Anda di halaman 1dari 21

1

LAPORAN BUKU I

Si Bagus Herman Suryadi

A THEORY OF JUSTICE

Bagian pertama; halaman 3-192.

John Rawls. 1971. A Theory Of Justice : Cambridge, Massachusetts : Harvard University

Press. Edisi ke 6, 607 halaman.

Pengantar Umum

Setelah membaca buku A Theory of Justice, saya setuju dengan pendapat-pendapat yang

mengatakan bahwa buku ini adalah buku penting bagi para akademisi secara umum. Mungkin

awalnya buku ini mendapat perhatian khusus dari dunia politik, sosial, dan ekonomi, namun karena

muatan dalam buku ini merupakan kajian filosofis tentang keadilan, sampai sekarang buku ini

menjadi perhatian banyak disiplin ilmu lain termasuk teologi. Sepertinya A Theory of Justice

memang seharusnya menjadi salah satu buku wajib bagi para teolog.

Teori keadilan ini merupakan teori yang lahir dari pemikiran progresif dan revolusioner

seorang John Rawls. Hal ini dia tunjukkan dengan pernyataan berani yang menawarkan level

abstraksi lebih tinggi dari sebelumnya bahkan lebih tinggi dari kemasyuran pemikiran Locke,

Rosseau, dan Kant.(Rawls 1971, 11) Keberanian dan keyakinan inilah yang membawa Rawls
2

menjadi salah satu filsuf besar di abad 20. Bahkan buah pemikiran Rawls ini dianggap sebagai

pemicu perdebatan serius antara komunitarianisme dengan libralisme.(Rusuanto 2005, 26)

Karya Rawls ini seperti hujan di waktu gersang seiring kegersangan1 filsafat politik masa

itu. Namun pengaruh pemikiran Rawls ini tidak hanya dalam bidang politik, sama halnya dengan

filsuf-filsuf lainnya, karya Rawls juga mempengaruhi banyak bidang lain seperti teori-teori sosial,

hukum, ekonomi, budaya, bahkan teologi juga sering memakainya sebagai refrensi penting. Dalam

bidang politik khususnya kelompok pengusung libralisme Rawls memberikan pengaruh yang

mendasar. Menurut saya, Rawls bagi kaum liberal adalah The New Founding Father. Amartya

Sen seorang pemenang Nobel dalam bidang ekonomi mengatakan bahwa Rawls adalah tokoh besar

filsafat politik di era kita sekarang ini (Sen 2009, 52). Teorinya pun seperti kitab baru dalam

politik, ekonomi, dan hukum. Teori keadilan Rawls yang di dalamnya memuat tentang original

contract dan original position adalah dasar baru yang mengajak orang-orang untuk melihat prinsip

keadilan sebagai tujuan (obyek) bukan sekedar sebagai alat masuk. Saya membayangkan Rawls

ingin membawa teorinya dalam penerapannya di dunia politik, hukum dan ekonomi sebagai

ultimate understanding.2

Kritik Rawls terhadap utilitarianisme klasik dan intuisionisme merupakan salah satu titik

berangkat utamanya dalam menyusun sebuah teori keadilan. Kritik-kritik Rawls terhadap kedua

kubu ini mempertajam arahan teorinya, dan hal tersebut akan kita bahas di bab berikutnya dalam

laporan buku ini. Rawls dalam bukunya selalu konsisten untuk mengangkat individu dalam

menemukan posisi utamanya dalam masyarakat. Ada pemisahan yang jelas antara privat dan public.

1
Kegersangan yang saya maksud bukan menunjuk pada minim atau kurangnya filsafat politik masa itu, namun lebih
pada dominasi doktrin-doktrin klasik dan kurangnya alternatif lain.
2
Istilah ini dimaksudkan untuk menggambarkan tujuan Rawls yang inging membawa teorinya sebagai dasar utama
(yang paling mumpuni) untuk kontrak-kontrak sosial atau politik menuju pada kesepahaman (mufakat)
3

Namun dari semuanya itu menurut saya, teori keadilan Rawls dalam posisi tertentu adalah

sebuah teori andai-andai. Teori ini dalam tataran ide, struktur dan tujuan pemikiran sangat kuat.

Namun dalam realitas kehidupan yang sebenarnya, teori ini masih sulit untuk bisa dipahami. Saya

tidak mengatakan teori ini tidak realistis, teori ini realistis dalam realitasnya sendiri. Ian Shapiro

seorang professor politik di universitas Yale mengatakan bahwa individu (individu pada keadaan

awal) Rawls tersebut dalam kenyataannya tidak ada. Meski demikian mereka dianggap

mencerminkan warga masyarakat di dunia nyata dari segi persoalan-persoalan mendasar dan

relevan tentang keadilan (Shapiro 2006, 222).

Rangkuman Gagasan Utama

The principles of justice are chosen behind a veil of ignorance (Rawls 1971, 12).3 Kutipan

ini adalah pemikiran Rawls yang paling banyak mendapat soroton, baik kritik maupun terusan

pemikiran dikemudian hari. Asumsi Rawls ini memang sangat menarik, tidak terkecuali bagi saya.

Asumsi ini menurut saya merupakan salah satu poin dasar dalam tercetusnya teori keadilan Rawls.

Individu-individu di balik selubung ketidaktahuan adalah komponen utama dalam pembentukan-

pembentukan komponen lain dalam teori ini, misalnya institusi dan bentuk kehidupan masyarakat

yang adil. Bahkan prinsip-prinsip keadilan hanya dapat diterapkan pada struktur dasar sosial

melalui keadaan di balik selubung ketidaktahuan dalam posisi asali. Untuk paparan yang tersusun

dalam laporan buku ini maka pembahasan lebih jauhnya tentang individu di balik selubung

ketidaktahuan ini akan kita lihat dalam urutan berikutnya.

3
Dalam catatan kaki 11 halaman 137 buku A Theory Of Justice, Rawls membandingkan istilah a veil of ignorance
dengan pernyataannya J. C. Harsanyi Cardinal Utiliti in Welfare Economics and in the Theory of Risk-Taking :
Journal of Political Economy, 1953, volume 61.
4

Keadilan Sebagai Fairness

Bagian pertama buku A Theory Of Justice ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu Justice as

Fairness (keadilan sebagai fairness): The Principles of Justice (prinsip-prinsip keadilan): The

Original Position (posisi asali). Kita awali dengan istilah Justice as Fairness (Rawls 1971, 3-53) .

Rawls mengatakan bahwa tujuannya secara umum adalah untuk memunculkan teori keadilan yang

dapat menjadi alternatif bagi doktrin-doktrin yang sudah lama mendominasi tradisi filsafat (Rawls

1971, 3). Dari tujuan ini, Rawls kemudian membidik utilitarianisme dan intuisionisme sebagai

sasaran. Fondasi kokoh teori ini diracik dari semen-semen pemikiran Locke, Rousseau, dan Kant.

Kemudian dilakukan upaya generalisasi dan abstraksi oleh Rawls terhadap teori kontrak sosial

ketiga tokoh tersebut, bahkan ke level yang lebih tinggi (Rawls 1971, viii & 11). Dalam bab I ini

sejatinya telah terlihat rangkuman gagasan utma Rawls dalam teori keadilannya. Bab ini juga

menunjukkan pijakan dasar gagasan ini. Keadilan sebagai fairness adalah pemaparan Rawls sebagai

pemahamannya tentang apakah keadilan itu. Dari gagasan ini Rawls kemudian menciptakan sebuah

teori tentang keadilan. Artinya Rawls ingin membawa keadilan tidak lagi hanya sebatas filosofi atau

idealisme-idealisme wacana, namun sebagai sebuah teori yang dapat diterapkan dalam kontrak-

kontrak sosial. Walaupun diawali dengan kerumitan, menurut saya, Rawls pastilah menganggap

bahwa teori ini adalah hal terbaik untuk membawa keadilan ke dalam realitas sosial.

Dalam keadilan sebagai fairness, Rawls membahas beberapa hal yaitu peran keadilan,

subyek keadilan, ide utama dari teori keadilan, posisi asali dan justifikasi utilitarianisme klasik,

intuisionisme, persoalan yang terutama, dan penilaian tentang teori moral. Dalam pembahasan

peran keadilan, Rawls menyatakan dalil-dalinya tentang keadilan. Rawls mengatakan bahwa sebuah

teori, bagaimanapun elegan dan ekonomisnya harus ditolak atau direvisi jika keadilan itu tidak
5

benar; demikian juga dengan hukum dan institusi, betapapun efisien dan teraturnya, harus

direformasi atau ditiadakan jika ia tidak adil. Keadilan tidak membenarkan adanya kehilangan

kebebasan bagi sejumlah orang hanya karena adanya hal-hal yang lebih besar. Ketidakadilan boleh

terjadi hanya untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Kebenaran dan keadilan tidak bisa

diganggu gugat karena ini adalah keutamaan umat manusia (Rawls 1971, 3-4).

Dari keyakinan intuitif ini, kemudian Rawls mulai mempertimbangkan peran prinsip-

prinsip keadilan (Rawls 1971, 4). Namun sebelum menuju prinsip-prinsip keadilan tersebut, Rawls

harus menentukan dengan jelas subyek keadilan itu sendiri. Menurut Rawls secara umum subyek

utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau tepatnya, cara pendistribusian hak dan

kewajiban fundamental oleh lembaga-lembaga sosial utama dan untuk menentukan pembagian

keuntungan dari kerja sama sosial (Rawls 1971, 7). Jadi subyek utama teori Rawls adalah struktur

dasar masyarakat. Sebab tanpa melalui struktur dasar masyarakat ini, akan terjadi lompatan jalur,

sehingga kontrak sosial yang dihasilkan sangat rentan dengan ketidakadilan. Setelah menetapkan

subyeknya kemudian Rawls memulai racikan ide besarnya dalam gagasan utama awal tentang teori

keadilan. Dalam gagasan utama ini Rawls dengan jelas menyusun idenya dengan meramu peran

keadilan, subyek, dan individu-individu keadilan. Kemudian individu-individu ini akan mengambil

posisinya, yang disebut sebagai posisi asali (awal).

Di bagian inilah pada awalnya Rawls menyebutkan istilah a veil of ignorance (Rawls 1971,

12), yang menurut saya adalah jantung dari pemikiran Rawls dalam teori ini.4 Saya mengatakan

demikian, karena setahu saya, para ahli politik, ekonomi, teologi, dan sosial yang membahas atau

mereview A Theory Of Justice hampir sebagian besar dari mereka menyoroti dan membahas secara

khusus di balik selubung ketidaktahuan ini. Rawls menganggap posisi asali adalah hal utama

dalam keadilan sebagai fairness. Jadi keadaan di balik selubung ketidaktahuan adalah keadaan
4
Sejalan dengan pernyataan Amartya Sen dalam bukunya The Idea Of Justice halaman 54.
6

yang harus terjadi, yang dalam posisi asali ini adalah dalam rangka menentukan prinsip-prinsip

keadilan. Menurut saya Rawls dalam hal ini tidak hendak menyatakan bahwa di balik selubung

ketidaktahuan adalah keadaan ketiadaan atau tidak exist. Bahkan Rawls mengandaikan bahwa

pihak-pihak dalam posisi asali memiliki semua informasi umum (Rawls 1971, 142). Jadi seperti

bayi yang baru lahir bagaikan kertas putih. Lembar-lembar kosong inilah yang dibawa pada saat

menentukan prinsip-prinsip keadilan. Namun lembar-lembar kosong ini bukanlah lembar tanpa

informasi.

Rawls mengatakan bahwa dalam posisi asali pihak-pihak yang ada dalam posisi ini tidak

tahu jenis-jenis fakta khusus tertentu, baik posisinya dalam masyarakat, kelas, maupun status

sosialnya. Bahkan keadaan di balik selubung ketidaktahuan juga meliputi keberuntungannya

dalam distribusi asset-aset serta kecakapan alamiah, kecerdasan, dan kekuatannya (Ralws 1971,

137). Rawls dalam konsep posisi asali ini sangat dipengaruhi oleh Kant. Rusuanto mengatakan

bahwa subyek otonom bagi Kant adalah subyek bebas dan rasional yang mengambil putusan moral

berdasarkan prinsip imperaktif kategoris. Menangkap semangat Kantian ini kemudian Rawls

menerapkannya dalam konsep yang disebut original position (Rusuanto 2005, 18).5 Posisi asali ini

juga dianggap sebagai status quo awal yang tepat sehingga kesepakatan fundamental yang dicapai

di dalamnya adalah fair (Rawls 1971, 12).6 Dalam keadilan sebagai fairness orang-orang

mengkondisikan diri mereka sebagai rasional dan sama-sama netral. Mereka dianggap tidak saling

tertarik pada kepentingan mereka satu dengan yang lain. (Rawls 1971, 13). Menarik menurut saya

ketika Rawls menekankan bahwa mereka juga menganggap tujuan spiritual mereka bisa ditentang,

dalam hal ini, tujuan-tujuan agama yang berbeda bisa ditentang. Bahkan konsep rasionalitas harus

5
Penjelasan Rawls tentang kaitan pemahaman Kant dengan keadilan sebagai fairness bisa kita lihat di halaman
251-257.
6
Secara menyeluruh penjelasan tentang posisi asali dan justifikasinya bisa kita lihat di halaman 17-22. Dari seluruh
penjelasan itu pada intinya semua keadaan yang dikondisikan melahirkan fakta dan dari fakta inilah kemudian lahir
istilah keadlilan sebagai fairness (Rawls 1971, 17).
7

ditafsirkan sejauh mungkin dalam pemahaman tertentu tentang bagaimana cara paling efektif untuk

mencapai tujuan (Rawls 1971, 14). Saya membandingkan gagasan Rawls ini dengan revisionisme

dan pluralisme. Saya melihat ada kesamaan pandangan. Saya kira pemahaman seperti Rawls inilah

yang memberi pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran revisionisme dan pluralisme. Hal ini

akan saya singgung lebih jauh di bab selanjutnya dalam evaluasi dan refleksi saya atas karya Rawls

ini.

Hal penting lainnya yang harus digaris bawahi bahwa tugas utama dalam menyusun konsep

keadilan sebagai fairness adalah menentukan prinsip keadilan yang mana akan dipilih dalam posisi

asali (Rawls 1971, 14). Melalui penekanan ini kemudian Rawls mengkaitkan pemilihan ini dengan

membandingkannya pada prinsip utilitas kemudian menyasar pada utilitarianisme dan

intuisionisme. Rawls berpendapat bahwa prinsip utilitas bertentangan dengan konsepsi kerjasama

sosial bagi keuntungan bersama (Rawls 1971, 14).7 Karena dalam prinsip utilitas menurut Ralws

orang-orang telah digiring untuk menerima kerugian hanya dalam rangka menciptakan jaring

keseimbangan pemuasan yang lebih besar (Rawls 1971, 14). Memang dalam prinsip utilitas orang-

orang didorong untuk mencapai tingkat kepuasan semaksimal mungkin, namun disaat yang

bersamaan tentu ada pihak-pihak yang akan dirugikan oleh pihak lain yang dianggap menghalangi

tujuannya. Jadi prinsip ini menurut Rawls tidak dapat memenuhi gagasannya dalam keadilan

sebagai fairness. Untuk memperlihatkan bahwa teorinya lebih unggul, Rawls menegaskan bahwa

ada perbedaan mendasar antara teorinya dengan pandangan utilitarianisme, perfeksionisme, dan

intuisionisme. Dengan utilitarianiesme contohnya,8 hal paling jelas menurut Rawls bahwa

utilitarianisme tidak mempersoalkan bagaimana pemuasan tersebut didistribusikan kepada individu-

individu lebih dari mempersoalkan bagaimana orang mendistribusikan kepuasannya sepanjang

7
Hal yang senada juga disampaikan Rawls di paragraph terakhir halaman 15.
8
Rawls mengangkat pandangan Sidgwick sebagai kubu utilitarianisme. Karena menurut Rawls pandangan Sidgwick
adalah rumusan yang paling jelas dan lengkap mewakili pandangan utilitarianisme (Rawls 1971, 22).
8

waktu (Rawls 1971, 26). Artinya, menurut Rawls utilitarianisme tidak menganggap serius

perbedaan antar individu (Rawls 1971, 27). Rawls menegaskan kembali perbedaannya dengan

utilitarianisme dengan mengatakan bahwa utilitarianisme merupakan teori teleologis sedangkan

keadilan sebagai fairness adalah teori deontologist,9 yaitu teori yang tidak menspesifikasi manfaat

terpisah dari hak atau tidak menginterpretasikan hak sebagai pemaksimalan manfaat (Rawls 1971,

30).10

Pandangan intuisionisme menurut Rawls adalah sesuatu yang tidak jelas. Maksudnya, dalam

intuisionisme, ketika kita mencapai tingkat generalitas tertentu maka di sana terdapat kriteria

konstruktif untuk menentukan penekanan yang tepat untuk prinsip-prinsip keadilan. Sedangkan

kompleksitas fakta moral membutuhkan sejumlah prinsip yang jelas, jadi tidak ada standar tunggal

yang dapat menilainya (Rawls 1971, 34). Ada dua wajah dari intuisionisme, pertama, teori-teori

tersebut terdiri dari pluralitas prinsip-prinsip pertama yang mungkin saja bertentangan dengan

arahan perintah dalam berbagai tipe kasus khusus. Kedua, tidak ada metode yang eksplisit, tidak

ada aturan prioritas untuk membandingkan prinsip-prinsip itu satu dengan yang lainnya. Artinya

keseimbangan itu diperhadapkan hanya dengan intuisi saja (Rawls 1971, 34). Menariknya, sering

kali teori-teori intuisionis terlihat seperti bersifat deontologis, namun demikian menurut Rawls,

bentuk jelas dari intuisionistik bukanlah teologis dan deontologisnya, melainkan ruang yang mereka

berikan dalam kapasitas intuitif kita tidak dituntun oleh kriteria etis dan konstruktif. Jelas dalam hal

ini ada sangkalan atas keberadaan solusi yang eksplisit dan berguna pada prioritas persoalan (Rawls

1971, 40).

9
Menurut Rusuanto, deontologist (deon = kewajiban) dalam teori keadilan ini berasumsi bahwa nilai yang-hak (the
right) memiliki prioritas atas nilai yang-baik (the good) (Rusuanto 2005, 17-18).
10
Leif Wenar mengatakan bahwa utilitarinisme berpegang pada satu prinsip moral universal ("memaksimalkan
utilitas"), yang berlaku untuk tindakan individu, konstitusi politik, hubungan internasional, dan semua subyek
lainnya. Berbeda dengan apa yang ditawarkan Rawls (Wenar 2008)
9

Prinsip-Prinsip Keadilan

Semua nilai sosialkebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar
harga diriharus didistribusikan sama rata kecuali jika distribusi yang tidak sama, sebagian
atau semua, nilai tersebut hanya demi keuntungan semua orang (Rawls 1971, 62).

Kutipan di atas adalah konsepsi umum tentang keadilan yang diutarakan oleh Rawls.

Konsep ini dinilai kabur dan diperlukan penafsiran. Untuk itu Rawls menjelaskan secara khusus

tentang konsep keadilan melalui prinsip-prinsip keadilannya yang akan saya laporkan dalam bab

ini. Rawls mengawali bab ini dengan membagi teori keadilan menjadi dua bagian utama yaitu:

Penafsiran atas situasi awal serta perumusan berbagai prinsip yang dapat dipilih, dan penentuan atas

argumentasi yang menyatakan prinsip mana yang dapat diterima (Rawls 1971, 54). Teori keadilan

ini tentu membutuhkan subyek. Untuk itu Rawls menegaskan bahwa subyek utama prinsip keadilan

sosial adalah struktur dasar masyarakat, tatanan institusi-institusi sosial utama dalam satu skema

kerjasama.

Rawls dalam bab ini memperkenalkan dua prinsip keadilan untuk institusi dan beberapa

prinsip-prinsip untuk individu (Rawls 1971, 54). Hal penting yang sangat ditekankan oleh Rawls

adalah penempatan prinsip-prinsip keadilan haruslah sesuai porsinya. Prinsip-prinsip keadilan untuk

institusi tidak boleh dikacaukan dengan prinsip-prinsip yang diterapkan pada individu dan tindakan-

tindakan mereka dalam situasi tertentu. Jadi dua macam prinsip untuk institusi tersebut diterapkan

pada subyek yang berbeda dan harus dibahas terpisah (Rawls 1971, 54-55). Dua prinsip keadilan

Rawls adalah sebagai berikut:

Pertama: Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas,
sesuai dengan kebebasan yang sama bagi semua orang.
10

Kedua: Ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a)
diharapkan dapat menjadi keuntungan semua orang, dan (b) semua posisi dan jabatan
terbuka bagi semua orang (Rawls 1971, 60).
Ini dalah dua prinsip yang bisa diterapkan pada bentuk-bentuk institusional. Tentu berbeda untuk

individu-individu. Dua prinsip ini berdiri pada pemahaman bahwa struktur sosial dapat dibagi

menjadi dua bagian utama. Prinsip pertama ini berkenaan dengan kesetaraan sosial-ekonomi, hak

politik, mempertahankan hak milik, kebebasan seperti yang didefinisikan oleh konsep rule of law.11

Prinsip pertama diterapkan pada bagian pertama struktur sosial (Rawls 1971, 61). Prinsip kedua

mencakup persoalan distribusi kekayaan yang berkaitan dengan perbedaan otoritas, komando dan

tanggung jawab dalam organisasi. Dalam hal ini distribusi kekayaan dan pendapatan tidak harus

sama namun harus untuk keuntungan semua orang serta posisi-posisi otoritas dan jabatan harus

terbuka bagi semua orang (Rawls 1971, 61). Intinya bagaimanapun distribusinya, semua orang

harus diuntungkan. Saya membayangkan bahwa distribusi ini seperti ruang privat dan pembagian

keuntungan ini seperti ruang bersama.

Sebelumnya telah disinggung tentang prinsip-prinsip keadilan untuk institusi, sekarang kita

akan mengulas prinsip-prinsip untuk individu yang ditawarkan oleh Rawls. Menurut Rawls teori

yang lengkap mengenai hak haruslah memasukkan prinsip-prinsip keadilan bagi individu (Rawls

1971, 108). Di bagian ini Rawls tidak akan memaparkan prinsip-prinsip untuk individu secara

sistematis, namun ia akan menekankan prinsip-prinsip yang menurutnya sangat esensial.

Garis besar pembahasan pada individu-individu adalah tentang hak dan kewajiban. Salah

satu prinsip yang diterapkan Rawls untuk individu ini disebut prinsip fairness (Rawls 1971, 111).

Prinsip ini sendiri digunakan oleh Rawls untuk menilai semua kebutuhan yang merupakan

11
Rawls membahas secara khusus rule of law ini di halaman 235-243. Rawls mengartikan rule of law ini sebagai
kedaulatan hukum, yakni hokum yang berdaulat dan menjadi acuan bersama. Kedaulatan hukum ini berkaitan erat
dengan dengan keadilan. Menurut Rawls ketika aturan-aturan ini adil, maka mereka telah menegakkan sebuah
dasar bagi harapan-harapan yang sah (Rawls 1971, 235).
11

kewajiban, yang dibedakan dari tugas alamiah (Rawls 1971, 111). Menurut Rawls, prinsip fairness

ini harus menempel pada institusi-institusi yang adil. Tidak sepantasnya memberikan tindakan

sukarela yang dimunculkan sebagai kewajiban ini pada institusi yang tidak adil, seperti

pemerintahan otokratis dan arbitrer (Rawls 1971, 112). Mengapa demikian? Karena kandungan

kewajiban selalu ditentukan oleh institusi atau praktik aturan yang menunjukkan apa yang harus

dilakukan seseorang (Rawls 1971, 113). Jadi institusi atau struktur dasar masyarakat sangat

menentukan keberadaan masyarakat sebagai individu yang adil.

Sekarang kita membahas kewajiban-kewajiban alamiah. Ketika prinsip fairness memetakan

semua kewajiban, ternyata ada banyak kewajiban alamiah, positif dan negatif (Rawls 1971, 114).

Seperti apa kewajiban alaimiah itu? Rawls mencontohkannya seperti; kewajiban untuk menolong

orang lain ketika seseorang membutuhkan dan dalam keadaan bahaya, dengan syarat orang tersebut

melakukannya (menolong) tanpa membahayakan dirinya sendiri; kewajiban untuk tidak menyakiti

atau mengganggu orang lain; dan kewajiban untuk tidak menyebabkan penderitaan yang tidak perlu

(Rawls 1971, 114). Sepintas kita melihat sepertinya kewajiban alimiah ini tidak bergantung pada

institusi, lebih pada urusan pribadi. Namun Rawsl menegaskan bahwa kewajiban alamiah ini

mengharuskan kita untuk mendukung dan menyesuaikan dengan institusi-institusi yang adil dan

bisa diterapkan pada diri kita (Rawls 1971, 115). Hal ini berarti, jika struktur dasar masyarakat itu

adil, atau seadil yang bisa diharapkan, maka semua orang punya kewajiban alamiah untuk

melakukan peranannya dalam skema yang ada (Rawls 1971, 115).


12

Posisi asali

Sebelum masuk lebih jauh pada bab ini, perlu kita tekankan lagi bahwa prinsi-prinsip

keadilan, baik bagi institusi maupun individu akan dikenal melalui posisi asali ini (Rawls 1971,

115). Namun sebenarnya menurut Rawls, jika seperangkat prinsip yang lengkap, konsepsi lengkap

tentang hak ada ditangan kita, maka konsepsi tentang posisi asali tidak diperlukan lagi. Karena kita

hanya tinggal menerapkannya sebagaimana kita menerapkan prinsip-prinsip yang lain (Rawls 1971,

116). Mengapa posisi asali ini ditawarkan oleh Rawls? Menurut saya, Rawls belum menemukan

institusi atau struktur dasar masyarakat yang ideal yang sesuai dengan konsep keadilannya. Oleh

sebab itu perlu upaya baru dalam mewujudkannya melalui teori keadilan yang Rawls tawarkan.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan posisi asali? Kita mulai dengan penekanan Rawls,

bahwa gagasan intitif dari keadilan sebagai fairness adalah mengganggap prinsip pertama keadilan

sebagai objek dari kesepakatan asali dalam situasi awal (Rawls 1971, 118). Latar belakang posisi

asali disebut realitas keadilan (the circumstances of justice) (Rawls 1971,126). Sejalan dengan

pemikiran Hume, Rawls menjelaskan realitas keadilan sebagai kondisi normal di mana kerja sama

manusia bisa dimungkinkan dan dibutuhkan. Kendati demikian tetap saja kondisi tersebut ditandai

dengan konflik kepentingan (Rawls 1971, 126). Di sinilah berdiri prinsip-prinsip keadilan. Sebab

tanpa prinsip tersebut orang-orang tidak dapat menentukan arahan kesepakatan. Untuk mengatasi

konflik kepentingan dalam mnetapkan prinsip-prinsip keadilan maka posisi asali sangat dibutuhkan.

Catatan pentingnya kemudian, posisi asali ini hanya mungkin terjadi oleh individu-individu di

balik selubung ketidaktahuan. Melihat pemaparan di atas, tidak salah kalau keadaan dibalik

selubung ketidaktahuan ini adalah hal yang sangat penting dari teori keadilan Rawls. Untuk itu

sekarang kita bahas lebih dalam tentang keadaan dibalik selubung ketidaktahuan ini.
13

Keadaan dibalik selubung ketidaktahuan merupakan asumsi Rawls untuk menciptakan

keadaan yang dapat mencegah atau menghindari situasi dari pertikaian identitas dan konflik

kepentingan. Karena jika hal itu terjadi maka keadilan hanyalah keuntungan bagi kelompok

tertentu. Rawls mendefinisikan keadaan dibalik selubung ketidaktahuan sebagai berikut:

Diasumsikan bahwa pihak-pihak itu tidak tahu jenis-jenis fakta khusus tertentu. Pertama,
tidak ada yang tahu tempatnya di dalam masyarakat, kelas atau status sosialnya, dan juga
tidak tahu keberuntungannya dalam distribusi kemampuan serta aset-aset alamiah,
kecerdasan dan kekuatan dan lainnya. Juga, tidak ada yang tahu soal konsepsinya tentang
manfaat, atas rencana rasional hidupnya, bahkan bentuk-bentuk khusus psikologinya seperti
kebenciannya terhadap resiko, atau liabilitasnya pada optimism dan pesimisme (Rawls 1971,
137).

Tidak hanya itu, masih di halaman yang sama Rawls mengasumsikan juga bahwa pihak-pihak

dalam posisi asali tidak tahu situasi khusus masyarakat mereka sendiri, baik politik dan ekonomi,

bahkan peradaban dan kebudayaan yang telah dicapai. Seperti kotak hitam pesawat, walaupun

pesawatnya sudah terbang ke mana-mana namun kotak hitam ini tidak berisi informasi atau

rekaman apapun (empty informationi).

Rawls sendiri menyadari bahwa pandngannya ini pasti akan menemui kesulitan tersendiri.

Mungkin orang-orang akan sulit dapat menerima dan memahami. Namun di sini Rawls menjelaskan

bahwa keadaan dibalik selubung ketidaktahuan adalah sah bagi mereka yang mau menerapkan

konsep keadilan. Orang-orang harus dengan kesadarannya menempatkan diri dalam keadaan

dibalik selubung ketidaktahuan secara rasional. Menurut Rawls ini adalah syarat kunci untuk

memenuhi keharusan ini (pemenuhan terhadap prinsip-prinsip keadilan) (Rawls 1971, 139). Untuk

membela diri atas protes yang mengatakan bahwa gagasan ini adalah irasional, Rawls mendasarkan

pembelaannya melalui pandangan Kant tentang otonomi. Rawls yakin bahwa Kant berpendapat,

seseorang akan bertindak secara otonom ketika prinsip-prinsip dari tindakannya dipilih olehnya
14

sebagai ekspresi yang paling memadai dari sifat dasarnya sebagai makhluk rasional yang bebas dan

setara (Rawls 1971, 252). Tindakannya kemudian disebut sebagai tindakan heteronom, yaitu

prinsip-prinsip yang dilaksanakannya bukan diambil berdasarkan kedudukan sosial atau anugerah

alaminya, atau sesuai dengan jenis masyarakat tertentu atau hal-hal khusus yang ia inginkan (Rawls

1971, 252). Tugas keadaan dibalik selubung ketidaktahuan adalah menghilangkan pengetahuan

orang-orang dalam posisi asali, sehingga mereka bisa sampai pada pilihan mereka bersama sebagai

orang rasional yang bebas dan setara, adapun pengetahuannya kemudian itu berasal dari keadaan itu

sendiri, yang nantinya akan membangkitkan kebutuhan akan prinsip keadilan (Rawls 1971, 252).

Rawls juga menegaskan bahwa batasan-batasan pada informasi ini dalam posisi asali merupakan

arti penting yang fundamental. Tanpa batasan tersebut, kita tidak akan bisa melahirkan teori

keadilan sama sekali (Rawls 1971, 140). Seperti yang sudah dimuat di bab sebelumnya, bahwa

individu-individu dibalik selubung ketidaktahuan bukanlah individu ketiadaan. Rawls tetap

mengandaikan pihak-pihak dalam posisi asali memiliki semua informasi umum. Tidak ada fakta-

fakta umum yang tertutup bagi mereka (Rawls 1971, 142).

Mengakhiri gasasan utama teori keadilan Rawls, khususnya bagian pertama buku A Theory

Of Justice, saya mencoba menggambarkan struktur besar dari pemikirannya. Pertama Rawls

mengangkat agenda filosofisnya dengan gagasan keadilan sebagai fairness, selanjutnya menentukan

subyek keadilan (institusi atau struktur dasar masyarakat), batu batereinya adalah prinsip-prinsip

keadilan, kemudian prinsip-prinsip keadilan itu ditentukan dalam posisi asali. Dengan alur ini

diharapkan teori keadilan ini dapat berhasil diterapkan dalam masyarakat.


15

Evaluasi dan Refleksi Kritis

Aristoteles menyatakan, kekhasan manusia adalah bahwa mereka mempunyai rasa keadilan
dan ketidak adilan, dan pemahaman bersama tentang keadilan bisa membentuk sebuah polis
(Rawls 1971, 243).

Saya kira semangat Aristoteles ini juga menjadi pemicu bagi Rawls untuk mewujudkan

sebuah teori tentang keadilan. Karena dengan titik berangkat yang benar maka polis yang terbentuk

adalah polis yang seharusnya, sebuah polis ajeg. Saya kira usaha Rawls adalah untuk memulai

gagasan titik berangkat tersebut. Tentu bagi Rawls teori keadilan adalah pilihan terbaik dari doktrin-

doktrin yang sudah ada.

Secara umum teori keadilan Rawls ini memberikan pengaruh signifikan pada bentuk-bentuk

pemerintahan khususnya kubu liberal dan bentuk pemerintahan demokratis. Namun menurut saya

apa yang menjadi keinginan atau idealismenya Rawls belumlah terwujud secara penuh. Tatanan

masyarakat yang ada dalam gagasan teori keadilan belumlah terwujud seperti yang diharapkan

Rawls. Saya belum melihat (mungkin saya salah) ada satu institusi atau pemerintahan yang bulat-

bulat menerapkan gagasan Rawls dalam teori keadilannya. Bahkan negara Amerika sendiri yang

adalah institusi di mana Rawls berdiri juga belum bisa membawa teori keadilan ini pada tempat

yang seharusnya. Sekarang banyak negara penganut demokrasi liberal seperti Eropa dan Amerika

mengalami krisis ekonomi dan sosial. Selain itu kritik terhadap teori ini semakin berkembang.

Sekarang terjadi perdebatan serius antara kubu liberalisme dengan komunitarianisme dan

revisioneisme (pluralisme) dengan postliberalisme.

Namun saya harus mengakui, saya terpaku kagum menyaksikan kehebatan gagasan Rawls

ini. Keberhasilannya memberikan perspektif baru dalam dunia liberalism dengan menggeser

dominasi utilitarianisme. Rusuanto mengatakan bahwa proyek Rawls dapat dipandang sebagai yang
16

paling muktahir, sekaligus tercanggih, dari upaya liberalisme dalam memecahkan problem keadilan

(atau ketidakadilan) dalam dirinya yang tak pernah berhasil diselesaikannya dengan memuaskan

(Rusuanto 2005, 155). Keberhasilan Rawls ini juga menurt Rusuanto, karena Rawls berhasil

mengakhiri isolasi ekonomi dari politik seperti yang dilakukan utilitarianisme sebelumnya. Bahkan

Rusuanto mengatakan bahwa Rawls telah mampu melangkahi utilitarianisme dalam satu belokan

penting dengan menempatkan politik prioritas dalam urutan leksikal. Bagi Rawls, keadilan sebagai

predikat liberalism hanya apabila keadilan itu merupakan konsepsi politik, tapi bukan dari

liberalism tradisional melainkan dari yang disebutnya liberalism egalitarian (Rusuanto 2005, 157).

Bagi saya, gagasan teori keadilan ini sangat penting untuk dapat melihat pemikiran dasar

dari liberalisme yang mengusung paham-paham universalisme. Dari gagasan ini saya juga melihat

bagaimana peran-peran partikularitas dipersempit sampai batas tertentu untuk menemukan landasan

tipis yang sering dikenal sebagai landasan bersama.

Ada hal menarik yang ingin saya bahas di sini. Sempat saya singgung sebelumnya tentang

Rawls yang menekankan bahwa dalam mencapai kontrak sosial dan keadilan dalam masyarakat

maka tujuan spiritual bisa ditentang, dalam hal ini, tujuan-tujuan agama yang berbeda bisa

ditentang. Bahkan konsep rasionalitas harus ditafsirkan sejauh mungkin demi tercapainya tujuan

bersama. Sejalan dengan gagasan tersebut, saya melihat ada kesejajaran pemahaman dengan

revisionisme dan pluralisme. Landasan bersama yang berpijak pada universalitas menjadi tujuan

utama. Mereka menganggap tujuan-tujuan agama yang bertentangan harus ditafsirkan ulang.

Penafsiran-penafsiran ulang tentang agama dan doktrin-doktrinnya dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidup plural sering dilakukan tokoh-tokoh revisionisme dan pluralisme seperti David
17

Tracy dan Paul Knitter contohnya.12 Saya setuju dengan penafsiran ulang atas doktrin, teks, dan

tujuan-tujuan agama. Karena penafsiran ulang terhadap teks, doktrin dan ajaran-ajaran agama

sangat dibutuhkan dalam konteks di mana kita hidup untuk menjawab tantangan yang ada, terlebih

di masa kini. Namun hal yang harus diperhatikan dan selalu menjadi bahaya laten adalah persoalan

ruang bagi partikularitas agama itu sendiri. Saya sangat terganggu dengan gagasan yang hendak

menafsirkan tujuan-tujuan spiritualitas dan agama sejauh mungkin hanya demi tercapainya kontrak

sosial. Kalau bicara tentang politik dan hukum, hal ini masih dapat diterima, mungkin (walaupun

belum tentu). Namun ketika bicara tentang keyakinan dan agama, hal ini pasti menjadi pertanyaan

besar, paling tidak bagi saya secara pribadi. Gagasan landasan bersama ini sangat ditentang oleh

Hauerwas. Hauerwas sangat curiga dengan kelompok mayoritas dan penguasa. Sebab kelompok

inilah yang cenderung memanfaatkan landasan bersama ini sebagai pemaksaan terselubung

terhadap tujuan mereka. Dengan landasan bersama ini seolah-olah ada keterbukaan, toleransi,

pengakuan, kesetaraan dan keadilan. Padahal ukuran yang dipakai dalam landasan bersama tetaplah

ukuran kelompok yang paling diuntungkan (Hauerwas 2007, 58-60). Kalau dikaitkan dengan

gagasan dibalik selubung ketidaktahuan saya yakin Hauerwas akan sulit menerimanya. Sebab

dalam konsep landasan bersama itu dalam kenyataannya sangat sarat dengan kepentingan. Entah itu

atas nama negara, kemajemukan, dan pluralisme. Bahaya dari gagasan penafsiran sejauh mungkin

bukan hanya sekedar persoalan relativisme namun ada upaya penjajahan yang membuai.

Menarik juga kalau saya kaitkan paragraf di atas dengan kritikan Ian Shapiro tentang

individu-individ. Sebelumnya, ingin saya kemukakan bahwa leberalisme Rawls sepertinya sangat

memperhatikan bahkan memberikan penekanan khusus pada individu-individu. Saya berharap

12
Bisa kita lihat dalam bukunya David Tracy, The Analogical Imagination: Christian Theology and The Culture of
Pluralism. New York: Crossroad, 1981; dan bukunya Paul F. Knitter, No Other Name?: A Critical Survey Of
Christian Attitudes Toward The World Religions. New York: Orbis Book, 1985.
18

Rawls memberikan penekanan pda ruang particular. Namun sayangnya individu-individu ini

digiring bahkan diharuskan menjadi individu dalam keadaan dibalik selubung ketidaktahuan.

Sangat jelas kerangka universalitas di sini. Tujuan utamanya dalah pencarian dasar bersama

(kontrak sosial). Kritik Shapiro sebenarnya ditujukan pada persoalan individu dalam pendistribusian

keuntungan (Shapiro 2006, 228-232). Gagasan Rawls dalam hal ini menurut Shapiro sangat kabur

(Shapiro 2006, 230). Misalnya dalam menilai kemiskinan, selama ini individu termiskin itu hanya

bisa dilihat dari cerminan kelompoknya (standar kriteria tertentu). Kalau sekarang ditanya siapa

orang termiskin di dunia, tentu sangat sulit menentukannya. Jadi pembahasan tentang individu harus

mendapat rumusan yang jelas, karena individu ini bersifat partikular. Menurut Shapiro, semua

pembanding antar individu paling tidak memerlukan suatu rumusan tentang dimensi tersebut yang

dengannya individu dibandingkan satu sama lain dan kriteria untuk menentukan peringkat semua

individu bersangkutan menurut dimensi itu. Jika kita memiliki satu tas kelereng dan ingin tahu

kelereng mana yang paling tergores, kita harus membandingkan setiap kelereng satu sama lain

(Shapiro 2006, 230).

Saya meminjam pemikiran Shapiro dengan tujuan bahwa saya melihat Rawls dan juga

liberalisme seringkali seolah-olah menujukkan perhatian dan penekanan mereka terhadap

partikularitas, namun disaat yang bersamaan, melalui konsep landasan bersama, mereka telah

mengabaikan partikularitas yang ada. Hal yang serupa juga saya lihat pada pluralisme.

Pembandingan individu yang diusulkan Shapiro ini adalah usulan yang menujukkan adanya

perhatian terhadap kekhususan individu. Pembandingan individu satu dengan yang lain adalah

penekanan terhadap partikularitas.

Dalam evaluasi ini saya juga akan membahas kritikan saya pada teori keadilan Rawls yang

saya istilahkan sebagai teori andai-andai. Kritika saya pada teori lebih pada konteks yang kabur
19

dari posisi asali dan keberadaan individu-individu dibalik selubung ketidaktahuan yang sulit

dipetakan. Ada pembelaan terhadap Rawls tentang hal ini yang datang dari seorang Bur

Rusuanto. Rusuanto mempertanyakan kritik-kritik komunitarian yang mengatakan bahwa universal

Rawls tidak ada konteksnya (Rusuanto 2005, 153). Mengapa timbul kesan bahwa subyek Rawls

adalah atomistik dan abstrak (Rusuanto 2005, 163). Rusuanto melihat bahwa kritikan kaum

komunitarian adalah kritikan umum terhadap subyek liberalisme, seperti yang ditunjukkan oleh

Charles Taylor yang mengatakan bahwa tradisi filsafat Anglo-Saxon selalu mengabaikan eksplorasi

human subyek (Rusuanto 2005, 163). Tanggapan atas kritikan tersebut Rusuanto mengatakan,

sebenarnya Rawls telah memahami bahwa kritik subyek atomistik itu berangkat dari konsepnya

tentang original position. Teori kontrak tradisional memang melibatkan subyek-subyek atomistik

prasosial, dan itu memang subyek abstrak. Namun tidak demikian dengan teori Rawls, menurut

Rusuanto Rawls sendiri menjelaskan bahwa subyeknya adalah subyek-subyek yang untuk

sementara meninggalkan semua hubungan dengan masyarakat dan menunda semua persoalan

keadilan antar warga sampai suatu konsepsi keadilan bagi suatu masyarakat tertata-benar diperoleh

(Rusuanto 2005, 164). Selajutnya Rusuanto menekankan bahwa Rawls melindungi subyeknya

dengan postulat manusia sebagai mahkluk moral yang konsekuensinya sekaligus sebagai makhluk

sosial (Rusuanto 2005, 164).

Dalam pandangan saya, subyek Rawls ini saya istilahkan sebagai subyek tertunda. Saya

memahami posisi asali dan keadaan dibalik selubung ketidaktahuan adalah masa jeda. Karena

dalam posisi asali inilah diambil pilihat terhadap prinsip-prinsip keadilan. Setelah prinsip keadilan

dipilih dan konsepsi keadailan terwujud, barulah subyek tertunda ini masuk dalam realitas dan

menjadi inividu-individu nyata. Berdasarkan pemahaman ini, saya melihat bahwa posisi asali Rawls

memang tiadak ada konteksnya. Sebab subyek tersebut adalah subyek yang menarik diri dan tidak
20

ada dalam realitas sosial. Untuk sementara subyek ini ada dalam realitasnya sendiri yang tidak

terpetakan. Keadaan dibalik selubung ketidaktahuan adalah bentuk pengastrakan diri. Jadi bagi

saya kritikan kubu komunitarianisme sangat sah. Karena realitas Rawls dalam hal ini adalah

realitas asumsi, sepertinya tidak salah kalau saya mengatakan gagasan Rawls ini sebagai teori

andai-andai.

Saya juga melihat bahwa Rawls lebih menekankan postulat manusia sebagi makhluk sosial.

Memang dikatakan bahwa manusia adalah makhluk moral, namun ditekankan bahwa

konsekuensinya adalah sebagai mahkluk sosial. Jadi partikularitas manusia sebagai mahkluk moral

akan diatur, dikusai dan dikendalikan oleh keberadaanya sebagai makhluk sosial.

Pada bagian akhir evaluasi, saya mencoba melihat relevansi teori keadilan Rawls ini dengan

konteks Indonesia sekarang ini. Menurut saya, teori ini harus tetap mendapat tempat dan menjadi

acuan dalam melandasi perdebatan-perdebatan sosial-politik yang ada di Indonesia. Perdebatan

yang kuat terjadi di Indonesia adalah perdebatan pluralisme (atau liberalisme) dan postliberalisme.

Perdebatan ini menjadi kacau karena ada kelompok radikal (ekstrem) telah mengatasnamakan

perdebatan ini untuk memperoleh tujuan mereka. Biasanya perdebatan oleh kelompok radikal

(ekstrem) ini tidak memiliki dasar filosofis yang kuat. Jadi menurut saya telaah-telaah filosofis

seperti teori keadilan Rawls menjadi sangat penting bagi perkembangan sosial-politik dan termasuk

di dalamnya perkembangan agama-agama di Indonesia.


21

Daftar Pustaka

Haeurwas Stanley.2007. The State Of The University: Academic Knowledge Of God. Oxford:
Blackwell.

Knitter, Paul F. 1985. No Other Name?: A Critical Survey Of Christian Attitudes Toward The
World Religions. New York: Orbis Book.

Rusuanto Bur. 2005. Keadilan Sosial: Pandangan Deotologis Rawls dan Habermas, Dua Teori
Filsafat Politik Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rawls John. 1971. A Theory Of Justice. Hardvard: Belknap Press.

Sen Amartya. 2009. The Idea Of Justice. London: Allen Lane.

Shapiro Ian. 2006. Evolusi Hak DalamTeori Liberal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tracy David. 1981. The Analogical Imagination: Christian Theology and The Culture of
Pluralism. New York: Crossroad.

Wenar Leif. 2008. John Rawls tersidia dari http://plato.stanford.edu/entries/rawls/ diakses


tanggal 28 Januari 2011.

Anda mungkin juga menyukai