Anda di halaman 1dari 30

UJI AKTIVITAS TABIR SURYA EKSTRAK ETANOL DAUN

PETAI BELALANG (Archidendron Clypearia (Jack) Nielson)


SECARA IN VITRO DAN IN VIVO

PROPOSAL

Oleh:

HAJRAH MIRANDA HAKIM


NIM : 1601017

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
PEKANBARU
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara tropis, dimana sinar matahari memberikan

pengaruh yang besar terhadap makhluk hidup. Salah satunya berperan dalam

mencegah atau mengobati gangguan pada tulang dengan cara mengaktifkan

provitamin D3 yang terdapat pada epidermis kulit menjadi vitamin D3 (Syifa,

2010). Selain memberikan manfaat, paparan sinar matahari juga dapat

menimbulkan kerugian terutama jika paparannya berlebih diantaranya dapat

menyebabkan hiperpigmentasi pada kulit, eritema, kulit terbakar, penuaan dini

dan kanker kulit (Pradika, 2016).

Sinar matahari yang dapat memberikan pengaruh buruk pada kulit yakni

sinar radiasi ultraviolet (UV). Radiasi UV ini terdiri dari UV-A (320-400 nm),

UV-B (290-320 nm) serta UV-C (200-290 nm). UV-C di saring oleh ozon pada

lapisan stratosfer, sehingga hanya UV-A dan UV-B yang dapat mencapai

permukaan bumi (Suda, 2013). Moloney dkk (2002) dalam Pradika (2016)

mengemukakan bahwa sinar UV-B lebih merusak kulit daripada UV-A karena

dapat menyebabkan kulit terbakar dan kanker kulit.

Paparan radiasi ultraviolet dalam jangka waktu yang lama dapat

meningkatkan radikal bebas didalam tubuh. Radikal bebas ini merupakan

pemicu terjadinya kanker kulit dan berbagai kelainan pada kulit (Suda, 2013).
Mambro dan Fonseca (2004), menyatakan bahwa senyawa fenolik dan

flavonoid yang ada pada tumbuhan diduga dapat menangkal radikal bebas

akibat induksi ultraviolet (UV). Flavonoid juga diduga dapat memberikan efek

perlindungan dari radiasi UV dengan menyerap sinar UV tersebut. Heinrich et

al. (2010) dan Ismail (2010) dalam Pradika (2016) mengemukakan bahwa

beberapa tanaman yang mengandung senyawa flavonoid dan fenolik

mempunyai manfaat sebagai antioksidan yang dapat berkhasiat sebagai tabir

surya.

Tabir surya merupakan sediaan kosmetik yang digunakan pada

permukaan kulit yang bekerja dengan menyerap, menghamburkan dan

memantulkan sinar ultraviolet secara efektif terutama pada daerah gelombang

UV sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan pada kulit akibat paparan

langsung sinar UV (Depkes RI,1985). Tabir surya berdasarkan mekanisme

kerjanya terbagi menjadi dua yaitu tabir surya fisik (UV blocker), bekerja

dengan memantulkan radiasi sinar UV dan tabir surya kimia (UV absorbent),

bekerja dengan menyerap radiasi sinar UV (Shai A., et al, 2009). Besarnya

potensi tabir surya dalam menyerap atau memantulkan sinar ultraviolet dapat

dilakukan dengan menentukan nilai SPF (Sun Protection Factor) serta

persentase transmisi eritema (% Te) dan persen transmisi pigmentasi (% Tp).

SPF (Sun Protecting Factor) merupakan indikator universal yang menjelaskan

tentang keefektifan dari suatu produk atau zat yang bersifat UV protector,

semakin tinggi nilai SPF dari suatu produk atau zat aktif tabir surya maka
semakin efektif untuk melindungi kulit dari pengaruh buruk sinar UV. Untuk

melihat potensi suatu produk tabir surya dalam menyerap sinar ultraviolet maka

dapat ditentukan dengan menentukan nilai SPF dan mengukur persen transmisi

eritema (%Te) dan persentase transmisi pigmentasi (%Tp) sediaan tersebut.

Sehingga suatu sediaan tabir surya dapat dikategorikan sebagai sunblock,

proteksi ekstra, suntan, atau fast tanning (Yasin, 2017)

Biasanya sediaan tabir surya yang beredar dipasaran terdiri atas bahan-

bahan sintetik misalnya PABA (Para Amino Benzoic Acid) yang popular

dinegara barat karena efektif menyerap sinar UV-B dan cepat mencokelatkan

kulit. Tetapi untuk kulit Asia khususnya Indonesia, tabir surya yang

mengandung PABA tidak cocok digunakan karena dapat mencokelatkan kulit

dan bersifat photosentizer (Diana, 2006). Sehingga perlu dilakukan penelitian

untuk mencari senyawa aktif yang berasal dari alam yang diharapkan dapat

berpotensi sebagai bahan tabir surya yang aman.

Archidendron clypearia (Jack) Nielson atau petai belalang merupakan

tanaman obat yang memiliki potensi sebagai bahan tabir surya. Pada penelitian

sebelumnya tanaman ini telah digunakan dalam pengobatan oral dan topikal,

yang berpotensi sebagai detoksifikasi, obat luka bakar, mengurangi edema, dan

mengobati diare (Anderson, 1986; Cheng, 1994). Senyawa aktif dari tanaman

ini memberikan aktivitas biologis seperti antibakteri, antikanker, antioksidan

dan aktivitas hepatoprotektif (Li et al., 2010). Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Armaliza (2016) bahwa daun petai belalang (Archidendron

clypearia (Jack) Nielson mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu


flavanoid yang berpotensi sebagai antioksidan, terpenoid dan steroid.

Berdasarkan hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak daun petai belalang tersebut

dilaporkan memiliki nilai IC50 ekstrak metanol 3,125 µg/ml, IC50 ekstrak etil

asetat 4,272 µg/ml dan IC50 ekstrak n-heksana 34,570 µg/ml. Ketiga ekstrak

daun petai belalang menunjukkan aktivitas antioksidan kategori kuat, sehingga

memungkinkan dapat dikembangkannya sebagai bahan tabir surya alami.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melihat

nilai % transmisi eritema (% Te), nilai % transmisi pigmentasi (% Tp), dan nilai

SPF (Sun Protection Factor) ekstrak etanol daun petai belalang secara in vitro

dan in vivo dengan menguji aktivitas tabir surya yang diharapkan memiliki

profil tabir surya yang potensial, nilai SPF yang tinggi, serta didapatkan

konsentrasi untuk dikembangkan menjadi bahan tabir surya alami.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Monografi Petai Belalang (Archidendron clypearia (Jack) Nielson)

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan

Menurut identifikasi tumbuhan Archidendron clypearia (Jack) Nielson

yang dilakukan di Laboraturium Botani Jurusan Biologi Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau. Adapun taksonomi tumbuhan ini

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Bangsa : Fabales

Suku : Fabaceae

Marga : Archidendron

Spesies : Archidendron clypearia (Jack) Nielson

Nama Daerah : Petai Belalang

2.1.2 Nama Daerah


Tumbuhan Archidendron clypearia (Jack) Nielson dikenal dengan

berbagai macam nama daerah seperti petai belalang (Malaysia), grasshopper

tree (Inggris), triputi (Borneo), kyet-kot (Burma), malai-vagai (India), kharai-

yong (Thailand) (Anonim 2000).

2.1.3 Morfologi

Merupakan tumbuhan pohon yang bercabang yang berbunga sepanjang

tahun. Tingginya sekitar 23 m, dengan tinggi batang 14 m atau dengan 10-46

cm. Batang petai belalang ini berwarna coklat dan tegak horizontal atau

vertikal. Daun petai belalang ini sekitar 30 cm berbentuk datar, elips atau

lingkaran 3-14 pasang (Ser, 1979).

2.1.4 Ekologi dan Daerah Penyebaran

Archidendron clypearia (Jack) Nielson ini tersebar di Asia tropis dari

India dan Cina Selatan. Tumbuhan ini biasanya tumbuh di hutan primer dan

sekunder, hutan mangrove, hutan rawa, hutan rawa gambut, lahan terbuka,

hutan keranga. Tetapi juga umum di lereng bukit dan pegunungan. Pada tanah

berpasir dan liat atau lumpur abu-abu pada ketinggian 0-1.850 m (Ser, 1979)

2.1.5 Kegunaan

Tumbuhan ini memiliki manfaat dalam pengobatan oral dan topikal,

dimana dikenal dalam pengobatan seperti detoksifikasi, obat luka bakar,

mengurangi edema dan antidiare, mengobati infeksi saluran pernafasan, selain


itu juga memiliki manfaat sebagai antiinflamasi (Anderson, 1986: Cheng,

1994).

2.1.6 Kandungan Kimia dan Aktivitas Farmakologis

Senyawa kimia yang terdapat dalam daun petai belalang diantaranya

adalah alkaloid, flavonoid, terpenoid. Archidendron clypearia (Jack) Nielson

memiliki kandungan kimia robinetin, fisetin, asam galik, dan kuercetin.

Menurut Li et al., 2010 ditemukan adanya aktivitas farmakologis pada

tumbuhan daun petai belalang seperti antibakteri, antikanker, antioksidan,

aktifitas hepatoprotektif dan antiinflamasi.

2.2 Metoda Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga

terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Proses awal

pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia kering

(penyerbukan). Hasil simplisia kering dibuat serbuk simplisia dengan peralatan

tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu

ekstrak dengan dasar semakin halus serbuk simplisia maka proses ekstraksi

semakin efektif dan efisien, namun semakin halus serbuk maka rumit teknologi

peralatan untuk tahapan filtrat (penyaringan) (Anonim, 2000).

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif simplisa nabati dan hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian

semua atau hampir semua pelarut diuapkan(Anonim,2000). Ekstraksi dengan

menggunakan pelarut dapat dilakukan beberapa cara.


2.2.1 Ekstraksi Cara Dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah suatu proses penyarian sederhana dengan jalan

merendam sampel dalam pelarut selama waktu tertentu yang dilakukan pada

suhu kamar, sehingga sampel menjadi lunak dan larut. Jumlah pelarut yang

dipakai tergantung dari banyaknya sampel yang direndam.Maserasi bertujuan

untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tidak tahan pemanasan.

Maserasi biasanya dilakukan untuk bagian tumbuhan yang teksturnya

lunak, seperti bunga dan daun.Senyawa organik metabolit sekunder yang ada

dalam bahan alam tersebut umumnya dalam persentase yang cukup banyak,

perendaman tidak dilakukan dengan pemanasan.Hasil perendaman kemudian

disaring dan filtrat yang didapat diuapkan dengan alat rotary evaporator sampai

diperoleh ekstrak kental tumbuhan.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan jalan melewatkan

pelarut yang sesuai secara lambat pada simplisia dalam suatu perkolator.

Penyarian dengan perkolasi ini lebih sempurna dari maserasi.Perkolasi

bertujuan supaya zat berkhasiat tertarik seluruhnya dan bisa dilakukan untuk zat

berkhasiat yang rusak ataupun tidak rusak karena pemanasan.

Pada prinsipnya perkolasi menggunakan suatu pelarut dimana pelarut

tersebut dilewatkan secara perlahan (tetes demi tetes) kepada bahan alam yang

mengandung senyawa organik tersebut.Perkolasi biasanya digunakan untuk

bagian tumbuhan yang keras seperti akar, biji dan batang. Cara perkolasi
digunakan apabila kandungan kimia sedikit. Filtrat yang didapat diuapkan

pelarut dengan alat rotary evaporator.

2.2.2 Ekstraksi Cara Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur

titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendinginan balik.Umumnya dilakukan pengulangan

pada residu pertama 3-5 kali. Metode ini termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah satu penyarian dengan memakai pelarut organik

dengan menggunakan alat soklet. Pada cara ini pelarut dan simplisia

ditempatkan secara terpisah. Prinsip cara sokletasi ini adalah penyarian

dilakukan berulang-ulang sehingga penyarian lebih sempurna dan pelarut yang

dipakai lebih sedikit. Bila penyarian telah selesai maka pelarutnya diuapkan

kembali dan sisanya adalah zat yang tersari

c. Digestasi

Digestasi adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu)

padatemperatur ruangan (kamar), yaitu biasanya dilakukan pada temperatur 40-

50°C.Cara ini dilakukan untuk simplisia pada suhu biasa tidak tersari dengan

baik.Jika pelarut yang dipakai mudah menguap pada suhu kamar dapat

digunakan alat pendingin tegak, sehingga penguapan bisa dicegah.


d. Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati

dengan air pada suhu 90°C, sambil sesekali diaduk. Kalau tidak dikatakan lain

infusa diserkai selagi panas kemudian ditambahkan air panas secukupnya

melalui ampas sehingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki.

e. Dekokta

Dekokta adalah suatu proses penyarian yang hampir sama dengan

infusa, bedanya untuk dekokta dipanaskan selama 30 menit terhitung suhu

mencapai 90°C sedangkan infusa hanya 15 menit. Cara ini dapat dilakukan

untuk simplisia yang tidak mengandung minyak atsiri atau simplisia yang

mengandung bahan yang tahan terhadap pemanasan(Hanani, 2015).

2.3 Senyawa Flavonoid

2.3.1 Pengertian Senyawa Flavonoid

Flavonoid pertama kaliditemukan pada tahun 1930 oleh seorang

pemenang Nobel, Albert Szent Gyorgyl. Nama flavonoid berasal dari kata

“Flavon” yaitu salah satu anggota flavonoid yang terbanyak ditemukan pada

tumbuhan. Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenolik terbesar terdapat

di alam.Flavonoid ditemukan pada berbagai tanaman serta terdistribusi pada

bagian-bagian seperti buah, daun, biji, akar, kulit kayu, batang dan

bunga.(Raharjo, 2013).
Secara in vitro, senyawa flavonoid telah terbukti mempunyai efek

biologis yangsangatkuat.Sebagai antioksidan, flavonoid dapat menghambat

pengumpalan keeping-keping sel darah, merangsang produksi nitrit oksida yang

dapat melebarkan (relaksasi) pembuluh darah, dan juga menghambat

pertumbuhan sel kanker (Winarsih, 2007). Selain itu, beberapa aktivitas yang

telah dilaporkanyang dimiliki oleh flavonoid adalahantiinflamasi,

antihepatoksik, antitumor, antimikrobial, antiviral dan pengaruh terhadap

sistem saraf pusat (Raharjo, 2013).

2.3.2 Klasifikasi Flavonoid

Flavonoid dikelompokkan menjadi 8 yaitu flavon, flavanon, flavonol,

flavonolol, isoflavon, calcon, auron dan antosianidin (Hanani,2015). Antosianin

merupakan zat warna merah tua, merah, biru kehijauan dan biru pada bunga dan

jaringan lain. Flavon dan flavonol merupakan pigmen pada bunga dan tersebar

luas pada daun berwarna kuning.Calcon merupakan zat warna kuning pada

bunga, kadang terdapat pada familia legumminaseae dan tidak berwarna (Sirait,

2007).Beberapa flavonoid yang bersifar kurang polar, seperti isoflavon,

flavanon termetilasidanflavonol dapat diekstraksi dengan pelarut yang

polaritasnya rendah, seperti kloroform dan eter.

Dalam tumbuhan, flavonoid umumnya terdapat dalam bentuk glikosida,

baik sebagai flavonoid O-glikosida atau flavonoid C-glikosida. Flavonoid O-

glikosida adalah flavonoid yang satu atau lebih gugus hidroksilnya berikatan

dengan satu atau lebih gula dengan ikatan hemiasetat, yang lebih mudah terurai
dengan adanya asam. Akibatnya ikatan ini, flavonoid menjadi kurang reaktif

dan lebih mudah larut dalam pelarut polar (air, etanol, dan metanol) flavonoid

C-glikosida adalah flavonoid yang memilki gugus gula yang terikat langsung

pada atom karbon pada inti benzene, ikatan ini tahan terhadap asam. Ikatan ini

terjadi pada C-6 dan C-8, serta jenis gula yang terikat lebih terbatas (Hanani,

2015).

2.3.3 Analisis Flavonoid

Analisis total flavonoid dapat dilakukan secara spektrofotometri visibel

dengan menggunakan pereaksi aluminium klorida. Selain itu, digunakan juga

kuersetin sebagai standarnya.Pengukuran flavonoid berdasarkan pembentukan

kompleks antara AlCl3 dengan senyawa flavonoid pada gugus orto hidroksi

keton yang diberikan efek batukromik, kemudian absorbannya diukur pada

panjang gelombang 420-450 nm (Xu and Chang,2007).

2.4 Sinar Matahari

Matahari dapat memancarkan berbagai macam sinar, baik yang dapat

dilihat (visibel) maupun yang tidak dapat dilihat. Sinar matahari yang dapat

dilihat adalah sinar yang dipancarkan dalam gelombang lebih dari 400 nm,

sedangkan sinar matahari dengan panjang gelombang 200 nm-400 nm yang

disebut dengan sinar ultraviolet (UV), tidak dapat dilihat dengan mata

(Anonimb, 2009).
Dalam beberapa hal sinar matahari bermanfaat untuk manusia yaitu

diantaranya untuk mensintesis vitamin D, memberikan penerangan untuk

kehidupan, dan sumber energy. Namun disamping manfaat tersebut, sinar

matahari dapat merugikan manusia apabila terpapar pada kulit terlalu lama

(Anonimb, 2009).

Sinar matahari terdiri atas sinar inframerah, sinar tampak, dan sinar UV.

Sinar UV terdiri atas:

A. Sinar UV-A

Merupakan radiasi UV yang mempunyai panjang gelombang 320–

400 nm dengan efektivitas tertinggi pada panjang gelombang 340 nm.

Daerah UV ini bertanggung jawab terhadap perubahan warna kulit

secara langsung menjadi lebih gelap tanpa menimbulkan kemerahan.

UV A dibagi menjadi 2 yaitu : (Barel et al., 2009)

1, UV-A I = panjang gelombang 340-400 nm

2, UV-A II = panjang gelombang 320-340 nm

B. Sinar UV-B

Sinar UV-B disebut juga radiasi sengatan matahari (sunburn) atau

radiasi UV sedang, mempunyai daerah panjang gelombang 290–320 nm dengan

puncak efektivitas pada 297,6 nm. Sinar UV-B adalah daerah UV eritemogenik

yang lebih efektif menimbulkan eritema daripada tanning. Radiasi UV-B

menimbulkan tanning lambat yang ditandai dengan peningkatan aktivitas dan


jumlah melanosit. Radiasi UV-B dalam jangka waktu yang lama juga

menimbulkan kemerahan dan nyeri pada kulit ( Anonim, 2003).

C. Sinar UV-C

Radiasi sinar UV-C merupakan gelombang radiasi UV pendek atau

radiasi germisidal, mempunyai panjang gelombang 200–290 nm. Radiasi UV-C

dapat menyebabkan kerusakan jaringan, akan tetapi sinar UV ini sebagian besar

telah tersaring oleh lapisan ozon di atmosfer. UV C tidak merangsang

pencoklatan kulit, tetapi dapat menyebabkan eritema (Anonim, 2003).

2.5 Tabir Surya

2.5.1 Tinjauan Tabir Surya

Tabir surya adalah suatu sediaan yang mengandung senyawa kimia yang

dapat menyerap, menghamburkan atau memantulkan sinar UV yang mengenai

kulit sehingga dapat digunakan untuk melindungi fungsi dan struktur kulit

manusia dari kerusakan akibat sinar UV (Anonim, 2003). Produk tabir surya

memiliki peranan untuk mengurangi dosis radiasi UV sehingga dapat mencegah

kerusakan kulit, Tabir surya topikal dapat dibuat dalam sediaan salep, gel,

lotion, krim atau spray (Draelos dan Thaman, 2006).

Berdasarkan mekanismenya tabir surya dibagi menjadi dua yaitu;

1. Physical Blockers

Tabir surya Physical Blockers bekerja dengan menghamburkan radiasi

sinar UV A maupun UV B. Tabir surya Physical Blockers terdiri dari senyawa-


senyawa anorganik seperti titanium dioksida, zink oksida, kaolin, kalsium

karbonat, magnesium karbonat.

2. Chemical Absorber

Tabir surya Chemical Absorber bekerja dengan mengabsorbsi energi

radiasi sinar UV, yang dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Anti UV A seperti benzophenon, antranilate dan avobenzone,

b. Anti UV B seperti turunan PABA, turunan cinnamate seperti octyl

methoxycinnamate dan turunan salicylate,

Bahan-bahan yang dapat digunakan terdapat pada tabel 4 berikut ini:

Tabir surya kimia (Chemical Absorber) / Komponen Tabir surya fisik

organic (PhisycalBlocker) /

UV A UV B komponen

anorganik

1. Benzofenon 1. Turunan PABA 1. TiO

a. Oksibenzon a. Padimate O 2. ZnO

b. Sulisobenzon b. PABA 3. MgO

c. Dioksibenzon 4. CaCO

2. Dibenzoil Methane 2. Sinamat

a.Avobenzon a. Oktinosate

atau parsol b. Cinosate

3, Anthranilate 3. Salisilat
a. Meradimate a. Oktisalat

b. Homosalat

c. Salisilat

4. Lainnya

a. Anthranilat

b. Ensulizole

Tabel 1. Komponen Bahan Tabir Surya (Barel et al, 2009)

2.5.2 Efektivitas Tabir Surya

Efektivitas sediaan tabir surya dapat dinyatakan dengan nilai SPF (Sun

Protection Factor), persentase transmisi eritema (%TE), dan persentase

transmisi pigmentasi (%TP). SPF merupakan perbandingan minimal erythema

dose (MED) pada kulit manusia yang terlindungi tabir surya dengan MED kulit

tanpa perlindungan (Walters, 2002). MED adalah nilai yang menunjukkan

sensitivitas akut individu terhadap sinar UV. MED menunjukkan jumlah

minimal sinar UV yang dibutuhkan untuk menimbulkan kemerahan ketika

seseorang terpapar sinar UV (Mitsui, 1997).

A. Sun Protection Factor (SPF)

Sun Protecting Factor (SPF) merupakan ukuran kemampuan tabir surya

untuk mencegah kerusakan kulit. Tabir surya dengan SPF menyatakan lamanya

kulit seseorang berada dibawah sinar matahari tanpa mengalami luka baka,
sedangkan angka SPF menyatakan berapa kali daya tahan alami kulit seseorang

dilipat gandakan sehingga aman dibawah matahari tanpa terkena luka bakar.

SPF dapat ditentukan melalui perbandingan energi sinar yang dipaparkan untuk

dapat menimbulkan eritema (Draelos, 2006). Food and drug administration

(FDA) mensyaratkan tiap tabir surya harus mencantumkan nilai SPFnya. Nilai

SPF dapat ditentukan secara in vitro menggunakan spektrofotometer (Walters,

2002).

Mansur (1986) mengembangkan suatu persamaan matematis untuk

mengukur nilai SPF secara in vitro dengan menggunakan spektrofotometer.

Persamaannya adalah sebagai berikut :

SPF = CF x ∑320
290 𝐸𝐸(𝜆)𝑥 𝐼 (𝜆) 𝑥 𝐴𝑏𝑠 (𝜆)…………(Persamaan 1)

Keterangan : CF = Faktor Koreksi yang bernilai (10)

EE = Efek eritmogenik radiasi pada panjang

gelombang

I = Spektrum simulasi sinar surya

Abs = Nilai Absorbansi produk tabir surya

Nilai EE x I adalah suatu konstanta, Nilainya dari panjang gelombang

290-320 nm dan setiap selisih 5 nm telah ditentukan oleh Sayre et al (1979)

seperti terlihat pada tabel di bawah.


Panjang gelombang (λ nm)EE x I

290 0,0150

295 0,0817

300 0,2874

305 0,3278

310 0,1864

315 0,0839

320 0,0180

Total 1

Tabel 2. Nilai EE X I panjang gelombang 290-320 nm

Klasifikasi nilai SPF menurut European Commission (EC)

Recommendatin dalam Osterwalder dan Herzog (2009) adalah sebagai berikut:

1. Nilai SPF 6-10 memberikan perlindungan rendah,

2. Nilai SPF 15-25 memberikan perlindungan sedang,

3. Nilai SPF 30-50 memberikan perlindungan tinggi,

4. Nilai SPF >50 memberikan perlindungan yang sangat tinggi.


SPF yang sering tercantum dalam tabir surya adalah menunjukkan

kemampuan tabir surya melindungi kulit. Tabir surya dengan SPF menyatakan

lamanya kulit seseorang berada di bawah sinar matahari tanpa mengalami luka

bakar. Sedangkan angka SPF menyatakan berapa kali daya tahan alami kulit

seseorang dilipat gandakan sehingga aman dibawah matahari tanpa terkena luka

bakar.

Misalnya SPF 15 artinya, jika seseorang memiliki daya tahan alami 30

menit maksudnya adalah ia dapat bertahan 30 menit dibawah sinar matahari

dengan tidak mengalami luka bakar. Sehingga dengan mengoleskan anti-UV

SPF 15, maka akan dapat bertahan 15 kali lebih lama, yaitu selama 15 x 30

menit = 450 menit = 7,5 jam,( Osterwalder dan Herzog, 2009).

B. Evaluasi %Te

Perhitungan %Te ditentukan menggunakan spektrofotometri, yaitu

dengan cara mengukur intensitas sinar yang diteruskan bahan tabir surya pada

panjang gelombang eritemogenik. Sinar matahari panjang gelombang 290-400

nm dengan efektivitas tertinggi 297,6 nm merupakan daerah eritmogenik.

Efektivitas eritema adalah efek dari sejumlah radiasi pada panjang gelombang

tertentu yang dibandingkan dengan efek eritema pada radiasi panjang

gelombang 296,7 nm dengan energi yang sama. Energi matahari pada panjang

gelombang tertentu yang sebanding dengan energi pada panjang gelombang

296,7 nm diperoleh dari hasil perkalian antara intensitas radiasi matahari pada
panjang gelombang tersebut dengan faktor efektivitas eritemanya(Hasanah et

al, 2015).

Penentuan %Te dilakukan dengan mengamati nilai serapan larutan

sediaan yang dibuat pada panjang gelombang 292,5 – 317,5 nm. Dengan jarak

perubahan skala setiap kali pengamatan 5 nm. Nilai serapan diperoleh dari tiga

replikasi yang dihitung nilai serapan untuk 1g/L (A) dan persen nilai transmisi

(T) dengan rumus (Hasanah et al, 2015) :

A = -log T…………(Persamaan 2)

Perkalian antara nilai transmisi dengan faktor efektivitas eritema (Fe)

pada panjang gelombang 292,5 – 317,5 nm menghasilkan nilai transmisi

eritema. Nilai yang diperoleh kemudian dibagi dengan total incident erithemal

energy (∑ Fe) untuk memberikan hasil %Te. Berikut adalah merupakan

persamaan %Te (Hasanah et al, 2015):

∑ (T,Fe)
% Transmisi Eritema = … … … … (Persamaan 3)
∑Fe

Keterangan : T = nilai % transmisi eritema

Fe = tetapan fluks eritema

∑Fe = jumlah total fluks eritema sinar matahari

∑ (T,Fe) = banyaknya fluks eritema yang diteruskan

bahan tabir surya pada panjang gelombang

292,5 – 317,5 nm (spektrum eritema).


C. Evaluasi %Tp

Perhitungan %Tp adalah perbandingan jumlah energi sinar UV yang

diteruskan oleh sediaan tabir surya pada spektrum pigmentasi dengan jumlah

faktor keefektifan pigmentasi pada tiap panjang gelombang dalam rentang

322,5–372,5 nm (Hasanah et al, 2015). Efektivitas panjang gelombang UV

untuk menghasilkan pigmentasi pada kulit bergantung pada sensitivitas kulit

yang berbeda-beda pada masing-masing orang (Hasanah et al, 2015).

Transmisi pigmentasi dapat dihitung dengan metode spektrofotometri

yaitu dengan cara mengukur serapan pada panjang gelombang 322,5–372,5

nm. Jarak perubahan skala setiap kali pengamatan 5 nm. Nilai serapan yang

diperoleh, kemudian dihitung untuk 1g/L/cm dan %Tp 1g/L dengan rumus

(Hasanah et al, 2015):

A = -log T

Perkalian antara nilai transmisi dengan faktor efektivitas pigmentasi

(Fp) pada panjang gelombang 322,5–372,5 nm menghasilkan nilai transmisi

pigmentasi dengan rumus (Hasanah et al, 2015) :

∑(T x Fp)
% Transmisi Pigmentasi = …………(Persamaan 4)
∑Fp

Keterangan : T = nilai % transmisi pigmentasi

Fp = tetapan fluks pigmentasi

∑Fp = jumlah total fluks pigmentasi sinar matahari


∑ (T,Fp) = banyaknya fluks pigmentasi yang diteruskan

bahan tabir surya pada panjang gelombang

322,5–372,5 nm (spektrum pigmentasi).

Nilai Fe dan nilai Fp merupakan suatu konstanta. Berikut ini merupakan

nilai fluks eritema (Fe) dan fluks pigmentasi (Fp) untuk sediaan tabir surya.

No Rentang panjang gelombang (nm) Fluks Eritema

1 290-295 0,1105

2 295-300 0,6720

3 300-305 1,0000

4 305-310 0,2008

5 310-315 0,1364

6 315-320 0,1125

Total fluks eritema 2,2322

Rentang panjang gelombang (nm) Fluks pigmentasi

1 320-325 0,1079

2 325-330 0,1020

3 330-335 0,0936

4 335-340 0,0798

5 340-345 0,0669

6 345-350 0,0570

7 350-355 0,0488

8 355-360 0,0456
9 360-365 0,0356

10 365-370 0,0310

11 370-375 0,0260

Total fluks pigmentasi 0,6942

Tabel 3. Fluks Eritema dan Pigmentasi Sediaan Tabir Surya (Maulidia,

2010).

Profil tabir surya adalah pengkategorian aktivitas tabir surya yang

menyatakan potensi proteksi kulit terhadap sinar matahari pada radiasi (UV) A

(320-400 nm) dan (UV) B (290-320 nm) yang dimanfaatkan sebagai bahan

kosmetik terkait tabir surya, profil tabir surya dikelompokkan menjadi 4

kelompok, yaitu :

1) Tabir Surya Sunblock

Sunblock merupakan aktivitas tabir surya yang paling terbaik,

sunblock merupakan kemampuan ekstrak untuk memproteksi secara

total kulit yang sangat sensitif terhadap sinar (UV) A dan sinar

(UV) B, aktivitas tabir surya ekstrak sebagai Sunblock mampu

menghalangi paparan sinar (UV) kedalam kulit sehingga

melindungi kulit dari terjadinya eritema dan pigmentasi (Whenny et

al, 2015). Profil tabir surya sebagai Sunblock apabila memiliki

persentase transmisi eritema 1 % dan persentase transmisi

pigmentasi 3-40 % (Amrillah et al, 2015).

2) Tabir Surya Proteksi Ekstra


Proteksi ekstra adalah kemampuan ekstrak sebagai bahan tabir

surya yang memberikan perlindungan terhadap eritema dengan

mengabsorbsi kurang dari 85 % radiasi sinar (UV) serta mencegah

terjadinya pigmentasi, Kemampuan bahan pada kategori proteksi

ekstra akan menghasilkan sedikit eritema tanpa rasa sakit. Kategori

proteksi ekstra tabir surya digunakan untuk melindungi jenis kulit

sensitif (Whenny et al, 2015). Profil tabir surya sebagai proteksi

ekstra apabila memiliki persentase transmisi eritema 1-6 % dan

persentase transmisi pigmentasi 42-86 %.

3) Tabir Surya Suntan Standar

Suntan Standar adalah kategori penilaian aktivitas tabir surya

dimana suatu bahan mampu mencegah sengatan sinar matahari

dengan mengabsorbsi 95 % atau lebih radiasi (UV) B, sehingga

menyebabkan pigmentasi tanpa terjadinya eritema. Suntan Standar

mampu mencegah terjadinya eritema pada kulit normal (Whenny et

al, 2015). Profil tabir surya sebagai Suntan Standar apabila

memiliki persentase transmisi eritema 16-12 % dan persentase

transmisi pigmentasi 45-86 %,

4) Tabir Surya Fast Tanning

Fast tanning adalah kemampuan suatu molekul kimia tabir surya

yang dapat menggelapkan kulit secara cepat tanpa menimbulkan

eritema dengan memberikan transmisi penuh pada radiasi (UV) A

untuk memberikan efek penggelapan yang maksimal. Profil tabir


surya sebagai Fast tanning apabila memiliki persentase transmisi

eritema 16-12 % dan persentase transmisi pigmentasi 45-86 %.

Rentang Transmisi Ultraviolet

Kategori Eritema Pigmentasi

Sunblock <1 3-40

Proteksi Ekstra 1-6 42-86

Suntan standar 6-12 45-86

Fast Tanning 12-18 45-86

Tabel 4. Kategori Perlindungan Tabir Surya Berdasarkan Nilai Persen

Te dan Persen Tp (Hasanah et al, 2015)

2.6 Spektrofotometer UV-Visible

Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel.

Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk

mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi

(Dachriyanus, 2004).

Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik

yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet (190-380 nm) dan

sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer.

Spektrum ini timbul dari transisi elektron suatu molekul, Bagian dari molekul

yang bertanggung jawab dalam transisi ini adalah kromofor. Kromofor adalah
gugus tak jenuh kovalen yang dapat menyerap radiasi dalam daerah-daerah UV

dan sinar tampak. Adanya substituent tertentu (auksokrom) pada kromofor

dapat mengubah spektrum serapan dari kromofor, karena terjadinya efek

penggeseran panjang gelombang kearah yang lebih panjang berakibat efek

resonansi dari substituent tersebut (Dachriyanus, 2004).

Spektrofotometri UV-Visibel memiliki sensitivitas yang baik,

dikombinasikan dengan kemudahan dalam preparasi, akurat, tidak mahal, dan

dapat menganalisa polikomponen campuran senyawa obat. Hal ini menjadikan

spektrofotometri UV dan sinar tampak sebagai salah satu peralatan yang sering

digunakan dalam analisis organic. Spektroskopi ultraviolet sangat berguna

untuk mempelajari molekul-molekul organik yang mengandung ikatan rangkap

dua maupun rangkap tiga, khususnya untuk ikatan rangkap terkonjugasi dan

aromatik. (Dachriyanus, 2004).

Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer (Sastrohamidjojo,

2007).

1. Sumber Radiasi

a. Sumber radiasi ultraviolet

Sumber-sumber radiasi ultraviolet yang umum digunakan adalah

lampu hidrogen dan lampu deuterium yang terdiri dari sepasang

elektroda yang terselubung dalam tabung gelas dan diisi dengan gas

hidrogen atau deuterium pada tekanan yang rendah. Bila tegangan

yang tinggi dikenakan pada elektroda-elektroda, maka akan


dihasilkan elektron-elektron yang mengeksitasikan elektron-

elektron lain dalam molekul gas ke tingkatan tenaga yang tinggi.

Bila elektron-elektron kembali ke tingkat dasar mereka melepaskan

radiasi yang kontinue dalam daerah sekitar 180 dan 350 nm.

Sumber radiasi ultraviolet yang lain adalah lampu xenon, tetapi

tidak sestabil lampu hydrogen.

b. Sumber radiasi terlihat

Sumber radiasi terlihat dan radiasi inframerah yang biasa

digunakan adalah lampu filamen tungsten.

2. Monokromator

Sumber radiasi yang umum digunakan akan menghasilkan radiasi

kontinu dalam kisaran panjang gelombang yang lebar. Dalam spektrofotometer,

radiasi yang polikromatik harus diubah menjadi radiasi monokromatik.

monokromator merupakan serangkaian alat optik yang dapat menguraikan

radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif, panjang gelombang-

gelombang tunggalnya dan memisahkan panjang gelombang-gelombang

tersebut menjadi jalur-jalur yang sangat sempit.

3. Tempat cuplikan

Cuplikan pada daerah ultraviolet atau terlihat biasanya berupa gas atau

larutan ditempatkan dalam sel atau kuvet. Kuvet yang digunakan untuk

cuplikan berbentuk larutan mempunyai panjang lintasan tertentu dari 1 hingga

10 cm. biasanya menggunakan kuvet 1 cm. Pelarut-pelarut yang digunakan


dalam spektrofotometri harus melarutkan cuplikan dan meneruskan radiasi

dalam daerah panjang gelombang yang sedang dipelajari.

4. Detektor

Detektor yang digunakan adalah detektor fotolistrik. Setiap detektor

menyerap tenaga foton yang mengenainya dan mengubah tenaga tersebut untuk

dapat diukur secara kuantitatif. Seperti sebagai arus listrik atau perubahan-

perubahan panas. Kebanyakan detektor menghasilkan sinyal listrik yang dapat

mengaktifkan meter atau pencatat. Setiap pencatat harus menghasilkan sinyal

yang secara kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang mengenainya.

2.6.1 Prinsip Kerja

Spektrum elektromagnetik dibagi dalam beberapa daerah cahaya. Suatu

daerah akan diabsorbsi oleh atom atau molekul dan panjang gelombang cahaya

yang diabsorbsi dapat menunjukan struktur senyawa yang diteliti. Spektrum

elektromagnetik meliputi suatu daerah panjang gelombang yang luas dari sinar

gamma gelombang pendek berenergi tinggi sampai pada panjang gelombang

mikro (Marzuki Asnah, 2012).

Spektrum absorbsi dalam daerah-daerah ultra ungu dan sinar tampak

umumnya terdiri dari satu atau beberapa pita absorbsi yang lebar, semua

molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-tampak. Oleh karena itu

mereka mengandung electron, baik yang dipakai bersama atau tidak, yang dapat

dieksitasi ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang gelombang pada waktu absorbsi

terjadi tergantung pada bagaimana erat elektron terikat di dalam molekul.


Elektron dalam satu ikatan kovalen tunggal erat ikatannya dan radiasi dengan

energy tinggi, atau panjang gelombang pendek, diperlukan eksitasinya

(Wunas,2011).

2.6.2 Hukum Lambert - Beer

Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A) sedangkan cahaya

yang hamburkan diukur sebagai transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum

Lambert-Beer atau Hukum Beer, berbunyi: “Jumlah radiasi cahaya tampak

(ultraviolet, inframerah dan sebagainya) yang diserap atau ditransmisikan oleh

suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal

larutan”.

Absorptivitas (a) merupakan konstanta yang tidak tergantung pada

konsentrasi, tebal kuvet dan intensitas radiasi yang mengenai larutan sampel.

Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan panjang

gelombang radiasi (Day and Underwood, 1999; Rohman, 2007).

Menurut Rohman (2007), hukum Lambert-Beer umumnya dikenal

dengan persamaan sebagai berikut:

A = a.b.c

dimana : A = absorbansi

a = absorptivitas

b = tebal kuvet

c = konsentrasi

Anda mungkin juga menyukai