TYPHOID FEVER
6
7
2. Fisiologi
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut
sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk
menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-
zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat
dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.
Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar
saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
A. Rongga Mulut
Secara umum berfungsi untuk menganalisis makanan sebelum menelan,
proses penghancuran makanan secara mekanis oleh gigi, lidah dan permukaan
palatum, lubrikasi oleh sekresi saliva serta digesti pada beberapa material
karbohidrat dan lemak.
1) Mulut
Mulut dibatasi oleh mukosa mulut, pada bagian atap terdapat palatum dan
8
sebagai pemotong daging atau makanan lain yang tidak mampu dipotong
oleh gigi seri.
B. Faring
Faring merupakan jalan untuk masuknya material makanan, cairan dan
udara menuju esofagus. Faring berbentuk seperti corong dengan bagian atasnya
melebar dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sabagai esofagus setinggi
vertebrata cervicalis keenam. Bagian dalam faring terdapat 3 bagian yaitu
nasofaring,orofaring dan laringfaring. Nasofaring adalah bagian faring yang
berhubungan ke hidung. Orofaring terletak di belakang cavum oris dan
terbentang dari palatum sampai ke pinggir atas epiglotis. Sedangkan laringfaring
terletak dibelakang pada bagian posterior laring dan terbentang dari pinggir atas
epiglotis sampai pinggir bawah cartilago cricoidea.
C. Laring
Laring adalah organ yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu
masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Sfingter pada laring
mengatur pergerakan udara dan makanan sehingga tidak akan bercampur dan
memasuki tempat yang salah atau yang bukan merupakan tempatnya. Sfingter
tersebut meupakan epiglotis. Epiglotis akan menutup jalan masuk udara saat
makanan ingin masuk ke esofagus.
D. Esofagus
Esofagus adalah saluran berotot dengan panjang sekitar 25 cm dan
diameter sekitar 2 cm yang berfungsi membawa bolus makanan dan cairan
menuju lambung. Otot esofagus tebal dan berlemak sehingga moblitas esofagus
cukup tinggi. Peristaltik pada esofagus mendorong makanan dari esofagus
memasuki lambung. Pada bagian bawah esofagus terdapat otot-otot
gastroesofagus (lower esophageal sphincter, LES) secara tonik aktif, tetapi akan
melemas sewaktu menelan. Aktifasi tonik LES antara waktu makan mencegah
refluks isi lambung ke dalam esofagus. Otot polos pada esofagus lebih menonjol
diperbatasan dengan lambung (sfingter intrinsik). Pada tempat lain, otot rangka
melingkari esofagus (sfrinter ekstrinsik) dan bekerja sebagai keran jepit untuk
esofagus. Sfringte ekstrinsik dan intrinsik akan bekerjasama untuk
memungknkan aliran makanan yang teratur kedalam lambung dan mencegah
refluks isi lambung kembali ke esofagus.
10
E. Lambung
Lambung terletak di bagian kiri atas abdomen tepat di bawah
diafragma. Dalam keadaan kosong, lambung berbentuk tabung J dan bila penuh
akan tampak seperti buah alpukat. Lambung terbagi atas fundus, korpus dan
pilorus. Kapasitas normal lambung adalah 1-2 L. Pada saat lambung kosong atau
berileksasi, mukosa masuk ke lipatan yang dinamakan rugae. Rugae yang
merupakan dinding lambung yang berlipat-lipat dan lipatan tersebut akan
menghilang ketika lambung berkontraksi. Sfingter pada kedua ujung lambung
mengatur pengeluarn dan pemasukan lambung. Sfingter kardia, mengalirkan
makanan masuk ke lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki
esofagus kembali. Sedangkan sfingter pilorus akan berelaksasi saat makanan
masuk ke dalam duodenum dan ketika berkontraksi, sfingter ini akan mencegah
aliran balik isi usus halus ke lambung.
Fisiologi lambung terdiri dari dua fungsi yaitu, fungsi motorik sebagai
proses pergerakan dan fungsi pencernaan yang dilakukan untuk mensintesis zat
makanan, dimana kedua fungsi ini akan bekerja bersamaam, berikut adalah
fisiologi lambung :
a. Fungsi Motorik
1) Reservoir, yaitu menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedkit
demi sedikit dicernkan dan bergerak pada saluran cerna. Menyesuaikan
peningkatan volume tanpa menambah tekanan dan relaksasi reseptif otot
polos.
2) Mencampur, yaitu memecahkan makanan menjadi partikel- partikel kecil
dan mencampurnya dengan getah lambung melauli kontraksi otot yang
mengeliligi lambung.
F. Usus Halus
Bagian awal dar usus halus adalah duodenum atau lebih sering disebut
duodenal cup atau bulb. Pada bagian ligamentum Treitz, duodenum berubah
menjadi jejunum. duodenum mempunyai panjang sekitar 25 cm dan
berhubungan dengan lambung, jejunum mempunyai panjang sekitar 2,5 m,
dimana proses digesti kmmia dan absorpsi nutrisi terjadi dalam jejunum
sedangkan ileum mempunyai panjang sekitar 3,5 m. Disepanjang usus halus
terdapat kelenjar usus tubular. Diduodenum terdapat kelenjar duodenum
asinotubular kecil yang membentuk kumparan. Disepanjang membran mukosa
usus halus yang diliputi oleh vili. Terdapat 20 sampai 40 vili per milimeter
persegi glukosa. Ujung bebes sel-sel evitel virus dibagi menjadi mikrovili yang
halus dan diseilmuti glikokaliks yang membentuk brush border. Mukus usus
terdiri dari berbagai macam enzim,seperti disakaridase, peptidase dan enzim lain
12
3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan rambut
getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu
13
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi
akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah,
menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti
aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke
dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan
menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum,
kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder.
Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari
demam tifoid (Salyers dan Whitt, 2002).
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah
memenuhi kriteria penilaian.
14
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).
4. Patofisiologi
Kuman salmonella typhi yang masuk kesaluran gastro intestinal akan
ditelan oleh sel-sel fagosoit ketika masuk melewati mukosa dan oleh makrofag
yang ada di dalam lamina propina. Sebagian dari salmonella typhi ada yang
masuk ke usus halus mengadakan invanigasi ke jaringan limfoid usus halus (plak
peyer) dan jaringan limfoid mesentrika. Kemudian Salmonella typhi masuk
melalui folikel limfatik dan sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi bakterimia.
Bakterimia pertama-tama menyerang system retikulo endothelial (RES) yaitu:
hati, limpa, dan tulang, kemudian selanjutnya mengenai seluruh organ di dalam
tubuh antara lain system saraf pusat, ginjal dan jaringan limfa.
Usus yang terserang tifus umumnya ileum distal,tetapi kadang begian
lain usus halus dan kolon proksimal juga dihinggapi. Pada mulanya, plakat peyer
penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infitrat atau
hyperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis
dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum dari pada di kolon sesuai dengan
ukuran plak peyer yang ada disana. Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi
kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada
tukak yang menembus serosa. Setelah penderita sembuh, biasanya ulkus
membaik tanpa meninggalkan jaringan parut di fibrosis.
Masuknya kuman kedalam intestinal terjadi padsa minggu pertama
dengan tanda dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu tubuh akan naik
pada malam hari dan akan menurun menjelang pagi hari. Demam yang terjadi
pada masa ini disebut demam intermitet (suhu yang tinggi, naik-turun, dan
turunnya dapat mancapai normal), di samping peningkatan suhu tubuh ,juga
akan terjadi obstipasi sebagi akibat motilitas penurunan suhu tubuh, namun hal
ini tidak selalu terjadi dan dapt pula terjadi sebaliknya. Setelah kuman melewati
fase awal intestinal, kemudian masuk kesirkulasi sistemik dengan tanda
peningkatan suhu tubuh yang sangat tinggi dengan tanda tanda infeksi pada
RES seperti nyeri perut kanan atas, splenomegali dan hepatomegali.
Pada minggu selanjutnya di mana infeksi Intestinal terjadi dengan
15
tanda-tanda suhu tubuh masih tetap tingi, tetapi nilainya lebih rendah dari fase
bakterimia dan berlangsung terus menerus (demam kontinu), lidah kotor, tetapi
lidah hiperemis, penurunan peristaltik, gangguan digesti dan absorpsi sehingga
akan terjadi distensi, diare dan pasien akan merasa tidak nyaman. Pada masa ini
dapat terjadi perdarahan usus, perforasi, dan peritonitis dengan tanda distensi
abdomen berat, peristaltik usus menurun bahkan hilang, melena, syok, dan
penurunan kesadaran (Arif Muttaqin, 2003)
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas
dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang
mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala
sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi
gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit
penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja (Hoffman, 2002).
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian (Sudoyo A.W., 2010).
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari
menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena Streptococcus
atau Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa didapatkan pada
demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil
lebih mungkin disebabkan oleh malaria (Sudoyo A.W., 2010).
Masa inkubasi demam typhoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala- gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian.
16
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut,
batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan – lahan terutama pada sore hari
hingga malam hari. (Perhimpunan Dokter Spesial Penyakit dalam Indonesia, 2014)
2. Nyeri kepala
3. Pusing
4. Diare
5. Anoreksia
6. Batuk
7. Nyeri otot
6. Komplikasi
Menurut sodikin (2011) komplikasi biasanya terjadi pada usus halus,namun
haal tersebut jarang terjadi. Apabila komplikasi ini terjadi pada seorang anak, maka
dapat berakibat fatal. Gangguan pada usus halus dapat berupa :
1. Perdarahan Usus
17
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan penunjang pada pasien dengan typhoid adalah pemerikasaan
laboratorium, yang terdiri dari :
1. Pemeriksaan Leuokosit
Didalam beberpa literatur dinyatakan bahwa typoid terdapat leukopenia dan
limpositosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidak sering di jumpai. Pada
kebanyakan kasus typhoid fever, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada
pada batas batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak
ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa typhoid fever
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada typhoid fever sering kali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid fever.
3. Biakan Darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan typhoid fever, tetapi bila biakan
darah negative tidak menutup kemungkinan akan terjadi typhoid fever. Hal ini
18
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan anti bodi
(agglutinin). Agglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi terdapat dalam
serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah di
vaksinasikan. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah suspense
salmonella yang sudah dimatikan dan di olah di laboratorium tujuan dari uji
widal ini adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum klien yang di
sangka menderita typhoid. Akibat infeksi salmonella typhi, klien membuat anti
bodi atau agglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang di buat karena rangsangan antigen O (berasal
dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat dari rangsanaganantigen Vi (berasal
dari simpai kuman)
19
5. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9
pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang
terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi
yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara
spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil
negatif (Sudoyo A.W., 2010).
8. Penatalaksanaan
1. Medis
Penatalaksanaan demam typhoid secara medis menurut Ngastiyah (2005) antara
lain:
a. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta.
b. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang
lama, lemah, anoreksia.
c. Istirahat selama demam sampai dengan dua minggu setelah suhu normal
kembali (istirahat total), kemudian boleh duduk, jika tidak panas lagi boleh
berdiri kemudian berjalan di ruangan.
d. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahkan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang
dan tidak menimbulkan gas. Susu dua gelas sehari, bila kesadaran pasien
menurun diberikan makanan cair, melalui sonde lambung. Jika kesadaran dan
nafsu makan anak baik dapat juga diberikan makanan lunak.
e. Obat pilihan adalah kloramfenikol, kecuali pasien tidak cocok diberikan obat
lainnya seperti kotrimoksazol. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi,
yaitu 100 mg/kg berat badan/hari (makanan 2 gram per hari), diberikan empat
kali sehari per oral atau intravena. Pemberian kloramfenikol dengan dosis
tinggi tersebut mempersingkat waktu perawatan dan mencegah relaps. Efek
negatifnya adalah mungkin pembentukan zat anti kurang karena basil terlalu
cepat dimusnahkan.
f. Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. Bila terjadi
dehidrasi dan asidosis diberikan cairan secara intravena.
20
Gangguan rasa aman dan nyaman pasien typhoid sama dengan pasien lain,
yaitu karena penyakitnya serta keharusan istirahat di tempat tidur, jika ia
sudah dalam penyembuhan. Khusus pada pasien typhoid, karena lidah kotor,
bibir kering, dan pecah-pecah menambah rasa tak nyaman disamping juga
menyebabkan tak nafsu makan. Untuk itu pasien perlu dilakukan perawatan
mulut 2 kali sehari, oleskan boraks gliserin (krim) dengan sering dan sering
berikan minum. Karena pasien apatis harus lebih diperhatikan dan diajak
berkomunikasi. Jika pasien dipasang sonde perawatan mulut tetap dilakukan
dan sekali-kali juga diberikan minum agar selaput lendir mulut dan tenggorok
tidak kering. Selain itu sebagai akibat lama berbaring setelah mulai berjalan
harus mulai dengan menggoyang-goyangkan kakinya dahulu sambil duduk di
pinggir tempat tidur, kemudian berjalan di sekitar tempat tidur sambil
berpegangan. Katakan bahwa gangguan itu akan hilang setelah 2-3 hari
mobilisasi.
1) Mulut, terdapat napas yang berbau tidak sedap serta bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (Cated tongue), sementara
ujung dan tepinya berwarna kemerahan, dan jarang disertai tremor.
2) Abdomen, dapat ditemukan keadaan perut kembung (Meteorismus). Bisa
terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal.
3) Hati dan limpa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan.
6. Pemeriksaan laboratorium
1) Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis
relative, dan aneosiniofilia pada permulaan sakit.
2) Darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal.
3) Bukan empedu basil Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah pasien
pada minggu pertama sakit. Selanjutnya, lebih sering ditemukan dalam urin
dan feces.
4) Pemeriksaan widal
Untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan ialah liter zat anti
terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan
kenaikan yang progresif (Nursalam, 2005).
24
2. Pathway
3. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi).
25
4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
NO keperawatan Tujuan/KriteriaHasil/Indikator(NOC) Intervensi (NIC)
1 Hipertermi Setelah dilakukan tindakan NIC
berhubungan keperawatan selama 2x24 jam masalah Fever treatment
dengan hipertermi teratasi dengan kriteria Monitor suhu
proses hasil : tubuh
penyakit Risk control Monitor warna
dan suhu kulit
Monitor
tekanan darah
,nadi dan RR
Monitor
penurunan
tingkat
kesadaran
Keterangan : Monitor intake
1. Ekstrem dan output
2. Berat Berikan anti
3. Sedang piretik
4. Ringan
5. Tidak ada
Observasi
reaksi non
verbal dan
ketidaknyama
nan
Monitor vital
Keterangan :
sign
1.Ekstrem
Gunakan
2.Berat
tekhnik
3.Sedang
komunikasi
terpeutik
untuk
mengetahui
penggalaman
nyeri
Kaji tipe dan
27
Peningkatan 2 5
berat badan
Berat badan
ideal sesuai
dengan tinggi 2 5
badan
Tidak ada
tanda tanda
malnutrisi
29
Menunjukan 2 5 n intake fe
peningkatan Anjurkan
fungsi pasien untuk
pengecapan meningkatka
dari menelan n protein dan
vitamin c
Ajarkan
pasien
bagaimana
membuatt
catatan
makanan
harian
Monitor
jumlah kalori
dan nutrisi
Kaji
kemampuan
pasien untuk
mendapatkan
nutrisi yang
dibutuhkan
Keterangan :
1.Ekstrem
2.Berat
3.Sedang
4.Ringan
5.Tidak ada
Konsultasi
dengan dokter
tentang
penurunan dan
Keterangan :
peningkatan
1.Ekstrem
bising usus
2.Berat
Jelaskan
3.Sedang
etiologi dan
4.Ringan
rasionalisasik
5.Tidak ada
an tindakan
terhadap pasien
Kolaborasi
pemberian
laksatif
Memantau
bising usus
Ajarkan
pasien dan
keluarga
untuk diet
tinggi serat
11
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2011. Demam Typhoid di Jawa Tengah. Diunduh dari
http://www. Profil Kesehatan Jawa Tengah.go.id/dokumen/profil 2011/htn.
Nanda. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi. Edisi 10. Alih Bahasa:
Keliat,A,B, Dkk
Setiyohadi, Bambang. Aru W. Alwi Idris. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta: IDAI