Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saluran pencernaan memberi tubuh persediaan akan air, elektrolit, dan zat makanan yang
terus menerus. Untuk mencapai hal ini, dibutuhkan (1) pergerakan makanan melalui
saluran pencernaan, (2) sekresi getah pencernaan dan pencernaan makanan, (3) absorpsi air
berbagai elektrolit, dan hasil pencernaan, (4) sirkulasi darah melalui organ-organ gastrointestinal
untuk membawa zat-zat yang diabsorbsi, dan (5) pengaturan semua fungsi ini oleh system
lokal,saraf, dan hormone.
Setiap bagian dari saluran pencernaan disesuaikan terhadap fungsi spesifiknya: beberapa
untuk pase makanan yang sederhana, seperti esophagus; yang lain untuk penyimpanan makanan
sementara, seperti lambung; dan yang lain untuk pencernaan dan absorpsi, seperti usus halus.
Agar makanan dapat dicerna secara optimal dalam saluran pencernaan, waktu yang diperlukan
makanan pada masing-masing bagian saluran bersifat sangat penting. Selain itu, pencampuran
yang tepat juga harus dilakukan.
Tetapi karena kebutuhan untuk pencampuran dan propulsi (pendorongan) sangat berbeda
pada tiap tingkat proses, berbagai mekanisme umpan balik hormonal dan saraf otomatis akan
mengontrol waktu dari tiap aspek proses ini sehingga pencampuran dan pendorongan akan terjadi
secara optimal, tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat. Disepanjang traktus gastrointestinal,
kelenjar sekretoris mempunyai dua fungsi utama: Pertama, enzim-enzim pencernaan disekresi
pada sebagian besar daerah saluran pencernaan, dari rongga mulut sampai ujung distal ileum. Kedua,
kelenjar mucus, dari rongga mulut sampai ke anus, mengeluarkan mucus untuk melumaskan dan
melindungi semua bagian saluran pencernaan. Kebanyakan sekresi pencernaan terbentuk hanya
sebagai respons terhadap keberadaan makanan di dalam saluran pencernaan, dan jumlah yang
disekresi pada setiap segmen traktus hampir sama dengan jumlah yang dibutuhkan untuk
pencernaan yang sesuai. Selanjutnya, pada beberapa bagian traktus gastrointestinal, bahkan jenis
enzim danzat-zat lainnya dari sekresi bervariasi sesuai dengan tipe makanan yang ada. Bahan
makanan utama yang diperlukan oleh tubuh yang hidup, (selain jumlah kecil zat seperti vitamin dan mineral)
dapat digolongkan sebagai karbohidrat, lemak dan protein, bahan-bahan ini biasanya tidak dapat
1
diserap dalam bentuk alami melalui mukosa saluran pencernaan dan, karena alasan ini bahan-
bahan tersebut tidak berguna sebagai zat nutrisi tanpa pencernaan awal.
Dalam prosesnya yang berlangsung terus-menerus bukan tidak mungkin saluran
pencernaan mengalami gangguan atau bahkan kelainan. Hal ini tentu saja akan mengganggu
proses pencernaan. Pengobatan yang efektif untuk kebanyakan gangguan gastrointestinal
bergantung pada pengetahuan dasar mengenai fisiologi gastrointestinal. Oleh karena hal-hal di
atas maka dalam makalah ini akan membahas prinsip-prinsip umum fungsi gastrointestinal
(Motilitas, pengaturan saraf dan sirkulasi darah), anatomi dan fisiologi gastrointestinal,
patofisiologi pada saluran gastrointestinal, serta untuk mengetahui definisi, penyebab penyakit
dan perjalanan penyakit dari diare, dispepsia, konstipasi serta mual dan muntah.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana anatomi dan fisiologi gastrointestinal ?
b. Apakah yang dimaksud dengan patofisiologi gastrointestinal?
c. Apa saja penyakit-penyakit pada gastrointestinal?
d. Bagaimana etiologi dari setiap penyakit pada gastrointestinal?
e. Bagaimana gejala dan tanda dari penyakit-penyakit pada gastrointestinal?
f. Bagaimana patofisiologi dari penyakit tersebut?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi gastrointestinal
b. Untuk mengetahui patologi pada gastrointestinal
c. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit pada gastrointestinal
d. Untuk mengetahui gejala dan tanda yang ditimbulkan pada gangguan gastrointestinal
e. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya penyakit (patologi) pada gastrointestinal.

2
BAB II
ISI

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Gastro Intestinal

Gambar 1:
Sistem pencernaan atau sistem gastro instestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah
sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi
zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran
pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus
besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran
pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.

2.1.1 Rongga Mulut


Secara umum berfungsi untuk menganalisis makanan sebelum menelan, proses
penghancuran makanan secara mekanis oleh gigi, lidah dan permukaan palatum, lubrikasi oleh
sekresi saliva serta digesti pada beberapa material karbohidrat dan lemak (Simon, 2003).
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang
(molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar
ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan
dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang
3
memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar
dan berlanjut secara otomatis.

a. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada hewan.
Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal dari sistem pencernaan
lengkap yang berakhir di anus. Mulut dibatasi oleh mukosa mulut, pada bagian atap terdapat
palatum dan bagian posterior mulut terdapat uvula yang tergantung pada palatum. Mulut
merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput
lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan
relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf
olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau.

b. Lidah
Lidah terdiri dari jaringan epitel dan jaringan epitelium lidah dibasahi oleh sekresi dari
kelenjar ludah yang menghasilkan sekresi berupa air, mukus dan enzim lipase. Enzim ini
berfungsi untuk menguraikan lemah terutama trigleserida sebelum makanan di telan. Fungsi
utama lidah meliputi, proses mekanik dengan cara menekan, melakukan fungsi dalam proses
menelan, analisis terhadap karakteristik material, suhu dan rasa serta mensekresikan mukus dan
enzim.

4
c. Kelenjar Saliva
Kira-kira 1500 mL saliva disekresikan per hari, pH saliva pada saat istirahat sedikit lebih
rendah dari 7,0, tetapi selama sekresi aktif, pH mencapai 8,0. Saliva mengandung 2 enzim yaitu
lipase lingual disekresikan oleh kelenjar pada lidah dan α-amilase yang disekresi oleh kelenjar-
kelenjar saliva. Kelenjar saliva tebagi atas 3, yaitu kelenjar parotis yang menghasilkan serosa
yang mengandung ptialin. Kelenjar sublingualis yang menghailkan mukus yang mengandung
musin, yaitu glikoprotein yang membasahi makanan dan melndungi mukosa mulut dan kelenjar
submandibularis yang menghasilkan gabungan dari kelenjar parotis dan sublingualis. Saliva
juga mengandung IgA yang akan menjadi pertahanan pertama terhadapkuman dan virus.
Fungsi penting saliva antara lain, memudahkan poses menelan,mempertahankan mulut
tetap lembab,bekerja sebagai pelarut olekul-molekul yang merangsang indra pengecap,
membantu proses bicara dengan memudahkan gerakan bibir dan lidah dan mempertahankan
mulut dan gigi tetap bersih (Ganong, 2002).

d. Gigi
Fungsi gigi adalah sebagai penghancur makanan secara mekanik. Jenis gigi di sesuaikan
dengan jenis makanan yang harus dihancurkannya dan prosses penghancurannya. Pada gigi seri,
terdapat di bagian depan rongga mulut berfungsi untuk memotong makanan yang sedikit lunak
dan potongan yang dihasilkan oleh gigi seri masih dalam bentuk potongan yang kasar, nantinya
potongan tersebut akan dihancurkan sehingga menjadi lebih lunak oleh gigi geraham dengan
dibantu oleh saliva sehingga nantinya dapat memudahkan makanan untuk menuju saluran
pencernaan seterusnya. Gigi taring lebih tajam sehingga difungsikan sebagai pemotong daging
atau makanan lain yang tidak mampu dipotong oleh gigi seri.

2.1.2 Faring
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa
yunani yaitu Pharynk. Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe
yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini
terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut
dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang Keatas bagian depan berhubungan dengan
rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan
5
rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari; Bagian
superior =bagian yang sangat tinggi dengan hidung, bagian media = bagian yang sama tinggi
dengan mulut dan bagian inferior = bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian superior
disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang
gendang telinga,Bagian media disebut orofaring,bagian ini berbatas kedepan sampai diakar lidah
bagian inferior disebut laring gofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring.
Faring merupakan jalan untuk masuknya material makanan, cairan dan udara menuju
esofagus. Faring berbentuk seperti corong dengan bagian atasnya melebar dan bagian bawahnya
yang sempit dilanjutkan sabagai esofagus setinggi vertebrata cervicalis keenam. Bagian dalam
faring terdapat 3 bagian yaitu nasofaring,orofaring dan laringfaring. Nasofaring adalah bagian
faring yang berhubungan ke hidung. Orofaring terletak di belakang cavum oris dan terbentang
dari palatum sampai ke pinggir atas epiglotis. Sedangkan laringfaring terletak dibelakang pada
bagian posterior laring dan terbentang dari pinggir atas epiglotis sampai pinggir bawah cartilago
cricoidea (Snell, 2006).

2.1.3 Laring
Laring adalah organ yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu masuk jalan nafas
dan berfungsi dalam pembentukan suara. Sfingter pada laring mengatur pergerakan udara dan
makanan sehingga tidak akan bercampur dan memasuki tempat yang salah atau yang bukan
merupakan tempatnya. Sfingter tersebut meupakan epiglotis. Epiglotis akan menutup jalan masuk
udara saat makanan ingin masuk ke esofagus (Snell, 2006).

6
2.1.4 Esophagus
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering juga disebut esophagus (dari
bahasa Yunani: οiσω, oeso - "membawa", dan eso phagus - "memakan").

Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi,
Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
a. bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
b. bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
c. Bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus)

Esofagus adalah saluran berotot dengan panjang sekitar 25 cm dan diameter sekitar 2 cm
yang berfungsi membawa bolus makanan dan cairan menuju lambung (Gavaghan, 2009). Otot
esofagus tebal dan berlemak sehingga moblitas esofagus cukup tinggi. Peristaltik pada esofagus
mendorong makanan dari esofagus memasuki lambung. Pada bagian bawah esofagus terdapat
otot-otot gastroesofagus (lower esophageal sphincter, LES) secara tonik aktif, tetapi akan
melemas sewaktu menelan. Aktifasi tonik LES antara waktu makan mencegah refluks isi
lambung ke dalam esofagus. Otot polos pada esofagus lebih menonjol diperbatasan dengan
lambung (sfingter intrinsik). Pada tempat lain, otot rangka melingkari esofagus (sfrinter
ekstrinsik) dan bekerja sebagai keran jepit untuk esofagus. Sfringte ekstrinsik dan intrinsik akan
bekerjasama untuk memungknkan aliran makanan yang teratur kedalam lambung dan mencegah
refluks isi lambung kembali ke esofagus.

2.1.5 Lambung
Lambung terletak di bagian kiri atas abdomen tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan
kosong, lambung berbentuk tabung J dan bila penuh akan tampak seperti buah alpukat. Lambung
terbagi atas fundus, korpus dan pilorus. Kapasitas normal lambung adalah 1-2 L (Lewis, 2000).
Pada saat lambung kosong atau berileksasi, mukosa masuk ke lipatan yang dinamakan rugae.
Rugae yang merupakan dinding lambung yang berlipat-lipat dan lipatan tersebut akan
7
menghilang ketika lambung berkontraksi (Simon, 2003). Sfingter pada kedua ujung lambung
mengatur pengeluarn dan pemasukan lambung. Sfingter kardia, mengalirkan makanan masuk ke
lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Sedangkan sfingter
pilorus akan berelaksasi saat makanan masuk ke dalam duodenum dan ketika berkontraksi,
sfingter ini akan mencegah aliran balik isi usus halus ke lambung (Corwin, 2007).
Tidak seperti pada daerah gastrointestinal lain, bagian otot-otot lambung tersusun dari tiga
lapis otot polos yaitu, lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkular di bagian dalam dan
lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serat otot yang unik pada lambung memungkinkan
berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecahkan makanan menjadi
partikel-partikel yang kecil, mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan
lambung, lalu mendorongnya ke arah duodenum (Simon, 2003).
Lambung terdiri dari 3 bagian yaitu :

a. Kardia.
b. Fundus.
c. Pilorus

Dinding lambung tersusun dari empat lapisan dasar utama, sama halnya
dengan lapisan saluran cerna secara umum dengan modifikasi tertentu yaitu lapisan
mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa (Schmitz & Martin, 2008).
a. Lapisan mukosa terdiri atas epitel permukaan, lamina propia, dan muskularis
mukosa. Epitel permukaan yang berlekuk ke dalam lamina propia dengan
kedalaman yang bervariasi, dan membentuk sumur-sumur lambung disebut
foveola gastrika. Epitel yang menutupi permukaan dan melapisi lekukan-
8
lekukan tersebut adalah epitel selapis silindris dan semua selnya menyekresi
mukus alkalis. Lamina propia lambung terdiri atas jaringan ikat longgar yang
disusupi sel otot polos dan sel limfoid. Muskularis mukosa yang memisahkan
mukosa dari submukosa dan mengandung otot polos (Tortora & Derrickson,
2009).
b. Lapisan sub mukosa mengandung jaringan ikat, pembuluh darah, sistem
limfatik, limfosit, dan sel plasma. Sebagai tambahan yaitu terdapat pleksus
submukosa (Meissner) (Schmitz & Martin, 2008).
c. Lapisan muskularis propia terdiri dari tiga lapisan otot, yaitu (1) inner
oblique,(2) middle circular, (3) outer longitudinal. Pada muskularis propia
terdapat pleksus myenterik (auerbach) (Schmitz & Martin, 2008) Lapisan oblik
terbatas pada bagian badan (body) dari lambung (Tortora & Derrickson, 2009)
d. Lapisan serosa adalah lapisan yang tersusun atas epitel selapis skuamos
(mesotelium) dan jaringan ikat areolar (Tortora & Derrickson, 2009). Lapisan
serosa adalah lapisan paling luar dan merupakan bagian dari viseral peritoneum
(Schmitz & Martin, 2008).

9
Setiap hari lambung mengeluarkan sekitar 2 liter getah lambung. Sel-sel yang
bertanggungjawab untuk fungsi sekresi, terletak di lapisan mukosa lambung. Secara
umum, mukosa lambung dapat dibagi menjadi dua bagian terpisah : (1) mukosa
oksintik yaitu yang melapisi fundus dan badan (body), (2) daerah kelenjar pilorik
yang melapisi bagian antrum. Sel-sel kelenjar mukosa terdapat di kantong lambung
(gastric pits), yaitu suatu invaginasi atau kantung pada permukaan luminal lambung.
Variasi sel sekretori yang melapisi invaginasi ini beberapa diantaranya adalah
eksokrin, endokrin, dan parakrin (Sherwood,2010).

Ada tiga jenis sel tipe eksokrin yang ditemukan di dinding kantung dan
kelenjar oksintik mukosa lambung (Gambar 2.3), yaitu :
1. Sel mukus yang melapisi kantung lambung, yang menyekresikan mukus yang
encer.

10
2. Bagian yang paling dalam dilapisi oleh sel utama (chief cell) dan sel parietal.
Sel utama menyekresikanprekursor enzim pepsinogen.
3. .Sel parietal (oksintik) mengeluarkan HCl dan faktor intrinsik. Oksintik
artinya tajam, yang mengacu kepada kemampuan sel ini untuk menghasilkan
keadaan yang sangat asam. Semua sekresi eksokrin ini dikeluarkan ke lumen
lambung dan mereka berperan dalam membentuk getah lambung (gastric
juice )(Sherwood, 2010).

Sel mukus cepat membelah dan berfungsi sebagai sel induk bagi semua sel
baru di mukosa lambung. Sel-sel anak yang dihasilkan dari pembelahan sel akan
bermigrasi ke luar kantung untuk menjadi sel epitel permukaan atau berdiferensiasi
ke bawah untuk menjadi sel utama atau sel parietal. Melalui aktivitas ini, seluruh
mukosa lambung diganti setiap tiga hari (Sherwood, 2010).
Kantung-kantung lambung pada daerah kelenjar pilorik terutama
mengeluarkan mukus dan sejumlah kecil pepsinogen, yang berbeda dengan mukosa
oksintik. Sel-sel di daerah kelenjar pilorik ini jenis selnya adalah sel parakrin atau
endokrin. Sel-sel tersebut adalah sel enterokromafin yang menghasilkan histamin, sel
G yang menghasilkan gastrin, sel D menghasilkan somatostatin. Histamin yang
dikeluarkan berperan sebagai stimulus untuk sekresi asetilkolin, dan gastrin. Sel G
yang dihasilkan berperan sebagai stimuli sekresi produk protein, dan sekresi
asetilkolin. Sel D berperan sebagai stimuli asam (Sherwood, 2010).

11
Fisiologi lambung terdiri dari dua fungsi yaitu, fungsi motorik sebagai proses
pergerakan dan fungsi pencernaan yang dilakukan untuk mensintesis zat makanan,
dimana kedua fungsi ini akan bekerja bersamaam, berikut adalah fisiologi lambung :
a. Fungsi motorik :
1) Reservoir, yaitu menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedkit demi
sedikit dicernkan dan bergerak pada saluran cerna. Menyesuaikan
peningkatan volume tanpa menambah tekanan dan relaksasi reseptif otot
polos.
2) Mencapur, yaitu memecahkan makanan menjadi partikel-partikel kecil dan
mencampurnya dengan getah lambung melauli kontraksi otot yang
mengeliligi lambung.
3) Pengosongan lambung, diatur oleh pembukaan sfingter pilorus yang
dipengaruhi oleh viskositas, volume, keasaman, aktivitas osmotik, keadaan
fisik, emosi, aktivitas dan obat-obatan.

12
b. Fungsi pencernaan :
1) Pencernaan protein, yang dilakukan oleh pepsin dan sekresi HCl dimulai
pada saat tersebut. Pencernaan kabohidrat dan lemak oleh amilase dan
lipase dalam lambung sangat kecil.
2) Sistesis dan pelepasan gastrin, hal ini dipengaruhi oleh protein yang
dimakan, peregangan antrum, alkalinisasi antrum dan rangsangan vagus.
3) Sekresi faktor intrinsik, yang memungkinkan terjadinya absorpsi vitamin
B2 dari usus halus bagian distal.
4) Sekresi mukus, sekresi ini membentuk selubung yang melindungi lambung
serta berfungsi sebagai pelumas sehigga makanan lebih mudah diangkut.

Sekesi caian lambung memiliki 3 fase yang bekerja selama berjam-jam. Berikut
adalah fase-fase tersebut :
a. Fase sefalik, berfungsi untuk mempersiapkan lambung dari kedatangan
makanan dengan memberikan reaksi terhadap stimulus lapar, rasa makanan atau
stimulus bau dari indra penghidu. Reaksi lambung pada fase ini dengan
meningkatkan volume lambungdari stimulasi mukus, enzim dan prooduksi
asam, serta pelepasan gastrin oleh sel-sel G dalam durasi yang relatif singkat.
b. Fase gaster, berfungsi untuk memulai pengeluaran sekresi dari kimus dan
terjadinya permulaan digesti protein oleh pepsin. Reaksi tersebut terjadi dalam
durasi yang agak lama mencapai 3-4 jam. Saat reaksi ini selain terjadi
peningkatan produksi asam dan pepsinogen juga terjadi penigkatan motiltas dan
proses penghancuran material.
c. Fase intestinal, berfungsi untuk mengontrol pengeluaran kimus ke duodenum
dengan durasi yang lama dan menghasilkan reaksi berupa umpan balik dalam
menghambat produksi asam lambung dan pepsinogen serta pengurangan
motilitas lambung.

13
2.1.6 Usus Halus (Usus Kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak
di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar
( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah
Luar ). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus
kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).

Ada 3 jenis kontraksi otot polos pada usus halus antara lain :
a. Pistaltik, yaitu gerakan yang akan mendorong isi usus (kimus) ke arah usus
besar.
b. Kontraksi segmentalis, merupakan kontrasi mirip-cincin yang muncul dalam
interval yang relatif teratur di sepanjang usus lalu menghilang dan digantikan
oleh serangkaian kontrakisi cincin lain di segmen-segmen diantara kontraksi
sebelumnya. Kontrasi ini mendorong kimus maju mundur dan meningkatkan
pemajanannya dengan pemukaan mukosa.
c. Kontrasi tonik, merupakan kontraksi yang relatif lama untuk mengisolasi satu
segmen usus dngan segmen lain.

2.1.6.1 Usus Dua Belas Jari (Duodenum)


Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak
setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua
belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale
dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ
retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum.

14
pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus
dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.
Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua
belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum),
yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam
duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus.
Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti
mengalirkan makanan.

2.1.6.2 Usus Kosong


Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian
kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan
(ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2
meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan
dalam tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus
(vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan
dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis
pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak
Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara
makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti "lapar" dalam
bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti
"kosong".

2.1.6.3 Usus Penyerapan (Illeum)


Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah
duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7

15
dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-
garam empedu.

2.1.7 Usus Besar (Kolon)


Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Kolon memiliki
diameter yang lebih besar dari usus halus. Kolon terdiri atas sekum-sekum yang
membentuk kantung-kantung sebagai dinding kolon (haustra). Pada pertengahannya
terdapat serat-serat lapisan otot eksterrnalnya tekumpul menjadi 3 pita longitudinal
yang disebut taenia koli. Bagian ileum yang mengandung katup ileosekum sedikit
menonjol ke arah sekum, sehingga peningkatan tekanan kolon akan menutupnya
sedangkan peningkatan tekanan ileum akan menyebabkan katup tersebut terbuka.
Katup ini akan secara efektif mencegah refluks isi kolon ke dalam illeum.
Dalam keadaan normal katup in akan tertutup. Namun, setiap gelombang
peristaltik, katup akan terbuka sehingga memungkinkan kimus dari ileum memasuki
sekum. Pada kolon terjadi penyerapan air, natrium dan mineral lainnya. Kontraksi
kerja massa pada kolon akan mendorong isi kolon dari satu bagian kolon ke bagian
lain. Kontraksi ini juga akan mendorong isi kolon menuju ke rektum. Dari rektum
gerakan zat sisa akan terdorong keluar menuju anus dengan perenggangan rektum dan
kemudian mencetus refleks defekasi.
Usus besar terdiri dari :
 Kolon asendens (kanan)
 Kolon transversum
 Kolon desendens (kiri)
 Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)

Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna


beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar
juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk

16
fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan
gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa
menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.

2.1.8 Usus Buntu


Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, "buta") dalam istilah anatomi
adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa
jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan
karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya
digantikan oleh umbai cacing.

2.1.9 Umbai Cacing (Appendix)


Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi
pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah
dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen
atau peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia, umbai cacing
atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah hujung
buntu tabung yang menyambung dengan caecum.

17
Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa,
Umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm.
Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda - bisa
di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.
Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan),
sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik.
Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendektomi.

2.1.10 Rektum dan Anus


Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah
ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di
anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya
rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon
desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka
timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum
karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering
kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali
dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan
keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam
pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah
keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian
lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses
dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar - BAB), yang merupakan
fungsi utama anus.

18
2.1.11 Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi
utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti
insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat dengan
duodenum (usus dua belas jari).
Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :
a. Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan
b. Pulau pankreas, menghasilkan hormon

Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan


hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna
protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam bentuk
yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif. Enzim ini
hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga melepaskan
sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum dengan
cara menetralkan asam lambung.

2.1.12 Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan
memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.
Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa
fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan
penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Istilah
medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepat- atau hepatik dari
kata Yunani untuk hati, hepar.
Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan
pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam
vena yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke
dalam hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil

19
di dalam hati, dimana darah yang masuk diolah. Hati melakukan proses tersebut
dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya dengan zat-zat gizi, darah dialirkan
ke dalam sirkulasi umum.

2.1.13 Empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah
pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses
pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan
berwarna hijau gelap - bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna
cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua
belas jari melalui saluran empedu.
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
a. Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
b. Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin
(Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

20
2.2 Patofisiologis Gastrointestinal
2.2.1 Gastritis

Sakit maag atau yang dalam istilah medis dikenal sebagai gastritis
adalah peningkatan produksi asam lambung sehingga terjadi iritasi lambung.
Gastritis disebabkan oleh banyak faktor antara lain makan pedas dan asam,
alkohol dan stress. Gastritis adalah suatu proses inflamasi pada lapisan
mukosa dan submukosa lambung. Secara histopatologik dapat dibuktikan
adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Secara garis besar,
gastritis dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, atas dasar:

1. Manifestasi klinik

2. Gambaran histologi yang khas pada gastritis

3. Distribusi anatomik

4. Kemungkinan patogenesis gastritis

Insidensi gastritis meningkat dengan lanjutnya usia. Gastritis


atrofikans merupakan penyebab tersering terjadinya hipo atau aklorhidia.
Gastritis akut sering diakibatkan oleh konsumsi alkohol, obat-obatan
(terutama anti-inflamasi non-steroid) dan toksin stafilokokus. Jenis superfisial
ditandai dengan adanya inflamasi, edema, dan produksi mukus yang
berlebihan. Pada jenis hipertrofikans secara endoskopik terlihat adanya
pembengkakan mukosa, sehingga berbentuk seperti spons, disertai adanya
ulserasi dan erosi di mana-mana.

Gastritis dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Gastritis akut

21
Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar merupakan
penyakit ringan dan sembuh sempurna. Salah satu bentuk gastritis akut yang
manifestasi klinisnya dapat berbentuk penyakit yang berat adalah gastritis
erosif atau gastritis hemoragik. Disebut gastritis hemoragik karena pada
penyakit ini dijumpai perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan
terjadi erosi yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada
beberapa tempat menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut

b. Gastritis kronik

Disebut gastritis kronik apabila infiltrasi sel-sel radang yang terjadi


pada lamina propria dan daerah intra epietal terutama terdiri atas sel-sel
radang kronik, yaitu limfosit dan sel plasma. Kehadiran granulosit neutrofil
pada daerah tersebut menandakan aktivitas inflamasi. Gatritis kronik biasanya
disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang paling sering menyebabkan gastritis
adalah Helicobacter pylori . Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang
menyerang sel permukaan, menyebabkan deskuamasi sel yang dipercepat dan
menimbulkan respon sel radang kronis pada mukosa 8 lambung. Helicobacter
pylori ditemukan lebih dari 90% dari hasil biopsi yang menunjukkan gastritis
kronis .

2.2.2 Dispepsia
1. Pengertian

Dispepsia adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen


bagian atas atau dada bagian bawah. Salah cerna (indigestion) mungkin
digunakan oleh pasien untuk menggambarkan dispepsia, gejala regurgitasi
atau flatus. Menurut Tarigan, dyspepsia merupakan kumpulan gejala berupa
keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap atau

22
episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh saat makan, cepat
kenyang, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah, heartburn, regurgitasi.

2. Etiologi

Penyebab dari sindrom dispepsia adalah :

 Adanya gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti


tukak gaster/duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
 Obat-obatan: seperti Obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS), aspirin,
beberapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya.
 Penyakit pada hepar, pankreas, sistem billier: hepatitis, pankreatitis,
kolesistitis kronik.
 Penyakit sistemik seperti: diabetes melitus, penyakit tiroid, dan
penyakit jantung koroner.
 Bersifat fungsional, yaitu: dispepsia yang terdapat pada kasus yang
tidak didapat adanya kelainan/gangguan organik yang dikenal sebagai
dispepsia funsional atau dispepsia non ulkus.
3. Tanda & Gejala Dispepsia
Gejala-gejala dispepsia, antara lain (Djojodiningrat, 2006):-

a. Nyeri terbakar dan rasa tidak nyaman di regio epigastrium


b. Nyeri saat lapar
c. Perasaan tekanan dan kembung
d. Perasaan kenyang
e. Cepat terasa penuh saat makan
f. Bersendawa, peningkatan emisi gas
g. Adanya refluks ke esofagus dari lambung

23
h. Mual dengan atau tanpa muntah
i. Muntah

4. Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk
menerangkan patogenesis terjadinya dispepsia fungsional, antara lain:
sekresi asam lambung, dismotilitas gastrointestinal, hipersensitivitas
viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor lingkungan, psikologis
(Djojoningrat, 2009).

a) Sekresi Asam Lambung


Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah
lambung setiap hari. Getah lambung ini mengandung berbagai macam
zat. Asam hidroklorida (HCl) dan pepsinogen merupakan kandungan
dalam getah lambung tersebut. Konsentrasi asam dalam getah
lambung sangat pekat sehingga dapat menyebabkan kerusakan
jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami
iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang
merupakan faktor pelindung lambung (Ganong, 2008). Kasus dengan
dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa
lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut
(Djojoningrat, 2009). Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat
terjadi akibat pola makan yang tidak teratur. Pola makan yang tidak
teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi dalam
pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung dalam
waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga
dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung (Rani, 2011).

24
b) Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional
terjadi perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas
antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi lambung saat
makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini
dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus dispepsia
fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-
80% kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual,
muntah, dan rasa penuh di ulu hati (Djojoningrat, 2009).
Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan
gejala dispepsia dan merupakan faktor penyebab yang mendasari
dalam dispepsia fungsional. Gangguan pengosongan lambung dan
fungsi motorik pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien
dengan dispepsia fungsional. Sebuah studi meta-analisis
menyelidiki dispepsia fungsional 26 dan gangguan pengosongan
lambung,ditemukan 40% pasien dengan dyspepsia fungsional
memiliki pengosongan lebih lambat 1,5 kali dari pasien normal
(Chan & burakoff 2010).

c. Hipersensitivitas viseral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor
kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009).
Beberapa pasien dengan dispepsia mempunyai ambang nyeri yang
lebih rendah. Peningkatan persepsi tersebut tidak terbatas pada
distensi mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon terhadap
stres, paparan asam, kimia atau rangsangan nutrisi, atau hormon,
seperti kolesitokinin dan glucagon-like peptide.

25
d) Gangguan akomodasi lambung
Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung
terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan
tekanan dalam lambung. Akomodasi lambung ini dimediasi oleh
serotonin dan nitric oxide melalui saraf vagus dari sistem saraf
enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional
terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus postprandial pada
40% kasus dengan pemeriksaan gastricscintigraphy dan
ultrasound (USG)

e) Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional
belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H.
pylori terdapat sekitar 50% pada dispepsia fungsional dan tidak
berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai terdapat
kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada
dispepsia fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan
pengobatan konservatif baku (Djojoningrat, 2009).
f) Diet
Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala
dispepsia fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung
mengubah pola makan karena adanya intoleransi terhadap beberapa
makanan khususnya makanan berlemak yang telah dikaitkan
dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan prevalensi yang
dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-rempah, alkohol,
makanan pedas, coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan (Chan &
Burakoff, 2010). 28
g) Faktor psikologis
Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan
antara dispepsia fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya
stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetusakan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya

26
penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului mual setelah
stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres
kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial
(Djojoningrat, 2009).

5. Prognosis
Statistik menunjukkan sebanyak 20% pasien dispepsia
mempunyai ulkus peptikum, 20% mengidap Irritable Bowel
Syndrome, kurang daripada 1% pasien terkena kanker, dan dispepsia
fungsional dan dyspepsia non ulkus adalah 5-40%.17
Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius,
contohnya penyakit ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia
disebabkan karena kanker lambung, sehingga harus diatasi dengan
serius. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan bila terdapat
salah satu dari tanda ini, yaitu: Usia 50 tahun ke atas, kehilangan berat
badan tanpa disengaja, kesulitan menelan, terkadang mual-muntah,
buang air besar tidak lancar dan merasa penuh di daerah perut.

6. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai
berikut:
1. Pencegahan Primordial

Merupakan pencegahan pada orang-orang yang belum memilik


faktor resiko dispepsia, dengan cara mengenali dan menghindari
keadaan/kebiasaan yang dapat mencetuskan serangan dispepsia, dan
untuk menghindari infeksi helicobacter pylori dilakukan dengan cara
menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan gizi, dan dan
penyediaan air bersih (Rani, 2011).

2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Berperan dalam mengolah dan mencegah timbulnya gangguan


akibat dispepsia pada orang yang sudah memiliki faktor resiko dengan

27
cara membatasi atau menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak
sehat seperti, makan tidak teratur, merokok, mengkonsumsi alkohol,
minuman bersoda, makanan berlemak, pedas, asam, dan menimbulkan
gas di lambung. Berat badan perlu dikontrol agar tetap ideal, karena
gangguan pada saluran pencernaan, seperti rasa nyeri di lambung,
kembung, dan konstipasi lebih umum terjadi pada orang yang
mengalami obesitas. Rajin olahraga dan manajemen stres juga dapat
menurunkan resiko terjadinya dispepsia (Redaksi, 2009).

3. Pencegahan Sekunder

a. Diet mempunyai peran yang sangat penting, dasar diet


tersebut adalah makan sedikit berulang kali, makanan harus mudah
dicerna, tidak merangsang peningkatan asam lambung, dan bisa
menetralisir asam HCL.

b. Obat-obatan untuk mengatasi dispepsia adalah antasida,


antagonis reseptor H2, penghambat pompa asam (proton pump
inhibitor= PPI), sitoprotektif, prokinetik, dan kadang dibutuhkan
psikoterapi, atau psikofarma (obat anti depresi atau cemas) untuk
penderita yang berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas,
dan depresi (Redaksi, 2009).

c. Bagi yang berpuasa untuk mencegah kambuhnya sindrom


disepsia, sebaiknya menggunakan obat anti asam lambung yang bisa
diberikan saat sahur dan berbuka untuk mengontrol asam lambung
selama berpuasa. Berbeda dengan dispepsia organik, bila si penderita
berpuasa kondisi asam lambungnya akan semakin parah. Penderita
boleh berpuasa setelah penyebab sakit lambungnya diobati terlebih
dahulu (Mansjoer, 2000).

4. Pencegahan Tersier

a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater,


dilakukan bagi penderita gangguan mental akibat tekanan yang
dialami penderita dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.

b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang


sudah lama dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan
ketika kembali ke masyarakat (Declan, 2001).

28
1. Pola makan

Pola Makan adalah gambaran mengenai macam, jumlah, dan


komposisi bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang
yang merupakan ciri khas dari suatu kelompok masyarakat tertentu
(Hartono, 2007). Menurut Depkes RI (2009) Pola Makan adalah suatu
cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan
maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi,
mencegah atau membantu kesembuhan penyakit.

Kebiasaan hidup yang dianjurkan pada dispepsia adalah pola


makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan
kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak
mengonsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol dan
pantang rokok, bila minum obat karena sesuatu penyakit, misalnya
sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi
lambung (Hartaty, 2012).

2.2.3 Gastro esophagus refluks disease (GERD)

Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu


kelainan yang sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal.
Etiologi dan Patogenesis. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan
terjadinya GERD. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal
apabila :

 Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esophagus
 Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus

Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai
rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan ejala disfagia
(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.

29
Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina
pectoris.

Mekanisme (Patofisiologi) terjadinya GERD

Sebelum menjadi nutrisi yang berguna bagi tubuh, makanan haruslah


melalui serangkaian proses pencernaaan. Proses pertama terjadi di mulut kita
dimana makanan dikunyah menjadi bagian yang lembut secara mekanik
dengan gigi dan secara enzimatis melalui enzim pencernaan seperti enzim
ptialin.

Setelah itu, maka dimulailah proses menelan. Makanan yang telah


hancur akan masuk ke dalam suatu terowongan yang dinamakan esofagus.
Gerakan peristaltis oleh sel otot pada esofagus akan membantu proses
menelan ini. Esofagus merupakan suatu jalan masuknya makanan ke dalam
lambung. Antara esofagus dan lambung, terdapat sebuah “pintu” yang
dinamakan lower esophageal sphincter (LES). Pintu ini terdiri dari
serangkaian otot yang membuka saat makanan masuk ke dalam lambung.
Setelah makanan masuk ke dalam lambung, maka asam lambung akan
dikeluarkan terutama oleh sel parietal lambung untuk mendegradasi makanan
menjadi senyawa-senyawa agar dapat diserap oleh tubuh. Setelah itu,
makanan akan masuk ke dalam usus (intestinal), pertama adalah usus halus.
Saat makanan masuk ke dalam usus, LES akan menutup agar gerakan gaster
yang mendorong makanan dapat secara efektif membawa makanan tersebut
masuk ke dalam usus. Jika LES tidak menutup sempurna, maka asam
lambung yang telah terbentuk di dalam lambung akan mengalami refluks
masuk ke dalam esofagus. Esofagus akan mengalami peradangan sehingga
penderita akan merasakan sensasi terbakar di daerah dada bagian tengah.
Peradangan ini akan bermanifestasi sebagai ulkus, striktur, atau barret

30
esofagitis (pada keadaan ini terjadi pertumbuhan sel secara abnormal yang
dikatakan sebagai permulaan terjadinya kanker).

2.2.4 Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun. Apendisitis adalah penyebab
paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen
dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Jadi,
dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada
umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering
terjadi.
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik :

 Apendisitis akut.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut
talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastriumdisekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

31
 Apendisitis kronik.

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan


adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%.

Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai


berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan
faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya
ini mempermudah timbulnya apendisitis akut.

Mekanisme (Patofisiologi) terjadinya Apendisitis

Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang


disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan
pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan
serat dalam makanan yang rendah. Apendisitis biasanya disebabkan oleh
penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda
asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

32
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Semakin lama mucus tersebut semakin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai
oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah,
dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan
bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran
arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih
pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

Manifestasi Klinik

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari
oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. nyeri
kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah
dan hilangnya nafsu makan. Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis

33
dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan,
menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens
perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-
pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien
yang lebih muda.

2.2.5 Diare
1. Pengertian

Diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali sehari, dengan/tanpa darah
dan lendir dalam tinja.9 Diare dikatakan sebagai keluarnya tinja berbentuk cair
sebanyak tiga kali atau lebih dalam dua puluh jam pertama, dengan temperatur
rectal di atas 38°C, kolik, dan muntah-muntah. Diare diartikan sebagai buang
air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dan frekuensinya lebih
banyak dari biasanya.

Diare dibedakan menjadi dua berdasarkan waktu serangan (onset) yaitu


diare akut dan diare kronik. 12 Diare akut adalah buang air besar dengan
frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan
bersifat mendadak datangnya, dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2
minggu.13 Diare kronik atau diare berulang adalah suatu keadaan
meningkatnya frekuansi buang air besar yang dapat berlangsung berminggu-
minggu atau berbulanbulan baik secara terus-menerus atau berulang, dapat
berupa gejala fungsional atau akibat suatu penyakit berat.

Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis


menjadi diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan
invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri
dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai

34
keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah,
demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja
rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis
didapati sel leukosit polimorfonuklear. Pada diare non inflamasi, diare
disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume
yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau
tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama
pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja
secara rutin tidak ditemukan leukosit.

Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare
osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan
osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare.
Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat
garam magnesium. Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit
baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat
terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau
pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non
osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal
polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.

Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik


usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat
infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy,
inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.

Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi
bakteri paling tidakada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus
dan penurunan absorbsi di usus.Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan

35
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses. Pada
dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi
mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus.

2. Tanda dan Gejala


Gejala diare adalah tinja yang encer dengan frekuensi 4kali atau lebih
dalam sehari, yang kadang disertai:
1. Muntah
2. Badan lesu atau lemah
3. Panas
4. Tidak nafsu makan
5. Darah dan lendir dalam kotoran

3. Etiologi Diare
Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare
pada anak dan balita. Infeksi rotavirus biasanya terdapat pada anak umur 6
bulan- 2 tahun (Suharyono,2008). Infeksi Rotavirus menyebabkan sebagian
besar perawatan rumah sakit karena diare berat pada anak- anak kecil
merupakan infeksi nasokomial yang signifikan oleh mikroorganisme
pathogen. Salmonella, Shigella dan Campylobacter merupakan bakteri
pathogen yang paling sering di isolasi. Mikroorganisme Giardia lamblia dan
Cryptosporodium merupakan parasit yang paling sering menimbulkan diare
infeksius akut (Wong,2009). Selain Rotavirus, telah ditemukan juga virus
baru yaitu Norwalk virus. Virus ini lebih banyak pada kasus orang dewasa
dibandingkan anak- anak (Suharyono, 2008). Kebanyakan mikroorganisme
penyebab diare disebarluaskan lewat jalur fekal oral melalui makanan, air
yang terkontaminasi atau ditularkan antar manusia dengan kontak yang erat
(Wong, 2009).

36
4. Patofisiologi
Patofisiologi dasar dari semua diare adalah gangguan transportasi
larutan usus, perpindahan air melalui membran usus berlangsung secara
pasif dan hal ini ditentukan oleh aliran larutan secara aktif maupun pasif,
terutama natrium, klorida, dan glukosa (Ulscen, 2000).

Mekanisme (Patofisiologi) terjadinya diare

Memakan makanan yang asam, pedas, atau bersantan sekaligus secara


berlebihan dapat menyebabkan diare juga karena membuat usus kaget. Hal ini
terjadi ketika cairan yang tidak mencukupi diserap oleh usus besar. Sebagai
bagian dari proses digestasi, atau karena masukan cairan, makanan tercampur
dengan sejumlah besar air. Oleh karena itu makanan yang dicerna terdiri dari
cairan sebelum mencapai usus besar. Usus besar menyerap air, meninggalkan
material yang lain sebagai kotoran yang setengah padat. Bila usus besar rusak /
radang, penyerapan tidak terjadi dan hasilnya adalah kotoran yang berair.

Mekanisme patofisiologi

a. Osmolalitas intraluminal yang meninggi, disebut diare sekretorik.

b. Sekresi cairan dan elektrolit meninggi.

c. Malabsorbsi asam empedu.

d. Defek sistem pertukaran anion atau transport elektrolit aktif di enterosit.

e. Motilitas dan waktu transport usus abnormal.

f. Gangguan permeabilitas usus.

g. Inflamasi dinding usus disebut diare inflamatorik.

h. Infeksi dinding usus.

37
Manifestasi Klinis

Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah


dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut. Diare
yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat
dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang
mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa
asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa
haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi
menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala
ini disebabkan deplesi air yang isotonik.

a. Infeksi non-invasif.

Stafilococcus aureus

Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan


yang mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang tidak
tepat cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan makanan terkontaminasi.
Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang
kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang terjadi.
Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat pada
pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Diagnosis
ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang terkontaminasi, atau
dari kotoran dan muntahan pasien. Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik.
Tidak ada peranan antibiotik dalam mengeradikasi stafilokokus dari makanan
yang ditelan.

38
Bacillus cereus

B.cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.


Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan
gejala muntah lebih dominan. Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah
asupan makanan terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang
dari 24 jam. Gejala akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali
berakhir setelah 10 jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16 jam setelah asupan
makanan terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual
dan muntah jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Clostridium perfringens

C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk


spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari
enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 – 24
jam setelah asupan produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan
nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang
terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.

Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari


105 organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan
C perfringens. Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel
polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan. Terapi
dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Vibrio cholerae

V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan


menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi
setelah 3 – 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat

39
mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP,
sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan
air yang terkontaminasi. Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah,
yang secara cepat menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien
kekurangan elektrolit dan volume darah. Demam ringan dapat terjadi.

Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang
signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat
ditemukan V.cholerae. Target utama terapi adalah penggantian cairan dan
elektrolit yang agresif. Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral.
Kasus yang parah memerlukan cairan intravena. Antibiotik dapat mengurangi
volume dan masa berlangsungnya diare. Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari
selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal, merupakan
pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan cairan menurunkan
angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral memberikan efikasi lebih
tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral.

Escherichia coli patogen

E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong.


Mekanisme pathogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada
beberapa agen penting, yaitu :

 Enterotoxigenic E. coli (ETEC)


 Enterophatogenic E. coli (EPEC)
 Enteroadherent E. coli (EAEC).
 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
 Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)

40
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala
ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang
terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24
jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3
pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah
putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan
penyakit self limited, dengan tidak ada gejala sisa. Pemeriksaan laboratorium
tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit feses jarang ditemui, kultur feses
negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan
pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe O157. Terapi dengan
memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari pada penyakit yang
parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon
yang diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui akan
mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus
dihindari pada diare yang berhubungan dengan EHEC.

b. Infeksi Invasif

Shigella

Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.


Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons
inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri. Secara klasik,
Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen, demam, BAB
berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri abdomen,
dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 – 5 hari
kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada
kasus yang lebih parah menetap selama 3 – 4 minggu. Shigellosis kronis dapat
menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.

41
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala
pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic
Syndrome. Artritisoligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak
terjadinya disentri.Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel
darah merah. Kulturfeses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan
sensitivitas antibiotik.Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau
intravena, tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari.
Terapi antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit
dan penyebaran bakteri. Trimetoprimsulfametoksazole atau fluoroquinolon dua
kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotic yang dianjurkan.

Salmonella nontyphoid

Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di


Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium
merupakan penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan
diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang
terjadi. Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari. Pulasan kotoran
menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se. Kultur darah positip pada
5 – 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien terinfeksi HIV. Terapi
pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat.
Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan
resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis,
usia ekstrem ( bayi dan berusia> 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala
sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis,abses). Pilihan antibiotik adalah
trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperticiprofloxacin atau
norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7 hari atau Sephalosporin generasi
ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat diberi oral.

42
Salmonella typhi

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam


tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang,
splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya.
Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer
yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini
biasanya adalah makanan terkontaminasi. Setelah bakterimia, organisma ini
bersarang pada sistem retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada lymph
nodes dan Peyer pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif dan
ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan
gastrointestinal.

Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14


hari. Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan
perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan
defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash.
Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia,
keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebirubiruan dan
berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan
klinis.

Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif


pada 90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses
positif pada minggu kedua dan ketiga.Perforasi dan perdarahan gastrointestinal
dapat terjadi selama jangka waktu penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun
infeksi kronis kandung empedu dapat menjadi karier dari pasien yang telah
sembuh dari penyakit akut. Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali
sehari selama 2 minggu. Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang,
sering kambuh dan karier disarankan sepalosporin generasi ketiga dan

43
flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga menunjukkan effikasi sangat baik
melawan S. Thypi dan harus diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti
ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari, telah menunjukkan efikasi
yang tinggi dan status karier yang rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan
parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.

Campylobakter

Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus,


sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit
toksin dan invasi pada mukosa.

Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari


asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah
organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan nyeri
abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin timbul
adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7
hari. Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat
ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin
dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik
diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata terkena
sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali
sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya,
penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.

Vibrio non-kolera

Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya


gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah
dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual,
berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang

44
memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan.
Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien
dengan diare parah atau diare lama, direkomendasikan menggunakan
tetrasiklin.

Yersinia

Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai


dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi
epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum
merupakan daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga
terinvasi. Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang
dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema
multiforme). Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis,
mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses.
Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan
hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan
pada penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan
Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.

Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)

EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini
terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10
hari setelah asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan
penyebab utama diare infeksius. Subtipe0157 : H7 dapat dihubungkan dengan
perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control
(CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab diare
berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga,
yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan

45
kerusakan ginjal. Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat
(hingga 10-12 kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang
menjadi berdarah. Nyeri abdomen berat dan kejang biasa terjadi, mual dan
muntah timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi
abdomen dan nyeri tekan pada kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3
pasien. Hingga 1/3 pasien memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis
sering terjadi. Urinalisa menunjukkan hematuria atau proteinuria atau
timbulnya lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit
< 30%), trombositopenia (<150 x 109 /L), dan insufiensi renal (BUN >20
mg/dL) adalah diagnosa HUS. HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa
6 hari setelah terkena diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-
anak dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik
juga meningkatkan resiko. Hampir 60% pasien dengan HUS akan sembuh, 3-
5% akan meninggal, 5% akan berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan
30% akan mengalami gejala sisa proteinuria. Trombosit trombositopenik
purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang dari pada HUS.

Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe


biasanya dilakukan pada laboratorium khusus. Terapi dengan penggantian
cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan vaskuler. Antibiotik tidak efektif
dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi infeksi EHEC. Nyatanya pada
beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat meningkatkan resiko HUS.
Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari. Fosfomisin dapat
memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.

Aeromonas

Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.


Aeromonas menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin,
dan sitotoksin. Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang

46
feses berdarah. Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari
biakan kotoran. Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang
atau kondisi yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia,
termasuk malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised.
Pilihan antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole.

Plesiomonas

Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.


Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa
olah dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri
abdomen, demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang
dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses. Antibiotik dapat
memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah tritoprim
sulfametoksazole.

2.2.6 Konstipasi
1. Pengertian

Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi


dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi
defekasi kurang dari tiga kali per minggu dan konsistensi tinja lebih keras dari
biasanya. Konstipasi fungsional didasarkan atas tidak dijumpainya kelainan
organik ataupun patologis yang mendasarinya walau telah dilakukan
pemeriksaan objektif yang menyeluruh. Menurut North American Society of
Gastroenterology and Nutrition, konstipasi didefinisikan dengan kesulitan atau
lamanya defekasi, timbul selama 2 minggu atau lebih, dan menyebabkan
ketidaknyamanan pada pasien. Paris Consensus on Childhood Constipation
Terminology menjelaskan definisi konstipasi sebagai defekasi yang terganggu
selama 8 minggu dengan mengikuti minimal dua gejala sebagai berikut:

47
defekasi kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia, frekuensi tinja lebih
besar dari satu kali per minggu, massa tinja yang keras yang dapat mengetuk
kloset, massa tinja teraba di abdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat
defekasi.

2. Klasifikasi Konstipasi

Ada 2 jenis konstipasi berdasarkan lamanya keluhan yaitu konstipasi


akut dan konstipasi kronis. Disebut konstipasi akut bila keluhan
berlangsung kurang dari 4 minggu. Sedangkan bila konstipasi telah
berlangsung lebih dari 4 minggu disebut konstipasi kronik. Penyebab
konstipasi kronik biasanya lebih sulit disembuhkan Kasdu ( 2005 )

3. Patofisiologi Konstipasi

Pengeluaran feses merupakan akhir proses pencernaan. Sisa-sisa


makanan
yang tidak dapat dicerna lagi oleh saluran pencernaan, akan masuk kedalam
usus besar ( kolon ) sebagai massa yang tidak mampat serta basah. Di sini,
kelebihan air dalam sisa-sisa makanan tersebut diserap oleh tubuh. Kemudian,
massa tersebut bergerak ke rektum ( dubur ), yang dalam keadaan normal
mendorong terjadinya gerakan peristaltik usus besar. Pengeluaran feses secara
normal, terjadi sekali atau dua kali setiap 24 jam ( Akmal, dkk, 2010 ).

Kotoran yang keras dan sulit dikeluarkan merupakan efek samping


yang tidak nyaman dari kehamilan. Sembelit terjadi karena hormon-hormon
kehamilan memperlambat transit makanan melalui saluran pencenaan dan
rahim yang membesar menekan poros usus ( rektum ). Suplemen zat besi
prenatal juga dapat memperburuk sembelit. Berolahraga secara teratur,
menyantap makanan yang kaya serat serta minum banyak air dapat membantu
meredakan masalah tersebut ( Kasdu,2005 ).

4. Tanda dan Gejala Konstipasi

Menurut Akmal, dkk (2010), ada beberapa tanda dan gejala yang
umum ditemukan pada sebagian besar atau terkadang beberapa penderita
sembelit sebagai berikut:

a. Perut terasa begah, penuh dan kaku;


b. Tubuh tidak fit, terasa tidak nyaman, lesu, cepat lelah sehingga malas
mengerjakan sesuatu bahkan terkadang sering mengantuk;

48
c. Sering berdebar-debar sehingga memicu untuk cepat emosi,
mengakibatkan stress, rentan sakit kepala bahkan demam
d. Aktivitas sehari-hari terganggu karena menjadi kurang percaya diri,
tidak
bersemangat, tubuh terasa terbebani, memicu penurunan kualitas, dan
produktivitas kerja
e. Feses lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, dan lebih sedikit
daripada biasanya
f. Feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, pada saat
bersamaan tubuh berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan
atupun menekannekan perut terlebih dahulu supaya dapat
mengeluarkan dan membuang feses ( bahkan sampai mengalami
ambeien/wasir )
g. Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai terganjal
sesuatu disertai rasa sakit akibat bergesekan dengan feses yang kering
dan keras atau karena mengalami wasir sehingga pada saat duduk tersa
tidak nyaman
h. Lebih sering bung angin yang berbau lebih busuk daripada biasanya
i. Usus kurang elastis ( biasanya karena mengalami kehamilan atau usia
lanjut), ada bunyi saat air diserap usus, terasa seperti ada yang
mengganjal, dan gerakannya lebih lambat daripada biasanya
j. Terjadi penurunan frekuensi buang air besar
Adapun untuk sembelit kronis ( obstipasi ), gejalanya tidak terlalu
berbeda hanya sedikit lebih parah, diantaranya:
a. Perut terlihat seperti sedang hamil dan terasa sangat mulas
b. Feses sangat keras dan berbentuk bulat-bulat kecil
c. Frekuensi buang air besar dapat mencapai berminggu-minggu
d. Tubuh sering terasa panas, lemas, dan berat
e. Sering kurang percaya diri dan terkadang ingin menyendiri

5. Patofisiologi

Pengeluaran feses merupakan akhir proses pencernaan. Sisa-sisa


makanan yang tidak dapat dicerna lagi oleh saluran pencernaan, akan
masuk kedalam usus besar ( kolon ) sebagai massa yang tidak mampat
serta basah. Di sini, kelebihan air dalam sisa-sisa makanan tersebut
diserap oleh tubuh. Kemudian, massa tersebut bergerak ke rektum ( dubur
), yang dalam keadaan normal mendorong terjadinya gerakan peristaltik
usus besar. Pengeluaran feses secara normal, terjadi sekali atau dua kali
setiap 24 jam ( Akmal, dkk, 2010 ).

Kotoran yang keras dan sulit dikeluarkan merupakan efek samping


yang tidak nyaman dari kehamilan. Sembelit terjadi karena hormon-

49
hormon kehamilan memperlambat transit makanan melalui saluran
pencenaan dan rahim yang membesar menekan poros usus ( rektum ).
Suplemen zat besi prenatal juga dapat memperburuk sembelit.
Berolahraga secara teratur, menyantap makanan yang kaya serat serta
minum banyak air dapat membantu meredakan masalah tersebut ( Kasdu,
2005 ).

Mekanisme (Patofisiologi) terjadinya Konstipasi

Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum.


Regangan tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna
yang akan direspon dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Saat proses
defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan
relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka,
membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan
mengedan, yaitu meningkatnya tekanan abdomen dan kontraksi rektum, akan
mendorong tinja keluar melalui anus. Pada posisi jongkok, sudut antara anus
dan rektum ini akan menjadi lurus akibat fleksi maksimal dari paha. Hal ini
akan memudahkan proses defekasi dan tidak memerlukan tenaga mengedan
yang kuat. Pada posisi duduk, sudut antara anus dan rektum ini menjadi tidak
cukup lurus sehingga membutuhkan tenaga mengedan yang lebih kuat. Akibat
semakin kuat tenaga mengedan yang dibutuhkan, lama - kelamaan dapat
menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat menimbulkan
konstipasi dan hemorrhoid.

6. Pengobatan Konstipasi

Menurut Herawati (2012), pengobatan konstipasi pada ibu hamil dapat


dibagi menjadi dua cara, yaitu terapi non obat dan terapi obat.
a. Terapi non abat

Pada umumnya, konstipasi pada masa kehamilan dapat diatasi dengan


melakukan penyesuaian pola makan dan perubahan gaya hidup. Makanan
kaya serat (30-35%), misalnya gandum, buah-buahanan dan sayuran dapat

50
meringankan konstipasi. Namun , mengkomsumsi makanan kaya serat dalam
jumlah besar secara tiba-tiba dapat menyebabkan perut terasa tidak enak dan
kembung. Ibu hamil sebaiknya mengkonsumsi makanan secara teratur dan
minum air dalam jumlah cukup (6-8 gelas/hari). Perubahan gaya hidup,
misalnya: olahraga teratur dapat memperbaiki saluran cerna.

b. Terapi obat

Obat pencahar digunakan apabila konstipasi tidak dapat diatasi dengan


penyesuaian jenis makanan dan perubahan gaya hidup saja. Kriteria obat
pencahar yang boleh diberikan kepada ibu hamil adalah:
1) Efektif,
2) Tidak diserap oleh saluran cerna,
3) Tidak teratogenik ( tidak menyebabkan cacat pada janin ), dan
4) Dapat ditoleransi dengan baik ( tidak menimbulkan efek samping pada ibu
dan janin ).

2.2.7 Mual dan Muntah


1. Pengertian
Mual didefinisikan sebagai sensasi subjektif tidak nyaman untuk
muntah. Muntah adalah suatu refleks paksa untuk mengeluarkan isi
lambung melalui esophagus dan keluar dari mulut.

2. Anatomi Dan Patofisiologi Mual Muntah


Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti
namun beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual
dan muntah telah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah,
kumpulan saraf – saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf –saraf
ini menerima input dari :
1. Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema
2. Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan
mual karena penyakit telinga tengah)
3. Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)
4. Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan
dengan cedera fisik)
5. Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag
refleks)

51
Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ.
Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.

a. Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh


kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama
operasi.

b. Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif


terhadap stimulus kimia.

Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata,


memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus
tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ)
berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat
merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract,
mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat
muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat
batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di
telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah.
Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau
zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang
CTZ.
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah
yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan
perasaaan takut yang tidak nyaman. Nukleus traktus solitaries dapat juga
menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan
parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna
35
dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat dirangsang melalui
pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga
14
tengah.
Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan
neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius
mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan
reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke
pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat
ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke
vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk
melakukan refleks muntah.

52
53
3. Etiologi
Penyebab muntah dibagi menjadi 3 fase berbeda, yaitu (Walsh, 1997 :
479).

1. Nausea
Merupakan sensasi psikis yang dapat ditimbulkan akibat rangsangan pada
organ-organ dalam, labirin, atau emosi dan tidak selalu diikuti oleh
retching atau muntah.

2. Retching,
Merupakan fase di mana terjadi gerak nafas pasmodik dengan glotis
tertutup, bersamaan dengan adanya usaha inspirasi dari otot dada dan
diafragma sehinggamenimbulkan tekanan intratoraks yang negatif.

3. Emesis,
Terjadi bila fase retching mencapai puncaknya yang ditandai dengan
kontraksi kuatotot perut, diikuti dengan bertambah turunnya diafragma,
disertai penekanan mekanismeanti refluks. Pada fase ini, pilorus dan
antrum berkontraksi, fundus dan eksofagus relaksasi,dan mulut terbuka.

Obat-obat yang dapat menyebabkan mual dan muntah, seperti obat


kemoterapikanker, opioid, NSAID, antibiotik, dan estrogen dapat
menyebabkan mual dan muntah.Pengobatan yang lain, seperti penggunaan
digitalis atau teofilin, dapat menyebabkan mualmuntah seperti pada orang
keracunan

4. Pengobatan

Telah banyak penelitian tentang penatalaksanaan PONV ini.


Dibawah ini akan dijelaskan tentang penatalaksanaan PONV baik yang
bersifat farmakologikal ataupun non farmakologikal.
Farmokologikal :

 Antagonist reseptor Serotonin: bahwa tidak ada perbedaan efek


dan keamanannya diantara golongan –golongan Antagonist
reseptor Serotonin tersebut, seperti Ondansetron , Dolasetron,
Granisetron, dan Tropisetron untuk profilaksis PONV. Obat ini
efektif bila diberikan pada saat akhir pembedahan. Banyak
penelitian dari golongan obat ini seperti Ondansetron dimana
mempunyai efek anti muntah yang lebih besar dari pada anti mual.

54
 Antagonist Dopamin: Reseptor Dopamin ini mempunyai reseptor
di CTZ, bila reseptor ini dirangsang akan terjadi muntah,
antagonist Dopamin tersebut seperti:Benzamida (Metoklopramide
dan Domperidon),Phenotiazine (Clorpromazine dan
Proclorpromazine), dan Butirophenon( Haloperidol dan
Droperidol).
 Antihistamin: Obat ini ( Prometazine dan Siklizine ) memblok H1
dan Reseptor muskarinik di pusat muntah. Obat ini mempunyai
efek dalam penatalaksanaan PONV yang berhubungan dengan
aktivasi sistem vestibular tetapi mempunyai efek yang kecil untuk
muntah yang dirangsang langsung di CTZ
 Obat Antikholinergik: Obat ini ( Hyoscine hydrobromide atau
Scopolamin) mencegah rangsangan di pusat muntah dengan
memblok kerja dari acetylcolin di pada reseptor muskarinik di
system vestibular.
 E. Steroid : Dalam hal ini obat yang sering digunakan adalah
deksametason. Deksametason berguna sebagai profilaksis PONV
dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin. Efek samping
pemakaian berulang deksametason adalah peningkatan infeksi,
supressi adrenal, tetapi tidak pernah dilaporkan efek samping
timbul pada pemakaian dosis tunggal. Obat ini juga menurunkan
motilitas lambung dan rangsangan aferen di pusat muntah, efek
samping yang sering terjadi pada obat ini adalah pandangan kabur,
retensi urine, mulut kering, drowsiness.

Non Farmakologikal
Ada bebagai macam tehnik non farmakologikal termasuk
akupuntur, rangsangan saraf melalui transkutaneus, acupoint
stimulation, acupressure.

Ondansetron

Ondansetron adalah derivate carbazalone yang strukturnya


berhubungan dengan serotonin dan merupakan antagonis reseptor
5-HT3 subtipe spesifik yang berada di CTZ dan juga pada aferen

vagal saluran cerna, tanpa mempengaruhi reseptor dopamine,


histamine, adrenergik, ataupun kolinergik. Obat ini memilki efek

55
neurologikal yang lebih kecil dibanding dengan Droperidol
ataupun Metoklopramid

Deksametason

Deksametason adalah obat golongan steroid yang


mekanisme kerjanya berhubungan dengan mencegah pembentukan
prostaglandin dan merangsang pelepasan endorphin, yang
8
mempengaruhi mood dan tingkat ketenangan.

Mekanisme kerja deksametason dengan inhibisi pelepasan


asam arachidonat, modulasi substansi yang berasal dari
metabolisme asam arachidonat, dan pengurangan jumlah 5-HT.

56
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai


anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran
darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa
proses tersebut dari tubuh.

Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan,


lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi
organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan
kandung empedu.

Peradangan sistem pencernaan bisa menimpa siapa saja. Gejala ini biasanya
ditandai dengan perut terasa panas sesudah makan atau muncul bercak darah ketika
buang air besar. Usus akan terasa sakit karena terjadi peradangan dan biasanya
disertai gejala diare, muntah dan menurunnya berat badan. Untuk mengatasi hal itu,
para ilmuwan telah menemukan beberapa jenis serat larut yang dapat membantu
mencegah bakteri menempel pada dinding usus, sehingga mengurangi perkembangan
penyakit ini.
Infeksi pada sistem pencernaan dapat disebabkan oleh pola makan yang salah,
infeksi bakteri, dan kelainan alat pencernaan. Di antara gangguan-gangguan ini
adalah diare, sembelit, tukak lambung, peritonitis, kolik, sampai pada infeksi usus
buntu (apendisitis). Obstruksi pintu keluar lambung akibat peradangan dan edema,
pilorospasme, atau jaringan parut, terjadi pada sekitar 5% penderita tukak peptic.

57
Obstruksi timbul lebih sering pada penderita tukak duodenum, tetapi kadang-kadang
terjadi bila tukak lambung terletak dekat dengan sfingter pylorus.
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut atau kronik,
parsial atau total. Obstruksi usus kronik biasanya mengenai kolon akibat karsinoma,
dan perkembangannya lambat. Sebagian obstruksi mengenai usus halus.

3.2 Saran

Dengan selesainya makalah ini disarankan kepada para pembaca agar dapat
lebih memperdalam lagi pengetahuan tentang Patofisiologi Kelainan Sistem
Pencernaan.

58

Anda mungkin juga menyukai