dapat timbul akibat mobilisasi cairan atau masuknya cairan intravena. Kadar
hemoglobin akan relatif stabil setelah kehilangan darah akut karena mobilisasi cairan tidak
langsung terjadi. Karena itu, evaluasi pasien setelah operasi tidak tergantung pada 1 tanda vital,
gejala, maupun kadar hemoglobin.
Jika pasien stabil dan perdarahan yang terjadi minimal, observasi dengan pemeriksaan
serial hemoglobin dan jika perlu, dipikirkan untuk dilakukan transfusi. Meskipun demikian,

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 18


pengulangan transfusi dapat memicu respon yang lebih agresif. Jika kondisi pasien meragukan
akibat tidak adanya perdarahan yang jelas terlihat, perlu dipikirkan adanya perdarahan
retroperitoneal. Jika pasien stabil, computed tomography scan dapat bermanfaat untuk
mengevaluasi jumlah perdarahan pada daerah retroperitoneal atau kavum abdomen. Pasien yang
mengalami syok dan penambahan lingkar perut memerlukan operasi eksplorasi ulangan yang
bersifat segera.

EMBOLISASI
Embolisasi arteri merupakan teknik radiologi intervensi untuk menyumbat pembuluh darah
pelvis. Prosedur ini memerlukan waktu beberapa jam, karena itu hanya diindikasikan untuk
pasien dengan hemodinamik yang stabil dengan kecurigaan perdarahan arteri.

Produk Transfusi Darah


KOMPONEN DARAH
Setiap unit packed red blood cells (PRC) mengandung hingga 200-250mL sel darah
merah. Dengan berasumsi bahwa tidak ada kehilangan darah lanjutan, 1 unit PRC akan
menaikkan hemoglobin hingga mencapai 1 g dan hematokrit sebanyak 3%.
Fresh frozen plasma (FFP) disiapkan dari darah lengkap (whole blood) atau plasma yang
dikumpulkan dari aferesis. 1 unit FFP diambil dari single unit whole blood dengan volume
berkisar 200-250mL dan mengandung semua faktor pembekuan dan protein yang berasal dari
unit asli darah. INR dari FFP setara dengan 1,3 dan hanya diindikasikan untuk (1) protokol
transfusi yang masif, (2) bukti klinis adanya koagulopati, (3) INR 1,5 2.
Secara umum, FFP dimasukan secara intravena dengan dosis 10-15 mL/kgBB.
Kriopresipitat merupakan presipitasi yang dibentuk ketika FFP dalam kondisi cair dan
tersentrifus. Komponen ini mengandung semua faktor pembekuan dan fibrinogen. 10 unit
kriopresipitat akan menaikan kadar fibrinogen hingga mencapai 70mg/dL pada pasien dengan
berat 70kg.
1 unit platelet diisolasikan dari 1 unit darah lengkap (whole blood). Transfusi yang
digunakan biasanya sebanyak 6 unit atau six pack. Transfusi platelet pada operasi
diindikasikan jika ditemukan bukti perdarahan yang masih berlangsung dengan jumlah platelet
<50.000/mL.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 19


MENGHINDARI KOAGULOPATI
Tekanan darah sistolik <70mmHg, asidosis (pH<7,1) dan hipotermi (T<34oC)
menghambat enzim pembekuan dan meningkatkan risiko koagulopati. Pemberian cairan koloid
dan kristaloid dalam volume besar dan transfusi PRC termasuk faktor pembekuan dan platelet
merupakan faktor predisposisi koagulopati.
Tidak ada petunjuk yang universal untuk terapi komponen darah; penggantian sel darah
merah, platelet, plasma, fibrinogen, dan kriopresipitat paling baik didasarkan pada kebutuhan
pasien. Terapi komponen digunakan jika ada bukti klinis koagulopati, perdarahan mikrovaskular
yang difus, atau tes laboratorium yang abnormal. Ketika pasien mengalami perdarahan
mikrovaskular, hematokrit <24%, protrombin time (PT) atau activated partial thromboplastin
time (APTT) > 1,5 2 kali waktu normal, jumlah platelet <50,000/mL, atau fibrinogen <1g/L,
terapi komponen darah harus dipikirkan. Pasien yang menerima Plavix atau yang menggunakan
aspirin dalam waktu dekat akan memiliki disfungsi platelet meskipun jumlah plateletnya normal
dan harus dipikirkan untuk memberikan platelet lebih awal.
Beberapa penulis menyarankan pemberian empiris produk darah :
Ekspansi volume primer harus dilakukan sebelum penggantian darah atau komponen
darah
Untuk setiap transfusi 8 unit sel darah merah, berikan 2 unit FFP
Jika sel darah merah yang diganti > 10 unit, berikan 10 unit platelet, lebih disarankan
pada akhir prosedur. Dengan adanya pemanjangan PTT, berikan FFP
Jika fibrinogen rendah, berikan 2 unit kriopresipitat. Salah satu pilihan saat menangani
perdarahan masif adalah dengan memberikan kriopresipitat.
Keterlibatan ahli hematologi lebih awal akan membantu dalam penanganan pasien dengan
perdarahan masif atau koagulopati.

PROTOKOL TRANSFUSI MASSIF


Pada kondisi perdarahan aktif, kemampuan tubuh untuk mencapai kondisi hemostasis
akan terganggu secara langsung. Pasien yang sedang di operasi berisiko mengalami

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 20


Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC) jika perdarahan menetap. Hal ini sudah diteliti
pada pasien trauma dimana awal terjadinya trauma akan menginduksi koagulopati yang
berkaitan dengan peningkatan mortalitas. Peningkatan resusitasi yang menggunakan darah
diperlukan pada kondisi dimana perdarahan mengarah pada protokol tranfusi masif pada
berbagai fasilitas kesehatan.
Protokol ini berbasis pada algoritma dengan koordinasi berbagai bagian pelayanan rumah
sakit seperti keperawatan, bank darah, anestesi, dan ahli bedah selama terjadi perdarahan. 3
definisi yang paling sering dari transfusi masif pada pasien dewasa meliputi (1) transfusi 10
unit sel darah merah dalam 24 jam, yang hampir mencapai total volume darah (TBV) dari rata-
rata pasien dewasa, (2) transfusi >4 unit sel darah merah dalam 1 jam dengan antisipasi adanya
kebutuhan lebih lanjut akan produk darah, dan (3) penggantian >50% total volume darah oleh
produk darah dalam 3 jam. Penggunaan protokol transfusi masif pada kondisi trauma berkaitan
dengan penurunan kegagalan multiorgan dan peningkatan waktu tanpa ventilator. Perdebatan
yang saat ini ada terkait ratio terbaik dari produk darah dalam protokol transfusi masif.
Percobaan Pragmatic Randomized Optimal Platelet and Plasma Ratios (PROPPR)
merupakan desain penelitian randomisasi 3 fase untuk menentukan apakah ada perbedaan
mortalitas antara subyek yang menerima 1 dari 2 ratio intervensi standar transfusi yakni 1:1:1
atau 1:1:2 (plasma, platelet dan sel darah merah). Hasil dari percobaan ini belum dipublikasikan.
Penelitian lebih lanjut mengevaluasi beberapa rasio transfusi. Penting untuk mulai mengaktifkan
protokol transfusi masif ketika terjasi perdarahan aktif. Hal ini memungkinkan produk darah
untuk tetap tersedia.

Kesimpulan
Persiapan, perencanaan, dan penatalaksanaan terhadap perdarahan massif merupakan hal penting
bagi semua ahli bedah. Memiliki team room operasi ginekologi sangat diperlukan untuk
persiapan kondisi darurat. Ahli bedah harus mengedukasi tim dengan langkah-langkah yang
dibutuhkan selama kondisi darurat. Rencana yang jelas dan sederhana harus diformulasikan
sehingga semua anggota tim mengerti. Selama kondisi darurat, ahli bedah harus segera
menginformasikan ahli anestesi dan mengingatkan perawat untuk menghubungi ahli bedah
vaskular juga segera meminta persediaan darah. Saat ahli anestesi menyediakan bantuan untuk
permasalahan cairan dan akses melalui jalur lainnya, tim bedah harus fokus pada prosedur

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 21


tamponasi terhadap pembuluh darah yang cedera. Selama operasi laparaskopi, blade nomor 10
harus selalu tersedia untuk kondisi darurat. Langkah darurat harus ditulis dan dipublikasikan di
ruang operasi dan diperbaharui secara rutin.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 22


DAFTAR PUSTAKA

1. Harris WJ. Early complications of abdominal and vaginal hysterectomy. Obstet Gynecol Surv.
1995;50:795805.
2. Santoso JT, Saunders BA, Grosshart K. Massive blood loss and transfusion in obstetrics and
gynecology.ObstetGynecol Surv. 2005;60:827837.
3. Carson JL, Noveck H, Berlin JA, et al. Mortality and morbidity in patients with very low
postoperative Hb levels who decline blood transfusion. Transfusion. 2002;42:812818.
4. Patrono C, Ciabattoni G, Pinca E, et al. Low dose aspirin and inhibition of thromboxane B2
production in healthy subjects. Thromb Res. 1980;17:317327.
5. Goldenberg NA, Jacobson L, Manco-Johnson MJ. Brief communication: duration of platelet
dysfunction after a 7-day course of ibuprofen. Ann Intern Med. 2005;142:506509.
6. Kroenke K, Goobey-Toedt D, Jacksno JL. Chronic medications in the perioperative period.
South Med J. 1998;91:358364.
7. Long J. FDA GMP Inspectors Cite 70% of Dietary Supplement Firms. Available at: http://
www.naturalproductsinsider.com/news/2013/05/fda-gmp-inspectors-cite-70-of-dietary-
supplement. aspx. Accessed on September 9, 2013.
8. Cordier W, Steenkamp V. Herbal remedies affecting coagulation: a review. Pharm Biol.
2012;50:443452.
9. Ang-LeeMK,Moss J,Yuan CS. Herbalmedicines and perioperative care. JAMA.
2001;286:208216. 10. Lee A, Chui PT, Aun CS, et al. Incidence and risk of adverse
perioperative events among surgical patients taking traditional Chinese herbal medicines.
Anesthesiology. 2006;105:454461.
11. Crosby WH. The rationale for treating iron deficiency anemia. Arch Intern Med.
1984;144:471.
12. Werner E, Kaltwasser JP, lhm P. Oral iron treatment: intestinal absorption and the influence
of a meal (authors transl). Dtsch Med Wochenschr. 1977;102:10611064.
13. Auerbach M, Goodnough LT, Picard D, et al. The role of intravenous iron in anemia
management and transfusion avoidance. Transfusion. 2008;48:9881000.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 23


14. de Aloysio D, Altieri P, Pretolani G, et al. The combined effect of a GnRH analog in
premenopause plus postmenopausal estrogen deficiency for the treatment of uterine leiomyomas
in perimenopausal women. Gynecol Obstet Invest. 1995;39:115119.
15. Segal JB, Blasco-Colmenares E, Norris EF, et al. Preoperative acute normovolemic
hemodilutions: a meta-analysis. Transfusion. 2004;44:632644.
16. Wurnig C, Schatz K, Noske H, et al. Subcutaneous low-dose epoetin beta for the avoidance
of
transfusion in patients scheduled for elective surgery not eligible for autologous blood donation.
Eur Surg Res. 2001;33:303310.
17. Sesti F, Ticconi C, Bonifacio S, et al. Preoperative administration of recombinant human
erythropoietin in patients undergoing gynecologic surgery. Gynecol Obstet Invest. 2002;54:15.
18. Gostout B, Cliby W, Podratz C. Prevention and management of acute intraoperative bleeding.
Clin Obstet Gynecol. 2002;45:481491.
19. West S, Ruiz R, Parker WH. Abdominal myomectomy in women with very large uterine size.
Fertil Steril. 2006;85:3639.
20. Morrow CP. Basic surgical principles. In: Paul Morrow C, ed. Morrows Gynecologic Cancer
Surgery. Encinitas: South Coast Medical Publishing; 2013:124. Print.
21. Tamizian O, Arulkumaran S. The surgical management of postpartum haemorrhage. Curr
Opin
Obstet Gynecol. 2001;13:127131.
22. Walker Joan. Ancillary procedures. In: Karlan B, Bristow R, Li A, eds. Gynecologic
Oncology:
Clinical Practice and Surgical Atlas. San Francisco: McGraw Hill Medical; 2012:673683. Print.
23. Masamoto H, Uehara H, Gibo M, et al. Elective use of aortic balloon occlusion in cesarean
hysterectomy for placenta previa percreta. Gynecol Obstet Invest. 2009;67:9295.
24. Svik E, Stokkeland P, Storm BS, et al. The use of aortic occlusion balloon catheter without
fluoroscopy for life-threatening post-partum haemorrhage. Acta Anaesthesiol Scand. 2012;56:
388393.
25. Usman N, Noblet J, Low D, et al. Intra-aortic balloon occlusion without fluoroscopy for
severe
postpartum haemorrhage secondary to placenta percreta. Int J Obstet Anesth. 2014;23:9193.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 24


26. Ereth MH, Schaff M, Ericson EF, et al. Comparative safety and efficacy of topical hemostatic
agents in a rat neurosurgical model. Neurosurgery. 2008;63:369372.
27. Borten M, Friedman EA. Translaparoscopic hemostasis with Microfibrillar collagen in lieu of
laparotomy. Areport of two cases. J Reprod Med. 1983;28:804806.
28. Spotnitz WD, Burks S. Hemostats, sealants, and adhesives: components of the surgical
toolbox.
Transfusion. 2008;48:15021516.
29. Lew WK, Weaver FA. Clinical use of topical thrombin as a surgical hemostat. Biologics.
2008;2:593599.
30. Mannucci PM. Hemostatic drugs. N Engl J Med. 1998;339:245253. 730 Yu et al
www.clinicalobgyn.com Copyright r 2015 Wolters Kluwer Health, Inc. All rights reserved.
31. Hong YM, Loughlin KR. The use of hemostatic agents and sealants in urology. J Urol.
2006;176: 23672374.
32. Anderson CK, Medlin E, Ferriss AF, et al. Association between gelatin-thrombin matrix use
and abscesses in women undergoing pelvic surgery. Obstet Gynecol. 2014;124:589595.
33. Achneck HE, Sileshi B, Jamiolkowski RM, et al. A comprehensive review of topical
hemostatic agents: efficacy and recommendations for use. Ann Surg. 2010;251:217228.
34. Howard R, Straughn M, Huh W, et al. Pelvic umbrella pack for refractory obstetric
hemorrhage
secondary to posterior uterine rupture. Obstet Gynecol. 2002;100:10611063.
35. Balogh Z, Jones F, DAmours S, et al. Continuous intra-abdominal pressure measurement
technique. Am J Surg. 2004;188:679684.
36. Hardy JF, Samama M. Massive transfusion and coagulopathy. Transfus Altern Transfus Med.
2003;4:199210.
37. Erber WN. Massive blood transfusion in the elective surgery setting. Transfus Apheresis Sci.
2002;27:8392.
38. Hiippala S. Replacement of massive blood loss. Vox Sang. 1998;74(suppl 2):399407.
39. MacLeod JB, Winkler AM, McCoy C, et al. Early trauma induced coagulopathy (ETIC):
prevalence across the injury spectrum. Injury. 2014;45: 910915.
40. Pham HP, Shaz BH. Update on massive transfusion. Br J Anaesth. 2013;111(suppl 1): i71
i82.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 25


41. Cotton BA, Au BK, Nunez TC, et al. Predefined massive transfusion protocols are associated
with a reduction in organ failure and postinjury complications. J Trauma. 2009;66:4148.
Discussion 48.
42. Baraniuk S, Tilley BC, del Junco DJ, et al. Pragmatic Randomized Optimal Platelet and
Plasma
Ratios (PROPPR) trial: design, rationale and implementation. Injury. 2014;45:12871295.

Telaah Jurnal | Management of Hemorrhage During Gynecologic Surgery 26

Anda mungkin juga menyukai