OLEH :
MARLIANI
NIM : 1614901110117
Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit kronis yang merusak dan
menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh peradangan yang
merupakan respon normal dari sistem kekebalan tubuh. Peradangan pada sendi
menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak serta gejala lainnya. Selain itu, peradangan
sering mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh. Jika peradangan tidak dihambat atau
dihentikan, akhirnya akan menghancurkan sendi yang terkena dan jaringan lainnya
(David, 2011).
I.2 Etiologi
Etiologi JRA belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respon yang abnormal
terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga
memiliki pengaruh yang sangat kuat (Yuliasih, 2010).
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit autoimun dimana sistem
kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan yang seharusnya dilindungi. Namun,
belum pernah ditemukan autoantibodi spesifik untuk JRA. Penyebab yang mungkin
adalah respon imun pejamu yang secara genetik rentan terhadap suatu antigen (yang
belum diketahui). Secara luas dipercaya bahwa pemicu respon imun awal adalah suatu
agen infeksius. Antigen Presenting Cell (APC) menelan protein asing, mengolahnya,
dan kemudian menyajikan peptida antigenik melalui reseptor MHC klas II ke sel T-
helper CD4+ yang mengenali peptida antigenik melalui reseptor antigen sel T-
klonotipik (TCR). Sel T-helper yang sudah diaktifkan mengeluarkan berbagai sitokin
dan merekrut sel T lain dan sel B yang dipacu untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma
penghasil antibodi. Pada dewasa, antigen MHC klas II HLA-DR4 dan HLA-DR1
dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap JRA. Sedangkan pada anak,
peningkatan kerentanan terhadap JRA dikaitkan dengan HLA-DR5 dan HLA-DR8.
Protein MHC klas II ini mungkin sama-sama memiliki sekuen spesifik asam amino
yang berkaitan dengan cara menyajikan antigen tertentu yang kemudian menyebabkan
peningkatan kerentanan terjadinya radang sendi (Rudolph, 2006).
Belum pernah berhasil diisolasi suatu agen infeksius tertentu yang secara spesifik
menyebabkan artritis walaupun sudah dilakukan riset intensif bertahun-tahun.
Mikroorganisme yang mungkin berperan sebagai agen infeksius antara lain virus
limfotropik sel T tipe 1, virus rubella, sitomegalovirus, herpesviridiae, mikoplasma, dan
virus Epstein-Barr (EBV). Epstein-Barr (EBV) adalah suatu aktivator poliklonal sel B
yang menghasilkan banyak immunoglobulin, termasuk faktor reumatoid. Sebagian
orang dewasa penderita artritis reumatoid terbukti memperlihatkan peningkatan jumlah
sel B yang terinfeksi oleh EBV dalam sirkulasi serta penurunan respon sel T sitotoksik
terhadap virus tersebut (Rudolph, 2006).
Terdapat data yang menunjang suatu respon autoimun sebagai kausa primer artritis
reumatoid tetapi data tersebut belum kuat. Kolagen dan IgG adalah protein utama yang
paling sering dianggap sebagai auto-antigen. Reaksi terhadap kolagen dapat
menyebabkan artritis pada hewan pengerat dan mamalia yang lebih tinggi tetapi
antibodi terhadap kolagen yang terdapat di tulang rawan sendi tampaknya tidak
menyebabkan artritis reumatoid pada manusia. Ketika terjadi kerusakan tulang rawan
pada artritis, terbentuk autoantibodi terhadap bagian kolagen yang mengalami
degradasi. Autoantibodi ini bersama dengan faktor reumatoid mengendap di tulang
rawan dan berfungsi sebagai kemoatraktan dan menyebabkan proses kerusakan secara
terus-menerus. Sel T CD4+ aktif berkumpul di dalam ruang sendi. Membran sinovial
juga terkena. Makrofag dan fibroblas menghasilkan interleukin-1 (IL-1) dan tumor
necrosis factor (TNF-) yang menumpuk di membran sinovial. Sitokin-sitokin ini
memiliki efek luas terhadap banyak sel serta menyebabkan pengaktifan dan proliferasi
sel T lebih lanjut, peningkatan aktivitas prostaglandin dan protease penghancur matriks,
serta resorpsi tulang (Rudolph, 2006).
Netrofil adalah sel utama dalam cairan sendi walaupun limfosit dan makrofag
merupakan sel predominan di membran sinovial. Kemoatraktan untuk netrofil adalah
C5a yang dihasilkan dari pengaktifan komplemen, leukotrien B4, dan platelet activating
factor. Netrofil dalam cairan sendi dengan cepat memakan debris sel dan komplek
imun. Pengaktifan netrofil menyebabkan terjadinya degranulasi, pengeluaran protease,
dan pembentukan rangsangan kemotaktik lebih lanjut. Di cairan sendi, pengaktifan
sistem komplemen, pengeluaran enzim lisosom oleh netrofil, pembentukan oksidan
reaktif, pembentukan kinin vasoaktif oleh kalikrein, serta pengaktifan fibrinolisis dan
jenjang pembekuan menyebabkan terjadinya peradangan yang intensif. Rasa nyeri,
peningkatan suhu, kemerahan, dan efusi mencerminkan peradangan sendi akut
(Rudolph, 2006).
b. Pausiartikular
Pada pausiartikular, sendi yang terkena terbatas pada 4 sendi selama 6 bulan
pertama sesudah timbulnya penyakit. Sendi yang terkena terutama sendi besar, dan
penyebarannya sering tidak simetris. Ada 2 subtipe dari pausiartikular ini, yaitu tipe 1
terutama menyerang anak perempuan yang masih kecil pada saat mulainya penyakit
dan berisiko menderita iridosiklitis kronis. Tipe 2 terutama menyerang anak laki-laki
dengan usia yang lebih besar pada saat mulainya penyakit dan lebih berisiko
mengalami spondiloartropati.
Pausiartikular tipe 1 adalah tipe yang paling umum terjadi (30-40%). Sebanyak 90%
penderita memiliki tes ANA positif dan tidak disertai dengan faktor reumatoid
ataupun HLA 27. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi lutut, pergelangan
kaki, dan siku. Kadang-kadang ada keterlibatan tersendiri pada sendi lainnya, seperti
sendi temporomandibular, satu jari kaki atau tangan, pergelangan tangan, atau leher.
Pinggul dan tulang lingkar panggul biasanya tidak terkena dan tidak disertai
sakroilitis. Gambaran klinis dan histologi sinovial sendi yang terkena tidak dapat
dibedakan dari gambaran klinis dan histologi JRA.
Penderita dengan penyakit pausiartikuler tipe 1 berisiko tinggi untuk menderita
komplikasi mata. Iridosiklitis kronis terjadi pada 15-30% pada suatu waktu selama
10 tahun pertama penyakit. Ciri khas iridosiklitis kronis JRA adalah tidak disertai
gejala atau tanda-tanda awal. Kadang kala anak menampakkan gejala awal
kemerahan, nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam peglihatan. Satu atau dua mata
dapat terkena. Jika dimulai dari unilateral, mata yang lain biasanya tetap tidak
terlibat. Iridosiklitis kadang-kadang merupakan manifestasi JRA yang ada tetapi
biasanya iridosiklitis menyertai awal timbulnya keluhan sendi selama berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun. Penderita dengan iridosiklitis biasanya memiliki tes ANA
yang positif. Tanda-tanda peradangan iris dan korpus siliaris yang paling awal adalah
bertambahnya jumlah sel serta jumlah protein dalam kamera okuli anterior.
Perubahan yang timbul hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan slit lamp.
Seringkali radang okuler tetap aktif selama bertahun-tahun. Sekuelenya meliputi
sinekia posterior, katarak dengan komplikasinya, glaukoma sekunder, dan ptosis
bulbi yang dapat berakibat kehilangan visus dan kebutaan permanen. Oleh karena itu,
pada anak dengan pausiartikular harus dilakukan pemeriksaan slit lamp 3-4 kali
setahun sekurang-kurangnya selama 5 tahun pertama penyakit tanpa memandang
aktivitas penyakit sendi. Manifestasi ekstra-artikular lainnya pada JRA pausiartikular
biasanya ringan, seperti demam ringan, malaise, hepatomegali, limfedenopati sedang,
dan anemia ringan. Hal ini bisa dikaitkan dengan aktivitas penyakit yang aktif.
Penyakit pausiartikular tipe 2 mengenai 10-15% penderita JRA terutama anak laki-
laki yang berusia lebih dari 8 tahun. Riwayat keluarga sering menunjukan adanya
anggota keluarga yang juga menderita artritis pausiartikular, spondilitis ankilosa, dan
penyakit reiter (iridosiklitis akut). Uji ANA biasanya negatif. Pada tipe ini sendi yang
sering terkena adalah sendi besar, terutama sendi ekstremitas bawah. Nyeri tumit,
fasiitis plantaris atau tendinitis achilles sering ditemui. Kemungkinan juga dapat
ditemukan radang pada tempat insersi tendon pada tulang. Seiring berjalannya waktu,
artritis pausiartikular tipe 2 ini berkembang menjadi spondilitis ankilosa yang khas
dengan keterlibatan spina lumbodorsal, manifestasi sindroma reiter (hematuria atau
piuria, uetritis, iridosiklitis akut atau manifestasi mukokutan), atau adanya tanda-
tanda penyakit radang usus.
c. Sistemik
Penyakit tipe sistemik adalah jenis JRA yang paling berat tetapi sangat jarang
ditemui. Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan JRA dengan
perbandingan yang sama antara kedua jenis kelamin. Penderita umumnya datang
dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak selama beberapa minggu disertai ruam-
ruam yang cepat menghilang. Demam timbul setiap hari atau dua kali sehari, sering
melonjak hingga suhu 40oC- 41oC pada sore hari, dan sering menurun dengan cepat
sampai subnormal pada jam lain. Demam tinggi mungkin berlangsung berbulan-
bulan sebelum muncul temuan sendi yang objektif. Lonjakan demam sering disertai
oleh ruam makular berwarna salem yang cepat menghilang, terutama timbul di badan
dan paha sebelah dalam. Tiap-tiap makular tidak kembali muncul di tempat yang
sama pada lonjakan demam berikutnya. Ruam sering memperlihatkan fenomena
Koebner, yaitu kemampuan untuk memicu timbulnya lesi dengan menggosok kulit
secara lembut.
Selain itu, penderita yang usianya lebih besar sering mengeluh artralgia dan/atau
mialgia yang parah. Penurunan nafsu makan dan iritabilitas juga sering dikeluhkan.
Adanya limfadenopati generalisata mungkin cukup menonjol sehingga memberi
kesan kuat akan adanya keganasan. Hepatosplenomegali juga dapat sebagai tanda
keganasan.
Anak dengan JRA tipe sistemik tidak jarang mengalami perikarditis, kadang disertai
miokarditis yang mungkin mengancam jiwa. Beberapa dari anak ini juga menderita
efusi pleura dan pneumonitis. Kadang-kadang anak mengalami serositis abdomen
yang menimbulkan gambaran mirip akut abdomen.
Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang secara perlahan sementara
mereka terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Sedangkan yang lain
mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten sepanjang
masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa dewasa tetapi di antara serangan
mungkin terdapat masa normal.
I.4 Patofisiologi
Artritis reumatoid ditandai dengan peradangan sinovial kronis yang nonsupuratif.
Jaringan sinovial yang terkena menjadi edema, hiperemis, serta diinfiltrasi oleh limfosit
dan sel plasma. Bertambahnya cairan sendi menimbulkan efusi. Penonjolan dari
membran sinovial yang menebal membentuk vili yang menonjol ke dalam ruang sendi;
reumatoid sinovial yang hiperplastik dapat menyebar dan melekat pada kartilago
artikuler sehingga terbentuk pannus. Pada sinovitis kronis dan proliferasi sinovial yang
berkelanjutan, kartilago artikuler dan struktur sendi lainnya dapat mengalami erosi dan
rusak secara progresif. Terdapat variasi waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya proses
kerusakan sendi yang permanen pada sinovitis. Pada anak, proses kerusakan kartilago
artikuler terjadi lebih lambat dibandingkan pada dewasa, sehingga anak yang menderita
JRA tidak pernah mendapat cedera sendi permanen walaupun sinovitisnya lama.
Penghancuran sendi terjadi lebih sering pada anak dengan faktor reumatoid positif atau
penyakit tipe sistemik. Bila penghancuran sendi telah dimulai, dapat terjadi erosi tulang
subkhondral, penyempitan ruang sendi, penghancuran tulang, deformitas dan subluksasi
atau ankilosis persendian. Mungkin dijumpai tenosinovitis dan miositis. Osteoporosis,
periostitis, pertumbuhan epifisis yang dipercepat, dan penutupan epifisis yang prematur
dapat terjadi di dekat sendi yang terkena.
Nodul reumatoid lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan orang dewasa, terutama
pada faktor reumatoid positif, dan memperlihatkan bahan fibrinoid yang dikelilingi oleh
sel radang kronis. Pada pleura, perikardium dan peritoneum dapat terjadi serositis
fibrinosis non spesifik. Nodul reumatoid secara histologis tampak seperti vaskulitis
ringan dengan sedikit sel radang yang mengelilingi pembuluh darah kecil.
Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat. Anemia pada umumnya
dijumpai, biasanya dengan angka retikulosit rendah dan uji Coomb negatif. Selain itu
ditemukan peningkatan sel darah putih. Trombositosis dapat terjadi terutama pada
penyakit. Analisis urin normal, selama terapi non-steroid mungkin ditemukan sedikit
eritrosit dan sel tubuler ginjal. Terdapat kenaikan fraksi 2-dan gamma globulin
dalam serum dan penurunan albumin. Salah satu atau semua kadar imunoglobulin
serum dapat naik.
ANA ditemukan pada beberapa anak dengan penyakit faktor reumatoid-negatif
(25%), faktor reumatoid positif (75%), atau pausiartikular tipe I (90%) tetapi jarang,
pada mereka yang dengan penyakit sistemik atau pausiartikuler tipe II. Penemuan
ANA tidak berkolerasi dengan keparahan penyakit.
Faktor reumatoid ditemukan pada sekitar 5% anak JRA dan berkolerasi dengan JRA
yang mulai pada umur yang lebih tua. Hasil uji positif paling sering dihubungkan
dengan penyakit poliartikular, yang mulai pada akhir masa kanak-kanak, artritis
destruksi berat, dan nodulus reumatoid.
Cairan sinovial pada JRA tampak seperti berawan dan biasanya berisi jumlah protein
yang naik. Jumlah sel dapat bervariasi dari 5000-80.000 sel/mm 3; sel-sel tersebut
terutama netrofil. Kadar glukosa pada cairan sendi mungkin rendah; kadar
komplemen mungkin normal atau menurun.
Faktor reumatoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi,
sedangkan pada JRA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi
laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada JRA.
Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan
komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih
sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5
B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.
b. Radiolog
Pemeriksaan radiologi JRA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan
yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada
sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang
sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru
periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi
tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan
terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang
dijumpai pada JRA walaupun dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka
panjang.
Tidak semua sendi kelompok JRA menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya
didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya
didapatkan pada kelompok poliartikular.
Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada
fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional
sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang
menurut mereka khas untuk JRA sistemik, yaitu a)tulang panjang yang memendek,
melengkung, dan melebar, b)metafisis mengembang, dan c)fragmentasi iregular
epifisis pada masa awal sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam
metafisis.
Pemeriksaan foto rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau
manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto rontgen biasa kelainan
tulang dan sendi JRA dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi dengan
technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang spesifik.
Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang
dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi
secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan
cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan
cairan secara klinis, seperti pinggul dan bahu.
Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan
membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon.
Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan
inflamasi sinovial dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk
menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto
rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi jaringan
lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat menilai progresifitas
penyakit.
I.6 Komplikasi
Beberapa komplikasi penting dapat terjadi akibat JRA. Namun dengan tetap memantau
keadaan anak dan pemberian pengobatan dapat menurunkan resiko dari komplikasi-
komplikasi berikut (Shiel, 2013) :
a. Komplikasi pada mata
Uveitis (inflamasi pada mata) merupakan komplikasi yang sering tanpa gejala.
Biasanya terjadi pada anak perempuan yang memiliki hasil ANA positif. Bila kondisi
ini tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan terjadinya katarak, glaukoma
bahkan kebutaan. Uveitis terkait JRA biasanya asimptomatik. Skrining terhadap
uveitis telah dilakukan selama beberapa tahun dan telah membantu menurunkan
prevalensi pasien yang kehilangan penglihatan.
b. Deformitas tulang
Inflamasi sinovitis dan efek destruksinya pada sendi dapat menyebabkan berbagai
komplikasi neurologis pada pasien rheumatoid arthritis. Kompresi yang berlokasi
pada saraf median di pergelangan tangan merupakan neuropati yang paling banyak
dilaporkan pada pasien rheumatoid arthritis dewasa. Dalam suatu penelitian
didapatkan bahwa saraf median tidak terpengaruh pada pasien dengan JRA. Namun,
perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih besar sehingga dapat mengevaluasi
struktur pada carpal tunner.
c. Gangguan pertumbuhan
JRA dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tulang anak. Beberapa obat
yang digunakan untuk mengobati JRA, terutama kortikosteroid, juga dapat
menghambat pertumbuhan, menyebabkan diskrepensi panjang tungkai, kaki tidak
sama panjang, dan deformitas tulang.
d. Kontraktur sendi
Pada lutut, dapat terjadi kekakuan lutut, deformitas sendi dan kerusakan sendi.
Komplikasi pada tulang leher mengakibatkan anak mengalami kesulitan menekukkan
kepala ke depan. Komplikasi pada tulang punggung berupa keterbatasan gerakan
punggung.
e. Lainnya
Perkarditis dapat terjadi dengan gejala terseringnya berupa nafas pendek yang tidak
dapat dijelaskan. Dapat juga terjadi anemia atau kelainan darah sejenisnya. Inflamasi
dari arteri pada tangan dan kaki yang dapat mengganggu sirkulasi dan menyebabkan
kerusakan serius pada jari tangan dan jari kaki. Selain itu pernah juga dilaporkan
terjadinya inflamasi hepar. 13
I.7 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah
mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of
motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan
yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol
manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli
fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan
psikiatri.
Tujuan penatalaksanaan JRA ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal yang
harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut,
mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen.
Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain
obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien JRA pertumbuhannya sangat
terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan
akibat sakit atau efek samping obat.
a. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat kompleks,
karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengungkapkan nyeri. Obat anti
inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan anti nyeri pada umumnya yang dapat
ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Selain untuk mengurangi nyeri, OAINS juga
dapat digunakan mengontrol kaku sendi. Efek analgesiknya juga sangat cepat.
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar anak dalam
terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgetik, dan
antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Selain itu obat
ini juga menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe
oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respon baik terhadap pengobatan
OAINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua.
Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan OAINS karena
adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan
transaminasemia. Dengan adanya OAINS yang menghambat siklus siklooksigenase
(COX), khususnya COX-2 maka penggunaan OAINS lebih dipilih daripada aspirin
karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien
yang mempunyai masalah perdarahan. Namun demikian, aspirin masih mampu
menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan terbukti aman dalam penggunaan
jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4
kali pemberian, diberikan bersama dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung.
Dosis tinggi biasanya untuk anak yang beratnya kurang dari 25 kg, sedangkan untuk
anak yang lebih besar diberikan dosis yang lebih rendah. Aspirin diberikan terus
sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang.
b. Analgetik
Walaupun bukan obat antiinflamasi, asetaminofen dalam 2-3 kali pemberian dapat
bermanfaat untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada penyakit sistemik.
Obat ini tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat menimbulkan kelainan
ginjal.
c. Imunosupresan
Imunosupresan hanya diberikan dalam protokol eksperimental untuk keadaan berat
yang mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi sudah mulai
memakainya dalam protokol baku. Obat yang biasa dipergunakan adalah azatioprin,
siklofosfamid, klorambusil, dan metotreksat.
Metotreksat mempunyai onset kerja cepat, efektif, toksisitas yang masih dapat
diterima, sehingga merupakan obat lini kedua dalam JRA. Keunggulan penggunaan
obat ini adalah efektif dan dosis relatif rendah, pemberian oral dan dosis 1 kali per
minggu. Indikasinya adalah untuk poliartritis berat, oligoartritis yang agresif atau
gejala sistemik yang tidak membaik dengan OAINS, hidroksiklorokuin, atau garam
emas. Dosis inisial 5 mg/m 2 luas permukaan tubuh/minggu dapat dinaikkan menjadi
10 mg/m2 luas permukaan tubuh/minggu bila respon tidak adekuat setelah 8 minggu
pemberian (dosis maksimal 30 mg/ m2). Lama pengobatan yang dianggap adekuat
adalah 6 bulan. Asam folat 1 mg/hari sering diberikan bersama metotreksat untuk
mengurangi toksisitas mukosa gastrointestinal. Anak-anak dengan poliartritis berat
yang tidak berespon dengan metotreksat oral dapat digantikan dengan intramuskular
atau subkutan.
d. Obat Antireumatik Kerja Lambat
Golongan ini terdiri dari obat antimalaria (hidroksiklorokuin), preparat emas oral dan
suntikan, penisilamin, dan sulfasalazin. Obat golongan ini hanya diberikan untuk
poliartritis progresif yang tidak menunjukan perbaikan dengan OAINS.
Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan OAINS untuk anak besar
dengan dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5
mg/kgBB/hari. Pemberian hidroksiklorokuin harus didahului dengan pemeriksaan
mata, khususnya keadaan retina, lapangan pandang, dan warna. Oleh karena itu,
penggunaan obat ini jarang diberikan pada anak di bawah usia 4-7 tahun karena
adanya kesulitan tindak lanjut pada pemeriksaan mata. Bila setelah 6 bulan
pengobatan tidak diperoleh perbaikan maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.
Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap sulfa atau
salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 500 mg/hari
diberikan bersama makanan (untuk anak yang lebih kecil 12,5 mg/kgBB). Dosis
dinaikkan sampai 50 mg/kgB/hari (maksimal 2 gram). Monitor dilakukan melalui
pemeriksaan hematologi dan fungsi hati. Sulfasalazin dapat diberikan sebagai
langkah sementara sebelum menambah obat kedua selain OAINS, seperti
metotreksat. Sulfasalazin kadang-kadang diberikan sebagai antiinflamasi lini kedua
pada anak dengan tipe poliartritis atau oligoartritis persisten.
e. Kortikosteroid
Diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk suntikan
intraartikular. Penggunaan kortikosteroid tunggal tidak dianjurkan untuk menekan
inflamasi sendi, namun dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan poliartritis
berat yang tidak berespon dengan terapi lain. Dosis rendah prednison (0,1-0,2
mg/kgBB) dapat digunakan sebagai agen jembatan dalam terapi inisial anak yang
sakit sedang atau berat yang sebelumnya menggunakan obat antiinflamasi kerja
lambat. Untuk gejala penyakit sistemik berat yang tak terkontrol diberikan prednison
0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimal 40 mg) atau dosis terbagi pada
keadaan yang lebih berat. Bila terjadi perbaikan klinis maka dosis diturunkan
perlahan dan prednison dihentikan. Efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian
jangka panjang antara lain sindrom cushing, penekanan pertumbuhan, fraktur,
katarak, gejala gastrointestinal dan defisiensi glukokortikoid.
Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak berespon
dengan OAINS atau sebagai bantuan dalam terapi fisik pada sendi yang sudah
mengalami inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga dapat
diberikan pada poliartritis dimana satu atau beberapa sendi tidak berespon dengan
OAINS. Namun, pemberian injeksi intra-artikular ini harus dibatasi, misalnya 3 kali
pada 1 sendi selama 1 tahun. Triamsinolon heksasetonid merupakan obat pilihan
dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar.
f. Fisioterapi dan Latihan Fisik
Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya antara lain untuk
mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, dan
hidroterapi. Hidroterapi pemanasan dengan air pada suhu 96 oF sangat membantu
mengurangi nyeri. Selain itu, fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk melakukan
peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif
sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif dengan
atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna
untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan
normal.
Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisir nyeri, menjaga dan mengembalikan
fungsi dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak dengan artritis aktif
dianjurkan untuk beristirahat dan meningkatkan waktu tidur saat malam hari. Pasien
dengan JRA harus sedapat mungkin aktif, namun kegiatan yang menyebabkan
kelelahan berlebih dan nyeri pada sendi perlu dihindari.
g. Psikoterapi
Dukungan psikologis bagi anak dan keluarganya sangat penting untuk memperbaiki
prognosis jangka panjang. Anak dengan RJA berat sering mengalami retardasi
pertumbuhan dan sering terlalu dilindungi oleh keluarga, guru dan teman sekelasnya.
Anak tersebut sering memanfaatkan hal ini untuk tidak pergi ke sekolah, tidak
melakukan pekerjaan di rumah ataupun tidak melakukan tugas yang tidak
menyenangkan. Terapis harus dapat meyakinkan semua orang yang berinteraksi
dengan anak pengidap RJA untuk menghadapi anak tersebut secara normal sesuai
anak seusianya dan menekankan indepedensi serta pendewasaan sebanyak mungkin.
Bila hal itu tidak dilakukan, anak mungkin akan makin mengalami regresi atau
imatur seiring dengan waktu.
Selain itu, memiliki anak berpenyakit kronik akan menimbulkan stress besar pada
interaksi anak tersebut dengan saudara-saudaranya dan pada perkawina orang tua.
Perlunya terapi fisik akan menjadi beban bagi oang tua, sehingga membutuhkan
banyak dukungan dan dorongan. Beban biaya untuk semua penyakit kronik mungkin
sangat besar. Terapis harus bekerja sama dengan guru dan departemen pendidikan,
untuk memastikan bahwa anak diijinkan dan didorong untuk menjadi senormal
mungkinselagi di sekolah.
h. Nutrisi
Nutrisi dan vitamin suplemen (vitamin B dan asam folat) menjadi aspek penting
dalam penatalaksanaan jangka panjang, karena adanya proses retardasi pertumbuhan
dan kerusakan mineralisasi tulang akibat penyakit dan pemberian kortikosteroid.
Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena kerusakan pusat
pertumbuhan tulang maupun umum karena asupan nutrisi yang kurang dan
menurunnya produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan inflamasi kronis
mempunyai risiko untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang
menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat
berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga mempengaruhi
penurunan nafsu makan. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara
lain OAINS dan klorokuin.
Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, hal ini disebabkan karena
kurangnya aktivitas, intake makanan yang berlebihan atau akibat efek samping
kortikosteroid. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi,
dan kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan
pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin
D. Dosis untuk anak umur 1-10 tahun adalah vitamin D 400 IU dan kalsium 400 mg,
sedangkan kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.
i. Bedah
Terapi bedah dilakukan hanya pada sebagian kecil JRA yakni pada kasus dimana
terdapat deformitas sendi, ketidakmampuan bergerak atau nyeri yang parah.
Pembedahan adalah pilihan pengobatan yang harus dipertimbangkan bila tidak ada
perbaikan dengan obat maupun terapi fisik serta tidak dapat berjalan dan
mengerjakan pekerjaan sehari-hari.
Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat. Anemia pada
umumnya dijumpai, biasanya dengan angka retikulosit rendah dan uji Coomb
negatif. Selain itu ditemukan peningkatan sel darah putih. Trombositosis dapat
terjadi terutama pada penyakit. Analisis urin normal, selama terapi non-steroid
mungkin ditemukan sedikit eritrosit dan sel tubuler ginjal. Terdapat kenaikan
fraksi 2-dan gamma globulin dalam serum dan penurunan albumin. Salah satu
atau semua kadar imunoglobulin serum dapat naik.
Faktor reumatoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah
dideteksi, sedangkan pada JRA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar
dideteksi laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai
pada JRA. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan
oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik
menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang
kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering
ditemukan di Australia.
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi JRA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh
kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang
terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi,
pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti
formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2
tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang
rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal.
Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada JRA walaupun dengan
pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.
Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan
membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon.
Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan
inflamasi sinovial dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk
menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan
dengan foto rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi
inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat
menilai progresifitas penyakit.
2.3 Perencanaan
Nyeri akut/kronis berhubungan dengan distensi jaringan akibat akumulasi
cairan/proses inflamasi, destruksi sendi
Tujuan : Nyeri berkurang, hilang atau teradaptasi.
Kriteria Hasil :
- klien melaporkan penurunan nyeri.
- Menunjukkan perilaku yang lebih relaks.
- Memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang dipelajari dengan peningkatan
keberhasilan.
- Skala nyeri 0-1 atau teradaptasi.
Intervensi Rasional
Selidiki keluhan nyeri, catat Membantu dalam menentukan kebutuhan
lokasi dan intensitas . Catat manajemen nyeri dan keefektifan program.
faktor-faktor yang mempercepat
dan tanda-tanda rasa sakit non
verbal.
Berikan matras/ kasur keras, Matras yang lembut/ empuk, bantal yang besar
bantal kecil,. Tinggikan linen akan mencegah pemeliharaan kesejajaran tubuh
tempat tidur sesuai kebutuhan yang tepat, menempatkan stress pada sendi yang
sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan
tekanan pada sendi yang terinflamasi/nyeri
Anjurkan pasien untuk mandi air Panas meningkatkan relaksasi otot, dan mobilitas,
hangat atau mandi pancuran menurunkan rasa sakit dan melepaskan kekakuan
pada waktu bangun dan/atau di pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat
pada waktu tidur. Sediakan dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan.
waslap hangat untuk
mengompres sendi-sendi yang
sakit beberapa kali sehari.
Pantau suhu air kompres, air
mandi, dan sebagainya.
Beri obat sebelum aktivitas/ Meningkatkan realaksasi, mengurangi tegangan
latihan yang direncanakan sesuai otot/ spasme, memudahkan untuk ikut serta dalam
petunjuk terapi.
Kolaborasi: Berikan obat-obatan Sebagai anti inflamasi dan efek analgesik ringan
sesuai petunjuk (mis: asetil dalam mengurangi kekakuan dan meningkatkan
salisilat). mobilitas.
Rudolph MA. Artritis Reumatoid Juvenilis. Dalam: Buku Ajar Pediatrik Rudolph. Vol. 1.
Ed : 20. Deborah Welt Kredich. Jakarta: EGC. 2006; 537-8.
Yuliasih. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
2010; 2520-5
Pelaihari, Juni 2017
Mengetahui,
Preseptor Akademik Preseptor Klinik