Anda di halaman 1dari 6

MENYUSUI BAYI DENGAN RISIKO

HIPOGLIKEMIA
27.08.2013

Bayi cukup bulan yang sehat telah dipersiapkan untuk menjalani transisi nutrisi di dalam
kandungan menjadi nutrisi di luar kandungan, tanpa memerlukan pemantauan metabolik
ataupun intervensi proses menyusui yang alami. Mekanisme homeostatik mencukupi energi
yang adekuat untuk otak dan organ lainnya, bahkan jika pemberian minum tertunda.

Istilah hipoglikemia merujuk pada kadar glukosa yang rendah. Hipoglikemia sesaat pada
awal kehidupan neonatus cukup bulan merupakan hal yang wajar, sering didapatkan dan
terjadi pada hampir seluruh mamalia. Hal ini akan normal dengan sendirinya dan bukanlah
sesuatu yang patologis karena kadar glukosa darah meningkat secara spontan dalam 2-3
jam. Dalam situasi dimana kadar glukosa darah yang rendah karena belum mendapat
asupan makanan (ASI belum ada) terjadi respon ketogenik yaitu metabolisme dari asam
lemak menjadi badan keton. Otak bayi dengan kemampuannya akan memanfaatkan badan
keton untuk menghemat glukosa bagi otak dan melindungi fungsi neurologis bayi.

Bayi yang mendapat ASI cenderung mempunyai kadar glukosa yang rendah dibandingkan
dengan bayi yang mendapat susu formula, tetapi tidak berkembang menjadi hipoglikemia
simptomatik. Pemberian minum awal dengan ASI yang mengandung alanin, asam lemak
rantai panjang dan laktosa, akan meningkatkan proses glukoneogenesis. Bayi cukup bulan
yang minum ASI mempunyai kadar glukosa yang lebih rendah tetapi mempunyai kadar
badan keton yang lebih tinggi.

Definisi hipoglikemia hingga saat ini masih kontroversial, karena kurangnya korelasi yang
bermakna antara kadar glukosa plasma, gejala klinis, dan gejala sisa jangka panjang.
Hipoglikemia ditandai oleh nilai yang unik pada masing-masing individu neonatus dan
bervariasi sesuai dengan kematangan fisiologis dan pengaruh patologisnya. Hipoglikemia
pada bayi terjadi bila kadar glukosa darah < 45mg/dL.

Bayi dengan risiko hipoglikemia

Pada bayi baru lahir yang mempunyai risiko hipoglikemia, kadar glukosa darahnya dipantau
secara rutin, terlepas dari pemberian, macam dan cara minum apapun yang didapatkan.
Terdapat 3 kategori bayi yang berisiko hipoglikemia:

1. Pemakaian glukosa yang berlebihan, termasuk kondisi hiperinsulinemia


2. Produksi dan cadangan glukosa yang tidak memadai
3. Peningkatan pemakaian glukosa dan penurunan produksi

Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia:


1. Bayi dari ibu dengan diabetes. Ibu dengan diabetes yang tidak terkontrol memiliki
kadar glukosa darah yang tinggi yang bisa melewati plasenta sehingga merangsang
pembentukan insulin pada neonatus. Saat lahir, kadar glukosa darah tiba-tiba turun
karena pasokan dari plasenta berhenti, padahal kadar insulin masih tinggi, sehingga
terjadi hipoglikemia. Pencegahannya adalah dengan mengontrol kadar glukosa darah
pada ibu hamil.
2. Bayi besar untuk masa kehamilan (BMK). Bayi BMK biasanya lahir dari ibu dengan
toleransi glukosa yang abnormal.
3. Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK). Selama dalam kandungan, bayi sudah
mengalami kekurangan gizi, sehingga tidak sempat membuat cadangan glikogen, dan
kadang persediaan yang ada sudah terpakai. Bayi KMK mempunyai kecepatan
metabolisme lebih besar sehingga menggunakan glukosa lebih banyak daripada bayi
yang berat lahirnya sesuai untuk masa kehamilan (SMK), dengan berat badan yang
sama. Meskipun bayi KMK bugar, bayi mungkin tampak lapar dan memerlukan lebih
banyak perhatian. Bayi KMK perlu diberi minum setiap 2 jam dan kadang masih
hipoglikemia, sehingga memerlukan pemberian suplementasi dan kadang memerlukan
cairan intravena sambil menunggu ASI ibunya cukup.
4. Bayi kurang bulan. Deposit glukosa berupa glikogen biasanya baru terbentuk pada
trimester ke-3 kehamilan, sehingga bila bayi lahir terlalu awal, persediaan glikogen ini
terlalu sedikit dan akan lebih cepat habis terpakai.
5. Bayi lebih bulan. Fungsi plasenta pada bayi lebih bulan sudah mulai berkurang.
Asupan glukosa dari plasenta berkurang, sehingga janin menggunakan cadangan
glikogennya. Setelah bayi lahir, glikogen tinggal sedikit, sehingga bayi mudah
mengalami hipoglikemia.
6. Pasca asfiksia. Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak sekali
memakai persediaan glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa hanya
menghasilkan 2 ATP, sedang pada keadaan normal 1 gram glukosa bisa
menghasilkan 38 ATP.
7. Polisitemia. Bayi dengan polisitemia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
hipoglikemia dan hipokalsemia, karena pada polisitemia terjadi perlambatan aliran
darah.
8. Bayi yang dipuasakan, termasuk juga pemberian minum pertama yang terlambat. Bayi
dapat mengalami hipoglikemia karena kadar glukosa darah tidak mencukupi
9. Bayi yang mengalami stres selama kehamilan atau persalinan, misalnya ibu hamil
dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi mempunyai kecepatan metabolisme yang
tinggi dan
memerlukan energi yang lebih besar dibandingkan bayi lain.
10. Bayi sakit. Bayi kembar identik yang terjadi twin to twin tranfusion, hipotermia, distress
pernapasan, tersangka sepsis, eritroblastosis fetalis, sindrom Beckwith-Wiedermann,
mikrosefalus atau defek pada garis tengah tubuh, abnormalitas endokrin atau inborn
error of metabolism dan bayi stres lainnya, mempunyai risiko mengalami hipoglikemia.
11. Bayi yang lahir dari ibu yang bermasalah. Ibu yang mendapatkan pengobatan
(terbutalin, propanolol, hipoglikemia oral), ibu perokok, ibu yang mendapat glukosa
intra vena saat persalinan, dapat meningkatkan risiko hipoglikemia pada bayinya.

Manifestasi klinis hipoglikemia

Manifestasi klinis hipoglikemia pada bayi cukup bulan bisa samar dan non spesifik, muncul
pada neonatus bersama dengan berbagai masalah neonatus lainnya. Pemeriksaan fisis
dan observasi keadaan umum bayi harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain. Untuk menunjukkan bahwa gejala yang timbul berhubungan dengan
hipoglikemia, diperlukan hal-hal berikut:

1. Tanda klinik harus didapatkan


2. Kadar glukosa darah rendah, diukur secara akurat
3. Tanda klinik menghilang pada saat kadar glukosa darah normal

Pemberian ASI secara dini dan eksklusif dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan metabolik
bayi baru lahir cukup bulan yang sehat. Bayi cukup bulan yang sehat tidak akan menjadi
hipoglikemia yang simptomatik karena pemberian minum yang kurang.

Skrining glukosa darah bayi baru lahir

Skrining hipoglikemia mengenai kapan dilakukannya dan berapa lama pemantauannya,


belum disepakati secara umum. Strip glukosa untuk skrining tidak mahal, praktis, dan
hasilnya cepat. Jika didapatkan hipoglikemia harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
glukosa darah di laboratorium, karena hasil yang diperoleh sering berbeda sekitar 15% dari
hasil laboratorium, atau tidak sesuai dengan varian yang signifikan dari kadar glukosa yang
sesungguhnya.

Beberapa pedoman singkat skrining glukosa pada bayi baru lahir:

1. Pemantauan glukosa darah rutin bayi baru lahir cukup bulanyang asimtomatik tidak
perlu dan mungkin merugikan.
2. Skrining glukosa darah harus dilakukan pada bayi dengan risiko hipoglikemia untuk
mengetahui adanya hipoglikemia ataupun bayi yang menunjukkan manifestasi klinis
hipoglikemia, dengan frekuensi dan lama pemantauan tergantung dari kondisi bayi
masing-masing.
3. Pemantauan dimulai dalam 30-60 menit pertama bayi dengan dugaan hiperinsulinisme
dan tidak lebih dari umur 2 jam pada bayi dengan risiko hipoglikemia kategori lainnya.
4. Pemantauan sebaiknya dilanjutkan setiap 3 jam sampai kadar glukosa darah sebelum
minum mencapai normal. Kemudian lanjutkan tiap 12 jam.
5. Skrining glukosa dihentikan setelah 2 kali didapatkan kadar glukosa normal atau
dengan pemberian minum saja, didapatkan 2 kali pemeriksaan kadar glukosa normal.
6. Konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah di laboratorium harus dilakukan jika
hasil skrining glukosa darah abnormal.

Tata laksana umum

Data yang ada menunjukkan bahwa pemberian ASI yang tidak adekuat meningkatkan risiko
hipoglikemia, bahkan pada bayi yang sudah pulang ke rumah. Tata laksana pemberian ASI
yang tepat sangat penting bagi perkembangan bayi.

Tata laksana umum pada bayi yang mempunyai risiko:

1. Pemberian ASI sedini mungkin dalam 30-60 menit kemudian


diteruskan sesuai keinginan bayi.
Pemberian asupan enteral sedini mungkin -- ungkin merupakan tindakan
pencegahan tunggal yang paling penting. Secara khusus disebutkan bahwa
pemberian ASI sedini mungkin, merupakan hal yang terpenting untuk
pencegahan bayi dengan risiko dan terapi hipoglikemia. Mengenali bahwa bayi
menangis merupakan tanda yang terlambat jika bayi lapar. Bayi baru lahir akan
mendapatkan kolostrum yang berisi protein, lemak, dan karbohidrat yang akan
membuat glukosa darah stabil. Pemberian kolostrum tidak boleh dihentikan
hanya karena bayi masuk dalam kriteria yang harus dipantau kadar glukosa
darahnya.
Jika memungkinkan berikan ASI dengan bayi menyusu langsung atau melalui
pipa orogastrik. Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia tetapi belum
memungkinkan menyusu dan belum bisa diberi ASI melalui pipa orogastrik
karena adanya darah yang tertelan, lakukan pembilasan lambung dan
kemudian berikan ASI melalui pipa orogastrik. Jika tidak berhasil, segera mulai
pemberian glukosa intra vena.
2. Suplementasi rutin pada bayi cukup bulan yang sehat dengan air, air gula atau
susu formula tidak diperlukan.
Hal ini dapat mengganggu pemberian ASI dan mekanisme kompensasi metabolik yang
normal. Jika bayi tidak dapat menyusu langsung, berikan ASI dengan cara alternatif
lainnya; dengan sendok, gelas, atau pipa orogastrik. Jika bayi tidak mampu
menghisap, tidak perlu dipaksakan pemberian minum melalui mulut, untuk mencegah
aspirasi. Pemilihan suplemen tergantung dari ketersediaan ASI perah ibu. Kolostrum
perah
adalah pilihan utama. ASI akan meningkatkan glukoneogenesis dan keseimbangan
energi. Jika tidak tersedia, pilihan berikutnya adalah donor ASI yang sudah di
pasteurisasi. Jika pilihan kedua tidak tersedia, terpaksa diberikan susu formula dengan
mempertimbangkan riwayat keluarga mengenai toleransi susu. Jika didapatkan alergi
susu sapi, pilihannya adalah susu formula khusus (susu formula dengan protein
dihidrolisis sempurna). Air gula akan meningkatkan sekresi insulin dan menunda
mulainya glukoneogenesis yang alami dan proses homeostasis ketogenik. Jika air gula
diberikan pada bayi, kadar glukosa akan berfluktuasi dan akan muncul masalah
hipoglikemia rebound.
3. Memfasilitasi kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi untuk merangsang
pembentukan ASI. Cara ini akan mempertahankan suhu tubuh normal, menurunkan
pengeluaran energi, dan mempertahankan kadar glukosa darah normal, sementara hal
tersebut akan menstimulasi produksi ASI dan pengisapan. Dengan melekatkan bayi ke
ibunya secara sering dapat mencegah suplementasi pada banyak kasus.
4. Pemberian minum yang sering. Berikan minum 10-12 kali dalam 24 jam pada
beberapa hari pertama sesudah lahir. Pemberian ASI yang sering, meskipun sedikit-
sedikit, tetapi
dengan protein tinggi dan kalori tinggi dari kolostrum akan lebih baik bila dibandingkan
dengan pemberian susu formula atau air gula.

Tata laksana bayi dengan hipoglikemia

Bayi dengan risiko hipoglikemia, harus dipantau kadar glukosa darahnya. Glukosa yang
diperlukan mungkin belum cukup hanya dengan pemberian kolostrum saja pada umur
beberapa hari, tetapi tidak ada bukti klinik yang menyebutkan bahwa bayi dengan
hipoglikemia asimtomatik mendapatkan keuntungan dari pemberian glukosa intra vena
yang diberikan.

Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI perah dengan menggunakan salah satu
alternatif cara pemberian minum. Anjurkan ibu untuk menyusui jika kondisi bayi bayi baru
lahir sudah memungkinkan.

Tata laksana pemberian ASI pada bayi hipoglikemia:

a. Asimtomatik (tanpa manifestasi klinis)

1. Pemberian ASI sedini mungkin dan sering akan menstabilkan kadar glukosa darah.
Teruskan menyusui bayi (kira-kira setiap 1-2 jam) atau beri 3-10 ml ASI perah tiap kg
berat badan bayi, atau berikan suplementasi (ASI donor atau susu formula)
2. Periksa ulang kadar glukosa darah sebelum pemberian minum berikutnya sampai
kadarnya normal dan stabil
3. Jika bayi tidak bisa menghisap atau tidak bisa mentoleransi asupannya, hindari
pemaksaan pemberian minum, dan mulailah pemberian glukosa intra vena. Pada
beberapa bayi yang tidak normal, diperlukan pemeriksaan yang seksama dan lakukan
evaluasi untuk mendapatkan terapi yang intensif
4. Jika kadar glukosa tetap rendah meskipun sudah diberi minum, mulailah terapi glukosa
intra vena dan sesuaikan dengan kadar glukosa darah
5. ASI diteruskan selama terapi glukosa intra vena. Turunkan jumlah dan konsentrasi
glukosa intra vena sesuai dengan kadar glukosa darah
6. Catat manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining glukosa darah, konfirmasi
laboratorium, terapi dan perubahan kondisi klinik bayi (misalnya respon dari terapi
yang diberikan).

b. Simtomatik dengan manifestasi klinis atau kadar glukosa plasma < 20-25 mg/dL
atau < 1,1 - 1,4 mmol/L.

1. Berikan glukosa 200 mg tiap kilogram berat badan atau 2 mL tiap kilogram berat
badan cairan dekstrosa 10%. Lanjutkan terus pemberian glukosa 10% intra vena
dengan kecepatan (glucose infusion rate atau GIR) 6-8 mg tiap kilogram berat badan
tiap menit
2. Koreksi hipoglikemia yang ekstrim atau simtomatik, tidak boleh diberikan melalui oral
atau pipa orogastrik.
3. Pertahankan kadar glukosa bayi yang simtomatik pada >45 mg/dL atau >2.5 mmol/L
4. Sesuaikan pemberian glukosa intravena dengan kadar glukosa darah yang didapat
5. Dukung pemberian ASI sesering mungkin setelah manifestasi hipoglikemia
menghilang
6. Pantau kadar glukosa darah sebelum pemberian minum dan saat penurunan
pemberian glukosa intra vena secara bertahap (weaning), sampai kadar glukosa darah
stabil pada saat tidak mendapat cairan glukosa intra vena.Kadang diperlukan waktu
24-48 jam untuk mencegah hipoglikemia berulang.
7. Lakukan pencatatan manifasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining glukosa darah,
konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi klinik (misal respon dari terapi
yang diberikan).

Dukungan pada ibu

Mempunyai bayi yang diperkirakan akan lahir normal dan sehat, tetapi ternyata kemudian
berkembang mengalami hipoglikemia sering mengganggu kepercayaan pemberian ASI. Ibu
sebaiknya diyakinkan bahwa tak ada masalah dengan air susunya, dan bahwa pemberian
suplementasi hanya sementara saja. Perah ASI dengan tangan ataupun pompa tertentu
yang dianjurkan. Memberikan minum paling tidak 8 kali dalam 24 jam sampai bayi bisa
menyusu dan menghisap dengan baik, akan membantu mempertahankan produksi ASI.
Sangat penting untuk sesegera mungkin menstimulasi produksi ASI dengan melekatkan
bayi ke dada ibu. Kontak kulit-ke-kulit yang dikerjakan meskipun bayi masih menggunakan
akses vena, akan sangat berguna dan akan menurunkan trauma karena intervensi. Kontak
kulit-ke-kulit akan memberikan termoregulasi fisiologis, yang akan berkontribusi
dalam homeostasis metabolic. Sangat penting untuk melakukan edukasi kepada ibu
tentang pemberian ASI sedini mungkin dan pemberian minum secara bertahap dengan
tidak mengharapkan ASI keluar banyak pada saat awal menyusui. Bayi mampu menghisap
dan menelan selama 5 menit merupakan pertanda bayi siap beralih dari cara mendapat
asupan melalui pipa orogastrik menuju cara menyusu langsung pada ibu.

Kesimpulan

Pola normal pemberian ASI pada bayi cukup bulan yang sehat adalah pemberian seawal
mungkin, sesering mungkin dan secara ekslusif.

Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia harus dipantau. Berikan ASI sedini mungkin pada
bayi yang memiliki risiko hipoglikemia. Jika perlu perah ASI untuk diberikan dengan cara
alternatif lain atau dengan menggunakan pipa orogastrik, untuk mencegah hipoglikemia.
ASI diberikan sesering mungkin. Kontak kulit ke kulit sangat membantu bayi dengan risiko
hipoglikemia. Skrining glukosa dilakukan mulai umur 30-60 menit dan paling lambat umur 2
jam.

Bayi dengan hipoglikemia asimtomatik, pemberian ASI tetap diberikan sedangkan pada
hipoglikemia simtomatik, diberikan glukosa intravena dengan glucose infusion rate (GIR).

http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/menyusui-bayi-dengan-risiko-hipoglikemia

Anda mungkin juga menyukai