Anda di halaman 1dari 6

A.

Patofisiologi
Patofisiologi pada syok hipovolemik sangat tergantung dari penyakit primer yang
menyebabkannya. Namun secara umum, prinsipnya sama. Jika terjadi penurunan
tekanan darah yang cepat akibat kehilangan cairan, kebocoran atau sebab lain, maka
tubuh akan mengadakan respon fisiologis untuk mempertahankan sirkulasi dan
perfusi yang adekuat ke seluruh tubuh. Secara umum, tubuh melakukan kontrol
terhadap tekanan darah melalui suatu sistem respon neurohumoral yang melibatkan
beberapa reseptor di tubuh. Reseptor tersebut diantaranya adalah

1. Baroreseptor (Reseptor Tekanan)


Reseptor ini peka terhadap rangsang yaitu perubahan tekanan di dalam
pembuluh darah. Reseptor ini masih peka terhadap penurunan hingga 60
mmHg. Reseptor ini terletak di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan
kanan, ventrikel kiri dan kanan serta arteri dan vena pulmonalis. Jika
terjadi penurunan tekanan darah maka terjadi 2 mekanisme oleh
baroreseptor yaitu :
1. Perangsangan terhadap fungsi jantung untuk meningkatkan
kemampuan sirkulasi, heart rate dan kekuatan pompa
dinaikkan.
2. Perangsangan fungsi pembuluh darah untuk meningkatkan
resistensi perifer (vasokonstriksi) untuk meningkatkan tekanan
darah.

Baroreseptor Sistem Kardiovaskular

2. Kemoreseptor (Reseptor Kimia)


Reseptor ini bekerjasama dengan baroreseptor untuk mengatur
sirkulasi. Kemoreseptor dirangsang oleh perubahan pH darah. Jika
mencapai kondisi asidosis, kemoreseptor memberikan rangsangan untuk
mempercepat sirkulasi dan laju pernafasan. Dan sebaliknya apabila terjadi
alkalosis, responnya adalah memperlambat sirkulasi dan pernafasan.
Kemoreseptor Sistem Kardiovaskular

3. Cerebral Ischemic Receptor


Reseptor di otak ini mulai bekerja ketika aliran darah di otak turun <40
mmHg. Akan terjadi respon massive sympathetic discharge untuk
merangsang sistem sirkulasi jauh lebih kuat.

4. Humaral Response
Saat kondisi hipovolemik, sistem hormonal tubuh mengeluarkan hormon
stres untuk membantu memacu sirkulasi. Hormon tersebut diantaranya
adrenalin, glukagon dan kortisol. Hormon-hormon tersebut juga membantu
terjadinya respon kardiologis yaitu takikardi, vasokonstriksi namun
terdapat efek hiperglikemia. Pada kondisi tubuh yang stress, hormon ADH
juga dikeluarkan sehingga restriksi cairan makin kuat. Produksi urin turun.

5. Sistem Kompensasi Ginjal (Retensi Air dan Garam)

RAA System ini sangat membantu dalam kondisi syok. Jika terjadi
hipoperfusi ke ginjal maka akan terjadi pengeluaran hormon renin oleh
aparatus juxtaglomerolus untuk mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I. Angiotensin I kemudian diubah menjadi Angiotensin II oleh
ACE (angiotensin converting enzyme). Angiotensin II memiliki fungsi
yaitu vasokonstriktor kuat, kemudian juga merangsang aldosteron untuk
meningkatkan absorpsi Natrium di Tubulus Ginjal.

Jalur Renin Angiotensin Aldosteron

6. Autoperfusi

Saat terjadi syok, dapat terjadi mekanisme autoperfusi untuk


memindahkan cairan intraselular ke dalam vaskular. Pada keadaan
hipovolemik, maka tekanan hidrostatik intravaskular menurun sehingga
memungkinkan untuk terjadi perpindahan dari intrasel ke vaskular sampai
terjadi kesetimbangan atar keduanya. Hal ini ditunjukkan dengan klinis
yaitu turgor yang menurun.

Skema Proses Refleks Kardiovaskular Saat Terjadi Hipotensi


Keseluruhan proses ini bekerja secara stimulan, dan hampir bersamaan
sehingga menciptakan suatu respon yang adekuat untuk mengatasi kondisi
hipovolemik. Akibat dari semua proses ini adalah vasokonstriksi yang luas, sebagai
akibatnya maka tekanan diastolik akan meningkat pada fase awal sehingga tekanan
nadi menyempit.

Proses kompensasi ini juga menyebabkan kondisi metabolisme anaerob,


terjadi asidosis metabolik. Proses hipovolemia akan menyebabkan pertukaran O2 dan
CO2 melambat. Maka lama-kelamaan akan terjadi metabolisme anaerobik. Hal inilah
yang menjadi cikal bakal kegagalan sirkulasi pada syok hipovolemia.

Akibat dari hipoksia dan berkurangnya nutrisi ke jaringan maka metabolisme


lama-lama menjadi anaerob dan tidak efektif. Metabolisme anaerobik hanyak
menghasilkan 2 ATP dari setiap molekul glukosa. Sedangkan pada metabolisme aerob
menghasilkan ATP sebanyak 36 molekul. Akibat dari metabolisme anaerobik adalah
penumpukan asam laktat yang bisa menyebabkan kondisi asidosis. Lama-kelamaan
metabolisme ini tidak mampi menyediakan energi yang cukup untuk mempertahankan
homeostasis seluler. Terjadi kerusakan pompa ionik, permeabilitas kapiler juga
terganggu, sehingga terjadi influx dan eflux elektrolit yang tidak seimbang, dan pada
akhirnya terjadi kematian sel. Jika kematian sel meluas, maka terjadi banyak
kerusakan jaringan, kemudian terjadi multiple organ failure atau kegagalan organ
multipel dan kejang yang irreversibel.

Skema Terjadinya Syok Hipovolemik

Penurunan Energi Untuk Fase


Volume Darah Kompensasi Habis Dekompensasi

Fase Kompensasi Mulai Timbul


ATP yang
(Vasokonstriksi Kematian Sel -->
dihasilkan sedikit
Takikardi, Takipnu) Jaringan --> Organ

Metabolisme Penumpukan Multi Organ


Anaerob Asam Laktat --> Failure -->
Meningkat Asidosis Irreversible Shock

Berdasarkan skema diatas, terjadinya syok hipovolemik terjadi dalam 3 fase


yaitu fase kompensasi, dekompensasi dan fase syok ireversibel. Masing-masing
kondisi ini memiliki tampilan klinis yang berbeda. Berikut akan dijelaskan perbedaan
antar fase tersebut.

1. Fase Kompensasi : Pada fase ini metabolisme masih dapat dipertahankan.


Mekanisme sirkulasi dapat dilindungi dengan meningkatkan aktivitas
simpatik. Sistem sirkulasi ini mulai menempatkan organ-organ vital
sebagai prioritas untuk mendapatkan perfusi yang baik. Tekanan darah
sistolik normal, sedangkan diastolik meningkat karena mulai timbul
tekanan perifer.
2. Fase Dekompensasi : Pada fase ini metabolisme anaerob sudah mulai
terjadi dan semakin meningkat. Akibatnya sistem kompensasi yang terjadi
sudah tidak lagi efektif untuk meningkatkan kerja jantung. Produksi asam
laktat meningkat, produksi asam karbonat intraseluler juga meningkat
sehingga terjadi asidosis metabolik. Membran sel terganggu, akhirnya
terjadi kematian sel. Terjadi juga pelepasan mediator inflamasi seperti
TNF. Akhirnya sistem vaskular mulai tidak dapat mempertahankan
vasokonstriksi. Sehingga terjadi vasodilatasi yang menyebabkan tekanan
darah turun dibawah nilai normal dan jarak sistol-diastol menyempit.

3. Fase Syok Irreversibel : Saat energi habis, kematian sel mulai meluas,
kemudian cadangan energi di hati juga lama-kelamaan habis. Kerusakan
pun meluas hingga ke level organ,. Pada fase ini, walaupun sirkulasi sudah
diperbaiki, defisit energi yang terlambat diperbaiki sudah menyebabkan
kerusakan organ yang ekstensif. Akhirnya terjadi gagal sirkulasi, nadi
tidak teraba, dan gagal organ multipel.

Sumber :

Medscape Reference, Shock in Pediatrics. Acessed on Mei 30 2017. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/1833578-overview

Anda mungkin juga menyukai