Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PRAKTIKUM

GETARAN MEKANIS

Ahmad Dien Warits

1206240101

Kelompok 11

Dosen : Dr. Ir. Wahyu Nirbito, MSME

Asisten : Ahmad Syihan Auzani

Anggita Dwi Liestyosiwi

Lina Syaravina

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISI

Whiriling Shaft

Redaman Coulomb

Balancing
WHIRILING SHAFT

1. TUJUAN PRAKTIKUM

Mengamati fenomena whirling pada poros yang berputar yang kecil-panjang.

Mengetahui nilai putaran kritis dari poros yang berputar.

Membandingkan putaran kritis yang didapat secara praktek dengan putaran

kritis yang didapat secara teori.

2. DASAR TEORI

Ketika suatu poros berputar, maka akan terjadi fenomena whirling , yaitu fenomena dimana
poros berputar akan mengalami defleksi yang diakibatkan oleh gaya sentrifugal yang
dihasilkan oleh eksentrisitas massa poros. Fenomena ini terlihat sebagai poros yang berputar
pada sumbunya dan pada saat yang sama poros yang berdefleksi juga berputar relatif
mengelilingi sumbu poros.

Fenomena whirling terjadi pada setiap sistem poros, baik yang seimbang maupun tidak.
Pada sistem yang seimbang, fenomena ini dapat disebabkan oleh defleksi statis atau gaya
magnetik yang tidak merata pada mesin mesin elektrik.

Defleksi awal ini membuat poros berputar dalam keadaan bengkok . Gaya sentrifugal yang
terjadi akan terus membuat defleksi terjadi sampai keadaan seimbang yang berkaitan dengan
kekakuan poros tercapai. Poros yang berputar melewati putaran kritisnya lalu akan mencapai
keadaan setimbang.

Jika M = massa beban (kg) h = defleksi awal (m) y = defleksi sentrifugal (m), maka gaya
sentrifugal radial adalah :

M 2 (h+ y )

Gaya sentfifugal radial adalah sama dengan gaya elastis pada poros, maka :

M 2 ( h+ y )=ky
Dimana : k = elastisitas poros (N/m)

Sehingga didapat perbandingan :

y 1
=
h k
1
M 2

k

g
Jika f n= M = adalah frekuensi alami getaran poros, maka :

c=
1
2 k
M

Dimana = defleksi statis dari poros yang mengalami pembebanan W = Mg pada titik

tengahnya (m). Sedangkan c = kecapatan kritis angular dari system.

Lalu didapat persamaan :

y 1
=
h c
2

( ) 1

y
Jika c , maka h
= , ini merupakan kondisi untuk terjadinya whirling yang besar.

Maka :

N c=
1
2 g 0,498

=

Terdapat dua kondisi beban atau piringan, yaitu,

1) Piringan berada ditengah poros :

Mg L3
=
48 EI

Dimana : E = Modulus Young untuk logam poros (Pa)


4
4
d
I = Momen Inersia Area Poros (m ) = 64

Sehingga didapat persamaan untuk putaran kritis :

N c =1,103
EI
M L3

Catatan : Nc dalam rps (rotation per second)

2) Piringan tidak berada ditengah poros :

N c =0,276
EIL
M a2 b2

Catatan : Nc dalam rps (rotation per second)

3. PERALATAN

Untuk melakukan praktikum mengenai whirling shaft ini diperlukan alat sebagai berikut:

Beban silinder alimunium ( 1 buah )

Penggaris 50 cm ( 1 buah )

Satu set whirling shaft apparatus

Power supply

Tachometer

Kunci L

Skema whirling shaft :


Dimana :

M = massa beban (kg) h = defleksi awal (m) y = defleksi sentrifugal (m)

4. PROSEDUR PERCOBAAN

Untuk melakukan pratikum whirling shaft langkah kerja yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut:

1) Power supply, whirling shaft apparatus,beban, dan tachometer dirangkai

sesuai petunjuk.

2) Posisi tumpuan shaft diatur sesuai dengan variabel yang diingkinkan. Jarak

tumpuan shaft yang konstan terhadap beban adalah 25.5 cm (jarak a).

3) Posisi tumpuan b diatur sesuai dengan data yang akan diambil. Data yang

diambil untuk jarak b terhadap beban 35 cm, 40 cm, 45 cm, 50 cm, dan 55 cm.

4) Motor dinyalakan untuk memutar shaft.

5) Dilakukan pengamatan terhadap getaran shaft.

6) Kecepatan putar shaft yang menghasilkan getaran paling besar dicatat.

7) Motor dimatikan dan posisi b dirubah untuk pengamatan selanjutnya.

5. PENGOLAHAN DATA
Diameter shaft (D) : 0.06

Diameter beban (d) : 74,10 mm

Ketebalan beban (t) : 15,2 mm

Massa jenis alumunium(teoritis) : 2700 kg/m3

Modulus Young (E)(teoritis) : 9300 Mpa

Masa beban aluminium didapat menggunakan perssamaan matematis untuk massajenis :

m= V

m=2700 ( 14 (74,10 x 10 ) ) x 15,2 x 10


3 2 3

m=0,177 kg

Inersia dari silinder alumunium didapat dari perhitungan inersia silender pejal:

1 2
I = mr
2

2
1 0,0741
I = ( 0,177 ) ( )
2 2

I =1,21. 104 kg m2

Putaran kritis teoritis didapat menggunakan perhitungan :

N c =0,276
EIL
M a2 b2
Perbadaan nilai antara putaran kritis aktual dengan teoritis adalah error atau
penyimpangan dari pengukuran. Error didapat dari perhitungan menggunakan
persamaan matematis:

NcNteo
Error= x 100
Nteo

a. Tabel Pengolahan Data

Putaran
Jarak Momen Modulus
Jarak Kritis Putaran Kritis Error
b Inersia Area Young
a (m) Eksperimen Teoritis (rpm) (%)
(m) Poros (m^4) (N/m^2)
(rpm)
0,25 28,049
5 0,35 1143 1,21 * 10^-4 9300 822,3919937 7
0,25 33,921
5 0,40 1089 1,21 * 10^-4 9300 719,5929945 7
0,25 37,413
5 0,45 1022 1,21 * 10^-4 9300 639,6382173 1
0,25 37,623
5 0,50 922,9 1,21 * 10^-4 9300 575,6743956 3
0,25 38,869
5 0,55 856,1 1,21 * 10^-4 9300 523,3403596 2

b. Grafik jarak b vs putaran kritis teoritis dan putaran kritis eksperimen


Grafik Putaran Kritis vs Jarak Tumpuan
1400
1200
1000
800
600
400
Putaran Kritis Teoritis
200
Putaran Kritis (rpm) Putaran Kritis
0 Eksperimen

35

45

4
00
0.

0.

00
00
00
00
00
00
55
0.

Jarak Tumpuan b (m)

c. Grafik jarak b vs error

Grafik Error Putaran Kritis vs Jarak Tumpuan


45
40
35
30
25
20
15
10
5 Error
Error (%)
0
35

45

5
4

4
0.

0.

00
0.

0.

00
00
00
00
00
00
55
0.

Jarak Tumpuan b (m)

d. Kegiatan Praktikum
Gambar 1.1 Sistem dalam praktikum

6. ANALISIS

Analisis Hasil dan Grafik

Pertama, berdasarkan grafik putaran kritis dengan jarak tumpuan dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara putaran kritis dan jarak tumpuan adalah linear dengan gradien minus. Ini
terjadi baik dalam grafik putaran kritis eksperimen maupun putaran kritis teoritis. Semakin
jauh jarak tumpuan maka semakin kecil putaran kritisnya. Begitu pula sebaliknya semakin
dekat jarak tumpuan maka semakin besar putaran kritisnya.

Pada dasarnya mengubah jarak tumpuan adalah untuk mengubah posisi beban juga. Karena
posisi tumpuan yang jauh juga menghasilkan posisi beban yang jauh dan posisi tumpuan
yang dekat juga menghasilkan posisi beban yang dekat pula. Namun saja pada praktikum ini
jarak beban terhadap satu tumpuan dibuat fix dan yang diubah hanya jarak tumpuan yang
lainnya. Hal ini ditujukan untuk mempermudah praktikum.

Ternyata semakin jauh tumpuan, semakin jauh beban pada sistem, maka semakin cepat sistem
mengalami putaran kritis. Secara konstruksi, jelas terlihat bahwa semakin jauh tumpuan maka
sistem mengalami defleksi yang semakin besar. Hal ini mengabatkan poros berputar dengan
defleksi yang lebih besar pula sehingga dalam kecepatan rendah (rpm rendah) poros sudah
mengalami putaran kritis. Demikian pula jika tumpuan didekatkan atau beban didekatkan,
maka poros sistem akan lebih stabil. Poros akan mengalami defleksi yang kecil, sehingga jika
diputar maka poros selain berputar pada sumbunya sendiri poros juga akan berputar dalam
radius defleksinya yang kecil.
Kedua, berdasarkan grafik error putaran dan jarak tumpuan dapat disimpulkan bahwa secara
teoritis dan secara real putaran kritis mengalami perbedaan. Perbedaan yang terjadi adalah
30-40 %. Hal ini bisa saja terjadi karena kesalahan dalam praktikum. Namun yang pasti
semakin jauh jarak tumpuan semakin sulit atau semakin kurang akurat untuk memprediksi
putaran kritisnya. Karena berdasarkan grafik yang terjadi trend errornya semakin besar ketika
jarak tumpuannya diperjauh.

Analisis Kesalahan

Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat error yang cukup tinggi 30-40%. Error
disebabkan oleh kesalahan relatif. Kesalahan relatif merupakan kesalahan-kesalahan yang
berasal dari manusia maupun alat.

Kesalahan relatif akibat manusia :

- Ketidaktelitian membaca jarum penunjuk kecepatan sudut.

- Ketidaktelitian dan tidak konsistennya perhitungan jarak a dan b.

- Ketidaktelitian mengamati getaran paling kuat.

Kesalahan relatif akibat instrumen praktikum :

- Bearing penahan tidak kuat menahan getaran poros.

- Cross Joint pada pemutar poros tidak membuat putaran semakin teratur ketika
defleksi semakin tinggi yang mengakibatkan putaran pada penunjuk kecepatan
sudut bisa tidak sama dengan putaran aktual.

Faktor penting lainnya adalah ketidakakuratan praktikan dalam membaca hasil yakni pada
indicator jarum. Ketidak akuratan ini dipengaruhi oleh dua factor, yakni pertama karena
disebabkan kesulitan untuk membaca sehingga hasil yang didapatkan adalah merupakan
hasil-hasil pembulatan atau pendekatan dan yang kedua adalah kesulitan menentukan
kecepatan yang paling sesuai dimana putaran kritis terjadi.

Faktor kedua adalah kesulitan dalam menentukan posisi titik tumpu shaft. Hal ini
dikarenakan ketidak tersediaan titik tengah pada bheban maupun pada bearing. Hal ini
menimbulkan ketidak akuratan praktikan dalam menentukan jarak b. Sehingga dalam
eksperimen praktikan tidak dapat mengambil atau menentukan hasil yang presisi. Hal ini
tentu dapat juga menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan antara hasil eksperimen dan
hasil teoritis.

7. KESIMPULAN

Fenomena whiriling pada shaft terjadi akibat shaft mengalami defleksi baik akibat
bebannya sendiri maupun beban luar. Sehingga shaft selain berputar pada sumbunya,
shaft juga akan berputran dengan radius defleksinya
Putaran kritis shaft akan semakin rendah (rpm rendah) jika shaft mengalami defleski
yang besar
Secara teoritis dan eksperimen terdapat perbedaan nilai putaran kritis sekilat 30-40%
akibat kesalahan praktikum
REDAMAN COULOMB

1. TUJUAN

Mengukur massa dari suatu objek melalui periode naturalnya

Membandingkan massa objek yang didapat melalui periode natural dengan massa

yang dengan menggunakan timbangan.

2. DASAR TEORI

Pada sistem massa 2 pegas dengan peredaman coulomb bila objek bergerak ke kanan dan

dilepas, maka gaya yang bekerja pada sistem adalah gaya pegas k eq x dan gaya gesekan

Dalam persamaan gerak :

F=ma

k eq x+ mg=m x

Dengan penyelesaian :

x= A cos n t + B sin n t+ mg

Jika t = 0, maka :

mg
x=x 0 , maka : x 0= A+
k eq

mg
A=x 0
k eq

x =0 , maka : n B=0
Karena n tidak selalu 0, maka B = 0

Maka penyelesaiannya berbentuk :

mg mg
(
x= x0
k eq )
cos n t +
k eq

Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa peredaman dalam sistem terjadi karena
amplitudo gerakan berkurang secara kontinu. Setiap setengah siklus, amplitudo getaran

mg
berkurang sebesar 2 k eq ( ).
Mencari frekuensi natural :

Dari persamaan gerak :

mg
(
m x +k eq x )
k eq
=0

Dengan :

mg
x ' =x
k eq

x ' = x

x ' = x

Maka :

m x ' +k eq x ' =0
k eq '
x ' + x =0
m

Sehingga :

n=
k eq
m

Dalam frekuensi :

f n=
1
2 k eq
m

Dalam perioda :

n =2
k eq
m

Dalam percobaan, akan dilakukan perbandingan antara massa objek yang diukur dengan
timbangan dengan massa objek yang didapat dengan menggunakan rumus :

2
4 k eq
m= 2
n

Setelah itu, persentase kesalahan akan dihitung dengan menggunakan rumus :

|mmtimbang|
error= .100
mtimbang

3. PERALATAN

Untuk melakukan praktikum mengenai getaran bebas dengan peredaman coulomb ini
diperlukan alat sebagai berikut:

Rangkaian pegas

Beban
Penggaris

Stopwatch

Sistem massa-pegas

4. PROSEDUR PERCOBAAN

Untuk melakukan pratikum getaran bebas dengan peredaman coulomb langkah kerja yang
harus dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Rangkaian pegas disiapkan untuk dilakukan percobaan.

2) Beban yang akan diujikan diukur massanya terlebih dahulu. Pada percobaan ini
digunakan beban berat badan praktikan.

3) Beban diletakkan pada system pegas.

4) Pegas ditarik dari keadaan setimbang hingga 7 cm.

5) Beban dilepaskan dan dihitung berapa banyak beban berosilasi dan dihitung waktu
osilasinya.

6) Percobaan diulangi untuk simpangan awal 8, 9,10, 11 cm.

7) Data yang diperoleh dicatat.

5. PENGOLAHAN DATA

Massa : 64 Kg

K pegas : 1000 N/m


N pegas : 4 buah

Keq dari sistem adalah

K eq =KxN
K eq =1000 x 4
K eq =4000 N /m

Periode Teoritis adalah

T n=2
m
K eq

T n=2
64
4000

T n=0,79 s

Massa eksperimen di dapat dari

2
T xK
m= n 2 eq
4

Misalkan untuk massa percobaan pertama, yaitu untuk simpangan 70 mm

1,8132 x 4000
m=
4 2
m=333,500 Kg

Error Massa Eksperimen

|Massa EksperimenMassa Real|


Error Massa= x 100
Massa Eksperimen
Error Periode Eksperimen

|Periode EksperimenPeriode Real|


Error Periode= x 100
Periode Eksperimen

a. Tabel Pengolahan Data

Error Error
X0 Meksperim Mass Perio
n t(s) T(s)
en (Kg) a de
(m
m) (%) (%)
1 2 3 1 2 3 1 2 3 avg
3,3 3,9 3,5 1,69 1,99 1,75 1,81 333,50 80,8 56,19
70 2 2 2
8 9 1 0 5 5 3 0 10 7
2,2 2,2 2,2 3,5 3,3 3,7 1,58 1,50 1,64 1,57 252,00 74,6 49,61
80
5 5 5 6 8 0 2 2 4 6 9 04 0
4,0 4,5 4,4 1,63 1,83 1,76 1,74 308,95 79,2 54,49
90 2,5 2,5 2,5
9 8 2 6 2 8 5 7 85 0
4,8 4,8 4,8 1,62 1,60 1,60 1,60 262,53 75,6 50,63
100 3 3 3
6 1 1 0 3 3 9 8 23 1
5,7 5,5 5,7 1,64 1,57 1,63 1,61 264,92 75,8 50,85
110 3,5 3,5 3,5
6 0 1 6 1 1 6 7 42 4

b. Grafik Periode Eksperimen vs Simpangan


Grafik Periode Eksperimen vs Simpangan
1.850

1.800

1.750

1.700

Periode (s) 1.650 Periode Eksperimen

1.600

1.550

1.500

1.450
70 80 90 100 110

Simpangan (mm)

c. Grafik Massa Eksperimen vs Simpangan

Grafik Massa Eksperimen vs Simpangan


360

340

320

300

Massa Eksperimen (Kg) 280 Massa Eksperimen

260

240

220

200
70 80 90 100 110

Simpangan (mm)
d. Grafik Error Massa vs Simpangan

Grafik Error Massa vs Simpangan


82

80

78

Error Massa (%) 76 Error Massa

74

72

70
70 80 90 100 110

Simpangan (mm)

e. Grafik Error Periode vs Simpangan

Grafik Error Periode vs Simpangan

Erro r
Error Massa (%) Periode

Simpangan (mm)

f. Foto-foto Kegiatan Praktikum


Gambar 2.1. Sistem Percobaan

Gambar 2.2. Metode Pengukuran Simpangan

Gambar 2.3. Pegas dengan Konstanta Ekuivalennya


Gambar 2.4. Kondisi Konstruksi Sistem

Gambar 2.5. Bearing pada Konstruksi Sistem

6. ANALISIS

Analisis Grafik

Grafik periode eksperimen vs simpangan menunjukkan bahwa periode eksperimen


mengalami fluktuasi. Fluktuasi terjadi ketika simpangan divariasikan. Seharusnya
berdasarkan teoritis periode benda memiliki nilai yang konstan. Secara teoritis seharusnya
periode benda dalam praktikum ini adalah 0,79 s. Artinya setiap 0,79 s pegas akan berosilasi
satu kali. Namun pada hasil eksperimen, periode benda mengalami fluktuasi antara 1,6 s 1,8
s. Walaupun berdasarkan grafik, semakin besar nilai simpangan nilai periode semakin
mengacu kepada satu titik (konvergen) namun titik yang dituju bukanlah 0,79 s.
Mengacu juga pada grafik error periode eksperimen vs simpangan bahwa error periode
eksperimen jika dibandingkan dengan teoritis adalah sebesar 75-81%. Hal ini sangat jauh jika
hasil teoritis ingin digunakan sebagai prediksi periode pada sistem yang sesungguhnya.

Berdasarkan grafik massa eksperimen vs simpangan juga menghasilkan nilai massa yang
fluktuatif. Ini terjadi karena pada dasarnya besarnya massa adalah linear terhadap periodenya.
Ternyata grafik error massa vs simpangan menunjukkan bahwa massa beban yang
diprediksi dari hasil eksperimen memiliki perbadaan (error) yang cukup tinggi jika
dibandingkan dengan massa beban yang sesungguhnya. Grafik menunjukkan bahwa error
tersebut adalah 75-80%. Jika pada sesungguhnya massa beban adalah 64 kg, berdasarkan
prediksi percobaan massa beban dapat mencapai 333,5 kg. Tentu saja hal ini tidak cocok
digunakan sebagai prediksi massa beban.

Analisis Hasil

Nilai hasil percobaan ternyata jauh berbeda dengan nilai sesungguhnya. Baik periodenya
maupun massanya. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Faktor pertama adalah
beban berlebih yang sebenarnya ditahan oleh pegas. Beban dalam praktikum ini ialah massa
dari praktikan namun selain itu terdapat massa lainnya yaitu massa kursi yang diduduki oleh
praktikan. Jelas ini menambah beban pada sistem.

Faktor kedua adalah nilai konstanta pegas ekuivalen dalam praktikum ini mungkin tidak tepat
4000 N/m. Sebab di awal praktikum praktikan tidak menguji terlebih dahulu konstanta pegas
dalam sistem. Mungkin saja nilai konstanta pegas ini lebih besar ataupun lebih kecil.

Faktor ketiga adalah konstruksi sistem yang kurang baik. Secara keseluruhan sistem tidak
stabil. Maksud dari stabil di sini adalah ke-empat kaki-kaki sistem tidak semuanya
menyentuh dasar (lantai). Terdapat juga shaft yang mengalami bending. Shaft yang
mengalami bending ini memiliki defleksi sehingga mengganggu rel ketika digerakkan.
Terakhir bearing pada rel sudah tidak baik. Hal ini menyebabkan friksi yang besar. Sehingga
periode dalam percobaan mengalami pergesarn nilai yang besar.

Analisis Kesalahan
Kesalahan atau error yang terjadi mungkin sekali terjadi karena kesalahan-kesalahan relatif
yang disebabkan oleh praktikan dan alat ukut. Dalam hal ini praktikan membaginya menjadi
empat faktor.

Faktor pertama adalah ketidak tepatan para praktikan dalam mengukur posisi awal atau Xo.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh alat ukur yang digunakan. Pada praktikum ini,
praktikan menggunakan penggaris manual. Pengukuran dengan menggunakan penggaris
merupakan pengukuran yang tidak akurat sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh ketidak
tepatan dalam mengukur yang disebabkan oleh beban atau objek yang harus ditahan. Ketika
ditahan, tentu objek tidak bias tetap diam pada posisi yang ditentukan . Hal ini menyebabkan
posisi awal akan selalu berubah-ubah sehingga menyebabkan error pada hasil praktikum.

Faktor kedua adalah adanya gaya-gaya luar yang tidak diperlukan karena akan
mempengaruhi gaya pada pegas. Ketika menentukan jarak dan menahan objek, terdapat
kemungkinan adanya gaya berlebih dalam arti yang mendorong objek ketika dilepaskan. Hal
ini menyebabkan objek tidak lagi bergerak karena adanya konstanta pegas dengan murni,
tetapi juga karena adanya gaya dorong sehingga hasil yang didapatkan tentunya akan berbeda
pula.

Faktor ketiga adalah ketidaktepatan dalam dalam menentukan waktu yang dibutuhkan objek
pada saat mulai bergerak sampai berhenti. Hal ini dikarenakan eksperimen ini
dilakukan oleh bukan satu praktikan saja dan setiap praktikan memiliki tugas yang berbeda-
beda. Sehingga orang yang melepas objek dan yang memegang stopwatch adalah berbeda.
Hal ini menyebabkan timbulnya perbedaan waktu yang sebenarnya dengan waktu yang
diukur.

Faktor yang terakhir adalah ketidak akuratan dalam menentukan apakah objek atau beban
sudah berhenti atau belum Hal ini dikarenakan pada detik-detik terakhir, beban
bergerak sangat pelan dan hamper sulit untuk dilihat. Sehinga sangat sulit menentukan
jumlah ayunan yang telah terjadi. Hal ini menyebabkan terjadinya error yang lumayan besar.

7. KESIMPULAN

Massa benda yang diprediksi dari praktikum ini adalah berkisar 252-333,5 kg
Error dari prediksi massa dalam praktikum ini berkisar 75-80%. Tentunya ini tidak dapat
digunakan sebagai prediksi massa sesungguhnya
BALANCING

1. TUJUAN

Mengetahui ciri-ciri benda tidak balance


Melakukan balancing dengan memberikan massa counter balance

2. DASAR TEORI

Akibat percepatan mekanisme akan timbul gaya inersia pada mekanisme tersebut. Gaya
inersia ini dapat menimbulkan goncangan pada mesin atau konstruksi. Adanya goncangan ini
sangat merugikan. Karena umur komponen yang ada akan menjadi lebih pendek (mudah
aus/rusak). Oleh karenanya perlu dilakukan langkah-langkah untuk menyeimbangkan
mekanisme yang ada. Hal ini dilakukan dengan memberikan massa pada sistem yang akan
melawan gaya inersia yang menyebabkan goncangan tersebut di atas.
Cara di atas dapat dipergunakan untuk membuat seimbang massa yang bergerak bolak-balik
maupun yang berputar. Untuk sistem massa yang berputar, terdapat tiga jenis permasalahan,
yaitu:

Membuat seimbang sebuah massa yang berputar.

Membuat seimbang lebih dari sebuah massa yang berputar, dimana massa-massa tersebut
terletak pada sebuah bidang datar yang sama.

Membuat seimbang lebih dari sebuah massa yang berputar, dimana massa-massa tersebut
terletak pada beberapa bidang datar.

Membuat Seimbang Sebuah Massa yang Berputar

Suatu poros yang berputar dengan kecepatan sudut akan mengakibatkan timbulnya gaya
inersia, jika gaya-gaya dan momen yang timbul tidak seimbang, akan menimbulkan
goncangan pada sistem serta reaksi yang cukup besar pada bantalan A dan B.

Untuk mengeliminasi timbulnya goncangan tersebut ditambahkan massa penyeimbang m 2


yang dipasang pada jarak R2 dari poros, dan pada posisi sudut seperti pada gambar 2.1.
Tujuan dari pemberian massa ini adalah untuk menyeimbangkan sistem, baik keseimbangan
secara statis maupun dinamis.

W1 w1

R1 R1

A B

sebelum dibalancing

W1
R1 m1g
R1
2
1

A B R2
R2

W2
W2
m2g
=
2 1 m12RSin
m22RSin

Setelah dibalancing (kesetimbangan statis)

R1

R2

W2
m12RCos

2 1

W1 m22RCos R1

R1

R2
A B
R2
W2

W2 m22R

Setelah dibalancing (kesetimbangan dinamis)

Gambar 2.1. Membuat seimbang satu massa yang berputar


Keseimbangan Statis

Keseimbangan statis tercapai apabila total momen oleh gaya berat dari sistem massa terhadap
poros sama dengan nol.

M 0

m1 g R1 cos m2 g R2 cos 0

m1 R1 m2 R2
... (1)

Keseimbangan Dinamis

Keseimbangan dinamis tercapai apabila total gaya inersia yang timbul akibat putaran sama
dengan nol.

I 0

m1 R1 2 m2 R2 2 0

m2 R2 m1 R1
... (2)

Ternyata persamaan (1) dan (2) adalah sama. Jadi untuk sebuah massa yang berputar,
keseimbangan statis dan dinamis tercapai bila memenuhi persamaan di atas. Bila harga R2
ditentukan (tergantung pada ruang yang tersedia), maka m2 dapat dihitung.

3. PERALATAN

Mesin multiplane balancing

Power supply

Stroboskop

Komputer dengan program LabView

NI-DAQ
Timbangan digital

4. PROSEDUR PERCOBAAN

Langkah Persiapan Balancing

1) Hubungkan kabel USB dari NI DAQ ke computer

2) Pastikan modul NI 9234 terpasang pada NI DAQ

3) Colok kabel power NI DAQ

4) Buka Labview dengan nama praktikum balancing

5) Set physical channel, dengan minimum value -5 dan maximum value 5

6) Set timing parameter dengan rate= 180 Hz dan samples to read 2000 7) Buat file dengan
nama praktikum balancing pada TDMS file path

7) Persiapkan balancing machine tetapi jangan dahulu kabel powernya dicolok

8) Persiapkan belt, rotor 5 disc, kunci L 3/32 dan 5/32, penggaris, massa- massa, busur
dan kertas kosong

9) Olesi bearing dengan grease

Langkah persiapan pemasangan massa


1) Pasang massa pada disk 2,3,4 pada jari-jari bebas dan putar masing-masing disk dengan
melonggarkan sekrup dengan kunci L 3/32

2) Catat masing-masing massa dan sudut-sudutnya (tidak digunakan selama percobaan ini
dan digunakan sebagai pembanding dengan hasil balancing)

3) Pastikan disk 1 dan 5 posisi 0 nya berada pada posisi 0 yang ter-emboss

Langkah set up alat

1) Letakkan rotor 5 disk pada atas bearing-bearing mesin balancing, catat disk 1 di ujung
yang mana dan disk 5 diujung yang mana

2) Pasang belt

3) Kencangkan ujung-ujung ball cradle dengan menggunakan kuncil L 5/32 sehingga


mencegah terjadinya pergerakan terhadap arah aksial rotor

4) Nyalakan mesin balancing

5) Set stroboskop pada kondisi internal 12 Hz

6) Nyalakan motor

7) Cari dimana kecepatan motor sama dengan kecepatan stroboskop menyala sehingga rotor
seakan-akan terlihat berhenti terhadapap nyala stroboskop

8) Jika sudah ditemukan maka matikan motor dengan tidak mengubah-ubah kontrol
kecepatannya, sehingga jika motor dihidupkan motor akan bergerak pada 12 Hz

Langkah Balancing

1) Run labview, terlihat amplitudo awal sekitar 0,0...

2) Nyalakan motor pada posisi yang sudah ditetapkan

3) Tunggu hingga konsisten dan stabil

4) Terlihat pada grafik power spectrum frekuensi rotor yang berputar di 12 Hz


5) Setelah stabil stop running, lalu catat rms yang terbaca

6) Pindahkan switch stroboskop ke eksternal

7) Sedikit demi sedikit putar swicth (knob) yang terletak dekat transduser hingga

menyentuh plat (maksimum displacement dari cradle) yang dapat menyebabkan


stroboskop berkedip (PERINGATAN: hati-hati jangan sampai terlalu berlebihan, jadi
cukup sedikit saja menyentuhnya)

8) Lihat angka yang terletak sejajar dengan transducer (di atas switch sekrup putar) dan

catat (sebagai sudut fase dari titik referensi 0)

9) Putar balik switch knob putar lalu matikan motor tanpa merubah kontrol kecepatan

10) Putar disk 5 sehingga titik 0 pada disk berada pada titik yang terbaca pada

langkah no.8 dengan longgarkan skrup 3 buah yang ada di disk dengan kunci
L 3/32

11) Dari rms yang didapat dari labview, kalibrasikan dengan grafik kalibrasi

amplitudo yang diberikan

12) Catat U nya

13) Perhatikan slot yang ada pada disk koreksi (disk 5) berjari-jari antara 45-65

mm

14) Dari U yang didapat tentukan m dan r yang cocok; U = m . r

15) Timbang massa pada timbangan digital yang ada

16) Pasang massa counterbalance pada r yang ditentukan pada langkah no.15 pada

lokasi slot yang sesuai dengan langkah no.10

17) Nyalakan kembali motor

18) Run labview kembali

19) Catat rms yang terbaca setelah dalam kecepatan yang stabil

20) Set stroboskop ke eksternal lalu lihat angka yang muncul pada langkah no.8
21) Matikan motor

22) Ulangi langkah no. 11 dan 12

23) Jumlahkan dengan menggunakan vektor sehingga didapat U yang

menggantikan U awal (lihat contoh)

24) Putar disk sesuai sudut yang ditunjukkan dari hasil penjumlahan vektor

25) Pasang U pengganti ini pada disk koreksi dengan set terlebeih dahulu m dan r

yang cukup pada slot tersebut

26) Ulangi langkah-langkah balancing ini sehingga didapat amplitudo rms

dibawah 2,5 sehingga bisa dianggap balance

27) Putar posisi rotor, ujung ke ujung, sehingga disk 1 berada pada posisi disk

koreksi, dan disk 5 berada di atas penumpu

28) Gunakan langkah-langkah koreksi seperti pada disk 5

29) Matikan mesin balancing jika suda selesai membalans

30) Lepaskan belt dari motor dan puli tanpa merubah posisi rotor

31) Amati pergerakan rotor setelah belt dicopot

32) Putar setiap 90 dan biarkan serta amati apakah rotor berputar sendiri

33) Jika dalam setiap posisi rotor tidak berputar maka dapat dikatakan rotor dalam

keadaan balans

34) Data dari eksperimen ini bandingkan dengan cara analitikal pada slide

balancing mata kuliah getaran mekanis dari data yang didapat pada langkah
persiapan pemasangan massa no.2

5. PENGOLAHAN DATA
Unbalanc Massa
RMS awal R Baut RMS Akhir
e Baut
Piringa 3,05 360 1,249
8 gr 45 mm
n1 mm/s g.mm mm/s

a. Unbalance adalah ketidakseimbangan yang menjadi sumber eksitasi dari vibrasi pada
mesin yang berputar. Unbalance direpresentasikan sebagai massa (m) yang memiliki
jarak (e) ke pusat putaran dan berputar dengan kecepatan angular (w).

b. High spot dan heavy spot adalah dua hal yang saling berkaitan. Heavy spot merupakan
titik pusat massa unbalance. Sedangkan high spot adalah titik yang berlawanan atau
bersebrangan dengan heavy spot sebagai lawan dari unbalance. Dalam aplikasinya,
percobaan dilakukan dengan menentukan heavy spot terlebih dahulu kemudian untuk
membuatnya menjadi balance massa tambahan diberikan pada high spot.
c. ISO 1940 adalah standar spesifikasi rotor dalam keadaan konstan. Spesifikasi yang
diberikan antara lain toleransi keseimbangan, jumlah plane yang butuh untuk dikoreksi,
dan metode untuk melakukan balancing. ISO 1940 baru saja direview pada tahun 2013.

d. Foto-foto kegiatan praktikum

Gambar 3.1. Rotor sebelum dibalancing

Gambar 3.3. Rotor setelah dibalancing

6. ANALISIS KESIMPULAN

Untuk melakukan balancing, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengetahui standar
yang akan digunakan. Dalam percobaan ini digunakan standar ISO 1940 karena kondisi rotor
adalah konstan. Sesuai standar tersebut, rms standar untuk shaft compressor adalah 2,5
mm/s. Artinya rotor dianggap balance ketika rms kurang lebih sama dengan 2,5 mm/s.

Pertama yang dilakukan ketika balancing ini adalah memutar rotor hingga putaran rotor
konstan. Dalam hal ini putaran konstan dilihat dari konstannya angka yang muncul pada tepi
rotor. Putaran rotor ini diterima oleh komputer melalui DAQ. Sehingga pembacaan rms dari
rotor dapat dilihat langsung melalui komputer.

Setelah mendapatkan rms rotor yang pertama. Dalam praktikum ini sebesar 3,05 mm/s. Maka
dengan menggunakan grafik rms vs unbalance dapat diketahui besarnya unbalance yang
terjadi pada kondisi rotor saat itu. Grafik menunjukkan bahwa dengan rms sebesar 3,05 mm/s
besarnya unbalance yang terjadi adalah 360 g.mm. Besar unbalance ini lah yang harus diatasi
untuk membuat rotor balance.

Metode untuk mengatasi unbalance adalah dengan memberikan counter balance yaitu massa
yang sama besar dengan massa unbalance dan dengan jarak yang sama pula namun berbeda
arah. Hal ini akan menyebabkan timbulnya gaya lawan dari gaya unbalance. Untuk ini
sebelum memberikan massa tambahan, perlu diketahui terlebih dahulu massa dari
unbalancenya. Dalam praktikum ini massa unbalancenya adalah 8 gram. Massa unbalance
tersebut didapat dari korelasi U = m.r. Dimana U adalah unbalance, m adalah massa
unbalance, dan r adalah posisi unbalance. Untuk menggunakan korelasi tersebut, nilai r di
adjust terlebih dahulu sesuai dengan kebutuhan. Dalam praktikum ini digunakan r 45 mm
agar massa unbalancenya lebih besar dan mudah untuk ditentukan.

Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, massa unbalance ini sesuai dengan massa tambahan
dan jarak unbalance juga sesuai dengan jarak counter balance namun berbeda arah. Oleh
karena itu, langkah selanjutnya adalah menentukan posisi counter balance. Dalam praktikum
ini, dicarilah heavy spot dari rotor. Heavy spot ini merupakan pusat massa unbalance. Dari
heavy spot ini dapat diketahui high spot dimana harus diletakkan massa counter balance.
Penentuan heavy spot digunakan dengan kembali memutar rotor dengan strobo hingga
konstan kemudian melihat angka pada disk yang sejajar dengan probe. Angka yang sejajar
probe ini adalah heavy spot, dengan demikian lawannya adalah high spot. Namun pada
kenyataannya high spot tidak selalu tepat di bagian berlubang dari disk yang dapat dipasang
massa counter balance (dalam praktikum ini massa counter balance yang digunakan adalah
mur, baut dan ring). Maka ketika sudah diketahui high spotnya segera ditandai. Kemudian,
salah satu metode ampuh dalam menyesuaikan high spot adalah dengan melepas disk
kemudian membetulkan posisinya dengan bagian berlubang disk berada pada tanda high spot.
Dengan demikian massa counter balance dapat diletakkan.

Setelah meletakkan massa counter balance maka dicek kembali apakah rms dari rotor sudah
sesuai dengan standar. Dalam praktikum ini rms rotor yang kedua setelah diberikan massa
counter balance adalah 1,25 mm/s. Hal ini berarti rotor telah balance karena dibawah standar
rms 2,5 mm/s.

7. KESIMPULAN

Rotor tidak balance ketika rms nya tidak sesuai dengan standar
Untuk mengatasi unbalance dapat digunakan counter balance, yaitu dengan massa yang
sama dengan unbalance namun berbeda direksi

REFERENSI

Thomson, William. Theory of Vibration with Application 5th Edition. 1998. Prentice-Hall
International

Meriam, J.L, Kraige, L.G. Engineering Mechanics Dynamics Fifth Edition SI Version.
2004. John Wiley and Sons

Anda mungkin juga menyukai