GETARAN MEKANIS
1206240101
Kelompok 11
Lina Syaravina
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISI
Whiriling Shaft
Redaman Coulomb
Balancing
WHIRILING SHAFT
1. TUJUAN PRAKTIKUM
2. DASAR TEORI
Ketika suatu poros berputar, maka akan terjadi fenomena whirling , yaitu fenomena dimana
poros berputar akan mengalami defleksi yang diakibatkan oleh gaya sentrifugal yang
dihasilkan oleh eksentrisitas massa poros. Fenomena ini terlihat sebagai poros yang berputar
pada sumbunya dan pada saat yang sama poros yang berdefleksi juga berputar relatif
mengelilingi sumbu poros.
Fenomena whirling terjadi pada setiap sistem poros, baik yang seimbang maupun tidak.
Pada sistem yang seimbang, fenomena ini dapat disebabkan oleh defleksi statis atau gaya
magnetik yang tidak merata pada mesin mesin elektrik.
Defleksi awal ini membuat poros berputar dalam keadaan bengkok . Gaya sentrifugal yang
terjadi akan terus membuat defleksi terjadi sampai keadaan seimbang yang berkaitan dengan
kekakuan poros tercapai. Poros yang berputar melewati putaran kritisnya lalu akan mencapai
keadaan setimbang.
Jika M = massa beban (kg) h = defleksi awal (m) y = defleksi sentrifugal (m), maka gaya
sentrifugal radial adalah :
M 2 (h+ y )
Gaya sentfifugal radial adalah sama dengan gaya elastis pada poros, maka :
M 2 ( h+ y )=ky
Dimana : k = elastisitas poros (N/m)
y 1
=
h k
1
M 2
k
g
Jika f n= M = adalah frekuensi alami getaran poros, maka :
c=
1
2 k
M
Dimana = defleksi statis dari poros yang mengalami pembebanan W = Mg pada titik
y 1
=
h c
2
( ) 1
y
Jika c , maka h
= , ini merupakan kondisi untuk terjadinya whirling yang besar.
Maka :
N c=
1
2 g 0,498
=
Mg L3
=
48 EI
N c =1,103
EI
M L3
N c =0,276
EIL
M a2 b2
3. PERALATAN
Untuk melakukan praktikum mengenai whirling shaft ini diperlukan alat sebagai berikut:
Penggaris 50 cm ( 1 buah )
Power supply
Tachometer
Kunci L
4. PROSEDUR PERCOBAAN
Untuk melakukan pratikum whirling shaft langkah kerja yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut:
sesuai petunjuk.
2) Posisi tumpuan shaft diatur sesuai dengan variabel yang diingkinkan. Jarak
tumpuan shaft yang konstan terhadap beban adalah 25.5 cm (jarak a).
3) Posisi tumpuan b diatur sesuai dengan data yang akan diambil. Data yang
diambil untuk jarak b terhadap beban 35 cm, 40 cm, 45 cm, 50 cm, dan 55 cm.
5. PENGOLAHAN DATA
Diameter shaft (D) : 0.06
m= V
m=0,177 kg
Inersia dari silinder alumunium didapat dari perhitungan inersia silender pejal:
1 2
I = mr
2
2
1 0,0741
I = ( 0,177 ) ( )
2 2
I =1,21. 104 kg m2
N c =0,276
EIL
M a2 b2
Perbadaan nilai antara putaran kritis aktual dengan teoritis adalah error atau
penyimpangan dari pengukuran. Error didapat dari perhitungan menggunakan
persamaan matematis:
NcNteo
Error= x 100
Nteo
Putaran
Jarak Momen Modulus
Jarak Kritis Putaran Kritis Error
b Inersia Area Young
a (m) Eksperimen Teoritis (rpm) (%)
(m) Poros (m^4) (N/m^2)
(rpm)
0,25 28,049
5 0,35 1143 1,21 * 10^-4 9300 822,3919937 7
0,25 33,921
5 0,40 1089 1,21 * 10^-4 9300 719,5929945 7
0,25 37,413
5 0,45 1022 1,21 * 10^-4 9300 639,6382173 1
0,25 37,623
5 0,50 922,9 1,21 * 10^-4 9300 575,6743956 3
0,25 38,869
5 0,55 856,1 1,21 * 10^-4 9300 523,3403596 2
35
45
4
00
0.
0.
00
00
00
00
00
00
55
0.
45
5
4
4
0.
0.
00
0.
0.
00
00
00
00
00
00
55
0.
d. Kegiatan Praktikum
Gambar 1.1 Sistem dalam praktikum
6. ANALISIS
Pertama, berdasarkan grafik putaran kritis dengan jarak tumpuan dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara putaran kritis dan jarak tumpuan adalah linear dengan gradien minus. Ini
terjadi baik dalam grafik putaran kritis eksperimen maupun putaran kritis teoritis. Semakin
jauh jarak tumpuan maka semakin kecil putaran kritisnya. Begitu pula sebaliknya semakin
dekat jarak tumpuan maka semakin besar putaran kritisnya.
Pada dasarnya mengubah jarak tumpuan adalah untuk mengubah posisi beban juga. Karena
posisi tumpuan yang jauh juga menghasilkan posisi beban yang jauh dan posisi tumpuan
yang dekat juga menghasilkan posisi beban yang dekat pula. Namun saja pada praktikum ini
jarak beban terhadap satu tumpuan dibuat fix dan yang diubah hanya jarak tumpuan yang
lainnya. Hal ini ditujukan untuk mempermudah praktikum.
Ternyata semakin jauh tumpuan, semakin jauh beban pada sistem, maka semakin cepat sistem
mengalami putaran kritis. Secara konstruksi, jelas terlihat bahwa semakin jauh tumpuan maka
sistem mengalami defleksi yang semakin besar. Hal ini mengabatkan poros berputar dengan
defleksi yang lebih besar pula sehingga dalam kecepatan rendah (rpm rendah) poros sudah
mengalami putaran kritis. Demikian pula jika tumpuan didekatkan atau beban didekatkan,
maka poros sistem akan lebih stabil. Poros akan mengalami defleksi yang kecil, sehingga jika
diputar maka poros selain berputar pada sumbunya sendiri poros juga akan berputar dalam
radius defleksinya yang kecil.
Kedua, berdasarkan grafik error putaran dan jarak tumpuan dapat disimpulkan bahwa secara
teoritis dan secara real putaran kritis mengalami perbedaan. Perbedaan yang terjadi adalah
30-40 %. Hal ini bisa saja terjadi karena kesalahan dalam praktikum. Namun yang pasti
semakin jauh jarak tumpuan semakin sulit atau semakin kurang akurat untuk memprediksi
putaran kritisnya. Karena berdasarkan grafik yang terjadi trend errornya semakin besar ketika
jarak tumpuannya diperjauh.
Analisis Kesalahan
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat error yang cukup tinggi 30-40%. Error
disebabkan oleh kesalahan relatif. Kesalahan relatif merupakan kesalahan-kesalahan yang
berasal dari manusia maupun alat.
- Cross Joint pada pemutar poros tidak membuat putaran semakin teratur ketika
defleksi semakin tinggi yang mengakibatkan putaran pada penunjuk kecepatan
sudut bisa tidak sama dengan putaran aktual.
Faktor penting lainnya adalah ketidakakuratan praktikan dalam membaca hasil yakni pada
indicator jarum. Ketidak akuratan ini dipengaruhi oleh dua factor, yakni pertama karena
disebabkan kesulitan untuk membaca sehingga hasil yang didapatkan adalah merupakan
hasil-hasil pembulatan atau pendekatan dan yang kedua adalah kesulitan menentukan
kecepatan yang paling sesuai dimana putaran kritis terjadi.
Faktor kedua adalah kesulitan dalam menentukan posisi titik tumpu shaft. Hal ini
dikarenakan ketidak tersediaan titik tengah pada bheban maupun pada bearing. Hal ini
menimbulkan ketidak akuratan praktikan dalam menentukan jarak b. Sehingga dalam
eksperimen praktikan tidak dapat mengambil atau menentukan hasil yang presisi. Hal ini
tentu dapat juga menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan antara hasil eksperimen dan
hasil teoritis.
7. KESIMPULAN
Fenomena whiriling pada shaft terjadi akibat shaft mengalami defleksi baik akibat
bebannya sendiri maupun beban luar. Sehingga shaft selain berputar pada sumbunya,
shaft juga akan berputran dengan radius defleksinya
Putaran kritis shaft akan semakin rendah (rpm rendah) jika shaft mengalami defleski
yang besar
Secara teoritis dan eksperimen terdapat perbedaan nilai putaran kritis sekilat 30-40%
akibat kesalahan praktikum
REDAMAN COULOMB
1. TUJUAN
Membandingkan massa objek yang didapat melalui periode natural dengan massa
2. DASAR TEORI
Pada sistem massa 2 pegas dengan peredaman coulomb bila objek bergerak ke kanan dan
dilepas, maka gaya yang bekerja pada sistem adalah gaya pegas k eq x dan gaya gesekan
F=ma
k eq x+ mg=m x
Dengan penyelesaian :
x= A cos n t + B sin n t+ mg
Jika t = 0, maka :
mg
x=x 0 , maka : x 0= A+
k eq
mg
A=x 0
k eq
x =0 , maka : n B=0
Karena n tidak selalu 0, maka B = 0
mg mg
(
x= x0
k eq )
cos n t +
k eq
Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa peredaman dalam sistem terjadi karena
amplitudo gerakan berkurang secara kontinu. Setiap setengah siklus, amplitudo getaran
mg
berkurang sebesar 2 k eq ( ).
Mencari frekuensi natural :
mg
(
m x +k eq x )
k eq
=0
Dengan :
mg
x ' =x
k eq
x ' = x
x ' = x
Maka :
m x ' +k eq x ' =0
k eq '
x ' + x =0
m
Sehingga :
n=
k eq
m
Dalam frekuensi :
f n=
1
2 k eq
m
Dalam perioda :
n =2
k eq
m
Dalam percobaan, akan dilakukan perbandingan antara massa objek yang diukur dengan
timbangan dengan massa objek yang didapat dengan menggunakan rumus :
2
4 k eq
m= 2
n
|mmtimbang|
error= .100
mtimbang
3. PERALATAN
Untuk melakukan praktikum mengenai getaran bebas dengan peredaman coulomb ini
diperlukan alat sebagai berikut:
Rangkaian pegas
Beban
Penggaris
Stopwatch
Sistem massa-pegas
4. PROSEDUR PERCOBAAN
Untuk melakukan pratikum getaran bebas dengan peredaman coulomb langkah kerja yang
harus dilakukan adalah sebagai berikut:
2) Beban yang akan diujikan diukur massanya terlebih dahulu. Pada percobaan ini
digunakan beban berat badan praktikan.
5) Beban dilepaskan dan dihitung berapa banyak beban berosilasi dan dihitung waktu
osilasinya.
5. PENGOLAHAN DATA
Massa : 64 Kg
K eq =KxN
K eq =1000 x 4
K eq =4000 N /m
T n=2
m
K eq
T n=2
64
4000
T n=0,79 s
2
T xK
m= n 2 eq
4
1,8132 x 4000
m=
4 2
m=333,500 Kg
Error Error
X0 Meksperim Mass Perio
n t(s) T(s)
en (Kg) a de
(m
m) (%) (%)
1 2 3 1 2 3 1 2 3 avg
3,3 3,9 3,5 1,69 1,99 1,75 1,81 333,50 80,8 56,19
70 2 2 2
8 9 1 0 5 5 3 0 10 7
2,2 2,2 2,2 3,5 3,3 3,7 1,58 1,50 1,64 1,57 252,00 74,6 49,61
80
5 5 5 6 8 0 2 2 4 6 9 04 0
4,0 4,5 4,4 1,63 1,83 1,76 1,74 308,95 79,2 54,49
90 2,5 2,5 2,5
9 8 2 6 2 8 5 7 85 0
4,8 4,8 4,8 1,62 1,60 1,60 1,60 262,53 75,6 50,63
100 3 3 3
6 1 1 0 3 3 9 8 23 1
5,7 5,5 5,7 1,64 1,57 1,63 1,61 264,92 75,8 50,85
110 3,5 3,5 3,5
6 0 1 6 1 1 6 7 42 4
1.800
1.750
1.700
1.600
1.550
1.500
1.450
70 80 90 100 110
Simpangan (mm)
340
320
300
260
240
220
200
70 80 90 100 110
Simpangan (mm)
d. Grafik Error Massa vs Simpangan
80
78
74
72
70
70 80 90 100 110
Simpangan (mm)
Erro r
Error Massa (%) Periode
Simpangan (mm)
6. ANALISIS
Analisis Grafik
Berdasarkan grafik massa eksperimen vs simpangan juga menghasilkan nilai massa yang
fluktuatif. Ini terjadi karena pada dasarnya besarnya massa adalah linear terhadap periodenya.
Ternyata grafik error massa vs simpangan menunjukkan bahwa massa beban yang
diprediksi dari hasil eksperimen memiliki perbadaan (error) yang cukup tinggi jika
dibandingkan dengan massa beban yang sesungguhnya. Grafik menunjukkan bahwa error
tersebut adalah 75-80%. Jika pada sesungguhnya massa beban adalah 64 kg, berdasarkan
prediksi percobaan massa beban dapat mencapai 333,5 kg. Tentu saja hal ini tidak cocok
digunakan sebagai prediksi massa beban.
Analisis Hasil
Nilai hasil percobaan ternyata jauh berbeda dengan nilai sesungguhnya. Baik periodenya
maupun massanya. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Faktor pertama adalah
beban berlebih yang sebenarnya ditahan oleh pegas. Beban dalam praktikum ini ialah massa
dari praktikan namun selain itu terdapat massa lainnya yaitu massa kursi yang diduduki oleh
praktikan. Jelas ini menambah beban pada sistem.
Faktor kedua adalah nilai konstanta pegas ekuivalen dalam praktikum ini mungkin tidak tepat
4000 N/m. Sebab di awal praktikum praktikan tidak menguji terlebih dahulu konstanta pegas
dalam sistem. Mungkin saja nilai konstanta pegas ini lebih besar ataupun lebih kecil.
Faktor ketiga adalah konstruksi sistem yang kurang baik. Secara keseluruhan sistem tidak
stabil. Maksud dari stabil di sini adalah ke-empat kaki-kaki sistem tidak semuanya
menyentuh dasar (lantai). Terdapat juga shaft yang mengalami bending. Shaft yang
mengalami bending ini memiliki defleksi sehingga mengganggu rel ketika digerakkan.
Terakhir bearing pada rel sudah tidak baik. Hal ini menyebabkan friksi yang besar. Sehingga
periode dalam percobaan mengalami pergesarn nilai yang besar.
Analisis Kesalahan
Kesalahan atau error yang terjadi mungkin sekali terjadi karena kesalahan-kesalahan relatif
yang disebabkan oleh praktikan dan alat ukut. Dalam hal ini praktikan membaginya menjadi
empat faktor.
Faktor pertama adalah ketidak tepatan para praktikan dalam mengukur posisi awal atau Xo.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh alat ukur yang digunakan. Pada praktikum ini,
praktikan menggunakan penggaris manual. Pengukuran dengan menggunakan penggaris
merupakan pengukuran yang tidak akurat sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh ketidak
tepatan dalam mengukur yang disebabkan oleh beban atau objek yang harus ditahan. Ketika
ditahan, tentu objek tidak bias tetap diam pada posisi yang ditentukan . Hal ini menyebabkan
posisi awal akan selalu berubah-ubah sehingga menyebabkan error pada hasil praktikum.
Faktor kedua adalah adanya gaya-gaya luar yang tidak diperlukan karena akan
mempengaruhi gaya pada pegas. Ketika menentukan jarak dan menahan objek, terdapat
kemungkinan adanya gaya berlebih dalam arti yang mendorong objek ketika dilepaskan. Hal
ini menyebabkan objek tidak lagi bergerak karena adanya konstanta pegas dengan murni,
tetapi juga karena adanya gaya dorong sehingga hasil yang didapatkan tentunya akan berbeda
pula.
Faktor ketiga adalah ketidaktepatan dalam dalam menentukan waktu yang dibutuhkan objek
pada saat mulai bergerak sampai berhenti. Hal ini dikarenakan eksperimen ini
dilakukan oleh bukan satu praktikan saja dan setiap praktikan memiliki tugas yang berbeda-
beda. Sehingga orang yang melepas objek dan yang memegang stopwatch adalah berbeda.
Hal ini menyebabkan timbulnya perbedaan waktu yang sebenarnya dengan waktu yang
diukur.
Faktor yang terakhir adalah ketidak akuratan dalam menentukan apakah objek atau beban
sudah berhenti atau belum Hal ini dikarenakan pada detik-detik terakhir, beban
bergerak sangat pelan dan hamper sulit untuk dilihat. Sehinga sangat sulit menentukan
jumlah ayunan yang telah terjadi. Hal ini menyebabkan terjadinya error yang lumayan besar.
7. KESIMPULAN
Massa benda yang diprediksi dari praktikum ini adalah berkisar 252-333,5 kg
Error dari prediksi massa dalam praktikum ini berkisar 75-80%. Tentunya ini tidak dapat
digunakan sebagai prediksi massa sesungguhnya
BALANCING
1. TUJUAN
2. DASAR TEORI
Akibat percepatan mekanisme akan timbul gaya inersia pada mekanisme tersebut. Gaya
inersia ini dapat menimbulkan goncangan pada mesin atau konstruksi. Adanya goncangan ini
sangat merugikan. Karena umur komponen yang ada akan menjadi lebih pendek (mudah
aus/rusak). Oleh karenanya perlu dilakukan langkah-langkah untuk menyeimbangkan
mekanisme yang ada. Hal ini dilakukan dengan memberikan massa pada sistem yang akan
melawan gaya inersia yang menyebabkan goncangan tersebut di atas.
Cara di atas dapat dipergunakan untuk membuat seimbang massa yang bergerak bolak-balik
maupun yang berputar. Untuk sistem massa yang berputar, terdapat tiga jenis permasalahan,
yaitu:
Membuat seimbang lebih dari sebuah massa yang berputar, dimana massa-massa tersebut
terletak pada sebuah bidang datar yang sama.
Membuat seimbang lebih dari sebuah massa yang berputar, dimana massa-massa tersebut
terletak pada beberapa bidang datar.
Suatu poros yang berputar dengan kecepatan sudut akan mengakibatkan timbulnya gaya
inersia, jika gaya-gaya dan momen yang timbul tidak seimbang, akan menimbulkan
goncangan pada sistem serta reaksi yang cukup besar pada bantalan A dan B.
W1 w1
R1 R1
A B
sebelum dibalancing
W1
R1 m1g
R1
2
1
A B R2
R2
W2
W2
m2g
=
2 1 m12RSin
m22RSin
R1
R2
W2
m12RCos
2 1
W1 m22RCos R1
R1
R2
A B
R2
W2
W2 m22R
Keseimbangan statis tercapai apabila total momen oleh gaya berat dari sistem massa terhadap
poros sama dengan nol.
M 0
m1 g R1 cos m2 g R2 cos 0
m1 R1 m2 R2
... (1)
Keseimbangan Dinamis
Keseimbangan dinamis tercapai apabila total gaya inersia yang timbul akibat putaran sama
dengan nol.
I 0
m1 R1 2 m2 R2 2 0
m2 R2 m1 R1
... (2)
Ternyata persamaan (1) dan (2) adalah sama. Jadi untuk sebuah massa yang berputar,
keseimbangan statis dan dinamis tercapai bila memenuhi persamaan di atas. Bila harga R2
ditentukan (tergantung pada ruang yang tersedia), maka m2 dapat dihitung.
3. PERALATAN
Power supply
Stroboskop
NI-DAQ
Timbangan digital
4. PROSEDUR PERCOBAAN
6) Set timing parameter dengan rate= 180 Hz dan samples to read 2000 7) Buat file dengan
nama praktikum balancing pada TDMS file path
8) Persiapkan belt, rotor 5 disc, kunci L 3/32 dan 5/32, penggaris, massa- massa, busur
dan kertas kosong
2) Catat masing-masing massa dan sudut-sudutnya (tidak digunakan selama percobaan ini
dan digunakan sebagai pembanding dengan hasil balancing)
3) Pastikan disk 1 dan 5 posisi 0 nya berada pada posisi 0 yang ter-emboss
1) Letakkan rotor 5 disk pada atas bearing-bearing mesin balancing, catat disk 1 di ujung
yang mana dan disk 5 diujung yang mana
2) Pasang belt
6) Nyalakan motor
7) Cari dimana kecepatan motor sama dengan kecepatan stroboskop menyala sehingga rotor
seakan-akan terlihat berhenti terhadapap nyala stroboskop
8) Jika sudah ditemukan maka matikan motor dengan tidak mengubah-ubah kontrol
kecepatannya, sehingga jika motor dihidupkan motor akan bergerak pada 12 Hz
Langkah Balancing
7) Sedikit demi sedikit putar swicth (knob) yang terletak dekat transduser hingga
8) Lihat angka yang terletak sejajar dengan transducer (di atas switch sekrup putar) dan
9) Putar balik switch knob putar lalu matikan motor tanpa merubah kontrol kecepatan
10) Putar disk 5 sehingga titik 0 pada disk berada pada titik yang terbaca pada
langkah no.8 dengan longgarkan skrup 3 buah yang ada di disk dengan kunci
L 3/32
11) Dari rms yang didapat dari labview, kalibrasikan dengan grafik kalibrasi
13) Perhatikan slot yang ada pada disk koreksi (disk 5) berjari-jari antara 45-65
mm
16) Pasang massa counterbalance pada r yang ditentukan pada langkah no.15 pada
19) Catat rms yang terbaca setelah dalam kecepatan yang stabil
20) Set stroboskop ke eksternal lalu lihat angka yang muncul pada langkah no.8
21) Matikan motor
24) Putar disk sesuai sudut yang ditunjukkan dari hasil penjumlahan vektor
25) Pasang U pengganti ini pada disk koreksi dengan set terlebeih dahulu m dan r
27) Putar posisi rotor, ujung ke ujung, sehingga disk 1 berada pada posisi disk
30) Lepaskan belt dari motor dan puli tanpa merubah posisi rotor
32) Putar setiap 90 dan biarkan serta amati apakah rotor berputar sendiri
33) Jika dalam setiap posisi rotor tidak berputar maka dapat dikatakan rotor dalam
keadaan balans
34) Data dari eksperimen ini bandingkan dengan cara analitikal pada slide
balancing mata kuliah getaran mekanis dari data yang didapat pada langkah
persiapan pemasangan massa no.2
5. PENGOLAHAN DATA
Unbalanc Massa
RMS awal R Baut RMS Akhir
e Baut
Piringa 3,05 360 1,249
8 gr 45 mm
n1 mm/s g.mm mm/s
a. Unbalance adalah ketidakseimbangan yang menjadi sumber eksitasi dari vibrasi pada
mesin yang berputar. Unbalance direpresentasikan sebagai massa (m) yang memiliki
jarak (e) ke pusat putaran dan berputar dengan kecepatan angular (w).
b. High spot dan heavy spot adalah dua hal yang saling berkaitan. Heavy spot merupakan
titik pusat massa unbalance. Sedangkan high spot adalah titik yang berlawanan atau
bersebrangan dengan heavy spot sebagai lawan dari unbalance. Dalam aplikasinya,
percobaan dilakukan dengan menentukan heavy spot terlebih dahulu kemudian untuk
membuatnya menjadi balance massa tambahan diberikan pada high spot.
c. ISO 1940 adalah standar spesifikasi rotor dalam keadaan konstan. Spesifikasi yang
diberikan antara lain toleransi keseimbangan, jumlah plane yang butuh untuk dikoreksi,
dan metode untuk melakukan balancing. ISO 1940 baru saja direview pada tahun 2013.
6. ANALISIS KESIMPULAN
Untuk melakukan balancing, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengetahui standar
yang akan digunakan. Dalam percobaan ini digunakan standar ISO 1940 karena kondisi rotor
adalah konstan. Sesuai standar tersebut, rms standar untuk shaft compressor adalah 2,5
mm/s. Artinya rotor dianggap balance ketika rms kurang lebih sama dengan 2,5 mm/s.
Pertama yang dilakukan ketika balancing ini adalah memutar rotor hingga putaran rotor
konstan. Dalam hal ini putaran konstan dilihat dari konstannya angka yang muncul pada tepi
rotor. Putaran rotor ini diterima oleh komputer melalui DAQ. Sehingga pembacaan rms dari
rotor dapat dilihat langsung melalui komputer.
Setelah mendapatkan rms rotor yang pertama. Dalam praktikum ini sebesar 3,05 mm/s. Maka
dengan menggunakan grafik rms vs unbalance dapat diketahui besarnya unbalance yang
terjadi pada kondisi rotor saat itu. Grafik menunjukkan bahwa dengan rms sebesar 3,05 mm/s
besarnya unbalance yang terjadi adalah 360 g.mm. Besar unbalance ini lah yang harus diatasi
untuk membuat rotor balance.
Metode untuk mengatasi unbalance adalah dengan memberikan counter balance yaitu massa
yang sama besar dengan massa unbalance dan dengan jarak yang sama pula namun berbeda
arah. Hal ini akan menyebabkan timbulnya gaya lawan dari gaya unbalance. Untuk ini
sebelum memberikan massa tambahan, perlu diketahui terlebih dahulu massa dari
unbalancenya. Dalam praktikum ini massa unbalancenya adalah 8 gram. Massa unbalance
tersebut didapat dari korelasi U = m.r. Dimana U adalah unbalance, m adalah massa
unbalance, dan r adalah posisi unbalance. Untuk menggunakan korelasi tersebut, nilai r di
adjust terlebih dahulu sesuai dengan kebutuhan. Dalam praktikum ini digunakan r 45 mm
agar massa unbalancenya lebih besar dan mudah untuk ditentukan.
Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, massa unbalance ini sesuai dengan massa tambahan
dan jarak unbalance juga sesuai dengan jarak counter balance namun berbeda arah. Oleh
karena itu, langkah selanjutnya adalah menentukan posisi counter balance. Dalam praktikum
ini, dicarilah heavy spot dari rotor. Heavy spot ini merupakan pusat massa unbalance. Dari
heavy spot ini dapat diketahui high spot dimana harus diletakkan massa counter balance.
Penentuan heavy spot digunakan dengan kembali memutar rotor dengan strobo hingga
konstan kemudian melihat angka pada disk yang sejajar dengan probe. Angka yang sejajar
probe ini adalah heavy spot, dengan demikian lawannya adalah high spot. Namun pada
kenyataannya high spot tidak selalu tepat di bagian berlubang dari disk yang dapat dipasang
massa counter balance (dalam praktikum ini massa counter balance yang digunakan adalah
mur, baut dan ring). Maka ketika sudah diketahui high spotnya segera ditandai. Kemudian,
salah satu metode ampuh dalam menyesuaikan high spot adalah dengan melepas disk
kemudian membetulkan posisinya dengan bagian berlubang disk berada pada tanda high spot.
Dengan demikian massa counter balance dapat diletakkan.
Setelah meletakkan massa counter balance maka dicek kembali apakah rms dari rotor sudah
sesuai dengan standar. Dalam praktikum ini rms rotor yang kedua setelah diberikan massa
counter balance adalah 1,25 mm/s. Hal ini berarti rotor telah balance karena dibawah standar
rms 2,5 mm/s.
7. KESIMPULAN
Rotor tidak balance ketika rms nya tidak sesuai dengan standar
Untuk mengatasi unbalance dapat digunakan counter balance, yaitu dengan massa yang
sama dengan unbalance namun berbeda direksi
REFERENSI
Thomson, William. Theory of Vibration with Application 5th Edition. 1998. Prentice-Hall
International
Meriam, J.L, Kraige, L.G. Engineering Mechanics Dynamics Fifth Edition SI Version.
2004. John Wiley and Sons