Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN SISTEM PENCERNAAN

TYPHOID FEVER

A. Konsep Penyakit Typhoid Fever


1. Definisi
Typhoid fever adalah suatu penyakit infeksi oleh bakteri
Salmonella typhii dan bersifat endemik yang termasuk dalam penyakit menular
(Cahyono, 2010). Demam typhoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhii (Elsevier, 2013). Typhoid fever ( typhus
abdominalis ,enteric fever ) adalah infeksi sistemik yang disebabkan kuman
salmonella enterica, khususnya varian varian turunanya, yaitu salmonella typhi,
Paratyphi A, Paratyphi B, Paratyphi C. Kuman kuman tersebut menyerang saluran
pencernaan, terutama di perut dan usus halus. Typhoid fever sendiri merupakan
penyakit infeksi akut yang selalu ditemukan di masyarakat (endemik) Indonesia.
Penderitanya juga beragam, mulai dari usia balita, anak- anak, dan dewasa
(Suratun dan Lusianah, 2010).
Berdasarkan pengertian tentang typhoid fever di atas maka didapatkan
kesimpulan bahwa typhoid fever adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
yang bernama salmonella typhi yang menyerang system pencernaan yang masuk
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi (Cahyono, 2010; Elsiver,
2013; Suratun dan Lusianah, 2010).

6
7

2. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi

2. Fisiologi
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut
sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk
menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-
zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat
dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.
Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar
saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
A. Rongga Mulut
Secara umum berfungsi untuk menganalisis makanan sebelum menelan,
proses penghancuran makanan secara mekanis oleh gigi, lidah dan permukaan
palatum, lubrikasi oleh sekresi saliva serta digesti pada beberapa material
karbohidrat dan lemak.
1) Mulut
Mulut dibatasi oleh mukosa mulut, pada bagian atap terdapat palatum dan
8

bagian posterior mulut terdapat uvula yang tergantung pada palatum.


2) Lidah
Lidah terdiri dari jaringan epitel dan jaringan epitelium lidah dibasahi oleh
sekresi dari kelenjar ludah yang menghasilkan sekresi berupa air, mukus dan
enzim lipase. Enzim ini berfungsi untuk menguraikan lemah terutama
trigleserida sebelum makanan di telan. Fungsi utama lidah meliputi, proses
mekanik dengan cara menekan, melakukan fungsi dalam proses menelan,
analisis terhadap karakteristik material, suhu dan rasa serta mensekresikan
mukus dan enzim.
3) Kelenjar saliva
Kira-kira 1500 mL saliva disekresikan per hari, pH saliva pada saat istirahat
sedikit lebih rendah dari 7,0 tetapi selama sekresiaktif, pH mencapai 8,0. Saliva
mengandung 2 enzim yaitu lipase lingual disekresikan oleh kelenjar pada lidah
dan α-amilase yang disekresi oleh kelenjar-kelenjar saliva.
Kelenjar saliva tebagi atas 3, yaitu kelenjar parotis yang menghasilkan serosa
yang mengandung ptialin. Kelenjar sublingualis yang menghailkan mukus yang
mengandung musin, yaitu glikoprotein yang membasahi makanan dan
melndungi mukosa mulut dan kelenjar submandibularis yang menghasilkan
gabungan dari kelenjar parotis dan sublingualis. Saliva juga mengandung IgA
yang akan menjadi pertahanan pertama terhadapkuman dan virus.
Fungsi penting saliva antara lain, memudahkan poses menelan, mempertahankan
mulut tetap lembab, bekerja sebagai pelarut olekul-molekul yang merangsang
indra pengecap, membantu proses bicara dengan memudahkan gerakan bibir
dan lidah dan mempertahankan mulut dan gigi tetap bersih.
4) Gigi

Fungsi gigi adalah sebagai penghancur makanan secara mekanik. Jenis


gigi di sesuaikan dengan jenis makanan yang harus dihancurkannya dan
prosses penghancurannya. Pada gigi seri, terdapat di bagian depan rongga
mulut berfungsi untuk memotong makanan yang sedikit lunak dan
potongan yang dihasilkan oleh gigi seri masih dalam bentuk potongan
yang kasar, nantinya potongan tersebut akan dihancurkan sehingga
menjadi lebih lunak oleh gigi geraham dengan dibantu oleh saliva
sehingga nantinya dapat memudahkan makanan untuk menuju saluran
pencernaan seterusnya. Gigi taring lebih tajam sehingga difungsikan
9

sebagai pemotong daging atau makanan lain yang tidak mampu dipotong
oleh gigi seri.
B. Faring
Faring merupakan jalan untuk masuknya material makanan, cairan dan
udara menuju esofagus. Faring berbentuk seperti corong dengan bagian atasnya
melebar dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sabagai esofagus setinggi
vertebrata cervicalis keenam. Bagian dalam faring terdapat 3 bagian yaitu
nasofaring,orofaring dan laringfaring. Nasofaring adalah bagian faring yang
berhubungan ke hidung. Orofaring terletak di belakang cavum oris dan
terbentang dari palatum sampai ke pinggir atas epiglotis. Sedangkan laringfaring
terletak dibelakang pada bagian posterior laring dan terbentang dari pinggir atas
epiglotis sampai pinggir bawah cartilago cricoidea.

C. Laring
Laring adalah organ yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu
masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Sfingter pada laring
mengatur pergerakan udara dan makanan sehingga tidak akan bercampur dan
memasuki tempat yang salah atau yang bukan merupakan tempatnya. Sfingter
tersebut meupakan epiglotis. Epiglotis akan menutup jalan masuk udara saat
makanan ingin masuk ke esofagus.

D. Esofagus
Esofagus adalah saluran berotot dengan panjang sekitar 25 cm dan
diameter sekitar 2 cm yang berfungsi membawa bolus makanan dan cairan
menuju lambung. Otot esofagus tebal dan berlemak sehingga moblitas esofagus
cukup tinggi. Peristaltik pada esofagus mendorong makanan dari esofagus
memasuki lambung. Pada bagian bawah esofagus terdapat otot-otot
gastroesofagus (lower esophageal sphincter, LES) secara tonik aktif, tetapi akan
melemas sewaktu menelan. Aktifasi tonik LES antara waktu makan mencegah
refluks isi lambung ke dalam esofagus. Otot polos pada esofagus lebih menonjol
diperbatasan dengan lambung (sfingter intrinsik). Pada tempat lain, otot rangka
melingkari esofagus (sfrinter ekstrinsik) dan bekerja sebagai keran jepit untuk
esofagus. Sfringte ekstrinsik dan intrinsik akan bekerjasama untuk
memungknkan aliran makanan yang teratur kedalam lambung dan mencegah
refluks isi lambung kembali ke esofagus.
10

E. Lambung
Lambung terletak di bagian kiri atas abdomen tepat di bawah
diafragma. Dalam keadaan kosong, lambung berbentuk tabung J dan bila penuh
akan tampak seperti buah alpukat. Lambung terbagi atas fundus, korpus dan
pilorus. Kapasitas normal lambung adalah 1-2 L. Pada saat lambung kosong atau
berileksasi, mukosa masuk ke lipatan yang dinamakan rugae. Rugae yang
merupakan dinding lambung yang berlipat-lipat dan lipatan tersebut akan
menghilang ketika lambung berkontraksi. Sfingter pada kedua ujung lambung
mengatur pengeluarn dan pemasukan lambung. Sfingter kardia, mengalirkan
makanan masuk ke lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki
esofagus kembali. Sedangkan sfingter pilorus akan berelaksasi saat makanan
masuk ke dalam duodenum dan ketika berkontraksi, sfingter ini akan mencegah
aliran balik isi usus halus ke lambung.
Fisiologi lambung terdiri dari dua fungsi yaitu, fungsi motorik sebagai
proses pergerakan dan fungsi pencernaan yang dilakukan untuk mensintesis zat
makanan, dimana kedua fungsi ini akan bekerja bersamaam, berikut adalah
fisiologi lambung :
a. Fungsi Motorik
1) Reservoir, yaitu menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedkit
demi sedikit dicernkan dan bergerak pada saluran cerna. Menyesuaikan
peningkatan volume tanpa menambah tekanan dan relaksasi reseptif otot
polos.
2) Mencampur, yaitu memecahkan makanan menjadi partikel- partikel kecil
dan mencampurnya dengan getah lambung melauli kontraksi otot yang
mengeliligi lambung.

3) Pengosongan lambung, diatur oleh pembukaan sfingter pilorus yang


dipengaruhi oleh viskositas, volume, keasaman, aktivitas osmotik,
keadaan fisik, emosi, aktivitas dan obat-obatan.
b. Fungsi Pencernaan
1) Pencernaan protein, yang dilakukan oleh pepsin dan sekresi HCl dimulai
pada saat tersebut. Pencernaan kabohidrat dan lemak oleh amilase dan
lipase dalam lambung sangat kecil.
2) Sistesis dan pelepasan gastrin, hal ini dipengaruhi oleh protein yang
dimakan, peregangan antrum, alkalinisasi antrum dan rangsangan vagus.
11

3) Sekresi faktor intrinsik, yang memungkinkan terjadinya absorpsi vitamin


B2 dari usus halus bagian distal.
4) Sekresi mukus, sekresi ini membentuk selubung yang melindungi
lambung serta berfungsi sebagai pelumas sehigga makanan lebih mudah
diangkut.
Sekesi caian lambung memiliki 3 fase yang bekerja selama berjam-jam. Berikut
adalah fase-fase tersebut :
1) Fase sefalik, berfungsi untuk mempersiapkan lambung dari kedatangan
makanan dengan memberikan reaksi terhadap stimulus lapar, rasa makanan
atau stimulus bau dari indra penghidu. Reaksi lambung pada fase ini dengan
meningkatkan volume lambungdari stimulasi mukus, enzim dan prooduksi
asam, serta pelepasan gastrin oleh sel-sel G dalam durasi yang relatif singkat.
2) Fase gaster, berfungsi untuk memulai pengeluaran sekresi dari kimus dan
terjadinya permulaan digesti protein oleh pepsin. Reaksi tersebut terjadi dalam
durasi yang agak lama mencapai 3-4 jam. Saat reaksi ini selain terjadi
peningkatan produksi asam dan pepsinogen juga terjadi penigkatan motiltas
dan proses penghancuran material.
3) Fase intestinal, berfungsi untuk mengontrol pengeluaran kimus ke duodenum
dengan durasi yang lama dan menghasilkan reaksi berupa umpan balik dalam
menghambat produksi asam lambung dan pepsinogen serta pengurangan
motilitas lambung.

F. Usus Halus
Bagian awal dar usus halus adalah duodenum atau lebih sering disebut
duodenal cup atau bulb. Pada bagian ligamentum Treitz, duodenum berubah
menjadi jejunum. duodenum mempunyai panjang sekitar 25 cm dan
berhubungan dengan lambung, jejunum mempunyai panjang sekitar 2,5 m,
dimana proses digesti kmmia dan absorpsi nutrisi terjadi dalam jejunum
sedangkan ileum mempunyai panjang sekitar 3,5 m. Disepanjang usus halus
terdapat kelenjar usus tubular. Diduodenum terdapat kelenjar duodenum
asinotubular kecil yang membentuk kumparan. Disepanjang membran mukosa
usus halus yang diliputi oleh vili. Terdapat 20 sampai 40 vili per milimeter
persegi glukosa. Ujung bebes sel-sel evitel virus dibagi menjadi mikrovili yang
halus dan diseilmuti glikokaliks yang membentuk brush border. Mukus usus
terdiri dari berbagai macam enzim,seperti disakaridase, peptidase dan enzim lain
12

yang terlibat dalam penguraian asam nukleat.


Ada 3 jenis kontraksi otot polos pada usus halus antara lain :
1) Peristaltik, yaitu gerakan yang akan mendorong isi usus (kimus) ke arah
usus besar.
2) Kontraksi segmentalis, merupakan kontrasi mirip-cincin yang muncul
dalam interval yang relatif teratur di sepanjang usus lalu menghilang dan
digantikan oleh serangkaian kontrakisi cincin lain di segmen-segmen
diantara kontraksi sebelumnya. Kontrasi ini mendorong kimus maju
mundur dan meningkatkan pemajanannya dengan pemukaan mukosa.
3) Kontrasi tonik, merupakan kontraksi yang relatif lama untuk mengisolasi
satu segmen usus dngan segmen lain.

G. Usus Besar (Kolon)


Kolon memiliki diameter yang lebih besar dari usus halus. Kolon terdiri
atas sekum-sekum yang membentuk kantung-kantung sebagai dinding kolon
(haustra). Pada pertengahannya terdapat serat- serat lapisan otot eksterrnalnya
tekumpul menjadi 3 pita longitudinal yang disebut taenia koli. Bagian ileum
yang mengandung katup ileosekum sedikit menonjol ke arah sekum, sehingga
peningkatan tekanan kolon akan menutupnya sedangkan peningkatan tekanan
ileum akan menyebabkan katup tersebut terbuka. Katup ini akan secara efektif
mencegah refluks isi kolon ke dalam ileum. Dalam keadaan normal katup in
akan tertutup. Namun, setiap gelombang peristaltik, katup akan terbuka sehingga
memungkinkan kimus dari ileum memasuki sekum. Pada kolon terjadi
penyerapan air, natrium dan mineral lainnya. Kontraksi kerja massa pada kolon
akan mendorong isi kolon dari satu bagian kolon ke bagian lain. Kontraksi ini
juga akan mendorong isi kolon menuju ke rektum. Dari rektum gerakan zat sisa
akan terdorong keluar menuju anus dengan perenggangan rektum dan kemudian
mencetus refleks defekasi.

3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan rambut
getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu
13

600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Rahayu E.,


2013).

Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang menyebabkan


demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering di
daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene yang buruk (Brook,
2001).

Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu


Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena
untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus.
Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus
adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu
cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan ineksi Salmonella typhi
(Salyers dan Whitt, 2002).

Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi
akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah,
menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti
aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke
dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan
menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum,
kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder.
Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari
demam tifoid (Salyers dan Whitt, 2002).

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah
memenuhi kriteria penilaian.
14

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).

4. Patofisiologi
Kuman salmonella typhi yang masuk kesaluran gastro intestinal akan
ditelan oleh sel-sel fagosoit ketika masuk melewati mukosa dan oleh makrofag
yang ada di dalam lamina propina. Sebagian dari salmonella typhi ada yang
masuk ke usus halus mengadakan invanigasi ke jaringan limfoid usus halus (plak
peyer) dan jaringan limfoid mesentrika. Kemudian Salmonella typhi masuk
melalui folikel limfatik dan sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi bakterimia.
Bakterimia pertama-tama menyerang system retikulo endothelial (RES) yaitu:
hati, limpa, dan tulang, kemudian selanjutnya mengenai seluruh organ di dalam
tubuh antara lain system saraf pusat, ginjal dan jaringan limfa.
Usus yang terserang tifus umumnya ileum distal,tetapi kadang begian
lain usus halus dan kolon proksimal juga dihinggapi. Pada mulanya, plakat peyer
penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infitrat atau
hyperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis
dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum dari pada di kolon sesuai dengan
ukuran plak peyer yang ada disana. Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi
kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada
tukak yang menembus serosa. Setelah penderita sembuh, biasanya ulkus
membaik tanpa meninggalkan jaringan parut di fibrosis.
Masuknya kuman kedalam intestinal terjadi padsa minggu pertama
dengan tanda dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu tubuh akan naik
pada malam hari dan akan menurun menjelang pagi hari. Demam yang terjadi
pada masa ini disebut demam intermitet (suhu yang tinggi, naik-turun, dan
turunnya dapat mancapai normal), di samping peningkatan suhu tubuh ,juga
akan terjadi obstipasi sebagi akibat motilitas penurunan suhu tubuh, namun hal
ini tidak selalu terjadi dan dapt pula terjadi sebaliknya. Setelah kuman melewati
fase awal intestinal, kemudian masuk kesirkulasi sistemik dengan tanda
peningkatan suhu tubuh yang sangat tinggi dengan tanda tanda infeksi pada
RES seperti nyeri perut kanan atas, splenomegali dan hepatomegali.
Pada minggu selanjutnya di mana infeksi Intestinal terjadi dengan
15

tanda-tanda suhu tubuh masih tetap tingi, tetapi nilainya lebih rendah dari fase
bakterimia dan berlangsung terus menerus (demam kontinu), lidah kotor, tetapi
lidah hiperemis, penurunan peristaltik, gangguan digesti dan absorpsi sehingga
akan terjadi distensi, diare dan pasien akan merasa tidak nyaman. Pada masa ini
dapat terjadi perdarahan usus, perforasi, dan peritonitis dengan tanda distensi
abdomen berat, peristaltik usus menurun bahkan hilang, melena, syok, dan
penurunan kesadaran (Arif Muttaqin, 2003)

5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas
dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang
mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala
sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi
gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit
penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja (Hoffman, 2002).

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian (Sudoyo A.W., 2010).

Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari
menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena Streptococcus
atau Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa didapatkan pada
demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil
lebih mungkin disebabkan oleh malaria (Sudoyo A.W., 2010).

Masa inkubasi demam typhoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala- gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian.
16

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut,
batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan – lahan terutama pada sore hari
hingga malam hari. (Perhimpunan Dokter Spesial Penyakit dalam Indonesia, 2014)

Masa tunas 7-14 hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodroma


( gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas )
1. Perasaan tidak enak badan

2. Nyeri kepala

3. Pusing

4. Diare

5. Anoreksia

6. Batuk

7. Nyeri otot

8. Muncul gejala klinis yang lain

Demam berlangsung 3 minggu. Minggu pertama: demam ritmen,


biasanya menurun pagi hari, dan meningkat pada sore dan malam hari.
Minggu kedua: demam terus. Minggu ketiga: demam mulai turun secara
berangsur-angsur, gangguan pada saluran pencernaan, lidah kotor yaitu
ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai
tremor, hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan, gangguan pada
kesadaran, kesadaran yaitu apatis-samnolen. Gejala lain ”RESEOLA”
(bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit).

6. Komplikasi
Menurut sodikin (2011) komplikasi biasanya terjadi pada usus halus,namun
haal tersebut jarang terjadi. Apabila komplikasi ini terjadi pada seorang anak, maka
dapat berakibat fatal. Gangguan pada usus halus dapat berupa :
1. Perdarahan Usus
17

Apabila perdarahan terjadi dalam jumlah sedikit, perdarahan tersebut hanya


dapat ditemukan jika dilakukan pemeriksaan feses dengan benzidin, jika
perdarahan banyak maka dapat terjadi melena yang bisa disertai nyeri perut
dengan tanda- tanda renjatan. Perforasi usus biasanya timbul pada minggu
ketigaatau setelahnya dan terjadi pada bagian usus distal ileum.
2. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat
udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
3. Peritonitis
Peritonitis biasanya menyertai perforasi, namun dapat juga terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut seperti nyeri perut yang hebat,
dinding abdomen tegang (defebce musculair) dan nyeri tekan.
4. Komplikasi Diluar Usus
Terjadi lokalisasi peradangan akibat sepsis (bacteremia), yaitu meningitis,
kolesistisis, ensefalopati, dan lain – lain. Komplikasi diluar usus ini terjadi
karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan penunjang pada pasien dengan typhoid adalah pemerikasaan
laboratorium, yang terdiri dari :
1. Pemeriksaan Leuokosit
Didalam beberpa literatur dinyatakan bahwa typoid terdapat leukopenia dan
limpositosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidak sering di jumpai. Pada
kebanyakan kasus typhoid fever, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada
pada batas batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak
ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa typhoid fever
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada typhoid fever sering kali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid fever.
3. Biakan Darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan typhoid fever, tetapi bila biakan
darah negative tidak menutup kemungkinan akan terjadi typhoid fever. Hal ini
18

dikarenakan hasil biakan darah tergantung beberapa faktor :

a. Tekhnik Pemeriksaan Laboratorium


hasil pemeriksan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain,
hal ini disebabjkan oleh perbedaan tekhnik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam
yang tinggi yaitu pada saat bakterimia berlangsung.
b. Saat Pemeriksaan Selama Perjalanan Penyakit
Biakan darah pada Salmonella typhi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan
darah dapat positif kembali
c. Vaksinasi Dimasa Lampau
Vaksinasi terhadap typhoid fever di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakterimia sehingga
biakan darah negatif
d. Pengobatan Dengan Obat Anti Mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif
4. Uji Widal

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan anti bodi
(agglutinin). Agglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi terdapat dalam
serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah di
vaksinasikan. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah suspense
salmonella yang sudah dimatikan dan di olah di laboratorium tujuan dari uji
widal ini adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum klien yang di
sangka menderita typhoid. Akibat infeksi salmonella typhi, klien membuat anti
bodi atau agglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang di buat karena rangsangan antigen O (berasal
dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat dari rangsanaganantigen Vi (berasal
dari simpai kuman)
19

5. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9
pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang
terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi
yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara
spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil
negatif (Sudoyo A.W., 2010).

8. Penatalaksanaan
1. Medis
Penatalaksanaan demam typhoid secara medis menurut Ngastiyah (2005) antara
lain:
a. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta.
b. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang
lama, lemah, anoreksia.
c. Istirahat selama demam sampai dengan dua minggu setelah suhu normal
kembali (istirahat total), kemudian boleh duduk, jika tidak panas lagi boleh
berdiri kemudian berjalan di ruangan.
d. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahkan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang
dan tidak menimbulkan gas. Susu dua gelas sehari, bila kesadaran pasien
menurun diberikan makanan cair, melalui sonde lambung. Jika kesadaran dan
nafsu makan anak baik dapat juga diberikan makanan lunak.
e. Obat pilihan adalah kloramfenikol, kecuali pasien tidak cocok diberikan obat
lainnya seperti kotrimoksazol. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi,
yaitu 100 mg/kg berat badan/hari (makanan 2 gram per hari), diberikan empat
kali sehari per oral atau intravena. Pemberian kloramfenikol dengan dosis
tinggi tersebut mempersingkat waktu perawatan dan mencegah relaps. Efek
negatifnya adalah mungkin pembentukan zat anti kurang karena basil terlalu
cepat dimusnahkan.
f. Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. Bila terjadi
dehidrasi dan asidosis diberikan cairan secara intravena.
20

Medikasi yang digunakan untuk demam typhoid menurut Rampengan


(2008) selain kloramfenikol, obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara
lain:
a. Tiamfenikol: 50-100 mg/ kg berat badan/ hari.
b. Kotrimoksasol: 6-8 mg/ kg berat badan/ hari.
c. Ampisilin: 100-200 mg/kg berat badan/ hari.
d. Amoksilin: 100 mg/ kg berat badan/ hari.
e. Sefriakson: 50-100 mg/ kg berat badan/ hari.
f. Sefotaksim: 150-200 mg/ kg berat badan/ hari.
g. Siprofloksasin: 2 x 200-400 mg oral (usia kurang dari 10 tahun).
2. Keperawatan
Penatalaksanaan demam typhoid ditinjau dari segi keperawatan menurut
Ngastiyah (2005), adalah Pasien typhoid harus dirawat di kamar isolasi yang
dilengkapi dengan peralatan untuk merawat pasien yang menderita penyakit
menular seperti desinfektan mencuci tangan, merendam pakaian kotor dan pot
atau urinal bekas pakai pasien. Yang merawat atau sedang menolong pasien agar
memakai celemek.
Masalah pasien typhoid yang perlu diperhatikan adalah:
a. Kebutuhan nutrisi atau cairan dan elektrolit.
Pasien typhoid umumnya menderita gangguan kesadaran dari apatik
sampai spoorokoma, delirium (yang berat) disamping anoreksia dan demam
lama. Keadaan ini menyebabkan kurangnya masukan nutrisi atau cairan
sehingga kebutuhan nutrisi yang penting untuk masa penyembuhan berkurang
pula, dan memudahkan timbulnya komplikasi. Selain hal itu, pasien typhoid
menderita kelainan berupa adanya tukak-tukak pada usus halus sehingga
makanan harus disesuaikan. Diet yang diberikan ialah makanan yang
mengandung cukup cairan, rendah serat, tinggi protein dan tidak
menimbulkan gas. Pemberiannya melihat keadaan pasien.
1) Jika kesadaran pasien masih baik, diberikan makanan lunak dengan lauk
pauk dicincang (hati, daging), sayuran labu siam atau wortel yang
dimasak lunak sekali. Boleh juga diberi tahu, telur setengah matang atau
matang direbus. Susu diberikan 2 x 1 gelas atau lebih, jika makanan tidak
habis diberikan ekstra susu.
21

2) Pasien yang kesadarannya menurun sekali diberikan makanan cair per


sonde, kalori sesuai dengan kebutuhannya. Pemberiannya diatur setiap 3
jam termasuk makanan ekstra seperti sari buah, bubur kacang hijau yang
dihaluskan. Jika kesadaran membaik makanan beralih secara bertahap ke
lunak.
3) Jika pasien menderita delirium, dipasang infus dengan cairan glukosa dan
NaCl. Jika keadaan sudah tenang berikan makanan per sonde di samping
infus masih diteruskan. Makanan per sonde biasanya merupakan
setengah dari jumlah kalori, setengahnya masih per infus. Secara
bertahap dengan melihat kemajuan pasien, beralih ke makanan biasa.
b. Gangguan suhu tubuh.
Pasien tifus abdominalis menderita demam lama, pada kasus yang
khas demam dapat sampai 3 minggu. Keadaan tersebut dapat menyebabkan
kondisi tubuh lemah, dan mengakibatkan kekurangan cairan, karena
perspirasi yang meningkat. Pasien dapat menjadi gelisah, selaput lendir mulut
dan bibir menjadi kering dan pecah-pecah.
Penyebab demam, karena adanya infeksi basil Salmonella typhosa,
maka untuk menurunkan suhu tersebut hanya dengan memberikan obatnya
secara adekuat, istirahat mutlak sampai suhu turun diteruskan 2 minggu lagi,
kemudian mobilisasi bertahap. Jika pasien diberikan makanan melalui sonde,
obat dapat diberikan bersama makanan tetapi berikan pada permulaan
memasukkan makanan, jangan dicampur pada semua makanannya atau
diberikan belakangan karena jika pasien muntah obat akan keluar sehingga
kebutuhan obat tidak adekuat.
Ruangan diatur agar cukup ventilisi. Untuk membantu, menurunkan
suhu tubuh yang biasanya pada sore hari dan malam hari lebih tinggi jika
suhu tinggi sekali cara menurunkan lihat pada pembahasan tentang
hiperpireksia. Di samping kompres berikan pasien banyak minum boleh
sirup, teh manis, atau air kaldu sesuai kesukaan anak.
Anak jangan ditutupi dengan selimut yang tebal agar penguapan suhu
lebih lancar. Jika menggunakan kipas angin untuk membantu menurunkan
suhu usahakan agar kipas angin tidak langsung kearah tubuh pasien.
c. Gangguan rasa aman dan nyaman.
22

Gangguan rasa aman dan nyaman pasien typhoid sama dengan pasien lain,
yaitu karena penyakitnya serta keharusan istirahat di tempat tidur, jika ia
sudah dalam penyembuhan. Khusus pada pasien typhoid, karena lidah kotor,
bibir kering, dan pecah-pecah menambah rasa tak nyaman disamping juga
menyebabkan tak nafsu makan. Untuk itu pasien perlu dilakukan perawatan
mulut 2 kali sehari, oleskan boraks gliserin (krim) dengan sering dan sering
berikan minum. Karena pasien apatis harus lebih diperhatikan dan diajak
berkomunikasi. Jika pasien dipasang sonde perawatan mulut tetap dilakukan
dan sekali-kali juga diberikan minum agar selaput lendir mulut dan tenggorok
tidak kering. Selain itu sebagai akibat lama berbaring setelah mulai berjalan
harus mulai dengan menggoyang-goyangkan kakinya dahulu sambil duduk di
pinggir tempat tidur, kemudian berjalan di sekitar tempat tidur sambil
berpegangan. Katakan bahwa gangguan itu akan hilang setelah 2-3 hari
mobilisasi.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
1. Identitas, sering ditemukan pada anak berumur di atas satu tahun.
2. Keluhan utama berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan
kurang bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama masa inkubasi).
3. Suhu tubuh. Pada kasus yang khas, demam berlangsung selama tiga minggu,
bersifat febris remiten, dan suhunya tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama
suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap harinya, biasanya menurun pada pagi
hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien
terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur turun
dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
4. Kesadaran. Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak beberapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi spoor, koma, atau gelisah (kecuali
bila penyakitnya berat dan terlambat mendapat pengobatan). Di samping gejala-
gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan anggota
gerak dapat ditemukan reseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil
dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang-
kadang ditemukan pula bradikardia dan epistaksis pada anak besar.
5. Pemeriksaan fisik
23

1) Mulut, terdapat napas yang berbau tidak sedap serta bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (Cated tongue), sementara
ujung dan tepinya berwarna kemerahan, dan jarang disertai tremor.
2) Abdomen, dapat ditemukan keadaan perut kembung (Meteorismus). Bisa
terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal.
3) Hati dan limpa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan.
6. Pemeriksaan laboratorium
1) Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis
relative, dan aneosiniofilia pada permulaan sakit.
2) Darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal.
3) Bukan empedu basil Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah pasien
pada minggu pertama sakit. Selanjutnya, lebih sering ditemukan dalam urin
dan feces.
4) Pemeriksaan widal
Untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan ialah liter zat anti
terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan
kenaikan yang progresif (Nursalam, 2005).
24

2. Pathway

3. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi).
25

2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.


3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dari
intake yang tidak adekuat..
4. Resiko Kekurangan volume cairan berhubungan intake yang tidak adekuat.
5. Konstipasi berhubungan dengan penurunan mortilitas traktus
gastrointestinal (penurunan motilitas usus).
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif (Suriadi, 2006)

4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
NO keperawatan Tujuan/KriteriaHasil/Indikator(NOC) Intervensi (NIC)
1 Hipertermi Setelah dilakukan tindakan NIC
berhubungan keperawatan selama 2x24 jam masalah Fever treatment
dengan hipertermi teratasi dengan kriteria  Monitor suhu
proses hasil : tubuh
penyakit Risk control  Monitor warna
dan suhu kulit
 Monitor
tekanan darah
,nadi dan RR
 Monitor
penurunan
tingkat
kesadaran
Keterangan :  Monitor intake
1. Ekstrem dan output
2. Berat  Berikan anti
3. Sedang piretik
4. Ringan
5. Tidak ada

2 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan NIC


berhubunga keperawatan selama 2x24 jam Pain
n dengan diharapakan masalah nyeri pasien Management
agen injury teratasi dengan kriteria hasil:  Kaji nyeri
biologis Pain Level, Pain control, Comfort secara
level komprehensif
26

 Observasi
reaksi non
verbal dan
ketidaknyama
nan
 Monitor vital
Keterangan :
sign
1.Ekstrem
 Gunakan
2.Berat
tekhnik
3.Sedang
komunikasi
terpeutik
untuk
mengetahui
penggalaman
nyeri
 Kaji tipe dan
27

4.Ringan sumber nyeri


5.Tidak ada un tuk
menentukan
intervensi
 Ajarkan
tentang
tekhnik
nonfarmakolo
gi, nafas
dalam,
relaksasi,
distraksi, dan
kompres
hangat
 Tingkatkan
istsrahat
 Berikan
analgetik
untuk
mengurangi
nyeri
 Kolaborasika
n dengan
dokter jika
ada keluhan
dan tindakan
nyeri tidak
berhasil
3 Ketidakseimb Setelah dilakukan tindakan NIC
angan nutrisi keperawatan selama 2x24 jam Nutrition
kurang dari diharapakan masalah Management
kebutuhan ketidakseimbangan nutrisi pasien  Kaji adanya
tubuh teratasi dengan kriteria hasil: alergi
berhubungan Nutrition Status: food and Fluid makanan
dengan intake intake  Kolaborasi
yang tidak dengan ahli
adekuat gizi untuk
menentukan
jumlah kalori
dan nutrisi
yangdi
butuhkan
pasien
 Anjurkan
untuk
meningkatka
Indikator Awal Tujuan
2 5
28

 Peningkatan 2 5
berat badan
 Berat badan
ideal sesuai
dengan tinggi 2 5
badan
 Tidak ada
tanda tanda
malnutrisi
29

 Menunjukan 2 5 n intake fe
peningkatan  Anjurkan
fungsi pasien untuk
pengecapan meningkatka
dari menelan n protein dan
vitamin c
Ajarkan
pasien
bagaimana
membuatt
catatan
makanan
harian
 Monitor
jumlah kalori
dan nutrisi
 Kaji
kemampuan
pasien untuk
mendapatkan
nutrisi yang
dibutuhkan
Keterangan :
1.Ekstrem
2.Berat
3.Sedang
4.Ringan
5.Tidak ada

Indikator Awal Tujuan


 Mempertahank 2 5
an urin output
sesuai dengan
bb,usia,bj urine
normal,ht
normal
 TTV normal 2 5
 Tidak ada 2 5
tanda-tanda
dehidrasi
30

4 Resiko Setelah dilakukan tindakan NOC


kekuranaga keperawatan selama 2x24 jam Fluid
n volume diharapakan masalah kekurangan management
cairan volume cairan pasien teratasi dengan  pertahankan
berhubunga kriteria hasil: intake outpit
n dengan Nutritional Status: food and Fluid yang akurat
intake yang intake  Monitor
tidak status hidrasi
adekuat  Monitor
masukan
makann/caira
n dan hitung
intke kalori
harian
 Kolaborasi
pemberian
cairan
 Monitor
status nutrisi
Keterangan :  Dorong
1.Ekstrem masukan oral
2.Berat  Kolaborasi
3.Sedang dengan
4.Ringan dokter
5.Tidak ada
5. Kurang Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC
pengetahuan a.Jelaskan
selama 2x24 jam diharapakan masalah patofisiologi dari
berhubungan
dengan kurang pengetahuan dapat menghilang penyakit dan
keterbatasan bagaimana hal ini
Tujuan : Mengatakan berhubungan dengan
kognitif
pemahaman poses belajar anatomi dan
fisiologi, dengan cara
Kriteria hasil : yang tepat
a. Pasien dan keluarga menyatakan b. Gambarkan tanda
pemahaman tentang penyakit, dan gejala yang biasa
kondisi, prognosis dan program muncul pada

pengobatan penyakit, dengan

b. Pasien dan keluarga mampu cara yang tepat


melaksanakan prosedur yang yang c.Identifikasi
dijelaskan secara benar kemungkinan

c. Pasien dan keluarga mampu penyebab, dengan

menjelaskan kembali apa yang cara yang tepat


dijelaskan perawat/tim kesehatan d.Diskusikan
lainnya perubahan gaya
hidup yang mungkin
diperlukan untuk
mencegah
komplikasi di masa
yang akan datang dan
atau proses
pengontrolan
penyakit
9

6. Konstipasi Setelah dilakukan tindakan NIC


berhubunga keperawatan selama 2x24 jam Constipation/I
Indikator Awal Tujuan
n dengan diharapakan masalah konstipasi pasien mpaction
 Mempertahank 2 5penurunan teratasi dengan kriteria hasil: Mnagement
an bentuk feses mortilitas Bowel elimination  Monitor
lunak setiap 1- traktus tanda dan
3 hari gastrointesti gejala
 Bebas dari 2 5nal konstipasi
ketidaknyaman (penurunan  Monitor
an dan mortilitas bising usus
konstipasi usus)  Monitor
 Mengindikasi 2 5 feses:frekuen
indicator untuk si, konsistensi
mencegah dan volume
konstipasi cairan
10

 Konsultasi
dengan dokter
tentang
penurunan dan
Keterangan :
peningkatan
1.Ekstrem
bising usus
2.Berat
 Jelaskan
3.Sedang
etiologi dan
4.Ringan
rasionalisasik
5.Tidak ada
an tindakan
terhadap pasien
 Kolaborasi
pemberian
laksatif
 Memantau
bising usus
 Ajarkan
pasien dan
keluarga
untuk diet
tinggi serat
11

DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah Untuk.Mahasiswa. Jogjakarta: DIVA Press Arif,

S. Hartoyo, E. Srihandayani,D. 2009. Jurnal Hubungan Tingkat Demam Dengan


Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Penderita Demam
Tifoid.Lambung Mangkurat University.

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2011. Demam Typhoid di Jawa Tengah. Diunduh dari
http://www. Profil Kesehatan Jawa Tengah.go.id/dokumen/profil 2011/htn.

Elsevier. 2013. Ferri’s Clinical Advisor 2013: 5 Books in 1. Philadelphia: Elsevier,


Inc. Tjay

Gillespie, H, S & Bamford, B, K. At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi.Edisi


Ketiga.Alih Bahasa: H, T, Stella. Jakarta: Erlangga

Gozali, A, J. 2013. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan. Jakarta: Salemba Medika

Luklukaningsih, Z. 2014. Anatomi Fisiologi dan Fisioterapi. Yogyakarta: Nuha


Medika

Lusiana dan Suratun. 2010. Asuahan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Gastro Intestinanl. Jakarta : Trans Info Medika

Masjoer, Arief. 2003. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius


Moehario. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

Muttaqin, Arif. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan


Medikal Bedah. Jakarta: Salemba medika

Cahyono, J.B. Suharyo B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit


Infeksi. Yogyakarta: Nuha Medika

Nanda. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi. Edisi 10. Alih Bahasa:
Keliat,A,B, Dkk

Nurarif, H, A, & Kusuma, H. 2015. Nanda NIC-NOC Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis. Jogjakarta: Mediaaction
12

Pramitasari, O. P. 2013. Jurnal Faktor Resiko Kejadian Penyakit Philadelphia, Pa:


Saunders Elsevier; 2008: chap 48

Padila. 2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam.Yogyakarta: Nuha Medika

Paramitasari, Q. P. 2013. Jurnal Faktor Resiko Kejadian Penyakit. Philadelphia, Pa:


Saunder Elsiver, 2008: Chap 48

RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik


Indonesia.

RI. 2013. Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. Jakarta:


Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan

Setiyohadi, Bambang. Aru W. Alwi Idris. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.

Jakarta: IDAI

Suyono, A. 2006. Jurnal Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Higiene Perorangan


dengan Kejadian Demam Tifoid di Puskesmas Bobotsari Kabupaten
Purbalingga.http://eprints.undip. ac.id/38200/. Diakses pada 5 Januari 2015
pukul 18.05 WITA.

Anda mungkin juga menyukai