Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.1 Latar belakang

Asal morfologis dari suara keroncongan ini melibatkan pergerakan otot


di dalam perut dan usus halus dari saluran pencernaan. Suara keroncongan biasanya
diasosiasikan dengan rasa lapar yakni ketika perut dan usus dalam keadaan kosong.

Saluran pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar


dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan berjalannya proses
pencernaan (menelan dan mengunyah) dengan enzim dan zat cair yang dimulai dari
mulut sampai ke anus.

Lapar dapat terjadi karena adanya stimulasi dari suatu faktor lapar, yang
akan mengirimkan impuls tersebut ke pusat lapar di otak, yakni hipotalamus bagian
lateral, tepatnya di nucleus bed pada otak tengah yang berikatan serat
pallidohypothalamus. Otak inilah yang akan menimbulkan rasa lapar pada manusia.
Setelah tubuh mendapat cukup nutrisi yang ditentukan oleh berbagai faktor, maka
akan mengirim impuls ke pusat kenyang yakni di nucleus ventromedial di
hipotalamus. Kemudian tubuh akan merasa puas akan makan, sehingga kita akan
berhenti makan. Adapun pusat saraf yang mengatur asupan makanan.

1. Nukleus lateral hipotalamus, berfungsi sebagai pusat makan

2. Nukleus ventromedial hipotalamus berperan sebagai pusat kenyang

3. Nukleus paraventrikular, dorsomedial, dan arkuata

1|PERUTKU KERONCONGAN
1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari laporan ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui struktur anatomi lambung

2. Untuk mengetahui fisiologi dari mekanisme lapar, pengisian dan

pengosongan,

3. Untuk mengetahui fisiologis fungsi enzim dan kelenjar

4. Untuk mengetahui fisiologis sekresi asam lambung dan sekresi

feflex air liur

5. Untuk mengetahui embriologi lambung

6. Untuk mengetahui struktur histologis lambung dan homeostasis

1.3 Manfaat

Adapun manfaat dari laporan ini, yaitu:

1. Agar mahasiswa mengetahui struktur anatomis lambung

2. Agar mahasiswa mengetahui mekanisme lapar serta bagaimana

proses pengisian dan pengosongannya.

3. Agar mahasiswa mengetahui fisiologis fungsi enzim dan kelenjar

4. Agar mahasiswa mengetahui fisiologis dari sekresi asam lambung

sekresi feflex air liur

5. Agar mahasiswa mengetahui embriologi lambung

6. Agar mahasiswa mengetahui struktur histologis dari lambung dan

homeostasis.

2|PERUTKU KERONCONGAN
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Data Tutorial

Hari / Tanggal Sesi 1 : Senin, 12 Juni 2017


Hari / Tanggal Sesi 2 : Rabu, 14 Junil 2017
Tutor : dr. Irawanto Rochadi Bima Sakti Sp.F
Moderator : Qatrunnada Emilia K
Sekretaris : Favian Audrey Fahmy

2.2 Skenario

PERUTKU KERONCONGAN
Seorang anak usia 10 tahun menhidu wangi masakan ibunya di dapur ,
kemudian air liurnya tiba-tiba keluar dan dia merasa lapar dan ingin makan.
Bagaimana anda menjelaskan kejadian tersebut

2.3 Pembahasan LBM

I. Klarifikasi Istilah

1. Air liur : Saliva adalah suatu cairan tidak bewarna


yang memiliki konsistensi seperti lendir dan merupakan hasil sekresi
kelenjar yang membasahi gigi serta mukosa rongga mulut. Saliva
dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar saliva mayor serta sejumlah
kelenjar saliva minor yang tersebar di seluruh rongga mulut, kecuali
pada ginggiva dan palatum. (Guyton dan Hall, 2006)
2. Lapar : Rasa lapar didefinisikan sebagai suatu
keinginan intrinsik seseorang untuk mendapatkan jumlah makanan
tertentu untuk dikonsumsi. (Guyton dan Hall, 2006).

3|PERUTKU KERONCONGAN
II. Identifikasi Masalah

1. Jelaskan mengenai mekanisme lapar !

2. Fungsi Lambung ?

3. Apa yang dimaksud dengan refleks liur dan terkondisi ?

III. Brainstorming

1. Nafsu makan dan rasa lapar muncul sebagai akibat perangsangan


beberapa area di hipotalamus yang menimbulkan rasa lapar dan
keinginan untuk mencari dan mendapatkan makanan (Guyton dan Hall,
2006). Nukleus ventromedial pada hipotalamus berperan sebagai pusat
rasa kenyang. Pusat ini dipercaya berfungsi memberi sinyal kepuasan
nutrisional yang akan menghambat pusat nafsu makan. Stimulasi
elektrik pada daerah ini akan menyebabkan rasa kenyang dan puas, yang
dengan keberadaan makanan pun akan menyebabkan hewan coba
menolak makanan tersebut (aphagia). Sedangkan kerusakan pada daerah
ini menyebabkan hewan coba makan secara berlebihan dan terus
menerus sehingga menyebabkan keadaan obesitas yang sangat ekstrim
(Guyton dan Hall, 2006). Jumlah makanan yang dapat diterima tubuh
diatur oleh nukleus paraventrikuler, dorsomedial, dan arkuatus
hipotalamus. Lesi pada daerah paraventrikuler akan menyebabkan pola
makan yang meningkat secara eksesif, sedangkan lesi pada daerah
dorsomedial akan menekan perilaku makan. Nukleus arkuatus sendiri
adalah lokasi berkumpulnya hormon-hormon dari saluran
gastrointestinal dan jaringan lemak yang kemudian akan mengatur
jumlah makanan yang dimakan dan juga penggunaan energi (Guyton
dan Hall, 2006). Pusat-pusat nafsu makan tersebut saling terhubung
melalui sinyal-sinyal kimia sehingga dapat mengkoordinasikan perilaku
makan dan persepsi rasa kenyang. Nukleus-nukleus tersebut juga

4|PERUTKU KERONCONGAN
mempengaruhi sekresi berbagai hormon yang mengatur energi dan
metabolisme, termasuk hormon dari kelenjar tiroid, adrenal dan juga
pulau-pulau Langerhans dari pankreas (Guyton dan Hall, 2006). Pusat
rasa lapar dan kenyang pada hipotalamus tersebut dipadati oleh reseptor
untuk neurotransmitter dan hormon yang mempengaruhi perilaku
makan. Hormon dan neurotransmitter tersebut terbagi atas substansi
orexigenik yang menstimulasi nafsu makan dan anorexigenik yang
menghambat nafsu makan.
Sinyal yang menuju hipotalamus dapat berupa sinyal neural, hormon,
dan metabolit. Informasi dari organ viseral, seperti distensi abdomen,
akan dihantarkan melalui nervus vagus ke sistem saraf pusat. Sinyal
hormonal seperti leptin, insulin, dan beberapa peptida usus seperti
peptida YY dan kolesistokinin akan menekan nafsu makan (senyawa
anorexigenic), sedangkan kortisol dan peptida usus ghrelin akan
merangsang nafsu makan (senyawa orexigenic). Kolesistokinin, adalah
peptida yang dihasilkan oleh usus halus dan memberi sinyal ke otak
secara langsung melalui pusat kontrol hipotalamus atau melalui nervus
vagus, seperti terlihat pada Gambar 2.1 (Fauci et al. 2008). Selain sinyal
neural dan hormonal, metabolit-metabolit juga dapat mempengaruhi
nafsu makan, seperti efek hipoglikemia akan menimbulkan rasa lapar.
Namun, metabolit-metabolit tersebut bukanlah regulator nafsu makan
utama karena melepaskan sinyal-sinyal hormonal, metabolik, dan neural
tidak secara langsung, namun dengan mempengaruhi pelepasan
berbagai macam peptida-peptida pada hipotalamus (Neuropeptide Y,
Agouti-related Peptide,Melanocyte Stimulating Hormone, Melanin
Concentrating Hormone). Peptida-peptida tersebut terintegrasi dengan
jalur sinyal daripada sistem serotonergik, katekolaminergik,
endocannabinoid, dan opioid. (Fauci et al. 2008).

5|PERUTKU KERONCONGAN
Gambar 2.1 Mekanisme kontrol umpan balik nafsu makan (Guyton
dan Hall, 2006) Ket: (-) Menekan nafsu makan (+) Merangsang
nafsu makan

2. Lambung melakukan tiga fungsi utama:


1 . Fungsi terpenting lambung adalah menyimpan makanan yang masuk
hingga makanan dapat disalurkan ke usus halus dengan kecepatan yang
sesuai unhik pencernaan dan penyerapan yang optimal. Diperlukan
waktu beberapa jam tmtuk mencerna dan menyerap satu porsi makanan
yang dikansumsi hanya dalam bilangan menit. Karena usus halus adalall
tempat utama pencernaan dan penyerapan, lambung perlu menyimpan
makanan dan menyalurkannya ke duodenum dengan kecepakan yang
tidak melebihi kapasitas usus halus.
2 . Lambung mengeluarkan asam hidroklorida (HCI) dan enzim yang
memulai pencernaan protein.
3 . Melalui gerakan mencampur lambung, makanan yang tertelan
dihaluskan dan dicampur dengan sekresi lambung untuk menghasilkan
campuran cair kental yang dikenal sebagai kimus. Isi lambung harus

6|PERUTKU KERONCONGAN
diubah menjadi kimus sebelum dapat dialirkan ke duodenum.
(Sherwood,2014).

3. Refleks liur sederhana dan tekondisi

Refleks liur sederhana terjadi ketika kemoreseptor dan reseptor


tekan di dalam rongga mulut berespons terhadap keberadaan makanan.
Pada pengaktifan, reseptor-reseptor ini menghasilkan impuls serat-serat
sarat aferen yang membawa informasi ke pusat liur, yang terletak di
medula batang otak, seperti semua pusat otak yang mengontrol aktivitas
pencernaan. Pusat liur, nantinya, mengirim impuls melalui saraf
autonom ekstrinsik ke kelenjar liur untuk meningkatkan sekresi liur.
Tindakan gigi mendorong sekresi liur tanpa adanya makanan karena
manipulasi ini mengaktifkan reseptor tekan di mulut. Pada refleks liur
terkondisi, atau didapat, salivasi terjadi tanpa stimulasi oral. Hanya
berpikir, melihat, mencium, atau mendengar pembuatan makanan yang
lezat memicu salivasi melalui refleks ini. Kita semua pernah mengalami
"liur menetes" ketika mengantisipasi sesuatu yang lezat untuk dimakan.
Ini adalah respons yang dipelajari berdasarkan pengalaman sebelumnya.
Sinyal yang berasal dari luar mulut dan secara mental dikaitkan dengan
kenikmatan makan, bekerja melalui korteks serebrum wituk
merangsang pusat liur di medula. (Sherwood,2014).

7|PERUTKU KERONCONGAN
IV. Rangkuman Permasalahan

Bagan

RANGKUMAN PERMASALAHAN

SISTEM PENCERNAAN
LAMBUNG

ANATOMI FISIOLOGI
HISTOLOGI EMBRIOLOGI
(Lambung, duodenum, (Refleks air liur, mekanisme
(Lambung dan duoedenum ) (Lambung)
saliva) lapar

Penjelasan Bagan
Lambung adalah rongga seperti kantong berbentuk J yang terletak di
antara esofagus dan usus halus. Organ ini memiliki beberapa fungsi
motoric, seperti: (1) penyimpanan sejumlah besar makanan sampai
makanan dapat diproses di dalam lambung, duodenum, dan traktus
intestinal bawah; (2) pencampuran makanan ini dengan sekresi dari
lambung sampai membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut
kimus; dan (3) pengosongan kimus dengan lambat dari lambung ke
dalam usus halus pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan
absorpsi yang tepat oleh usus halus.
Secara anatomi, lambung terdiri dari beberapa bagian, seperti fundus,
korpus, dan antrum. Fundus adalah bagian lambung yang terletak di atas
lubang esofagus. bagian tengah atau utama lambung adalah korpus.

8|PERUTKU KERONCONGAN
Lapisan otot polos di fundus dan korpus relatif tipis, tetapi bagian bawah
lambung, antrum, memiliki otot yang jauh lebih tebal. Perbedaan
ketebalan otot ini memiliki peran penting dalam motilitas lambung di
kedua regio tersebut. Juga terdapat perbedaan kelenjar di mukosa regio-
regio ini, bagian terminal lambung adalah sfingter pilorus, yang bekerja
sebagai sawar antara lambung dan bagian atas usus halus, yaitu
duodenum.
Secara anatomi, Selain lambung, duodenum juga merupakan salah
satu organ.Duodenum merupakan salah satu dari tiga bagian utama
pada usus halus dan berbentuk seperti huruf C, yang
menghubungkan lambung dengan bagian lain dari usus halus. Secara
anatomis, duodenum terletak pada regio epigastrica dan umbilicalis
(Snell, 2014). Duodenum dibagi dalam empat bagian yang tersusun
secara berurutan. Bagian pertama dari duodenum berasal dari pylorus
lambung lalu berjalan ke atas dan belakang hingga setinggi vertebra
lumbalis II, bagian kedua yang berjalan vertikal ke bawah di depan
hilum renale dextrum di sisi kanan vertebra lumbalis II dan III,
bagian ketiga yang berjalan horizontal lalu melintas di depan columna
vertebralis dan berjalan menyusuri sisi bawah caput pancreatis, dan
bagian keempat yang berjalan ke atas lalu ke kiri hingga mencapai
flexura duodenojejunalis, yang tetap berada pada posisinya karena
ditahan oleh ligamentum Treitz (Snell, 2014).
Secara histologi,dinding lambung tersusun dari empat lapisan dasar
utama, sama halnya dengan lapisan saluran cerna secara umum dengan
modifikasi tertentu yaitu lapisan mukosa, submukosa, muskularis
eksterna, dan serosa (Schmitz & Martin, 2008).
Secara histologis, struktur duodenum dengan bagian usus halus
yang lain,yakni jejunum dan ileum memiliki karakteristik yang mirip.
Struktur mukosa dan submukosanya membentuk kerutan-kerutan yang
disebut plicae circulares, dan pada mukosanya sendiri terdapat

9|PERUTKU KERONCONGAN
penonjolan- penonjolan berbentuk seperti daun yang disebut vili. Vili
- vili ini tersusun atas sel absorptif atau enterosit, dan sel goblet,
yang keseluruhannya tersusun secara kolumna
Secara fisiologi, refleks liur dibagi menjadi dua, yaiut refleks liur
sederhana dan terkondisi. Refleks liur sederhana terjadi ketika
kemoreseptor dan reseptor tekan di dalam rongga mulut berespons
terhadap keberadaan makanan kemudian menghasilkan impuls serat-
serat sarat aferen yang membawa informasi ke pusat liur. Pusat liur,
nantinya, mengirim impuls melalui saraf autonom ekstrinsik ke kelenjar
liur untuk meningkatkan sekresi liur. Tindakan gigi mendorong sekresi
liur tanpa adanya makanan karena manipulasi ini mengaktifkan reseptor
tekan di mulut. Sedangkan pada refleks liur terkondisi, salivasi terjadi
tanpa stimulasi oral. Hanya berpikir, melihat, mencium, atau mendengar
pembuatan makanan yang lezat memicu salivasi melalui refleks ini.
Selain kontraksi peristaltik yang terjadi ketika makanan terdapat di
dalam lambung, terdapat suatu jenis kontraksi lain yang kuat, disebut
kontraksi lapar, sering terjadi bila lambung telah kosong selama
beberapa jam atau lebih. Kontraksi ini adalah kontraksi peristaltik yang
ritmis di dalam korpus lambung, Ketika kontraksi berturutan tersebut
menjadi sangat kuat, kontraksi-kontraksi ini akan menimbulkan
kontraksi tetanik yang kontinu yang kadang berlangsung selama 2-3
menit.
Saat makanan masuk ke dalam duodenum, berbagai refleks saraf timbul
dari dinding duodenum. Mereka kembali melewati lambung untuk
melambatkan atau bahkan menghentikan pengosongan lambung jika
volume kimus di dalam duodenum menjadi terlalu banyak. Refleks-
refleks ini diperantara oleh tiga jalur: (1) langsung dari duodenum ke
lambung melalui sistem saraf enterik pada dinding lambung, (2) melalui
saraf-saraf ekstrinsik yang berjalan ke ganglia simpatis prevertebra dan
kemudian kembali ke lambung melalui serat-serat saraf simpatis
penghambat; dan (3) mungkin lebih jauh lagi melalui nervus vagus ke

10 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
batang otak, sehingga menghambat sinyal eksitatorik normal yang
ditransmisikan ke lambung melalui nervus vagus. Semua refleks paralel
ini mempunyai dua efek pada pengosongan lambung: Pertama, refleks
paralel tersebut dengan kuat menghambat kontraksi pendorongan
"pompa pilorus," dan kedua, refleks tersebut meningkatkan tonus
sfingter pilorus.
Secara embirologi, lambung muncul sebagai pelebaran fusiform usus
depan di minggu keempat perkembangan. Selama minggu-minggu
berikutnya, penampakan dan posisinya berubah banyak akibat
perbedaan kecepatan pertumbuhan di berbagai regio dindingnya dan
perubahan posisi organ organ di sekitarnya. Perubahan posisi lambung
paling mudah dijelaskan dengan menganggapnya berputar mengelilingi
sumbu longitudinal dan anteroposterior. Lambung berputar 90 searah
jarum jam mengelilingi sumbu longitudinalnya, yang menyebabkan sisi
kirinya menghadap ke anterior dan sisi kanannya menghadap ke
posterior. Dengan demikian, nervus vagus kiri, yang pada mulanya
menyarafi sisi kiri lambung, kini menyarafi dinding anterior; demikian
juga nervus kanan kini menyarafi dinding posterior. Selama perputaran
ini, dinding posterior lambung tumbuh lebih cepat daripada bagian
anterior, sehingga membentuk kurvatura mayor dan minor. Karena
lambung melekat ke dinding tubuh dorsal melalui mesogastrium dorsal
dan ke dinding tubuh ventral melalui mesogastrium ventral, perputaran
dan pertumbuhannya yang tidak seimbang mengubah posisi
mesenterium ini. Perputaran di sumbu longitudinal menarik
mesogastrium dorsalke kiri, menciptakan suatu ruang di belakang
lambung yang disebut bursa omentalis (kantong peritoneum minor)

11 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
V. Learning Issues

1. Jelaskan anatomi lambung dan duodenum


2. Jelaskan fisiologi dari lambung dan doudenum

VI. Referensi

VII. Pembahasan Learning Issues

Lambung merupakan salah satu organ, yang bilamana terdapat berbagai kelainan
dalam organ tesebut, maka dapat menimbulkan gejala dispepsia (Friedman, 2012).
Lambung merupakan bagian saluran pencernaan yang berbentuk rongga seperti
kantung berbentuk huruf J yang terletak antara esofagus dan usus halus (Sherwood,
2012). Lambung juga merupakan suatu organ campuran antara eksokrin dan
endokrin karena fungsinya yakni sebagai pencernaan makanan dan juga penyekresi
hormon (Mescher, 2012). Posisi tepatnya terletak di bagian atas abdomen dan
membentang dari bawah regio arcus costalis kiri menuju regio epigastrica dan
umbilicalis (Snell, 2014). Struktur lambung dapat dibagi menjadi beberapa bagian,
yaitu fundus yang berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan kiri dari ostium
cardiacum, corpus yang memanjang dari setinggi ostium sampai dengan setinggi
incisura angularis, antrum pyloricum yang memanjang dari incisura angularis ke
pylorus dan pylorus yang merupakan bagian lambung yang terhubung dengan
duodenum (Snell, 2014).

Terdapat pula pembagian lambung yang lain, yakni terbagi atas dua ostium,
dua curvatura dan dua permukaan. Dua ostium tersebut adalah ostium cardiacum
yang berperan sebagai pintu keluar esofagus dalam memasuki lambung dan ostium
pyloricus yang berperan sebagai pintu keluar lambung untuk memasuki duodenum.
Dua curvatura pada lambung terdiri dari curvatura minor yang membentuk batas
kanan lambung dan memanjang dari ostium cardiacum ke pylorus dan curvatura
major yang bentuknya mirip dengan curvatura minor tetapi jauh lebih panjang dan
memanjang pada sisi kiri ostium cardiacum, ke arah kubah fundus dan sepanjang

12 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
batas kiri lambung ke pylorus. Dua permukaan pada lambung sendiri terdiri atas
facies anterior dan facies posterior (Snell, 2014). Struktur dan bagian bagian dari
lambung dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Struktur dan Bagian Bagian dari Lambung Sumber : Anatomi
Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014

Sistem vaskularisasi pada lambung terdiri atas sistem arteri dan vena. Sistem arteri
pada lambung sebagian besar berasal dari percabangan truncus coeliacus. Sistem
arteri tersebut terdiri atas arteri gastrica sinistra yang berasal dari truncus coeliacus
dan berjalan ke atas lalu ke kiri menuju esofagus dan turun ke sepanjang curvatura
minor, arteri gastrica dextra yang berasal dari arteri hepatica di bagian atas pylorus
dan berjalan ke kiri di sepanjang curvatura minor, arteri gastrica brevis yang berasal
dari arteri splenica pada hilum splenicum lalu berjalan ke depan guna
memperdarahi fundus, arteri gastroomentalis sinistra yang berasal dari arteri
splenica pada hilum splenicum dan berjalan ke depan guna mendarahi lambung di

13 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
sepanjang atas curvatura major, arteri gastroomentalis dextra yang berasal dari
arteri gastroduodenalis yang juga merupakan arteri hepatica lalu berjalan ke kiri
guna mendarahi lambung di sepanjang bawah curvatura major (Snell, 2014). Sistem
arteri pada lambung dapat dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Sistem Arteri Pada Lambung

Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014

Selain sistem arteri, vaskularisasi pada lambung juga memiliki sistem vena.
Sistem vena pada lambung ini terdiri dari vena gastrica dextra dan vena gastrica
sinistra yang langsung bermuara ke dalam vena porta, vena gastrica brevis dan
vena gastroepiploica sinistra yang bergabung dengan vena splenica, dan vena
gastroepiploica dextra yang bergabung dengan vena mesenterica superior (Snell,
2014). Sistem vena pada lambung dapat dilihat pada gambar 2.3.

Sistem limfe pada lambung sendiri mengikuti penjalaran dan percabangan arteri
menuju nodi gastrici dextri dan sinistri, nodi gastroepiploici dextri dan sinistri

14 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
serta nodi gastrici brevis, lalu keseluruhannya akan menuju nodi coeliaci yang
terletak di pangkal truncus coeliacus (Snell, 2014). Sistem limfe pada lambung
dapat dilihat pada gambar 2.4. Sistem persarafan pada lambung terdiri atas sistem
simpatis yang berasal dari plexus coeliacus, dan sistem parasimpatis yang berasal
dari nervus vagus. Sistem ini terdiri atas truncus vagalis anterior yang berasal dari
nervus vagus sinister dan mempersarafi permukaan anterior lambung, dan truncus
vagalis posterior yang berasal dari nervus vagus dexter dan mempersarafi
permukaan posterior

Gambar 2.3. Sistem Vena Pada Lambung

Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014

15 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
lambung (Snell, 2014). Selain sistem saraf simpatis dan parasimpatis, terdapat pula
sistem saraf otonom yang terdiri atas pleksus saraf mienterikus dalam lapisan
muskularis lambung dan pleksus saraf submukosa atau Meissner (Mescher, 2012).

Gambar 2.4. Sistem Limfe Pada Lambung

Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014

Selain lambung, duodenum juga merupakan salah satu organ, yang bilamana
terdapat berbagai kelainan dalam organ tesebut, maka dapat menimbulkan gejala
dispepsia (Friedman, 2012). Duodenum merupakan salah satu dari tiga bagian
utama pada usus halus dan berbentuk seperti huruf C, yang menghubungkan
lambung dengan bagian lain dari usus halus. Secara anatomis, duodenum terletak
pada regio epigastrica dan umbilicalis (Snell, 2014).

Duodenum dibagi dalam empat bagian yang tersusun secara berurutan. Bagian
pertama dari duodenum berasal dari pylorus lambung lalu berjalan ke atas dan

16 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
belakang hingga setinggi vertebra lumbalis II, bagian kedua yang berjalan vertikal
ke bawah di depan hilum renale dextrum di sisi kanan vertebra lumbalis II dan III,
bagian ketiga yang berjalan horizontal lalu melintas di depan columna vertebralis
dan berjalan menyusuri sisi bawah caput pancreatis, dan bagian keempat yang
berjalan ke atas lalu ke kiri hingga mencapai flexura duodenojejunalis, yang tetap
berada pada posisinya karena ditahan oleh ligamentum Treitz (Snell, 2014).
Keempat bagian dari duodenum ini dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Bagian Bagian dari Duodenum

Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014

17 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
Struktur mukosa duodenum membentuk kerutan kerutan yang berbentuk sirkular,
yang disebut plicae circulares. Struktur kerutan ini dijumpai di seluruh bagian
duodenum, kecuali di bagian pertama, yang struktur mukosanya cenderung halus.
Pada plicae circulares di dinding pertengahan pada bagian kedua duodenum,
khususnya pada muara ductus choledochus dan ductus pancreaticus, terdapat suatu
peninggian kecil yang berbentuk bulat dan disebut sebagai papilla duodeni major
(Snell, 2014).

Sistem vaskularisasi pada duodenum terdiri atas arteri dan vena, yang membagi
duodenum menjadi bagian atas dan bagian bawah. Pada bagian atas diperdarahai
oleh arteri dan vena pancreaticoduodenalis superior, sedangkan pada bagian bawah
diperdarahi oleh arteri dan vena pancreaticoduodenalis inferior (Snell, 2014).

2. Fisiologi Lambung dan Duodenum

Lambung memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai tempat pengisian makanan
yang masuk ke dalamnya sekaligus menyimpannya sebelum dialirkan ke
duodenum, menyekresikan asam hidroklorida atau HCL dan enzim yang memulai
pencernaan protein serta melakukan proses pencampuran makanan hingga akhirnya
pengosongan isi lambungkm ke dalam duodenum (Sherwood, 2012).

Fungsi Pengisian dan Penyimpanan

Lambung merupakan tempat perlintasan bagi makanan dari esofagus menuju usus
halus. Sebelum dimasuki oleh makanan asal esofagus, lambung memiliki volume
50 ml, namun setelah diisi makanan, volum lambung dapat meningkat hingga dua
kali lipat volum awal ketika masih kosong, yaitu mencapai 1000 ml. Struktur
lipatan dalam permukaan lambung atau ruggae akan melemas dan berkurang
kedalamannya, bahkan hingga mendatar ketika makanan masuk ke dalam lambung.
Hal ini disebabkan oleh adanya mekanisme relaksasi reseptif pada lambung, yaitu
kemampuan relaksasi refleks pada lambung keitika dimasuki makanan, sehingga
volum lambung dapat meningkat tanpa terjadi perubahan pada tegangan di
dindingnya serta peningkatan tekanan intralambung yang berarti (Sherwood, 2012).

18 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
Relaksasi reseptif ini diperantarai oleh nervus vagus dan sudah mulai berlangsung
ketika terjadi pergerakan pada faring dan esofagus akibat makanan (Ganong, 2008).

Sesaat setelah makanan masuk ke dalam lambung, lebih tepatnya pada daerah
fundus, suatu potensial gelombang lambat timbul pada lapisan otot polos di fundus,
yang kemudian menyebabkan otot polos tersebut berkontraksi dan menimbulkan
suatu gerakan peristaltik yang menyebar dari fundus ke korpus, antrum dan sfingter
pylorus, membawa makanan tergerak dari fundus hingga ke pylorus
(Sherwood,2012). Kontraksi otot lambung yang timbul disetiap gelombang ini
kadang disebut sistol antrum dan masa waktunya sekitar 10 detik, lalu muncul
hingga empat kali setiap menitnya (Ganong, 2008). Struktur otot pada fundus dan
korpus yang tipis jika dibandingkan dengan sfingter pylorus mengakibatkan
pergerakan kontraksi otot pada fundus dan korpus lebih lemah, sehingga makanan
yang masuk ke lambung akan disimpan dibagian yang lebih tenang proses
pencampurannya ini (Sherwood, 2012).

Fungsi Sekresi

Lambung memiliki fungsi sekresi, yakni sebanyak 2 liter getah lambung diproduksi
setiap harinya. Getah lambung ini diproduksi oleh sel sel sekretorik lambung yang
berada di dinding dari foveola gastrica, imvaginasi invaginasi dari permukaan
dalam lambung (Sherwood, 2012).Salah satu dari sel sekretorik lambung adalah sel
parietal yang memproduksi HCL. Keberadaan HCL di dalam lambung memiliki
fungsi, antara lain mengaktifkan prekursor enzim perpsinogen menjadi pepsin yang
merupakan enzim aktif, membantu proses pemecahan jaringan ikat dan serat otot
dan mengurangi ukuran partikel makanan besar menjadi lebih kecil, menimbulkan
terjadinya denaturasi protein dan mematikan sebagian besar mikoorganisme yang
tertelan bersama makanan (Sherwood, 2012).

Disamping menghasilkan HCL, sel parietal juga memproduksi suatu produk


sekretorik lain, yakni faktor intrinsik yang berfungsi dalam penyerapan vitamin B12
atau sianokobalamin. Vitamin B12, yang hanya dapat diserap jika berikatan dengan
faktor inrinsik, memiliki fungsi yang esensial untuk pembentukan normal sel darah

19 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
merah (Sherwood, 2012). Vitamin B12 yang berikatan dengan faktor intrinsik ini
akan membentuk kompleks yang diserap oleh kubilin yaitu suatu apolipoprotein
akan dipindahkan ke transkobalamin II, yang merupakan protein pengikat vitamin
B12, yang akan mengangkut vitamin ini ke plasma. Jika terjadi defisiensi faktor
intrinsik ini maka dapat terjadi anemia dan tidak akan beemanfaat dalam perbaikan
jika vitamin B12 diberikan secara oral (Ganong, 2008).

Sel sekretorik lambung lainnya adalah chief cell yang menghasilkan suatu molekul
enzim yang inaktif yang disebut pepsinogen, yang sebelumnya tersimpan dalam
granula zimog. Sesaat setelah pepsinogen dilepas menuju lumen lambung, HCL
yang dihasilkan sel parietal mengubuh struktur enzim inaktif tersebut, membentuk
pepsin, yang selanjutnya pepsin tersebut melakukan suatu proses autokatalisis atau
pengaktifan diri, yakni pepsin, suatu enzim yang aktif, mengaktifkan molekum
enzim inaktif yang sama, yakni pepsinogen, guna membentuk pepsin yang lebih
banyak lagi (Sherwood, 2012).Sel sekretorik lambung, yaitu sel parietal, chief cell
dan mucous cell, dalam memproduksi sekresinya diatur oleh sel sel sekretorik lain
yang menghasilkan faktor regulatorik endokrin. Faktor faktor regulatorik tersebut
terdiri dari sel G yang menghasilkan gastrin, ECL cell yang menghasilkan histamin
dan sel D yang menghasilkan somatostatin (Sherwood, 2012).

Sel G dan sel ECL mengeluarkan produknya ketika mendapatkan rangsangan dari
asetilkolin atau ACh, yang dibebaskan dari pleksus saraf intrinsik sebagai respon
terhadap stimulasi nervus vagus. Sel G lalu mengeluarkan gastrin ke dalam darah,
yang kemudian dibawa kembali ke fundus dan korpus lambung lalu merangsang sel
parietal dan chief cell menghasilkan produknya. Demikian pula dengan histamin
yang dihasilkan oleh sel ECL, yang bekerja secara lokal pada sel sel parietal
disekitarnya (Sherwood, 2012). Jika sel G dan sel ECL meningkatkan produktivitas
sel parietal dan chief cell, maka sel D yang menghasilkan somatostatin berfungsi
kebalikannya. Sel D bekerja sebagairespon terhadap tingginya kadar asam dalam
lumen lambung, dan menghasilkan somatostatin yang akan menghambat sekresi sel
parietal, juga faktor stimulasinya, yakni sel G dan sel ECL, sehingga produksi sel
parietal menjadi minimal (Sherwood, 2012).

20 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
Seluruh proses sekresi sel sekretorik lambung beserta faktor regulatoriknya
dipengaruhi oleh faktor faktor tertentu yang muncul sebelum makanan masuk ke
dalam lambung, ketika makanan berada di dalam lambung, dan ketika makanan
sudah keluar dari dalam lambung, di dalam duodenum. Adanya faktor faktor ini
menyebabkan proses sekresi sel sekretorik lambung berlangsung dalam tahap
tahap tertentu, antara lain :

1. Fase sefalik, yang timbul akibat mekanisme umpan sebagai respon


terhadap rangsangan yang bekerja di luar lambung, termasuk memikirkan,
mencium, mencicipi, mengunyah dan menelan makanan, yang pada
akhirnya akan meningkatkan sekresi lambung oleh aktvitas nervus vagus,
yang merangsang ACh keluar dari pleksus saraf intrinsik.

2. Fase lambung, yang terjadi ketika makanan telah mencapai lambung


sehingga timbul rangsangan rangsangan yang memicu sekresi lambung.

3. Fase usus yang berlangsung ketika makanan telah mencapai usus halus,
sehingga terjadi suatu proses inhibitorik terhadap sekresi lambung pada fase
ini (Sherwood, 2012).

Meski sel sel sekretorik lambung menghasilkan berbagai macam


komponen getah lambung, namun permukaan mukosa lampung tetap
terlindungi dari iritasi akibat paparan getah lambung yang dapat berperan
sebagai perusak endogen (Sherwood, 2012). Selain perusak endogen,
permukaan mukosa lampung juga tetap terlindungi dari perusak eksogen
seperti obat tertentu, alkohol maupun bakteri (Tarigan, 2014). Komponen
yang berfungsi sebagai pelindung tersebut adalah suatu lapisan mukus yang
dihasilkan oleh sel mukus (Sherwood, 2012). Mukus ini terdiri atas
glikoprotein musin dan membentuk struktur gel yang fleksibel, yang
melapisi mukosa lambung (Ganong, 2008). Ketebalan lapisan mukus ini
sekitar 0,2 mm. Sebelum membentuk lapisan gel sebagai fase tidak terlarut,
mukus ini berada dalam cairan lambung sebagai fase terlarut. Guna
membantu fungsi lapisan mukus ini, ion bikarbonat yang diproduksi oleh

21 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
sel epitel non parietal lambung, akan memasuki lapisan mukus dan
memungkinkan terjadinya reaksi pendaparan atau buffering, membentuk
pH basa, yaitu pada kisaran pH 1 sampai dengan 2. Ion bikarbonat ini
diproduksi dengan perangsangan kalsium dan prostaglandin (McGuigan,
2012). Keberadaan lapisan mukus ini mampu melindungi mukosa lambung
dari cedera mekanis akibat sifat pelumasan yang dimilikinya, juga
melindungi lambung dari cedera asam karena sifat basa yang dimilikinya
mampu menetralkan HCL di dekat lapisan mukosa lambung tanpa
mengganggu fungsi HCL di lambung (Sherwood, 2012).

Mukosa lambung juga memiliki mekanisme pelindung terhadap getah


lambung yang lain. Lapisan mukosa lambung membentuk suatu sawar
mukosa lambung yang dapat mencegah rusaknya lapisan mukosa oleh getah
lambung. Sawar pada membran luminal sel mukosa membuat membran
tersebut tidak dapat ditembus oleh asam ke dalam sel. Disamping itu, tepi
tepi lateral sel mukosa juga saling menyatu membentuk taut erat sehingga
asam tidak dapat melintas lewat ruang antar sel mukosa menuju lapisan
dibawahnya (Sherwood, 2012).

Prostaglandin juga berpengaruh dalam mekanisme perlindungan mukosa


lambung. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa sejumlah
prostaglandin juga berpengaruh dalam sekresi mukus lambung dan ion
bikarbonat mukosa lambung dan duodenum. Prostaglandin juga
berpengaruh dalam mempertahankan aliran darah pada mukosa lambung
dan dalam mempertahankan intaknya lapisan sawar mukosa lambung, serta
dalam pembaruan sel epitel terhadap luka pada epitel mukosa (McGuigan,
2012).

Fungsi Pencampuran dan Pengosongan

Proses pencampuran makanan berlangsung di bagian antrum dari lambng.


Gelombang kontraksi peristaltik lambung lebih kuat di antrum
dibandingkan dengan daerah lain kaarena lapisan ototnya yang lebih tebal.

22 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
Kontraksi pada natrum akan menyebabkan makanan di dalamnya akan
tercampur dan membentuk campuran cairan kental makanan yang disebut
sebagai kimus. Sambil mencampur, kontraksi peristaltk juga mendorong
kimus untuk terus maju menuju ke sfingter pylorus. Meski kimus telah
sampai di dekat sfingter pylorus, kimus tersebut tidak akan, atau setidaknya
hanya sedikit yang bisa melewati sfingter tersebut menuju duodenum. Hal
ini disebabkan kontraksi pada otot lambung yang juga menyebar sampai ke
otot sfingter pylorus akan menyebabkan sfingter itu berkontraksi dan nyaris
menutup sempurna. Akibatnya setiap kimus yang terdorong ke arah sfingter
namun tidak dapat mencapai duodenum akan tertahan di sfingter yang
menutup lalu memantul kembali ke arah antrum, menimbulkan suatu
gerakan berpola maju mundur yang berperan dalam proses pencampuran
makanan (Sherwood, 2012).

Proses kontraksi pada otot sfingter pylorus, juga pada bagian lambung lain
tergantung pada seberapa besar intensitas kontraksi tersebut. Intensitas ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam lambung itu sendiri, dari
dalam duodenum, maupun dari luar saluran cerna (Sherwood, 2012).

Jumlah kimus menjadi faktor yang besar dalam mempengaruhi kontraksi


otot lambung. Jumlah dan volume kimus yang besar akan menimbulkan
terjadinya peregangan pada lambung, yang secara langsung berefek pada
meningkatnya eksitabilitas kontraksi otot lambung. Disamping itu,
kontraksi otot lambung juga dipengaruhi oleh seberapa lama kimus diubah
dari bentuk padat menjadi cair kental, karena semkin cepat keenceran kimus
diperoleh makan akan semakin cepat juga pengosongan isi lambung ke
dalam duodenum (Sherwood, 2012). Selain volume dan keenceran kimus,
jenis makanan yang dikonsumsi ikut mempengaruhi kontraksi otot
lambung. Makanan yang banyak mengandung karbohidrat akan lebih cepat
meninggalkan lambung, namun pada protein akan lebih lambat dan lemak
adalah zat yang paling lambat meninggalkan lambung (Ganong, 2008).

23 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
Selain faktor dari dalam lambung itu sendiri, faktor dari dalam duodenum
juga mempengaruhi kontraksi otot lambung. Faktor faktor dari dalam
duodenum itu akan mengaktifkan reseptor yang sesuai dengan masing
masing faktor tersebut di duodenum, lalu memicu berbagai mekanisme yang
dapat mengurangi eksitabilitas otot lambung. Mekanisme tersebut antara
lain :

1. Melalui respon saraf yang diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik sebagai
refleks pendek dan saraf otonom sebagai refleks panjang, sehingga refleks
refleks ini disebut sebagai refleks enterogastrik.

2. Melalui respon hormon yang melibatkan sejumlah hormon yang


kesemuanya disebut enterogastron, dimana enterogastron yang paling
penting adalah sekretin dan kolesistokinin atau CCK. Enterogastron ini akan
dibawa oleh darah ke lambung dan akhirnya aka mengurangi kecepatan
pengosongan lambung (Sherwood, 2012).

Terdapat empat faktor dari dalam duodenum yang dapat mengurangi


kecepatan pengosongan lambung, antara lain lemak, asam, hipertonisitas
dan peregangan. Faktor yang pertama adalah lemak, yang bersifat lambat
pencernaannya daripada zat lain dan proses pencernaan tersebut hanya
berlangsung di dalam usus halus, menyebabkan setiap pengosongan lemak
di duodenum haruslah menunggu proses pencernaan lemak lainnya di dalam
usus halus. Lemak sendiri merupakan zat yang paling lama laju
pengosongannya di dalam lambung, sehingga banyaknya kadar lemak
dalam lambung maupun duodenum akan memperlambat laju pengosongan
lambung (Sherwood, 2012). Karena lemak efektif dalam mempelambat
pengosongan lambung, maka banyak orang yang akan mengkonsumsi susu,
krim, atau zat makanan yang mengandung lemak lainnya sebelum
mengkonsumsi alkohol. Proses pengosongan di lambung dan pencernaan
lemak yang lama akan menahan alkohol di lambung dalam waktu yang lebih
lama dan proses pemasukan alkohol ke dalam usus halus juga akan

24 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
berlangsung perlahan lahan, sehingga intoksikasi alkohol akibat
peningkatan kadar alkohol dalam darah yang mendadak dapat dihindari
(Ganong, 2008).

Faktor yang kedua adalah sifat asam kimus lambung yang berasal dari HCL,
membutuhkan proses netralisasi ketika memasuki duodenum guna tidak
mengiritasi mukosa duodenum dan menginaktifkan enzim penccernaan
yang disekresikan pankreas ke dalam lambung. Netralisasi tersebut
berlangsung ketika kimus bercampur dengan natrium bikarbonat yang
disekresikan ke dalam lumen duodenum oleh pankreas. Jika masih ada
kimus yang belum ternetralkan maka proses pengosongan isi lambung lebih
lanjut akan melambat hingga proses netralisasi tuntas (Sherwood, 2012).

Faktor yang ketiga adalah hipertonisitas sebagai akibat dari lebih lambatnya
proses penyerapan molekul asam amino dan glukosa dibandingkan dengan
kecepatan pencernaan protein dan tepung untuk membentuk molekul asam
amino dan glukosa di dalam duodenum. Hal ini akan mengakibatkan
menumpuknya sejumlah besar molekul tersebut di dalam kimus, sehingga
akan meningkatkan osmolaritas kimus tersebut. Hal ini secara refleks akan
menghambat proses pengosongan kimus lebih lanjut dari dalam lambung
(Sherwood, 2012).

Faktor yang keempat adalah peregangan pada duodenum sebagai akibat dari
kelebihan volume kimus yang ditampung di dalam duodenum. Hal ini akan
menyebabkan melambatnya waktu pengosongan isi lambung lebih lanjut
guna menunggu duodenum dalam memproses kimus di dalamnya sebelum
menerima kimus tambahan dari lambung (Sherwood, 2012).

Disamping faktor faktor yang masih berhubungan pada saluran cerna,


faktor lain yang tidak ada kaitannya dengan saluran cerna juga bisa
mempengaruhi waktu pengosongan lambung. Faktor tersbut antara lain
emosi yang dapat mengubah motilitas lambung melalui saraf otonom
sehingga mempengaruhi eksitabilitas otot lambung. Faktor lainnya adalah

25 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
nyeri dari nagian tubuh manapun yang dapat juga menghambat motilitas,
tidak hanya di lambung, tetapi juga di bagian saluran cerna lainnya, melalui
mekanisme peningkatan saraf simpatis (Sherwood, 2012).

26 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Motilitas: Motilitas lambung mencakup pengisian, penyimpanan, pencampuran,


dan pengosongan. Pengisian lambung dipermudah oleh relaksasi reseptif lambung
yang diperantarai oleh saraf vagus. Penyimpanan lambung berlangsung di korpus
lambung, tempat kontraksi peristaltik dinding otat yang tipis terlalu lemah untuk
mencampur isi lambung. Pencampuran lambung di antrum yang berdinding tebal
terjadi karena kontraksi peristaltik yang kuat dan retropulsi.

Pengosongan lambung dipengaruhi oleh faktor-faktor di lambung dan duodenum.


(1) Peningkatan volume dan fluiditas kimus dilambung meningkatkan pengosongan
isi lambung. (2) Lemak, asam, hipertanisitas, dan distensi di duodenum (faktor-
faktor daminan yang mengontrol pengosongan lambung) menunda pengosongan
lambung hingga duodenum siap memproses lebih banyak kimus. Faktor-faktor ini
menunda pengosongan lambung dengan menghambat aktivitas peristaltik lambung
oleh reflex enterogastrik dan enterogastron, sekretin dan kolesistokinin, yang
disekresikan oleh mukosa duodenum.

Sekresi: Sekresi ke dalam iumen lambung mencakup (1) HCf (dari sel parietal)
yang mengaktifkan pepsinogen; (2) pepsinogen (dari sel utama) yang, setelah
diaktifkan, memulai pencernaan protein; (3) mukus (dari sel mukus) yang
membentuk lapisan protektif; dan (4) faktor intrinsik (dari sel parietal) yang
diperlukan dalam penyerapan vitamin B12.

Lambung juga mengeluarkan hormon gastrin, yang berperan dominan dalam


merangsang sekresi lambung, serta parakrin histamin dan somatostatin, yang
masing-masing merangsang dan menghambat sekresi lambung.

Sekresi lambung meningkat sebefum dan selama makan oleh respons-respons


saraf vagus eksitatorik dan saraf intrinsic bersama dengan efek stimulatorik gastrin
dan histamin. Setelah makanan keluar dari lambung, sekresi lambung berkurang

27 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
karena hilangnya faktor-faktor stimulatorik, pelepasan somatostatin yang bersifat
menghambat, dan efek inhibitorik reflek enterogastik dan enterogastron.

28 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
DAFTAR PUSTAKA

Eroschenko, VP. (2010). Atlas HistologidiFioredenganKorelasiFungsional

Jakarta: PenerbitBukuKedokteran:EGC.

Guyton, AC., Hall, JE. (2011). BukuAjar FisiologiKedokteran Ed. 12. Jakarta:
PenerbitBukuKedokteran:EGC.

Gartner, J.P. dan Hiatt,J.L. (2007). Color Text Book of Histology. 3th ed.
Philadephia: Elesevir Saunders.

Janqueira, Luiz, C. dan J. Carneiro. 2007. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. Edisi
10. Jakarta:EGC.

Paulsen, F., Waschke, J. (2012).Sobotta Atlas AnatomiManusia: Organ-Organ


Dalam Ed. 23 Jilid 2. Jakarta: PenerbitBukuKedokteran:EGC.

Sadler,TW.(2012).LangmanEmbriologiKedokteran.Ed.:12.Jakarta.PenerbitBukuK
edokteran: EGC.

Sherwood, L. (2014). FisiologiManusia Dari SelKeSistem Ed. 8. Jakarta:


PenerbitBukuKedokteran: EGC.

Tortora, GJ.,Derrickson, B. (2009). Principles of Anatomy and Physiology 12th Ed.


Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

29 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N
30 | P E R U T K U K E R O N C O N G A N

Anda mungkin juga menyukai