Anda di halaman 1dari 21

SUKU SUNDA

A. Letak Geografis
Suku Sunda (Urang Sunda) adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat
pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi
provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah
(Banyumasan). Orang Sunda tersebar diberbagai wilayah Indonesia, dengan provinsi Banten
dan Jawa Barat sebagai wilayah utamanya.

B. Etimologi
Menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata
sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar,
terang, berkilau, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno
(Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata Sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak
tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186;
Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219). Orang Sunda meyakini bahwa memiliki
etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter orang
Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas
diri), wanter (berani) dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat
Sunda sejak zaman Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh,
Kerajaan Pajajaran hingga sekarang.

Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk
menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor
Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa
Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya
dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah
menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum
sebagai batasnya.

C. Sejarah
Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa
dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku,
bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan
berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara
sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan
kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan ekspansi untuk
memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda telah melahirkan kerajaan-
kerajaan besar di Nusantara diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan
Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, dll.
Kronologi Sejarah Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan
yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh
Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang
berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang
sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi
Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan
Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci
agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada
Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda
di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes)
dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 1515),
menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: Sementara
orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang
lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah
seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci
Manuk.'
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang
saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan
Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa


Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti
Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik
dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian
Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di
pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer
kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang
memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).

Sejarah
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari
Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669
M), menikah dengan Dwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki
dua anak, yang keduanya perempuan. Dwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan
Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan
Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah
Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa.
Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan
diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara
sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa
selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di
daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar. Kurang lebih
adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya.
Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun
519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya
yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Kerajaan kembar
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda,
meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas
dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang
Tamperan.Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah
dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat
Tarusbawa.
Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh
kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA.
Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena,
sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara /
Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang
sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di
tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732 Sanjaya
menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban. Di
Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti
oleh puteranya dari Dwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.
Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh
tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita
rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27
tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Dwi Kancanasari,
keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan
Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783)
dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan
kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh,
putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka
kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu
Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang
menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga
jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal
dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu
Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari
Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia
dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913).
RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian
direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun,
kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.
Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh
keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964). Dari
Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan
Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan
tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-
1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Dwasanghyang (1012-1019). Dari Dwasanghyang,
kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak,
Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari
Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-
1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi
dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu
Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh
diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun
(1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi
kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke
tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar,
Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303).
Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama
delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadwata (1311-
1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadwata menurunkan
kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawissa (1333-1340), kemudian ke Prabu
Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke
putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawissa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya
gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya --
Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih
Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).

Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Ged, Kawali, Ciamis.


Sepeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana,
Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri
pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal),
yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu
Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini
dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya
terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah
timur.
Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu Dwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh
(1475-1482). Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan
menikahkan Jayadwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal).
Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadwata (yang bergelar Sri
Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya,
Prabu Surawissa (1521-1535), kemudian Prabu Dwatabuanawissa (1535-1543), Prabu
Sakti (1543-1551), Prabu Nilakndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu
Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-
Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari
Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan
Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat
patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang
yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan.
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama
Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata
sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman
dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu
Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong
artinya nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha Kuasa)
dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Prabu Guru Aji Putih memiliki putra
yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti
menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata
Insun medal; Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang
diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang
selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal
yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada
tandingnya.

Pemerintahan berdaulat
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai
pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung
dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra
yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua
putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain
menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu
Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua
putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya).
Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan).
Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air
kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan
Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu
Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu
Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang
Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu
Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan
Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia
dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama
Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke
Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan
Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra
tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas
Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan
Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai
seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal
menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.Ratu Pucuk Umun menikah
dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria
Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas
Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih
dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya
yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di
Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang
Larang.

Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri


Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai
perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja
Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-
1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-
sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari
Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang
ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam
di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk
Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada
masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke
Kutamaya.

Prabu Geusan Ulun


Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan
ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan
Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi
Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan
Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial,
budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera
angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal
dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan
sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin
Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan
itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi
sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu
Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari
perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota
emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan
lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di
Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut
empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau
Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong
Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten
(wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota
tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh
Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang
Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai
Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas
sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan
Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun
sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu
rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada
masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan
kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula
akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu
Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya
menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Raja-raja Kerajaan Sunda dari Salaka Nagara s/d Sumedang Larang


Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut
naskah Pangran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi.

Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman - Linggawarman, 150 - 669).

1. Dewawarman I - VIII, (150 362 M)


2. Jayasingawarman, (358 382 M)
3. Dharmayawarman, (382 395 M)
4. Purnawarman, (395 434 M)
5. Wisnuwarman, ( 434 455 M)
6. Indrawarman, (455 515 M)
7. Candrawarman, ( 515 535 M)
8. Suryawarman, (535 561 M)
9. Kertawarman, (561 628 M)
10. Sudhawarman, (628 639 M)
11. Hariwangsawarman, (639 640 M)
12. Nagajayawarman, (640 666 M)
13. Linggawarman, (666 669 M)

Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang

1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 723 M)


2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 732 M)
3. Tamperan Barmawijaya (732 739 M)
4. Rakeyan Banga (739 766 M)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 783 M)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 795 M)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 819 M)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 891 M)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 895 M)
10. Windusakti Prabu Dwageng (895 913 M)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 916 M)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 942 M)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 954 M)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 964 M)
15. Munding Ganawirya (964 973 M)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 989 M)
17. Brajawissa (989 1012 M)
18. Dwa Sanghyang (1012 1019 M)
19. Sanghyang Ageng (1019 1030 M)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 1042 M)
21. Darmaraja (Sang Moktng Winduraja, 1042 1065 M)
22. Langlangbumi (Sang Moktng Kerta, 1065 1155 M)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Mnakluhur (1155 1157 M)
24. Darmakusuma (Sang Moktng Winduraja, 1157 1175 M)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 1297 M)
26. Ragasuci (Sang Moktng Taman, 1297 1303 M)
27. Citraganda (Sang Moktng Tanjung, 1303 1311 M)
28. Prabu Linggadwata (1311 - 1333 M)
29. Prabu Ajiguna Linggawissa (1333 - 1340 M)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340 - 1350 M)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawissa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350 - 1357 M)
32. Prabu Bunisora (1357 - 1371 M)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371 - 1475 M)
34. Prabu Susuktunggal (1475 - 1482 M)
35. Prabu Jayadwata (Sri Baduga Maharaja, 1482 - 1521 M)
36. Prabu Surawissa (1521 1535 M)
37. Prabu Dwatabuanawissa (1535 1543 M)
38. Prabu Sakti (1543 1551 M)
39. Prabu Nilakndra (1551 1567 M)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567 1579 M)
41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)

D. Bahasa
Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda.
Namun kini telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi
menggunakan bahasa Sunda dalam bertutur kata. Seperti yang terjadi di pusat-pusat
keramaian kota Bandung, Bogor, dan Tangerang, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi
menggunakan bahasa Sunda.
Bahasa Sunda mengenal tingkatan bahasa, yaitu Bahasa Lemes (bahasa halus) yang
ditemukan di daerah Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi
dan Cianjur, Bahasa Sedang yang dapat ditemukan di daerah pantai utara Banten, Karawang,
Cirebon, dan Bogor. Kemudian Bahasa Kasar, yang dibagi lagi menjadi Cohag (kasar) dan
Cohag Pisan (kasar sekali).
Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, para pakar bahasa biasanya membedakan
enam dialek berbeda. Dialek-dialek ini adalah:
1. Dialek Barat (Bahasa Sunda Banten)
2. Dialek Utara
3. Dialek Selatan (Priangan)
4. Dialek Tengah Timur
5. Dialek Timur Laut (Bahasa Sunda Cirebon)
6. Dialek Tenggara
Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten dan Lampung. Dialek Utara mencakup
daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa daerah Pantura. Lalu dialek Selatan
adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek
Tengah Timur adalah dialek di Kabupaten Majalengka dan Indramayu. Dialek Timur Laut
adalah dialek di sekitar Cirebon dan Kuningan, juga di beberapa kecamatan di Kabupaten
Brebes dan Tegal, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis,
juga di beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap dan Banyumas, Jawa Tengah.

E. Sistem Sosial
Sistem pelapisan sosial dalam kehidupan masyarakat Sunda yang masih ada
umumnya berdasarkan keturunan. Ada yang disebut golongan menak, yaitu kaum
bangsawan yang umumnya berasal dari keturunan pejabat pemerintahan belanda dulu,
mereka biasanya memakai gelar Raden. Kemudian adalah golongan rakyat biasa yang
disebut Cacah atau Somah. Berdasarkan harta kekayaan dalam pelapisan sosial ini juga ada
yang disebut golongan jelema beunghar atau jelegut (orang kaya) dan melarat. Orang-orang
kaya yang memiliki tanah luas biasanya disebut nu boga tanah (pemilik tanah) dan yang
tidak punya tanah garapan disebut nu gagarap (penggarap).
Pemimpin formal masyarakat Sunda sudah cukup lama mengikuti sistem birokrasi
maju. Kepemimpinan formal berurutan dari provinsi, daerah tingkat dua kecamatan, desa
sampai ke kampung-kampung. Pamong desa terdiri dari Kepala Desa, Juru Tulis, Polisi Desa,
Ulu-ulu, Amil, Kepala Kampung dan Ketua Rukun Tetangga. Pemimpin informal yang ada
mungkin sisa dari bentuk kepemimpinan tradisional yang sekarang masih cukup disegani di
daerah-daerah tertentu, seperti para pemuka agama, amil kolot, gangirang, sesepuh dan
lain-lain.

F. Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari
pihak bapak dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga.
Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat
istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya
pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan.
Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal.
Yaitu anak, euncu (cucu), piut (buyut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg,
kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan
horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak
saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal
seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda
dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah atau silsilah) yang maknanya kurang
lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah
adalah susun galur/garis keturunan.
Keluarga inti memperoleh kekuatan sosial dalam kesatuannya dengan keluarga luas
yang mereka sebut golongan. Sebagian masyarakat ini juga mengenal kekerabatan yang
ambilineal karena hanya mencakup kerabat di sekitar ego, akan tetapi tetap berorientasi
kepada kakek moyang, sistem ini disebut bondoroyot.

G. Tradisi Adat Pernikahan


Pernikahan memang satu upacara sakral yang diharapkan sekali seumur hidup.
Bentuk pernikahan banyak sekali bentuknya dari yang paling simple, dan yang ribet karena
menggunakan upacara adat. Seperti pernikahan adat Sunda ini, kekayaan budaya tatar
Sunda bisa dilihat juga lewat upacara pernikahan adatnya yang diwarnai dengan humor tapi
tidak menghilangkan nuansa sakral dan khidmat.
Ada beberapa acara yang harus dilakukan untuk melangsungkan pernikahan, mulai
dari lamaran dan lainnya.
Ada Neundeun Omong (Menyimpan Ucapan): Yaitu, Pembicaraan orang tua atau
pihak Pria yang berminat mempersunting seorang gadis. Dalam pelaksanaannya neundeun
omong biasanya, seperti berikut ini :
Pihak orang tua calon pengantin bertamu kepada calon besan (calon pengantin
perempuan). Berbincang dalam suasana santai penuh canda tawa, sambil sesekali diselingi
pertanyaan yang bersifat menyelidiki status anak perempuannya apakah sudah ada yang
melamar atau masih (belum punya pacar)
Pihak orang tua (calon besan) pun demikian dalam menjawabnya penuh dengan
benyolan penuh dengan silokaWalapun sudah sepakat diantara kedua orang tua itu, pada
jaman dahulu kadang-kadang anak-anak mereka tidak tahu.
Di beberapa daerah di wilayah pasundan kadang-kadang ada yang menggunakan
cara dengan saling mengirimi barang tertentu. Seperti orang tua anak laki-laki mengirim
rokok cerutu dan orang tua anak perempuan mengerti dengan maksud itu, maka apabila
mereka setuju akan segera membalasnya dengan mengirimkan benih labu siam (binih waluh
siam). Dengan demikian maka anak perempuannya itu sudah diteundeunan omong
(disimpan ucapannya).
Narosan (Lamaran) : Dilaksanakan oleh orang tua calon pengantin beserta keluarga
dekat, yang merupakan awal kesepakatan untuk menjalin hubungan lebih jauh. Pada
pelaksanaannya orang tua anak laki-laki biasanya sambil membawa barang-barang, seperti
yaitu :
1. Lemareun, (seperti daun sirih, gambir, apu )
2. Pakaian perempuan
3. Cincin meneng
4. Beubeur tameuh (ikat pinggang sang suka dipakai kaum perempuan terutama setelah
melahirkan
5. Uang yang jumlahnya 1/10 dari jumlah yang akan dibawa pada waktu seserahan

Barang-barang yang dibawa dalam pelaksanaan upacara ngalamar itu tidak lepas dari simbol
dan makna seperti :
Sirih, bentuknya segi tiga meruncing ke bawah kalau dimakan rasanya pedas. Gambir
rasanya pahit dan kesat. Apu rasanya pahit. Tapi kalau sudah menyatu rasanya jadi enak dan
dapat menyehatkan tubuh dan mencegah bau mulut.
Cincin meneng yaitu cincin tanpa sambungan mengandung makna bahwa rasa kasih
dan sayang tidak ada putusnya
Pakaian perempuan, mengandung makna sebagai tanda mulainya tanggung jawab
dari pihak laki-laki kepada perempuan
Beubeur tameuh, mengandung makna sebagai tanda adanya ikatan lahir dan batin
antara kedua belah pihak
Tunangan : Pada tunangan dilakukan patukeur beubeur tameuh, yaitu penyerahan
ikat pinggang warna pelangi atau polos pada si gadis.
Seserahan : Dilakukan 3-7 hari sebelum pernikahan, yaitu calon pengantin pria
membawa uang, pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan dan lainnya.
Seminggu atau 3 hari menjelang peresmian pernikahan, di rumah calon mempelai
berlangsung sejumpah persiapan yang mengawali proses pernikahan, yaitu Ngebakan atau
Siraman. Berupa acara memandikan calon pengantin agar bersih lahir dan batin, acara
berlangsung siang hari di kediaman masing-masing calon mempelai. Bagi umat muslim,
acara ini terlebih dahulu diawali dengan pengajian.

Tahapan acara siraman adalah:

Ngecagkeun Aisan. Calon pengantin wanita keluar dari kamar dan secara simbolis
digendong oleh sang ibu, sementara ayah calon pengantin wanita berjalan di depan sambil
membawa lilin menuju tempat sungkeman. Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum resepsi
pernikahan, sebagai simbol lepasnya tanggung jawab orang tua calon pengantin. PropertI
yang digunakan:
1. Palika atau pelita atau menggunakan lilin yang berjumlah tujuh buah. Hal ini
mengandung makna yaitu rukun iman dan jumlah hari dalam seminggu
2. Kain putih, yang mengandung makna niat suci
3. Bunga tujuh rupa, mengandung makna bahwa perilaku kita, selama tujuh hari dalam
seminggu harus wangi yang artinya baik.
4. Bunga hanjuang, mengandung makna bahawa kedua calon pengantin akan memasuki
alam baru yaitu alam berumah tangga.
Langkah-langkah upacara ini adalah:
1. Orang tua calon pengantin perempuan keluar dari kamar sambil membawa lilin/ palika
yang sudah menyala,
2. Kemudian di belakangnya diikuti oleh calon pengantin peremupan sambil dililit (diais
)oleh ibunya.
3. Setelah sampai di tengah rumah kemudian kedua orang tua calon pengantin perempuan
duduk dikursi yang telah dipersiapkan
4. Untuk menambah khidmatnya suasana biasanya sambil diiring alunan kecapi suling
dalam lagu ayun ambing.

Ngaras
Permohonan izin calon mempelai wanita kemudian sungkem dan mencuci kaki
kedua orangtua pelaksanaan upacara ini dilaksanakan setelah upacara ngecagkeun aisan.
Pelaksaannya sebagai berikut:
Calon pengantin perempuan bersujud dipangkuan orang tuanya sambil berkata:
Ema, Bapa, disuhunkeun wening galihnya, jembar manah ti salira. Ngahapunteun kana
sugrining kalepatan sim abdi. Rehing dina dinten enjing pisan sim abdi seja nohonan sunah
rosul. Hapunten Ema, hapunten Bapa hibar pangdua ti salira.

Orang tua calon perempuan menjawab sambil mengelus kepala anaknya:

Anaking, titipan Gusti yang Widi. Ulah salempang hariwang, hidep sieun teu tinemu bagja ti
Ema sareng ti Bapa mah, pidua sareng pangampura, dadas keur hidep sorangan geulis

Selanjutnya kedua orang tua calon pengantin perempuan membawa anaknya ke


tempat siraman untuk melaksanakan upacara siraman.
Pencampuran air siraman. Kedua orangtua menuangkan air siraman ke dalam bokor
dan mengaduknya untuk upacara siraman.

Siraman
Diawali musik kecapi suling, calon pengantin wanita dibimbing oleh perias menuju
tempat siraman dengan menginjak 7 helai kain. Siraman calon pengantin wanita dimulai
oleh ibu, kemudian ayah, disusul oleh para sesepuh. Jumlah penyiram ganjil; 7, 9 dan paling
banyak 11 orang. Secara terpisah, upacara yang sama dilakukan di rumah calon mempelai
pria. Perlengkapan yang diperlukan adalah air bunga setaman (7 macam bunga wangi), dua
helai kain sarung, satu helai selendang batik, satu helai handuk, pedupaan, baju kebaya,
payung besar, dan lilin.

Pelaksanaan upacara siraman seperti berikut:


Sesudah membaca doa, Ayah calon pengantin langsung menyiramkan air dimulai
dari atas kepala hingga ujung kakunya. Setelah itu diteruskan oleh Ibunya sama seperti tadi.
Dan dilanjutkan oleh kerabat yang harus sudah menikah.
Pada siraman terakhir biasanya dilakukan dengan malafalkan jangjawokan (mantra) seperti
berikut:
cai suci cai hurip
cai rahmat cai nikmat
hayu diri urang mandi
nya mandi jeung para Nabi
nya siram jeung para Malaikat
kokosok badan rohani
cur mancur cahayaning Allah
cur mancur cahayaning ingsun
cai suci badan suka
mulih badan sampurna
sampurna ku paraniam

Potong rambut atau Ngerik


Calon mempelai wanita dipotong rambutnya oleh kedua orangtua sebagai lambing
memperindah diri lahir dan batin. Dilanjutkan prosesi ngeningan (dikerik dan dirias), yakni
menghilangkan semua bulu-bulu halus pada wajah, kuduk, membentuk amis cau/sinom,
membuat godeg, dan kembang turi. Perlengkapan yang dibutuhkan: pisau cukur, sisir,
gunting rambut, pinset, air bunga setaman, lilin atau pelita, padupaan, dan kain mori/putih.
Biasanya sambil dilantunkan jangjawokan juga:
Peso putih ninggang kana kulit putih
Cep tiis taya rasana
Mangka mumpung mangka melung
Maka eunteup kana sieup
Mangka meleng ka awaking, ngeunyeuk
seureuh
Rebutan Parawanten. Sambil menunggu calon mempelai dirias, para tamu undangan
menikmati acara rebutan hahampangan dan beubeutian. Juga dilakukan acara pembagian
air siraman.
Suapan terakhir. Pemotongan tumpeng oleh kedua orangtua calon mempelai
wanita, dilanjutkan dengan menyuapi sang anak untuk terakhir kali masing-masing sebanyak
tiga kali.
Tanam rambut. Kedua orangtua menanam potongan rambut calon mempelai wanita
di tempat yang telah ditentukan.
Lalu dilanjutkan dengan Ngeuyeuk Seureuh. Kedua calon mempelai meminta restu
pada orangtua masing-masing dengan disaksikan sanak keluarga. Lewat prosesi ini pula
orangtua memberikan nasihat lewat lambang benda-benda yang ada dalam prosesi.
Lazimnya, dilaksanakan bersamaan dengan prosesi seserahan dan dipimpin oleh Nini
Pangeuyeuk (juru rias). Kata ngeuyeuk seureuh sendiri berasal dari ngaheuyeuk yang
ngartinya mengolah. Acara ini biasanya dihadiri oleh kedua calon pengantin beserta
keluarganya yang dilaksanakan pada malam hari sebelum akad nikah.
Pandangan hidup orang Sunda senantiasa dilandasi oleh tiga sifat utama yakni silih
asih, silih asuh, dan silih asah atau secara literal diartikansebagai saling menyayangi, saling
menjaga, dan mengajari. Ketiga sifat itu selalu tampak dalam berbagai upacara adat atau
ritual terutama acara ngeuyeuk seureuh. Diharapkan kedua calon pengantin bisa
mengamalkan sebuah peribahasa kawas gula jeung peuet (bagaikan gula dengan nira yang
sudah matang) artinya hidup yang rukun, saling menyayangi dan sebisa mungkin
menghindari perselisihan.

Tata cara Ngeuyeuk Sereuh:

1. Nini Pangeuyeuk memberikan 7 helai benang kanteh sepanjang 2 jengkal kepada kedua
calon mempelai. Sambil duduk menghadap dan memegang ujung-ujung benang, kedua
mempelai meminta izin untuk menikah kepada orangtua mereka.
2. Pangeuyeuk membawakan Kidung berisi permohonan dan doa kepada Tuhan sambil
nyawer (menaburkan beras sedikit-sedikit) kepada calon mempelai, simbol harapan
hidup sejahtera bagi sang mempelai.
3. Calon mempelai dikeprak (dipukul pelan-pelan) dengan sapu lidi, diiringi nasihat untuk
saling memupuk kasih sayang.
4. Kain putih penutup pangeuyeukan dibuka, melambangkan rumah tangga yang bersih
dan tak ternoda. Menggotong dua perangkat pakaian di atas kain pelekat;
melambangkan kerjasama pasangan calon suami istri dalam mengelola rumah tangga.
5. Calon pengantin pria membelah mayang jambe dan buah pinang. Mayang jambe
melambangkan hati dan perasaan wanita yang halus, buah pinang melambangkan suami
istri saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri. Selanjutnya calon pengantin pria
menumbuk alu ke dalam lumping yang dipegang oleh calon pengantin wanita.
6. Membuat lungkun, yakni berupa dua lembar sirih bertangkai berhadapan digulung
menjadi satu memanjang, lalu diikat benang. Kedua orangtua dan tamu melakukan hal
yang sama, melambangkan jika ada rezeki berlebih harus dibagikan.
7. Diaba-abai oleh pangeuyeuk, kedua calon pengantin dan tamu berebut uang yang
berada di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rezeki dan
disayang keluarga.
8. Kedua calon pengantin dan sesepuh membuang bekas ngeuyeuk seureuh ke
perempatan jalan, simbolisasi membuang yang buruk dan mengharap kebahagiaan
dalam menempuh hidup baru.
9. Menyalakan tujuh buah pelita, sebuah kosmologi Sunda akan jumlah hari yang diterangi
matahari dan harapan akan kejujuran dalam mebina kehidupan rumah tangga.

Pada hari yang telah ditetapkan oleh kedua keluarga calon pengantin. Rombongan
keluarga calon pengantin Pria datang ke kediaman calon pengantin perempuan. Selain
membawa mas kawin, biasanya juga membawa peralatan dapur, perabotan kamar tidur,
kayu bakar, gentong (gerabah untuk menyimpan beras).
Di daerah Priangan, susunan acara upacara akad nikah biasanya sebagai berikut:
1. Pembukaan:
Penyambutan calon pengantin Pria, dalam acara ini biasanya dilaksanan upacara mapag.
Mengalungkan untaian bunga melati
Gunting pita
Penyerahan calon Pengantin Pria:
Yang mewakili pemasrahan calon pengantin pria biasanya adalah orang yang dituakan
dan ahli berpidato.
Yang menerima dari perwakilan wanita juga diwakilkan
2. Akad Nikah:
Biasanya diserahkan pada KUA
Pada hari pernikahan, calon pengantin pria beserta para pengiring menuju kediaman
calon pengantin wanita, disambut acara Mapag Penganten yang dipimpin oleh penari
yang disebut Mang Lengser. Calon mempelai pria disambut oleh ibu calon mempelai
wanita dengan mengalungkan rangkaian bunga. Selanjutnya upacara nikah sesuai agama
dan dilanjutkan dengan sungkeman dan sawer.
Setelah akad nikah, masih dilakukan beberapa upacara, yaitu:
3. Saweran.
Merupakan upacara memberi nasihat kepada kedua mempelai yang dilaksanakan
setelah acara akad nikah. Melambangkan Mempelai beserta keluarga berbagi rejeki dan
kebahagiaan. Kata sawer berasal dari kata panyaweran , yang dalam bahasa Sunda
berarti tempat jatuhnya air dari atap rumah atau ujung genting bagian bawah. Mungkin
kata sawer ini diambil dari tempat berlangsungnya upacara adat tersebut yaitu
panyaweran.Berlangsung di panyaweran (di teras atau halaman). Kedua orang tua
menyawer mempelai dengan diiringi kidung. Untuk menyawer, menggunakan bokor
yang diisi uang logam, beras, irisan kunyit tipis, permen. Kedua Mempelai duduk
berdampingan dengan dinaungi payung, seiring kidung selesai di lantunkan, isi bokor di
tabur, hadirin yang menyaksikan berebut memunguti uang receh dan permen.
Bahan-bahan yang diperlukan dan digunakan dalam upacara sawer ini tidaklah lepas
dari simbol dan maksud yang hendak disampaikan kepada pengantin baru ini, seperti :
a. beras yang mengandung symbol kemakmuran. Maksudnya mudah-mudah setelah
berumah tangga pengantin bisa hidup makmur
b. uang recehan mengandung symbol kemakmuran maksudnya apabila kita
mendapatkan kemakmuran kita harus ikhlas berbagi dengan Fakir dan yatim
c. kembang gula, artinya mudah-mudah dalam melaksanakan rumah tangga
mendapatkan manisnya hidup berumah tangga.
d. kunyit, sebagai simbol kejayaan mudah-mudahan dalam hidup berumah tangga bisa
meraih kejayaan.
Kemudian semua bahan dan kelengkapan itu dilemparkan, artinya kita harus bersifat
dermawan. Syair-syair yang dinyanyikan pada upacara adat nyawer adalah sebagai
berikut :
KIDUNG SAWER
Pangapunten kasadaya
Kanu sami araya
Rehna bade nyawer heula
Ngedalkeun eusi werdaya
Dangukeun ieu piwulang
Tawis nu mikamelang
Teu pisan dek kumalancang
Megatan ngahalang-halang
Bisina tacan kaharti
Tengetkeun masing rastiti
Ucap lampah ati-ati
Kudu silih beuli ati
Lampah ulah pasalia
Singalap hayang waluya
Upama pakiya-kiya
Ahirna matak pasea
4. Meuleum Harupat ( Membakar Harupat )
Mempelai pria memegang batang harupat,pengantin wanita membakar dengan lilin
sampai menyala. Harupat yang sudah menyala kemudian di masukan ke dalam kendi
yang di pegang mempelai wanita, diangkat kembali dan dipatahkan lalu di buang jauh
jauh. Melambangkan nasihat kepada kedua mempelai untuk senantiasa bersama dalam
memecahkan persoalan dalam rumah tangga. Fungsi istri dengan memegang kendi berisi
air adalah untuk mendinginkan setiap persoalan yang membuat pikiran dan hati suami
tidak nyaman.
5. Buka pintu
Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan
dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintu dibuka.
Pengantin masuk menuju pelaminan..Dialog pengantin perempuan dengan pengantin
laki-laki seperti berikut ini :
KENTAR BAYUBUD
Istri : Saha eta anu kumawani
Taya tata taya bemakrama
Ketrak- ketrok kana panto

Laki-laki : Geuning bet jadi kitu


Api-api kawas nu pangling
Apan ieu teh engkang
Hayang geura tepung
Tambah teu kuat ku era
Da diluar seueur tamu nu ningali

Istri : Euleuh karah panutan

6. Nincak Endog (Menginjak Telur)


Mempelai pria menginjak telur di baik papan dan elekan (Batang bambu muda),
kemudian mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria dengan air di kendi, me
ngelapnya sampai kering lalu kendi dipecahkan berdua. Melambangkan pengabdian istri
kepada suami yang dimulai dari hari itu.
7. Ngaleupas Japati ( Melepas Merpati )
Ibunda kedua mempelai berjalan keluar sambil masing masing membawa burung
merpati yang kemudian dilepaskan terbang di halaman. Melambang kan bahwa peran
orang tua sudah berakhir hari itu karena kedua anak mereka telah mandiri dan memiliki
keluarga sendiri.

8. Huap Lingkung (Suapan)


Pasangan mempelai disuapi oleh kedua orang tua. Dimulai oleh para Ibunda yang
dilanjutkan oleh kedua Ayahanda.
Kedua mempelai saling menyuapi, Tersedia 7 bulatan nasi punar ( Nasi ketan kuning
) diatas piring. Saling menyuap melalui bahu masing masing kemudian satu bulatan di
perebutkan keduanya untuk kemudian dibelah dua dan disuapkan kepada pasangan .
Melambangkan suapan terakhir dari orang tua karena setelah berkeluarga, kedua
anak mereka harus mencari sendiri sumber kebutuhan hidup mereka dan juga
menandakan bahwa kasih sayang kedua orang tua terhadap anak dan menantu itu sama
besarnya.

9. Pabetot Bakakak (Menarik Ayam Bakar)


Kedua mempelai duduk berhadapan sambil tangan kanan mereka memegang kedua
paha ayam bakakak di atas meja, kemudian pemandu acara memberi aba aba , kedua
mempelai serentak menarik bakakak ayam tersebut hinggak terbelah. Yang mendapat
bagian terbesar, harus membagi dengan pasangannya dengan cara digigit bersama.
Melambangkan bahwa berapapun rejeki yang didapat, harus dibagi berdua dan
dinikmati bersama.

10. Numbas
Upacara numbas biasa dilaksanakan satu minggu setelah akad nikah. Upacara
numbas mengandung maksud untuk memberi tahu kepada keluarga dan tetangga
bahwa pengantin perempuan tidak mengecewakan pengantin laki-laki. Upacara
numbas dilakukan dengan cara membagi-bagikan nasi kuning.

H. Sistem Ekonomi
Mayoritas masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani dan berladang, ini
disebabkan tanah Sunda yang subur. Sampai abad ke-19, banyak dari masyarakat Sunda
yang berladang secara berpindah-pindah.
Selain bertani, masyarakat Sunda seringkali memilih untuk menjadi pengusaha dan
pedagang sebagai mata pencariannya, meskipun kebanyakan berupa wirausaha kecil-kecilan
yang sederhana, seperti menjadi penjaja makanan keliling, membuka warung atau rumah
makan, membuka toko barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari, atau membuka usaha
cukur rambut, di daerah perkotaan ada pula yang membuka usaha percetakan, distro, cafe,
rental mobil dan jual beli kendaraan bekas. Warung nasi khas Sunda, warung mi instan
(lazim disebut "warung indomie") dan bubur kacang hijau, serta warung kopi adalah usaha
ekonomi mikro sektor informal yang lazim dijalani oleh orang Sunda. Profesi pedagang
keliling banyak pula dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya dan Garut.
Chairul Tanjung dan Eddy Kusnadi Sariaatmadja merupakan contoh-contoh pengusaha
berdarah Sunda yang berhasil. Chairul Tanjung dan Eddy Kusnadi Sariaatmadja bahkan
masuk ke dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia yang dirilis majalah Forbes pada
tanggal 29 November 2012. Profesi lainnya yang banyak dijalani oleh orang Sunda adalah
sebagai pegawai negeri sipil, pelaut, dan seniman; baik sebagai penyanyi ataupun
aktor/aktris sinetron.

I. Kesenian
Berikut adalah Kesenian Tradisional Khas Sunda :
1. Wayang Golek
Wayang golek mirip dengan wayang kulit. Tapi 2 jenis wayang ini ternyata berbeda
bentuk lho. Wayang itu sendiri mengandung arti boneka tiruan manusia yang terbuat dari
pahatan kayu atau kulit. Nah, sekarang tau kan perbedaan wayang kulit dan wayang golek.
Dalam pertunjukan wayang golek, sang dalang selalu menggunakan bahasa daerahnya.
Ciri-ciri kesenian wayang adalah selalu membutuhkan bantuan Dalang yaitu sebutan
untuk orang yang mengendalikan para wayang. 1 dalang bisa memainkan 4-10 karakter
wayang. Namun sayang, dengan karakter suara yang berbeda-beda dari tiap karakter
wayang, membuat kesenian ini kian sepi. Suara yang berubah-rubah membuat profesi
dalang sedikit peminatnya. Tidak putus asa disini, ternyata ada perkumpulan untuk orang-
orang yang ingin belajar menjadi dalang lho namanya Yayasan Citra Dangiang Seni. Kamu
pecinta seni sunda? Lestarikan budaya sunda. Kalau bukan kita, siapa lagi?

2. Tari Jaipongan
Jaipongan adalah jenis tarian traidisional Sunda, tepatnya dari Karawang. Lahir dari
tangan kreatif H. Suanda pada tahun 1976. Tarian Jaipongan adalah campuran dari seni lain
seperti pencak silat, topeng banjet, ketuk tilu, wayang golek dan lain-lain. Tarian ini sangat
pesat berkembangnya, musiknya pun diiringi oleh degung, ketuk, rebab, gendang, kecrek,
sinden, dan goong. Cocok ya, tari tradisional iringan musiknya juga tradisional, pakaiannya
pun menggunakan pakaian tradisional Sunda yang terdiri dari sampur, apok dan sinjang.
Biasanya penari berlenggak lenggok mengikuti instrumen musiknya. Walau terdengar
gampang, sebenarnya tarian ini lebih susah karena membutuhkan kelenturan tubuh.

3. Degung
Seperti yang pernah dibahas pada artikel sebelumnya tentang alat musik tradisional
Bandung, Degung menjadi alat tradisional Bandung yang sudah terkenal di penjuru
Indonesia. Degung pertama kali dibuat oleh H.J Oosting sejak 1879. Diambil dari bahasa
belanda De Gong artinya gamelan. Alat musik ini kian marak hingga sekarang dan
mengundang banyak peminat seni.
Kalau didengar bunyinya sih, bisa mengiringi musik dangdut, Jaipongan, mengiringi
Sinden, dan lain-lain. Berkesan tradisional, tapi ini lhooo identitas kesenian Sunda.

4. Rampak Gendang
Alat tradisional sunda yang satu lagi yaitu rampak gendang. Kata rempak gendang
diambil dari kalimat gendang serempak. Yang terdiri dari beberapa gendang, gong, saron
dan dimainkan secara serempak. Tidak jarang alat musik ini dimainkan banyak orang bahkan
bisa lebih dari 10 orang. Mereka berkolaborasi memadukan musiknya.
Kendang yang dipakaipun terdiri dari 2 kendang, yaitu kendang berdiri dan duduk.
Rempak gendang biasanya dipadukan dengan berbagai alat musik seperti gitar, gamelan
degung, rebab. Akhir-akhir ini rempak gendang dikolaborasikan dengan tari jaipong, musik
dangdut, sampai lagu pop. Alat musik ini berkesan energik, keren dan bersemangat.

5. Sisingaan
Sisingaan mulai diciptakan pada tahun 1975, berasal dari kota Subang. Sebelum
terciptanya kesenian ini, para seniman berdiskusi tentang kesenian Reog di Jawa Timur yang
sangat menarik minat, maka diciptakanlah kesenian yang mampu menunjukan identitas khas
Sunda.
Menurut perkembangannya kesenian Sisingaan sangat cepat merambat ke setiap
daerah. Ciri khasnya membawa boneka-boneka Singa diiringi 4 penggotong pada 1 singa.
Sisingaan pun terbuat dari beberapa jenis. Kayu penggotong terbuat dari bambu, singa
tersebut juga terbuat dari kayu, bulu-bulu ekornya terbuat dari benang rafia, dan badannya
dibungkus oleh kain hingga benar-benar mirip Singa.
Tradisi ini biasanya diadakan untuk menerima tamu khusus, khitanan/sunatan, hari
besar dan acara khusus kesenian. Bila kamu ingin melihat secara langsung kesenian
Sisingaan, masyarakat Subang selalu mengadakannya pada tanggal 5 April tiap hahunnya,
lokasinya di setiap kecamatan di daerah Subang.

6. Kuda Renggong
Kesenian lain yang berasal dari Sunda adalah Kuda renggong, tarian ini berasal dari
Sumedang, Renggong disini artinya keterampilan, kuda yang digunakan telah dilatih untuk
menari mengikuti irama musik, kuda yang dipilih pun tidak berbadan loyo, rata-rata
berbadan tegap dan kuat. Musik yang mengiringinya adalah kendang, tapi dengan
berkembangannya zaman musik yang digunakan pun bisa apa saja. Kalau dilihat selintas,
acara ini bisa bikin ketawa karena kuda bisa jingkrak-jingkrak, geleng-geleng kepala
mengikuti alunan musik.
Sejarah kuda renggong ini pertama kali muncul dari desa Cikurubuk hingga
menyebar ke kabupaten Sumedang.

7. Bajidoran
Bajidoran adalah sebuah kesenian rakyat yang berasal dari Subang dan Karawang.
Para penari atau yang biasa disebut Ronggeng akan melenggak lenggok menari mengikuti
tabuhan gendang dan gamelan. Para pria mendekati dan menyawerkan uang pada
Renggong, seseorang yang menyawerkan uang biasanya di sebut Bajidor.
Menurut sejarahnya, Bajidoran lahir pada tahun 1990-an. Kesenian ini perpaduan
dari dangdut, jaipongan dan ketuk tilu. Di zaman sekarang kesenian Bajidoran sudah sangat
kurang peminatnya, ada pun yang melestarikan tarian ini tidak seperti dulu. Jika zaman dulu
sangat memperdulikan ketukan tabuhan gendang, sekarang bisa dikombinasikan dengan
tabuhan gendang beraliran pop.
8. Cianjuran
Cianjuran adalah kesenian dari Cianjur, sebenarnya nama alat musik ini adalah
mamaos. Alat musik khas sunda sejak tahun 1930. Alat musik ini terdiri dari kecapi ricik,
dipadukan dengan suling, rebab, dan kacapi indung. Dibarengi oleh penyanyi dengan
berbahasa Sunda, bernyanyi dengan cengkok mirip Sinden. Bila didengar selintas, kecapi ini
mirip lho dengan kecapi tradisional khas China.
Seni cianjuran awalnya hanya menyanyikan seni Pantun yang dilagukan. Lirik diambil
dari kisah pantun Mundinglaya Dikusumah. Terdengarnya sih seperti gampang, tapi coba
deh. Di Sunda itu sendiri, biasanya Cianjuran digunakan di perayaan pernikahan, khitanan,
hiburan dan upacara adat. Bagaimana? Mau coba seni musik Cianjuran?

9. Kacapi Suling
Jika kita selidiki, hampir semua kesenian khas sunda, terutama seni vokal selalu ada
cengkok-cengkoknya. Kenapa ya? Mungkin disini nilai estetikanya. Inilahhh salah satu
kesenian yang benar-benar menggambarkan budaya Sunda. Sesuai namanya, kecapi suling
yang terdiri dari instrument kecapi dan suling.
Nah, untuk kamu yang ingin dengar lagu yang menyejukan hati ketika fikiran lagi
penat, bisa download lagu kacapi suling. Adem banget, apalagi bila diiringi suara air mengalir
dan burung yang berkicau. Kalau zaman dulu, lagu kecapi suling sering disiarkan oleh radio
Sunda kalau didengar bisa bikin ngantuk karena bikin hati tenang.

J. Makanan Khas
1. Nasi timbel, merujuk kepada cara memasak dengan membungkus nasi panas di dalam
daun pisang. Panas nasi menjadikan aroma daun pisang luruh dan menambah aroma
nasi. Caranya hampir sama dengan membuat lontong; ditekan, dipadatkan, dan digulung
dengan daun pisang; biasnya disajikan bersama beberapa pilihan lauk-pauk teman nasi
seperti ayam, bebek, atau merpati goreng, empal gepuk, jambal roti, tahu, tempe, sayur
asem, lalab dan sambal. Nasi timbel pada perkembangannya mengilhami resep nasi
bakar.
2. Nasi Liwet Sunda, cara masak nasi dalam tungku dengan nasi dibumbui sereh dan laos
serta daun salam. Untuk menambah rasa ada yang menambahkan ikan asin.[1]
3. Nasi Tutug Oncom, nasi yang dinanak dengan campuran oncom, bawang merah, dan
kencur, biasanya disajikan dengan krupuk, sambal terasi, dan teri asin.
4. Lalab, sayuran mentah disajikan dengan sambal
5. Sambal terasi, sambal ulek dengan terasi
6. Karedok, sayuran mentah dengan bumbu kacang
7. Gado-gado, Sayuran Mentah dan Matang (rebus) di siram dengan bumbu kacang,
8. Lotek, sayuran rebus dengan bumbu kacang
9. Sayur asem, sayur dengan citarasa asam jawa.
10. Oncom, fermentasi kacang tanah mirip dengan tempe. Oncom dapat digoreng, dijadikan
pepes, atau ditumis dengan sayuran seperti Ulukutek Leunca (leunca) atau Oncom
Peuteuy (dicampur petai).
11. Tumis Tauco, Tahu ditumis dengan tauco.
12. Tumis Kangkung, kangkung tumis.
13. Aneka Pepes, pepes adalah cara memasak dengan membungkus bahan pangan di dalam
daun pisang yang kemudian dimasak (dipanaskan), berbagai bahan pangan dapat
dijadikan pepes, seperti ikan mas, teri, oncom, leunca, jamur, telur asin, tahu, dan lain-
lain. Salah satu yang paling terkenal adalah Pais Lauk Emas (pepes ikan mas).
14. Aneka Ikan Bakar, aneka ikan bakar disajikan dengan cocolan sambal dan kecap. Ikan
mas, gurami, ikan nila, dan lele lazim disajikan.
15. Aneka Ikan Goreng, aneka ikan goreng disajikan dengan cocolan sambal dan kecap. Ikan
mas, gurami, ikan nila, dan lele lazim disajikan, tetapi Gurame Kipas adalah salah satu
yang paling populer.
16. Aneka Ikan Asin, ikan asin seperti peda, jambal, pari, ikan asin bulu ayam, teri, dan cumi
asin; juga ikan gabus.
17. Bakakak hayam, ayam panggang ala Sunda, atau ayam jago muda panggang
18. Empal Gepuk, daging sapi goreng bercitarasa manis
19. Soto Bandung, soto daging sapi dan lobak
20. Soto mie, soto dengan mi, bihun, lumpia, kikil atau urat sapi
21. Mie Kocok, mi dengan kikil dan urat sapi
22. Sate Maranggi, sate kambing atau domba khas Sunda dengan bumbu kecombrang, yang
lebih khas lagi bahan dasarnya daging sapi dengan bumbu bacem manis ketumbar, yang
terkenal maranggi dari Cianjur dan Purwakarta
23. Gulai Kambing, gulai daging kambing
24. Empal Gentong, daging dan jeroan kambing dari Cirebon
25. Laksa Bogor, sejenis variasi laksa dari Bogor
26. Doclang, ketupat, tahu dan telur rebus dengan siraman bumbu kacang dari Bogor
27. Kupat Tahu, ketupat, tahu, bihun, taoge, dengan bumbu kacang
28. Asinan, sayuran atau uah-buahan yang diawetkan dengan cara diasinkan atau diacar
29. Baso Tahu, mirip dimsum, tahu dan daging ikan kukus, sama dengan Siomay Bandung.
30. Batagor, Baso Tahu Goreng.
31. Geco, toge rebus, mie dan ketupat di siram kuah bumbu tauco Cianjur

Anda mungkin juga menyukai