Anda di halaman 1dari 127

Bab 6

Kompetensi sebagai
Dasar Pengembangan
Kinerja Guru

Deskripsi Umum Materi


D a l a m b a b i n i a k a n d i b a h a s t e n t a n g pengembangan kinerja
g u r u b e r b a s i s k o m petensi yang mencakup makna kompetensi, jenis
kompetensi, serta kompetensi yang hares dimiliki oleh guru, baik secara
umum maupun menurut UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005
(UU ini berorientasi Competency Based Performance Management).
Di samping itu, diungkap juga tentang keterkaitannya dengan sertifikasi, serta
dampak dari sertifikasi guru dengan peningkatan kualitas
pendidikan dan peningkatan kesejahteraan guru secara finansial sebagai
dasar pendorong bagi guru untuk terus-menerus meningkatkan
kemampuan dan kompetensinya seiring dengan tuntutan yang terus
meningkat.

Tujuan Pembelajaran
Dengan mempelajari dan mendiskusikan bab ini, pembaca pembelajar
akan dapat lebih memahami tentang konsep kepemimpinan dan
aplikasinya dalam konteks kepemimpinan pendidikan kepala sekolah.
Oleh karena itu, setelah mengkaji bahasan dalam bab ini, mahasiswa
pembelajar diharapkan dapat:

menjelaskan makna kompetensi;


membedakan antara kompeten (competence dengan
kompetensi (competency);
menyebutkan dan menjelaskan jenis-jenis kompetensi,
menjelaskan kompetensi intelektual, emosional, sosial,
dan spiritual;
menjelaskan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru;
menjelaskan makna dan tujuan sertifikasi;
menyebutkan dan menjelaskan implikasi dan sertifikasi
terhadap kompetensi dan kompensasi;
menjelaskan keterkaitan pendekatan individu dan
pendekatan organisasi dan manajemer, dalam
pengembangan kinerja guru.

A. Pendahuluan
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai
kebijakan yang dipandang dapat menunjang terciptanya suatu proses pendidikan
yang makin produktif (efektif, efisien), baik aspek sarana prasarana, kurikulum,
maupun peningkatan kualitas SDM pendidik. Dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, maka upaya untuk meningkatkan kualitas guru semakin
tampak, dan kompetensi menjadi dasar utama untuk melihat bagaimana
kualitas guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Dengan
demikian konsep kompetensi menjadi amat penting, terlebih lagi keterkaitannya
dengan sertifikasi dan kompensasi yang meningkat seiring dengan kompetensi yang
harus dimiliki guru. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang kompetensi guru yang
dalam uraian berikut akan dimulai dengan konsep kompetensi secara umum untuk
dapat lebih memahami makna dan konteks kompetensi dalam kaitannya dengan kinerja
guru dan pengembangannya.

B. Konsep Kompetensi
Pada era dewasa ini , Sumber Daya Manusia (SDM) akan menjadi sumber kekuatan
yang makin penting bagi organisasi untuk mencapai tujuannya. Apabila SDM,
termasuk dalam bidang pendidikan, memiliki kompetensi yang handal dan
relevan dengan tuntutan pekerjaan yang akan dikerjakan, maka pencapaian tujuan
organisasi akan tercapai secara efektif dan efisien yang terwujud dalam kinerja
yang dijalaninya atau dalam peran dan tugas organisasi yang dilaksanakannya.
Oleh karena itu, pimpinan organisasi harus merencanakan pengembangan
kompetensi karyawan sesuai dengan desain pekerjaan dan rencana
pengembangan usaha, baik pada masa sekarang maupun di masa yang akan
datang berdasarkan proyeksi pengembangan organisasi yang telah tertuang
dalam tujuan jangka panjang dan strategi yang telah dipilih (Willy Susilo, 2002: 12).
Menurut Michael Zwell (2000: 9), terdapat tiga tonggak penting sebagai dasar bagi
kesuksesan organisasi yaitu:
1. The competence of its leadership.
2. The competence of its employees.
3. The degree to which the corporate culture fosters and maximizes competence.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa kompetensi menjadi hal yang dapat


mendorong dan mendasari keberhasilan organisasi dalam menjalankan
perannya di masyarakat. Oleh karena itu, setiap organisasi perlu terus
berupaya untuk menciptakan kondisi yang kondusif serta memfasilitasi
berkembang dan meningkatnya kompetensi seluruh anggota dalam
organisasi.
Pada era ekonomi yang berbasis informasi dewasa ini, SDM akan menjadi
sumber kekuatan bagi organisasi untuk mencapai tujuannya apabila SDM
tersebut memiliki kompetensi yang handal dan relevan dengan tuntutan
pekerjaan yang akan dilaksanakan. Dalam hubungan ini guru sebagai pendidik
dan desainer masa depan anak/siswa, jelas memerlukan kompetensi yang
memadai agar peroses pembelajaran yang dilakukan dapat memberi kontribusi
yang signifikan bagi perkembangan anak dalam situasi yang makin kompetitif.
Oleh karena itu, pimpinan organisasi (Lembaga Pendidikan/Sekolah) harus
berupaya untuk mengembangkan kompetensi karyawan (untuk di sekolah
adalah guru dan tenaga kependidikan lainnya) sesuai dengan desain pekerjaan
dan rencana pengembangan usaha, baik pada masa sekarang maupun di
masa yang akan datang berdasarkan proyeksi pengembangan organisasi yang
telah tertuang dalam tujuan jangka panjang dan strategi yang telah dipilih (Willy
Susilo, 2002: 12). Menurut Spencer dan Spencer (1993: 34) pengembangan
kompetensi individu karyawan harus dilakukan secara seimbang antara
kompetensi intelektual, sosial, dan emosional. Untuk lebih memahami masalah
kompetensi, berkut ini akan dikemukakan uraian mengenai konsep kompetensi,
karakteristik kompetensi, jenis kompetensi, dan strategi untuk meningkatkan
kompetensi.
Banyak pakar Manajemen SDM dan Perilaku Organisasi yang
memberikan konsep mengenai kompetensi dengan ungkapan dan bahasa yang
berbeda-beda, namun makna yang terkandung di dalamnya hampir sama, yaitu
bahwa kompetensi adalah karakteristik utama dari individu untuk menghasilkan
kinerja superior dalam melakukan pekerjaan yang mencakup motif, sifat, konsep
diri, pengetahuan, dan keahlian.
Menurut para pakar Manajemen SDM, competence (jamaknya
competences) dan competency (jamaknya competencies) mempunyai makna yang
berbeda. Competence mengacu pada pekerjaan sedangkan competency mengacu
pada orang; competence memusatkan perhatian pada tugas dan hasil yang
diperlukan untuk suatu pekerjaan, sedangkan competency memusatkan pada
identifikasi karakteristik individu (Wood dan Payne, 1998: 26). Secara lebih rinci
Whiddett dan Hollyforde (2003: 6) membedakan makna competence dan
competency sebagaimana terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 6.1. Perbedaan Competence dan Competency
Competency Competence
Focus The person The job/role
Summary of Behaviours observed in Related tasks in the
Example effective people job/roles
interpersonal effectiveness Dealing with enquiries
Performance Indicator Behavioral statement Output from the job, task,
Examples or role

Adapts style of interaction Accurately completes


to take account of feeling enquiry from
of others Replies within agreed
Share information to again deadline
commitment from others Accurately anter details on
database

Dalam tulisan ini istilah kompetensi yang dipergunakan adalah kompetensi dalam
arti competency, meskipun dalam kenyataannya kedua istilah tersebut ada
keterkaitan mengingat dalam konteks kehidupan organisasi seperti organisasi
sekolah hal tersebut mempunyai peranan yang penting dalam manajemen suatu
organisasi. Berkut ini akan diuraikan mengenai konsep kompetensi,
karakteristik kompetensi, jenis kompetensi, dan strategi untuk meningkatkan
kompetensi.
Banyak pakar Manajemen SDM dan Perilaku Organisasi yang
memberikan konsep mengenai kompetensi dengan ungkapan dan bahasa yang
berbeda-beda, namun makna yang terkandung di dalamnya hampir lama, yaitu
bahwa kompetensi adalah karakteristik utama dari individu untuk
menghasilkan kinerja superior atau kinerja yang unggul dalam melakukan
pekerjaan yang mecakup motif, sifat, konsep diri, pengetahuan, dan keahlian.
Berikut akan dikemukakan pengertian kompetensi menurut pendapat para ahli.

Tabel 6.2. Pendapat Pakar tentang Kompetensi


No Pengertian Kompetensi/competency Pendapat
1 Competency is an underling characteristic of a Klemp, 1980 (Wood dan
person which results in effective and/or superior Payne, 1998: 24
performance in a job
2 An underlying characteristic of a person in that it Boyatzis, 1982 (Whitdett
may motive, a trait, a skill, an aspect of ones self- dan Hollyforde,2003:6)
image or social role, or body of knowledge which
he or she uses
3 An underlying characteristic of an individual that is (Spencer and spencer
casualy related to criterios-referenced effective 1993: 9)
and/or superior performance
4 as enduring traits and characteristics that determine (Michael Zwell, 2008:18)
performance
5 Kombinasi pengetahuan, kemampuan/keterampilan (Willy Susilo,2001:6)
dan sikap yang dimiliki oleh seorang karyawan
sehingga mampu melaksanakan pekerjaan yang
telah dirancang bagi dirinya baik untuk saat ini
maupun dimasa akan datang
6 Perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, (Mulyasa,2003:37)
dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan
bekerja dan bertindak
7 Competencies are behavior that individuals (Whitdett dan Hollyforde,
demonstrate when undertaking job-relevant task 2003:7)
effectively within a given organization contextt

Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa kompetensi merupakan


karakteristik i ndivi du yang m endasari perilaku seseorang dal am
m el aksanakan suat u pekerj aan (ki ne rj a), bai k itu penget ahuan,
keterampilan, sikap ataupun motive, yang akan mempengaruhi pada kinerja seseorang,
Kompetensi seseorang pada dasarnya merupakan gabungan dari berbagai faktor
yang berinteraksi yang membentuk suatu kinerja. Oleh karena itu, kompetensi
merupakan hal yang amat penting karena akan menentukan kinerja seseorang,
baik itu sebagai pegawai maupun sebagai tenaga pendidik. Hal ini berarti bahwa
upaya untuk menjadikan kompetensi sebagai dasar rekrutmen dan pengembangan
menjadi suatu keharusan, apalagi dalam konteks perubahan yang terjadi dewasa ini.
Spencer and Spencer 0 993: 9) mengemukakan bahwa kompetensi individu
merupakan karakter sikap dan perilaku, atau kemampuan indi vidual yang relatif
bersifat stabil ketika menghadapi suatu situasi di tempat kerja yang terbentuk dari
sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal, Berta kapasitas pengetahuan
kontekstual. Ada lima karakteristik utama dari kompetensi yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kinerja individu karyawan, yaitu:
1. Motif (motives), yaitu sesuatu yang dipikirkan atau diinginkan oleh
seseorang secara konsisten dan adan ya dorongan unt uk
mewujudkannya dalam bentuk tindakan-tindakan.
2. Watak (traits), yaitu karakteristik mental dan konsistensi respon seseorang
terhadap rangsangan, tekanan, situasi, atau informasi.
3. Konsep diri (self concept), yaitu tata nilai luhur yang dijunjung tinggi
oleh seseorang, yang mencerminkan tentang bayangan diri atau sikap
diri terhadap masa depan yang dicita-citakan atau terhadap suatu
fenomena yang terjadi di lingkungannya.
4. Pengetahuan (knowledge), yaitu informasi yang memiliki makna yang dimiliki
seseorang dalam bidang kajian tertentu.
5. Keterampilan (skill), yaitu kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan fisik
atau mental.

Kompetensi pengetahuan dan keterampilan cenderung lebih nyata


(visible) dan relatif berada di permukaan (surface) sebagai salah satu
karakteristik yang dimiliki manusi a yang relatif lebih mudah untuk
dikembangkan melalui pengalaman atau pelatihan. Sedangkan kompetesi watak
dan motif cenderung lebih tersembunyi (hidden), dalam (deeper) dan berada pada titik
sentral (central) kepribadian seseorang sehingga cukup s u lit untuk dinilai dan
dikembangkan. Kompetensi motif, watak, dan konsep diri diharapkan dapat
memprediksi tindakan atau perilaku seseorang sehingga pada akhirnya dapat
memprediksi kinerja seseorang.
Meskipun kompetensi sulit untuk dipahami secara komprehensif, terutama
berkaitan dengan aspek yang tersembunyi, namun dalam tataran praktis,
manifestasinya dalam bentuk kinerja dapat menjadi dasar untuk melihat
kompetensi seorang pegawai meskipun sudah barang tentu perlu dilihat faktor
lain yang dapat berpegaruh terhadap berwujudnya suatu kinerja seseorang.
Untuk memahami aspek tersembunyi dan dalam dari kompetensi, dapat
dicukupkan dengan inferensi dari tataran praktis, sehingga tataran praktis kinerja
dapat menilai tentang kompetensi yang dimiliki oleh seseorang. Adapun aspek-aspek
dari kompetensi tersebut oleh Spencer digambarkan sebagai berikut:

Surface Trait motive


Most easily to develop Atitude Value Self-concept

Knowledge skill

Gambar 6.1 Kompetensi Utama dan kompetensi Permukaan


(sumber: Spencer dan Spencer, 1993: 11)

Kelima sumber atau karakteristik kompetensi di atas saling berinteraksi dan


bersinergi untuk membentuk kompetensi individu. Interaksi masing- masing
elemen kompetensi individu tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Pengetahuan

Motif Kompetensi Individu Watak

Konsep Diri Keterampilan

Gambar 6.2. Elemen Femhentuk Kompetensi Individual


(Sumber: Spencer and Spencer (1993: 9)

C. Jenis Kompetensi
Pengklasifikasian jenis kompetensi biasanya dilihat dari dimensi manus ia secara
personal dan hubungan antara personal karena manusia adala h mahluk sosial.
Para pakar seperti Willy Susilo (2002:17), Zohar dan Marshal (2000: 3) dan Ary
Ginanjar Agustian (2001: 62) mengatakan bahwa manusia memiliki tiga dimensi,
yaitu (1) fisik (body), (2) emosi (mind), dan (3) spiritual (soul) dan atas dasar
dimensi ini lalu mereka mengelompokkan kompetensi menjadi tiga, yakni (a)
kompetensi intelektual, (b) kompetensi emosional, dan (c) kompetensi spiritual.
Menurut Spencer dan Spencer (1993: 34) dimensi atau komponen kompetensi
individual terdiri dari tiga dimensi, yaitu: (a) kompetensi intelektual, (b)
kompetensi emosional, dan(c) kompetensi sosial. Pendapat ini
menggambarkan bahwa manusia mempunyai dimensi personal/individual
(intelektual dan emosional) dan dimensi sosial (kompetensi sosial). Berikut ini akan
dikemukakan penjelasan masing-masing dimensi kompetensi.

1. Kompetensi intelektual
Kompetensi intelektual adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan
kemampuan intelektual individu yang ` bersifat relatif stabil ketika menghadapi
permasalahan di tempat kerja, yang dibentuk dari sinergi antara watak, konsep diri,
motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan kontekstual. Danah Zohar
and Ian Marshall (2000:3) mengungkapkan bahwa kompetensi intelektual
adalah kemampuan dan kemauan yang berkaitan dengan pemecahan masalah-
masalah yang bersifat rasional atau strategik.
Sementara itu, menurut Spencer dan Spencer, (1993: 35-36)
kompetensi intelektual ini terinternalisasi dalam ben tuk sembilan
kompetensi, sebagai berikut:
Berprestasi, yaitu kemauan atau semangat seseorang untuk
berusaha mencapai kinerja terbaik dengan menetapkan tujuan yang
menantang serta menggunakan cara yang lebih baik secara terus-menerus.
Kepastian kerja, yaitu kemauan dan kemampuan seseorang untuk
meningkatkan kejelasan kerja dengan menetapkan rencana yang
sistematik dan mampu memastikan pencapaian tujuan ber dasarkan
data dan informasi yang akurat.
Inisiatif, yaitu kemauan seseorang untuk bertindak melebi hi tuntutan
seseorang, atau sifat keinginan untuk mengetahui hal h a l ya n g b a r e
d e n g a n m e n g e v a l u a s i , m e n ye l e k s i , d a n melaksanakan berbagai
metode dan strategi untuk meningkatkan kinerja. Inisiatif juga sangat
berkaitan eras dengan konsep kreativitas, yaitu kompet ensi yang
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk berpikir dan
bertindak secara berbeda dari kebiasaan dan lebih efektif.
Penguasaan informasi, yaitu kepedulian seseorang untuk
meningkatkan kualitas keputusan dan tindakan berd asarkan informasi
yang handal dan akurat serta berdasarkan pengalaman dan pengetahuan
atas kondisi lingkungan kerja (konteks permasalahan).
Berpikir analitik, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami si tuasi
dengan cara m enguraikan perm asal ahan m enj adi komponen-
komponen yang lebih rinci serta menganalisis perm asal ahan secara
s i st em at i k / bert ahap bercl asarkan pendekatan logis.
Berpikir konseptual, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami
dan memandang suatu permasalahan sebagai satu kesatuan yang
meliputi kemampuan untuk memahami akar permasalahan atau pola
keterkaitan komponen rnasalah yang bersifat abstrak (kualitatif) secara
sistematik.
Keahlian praktikal, yaitu kemampuan menguasai pengetahuan eksplisit
berupa kahlian untuk menyele saikan pekerjaan, mengembangkan diri
sendiri
Kemampuan linguistik, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pemikiran
atau gagasan secara lisan atau tulis untuk kemudian didiskusikan atau
didialogkan sehingga terbentuk kesamaan persepsi.
Kemampuan naratif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pokok-pokok
pikiran dan gagasan dalam suatu pertemuan formal atau informal dengan
menggunakan media cerita, dongeng atau perumpamaan.
2. Kompetensi Emosional .
Kompetensi emosional adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan
kemampuan untuk menguasai diri dan memahami lingkungan secara objektif dan
moral is sehingga pola emosinya relatif stabil ketika menghadapi berbagai
permasalahan di tempat kerja yang terbentuk melalui sinergi antara watak,
konsep diri, motivasi internal serta kapasitas pengetahuan mental/emosional
(Tjakraatmadja, 2002: 27).
Sementara itu Coleman (1998: 10) menjelaskan bahwa kompetensi emosional
sebagai sebuah kemampuan mengenali dan mengelola emosi diri sendiri dengan
baik, mampu menganali emosi orang lain, dan mampu menjalin hubungan positif
dengan orang lain agar menghasilkan kinerja pada suatu pekerjaan tertentu. Hal
senada juga diungkapkan oleh Willy Susilo (2003: 46) yang menyatakan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali,
membangkitkan, dan mengelola emosinya. Di samping itu, kecerdasan emosional
menurut Zohar dan Marshall (2000: 3) adalah kemampuan yang berkaitan
dengan kesadaran diri sendiri dan perasaan dengan orang lain yang menjadi
dasar agar kecerdasan intelektual dapat digunakan secara efektif. Kecerdasan
emosional merupakan kapasitas untuk berpikir dan mengenal kemampuan untuk:
(a) merasakan secara akurat, menilai, dan mengekspresikan emosi; (b)
mengakses dan/atau membangkitkan perasaan apabila pikiran atau gagasan
mereka difasilitasi; (c) memahami emosi d an pengetahuan emosional; dan
(d) mengatur emosi dalam mengembangkan emosi dan pertumbuhan intelektual
(Mayer dan Salovey, 1997: 10).
Kompetensi emosional individu terinternalisasi dalarn bentuk enam tingkat
kemauan dan kemampuan (Spencer dan Spencer, 1993: 37) sebagai berikut:
Sensitifitas atau sating pengertian, yaitu kemampuan dan kemauan
untuk memahami, mendengarkan, dan menanggapi halhal yang ticlak
dikatakan orang lain, yang bisa berupa pemahaman atas pemikiran dan
perasaan serta kelebihan dan keterbatasan orang lain.
Kepedulian terhadap kepuasan pelanggan internal dan eksternal, yaitu
keinginan untuk membantu dan melayani pelanggan internal dan eksternal.
Pengendalian diri, yaitu kemampun untuk mengendalikan prestasi dan emosi
pada saat menghadapi tekanan sehingga tidak melakukan tindakan
yang negatif dalam situasi apa pun.
Percaya diri, yaitu keyakinan seseorang untuk menunjukkan citra din',
keahlian, kemampuan serta pertimbangan yang positif.
Kemampuan beradaptasi, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dan
bekerja secara efektif pada berbagai situasi dan mampu melihat setiap
perubahan situasi.
Komitmen pada organisasi, yaitu kemampuan seseorang untuk mengikatkan
diri pada visi dan misi organisasi dengan memahami kaftan antara
tanggung jawab pekerjaannya dengan tujuan organisasi secara
keseluruhan.
Menurut Willy Susilo (2003: 46) seseorang yang cerdas secara emosinal akan sanggup
mengubah rasa malas menjadi rajin, memerangi rasa benci menjadi cinta, mengatasi
rasa takut, mengubah sikap masa bodoh menjadi peduli, menegakkan disiplin diri,
mengendali amarah, menahan hawa nfsu atau keinginan, mengatasi kesedihan dan
melipatgandakan tenaga.
Goletman (1999:15) menyatakan ada empat komponen kompetensi emosional,
yaitu kemampuan (a) manajemen diri, (b) pemahaman diri,(c) pemahaman social, dan
(d) keterampilan social. Secara rinci penjelasan masing-masing komponen kompetensi
tersebut sebagai berikut:
Manajemen diri
Kemampuan untuk mengendalikan dan mengarahkan kemba
dorongan hati dan suasana hati yang merusak serta mengatur
perilaku sendiri yang mengarah pada kecenderungan untuk
mencapai tujuan deng an tenaga dan ketekunan. Em pat
kompetensi yang berasosiasi dengan komponen ini adala h
pengendalian diri, dapat dipercaya/integritas, inisiatif, dap at
beradaptasi, terbuka dengan perubahan, dan keinginan yang kuat untuk
mencapai sesuatu.
Pemahaman diri
Kemampuan untuk mengenali dan memahami suasana hati, emos dan
dorongan diri sendiri dan dampaknya pada orang la in.
Komponen ini berhubungan dengan tiga kompetensi, yaitu
kepercayaan diri, penilaian diri yang realistis, dan pemahaman diri
yang emosional.
Pemahaman sosial
Kemampuan untuk memahami karakter emosi orang lain dan keterampilan
dalam memperlakukan orang lain sesuai dengan reaksi emosional
mereka. Komponen ini berhubungan dengan enam kompetensi, yaitu
empati, keahlian dalam membangun dan mempertahankan kapabilitas,
pemahaman organisasional sensitivitas lintas budaya,
keragaman pemilikan nilai da n pelayanan kepada pelanggan.
Keterampilan sosial
Ahli dalam mengelola hubungan dan membangun jaringan kerja untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan dari pihak lain dan mencapai
tujuan pribadi, serta kemampuan untuk menemukan dasar yang umum
dan membangun hubungan. Ada lima kompetensi yang
berhubungan dengan komponen ini, yaitu kepemimpinan,
keefektifan dalam mem impin perubah an manajemen konflik,
pengaruh/komunikasi dan keahlian dalam membangun serta memimpin tim.

3. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan
kemampuan untuk membangun simpul-simpul kerja sama dengan orang lain yang
relatif bersifat stabil ketika menghadapi permasalahan di tempat kerja yang
terbentuk melalui sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal serta
kapasitas pengetahuan sosial (Spencer dan Spencer, 1993: 39). Sementara itu
menurut Norman D. Livergood (www.hermes-press.com) "sosial intelligence: the
human capacity to understand what's happening in the world and responding to that
understanding in a personally and sosially effective manner".
Kompetensi sosial individu terinternalisasi dalam bentuk tujuh tingkat kemauan
dan kemampuan (Spencer dan Spencer, 1993: 39) sebagai berikut:
Pengaruh dan dampak, yaitu kemampuan meyakinkan dan mempengaruhi
orang lain untuk secara efektif dan terbuka dalam berbagi pengetahuan,
pemikiran dan ide-ide secara perorangan atau dalam kelompok agar mau
mendukung gagasan atau idenya.
Kesadaran berorganisasi, yaitu kemampuan untuk memahami posisi dan
kekuasaan secara komprehensif, baik dalam organisasi maupun dengan pihak-
pihak eksternal perusahaan.
Membangun hubungan kerja, yaitu kemampuan untuk membangun dan
memelihara jaringan kerja sama agar tetap hangar dan akrab.
Mengembangkan orang lain, yaitu kemampuan untuk men i n gk a t k a n
k e a h l i a n b a w a h a n a t a u o r a n g l a i n d e n g a n memberikan umpan batik
yang bersifat membangun berdasarkan fakta yang spesifik serta
memberikan pelatihan, dan memberi wewenang untuk
memberdayakan dan meningkatkan par tisipasinya.
Mengarahkan bawahan, yaitu kemampuan memerintah,
memengaruhi, dan mengarahkan bawahan dengan melaksanakan strategi
dan hubungan interpersonal agar mereka mau mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Kerja tim, yaitu keinginan dan kemampuan untuk bekerja sama dengan
orang lain secara koperatif yang menjadi bagian yang bermakna dari
suatu tim untuk mencapai solusi yang bermanfaat bagi semua pihak.
Kepernimpinan kelompok, yaitu keinginan dan kemampuan untuk berperan
sebagai pemimpin kelompok dan mampu menjadi suri teladan bagi anggota
kelompok yang dipimpinnya.

Sementara itu, menurut Karl Albrech (2006) terdapat lima dimensi


kecerdasan sosial, yaitu:
1. Situational Awareness. Kesadaran akan situasi di mana seseorang berada.
2. Presence. Yaitu kehadiran yang dapat membuat orang lain merasa senang dan
nyaman.
3. Authenticity. Keorisinilan dalam bersikap, dapat menerima keadaan
sendiri dan mau menerima keadaan orang lain.
4. Clarity. Yaitu kejelasan dalam berkomunikasi dan memberikan informasi pada
orang lain.
5. Emphaty. Yaitu dapat turut merasakan kondisi orang lain serta penuh perhatian
dalam berinteraksi dengan orang lain.

Norman D. Livergood (www.hermes-press.com) menyebutkan kualitas ciri


kecerdasan sosial sebagai berikut:
By sosial intelligence, then, we mean the qualities of.:
seeing through the current sosial myths and diversions
understanding the necessity of life-long self-education
recognizing the necessity of sosial action, including discerning what the
sosial situation requires and creating a program to realize sosial reform
developing genuine feelings of compassion and regard for one human
beings.

4.Kompetensi Spiritual
Kompetensi spiritual adalah karakter dan sikap yang merupakan bagian dari
kesadaran yang paling dalam pada seseorang yang berhubungan dengan yang
tidak hanya mengakui keberadaan nilai tetapi juga kreatif untuk menemukan nilai-
nilai baru (Zohar and Marshall, 2000: 1). Willy Susilo (2003: 134) juga
mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk mencari
dan menemukan makna tertinggi dengan bantuan kecerdasan intelektual dan
emosional serta kemampuan untuk memahami sistem nilai yang berlaku pada orang
atau sekelompok orang.
Menurut Zohar and Marshall (2000: 15) ada Sembilan ciri pengembangan
kompetensi spiritual yang tinggi, yaitu:
(a) kemampuan bersikap fleksibel atau adaptif,
(b) tingkat kesadaran diri yang tinggi,
(c) kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi penderitaan,
(d) kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit,
(e) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai,
(f) keengganan yang membuat kerugian yang tidak perluh,
(g) kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara holistik,
(h) kecenderungan untuk selalu bertanya mengapa, dan
(i) memiliki kemudahan untuk melawan konvensi.
Sementara itu menurut Ary Ginanjar Agustian (2003: 12) ada delapan
internalisasi karakter spiritual, yaitu:
(1) berbakti dan memberi,
(2) jujur dan terpercaya,
(3) adil,
(4) kerja sama dan bersatu,
(5) berjuang dan bersikap teguh,
(6) ramah dan penyayang,
(7) bersyukur dan berterima kasih, dan
(8) bertangung jawab; pemaaf; dan pengasih

Semua itu nantinya akan menghasilkan paham spiritual, seperti integritas atau
kejujuran, energi atau semangat, inspirasi atau inisiatif, bijaksana, dan keberanian dalam
pengambilan keputusan.
Di samping komponen kompetensi itu dilihat dari aspek dimensi personal dan
hubungan antarpersonal manusia, Armstrong (2003: 104) juga mengelompokkan
kompetensi manusia berdasarkan tingkatan fungsional dalam organisasi menjadi
tiga, yaitu (1) kompetensi inti, (2) kompetensi generik, dan (3) kompetensi peran
khusus. Secara rinci ketiga kompetensi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Kompetensi inti
Kompetensi yang berlaku bagi organisasi secara keseluruhan dan merujuk
pada pengertian bidang yang hares dikuasai dengan baik oleh suatu
organisasi agar berhasil. Misalnya kompetensi berorientasi pelanggan,
memproduksi barang mute tinggi, inovasi, dan penambahan nilai melalui
penggunaan sumber daya dan pengelolaan biaya. Kompetensi inti ini
berhubungan dengan balanced scorecard untuk mengukur keberhasilan
organisasi dalam empat perspektif, yaitu (a) perspektif pelanggan, (b)
perspektif bisnis internal, (c) perspektif inovasi dan pembelajaran, dan (d)
perspektif keuangan.
Kompetensi generik
Kompetensi yang meliputi aspek pekerjaan yang dimiliki oleh suatu
kelompok profesi dan akan menentukan kerja sama mereka untuk mencapai
hasil yang diiinginkan. Kompetensi ini biasanya menyebar pada sebuah
kelompok yang memiliki pekerjaan yang sama, misalnya para akuntan
keuangan, analisis sistem, pemimpin kelompok, dan lain-lain.
Kompetensi peran khusus
Kompetensi unik yang harus ada pada peran tertentu. Kompetensi peran
khusus ini merupakan pelengkap dari kompetensi generik umum agar
pemegang peran bisa menjalankan perannya secara berhasil.

D. Strategi Meningkatkan Kompetensi


Ada dua tantangan utama dalam upaya untuk meningkatkan kompetensi, yaitu 1)
kompetensi harus selaras dengan strategi bisnis, dan (2) kompetensi harus
dikembangkan melalui lebih dari satu mekanisme (Fandi Tjiptono, 2000: 33).
Secara garis besar terdapat lima alat yang dapat digunaka n untuk
meningkatkan kompetensi dalam suatu unit organisasi, yaitu buy, build, borrow,
bounce, and bind (Ulrich, 1998: 23). Kelima strategi ini disebut dengan 5B. Secara
rinci kelima penjelasan strategi peningkatan kompetensi tersebut sebagai berikut.
Buy (membeli)
Pimpinan organisasi dapat mencari/menyewa bakat SDM yang lebih
berkualitas dari sumber eksternal untuk mengganti bakat SDM yang ada
saat ini. Strategi ini dilakukan dengan mengadakan seleksi dan penyusunan
staf mulai dari level operasional hingga manajerial.
Build (membangun)
Dalam cara ini, pimpinan melakukan investasi pada sem ua karyawan
yang ada saat ini untuk membuat mereka lebih kuat dan berkualitas, serta
kompetensinya meningkat. Karyawan/guru/tenaga kependidikan dituntut
untuk selalu berupaya menemuka cara-cara baru dalam melaksanakan
tugasnya. Organisasi akan mengeluarkan dana yang besar untuk membantu
karyawannya dalam mempelajari keterampilan teknis dan manajerial baru yang
dilakukan, baik melalui proses belajar formal maupun melalui
pengalaman on-the job training terstruktur.
Borrow (meminjam)
Strategi yang dil akukan ol eh pim pinan organisasi untuk
meningkatkan kompetensi karyawan dengan melakukan investasi pada
pihak luar organisasi yang mampu memberikan berbagai gagasan,
kerangka berpiki r, dan al at untuk memperkuat organisasi. Kerja
sama yang efektif dengan konsultan/tenaga ahli atau mitra dari luar dapat
menimbulkan transfer pengetahuan, menciptakan pengetahuan baru, dan
merancang pekerjaan secara lebih efektif.
Bounce (memecat)
Dalam Strategi ini, pimpinan organisasi dapat mengganti setup individu
yang gagal berprestasi untuk memenuhi standar kualifikasi, gagal
mengembangkan keterampilan baru dan tidak berkualitas untuk melakukan
praktik pekerjaan, dan individu yang tidak mampu untuk berubah, belajar, dan
beradaptasi.
Bind (mengikat)
Strategi ini dilakukan dengan cara mengikat/mempertahankan karyawan
yang memiliki visi, arah, dan kompetensi pada semua level manajemen,
sudah tentu berdasarkan suatu penilaian dan kriteria objektif.

Sementara itu Burruss (2003: 104) juga mengungkapkan bahwa ada lima
langkah dalam proses pengembangan kompetensi, yaitu (1) pengakuan kompetensi,
(2) memahami kompetensi, (3) bereksperimen dengan mendemonstrasikan
kompetensi, (4) berpraktik menggunakan kompetensi, dan (5) menerapkan
kompetensi dalam situasi-situasi kerja dan dalam konteks karakteristik-
karakteristik lain. Secara rinci penjelasan masing-masing proses pengembangan
kompetensi sebagai berikut:
Pengakuan kompetensi
Langkah utama dalam pengembangan kompetensi adalah mengakui
kompetensi ketika kita melihatnya dan menghargai kontribusinya pada
kinerja. Karyawan perlu diberikan pengetahuan mengenai kompetensi-
kompetensi.
Memehami kompetensi
Memahami tipe-tipe situasi yang menuntut kompetensi sangat
bermanfaat untuk meneliti situasi-situasi di mana kompetensi itu ada dan
membandingkan dengan situasi di mana kompetensi itu tidak ada.
Bereksperimen dengan mendemonstrasikan kompetensi
Salah satu tahap yang sangat penting dalam proses penguasaan
kompetensi adalah kesemapatan untuk mencoba perilaku perilaku
baru yang melibatkan usaha eksperimen dengan menggunakan cara-
cara berpikir dan bertindak yang berbeda dari yang pernah dilakukan.
Berpraktik menggunakan kompetensi
Berpraktik menggunakan kompetensi dalam berbagai situasi. Reputasi
dalam menggunakan kompetensi memberikan kepastian bahwa kompetensi
tersebut benar-benar nyata.
Menerapkan kompetensi dalam situasi-situasi kerja dan konteks yang lain
Pada langkah ini, individu harus mengintegrasikan kompetensi, itu
dengan kompetensi-kompetensi yang lain, seperti pikiranpikiran dan
perilaku-perilaku lain dalam situasi kerja yang nyata. Hal ini biasanya
menuntut banyak praktik sementara dari individu yang bersangkutan untuk
mengembangkan apresiasi yang lebih besar dengan kompetensi yang
bersangkutan.
E. Pengukuran Kompetensi
Kompetensi setiap orang pasti berbeda-beda, perbedaan itu merefleksikar
berbagai faktor yang memengaruhinya dari mulai pendidikan serta trait yang
dimiliki oleh masing-masing. Perbedaan tersebut jelas memerlukan suatu ukuran
tertentu sebagai dasar penilaian apakah kompetensi seseorang itu mencapai
kondisi tertentu Berta berbeda dengan yang lain. Dalam hubungan ini
pengukuran menjadi penting, sebab jika tidak dapat diukur. maka akan sulit
menentukan kapasitas kompetensi seseorang.
Menurut Michael Zwell (2000: 222) "No matter what method of competency
modeling is utilized, the effectiveness of the model depends on how well the
compet enci es are measured" . P endapat t ersebut m enggam b arkan
bagai m ana p ent i ngn ya m el akuka n pen gu kuran kompetensi, karena dengan
pengukuran tersebut akan dapat diperoleh manfaat pemahaman kompetensi
bagi keefektifan kinerja individu dan kinerja Organisasi.
Lebih jauh M. Zwell (2000: 222-226) mengemukakan, beberapa cara untuk
mengukur kompetensi dapat dilakukan dengan : (1) the 1 to 5 school grading system,
(2) behaviourally anchored rating scale, (3) competency matrix level and
proficiency. Adapun penjelasannya secara ringkas akan dikemukakan berikut ini.
The I to 5 school grading system. Dalam sistem ini pengukuran
kompetensi dilakukan dengan meberikan tingkatan dari satu sampai lima atau
dari A sampai dengan F. A menggambarkan kompetensi istimewa, B baik, , C
sedang, D kurang dan F berarti gaga)/fail. Behaviorally anchored rating scales
merupakan skala di mana tingkatan rating kompetensi dibatasi dengan jelas atas
perilaku yang dapat diobservasi. Sementara itu, the competency matrix level and
proficiency adalah pengukuran kompetensi dalam bentuk tingkat kemahiran
kompetensi dalam suatu perilaku yang diharapkan untuk suatu posisi tertentu.
Dari penjelasan ringkas di atas tampak bahwa masalah pengukuran
kompetensi memerlukan kehati -hatian, untuk itu berkaitan dengan
kompetensi guru, tampaknya diperlukan kajian mendalam dari para pakar tentang
bagaimana mengukur kompetensi guru secara tepat dan objektif. Hal ini tentu saja
memerlukan kerja sama berbagai pakar yang mempunyai perhatian pada peningkatan
kualitas pendidikan di Indonesia
F. Kompetensi Guru sebagai Pendidik
Hamalik (2000: 47) mengemukakan bahwa ada tiga kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan
kompetensi kemasyarakatan. Dalam kompetensi kepribadian, kepribadian
seorang guru yang diekspresikan dalam tingkah laku tidak saja berpengaruh
terhadap tingkah laku siswa, tetapi juga pengaruhnya dalam PBM di sekolah.
seorang guru harus memiliki kompetensi kepribadian yang mantap dan
terintegrasi sehingga mampu melaksanakan fungsi-fungsi pengajaran yang pada
gilirannya memberikan produk pendidikan, yang menjadikan para siswa
sebagai orang dewasa yang berkepribadian.
Kompetensi profesional guru dirumuskan dal am P3G seperti
dikemukakan Hamalik (2000: 150) yaitu: (a) menguasai bahan bidang studi yang
diajarkan sesuai dengan kurikulum sekolah yang berlaku, (b) menguasai
bahan pengayaan dan pendalaman serta aplikasi bidang studi yang diajarkan,
(c) mampu mengelola program belajar mengajar, (d) mengelola kelas, (e)
menggunakan media dan cumber pengajaran, (f) m engenal dan menerapkan
l andas an sert a konsep -konsep dasar kependidikan dengan berbagai sudut
tinjauan (sosiologis, filosofis, historik dan psikologis), (g) mengelola proses
interaksi belajar-mengajar dengan menggunakan prinsip CBSA, (h) mengenal
dan melaksanakan penilaian prestasi belajar siswa untuk kepentingan
pengajaran, (1) mengenal fungsi dan program l a yanan bim bi ngan dan
pen yul uhan di sekol ah, (j ) mengerjakan administrasi belajar-mengajar,
administrasi kelas, administrasi sekolah, (k) memahami prinsip-prinsip penelitian,
mengolah perumusan penelitian dan menafsirkan hasil -hasil penelitian
pendidikan guna mengembangkan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran, (1)
membina kerja sama dengan orang tea/wall siswa, dengan organisasi profesi dan
organisasi lainnya guna kepentingan pendidikan.
Kompetensi kemasyarakatan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan
keberadaannya sebagai warga masyarakat. Guru sebagai anggota masyarakat
sekolah karena jabatannya sebagai guru mempunyai syarat syarat yang
diperlukan yaitu syarat kepribadian, syarat penguasaan ilmu dan syarat
keterampilan. Secara umum kinerja (performance) organisasi bersumber dari
kompetensi-kompetensi individu (Jonathan and Smilansky, 1997: 8).
Standar kompetensi guru telah disusun oleh pemerintah pusat melalui Depdiknas
(2002) sebagai upaya perintisan pembentukan Badan Akreditasi dan Sertifikasi
Mengajar di daerah sebagai acuan bake dalam pengukuran kinerja guru untuk
mendapatkan jaminan kualitas guru dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
Standar Kompetensi Guru adalah suatu ukuran ya n g d i t et a pk an at a u
di p e rs ya r a t k a n d al am b e nt u k p en gu a sa an pengetahuan dan perilaku
perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan
fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan.
Komponen standar kompetensi guru seperti disyaratkan oleh Depdiknas
tersebut (sebelum lahirnya UU No 14/2005, namun masih tetap relevan sebagai
bahan pembanding) meliputi (1) pengelolaan pembelajaran (2) pengembangan
potensi, (3) penguasaan akademik. Sebagai pribadi yang utuh, maka sikap dan
kepribadian harus senantiasa melingkupi dan melekat pada setiap komponen
kompetensi yang menunjang profesi guru tersebut. Untuk memperoleh gambaran
yang lebih terukur pada pemberian nilai setiap kemampuan, maka pedu
ditetapkan kinerja pada setiap kemampuan. Kinerja kemampuan tersebut
terlihat dalam bentuk tabel indikator kompetensi berikut.
1) Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran
Tabel 6.3. Kompetensi Guru Komponen
Pengelolaan Pembelajaran
Kompetensi Indikator
1. Memiliki kemampuan menyusun 1. mampu mendeskripsikan tujuan
rencana pembelajaran pembelajaran;
2. mampu memilih/menentukan materi,
3. mampu mengorganisir materi,
4. mampu menentukan metoda/strategi
pembelajaran,
5. mampu menentukan media/alas
pembelajaran,
6. mampu menentukan teknik penilaian,
7. mampu mengalokasikan waktu

2. Memiliki kemampuan melaksanakan 1. mampu membuka pelajaran


interaksi pembelajaran 2. mampu menyajikan materi,
3. mampu menggunakan metoda/strategi,
4. mampu menggunakan alas
peraga/media,
5. menggunakan bahasa yang
komunikatif,
6. memotivasi siswa,
7. mampu mengorganisasi kegiatan,
8. mampu berinteraksi dengan siswa
secara komunikatif,
9. menyimpulkan pembelajaran,
10. mampu memberikan umpan balik,
11. mampu melaksanakan penilaian,
12. mampu menggunakan waktu.
3. Memiliki kemampuan menilai prestasi 1. mampu memilih soal berdasarkan
belajar siswa tingkat kesukaran,
2. mampu memilih soal berdasarkan
tingkat pembeda,
3. mampu memperbaiki soal yang tidak
valid,
4. mampu memeriksa jawaban,
5. mampu mengklasifikasikan hasil-hasil
penilaian,
6. mampu mengolah dan menganalisis
hasil penilaian,
7. mampu menyusun laporan hasil
penilaian,
8. mampu membuat interpretasi
kecenderungan hasil penilaian,
9. mampu menentukan korelasi
antarsoal berdasarkan hasil
penilaian,
10. mampu mengidentifikasi tingkat
variasi hasil penilaian,
11. mampu menarik kesimpulan dari
hasil penilaian secara jelas dan logis.
4. Memiliki kemampuan melaksanakan 1. mengklasifikasikan kemampuan siswa,

tindak lanjut hasil penilaian prestasi 2. mengidentifikasikan kebutuhan


perbaikan dan pengayaan,
belajar siswa (perbaikan dan pengayaan)
3. menyusun program perbaikan dan
pengayaan,
4. melaksanakan perbaikan-perbaikan dan
pengayaan,
5. mengevaluasi hasil perbaikan dan
pengayaan.
5. Memiliki kemampuan melaksanakan 1. menyusun program
bimbingan belajar bimbingan yang menjadi
tanggung jawabnya,
2. melaksanakan bimbingan yang
menjadi tanggung jawabnya,
3. mengevaluasi program
bimbingan yang menjadi
tanggung jawabnya,
4. menganalisis hasil evaluasi
program bimbingan yang menjadi
tanggung jawabnya,
5. melaksanakan tindak lanjut program
bimbingan,
6. menunjukkan kecerdasan
dalam berpikir dan bertindak,
7. menunjukkan sikap disiplin,
8. meningkatkan kreativitas,
9. memiliki sikap bertanggung jawab
dan melaksanakan tugas,
10. menunjukkan sikap mampu
mengendalikan emosi,
11. menampilkan perilaku tidak cepat
putus asa,
12. memiliki motivasi untuk berprestasi,
13. menunjukkan sikap suka membantu,
14. memahami perbedaan individu,
15. melakukan komunikasi yang baik di
lingkungan,
16. menguasai kelas,
17. menerima pendapat orang lain,
18. menampilkan perilaku mau kerja
sama

2) Komponen Pengembangan Potensi


Tabel: 6.4. Kompetensi Guru Komponen Pengembangan Potensi

Kompetensi Indikator
1. Memiliki kemampuan 1. mengikuti informasi perkembangan
mengembangkan diri iptek yang mendukung profesi melalui
berbagai kegiatan ilmiah,
2. mengalihbahasakan buku
pelajaran/karya ilmiah,
3. mengembangkan berbagai model
pembelajaran,
4. menulis makalah,
5. menulis/menyusun diktat pelajaran,
6. menulis buku pelajaran
7. menulis modul pelajaran,
8. menulis karya ilmiah populer,
9. melakukan penelitian ilmiah (action
research),
10. menemukan teknologi tepat guna,
11. membuat alas peraga/media,
12. menciptakan karya seni,
13. mengikuti pelatihan terakreditasi,
14. mengikuti pendidikan kualifikasi,
15. mengikuti kegiatan pengembangan
kurikulum.
2. Memiliki kemampuan
1. mampu menghasilkan siswa
mengembangkan keprofesian
berprestasi;

2. mampu menghasilkan tamatan


dengan kualitas pemahaman ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan
perkembangan siswa,
3.mempu menghasilkan siswa berbudi
pekerti baik;
4. mampu membangun berbagai
keunggulan kelas/sekolah.

3) Komponen Penguasaan Akademik

Tabel: 6.5. Kompetensi Guru Komponen Penguasaan Akademik

Kompetensi Indikator

1. memiliki kemampuan dalam 1. memahami visi dan misi


memahami wawasan pendidikan nasional
kependidikan

2. Memiliki k e m a m p u a n 1. memahami struktur pengetahuan,


dalam menguasai bahan 2. menguasai substansi materi,
kajian a k a d e m i k 3. menguasai substansi kekhususan
(disesuaikan dengan struktur
sesuai dengan jenis pelayanan
pengetahuan pada tiap satuan
pendidikan) yang dibutuhkan siswa.

Sementara itu dengan lahirnya PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan dan Undang-Undang No. 14 tahun 2005, kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru jelas harus mengacu kepadanya. Berkaitan dengan guru
sebagai pendidik, dalam PP No. 19 Tahun 2005 pasal 28 ayat 1 disebutkan bahwa
pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajar, sehat jasmani dan rohani , serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sementara itu kompetensi yang harus
dimiliki pendidik (guru) adalah (a) kompetensi pedagogik, (b) kompetensi
kepribadian, (c) kompetensi profesional, dan 0 kompetensi sosial (PP No. 19
Tahun 2005 pasal 28 ayat 3). Untuk lebih memahami makna masing-masing
kompetensi tersebut, berikut akan dijelaskan sesuai dengan penjelasan yang
tercantum dalam PP No. 19 Tahun 2005 serta UU Guru dan Dosen No. 14
Tahun 2005 seperti terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 6.6. Kompetensi Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005

Kompetensi Indikator
Pemahaman terhadap peserta didik
Kompetensi
Perancangan dan pelaksanaan pembelajaran
pedagogik Evaluasi hasil belajar
Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya

Kompetensi Mantap,
kepribadian stabil,
dewasa,
arif dan berwibawa,
menjadi teladan bagi peserta didik, dan
berakhlak mulia
Kompetensi Penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
professional mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta
didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan
BSNP
Berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
Kompetensi peserta didik,
sosial sesama pendidik,
tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar

Dari uraian di atas, tampak bahwa kompetensi guru menurut UU No. 14 Tahun
2005 sebenarnya merupakan penerapan dari berbagai pendapat para ahli
tentang kompetensi. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan standar
Kompetensi Guru/Dosen di Indonesia cukup terlambat, mengingat kajian tentang
kompetensi telah lama menjadi consern para ahli dengan fokus utamanya untuk
kepentingan pengembangan SDM pada dunia usaha/bisnis. Namun demikian,
penerapan standar tersebut tetap harus dipandang positif dalam rangka
meningkatkan kompetensi pendidik, yang akhirnya diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Untuk itu masih diperlukan
kajian mendalam akan kompetensi guru/dosen ini, mengingat perubahan yang
cepat di era global sekarang ini harus dapat lebih terakomodasi dalam standar
tersebut, agar kompetensi guru selalu dapat berkembang wiring perubahan dan
tuntutan masyarakat yang terus meningkat.

G. Sertifikasi dan ProfesionaLisme Guru


Sertfikasi profesi pendidik dapat dipandang sebagai upaya untuk menata SDM
pendidik agar makin profesional dalam melaksanakan peran dan tugasnya
sebagai pendidik menuju ke arah yang makin berkualitas dan kompetetif.
Penylkapan sertifikasi hanya dengan implikasi gaji atau tunjangan jelas akan
melenceng dari tujuan pokok sertifikasi. Oleh karena itu, pemahaman akan
guru/pendidik sebagai suatu profesi (menuju hard profession) amatdiperlukan
untuk mellhat konstelasi sertifikasi dengan peran dan tanggung jawab yang
diembannya. Dengan demikian sertifikasi harus dilihat dalam konteks yeng lebih
luas, yakni upaya untuk meningkatkan kualitas profesionalisme guru serta
peningkatan kesejahteraan guru, yang berujung pada peningkatan mutu
pendidikan/pembelajaran dengan output pendidikan yang makin bermutu.

1. Makna Sertifikasi Guru


Merujuk pada ketentuan pasal 42 ayat (1) UU Sisdiknas, bahwa guru dan dosen
dituntut wajib memiliki sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
Secara etimologis sertifikasi dapat dimaknai sebagai surat keterangan
(sertifikat) dari lembaga berwenang yang diberikan kepada jenis profesi dan
sekaligus pernyataan (lisensi) terhadap kelayakan profesi untuk melaksanakan tugas.
Bagi guru agar dianggap laik dalam mengemban tugas profesi mendidik, maka la
harus memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik tersebut diberikan kepada
guru dan doses yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi secara yuridis menurut
ketentuan pasal 1 ayat 1 ) UUGD adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk
guru atau doses. Adapun berkaitan dengan sertifikasi guru, dijelaskan dalam
pasal 1 ayat (7), bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik
untuk guru/pendidik.
Dasar hukum tentang perlunya sertifikasi guru dinyatakan dalam pasal 18
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen, bahwa guru
harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Sekarang pertanyaannya adalah apakah sertifikat
pendidik itu? Dalam UUGD pasal 1 ayat 0 2), bahwa sertifikat pendidik
adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru
sebagai tenaga profesional. Sedangkan pada pasal 11 ayat (2),
menyatakan sertifikat pendidikan tersebut hanya dapat diperoleh melaluil
program sertifikasi. Untuk itu, guru dapat memperoleh sertifikat pendidik
jika telah memenuhi dua syarat, yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang
telah clitentukan [S1/D4] dan terbukti telah menguasai kompetensi tertentu,
yang mencakup kompetensi personal, pedagogik, profesional, dan sosial.

2. Tujuan Sertifikasi Guru


Sertifikasi guru pada dasarnya merupakan suatu cara untuk meningkatkan
kemampuan/kompetensi guru dalam melaksanakan tugasnya sebaga i pendidik
di sekolah, sehingga upaya peningkatan kualitas pendidikan dapadidukung oleh
SDM yang berkualitas karena kompetensi guru meningkat sesuai dengan harapan
masyarakat. Peningkatan kompetensi guru pada dasarnya hanya merupakan satu
aspek yang berperan dalam perwujudan kinerja, sedang faktor lainnya menurut
model clasar kinerja adalah motivasi. Untuk motivasi ini, Undang-Undang Guru dan
Dosen memperkuatnya dengan peningkatan kompensasi finansial melalui
tunjangan profesi yang mana hal ini dipandang dapat meningkatkan motivasi
kerja guru sehinggabungan kompetensi/kemampuan dan motivasi akan
mampu mcningkatkan kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya yang
akan berdampak pada meningkatnya kualitas pendidikan. Pola hubungan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:

Kompetensi Kemampuan
Meningkat

PBM Mutu
Sertifikasi Kinerja guru bermutu Pendidikan
meningkat meningkat

Kompensasi Motivasi
(Tunjangan Profesi) Meningkat

Gambar 6.3. Hubungan Sertifikasi dengan Mutu pendidikan

Gambar di atas menunjukkan alur sertifikasi dan kaitannya dengan


peningkatan mutu pendidikan. Sertifikasi merupakan pemberian sertifikat kepada
guru yang telah memenuhi kriteria kompetensi yang disarankan, dan bila
sertifikat telah diperoleh maka guru tersebut berhak mendapat tunjangan
profesi sebesar gaji pokoknya. Hal ini akan membawa dua implikasi, yaitu
meningkatnya kompetensi/kemampuan pada guru dan meningkatnya motivasi
yang didorong oleh peningkatan kompensasil financial melalui tunjangan profesi.
Dengan kedua faktor tersebut, yaitu kompetensi/kemampuan dengan motivasi,
maka kinerja guru akan meningkat yang akan berdampak pada pelaksanaan
tugas guru dalam proses pembelajaran makin bermutu yang akhirnya
diharapkan kualitas proses pendidikan dan output-nya makin bermutu dan
meningkat. Oleh karena itu, sertifikasi mesti dilihat dalam konteks pembangunan
pendidikan secara komprehensif, bukan sekadar pemenuhan aspek formal yang
static melainkan h arus dilihat aspek substantif d an dinami s, sehingga
pengembangan kinerja guru dapat terus terjadi melalui peningkatan
kompetensi secara terus-menerus.

H. Model Pengembangan Kinerja Guru


Dengan memperhatikan tugas guru sebagai pendidik yang perlu terus menerus
melakukan pengembangan profesi, serta kebijakan sertifikasi yang mengarah
pada peningkatan kompetensi d an motivasi, maka dapatlah diperoleh suatu
model pengembangan kinerja guru berbasis kompetensi.

1. Pendekatan Individu
Pengembangan kinerja dengan pendekatan individu menekankan pada
penguatan individu dalam meningkatkan kemampuan serta motivasi tanpa
mengintegrasikannya dengan organisasi d an manajemen organisasi.
Semangat dari Undang-Undang Guru dan Dosen menunjukkan pendekatan
pengembangan kinerja dengan menekankan pada aspek individ u guru
dengan menerapkan model dasar kinerja yakni bahwa kinerja merupakan
fungsi dari kemampuan/kompetensi dengan Motivasi (P = Ability x Motivation).
Dengan model dasar ini dapat diketahul posisi dari tiap pegawai/ guru dalam
konteks pelaksanaan tugasnya, yang bila digambarkan tampak sebagai berikut.
ABILITY/COMPETENCY

(CAN DO) (CANT DO)

A B

C D

Gambar 6.4. Matrik Kombinasi Kemampuan dan Motivasi


Dari gambar di atas terdapat empat posisi yaitu posisi A, B, C, dan D. Masingmasing
posisi tersebut menggambarkan suatu kombinasi antara kompetensi kemampuan
dengan motivasi dengan kontinum rendah ke tinggi dengan arah bawah ke atas
untuk motivasi, dan kiri ke kanan untuk kompetensi kemampuan.
Posisi A (boga kabisa, boga kahayang) menunjukkan guru yang dapat melakukan
dan mau melakukan. Posisi ini merupakan posisi ideal dalam konteks statis,
namun tetap perlu dikembangkan melalui pemberia n tantangan-tantangan
baru yang dapat mend orong perkembanga n kemampuan yang akan
mengantar pada peningkatan kualitas kinerja yang pada akhirnya akan
menambah kepuasan kerja. Posisi B (euweuh kabisa, boga kahayang)
menunjukkan pegawai/guru yang mau melakukan pekerjaan namun kurang
atau tidak punya kemampuan, dalam posisi ini p e m b e r i a n p e l a t i h a n
m e r u p a k a n l a n gk a h ya n g t e p a t u n t u k m e ngembangkan kinerja. Posisi
C (boga kabisa euweuh kahayang) menunjukkan pegawai/guru yang tidak mau
melakukan pekerjaan namun sebenarnya punya kemampuan, dalam kondisi ini
pemberian motivasi merupakan cara yang tepat guna mewujudkan suatu
kinerja. Sedangkan posisi D (euweuh kabisa, euweuh kahayang) merupakan
posisi yang paling rendah, di mana dalam posisi ini, pegawai tidak m au
melakukan pekerjaan serta tidak punya kemampuan. Untuk pegawai/guru dalam
posisi ini pemotivasian dan pelatihan perlu dilakukan, namun apabila hal itu
dipandang sulit, maka sebaiknya guru dalam posisi ini lebih baik dirotasi ke
pekerjaan lain yang sesuai dengan minas kemudian dilatih, atau ke
pekerjaan yang sesuai kemampuan untuk kemudian dimotivasi. Hal ini akan
lebih efektif daripada memberikan treatment keduanya yang akan lebih
memerlukan penyesuaian yang cukup lama.

2. Pendekatan Organisasi dan Manajemen


Pendekatan Organisasi dan Manajemen merupakan pendekatan terintegrasi, di
mana aspek individu jelas diperhatikan, namun sebagai bagian yang
berinteraksi dengan tataran kelompok dan organisasi secara keseluruhan serta
proses manajemen dan kepemimpinan sebagai penggerak organisasi. Di samping
itu, dengan memperhatikan faktor eksternal, akan tampak bahwa sekolah bukan
suatu institusi yang terisolasi dan lingkungan, sehingga respons terhadapnya akan
menentukan eksistensi dan keberlangsungan organisasi. Oleh karena itu, sikap
inovatif merupakan tingkat kinerja yang hares dicapai dan sebagai suatu bentuk
peningkatan kualitas kinerja.
Model pengembangan kinerja guru ini, didasarkan pada landasan berpikir
tentang perlunya upaya meningkatkan dan mengembangkan kinerja guru agar
makin bermutu dan inovatif untuk dapat mengantisipasi perubahan yang cepat,
sehingga dapat menghasilkan lulusan yang makin berkualitas, kreatif dan
mampu berkinerja inovatif dalam masyarakat. Pengembangan model ini pada
dasarnya merupakan suatu upaya untuk menggambarkan suatu strategi yang
diharapkan dapat berguna dalam mengelola kinerja guru agar lebih siap, responsif,
dan proaktif dalam mengantisipasi perubahan yang sangat cepat. Perhatikan gambar
Model Pengembangan Kinerja Guru berikut ini.

Tantangan Globalisasi

Organisasi sekolah

Sistem Task Motivasion/motivasion


Konpensasi

Hal baru
Visi Misi
Output
PBM
Learning
Kinerja
Karakteristik school
Kreativitas Inovasi/mutu
Individu guru Kinerja
Kepemimpinan kinerja
Rutin Enterpreneur Hasil
Kep Sekolah

Ide baru Pembe Outcome


lajaran

Pendidikan Expertise/Ability
Latihan Ex
Organisasi Sekolah

Kebijakan Pemerintah Tuntutan Masyarakat


Gambar 6.5. Model Pengembangan Kinerja Guru
(Sumber : Uhar Suharsaputra, 2008

Model pengembangan kinerja guru ini, sebagaimana tampak secara


diagramatik dalam gambar 6.5. didasarkan pada asumsi sebagai berikut:
\\\
a. Sekolah merupakan institusi pendidikan yang terbuka terhadap berbagai
pengaruh yang datang dari luar, sehingga memerlukan kesiapan dalam
merespon dan mengantisipasi tuntutan perubahan agar dapat berperan secara
optimal di masyarakat.
b. Kemampuan organisasi sekolah untuk berkembang ditentukan oleh
kualitas SDM pendidikan yang bekerja di dalamnya, dan guru sebagai
pendidik merupakan SDM yang penting dalam upaya meningkatkan
kemampuan organisasi sekolah dalam mengernbangkan dirinya ke arah
yang lebih baik dan meningkat melalui pengembangan kinerjanya agar
lebih kreatif, inovatif dalam menjalankan peran dan tugasnya serta
antisipatif terhadap tuntutan perubahan.
c. Organisasi dan manajemen/administrasi pendidikan di tataran institusi
sekolah merupakan faktor yang dapat mendorong kinerja guru ke arah
yang lebih baik secara terus-menerus melalui implementasi manajemen
kinerja yang tepat.

Model pengembangan kinerja guru tersebut menunjukkan suatu strategi dalam


mengembangkan kinerja guru agar makin bermutu dan inovatif secara
berkesinambungan, tidak hanya dalam bentuk performance shift, tetapi dalam
bentuk continous performance development. Oleh karena itu, organisasi sekolah
perlu menjadi Organisasi Pembelajar (Learning School) dengan kemauan untuk
terns memperluas kemampuan organisasi melalui suatu proses pembelajaran
yang terjadi terus-menerus dari mulai tataran individu (guru) sampai tataran
organisasi. Dalam hubungan ini kepemimpinan entrepreneur kepala sekolah
dengan sikap dan perilaku inovatif, serta keberaniannya untuk melakukan
transformasi organisasi dapat menjadi dasar bagi perwujudan learning school dengan
mendasarkan pada visi dan misi pendidikan/sekolah, karena visi pada dasarnya
merupakan arah yang dituju dan ingin dicapai di masa depan serta dengan visi
itulah suatu organisasi bergerak dan digerakkan sehingga seluruh unsur dalam
organisasi bersinergi untuk mencapai visi tersebut melalui pencapaian tujuan
sebagai operasionalisasi dari visi yang ingin dicapai tersebut.

I. Rangkuman
Kompetensi merupakan hal penting dimiliki setiap orang dalam menjalani kehidupan.
Untuk suatu organisasi yang punya karakter dan tujuan yang khusus juga
diperlukan kompetensi khusus pula, seperti halnya guru sebaga pendidik yang
dituntut memiliki kompetensi yang relevan dan dapE meningkatkan kinerjanya
dalam organisasi sekolah. Sebagai pendidik, guru dituntut mempunyai empat
kompetensi yakni, pedagogik, profesional (akademik), personal dan sosial.
Kompetensi tersebut menjadi dasar bagi sertifikasi guru yang berimplikasi pada
kompensasi, sehingga pengembangan kinerja guru dapat mendasarkan pada
kompetensi dan motivasi sebagai pendekataan individu. Namun untuk suatu
organisasi sekolah pendekatan tersebut mesti terintegrasi dengan tataran institusi
dimana aspek organisasi, manajemen dan kepemimpinan perlu menjadi bagian
penting dalam pengembangan kinerja guru agar makin bermutu serta inovatif dalam
menghadapi tantangan eksternal globalisasi.

I R evi ew
Lakukan analisis dan penjelasan berdasarkan materi yang sudah dipelaja atas
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Jelaskan makna kompetensi.
2. Jelaskan perbedaan kompetensi dengan kinerja.
3. Jelaskan dan uraikan jenis-jenis kompetensi
4. Apakah masing-masing kmpetensi punya kaitan, jika ya, apa argumennya, dan jika
tidak, apa argumennya.
5. Jelaskan cara-cara meningkatkan kompetensi organisasi
6. Jelaskan kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh guru serta
bagaimana kaitannya antara masing -masing kompetensi serta pentingnya
bagi peningkatan mutu pendidikan.
7. Berikan penjelasan makna sertifikasi guru.
8. Jelaskan keterkaitan pengembangan kinerja guru melalui pendekatan berbasis
individu dengan pendekatan kinerja guru berbasis organisasi dan manajemen.
BAB 7
Mutu Pendidikan

Deskripsi Umum Materi


Dalam bab ini dibahas tentang mutu pendidikan ya n g
m e n c a k u p j e n i s k o n s e p m u t u , s u d u t pandang tentang
mutu, perkembangan pemikiran tentang mutu, dimensi
mutu, QFD, alat pengendalian mutu serta manajemen mutu. Di
samping itu, dibahas pula tentang penjaminan mutu, serta
standar mutu pendidikan, dan kaitannya dengan konsep
mutu pendidikan, ditambah dengan konsep, pendekatan, proses
dan fungsi audit mutu.

Tujuan Pembelajaran
Dengan mempelajari dan mendiskusikan bab ini, pembaca
pembelajar akan dapat lebih memahami tentang konsep
mutu dan mutu pendidikan serta konsep penjaminan mutu
dalam konteks pendidikan. Oleh karena itu, setelah
mengkaji bahasan dalam bab ini, mahasiswa pembelajar
diharapkan dapat:
m enj el askan m akna m ut u dan mutu pen didikan;
menjelaskan macam-macam pendekatan terhadap
mutu;
menjelaskan makna manajemen mutu;
menjelaskan makna QFD dalam konteks manajemen
mutu;
menjelaskan tujuan d an fungsi dari ma najemen
mutu;
menjelaskan konsep penjaminan mutu;
menjelaskan tujuan penjaminan mutu;
menjelaskan penjaminan mutu dalam konteks pendidikan;
menjelaskan konsep, pendekatan audit mutu.

A. Pendahuluan
Masalah mutu dalam era sekarang ini merupakan masalah yang berkaitan dengan
hidup dan matinya suatu organisasi, terutama organisasi bisnis. Oleh karena itu,
tidaklah berlebihan jika Rene T Domingo menulis buku berjudul Quality
Means Survival (1997), artinya kualitas bermakna kehiclupan. Untuk itu
upaya untuk menjadikan organisasi tetap bertahan, masalah kualitas harus
menjadi perhatian termasuk dalam bidang pendidikan, dan oleh karenanya
maka penjaminan kualitas menjadi suatu keharusan untuk diterapkan dalam
suatu organisasi dalam kerangka Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality
Management). Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan pun masalah kualitas
harus menjadi consern be rs am a , m e n gi n gat m asi h d i p e rl u k an u pa ya ya n g
s e ri u s gun a meningkatkan kualitas pendidikan serta persaingan global dalam
bidang pendidikan yang menunjukkan kecenderungan makin meningkat dengan
baik.

B. Konsep Kualitas/Mutu
Kualitas telah menjadi isu kritis dalam persaingan modern dewasa ini, dan hal
itu telah menjadi beban tugas bagi para manager menengah. Dalam, tataran
abstrak kualitas telah didefinisikan oleh dua pakar penting bidang kualitas
yaitu Joseph Juran dan Edward Deming. Mereka berdua telah berhasil
menjadikan kualitas sebagai mindsetyangterus berkembang dalam kajian
manajemen, khususnya manajemen kualitas.
Menurut Juran, kualitas adalah kesesuaian untuk penggunaan (fitness for
use), ini berarti bahwa suatu produk atau jasa hendaklah sesuai dengan apa yang
diperlukan atau diharapkan oleh pengguna. Lebih jauh Juran mengemukakan
lima dimensi kualitas, yaitu:
a. Rancangan (design), sebagai spesifikasi produk.
b. Kesesuaian (conformance), yakni kesesuaian antara maksud desain
dengan penyampaian produk aktual.
c. Ketersediaan (availability), mencakup aspek kedapatdipercayaan Berta
ketahanan, dan produk itu tersedia bagi konsumen untuk digunakan.
d. Keamanan (safety), aman dan tidak membahayakan konsumen.
e. G u n a p r a k t i s (f i e l d u s e ), k e gu n a a n p r a k t i s ya n g d a p a t
dimanfaatkan penggunaannya oleh konsumen.

Tokoh lain yang mengembangkan manajemen kualitas adalah Edward


Deming. Menurut Deming, meskipun kualitas mencakup kesesuaian atribut produk
dengan tuntutan konsumen, namun kualitas harus lebih dari itu. Menurut Deming
terdapat empat betas poin penting yang dapat membawa/ membantu manajer mencapai
perbaikan dalam kualitas, yaitu:
1. Menciptakan kepastian tujuan perbaikan produk dan jasa.
2. Mengadopsi filosofi barn di mana cacat tidak bisa diterima.
3. Berhenti tergantung pada inspeksi missal.
4. Berhenti melaksanakan bisnis atas dasar harga Baja.
5. Tetap dan continue memperbaiki sistem produksi dan jasa.
6. Melembagakan metode pelatihan kerja modern.
7. Melembagakan kepemimpinan.
8. Menghilangkan rintangan antardepartemen.
9. Hilangkan ketakutan.
10. Hilangkan/kurangi tujuan-tujuan jumlah pada pekerja.
11. Hilangkan manajemen berdasarkan sasaran.
12. Hilangkan rintangan yang merendahkan pekerja per jam.
13. Melembagakan program pendidikan dan pelatihan yang cermat.
14. Menciptakan struktur dalam manajemen p uncak yang dapat
melaksanakan transformasi seperti dalam poin-poin di atas.

Dengan memerhatikan pendapat dua tokoh kualitas di atas, tampak bahwa mereka
menawarkan beberapa pandangan yang penting dalam bidang kualitas. Pada
intinya dapat dipahami bahwa semua yang berkaitan dengan manajemen kualitas atau
perbaikan kualitas yang diperlukan adalah penerapan pengetahuan dalam upaya
meningkatkan/mengembangkan kualitas produk atau jasa secara berkesinambungan.
Sementara itu David A Garvin mengemukakan delapan dimensi atau kategori kritis
dari kualitas, yaitu :
Performance (kinerja). Karakteristik kinerja utama produk.
Feature Aspek sekunder dari kinerja, atau kinerjatambahan dari suatu produk.
Reliability(kedapatdipercayaan). Kemungkinan produk malfungsi, atau
tidak berfungsi dengan baik, dalam konteks ini produk/jasa dapat dipercaya
dalam menjalankan fungsinya.
Conformance (kesesuaian). Kesesuaian atau cocok dengan keinginan/kebutuhan
konsumen.
Durability (daya tahan). Daya tahan produk/masa hidup produk, baik secara
ekonomis maupun teknis.
Serviceability (kepelayanan), kecepatan, kesopanan, kompetensi, mudah
diperbaiki.
Aesthetics (keindahan). Keindahan produk dalam desain, rasa, suara atau
bau dari produk, dan ini bersifat subjektif.
Perceived quality (kualitas yang dipersepsi). Kualitas dalam pandagan
pelanggan/konsumen.

Selain itu banyak pakar lain yang mencoba mendefinisikan kualitas


berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Beberapa di antaranya adalah
sebagai berikut (Fandy Tjiptono. 2003: 3).
Performance to the standard expected by the customer
Meeting the customer's needs the first time and every time
Providing our customers with products and services that consistently meet
their needs and expectations.
Doing the right thing right the first time, always striving for improvement, and
always satisfying the customer
A pragmatic system of continual improvement, a way to successfully organize
man and machines
The meaning of excellence
The unyielding and continuing effort by everyone in an organization to
understand, meet, and exceed the needs of its customers
The best product that you can produce with the materials that yc- have to work
with
Continuous good product which a customer can trust
Not only satisfying customers, but delighting them, innovating, creating.

Meskipun tidak ada definisi mengenai kualitas yang diterima secara uni versal,
dari definisi-definisi yang ada terclapat beberapa kesamaan, yaitu dalam elemen-
elemen sebagai berikut:
Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan.
Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang
dianggap merupakan kualitas saat ini, mungkin dianggap kurang
berkualitas pada masa mendatang).

C. Perkembangan Konsep Kualitas/Mutu


Mutu merupakan konsep yang terns mengalami perkembangan dalam
pemaknaannya. Menurut Garvin perspektif tentang konsep mutu mengalami evolusi,
dan dia mengidentifikasi adanya lima alternatif perspektif kualitas yang biasa
digunakan, yaitu:
Transcendental Approach
Kualitas dalam pendekatan ini dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit
didefinisikan dan dioperasionalkan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan
dalam seni musik, drama, seni tari, dan seni rupa. Selain itu perusahaan dapat
mempromosikan produknya dengan pernyataanpernyataan seperti tempat
berbelanja yang menyenangkan (supermarket), elegan (mobil), kecantikan
wajah (kosmetik), kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), dan lain-lain.
Dengan demikian fungsi perenca-naan, produksi, dan pelayanan suatu perusahaan
sulit sekali menggunakan definisi seperti ini sebagai dasar manajemen kualitas.
Product-based Approach
Pendekatan ini menganggap kualitas sebagai karakteristik atau atribut yang
dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas
mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang
dimiliki produk. Karma pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat
menjelaskan perbedaan dalam sclera, kebutuhan, dan preferensi individual.
User-based Approach
Pendekatan didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang
yang memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang
(misalnya perceived quality) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.
Perspektif yang subjektif dan demand-oriented inijuga menyatakan bahwa
pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula,
sehingga kualitas bagi s e s e o r a n g a d a l a h s a m a d e n g a n k e p u a s a n
m a k s i m u m ya n g dirasakannya.
Manufacturing-based Approach
Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikar praktik-
praktik perekayasaan dan pemanufakturan, Berta men definisikan kualitas
sebagai sama dengan persyaratannya (conformance to requirements). Dalam
sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations-driven.
Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan
secara internal, yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan
produktivitas dan penekanan biaya. jadi yang menentukan kualitas adalah
standarstandar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsum en yang
menggunakannya. Dalam konteks ini konsumen dipandang sebagai pihak
yang harus menerima standar-standar yang ditetapkan ol& produsen atau
penghasil produk.
Value-based Approach
Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengar
mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas
didefinisikan sebagai "affordable excellence". Kualitas dalam perspektif ini bersifat
relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling ting- belum tentu produk
yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah produk atau jasa
yang paling tepat dibeli (best-buy).

D. Konsep Kualitas Pendidikan (Quality of Education)


L.C. Solmon dalam tulisannya yang berjudul The Quality of Education
(Psacharopaulos, 1987: 53) menyatakan bahwa untuk memahami kualitas pendidikan
dari sudut pandang ekonomi diperlukan pertimbangan tentang bagaimana kualitas itu
diukur. Dalam hubungan ini terdapat beberapa Sudupandang dalam mengukur kualitas
pendidikan, yaitu:

P a n d a n g a n ya n g m e n g gu n a k a n p e n g u k u r a n p a d a h a s i l
pendidikan (sekolah atau college).
Pandangan yang melihat pada proses pendidikan.
Pendekatan teori ekonomi yang menekankan pada akibat positif
pada siswa atau pada penerima manfaat pendidikan lainnya yang
diberikan oleh institusi dan atau program pendidikan.

Sudut pandang tersebut di atas, masing-masing punya kelemahnnya sendirisendiri.


Namun demikian pengukuran di atas tetap diperlukan dalarn melihat masalah kualitas
pendidikan, yang jelas diakui bahwa masalah peningkatan kualitas pendidikan
bukanlah hal yang mudah sebagaimana diungkapkan oleh Stanley J. Spanbauer
0 992: 49) "Quality improvement in education should not be viewed as a "quick fix
process". It is a long term effort which require organizational change and
restructuring". Ini berarti bahwa banyak aspek yang berkaitan dengan kualitas
pendidikan, dan suatu pandangan komprehensi mengenai kualitas pendidikan
merupakan hal yang penting dalam memetakan kondisi pendidikan secara utuh,
meskipun dalam tataran praktis, titik tekan dalam melihat kualitas bisa berbeda -
beda sesuai dengan maksud dan tujuan suatu kajian atau tinjauan. Kualitas
pendidikan bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, dia merupakan hasil
dari suatu p roses pendidikan; jika suatu proses pendidikan berjalan baik, efektif
dan efisien, maka terbuka peluang yang sangat besar memperoleh hasil
pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan mempunyai kontinum dari
rendah ke tinggi sehingga berkedudukan sebagai suatu variabel. Dalarn konteks
pendidikan sebagai suatu sistem, variabel kualitas pendidikan dapat dipandang
sebagai variabel bebas yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
kepemimpinan, iklim organisasi, kualifikasi guru, anggaran, kecukupan
fasilitas belajar, dan sebagainya. Edward Salis (2006: 30-31) menyatakan:
"Ada banyak sumber mutu dalam pendidikan, misalnya sarana gedung yang bagus,
guru yang terkemuka, nilai moral yang tinggi, hasil ujian yang memuaskan,
spesialisasi atau kejuruan, dorongan orang tua, bisnis dan komunitas lokal,
sumberdaya yang melimpah, aplikasi teknologi mutakhir, kepemimpinan yang
baik dan efektif, perhatian terhadap pelajaran anak didik, kurikulum yang
memadai, atau juga kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Pernyataan di atas menunjukkan banyaknya sumber mutu dalam bidang
pendidikan. Sumber ini dapat dipandang sebagai faktor pembentuk darl suatu
kualitas pendidikan, atau faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Dalam hubungan dengan faktor berpengaruh pada kualitas pendidikan, hasil
studi Heyman dan Loxley tahun 1989 (Mintarsih Danumihardja 2004: 6)
menyatakan bahwa faktor guru, waktu belajar, manajemen sekolah, sarana
fisik dan biaya pendidikan memberikan kontribusi yang berarti terhadap
prestasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
ketersediaan dana untuk penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah menjadi
salah satu faktor penting untuk dapat memenuhi kualitas dan prestasi belajar, di mana
kualitas dan prestasi belajar pada dasarnya mengagambarkan kualitas pendidikan.
Sementara itu Nanang Fatah (2000: 90) mengemukakan upaya peningkatan
mutu dan perluasan pendidikan membutuhkan sekurangkurangnya tiga faktor
utama, yaitu (1) kecukupan sumber-sumber pendidikan dalam anti kualitas tenaga
kependidikan, biaya dan sarana belajar; (2) mutu proses belajar mengajar yang
mendorong siswa belajar efektif; dan (3) mutu keluaran dalam bentuk pengetahuan,
sikap keterampilan, dan nilal-nilai. Jadi kecukupan sumber, mutu proses belajar
mengajar, dan mutu keluaran akan dapat terpenuhi jika dukungan biaya yang
dibutuhkan dan tenaga professional kependidikan dapat disediakan di sekolah
Dalam bidang pendidikan, yang termasuk input dalam konteks
pengukuran kualitas hasil pendidikan adalah siswa dengan seluruh
karakteristik personal Berta biaya yang harus dikorbankan untuk
memperoleh pendidikan/mengikuti sekolah, dan komponen yan g terlibat dalam
proses pendidikan di sekolah sebagai suatu institusi adalah guru dan SDM
lainnya, kurikulum dan bahan ajar, metode pembelajaran, sarana pendidikan, sistem
administrasi, sementara yang masuk dalam komponer, output adalah hasil proses
pembelajaran yang dapat menggambarkar kualitas pendidikan.
E. Standar mutu Pendidikan
Di dalam PP No. 19 tahun 2005 disebutkan bahwa pendidikan di Indonesia
menggunakan delapan standart yang menjadi acuan membangun dan
meningkatkan kualitas pendidikan. Standart Nasional Pendidikan Merupakan
criteria minimal tentang sisitem pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia, ada delapan standar yang menjadi kriteria minimal
tersebut yaitu
1 standar isi,
2. standar proses,
3. standar kompetensi lulusan,
4. standar pendidik dan tenaga kependidikan,
5. standar serene dan prasarana,
6. standar pengelolaan,
7. standar pembiayaan,
8. standar penilaian pendidikan.

Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam


rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat (PP 19/2005 Pasal 4)
Namun demikian dalam kenyataannya, perhatian dunia pendidikan akan
kualitas merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan dunia bisnis. Oleh
karena itu, kualitas dan penjaminan kualitas dapat dipandang sebagai suatu
inovasi dalam pendidikan. Dalam hubungan ini sosialisasi menjadi hal yang
penting dalam mendukung keberhasilan implementasi penjaminan
kualitas/manajemen kualitas pendidikan

F. Konsep Manajemen Mutu


Secara sederhana manajemen mutu dapat diartikan sebagai aktivitas
manajemen untuk mengelola mutu. Menurut Gasperz (1997), manajemen kualitas
dapat dikatakan sebagai aktivitas dari fungsi manajemen secara keseluruhan
yang menentukan kebijakan kualitas, tujuan, tanggung jawab, serta
mengimplementasikannya melalui alat-alat manajemen kualitas, seperti
perencanaan kualitas, pengendalian kualitas, penjaminan kualitas, dan
peningkatan kualitas.
Pengertian di atas menggambarkan bahwa manajemen kualitas
berkaitan dengan seluruh kegiatan manajemen dalam rangka mengelola
kualitas. Dalam perkembangannya dewasa ini manajemen kualitas telah banyak
diterapkan dalam seluruh aspek dari suatu organisasi, sehingga pengelolaan
kualitas bersifat total dan terpadu. Oleh karena itu, TQM telah menjadi sistem
manajemen yang berkaitan dengan upaya untuk terns meningkatkan kualitas
dalam berbagai tahap, bagian dan bidang-bidang dalam organisasi.
Total Quality Management diartikan sebagai perpaduan semua fungsi dari
perusahaan ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep
kualitas, teamwork, produktivitas, dan pengertian serta kepuasan pelanggan
(Ichikawa dalam Pawitra, 1993: 135). Definisi lainnya menyatakan bahwa
TQM merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi
usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota
organisasi (Santosa, 1992, p. 33). Untuk memudahkan pemahamannya (Fandi
Tjiptono, 2003), pengertian TQM dapat dibedakan dalam dua aspek. Aspek
pertama menguraikan apa TQM itu dan aspek kedua membahas bagaimana
mencapainya.
Total quality management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan
usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi rnelalul
perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya.
Total quality approach hanya dapat dicapai dengan memperhatikan
karakteristik TQM berikut ini:
Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.
Memiliki obsesi yang tunggi terhadap kualitas.
Menggunakan pendekatan ilrniah dalam pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah.
Memiliki komitmen jangka panjang.
Membutuhkan kerja lama tim.
Memperbaiki proses secara berkesinambungan.
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
Memberikan kebebasan yang terkendali.
Memiliki kesatuan tujuan.
Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.

Adapun perkembangan impl ementasi manaj emen dalam konteks


manajemen kualitas dapat dikemukakan sebagai berikut :
1911, Frederick W. Taylor mempublikasikan bukunya The Principles of
Scientific Management, yang melahirkan berbagai teknik leper. studi
waktu dan gerak.
1931 Walter A. Shewhart dari Bell Laboratories memperkenalkan static
tical quality control dalam bukunya Economic Control of Quality of
Manufactured Products.
1940 W. Edwards Deming membantu U.S. Bureau of Census dalam menerapkan
teknik-teknik sampling statistik.
1941 W. Edwards Deming mengajarkan teknik-teknik pengendalian kualitas di
U.S. War Department.
1950 W. Edwards Deming mengajarkan mata kuliah mengenai kualitas kepada para
ilmuwan, insinyur, dan eksekutif perusahaan jepang.
1951 Joseph M. Juran mempublikasikan buku berjudul Quality Control
Handbook.
1961 Martin Company (kemudian bernama Martin-Marietta) membangun nodal
Pershing yang memiliki tingkat kerusakan nol.
1970 Philip Crosby memperkenalkan konsep zero defects.
1979 Philip Crosby mempublikasikan bukunya yang berjudul Quality is Free.
1980 Siaran dokumentasi TV If Japan Can.... Why Can't We? memberi
pengakuan kepada W. Edwards Deming di USA.
1981 Ford Motor Compaq mengundang W. Edwards Deming untuk berbicara di
hadapan eksekutif puncaknya, yang memelopori hubungan produktif antara
produsen mobil dan pakar kualitas.
1982 W. Edwards Deming, menerbitkan buku berjudul Quality, Productivity, and
Competitive Position.
1984 Philip Crosby menerbitkan buku berjudul Quality Without Tears The Art of
Hassle-Free Management.
1987 Kongres Amerika Serikat menetapkan Malcolm Baldrige National Quality
Award.
1988 Secretary of Defense, Frank Carlucci memerintahkan U.S. Department
of Defense untuk mengadopsi total quality.
1989 Florida Power and Light berhasil menjadi perusahaan non -jepang pertama
yang berhasil memenangkan Deming Prize.
1993Total quality approach diajarkan di universitas-universitas di Amerika
Serikat.

G. Konsep dan Manbat Quality Function Deployment


Hal yang perlu diketahui sebelum suatu produk atau jasa (seperti proses
pendidikan) mulai diproduksi adalah apakah produk atau jasa tersebut dapat memenuhi
kebutuhan para pelanggan. Hal im merupakan alasan utama perlunya dilakukan riset
untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan dan pentingnya berkomunikasi
dengan pelanggan internal dan ekster-nal. Konsep Quality Function
Deployment (QFD) dikembangkan untuk menjamin bahwa produk yang
memasuki tahap produksi benar-benar akan dapat memuaskan kebutuhan para
pelanggan dengan jalan membentuk tingkat kualitas yang diperlukan dan
kesesuaian maksimum pada setiap tahap pengembangan produk. QFD
dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Mitshubishi's Kobe Shipyard pada tahun
1972, yang kemudian diadopsi oleh Toyota. Ford Motor Company dan Xerox
membawa konsep ini ke Amerika Serikat pada tahun 1986. Semenjak itu QFD
banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan Jepang, Amerika Serikat,
dan Eropa. Perusahaan-perusahaan besar seperti Procter & Gamble, General Motors,
Digital Equipment Corporation, HewlettPackard, dan AT&T kini
menggunakan konsep ini untuk memperbaiki komunikasi, pengembangan produk,
Berta proses dan sistem pengukuran.
Fokus utama dari QFD adalah melibatkan pelanggan pada proses pengembangan
produk sedini mungkin. Filosofi yang mendasarinya adalah bahwa pelanggan tidak
akan puas dengan suatu produk meskipun suatu produk yang telah dihasilkan
dengan sempurna bila mereka memang tidak menginginkan atau membutuhkannya.
Berdasarkan definisinya, QFD merupakan praktik untuk meranca ng suatu proses
sebagai tanggapan terhadap kebutuhan pelanggan. QFD menerjemahkan apa
yang dibutuhkan pelanggan menjadi apa yan, dihasilkan organisasi. QFD
memungkinkan organisasi untuk memprioritaskan kebutuhan pelanggan ,
menemukan tanggapan inovatif terhadap kebutuhan tersebut, dan memperbaiki
proses hingga tercapa efektivitas maksimum. QFD juga merupakan praktik
menuju perbaikaproses yang dapat memungkinkan organisasi untuk
melampaui harapapelanggannya. QFD sendiri terdiri atas beberapa aktivitas berikut:
Penjabaran persyaratan pelanggan (kebutuhan akan kualitas),
Penjabaran karakteristik kualitas yang dapat diukur,
Penentuan hubungan antara kebutuhan kualitas dan karakteristik.
Penetapan nilai-nilai berdasarkan angka tertentu terhadap masing- masing
karakteristik kualitas,
Penyatuan karakteristik kualitas ke dalam produk,
Perancangan, produksi, dan pengendalian kualitas produk.

H.Konsep Penjaminan Kualitas/Mutu (Quality Assurance)


Penjaminan kualitas adalahseluruh rencana dan tindakan sistematis yang
penting unt uk m en yedi akan kepercaya an yan g di gunakan unt uk
memuaskan kebutuhan tertentu dart kualitas (Elliot, 1993). Kebutuhan tersebut
merupakan refleksi dari kebutuhan pelanggan. Penjaminan kualitas biasanya
membutuhkan evaluasi secara terus -menerus dan biasanya digunakan
sebagai al at bagi manajem en. Menurut Gryna (1988), penjaminan kualitas
merupakan kegiatan untuk memberikan bukti-bukti untuk membangun
kepercayaan bahwa kualitas dapat berfungsi secara efektif (Pike dan Barnes,
1996).
Sementara itu Cartin 0 999: 312) memberikan definisi penjaminan kualitas
sebagai berikut: Quality Assurance is all planned and systematic activities
implemented within the the quality system that can be demonstrated to provide
confidence that a product or service will fulfill require- re- ments for quality.
Perkembangan dan implementasi manajemen mutu dan penjaminan mutu
tidak terlepas dari perkembangan gerakan mutu yang terjadi dalam dunia bisnis.
Gerakan kualitas merupakan gerakan yang menunjukkan pada tahapan-tahapan
yang bersifat akumulasi dan bersifat memperbaiki dari gerakan-gerakan
sebelumnya. Evolusi gerakan total quality dimulai dari masa studi waktu dan
gerak oleh Bapak Manajemen Ilmiah Frederick Taylor pada tahun 1920-an yang
menunjukkan beberapa peristiwa dalam evolusi gerakan total quality. Aspek
yang paling fundamental dari manajemen ilmiah adalah adanya pemisahan
antara perencanaan dan pelaksanaan. Meskipun pembagian tugas telah
menimbulkan peningkatan besar dalam hal produktivitas, sebenarnya konsep
pembagian tugas tersebut telah menyisihkan konsep lama mengenai
keahlian/keterampilan, di mana individu yang sangat terampil melakukan semua
pekerjaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang berkualitas.
Manajemen ilmiah Taylor mengatasi hal ini dengan membuat perencanaan
tugas manajemen dan tugas tenaga kerja. Untuk mempertahankan kualitas produk
dan jasa yang dihasilkan maka dibentuklah departemen kualitas yang terpisah.
S ei ri ng den gan m eni ngk at n ya vol um e dan kom pl eksi t as pe -
manufakturan, kualitas juga menjadi hal yang semakin sulit. Volume dan kompleksitas
mendorong timbulnya quality engineering pada tahun 1920-an dan reliability
engineering pada tahun 1950-an. Quality engineering sendiri mendorong timbulnya
penggunaan metode-metode statistik dalam pengendalian kualitas, yang akhirnya
mengarah pada konsep control charts dan statistical process control. Kedua konsep
terakhir itu merupakan aspek fundamental dari total quality management.

I. Tujuan Penjaminan Kualitas/Mutu


Tujuan kegiatan penjaminan mutu bermanfaat, baik bagi pihak internal maupun
eksternal organisasi. Menurut Yorke (1997), tujuan penjaminan (assurance)
terhadap kualitas tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Membantu perbaikan dan peningkatan secara terus-menerus dan
berkesinambungan melalui praktik yang terbaik dan man mengadakainovasi.
2. Memudahkan mendapatkan bantuan, baik pinjaman uang atau fasilitas atau
bantuan lain dari lembaga yang kuat dan dapat dipercaya.
3. Menyediakan informasi pada masyarakat sesuai sasaran dan waktu secara
konsisten, dan bila mungkin, membandingkan standar yang telah dicapai
dengan standar pesaing.
4. Menjamin tidak akan adanya hal-hal yang tidak dikehendaki.

Selain itu, tujuan dari diadakannya penjaminan kualitas (quality assurance)


ini adalah agar dapat memuaskan berbagai pihak yang terkait & dalamnya,
sehingga dapat berhasil mencapai sasaran masing-masing. Penjaminan
kualitas merupakan bagian yang menyatu dalam membentuk kualitas produk dan
jasa suatu organisasi atau perusahaan. Mekanisme penjaminan kualitas yang
digunakan juga harus dapat menghentika perubahan bila dinilai perubahan
tersebut menuju ke arah penurunan atau kemunduran.
Berkaitan dengan penjaminan kualitas, Stebbing dalam Dorothea E.
Wahyuni (2003) menguraikan mengenai kegiatan penjaminan kualita sebagai
berikut:
Penjaminan kualitas bukan pengendalian kualitas atau inspeksi.
Meskipun program penjaminan kualitas (quality assurance mencakup
pengendalian kualitas dan inspeksi, namun kedua kegiatan tersebut
hanya merupakan bagian dari komitme terhadap mutu secara menyeluruh.
Penjaminan kualitas bukan kegiatan pengecekan yang luar biasa. Dengan
kata lain, departemen pengendali kualitas tidak harusbertanggung jawab
dalarn pengecekan segala sesuatu yang dikerjakan oleh orang lain.
Penjaminan kualitas bukan menjadi tanggung jawab bagian
perancangan. Dengan kata lain, departemen penjaminan kualitas bukan
murupakan keputusan bidang perancangan atau teknik, tetapi
membutuhkan orang yang dapat bertanggung jawab dalam pengambilan
keputusan dalam bidang-bidang yang dibutuhkan dalam perancangan.
Penjaminan kualitas bukan bidang yang membutuhkan biaya yang
sangat besar. Pendokumentasian d an sertifikasi yang berkaitan dengan
penjaminan kualitas bukan pemborosan.
Kegiatan penjaminan kualitas merupakan kegiatan pengendalian melalui
prosedur secara benar, sehingga d apat mencapai perbaikan dalam
efisiensi, produktivitas, dan profitabilitas.
Penjaminan kualitas bukan merupakan obat yang mujarab untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Dengan penjaminan kualitas, justru
akan dapat mengerjakan segala sesuatu dengan baik sejak awal dan setiap
waktu (do it right the first time and every time).

Dengan demikian tampak bahwa penjaminan kualitas merupakan


kegiatan untuk mencapai biaya yang efektif, dan membantu meningkatkan
produktivitas.

J. ALat Statistik dalam Penjaminan Mutu


Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan statistik dalam mengendalikan
kualitas terutama untuk mengurangi variabilitas telah mendapat perhatian d a ri
pa r a p a ka r ku al i t a s d a n s an ga t b e rm an f a at d al am m e n gi m plementasikan
TQM. Oleh karena itu, pemahaman statistik menjadi penting bagi para pimpinan
organisasi dalam rangka melaksanakan TQM. Statistik m er up ak a n c ab a n g d a ri
m at em at i k a, st at i s t i k d ap at m em b a nt u mendeskripsikan secara kuantitatif dari
suatu proses atau hasil produksi, konsep-konsep penting dalam kaftan ini adalah
nilai rata-rata, modus, median sebagai ukuran gejala pemusatan, serta range,
varians, serta standar deviasi untuk melihat variabilitas. Di samping itu
pemahaman tentang distribusi normal dan prinsip-priinsipnya juga akan sangat
membantu dalam penggunaan statistik bagi pelaksanaan manajemen kualitas
total. Untuk menjaga agar proses perbaikan dilaksanakan secara berkesinambungan,
harus dikumpulkan data statistik untuk dianalisis atas dasar pros es yang sedang
berjalan, dengan member perhatian terhadap proses kerja yang bervariasi.
Alasan yang ada di balik semua variasi itu harus p ula diperhatikan, sebab
setiap variasi yang berbeda akan memerlukan strategi yang berbeda pula. Metode
kontrol statistik digunakan untuk mengurangi perbaikan hasil kerja, mengurangi
limbah dan waktu proses, serta untuk mengukur sejauh mana perusahaan telah
berhasil memuaskan pelanggan. Dengan adanya data dengan alat statistik, berarti
pendekatan fakta telah dilakukan pada pengambilan keputusan.
Keputusan yang efektif didasarkan pada analisis data dan informasi. Pengambilan
keputusan yang dilakukan berdasarkan pendapat (judgmen atau informasi lisan
seringkali menimbulkan bias. Manajemen hendaknya membangun kebiasaan
menggunakan fakta dan hasil analisis sebelur melakukan pengambilan
keputusan. Fakta dapat diperoleh dengan wawancara, kuesioner, jajak
pendapat, pengujian, analisis statistik, dan lain-lain yang memberikan hasil
yang objektif. Pendekatan fakta dalam pengambilan keputusan akan
mengurangi timbulnya kesalahan. Dalam organisasi yang melaksanakan
manajemen mutu, segala keputusan harus didasarkan pada dat a pasti yang
paling memungkinkan. Statistik pengendalian proses penting sekali dan harus
dipakai agar organisasi bisa secara sistimatis mengukur tingkat keadaan apakah
sasaran pencapala, dan hasil (output) telah berhasil memuaskan pelanggan
atau belurPenilaian haruslah didasarkan pada data yang seobjektif mungkin.
Adapu-alat statistik pengendalian mutu yang dapat digunakan dan dikembangkar
beberapa teknik yang secara umum telah banyak dipakai dalam rangka
pengendalian mutu mencakup tujuh alat pengendali mutu (seven tools quality control,
7T) dikenal juga dengan nama Ishikawa's basic tools quality karena dipopulerkan
oleh Kaoru Ishikawa, terdiri atas:
Checksheet
Histogram
Diagram pareto
Diagram sebab dan akibat
Diagram pencar
Bagan aliran
Bagan kendali
Sementara itu alat pengendalian kualitas lainnya adalah tujuh alat baru untuk
peningkatan mutu (the seven new tools for improvement, N7), dikembangkan oleh
Japanese Society for Quality Control Technique Development, merupakan pelengkap
dari tujuh alat untuk pengendalian mutu. Ketujuh alat barn tersebut, terdiri atas:
Diagram afinitas. Diagram afinitas dipergunakan untuk
mengembangkan ide yang terkait dengan suatu isu/kasus, kemudian
mengelompokkan ide-ide tersebut secara hierarki membentuk suatu
diagram. Pembuatan diagram ini melibatkan beberapa orang. Diagram
afinitas berbentuk pernyataan isu, subisu, dan pendapat terkait, yang
selanjutnya dapat dipakai sebagai dasar untuk diskusi atau brainstorming.
Grafik hubungan timbal batik. Grafik ini menggambarkan hubungan di
antara isu-isu yang berbeda. Biasanya dibuat setelah menyelesaikan diagram
afinitas untuk memudahkan memahami hubungan di antara berbagai isu
yang muncul. Grafik ini juga bermanfaat untuk mengidentifikasi isu yang
paling penting untuk dijadikan fokus dalam mencari solusi suatu masalah.
Diagram pohon. Berguna untuk mengidentifikasi tahapan yang
diperlukan dalam memecahkan suatu masalah. Penyelesaian masalah
dilakukan dari level paling bawah secara bertahap menuju ke level atas
(masalah pokok).
Grid prioritas. Digunakan untuk membuat keputusan yang memiliki
berbagai kriteria atau alternatif pilihan. Misalkan, dalam memilih suatu
teknologi terdapat berbagai pertimbangan, seperti biaya, kecepatan,
pemeliharaan, dan lain-lain. Prioritasisasi dilakukan dengan
memberikan bobot pada setiap kriteria dan mencari alternatif dengan
nilai tertimbang yang terbesar, mirip dengan metode faktor rating pada
pemilihan lokasi.
Diagram matriks. Diagram matriks merupakan suatu alat brainstorming
yang dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan antara berbagai ide
atau isu. Diagram matriks relatif mudah dibuat dan umumnya dibuat dalam
dua dimensi. Namun, diagram matriks dapat juga dibuat dalam tiga atau empat
dimensi.
Bagan proses keputusan program. Merupakan suatu alat untuk membantu
mengidentifikasi kemungkinan ketidakpastian yang berhubungan dengan
penerapan program. Berdasarkan diagram pohon yang telah dibuat dilakukan
evaluasi kelayakan penerapan program. Tahapan/keadaan yang tidak layak atau
memerlukan penanganan sendiri diberi tanda untuk menjadi perhatian.
Diagram jaringan kerja. Merupakan diagram yang meng gam ba rkan
hubungan di ant a r a berba gai ke gi at an sert a mengidentifikasi
kegiatan kritis dan lintasan kritis. Bentuk yanc-: umum dipakai ialah CPM
(critical path method) atau PERT (program evaluation and review technique).

Di sampaing itu, berkembang pula al at pengendalian mutu


denganmenggunakan prinsip-prinsip statistik yaitu Six Sigma. SIX-SIGMA.
dikembangkan oleh Motorola sebagai hasil dari pengalaman manufakturnya.
Program six-sigma bertujuan untuk mengurangi variabilitas dalam karakteristik utama
mutu produk pada tingkat yang sangat rendah. Motorola mengembangkan konsep six
sigma untuk mengurangi variabilitas dalarr proses sehingga batas spesifikasi
menjadi 6 sigma dari rata-rata, sehingga hanya terdapat cacat sebesar 0,002 ppm,
seperti dalam tabel berikut.

Tabel 8.1. Spesifikasi dan Kecacatan

Batas Spesifik Persen Cacat/ppm


1 sigma 68,27 317300
2 sigma 95,45 45500
3 sigma 99,73 2700
4 sigma 99,9937 63
5 sigma 99,99994 0,75
6 sigma 99,9999998 0,002

Pada saat konsep six-sigma mulai dikembangkan dalam suatu perusahaa, diasumsikan
rata-rata proses masih mengalami gangguan yang dapat menyebabkan
pergeseran sejauh 1,5 sigma dari target. Dengan skenar ini, proses six-sigma
memberikan toleransi cacat sebesar 3,4 ppm, sepeterlihat pada tabel berikut :

Tabel 8.2. Spesifikasi dan Persen Kecacatan


Batas Spesifikasi Persen Cacat/ppm
1 sigma 30,23 697700
2 sigma 69,13 308700
3 sigma 93,32 66810
4 sigma 99,3790 6210
5 sigma 99,97670 233
6 sigma 99,999660 3,4

Karena keberhasilannya dalam manajemen mutu melalui pengem bangan


konsep six-sigma, membuat Motorola mendapat penghargaan Malcolm
Baldrige pada tahun 1988. Konsep ini kemudian diadopsi oleh berbagai
perusahaan besar lainnya di dunia. Dengan dernikian, statistik dapat
dipergunakan dalam melakukan penjaminan mutu, k arena dapat memberikan
deskripsi kuantitatif tentang kualitas, misalnya berapa terjadi ketidaksesuaian hasil
dengan standar, ini berarti bahwa statistik dapat menjadi alat penting dalam
pengendalian proses. Pengendalian proses berdasarkan statistik terdiri dari enam
langkah yang terdiri dari:
Memilih proses pengendalian statistik.
Mendefinisikan secara tepat proses tersebut.
Memilih masalah yang akan dikendalikan berdasarkan statistik.
Melatih operator.
Mengumpulkan data.
Menyiapkan, memelihara, dan menggunakannya.

Dalam menggunakannya dapat memakai bagan untuk memperjelas apa yang


perlu dikendalikan, dalam hubungan ini diagram Ishikawa (fishbone chart) dapat
digunakan. Secara umum pengendalian dengan menggunakan analisis statistik
merupakan alat yang telah banyak membantu organisasi guna melakukan
perbaikan yang terus-menerus.

K. Keb i jak an Pen j ami n an Mu tu Pen d i d i k an


Pendidikan diharapkan mempunyai pengaruh yang signifikan pada
pembentukan SDM (human capitab dalam aspek kognitif, afektif, ataupun
keterampilan, baik dalam aspek fisik, mental maupun spiritual. Hal ini jelas menuntut
kualitas penyelenggaraan pendidikan yang baik agar kualitas hasil pendidikan
dapat benar-benar berperan optimal dalam kehidupan masyarakat. Komitmen
bangsa dalam bidang pendidikan paling tidak menunjukkan adanya suatu
keinginan yang kuat untuk menjadikan pendidikan sebagai faktor penting
dalam pembangunan, sehingga upayaupaya untuk selalu memperbaiki,
mengembangkan dan membangun dunia pend i di kan harus di pah am i dal am
kont eks sum bangan n ya b a gi pembangunan bangsa, karena pada akhirnya
pendidikan akan menentukan kualitas SDM/human capital, dan kualitas hasil
pendidikan yang bagus akan membentuk human capital yang berkualitas,
yang sangat penting dal am menunjang kehidupan m as yarakat dal am
berbagai bidang kehidupan. Dalam upaya untuk terns meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia, penjaminan mutu menjadi suatu keharusan. Penjaminan
mutu (quality assurance) pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk menjamin
agar proses yang berjalan dalam organisasi/lembaga pendidikan dapat
memenuhi standar atau bahkan melebihi standar mutu yang tela ditetapkan.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 91 Ayat
1, 2, dan 3 tentang penjaminan mutu pendidikadisebutkan bahwa:
1. Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan
penjaminan mutu.
2. Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 bertujuan
untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan.
3. Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1
dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalar suatu
program penjaminan mutu yang memiliki target da kerangka waktu
yang jelas.
Dengan melihat Pasal 91 dari PP 19/2005, tampak bahwa penjaminan kualitas
merupakan suatu kewajiban bagi lembaga pendidikan. Dalam melakukan
penjaminan kualitas pendidikan, agar sesuai konteks diperlukar peninjauan
pendidikan dalam lingkup tatarannya. Dalam upaya untu, mengkaji masalah
pendidikan, pemahaman akan kondisi kualitas yang ada merupakan suatu hal
penting yang dapat membantu memahami posisi dan kondisi pendidikan.

L. Audit Mutu
Secara umum prinsip dasar dalam pemeriksaan/audit adalah unsur
kelengkapan dan efektivitas pengawasan dalam pelaksaan sistem
penjaminan mutu yang beroperasi dalam suatu organisasi. Menurut Willy Susilo,
kriteria audit, lingkup, frekuensi, dan metode-metode yang akadigunakan
dipastikan ditentukan. Seleksi terhadap para auditor dalam melaksanaan audit harus
dipastikan dilakukan secara objektif dan mengikuti ketentuan proses audit. Audit
dilaksanakan secara independen yakni auditor tidak memeriksa pekerjaan
mereka sendiri. Tanggung jawab dan persyaratan untuk merencanakan dan
melaksanakan audit, pembuatan laporan hasil audit, dan pengelolaan catatan-
catatan hasil audit harus tertuang dalam prosedur terdokumentasi. Pirnpinan
yang bertanggung jawab terhadap unit yang diperika harus memastikan
tindakan koreksi diambil segera mungkin untuk mengeliminasi
ketidaksesuaian dan penyebabpenyebab yang telah ditemukan. Tindak lanjut
audit harus mencakup verifikasi terhadap tindakan-tindakan yang telah diambil
dan melaporkan hasil verifikasi yang telah dilakukan.
Audit mutu itu hanyalah suatu proses untuk membantu organisasi untuk
memastikan sistem manajemen mutu telah efektif dan telah mencapai tujuan-
tujuan yang direncanakan dan sistem tetap dipertahaankan. Melalui audit mutu
internal para pelaku bisnis, pemilik proses, pelaku sistem mendapatkan data
dan informasi faktual dari hasil audit yang akan digunakan sebagai
lanclasan untuk memastikan dicapainya kondisi kesesuaian, efektivitas,
kesehatan, dan efisiensi dalam pengelolaan kegiatan usaha. Adapun tujuan
audit mutu internal adalah mendorong terjadinya perubahan -perubahan untuk
mendukung tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan sejalan dengan
strategi bisnis yang telah dipilih dalam rangka merealisasikan visi-misi
perusahaan. Secara lebih spesifik tujuan audit mutu internal dapat diuraikan sbb:
Memastikan sistem manajemen mutu yang telah dikernbangkan dijalankan
secara efektif.
Memastikan tujuan-tujuan penerapan sistem manajemen mutu dicapai
secara efektif.
Memastikan sistem manajemen mutu terpelihara secara terns menerus.
Mendeteksi penyimpangan-penyimpangan terhadap kebijakan mutu
sedini mungkin.
Mendalami permasalahan yang terjadi di berbagai proses sehingga
dapat dilakukan tindakan koreksi dan perbaikan terusmenerus.
Memastikan seluruh personil memiliki kompetensi yang capat
mendukung efektivitas sistem manajemen mutu.
Dalam melaksanakan audit mutu, diperlukan penanganan yang tepat agar
pengelolaan/manajemen audit dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Manajemen audit mutu adalah proses sistematis pengelolaan audit
mutu untuk mencapai tujuan yang diharapkan secara efektif melalui penerapan
fungsi-fungsi manajemen (PDCA): perencanaan, pelaksanaan evaluasi, dan
tinclak lanjut.
Diawali dari tahap perencanaan. Secara umum mencakup penyediaan
semua perangkat audit mutu, mulai pembuatan kebijakan tentang audit mutu
prosedur audit mutu, program audit mutu, jadwal audit mutu dan pembentukan tim
audit mutu, penetapan tujuan audit mutu, dsb. Tahap berikutnya adalah
menjalankan audit mutu berdasarkan semua yang telah disiapkan pada tahap
perencanaan. Pada tahap pelaksanaan audit mutu mencakup kegiatan-kegiatan
mulai dari sosialisasi program audit mutu pembentukan tim audit, penunjukan
dan penugasan auditor, persiapan auditor, pelaksanaan audit, pembahasan hasil
audit, dan membuat laporarbasil audit serta menyampaikan laporan hasil audit ke
pihak-pihak yang terkait.

1. Perencanaan Audit Mutu


Perencanaan adalah proses penahapan kegiatan audit mutu secara
keseluruhan yang diawali dengan menetapkan tujuan, dilanjutkan dengan
pengembangan program, penyusunan jadwal, penugasan auditor dan
penentuan auditee. Termasuk dalam lingkup perencanaan audit mutu adalah
menetapkan kebijakan audit, pengembangan prosedur audit mutu. program audit
mutu, penyusunan jadwal audit mutu, pembentukan tim audit dan pengembangan
kompetensi auditor.
Kebijakan audit adalah pernyataan resmi dan terdokumentasi oleh pimpinan
perusahaan, menegaskan komitmen dan kebijakan tentang audit mutu. Biasanya
kebijakan audit mutu dituangkan dalam manual mute atau prosedur audit mutu
internal. Berikut adalah cuplikan dari manna, mutu tentang pengaturan audit mutu
internal (contoh):
Tujuan audit adalah untuk memastikan sistem manajemen mutu
diimplementasikan secara efektif dan hasilnya sesuai dengan yang telah
direncanakan.
Tim audit dibentuk oleh wakil manajemen dan disahkan ole h Direksi
dan dibekali pelatihan yang cukup sebelum melaksanakan audit.
Program audit direncanakan oleh ketua tim audit dengan
mempertimbangkan tingkat kepentingan dan kekritisan unit yang akan
diaudit.
Audit dilakukan secara sistematis, objektif, terencana dan
terdokumentasi serta mengedepankan integritas dan independensi.
Audit harus dilakukan sesuai dengan prosedur audit yang telah
ditetapkan.
Dalam setiap pelaksanaan audit, auditor harus memperhatikan
hasil audit yang terdahulu untuk mengevaluasi efektivitasnya.
Kriteria audit, lingkup, frekuensi, dan metode-metode yang akan digunakan
dipastikan ditentukan dalam prosedur audit internal.
Pelaksanaan audit dilakukan secara objektif dan mengikuti ketentuan
persyaratan audit.
Pimpinan unit yang diperiksa bertanggung jawab untuk menindaklanjuti
temuan audit pada unitnya.
Tindakan koreksi diambil segera mungkin untuk mengeliminasi
ketidaksesuaian yang telah ditemukan.
Tindak lanjut audit harus mencakup verifikasi terhadap tindakan tindakan
yang telah diambil (Willy Susilo, 2006).

Ketua tim audit bertanggung jawab dan melapor kepada wakil manajemen. Prosedur
audit adalah dokumen referensi audit mutu yang isinya menjelaskan
tentang bagaimana proses audit mutu dilaksanakan mulai perencanaan sampai
pelaporan dan tindak lanjut hasil audit mutu.
Program audit adalah rencana induk kegiatan audit mutu yang
menggambarkan kegiatan audit mutu selama kurun waktu biasanya satu tahun.
Pengembangan program audit mutu tidak dapat dilepaskan dari
keterkaitannya dengan kebutuhan atau permasalahan yang sedang dihadapi
oleh perusahaan. Dengan demikian pada waktu program audit mutu disusun,
maka tim audit mutu bersama wakil manajemen pe rlu melakukan analisa
kinerja pendahuluan untuk setiap fungsi dan proses sehingga penekanan audit
bisa diberikan pada fungsi-fungsi tertentu yang dipandang memerlukan perhatian
lebih dari fungsi lainnya (critical areas).
Jadwal audit adalah pengaturan dan pembagian waktu audit mutu untuk
seluruh fungsi di perusahaan dalam kurun waktu tertentu, biasanya setahun.
Menetapkan berapa kali setiap fungsi terkena audit mutu dalam kurun waktu satu
tahun. Namun perlu juga diingat bahwa di samping kegiatan yang telah terjadwal,
audit rnutu juga dapat dilakukan sewaktuwaktu di luar jadwal yang telah
disusun bilamana diperlukan, misalnya karena adanya kasus atau ada permintaan
khusus dari Manajemen. Jadwal audit mutu tidak boleh terlalu kerap namun juga
tidak baik terlalu lama. Yang terbaik jadwal audit disusun sesuai dengan
pertimbangan kebutuhar.
Tim audit adalah kelompok personil yang terdiri lebih dari beberapa orang
sesuai kebutuhan yang dibentuk untuk metaksanakan audit mutu secara berkala.
Penuniukan anggota tim audit mutu biasanya dipilih dari tenaga-tenaga yang handal
dan cocok untuk tugas audit mutu. Seseorang yang ditunjuk untuk menjadi auditor
mutu haruslah merniliki kompetensi (pengetahuan, pengalaman, pendidikan dan
pelatihan serta atribut pribadi yang sesuai).
Sebelum memulai suatu kegiatan audit, seorang auditor mutu perlu
melakukan persiapan-persiapan secara baik agar hasil audit dapat opti mal dan
interaksi audit tidak menimbulkan ekses yang kontra produktif terhadap
maksud dan tujuan dilakukannya audit mutu. Berikut adala beberapa persiapan
yang diperlukan oleh seorang auditor mutu internal sebelum memulai suatu
audit mutu, yang mencakup persiapan mental (pengetahuan, semangat dan
emosi), persiapan kertas kerja dan persiapan fisik. Persiapan pengetahuan: Auditor
mutu internal hendaknya mempelajan proses yang akan diaudit, lakukan analisis SIPOC
( supply- input-process- output-customer), sehingga semua parameter baik parameter
mutu maupur parameter proses, baik yang berupa standar spesifikasi maupun
berupa target-target operasional (quality objectives) dapat dipahami dengan baik.
Lakukan identifikasi Indikator Kinerja Kunci (Key Performance Indicatc, pada
proses yang akan diaudit. Pelajari karakteristik permasalahan dapotensi
permasalahan atau critical points yang ada pada proses tersebut. Pelajari sistem
manajemen mutu atau sistem kerja/metode kerja/prosedur instruksi kerja yang
telah didokumentasikan dan dijadikan acuan kerja pada unit di mana audit akan
dilakukan. Buatlah berbagai catatan tentang hal-hal yang menjadi permasalahan
atau yang berpotensi menjadi masalah sehingga pada waktu proses audit dapat
dikembangkan dalam berbaga pertanyaan kepada auditee. Persiapan kertas kerja
audit mutu: Baca kembali prosedur audit mutu yang menjadi landasan audit
mutu. Pahami isirna dengan baik. Identifikasi semua formulir yang berlaku
dan siapkan secukupnya. Auditor juga perlu membuka kembali dokumen hasil
audit yang lalu pada unit yang akan diperiksa, untuk mempelajari temuan audit yang
lalu. Apakah ada temuan audit yang belum diselesaikan. Bila ada maka hal itu
perlu dimasukkan dalam catatan persiapan auditor, sehingga pada saat audit auditor
dapat membahas kembali temuan audit yang belum selesai.Pelaksanaan audit mutu
adalah proses realisasi dari semua yang telah dipikirkan dan dituangkan dalam
perencanaan audit mutu. Termasuk dalam lingkup pelaksanaan audit mutu adalah
Sosialisasi program audit mutu, penugasan auditor, persiapan auditor ke
seluruh proses audit, pembahasan hasil audit bersama auditee, pembuatan
laporan hasil audit, dsb. Sosialisasi program audit mutu adalah kegiatan
mengomunikasikan hal-hal berkaitan dengan audit mutu yang perlu cliketahui
oleh pimpinan operasional dan karyawan agar audit mutu ticlak menimbulkan
salah pengertian dan mendapat clukungan dari semua pihak. Sosialisasi dapat
dilakukan dalam bentuk berbagai kegiatan misalnya memberikan penjelasan tentang
maksud audit mutu kepada auditee dalam berbagai kesempatan, misatnya pada
saat opening meeting. Penugasan auditor adalah pengaturan tentang siapa akan
mengaudit apa, di mana dan kapan, dsb. Pengaturan mengenai penugasan auditor
mutu ini penting karena akan mempengaruhi kinerja auditor, agar audit mutu bisa
berjalan (Willy Susilo, 2006).

2. Pelaksanaan Audit Mutu


Pelaksanaan audit mutu/proses audit adalah proses interaksi antara audi tor dan
Auditee dalam rangka mengumpulkan atau memperoleh data/ informasi
faktual dan bukti -bukti objektif tentang efektivitas d an kesesuaian sistem
manajemen mutu. Aktivitas audit mutu yang urnurn dipraktikkan antara lain
melakukan observasi, meminta penjelasan, meminta peragaan,
mewawancarai karyawan, menelaah d okurnen, membandingkan, memeriksa
dengan daftar periksa, mencari bukti-bukti objektif, melakukan cek silang,
bertanya, melakukan survei, mencari informasi dari tempat lain,
mempelajari, menganalisis, dll. Singkatnya seorang auditor mutu memiliki
kebebasan untuk menggunakan berbagai pendekatan yang dipandang dapat
membantu memberikan data dan informasi yang diperlukan untuk sampai
kepada kesimpulan audit. Meminta penjelasan adalah suatu bentuk interaksi
antara auditor dan auditee untuk memperoleh data /informasi atas objek audit
secara cleskriptif. Biasanya auditor mengajukan permintaan kepada auditee.
Pengertian auditee datam konteks ini adalah semua personil yang ada pada suatu
unit yang tengah diperiksa termasuk pimpinan tertinggi pada unit tersebut. Secara
kelembagaan auditee dapat juga diartikan sebagai keseluruhan unsur yang ada
pada unit yang sedang diperiksa.
Meminta peragaan adalah suatu pendekatan audit untuk memperoleh informasi
melalui permintaan contoh aktivitas secara langsung atau secara simulatif atas suatu
objek audit. Pendekatan ini bisa sangat efektif untuk membuktikan apakah suatu
proses kerja atau mekanisme kerja telah dilakukan sesuai dengan
persyaratan yang tertuang dalam dokumen referensi kerja. Misalnya,
seorang auditor tengah mengaudit ke unit pemasaran, dan meminta peragaan
cara menangani keluhan pelanggan. atau meminta seorang personil yang mengelola
data base pelanggan untuk memeragakan pengamanan data base, dsb.
Menelaah dokumen adalah suatu pendekatan audit secara adminis tratif
untuk menilai substansi yang termuat dalam dokumen acuan kerja
dibandingkan misalnya dengan persyaratan standar atau dengan isi
kebijakan mutu yang lebih tinggi kedudukannya. Untuk menelaah sebuah
dokumen referensi kerja, auditor bisa meminta waktu untuk bekerja sendiridi suatu
ruangan khusus, atau dilakukan sebelum audit lapangan dilakukan. Mem bandingkan
dengan daftar periksa adalah suatu pendekatan pemeriksaan dengan metode
verifikatif yakni membandingkan parameter standar yang tertuang dalam sebuah
daftar periksa yang telah lebih dahulu disiapkan, berdasarkan dokumen-dokumen
referensi dengan kinerja atakondisl aktual untuk mendapatk an informasi
tentang ada tidakan kesenjangan atau penyimpangan. Pemeriksaan dengan
alas bantu daftar periksa biasanya digunakan oleh auditor pemula, untuk
menghindakesalahan atau ketidaklancaran dalam proses audit. Daftar periksa
bisa disiapkan jauh sebelum audit dilaksanakan. Daftar periksa bisa dibua:
secara lengkap mencakup seluruh aspek yang ingin diperiksa. Daftar periksa
bisa disiapkan berdasarkan prosedur, proses kerja, standar, dll. Daftar periksa
dapat juga hanya ditekankan pada aspek spesifik sesua topik pemeriksaan.
Misalnya auditor mendapat tugas untuk memeriksa masalah pergudangan maka
persiapan daftar periksa dapat difokuskahanya pada aspek-aspek yang
terkait dengan masalah pergudangamisalnya hal-hal yang terkait dengan
pengendalian penerimaan barang datang pengelolaan gudang pengendalian
pengeluaran barang, dsb.
Melakukan cek silang adalah suatu pendekatan untuk membuktikaatau
mengonfirmasi kebenaran suatu informasi yang telah diperl eh dikaitkan
dengan informasi pada bagian lain. Selain untuk memperkuat bukti objektif atas
temuan yang sudah didapat, juga untuk memperoleh informasi tambahan yang
diperlukan untuk mengambi! suatu kesimpulan. Menanyakan adalah satu teknik
yang paling umum dan paling banyak dilakukan oleh auditor untuk mendapatkan
informasi. Pola pertanyaan yang baik adalah dengan pertanyaan terbuka:
Mengapa? Mengapa begini, mengapa begitu? Melakukan survei adalah suatu
pendekatan audit dengan mengumpulkan informasi melalui metode penelitian
dengan merancang sebuah alat survei sesuai dengan tujuan atau informasi yang ingin
diketahui, misalnya melakukan survei mengenai kepuasan kerja karyawan,
survei mengenai tingkat pemahaman konsep standar mutu.
Mencari bukti-bukti adalah kegiatan mengumpulkan data -data
pendukung yang dapat diverifikasi atas suatu objek audit yang diduga
mengandung persoalan atau ketidaksesuaian. Bukti-bukti sangat diperlukan oleh
auditor dalam penyusunan laporan hasil audit. Karena itu, pada setiap kesempatan
interaksi, auditor harus selalu ingat dengan kebutuhan akan bukti-bukti objektif.
Dengan demikian bukti-bukti perlu dikumpulkan segera setelah adanya indikasi
temuan. Sebagai contoh, pada waktu auditor membahas soal pengendalian
produk tidak sesuai, maka pada saat itulah auditor meminta berbagai bukti
terkait dengan penyimpangan, misalnya hasil tes oleh bagian Quality Assurance
atau catatan hasil produksi yang menggambarkan adanya penyimpangan.
Dengan begitu, pada saat menyusun laporan semua bahan yang diperlukan sudah
tersedia.
Benchmarking adalah suatu pendekatan studi banding bertujuan mencari
informasi dari tempat lain untuk kemudian dibandingkan dengan informasi yang
telah dikumpulkan pada perusahaan sendiri. Biasanya benchmarking dilakukan
untuk suatu aspek kineria yang paling baik yang dimiliki oleh perusahaan yang
dijadikan acuan. Mempelajari objek audit adalah suatu pendekatan untuk
memahami secara mendalarn objek audit dan keterkaitan kontekstualnya
dengan cara mempelajari berbagai karakteristik spesifik yang bisa
memberikan indikasi untuk memahami situasi yang sesungguhnya dari suatu objek
audit (Willy Susilo, 2006).
Semua aspek yang ada di unit yang diperiksa dapat disebut sebagai objek
audit. Namun untuk membuat audit mutu efektif, maka auditor pada satu
kesempatan audit, seharusnya menyeleksi atau membatasi objek au dit. Mengapa
demikian? Pertama karena waktu audit terbatas. Kedua, karena kapasitas
auditor terbatas. Ketiga, tidak semua objek audit relevan dengan topik audit yang
menjadi konsentrasi. Pengukuran adalah proses mengkuantifikasikan atau memberikan
nilai atau kategori pada suatu objek /kegiatan/ proses /kondisi /situasi/perilaku
atau hal apa saja dengan mengikuti suatu kaidah tertentu untuk keperluan atau
tujuan tertentu. Secara umum tujuan pengukuran adalah mendapatkan
informasi yang selanjutnya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misalnya
sebagai dasar unt uk pengambil an keputusan, unt uk pembukt i an, untuk
mengonfirmasi suatu hal, untuk pengendalian proses, untuk perbaikan atau
peningkatan d an masih banyak lagi manfaat lainnya. Pentingny a
pengukuran tersirat dalam ungkapan berikut. Kita tidak dapat mengendalikan
apa yang tidak dapat kita ukur. Secara konsep, pengukuran adalah hal yang biasa,
namun dalam pelaksanaannya, pengukuran seringkah menimbulkan
permasalahan yang tidak sesederhana konsepnya. Sebaga contoh, auditor mutu
akan melakukan pengukuran terhadap tingkat pemahaman karyawan mengenai
SMM
Bagaimanakah pengukuran itu dapat dilakukan dengan tepat dan benar?
Ketika auditor melakukan pengukuran, maka ada objek (data/vari able) yang
diidentifikasi. Bila objek pengukuran dalam jumlah yang banyak. maka diperlukan
pendekataan pengukuran yang selain valid, reliable, juga sekaligus efisien.
Karena itu dalam kegiatan yang terkait dengan pengukuran cukup dilakukan
terhadap sebagian dari populasi atau dalam bahasa statistik dikatakan secara
sampling. Menganalisis adalah proses mengurai informasi hasil pemeriksaan atau
pengukuran untuk memahami unsur-unsur terkecil guna mendapatkan informasi
mendalam untuk melihat hubungan sebab-akibat atau hubungan korelasi antara
beberapa variable data temuan sebelum auditor membuat sebuah kesimpulan atas hasil
audit.
Penilaian adalah proses member nilai atau harga pada sesuatu fungsi atau
aspek yang telah diukur dengan pernyataan evaluatif, misalnya menyatakan
suatu kegiatan tidak sesuai dengan persyaratan yang tela l ditetapkan.
Menyimpulkan adalah proses akhir dari kegiatan pengukuran dan penilaian dengan
memberikan pernyataan evaluatif berdasarkan data informasi yang telah
dikumpulkan/diukur dan dianalisis. Proses menyimpulkan bisa dengan
pendekatan induktif berarti berangkat dari data spesifik menuju kesimpulan
umum, atau secara deduktif berangkat dari informasi umum menuju kesimputan
spesifik.
Kesimpulan adalah hasil akhir sebuah audit mutu. Berclasarkar
kesimpulan yang telah dibuat, maka auditor siap membuat laporan hasil audit,
yang dilengkapi dengan bukti-bukti objektif. Laporan hasil audit mutu biasanya
dituangkan dalam format yang telah disiapkan dalam prosedur audit mutu.
Verifikasi adalah melakukan pengecekan kembali untuk mengonfirmasi
apakah proses tinclak lanjut yang telah dilakukan oleh auditee telah benar-benar
selesai dan permasalahan bisa ditutup. Verifikasi biasanya dilakukan setelah tim
audit menerima laporan tindakan koreksi dari audit. Verifikasi dapat dilakukan
secepaatnya atau ditunda sampai pada putaran audit berikutnya, tergantung
permasalahan dan prosedur audit yang berlaku.
Pada prinsipnya pendekatan audit mutu dapat dilakukan dengan cara apa pun,
ticlak terbatas dengan pendekatan yang telah dibahas di atas. Auditor memiliki
kebebasan yang cukup luas untuk menggunakan berbagai metode atau pendekatan
sejauh cara-cara yang digunakan bisa efektif dalam proses pemeriksaan dan
ticlak menimbulkan permasalahan. Secara ilustratif, berikut adalah beberapa
pendekatan yang lazim digunakan dalam audit mutu.

3. Pendekatan Audit Mutu


Dalam upaya untuk melakukan audit mutu, suclah barang tentu diperlukan clasar
yang kuat untuk men-judgement posisi atau kondisi mutu suatu organisasi atau
individu, dalam hubungan ini terdapat beberapa cara pemerolehan informasi
untuk kepentingan audit mutu yaitu :
1. mengamati/melakukan observasi, meminta penjelasan;
2. bertanya;
3. m em i nt a pera ga an, m ewawan car ai kar yawan, m en el aah dokumen;
4. membandingkan, memeriksa dengan daftar periksa, mencari bukti-
bukti;
5. melakukan cek silang, melakukan survei benchmarking;
6. m em pe l a j a ri , m e n ga nal i si s, m e n yi m pu l k an , m el a kuk a n
pengujian, melaporkan, memverifikasi. (Willy SUSilo, 2006).

4. Kompetensi Auditor Mutu


Kompetensi adalah keseluruhan pengetahuan, kemampuan /keterampilan dan sikap
kerja plus atribut kepribadian yang dimiliki oleh seseorang yang mencakup kemampuan
berpikir kreatif, keluasan pengetahuan, kecerdasan emosional, pengalaman daya juang,
sikap positif, keterampilan kerja serta kondisi kesehatan yang baik, yang bisa dibuktikan
atau diperagakan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya. Secara tradisional unsur kompetensi meliputi 3 aspek
kunci (Willy Susilo, yakni: Knowledge, Skill, dan Attitude (KSA).
Seseorang dikatakan memiliki kompetensi jika yang bersangkutan cukup
memiliki unsur KSA sehingga mampu menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya secara efektif, dalam arti berhasil mencapai tujuan yang telah
dirancang dari pekerjaan tersebut dengan segala tantangan dan berbagai
permasalahan yang timbul ketika menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

5. Laporan Audit/Manual Mutu


Laporan audit mutu internal adalah hasil kerja seorang auditor mutu, yang disampaikan
kepada auditee (unit yang diperiksa) untuk ditindaklanjuti. Laporan hasil audit
mutu memuat informasi faktual, signifikan, relevan dar cukup, yang disusun secara
sistematis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua informasi
yang dimuat dalam laporan audit benarbenar telah diseleksi sehingga
menggambarkan kebenaran dan penting untuk diketahui, berkaitan langsung
dengan permasalahan yang dilaporkar dan tidak menimbulkan keraguan atau
menimbulkan pertanyaan pertanyaan di benak pembacanya, dan yang paling
esensial, laporan audit mutu menganclung potensi nilai yang siap direalisasikan
menjadi nila' nyata yang berharga bagi kepentingan perusahaan.
Dalam pembuatan laporan hasil audit berlaku prinsip -prinsip
komunikasi, yang mencakup siapa (auditor) menyampaikan apa (hasil au dit)
kepada siapa (auditee) dengan media apa (bahasa verbal tertulis dengan tujuan
apa (tindakan perbaikan oleh auditee). Policy (kebijakan laporan audit mutu
menyebutkan kebijakan yang dijadikan acuar pembanding atau referensi
dalam proses audit. Policy atau kebijakan adalakoridor legalitas suatu kegiatan
dalam sebuah organisasi. Bila dikatakamelanggar kebijakan perusahaan artinya
suatu kegiatan menyimpang dar apa yang telah ditetapkan. Acuan pembanding,
misalnya kebijakan yang tertuang dalam manual mutu.
Location (lokasi): menyebutkan secara spesifik tempat proses atau uni* operasi
di mana permasalahan ditemukan. Misalnya pada kegiatan prosez pelayanan.
Clause (klausul): menyebutkan klausul peraturan atau standar dan pasal-pasal
yang menjadi permasalahan atau yang dilanggar. Evidence (bukti objektif):
menyebutkan bukti-bukti objektif yang mendukung laporan hasil audit. Misalnya
hasil pengujian laboratorium tentang spesifikasi bahan baku yang menyimpang dari
toleransi tetapi tetap diterima. Scale of critical i t y (t i ngkat keseri usan):
m enggam barkan t i ngkat keseri usan p ermasalahan dilihat dari satu atau beberapa
sudut pandang.
Analysis (analisis) memberikan uraian hasil analisis sebab-akibat yang
melatarbelakangi terjadinya permasalahan. Misalnya terjadinya ketidak -
mampuan telusur akibat identifikasi pada sistem pelabelan tidak jelas. Rec-
ommendation (rekomandasi) memberikan rekomendasi sebagai buah pikiran
auditor untuk menyelesaikan persoalan yang telah ditemukan. Time for completion
(waktu untuk penyelesaian): adalah kesepakatan mengenai batas waktu untuk
penyelesaian permasalahan yang telah dibahas bersama antara auditor dan auditee.
Bentuk laporan audit mutu yang paling umum adalah menggunakan sistem
formulir yang telah disiapkan. Bentuk laporan audit dengan formulir sangat praktis
untuk pengisiannya dan untuk pemahaman secara cepat oleh pembacanya. Pada
intinya laporan hasil audit mutu adalah kesirnpulan yang dibuat oleh auditor
berdasarkan data dan informasi yang telah dikumpulkan. Pertimbangan utama
yang harus diberikan oleh auditor saat menyusun laporan audit adalah siapa
pembacanya. Pemahaman tentang target pembaca ini penting agar laporan audit bisa
disusun untuk pemahaman optimal oleh pembacanya. jadi laporan audit bukan untuk
dimengerti sendiri oleh auditor. Laporan audit mutu harus mudah dimengerti oleh
auditee tanpa ada peluang salah tafsir. Karena yang akan melaksanakan
instruksi/ informasi yang tertuang dalam laporan audit adalah auditee, bukan auditor.
Karena itu dalam penyusunan laporan hasil audit, gunakanlah bahasa yang
sederhana, jelas, singkat dan mudah dimengerti tanpa keraguan. Ingat prinsip-prinsip
komunikasi, yang mencakup siapa (auditor) menyampaikan apa (hasil audit),
kepada siapa (auditee) dengan media apa (bahasa verbal tertulis) dengan tujuan
apa (tindakan perbaikan oleh auditee) (Willy Susilo, 2006).

M. Rangkuman
Konsep mutu lebih dahulu berkembang dalam dunia bisnis yang kemudian
berpengaruh juga pada dunia pendidikan, sehingga masalah mutu
belakangan menjadi consern/perhatian dalam upaya membangun
pendidikan. Untuk itu diperlukan pengelolaan mutu yang tepat termasuk dalam dunia
pendidikan mengingat secara legal pendidikan pun haru s melakukan
penjaminan mutu dalam rangka terus-menerus meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam hubungan ini audit mutu diperlukan sebagai upaya untuk mengontrol
implementasi manajemen mutu dan untuk itu alas statistik dapat digunakan untuk
melakukan kontrol mutu di samping dapat juga menggunakan konsep Six Sigma
untuk memantau batas toleransi kecacatan/kekeliruan dalam meningkatkan mutu
pendidikan.

N. Review
Lakukan analisis dan penjelasan berdasarkan materi yang sudah dipelajari atas
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Jelaskan makna mutu dan mutu pendidikan.
2. Jelaskan macam-macam pendekatan terhadap mutu.
3. Jelaskan makna manajemen mutu.
4. Jelaskan makna QFD dalam konteks manajemen mutu.
5. Jelaskan tujuan dan fungsi manajemen mutu.
6. Jelaskan konsep penjaminan mutu.
7. Jelaskan tujuan penjaminan mutu.
8. Jelaskan penjaminan mutu dalam konteks pendidikan.
9. jelaskan konsep pendekatan audit mutu.

Bab 8
Pembiayaan
Pendidikan

Deskripsi Umum Materi


Dalam bab ini akan dibahas tentang pembiayaan pendidikan yang
mencakup jenis biaya pendidikan, model pembiayaan
pendidikan. Di samping itu, dibahas pula tentang
penganggaran, dari mulai pengertian, tujuan, serta sistemnya.
Kemudian dalam tataran institusi sekolah juga dibahas tentang makna
manajemen keuangan sekolah, serta penganggaran di sekolah yang
menggambarkan tentang program kegiatan yang terkait dengan
biaya yang mendukungnya. Terakhir dibahas tentang
hubungan antara biaya dengan mutu pendidikan.

Tujuan Pembelajaran
Dengan mempelajari dan mendiskusikan bab ini, pembaca
pembelajar akan dapat lebih memahami tentang konsep
pembiayaan pendidikan d an aplikasinya dalam konteks
penganggaran pendi dikan di sekolah. Oleh karena itu,
setel ah m engkaji bahasan dal am bab ini, m ahasiswa
pembelajar diharapkan dapat:
menjelaskan makna pembiayaan pendidikan;
menjelaskan macam-macam biaya pendidikan:
m enj el askan kai t an ant ara p em bi a yaan
pendidikan dengan ekonomi pendidikan;
menjelaskan makna anggaran d an penganggaran;
Menjelaskan tujuan dan fungsi anggaran;
Menjelaskan macam-macam sistem penganggaran;
Menjelaskan kelebihan dari planning, pro-gramming, budgeting
system dibanding sisterr penganggaran yang lain;
menjelaskan manfaat disusunnya suat L
anggaran bagi kinerja organisasi sekolah;
menjelaskan keterkaitan antara biaya per didikan dengan
mutu pendidikan.

A. Pendahuluan
Pendidikan dapat dilihat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis
pendidikan dapat dimaknai sebagai upaya untuk mendewasakan manusia,
sementara itu secara praktis pendidikan akan terlihat dari kelembagaannya,
yang menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 terdapat tiga lingkungan pendidikan yaitu pendidikan informal, pendidikan
nonformal, dan pendidikan formal.
Dilihat dari suclut keteraturan kelembagaan, pendidikan nonformal dapendidikan
formal tampaknya lebih memungkinkan untuk diorganisasi secara baik dengan
menerapkan prinsip-prinsip manajemen dalam berbagai fungsinya, sehingga
analisis dan tinjauan terhadap proses pen yel e n gga r a ann ya a k an m en j a di
s es u at u ya n g s a n gat p e nt i n g b a gi pengembangan kelembagaan dalam
proses pendidikan, dan di antara kelembagaan pendidikan yang mendapat
perhatian besar dari pemerintah dan masyarakat adalah sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal.
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal sudah tentu
memerlukan pengelolaan yang impersonal, di dalamnya perlu dan harus
diterapkan prinsip-prinsip manajemen modern, di mana objek yang menperhatiannya
secara umum tidak banyak berbeda dengan organisasi -organisasi lainnya.
Dalam hubungan ini, The Six's M yang menjadi objek pengelolaan manajemen dapat
juga diterapkan pada lembaga pendidik. Keenam objek tersebut adalah:Man
(manusia),Money(dana/uang), Material (bahan-bahan), Machine (mesin/peralatan
proses), Method (cara memproses), dan Market (pasar/konsumen).
Namun demikan hal itu sudah tentu memerlukan penyesuaian agar dapat
sejalan dengan misi lembaga pendidikan sebagai lembaga nirlaba. Dari keenam
unsur tersebut, salah satu yang penting, baik dalam lembaga bisnis maupun
lembaga pendidikan adalah masalah uang/dana. Adalah tidak mungkin lembaga
pendidikan dapat berjalan dengan baik tanpa ada ketersediaan dana untuk
melaksanakan kegiatannya dalam menye lenggarakan proses pendidikan. Oleh
karena itu, dalam dunia pendidikan kajian mengenai pendanaan/pembiayaan
pendidikan menduduki posisi penting sebagai suatu upaya untuk memahami dan
mengelola hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan/manajemen dana/keuangan
dalam lembaga pendidikan, termasuk pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah.
B. Pembiayaan Pendidikan dalam Konteks Ekonomi Pendidikan
Pembiayaan pendidikan merupakan masalah penting yang dikaji dalam
ekonomi pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Elchanan Cohn (1979:
9) yang menyatakan sebagai berikut.
The issues that will concern us in this volume are conveniently grouped into five
major categories (major issues in the economics of education):
1. Identification and measurement of the economic value of education
2. The allocation of resources in education
3. Teacher's salaries
4. The finance of education, and
5. Educational planning
Dari kutipan di atas tampak bahwa masalah pembiayaan/pendanaan
pendidikan merupakan salah satu isu utama yang dibahas dalam ekonomi
pendidikan. Untuk itu terlebih dahulu pemahaman tentan g ekonomi
pendidikan diperlukan agar diperoleh suatu pemahaman yang utuh tentang
masalah pembiayaan pendidikan dalam kerangka umum ekonomi
pendidikan. Menurut Elchanan Cohn (1979: 2) ekonomi pendidikan
didefnisikan sebagai berikut:

the economics of education is the study of how men and society choose, with or
without the use of money, to employ scarce productive resources to produce
various type of training, the development of knowledge, skill, mind, character, and
so forth especially by formal schooling over time and to distribute them now
and in the future, among various people and groups in society.

Definisi di atas menunjukkan bahwa esensi dari ekonomi pendidikan adalah


masalah pemilihan di antara sumber-sumber produktif, baik menggunakan
uang ataupun tidak dalam memperoleh pendidikan. Dalam hubungan ini
pendidikan dipandang sebagai barang yang langka di mana perolehannya
memerlukan pengorbanan, baik dalam bentuk dana maupun tenaga.
Pemahaman ini pada dasarnya merupakan pemahaman pokok dalam ilmu
ekonomi yakni masalah kejarangan/kelangkaan sebagaimana dike -
mukakan oleh Roe L. Johns (1983: 10) bahwa the central topic of economics is
the allocation of resources and the central concept is scarcity.
Dengan mengingat kejarangan tersebut, mereka yang mau mengikuti
pendidikan perlu melakukan pengorbanan untuk mendapatkannya, dan
karena hasil pendidikan dapat memberikan nilai tambah di masa depan,
maka pengorbanan tersebut pada dasarnya merupakan suatu investasi,
yakni suatu upaya untuk meningkatkan nilai tambah barang atau jasa di
masa datang dengan pengorbanan konsumsi di masa sekarang.

C. Konsep Pembiapan Pendidikan


Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa salah satu isu dalam ekonomi
pendidikan adalah masalah pembiayaan pendidikan (educational finance.
Pada dasarnya pembiayaan pendidikan dapat dimaknai sebagai kajian
tentang bagaimana pendidikan dibiayai atau didanai. Dalam hubungan ini
Elchanan Cohn (1979: 10) menguraikan lingkup pembiayaan pendidikan sebagai
berikut:
Educational Finance. Who should pay for education? Should the government
support public and private education? If so, which level of government should
take what share of the burden? And what share c total costs should be borne
by the taxpayers as opposed to direct beneficiaries of the educational
endeavor? Also, if subsidies are justified should they be given to educational
institution or to individual in the form of a voucher?
Kutipan di atas sebenarnya tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud
dengan pembiayaan pendidikan, namun hanya menggambarkan p usat perhatian
dalam kajian pembiayaan pendidikan. Oleh karena itu, bila dicoba
dirumuskan dengan mengacu pada pemahaman di atas, pembiayaan
pendidikan dapat diartikan sebagai kajian tentang bagaimana pendidikan dibiaya,
siapa yang membiayai serta siapa yang perlu dibiayai dalam suatu proses
pendidikan. Pengertian ini mengandung dua hal yaitu berkaitan dengan cumber
pembiayaan dan alokasi pembiayaan pendidikan.
Dalam beberapa literature ekonomi pendidikan, pembahasan mengenai
pembiayaan pendidikan lebih menitikberatkan pada pembiayaan pendidikan formal
yaitu sekolah, sehingga terkadang kajian pembiayaan pendidikan tampak identik
dengan pembiayan sekolah (school finance). Hal ini sudah tentu memerlukan
pembatasan mengenai pendidikan, sebab kalau tidak maka pembiayaan pendidikan
mesti mencakup juga pendidikan informal, padahal jalur pendidikan ini sulit ditata
dengan prinsip manajemen modern. Untuk itu dalam makalah ini pembiayaan
pendidikan dipandang sebagai pembiayan pendidikan formal yakni menyangkut
persekolahan.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah adanya keterlibatan uang
dalam kajian pendidikan, di mana hal ini jelas tidak bisa dihindari mengingat
pendidikan merupakan benda ekonomi yang langka, dan uang merupakan salah satu
yang perlu dikorbankan untuk mendapatkannya. Menurut Thomas H. Jones
(1985: 3-20) "money come into play in the education enterprise in three areas: (1)
Economics of education, (2) school finance, (3) school business administration".
Dengan demikian ketiga bidang tersebut merupakan kajian tentang pendidikan
yang melibatkan satuan uang. Oleh karena itu, masalah pembiayaan pendidikan
pun tidak terlepas dari kajian tentang uang/dana berkaitan dengan
perolehannya serta penggunaannya dalam suatu proses pendidikan (sekolah).
Sehubungan dengan hal tersebut, satu hal yang merupakan konsep penting
dalam pembiayaan pendidikan adalah masalah biaya (cost) pendidikan yang
sangat diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan. Biaya pada lembaga
pendidikan biasanya meliputi:
Direct cost dan indirect cost. Direct cost (biaya langsung) yaitu biaya
yang langsung berproses dalam produksi pendidikan di mana biaya pendidikan
ini secara langsung dapat meningkatkan mutu pendidikan. Biaya langsung
akan berpengaruh terhadap output pendidikan. Biaya langsung ini meliputi
gaji guru dan personil lainnya, pembelian buku, fasilitas kegiatan belajar
mengajar, alas laboratorium, buku pelajaran, buku perpustakaan, dll. juga untuk
pengajaran, biaya langsung harus memenuhi unsur sebagai berikut:
inheren pada hasil, kuantitatif dapat dihitung, tidak dapa: dihindarkan, indirect
dapat melaksanakan pendidikan. Indirect cost (biaya tidak langsung)
meliputi biaya hidup, transportasi, dan biaya-biaya lainnya.
Social cost dan private cost. Social cost dapat dikatakan sebagai biaya
publik, yaitu sejumlah biaya sekolah yang harus dibayar oleh
masyarakat. Sedangkan private cost adalah biaya yang dikeluarkan
oleh keluarga untuk membiayai sekolah anaknya. dan term asuk di
dalamn ya forgone opportunities (bi a ya kesempatan yang hilang).

D. Model-model Pembiayaan Pendidikan/sekolah


Menurut John dan Morphet (1975) bentuk prinsip dari model biaya sekolah
(pendidikan) seperti berikut:
Flat Grant Model, model bantuan dialokasikan pada sekolah lokal distrik
tanpa petimbangan variasi atau perbedaan di antara distrik dalam hal
kemampuan distrik membayar pajak lokal. Ada dua variasi utama
dalam model ini yakni: (a) keseragaman jumlah yang diterima per
murid, per guru, atau suatu unit lain yany diperlukan, yang dibagi
tanpa memerlukan pertirribangar, perbedaan variasi dalam unit cost
untuk program pelayanapendidikan yang berbeda; (b) jumlah variabel
kebutuhan per unit yang menggambarkan adanya variasi dalam unit
cost yang dialokasikan bagi sekolah-sekolah lokal yang ada di daerah.
Equlization Model, dalam model ini, dana negara bagian atau state
dialokasikan bagi sekolah lokal di daerah dan meliha kemampuan
lokal dalam membayar pajak. Dalam model ini dana yang lebih untuk biaya
per murid, per guru atau unit-unit lainnya yang diperlukan dialokasikan
bagi daerah yang memiliki sumber ya n g m en e n gah a ga r t e t a p bi sa
m el ak s an ak an p ro gr am pendidikan dengan lebih baik.
Nonequalizing Matching Grant, bantuan ini menghendaki daerah lokal
untuk mencocokkan dana atas keuangan yang ada, tanpa pertimbangan variasi
kemampuan membayar pajak dari daerah
Sementara itu, Thomas H. )ones 0 985: 92) menyatakan enam model yang dapat
dijadikan dasar dalam pengembangan rencana bantuan keuangan pendidikan
(sekolah) terdiri dari:
Flat Grant. Model bantuan flat grant (hibah bagi rasa) merupakan
kesempatan yang baik bagi sekolah sebab dapat menerima bantuan
sebesar pajak yang diperoleh oleh wilayah/daerah. Dalam konsep ini
setiap daerah dapat m engembangkan pendapatan dari pajak property.
Full State Funding. Full state funding merupakan rencana yang
dimungkingkan untuk menghapus semua perbedaan dari masingmasing
daerah, baik dalam penggunaan dana maupun per olehannya. Tidak
ada pajak property sekolah dalam model ini, bahwa semua dana
pendidikan dikumpulkan pada tingkat negara bagian dan didistribusikan
ke daerah dengan perhitungan yang setara.
Foundation Plan. Model ini menentukan tarif pajak minimum dari tingkat
pembelanjaan minimal di setiap sekolah pada setiap wilayah. Tiap
sekolah diizinkan untuk melewati batas minimal jika diperlukan
Foundation Plan dirancang untuk mengakali empat masalah besar
dalam keuangan untuk bidang pendidikan, yaitu; (1) untuk
menyamaratakan pembelanjaan dalam kondisi negara yang l angka
sum ber da ya, (2) sebagai penet apan standarisasi pajak bagi
keperluan minimal sekolah, (3) untuk pemisahan wewenang
pengaturan sekolah antara pusat d an daerah, (4) untuk menetapkan provisi
dalam perbaikan yang berkesinambungan.
Guaranted Tax Base (GTB). Model ini adalah model yang
m en ga t u r pe m b a gi a n p e ri m b a n gan k eu a n gan b a gi d an a pendidikan
di mana membedakan persentase dana yang diterima. Wilayah yang kurang
makmur menerima dana yang lebih banyak dibanding wilayah yang lebih
makmur. Model ini disebut juga sebagai model yang mendukung
kesetaraan (equitas) pembayaran pajak.
Precentage Equalizing. Model ini dikembangkan pada tahun 1920-an,
bentuk ini merupakan model dari GTB yang lebih tua dan lebih rumit.
Precentage equalizing menyoroti sisi pengeluaran pendidikan yang harus
digunakan, sedangkan GTB menyoroti pemasukannya.
Power Equalizing. Model ini memerintahkan wilayah yang lebih kaya
untuk membayarkan sebagian yang diterima sekolah untuk dikembalikan
kepada negara, kemudian diatur untuk diserahkan kepada wilayah yang
berpendapatan kurang.

E. Penganggaran Pendidikan di Sekolah


Penganggaran merupakan langkah penyusunan anggaran yang amat penting
dalam bidang pendidikan, karena pendidikan pada dasarnya termasuk jasa
yang langka sehingga untuk memperolehnya diperlukan pengorbanan. Dilihat
dari segi anggaran, biaya pendidikan menunjukkan sisi pengeluaran dari anggaran
pendidikan. Besaran anggaran secara tersirat menunjukkan komitmen serta
prioritas kegiatan dari suatu kebijakan pendidikan. BOS pada dasarnya
merupakan kebijakan yang berkaitan dengan anggaran yang ditetapkan oleh
pemerintah yang dimaksudkar, untuk membantu pembiayaan pendidikan
dalam upaya meningkatkan aksesibilitas pendidikan serta peningkatan mutu.
Anggaran untuk biaya pendidikan diakui mempunyai pengaruh terhadap
partisipasi masyarakat dalam pendidikan serta mutu. Namun dalam konteks kondisi
ekonomi yang makin menurun bagi masyarakat, BOS lebih bersifat membantu
meringankar beban biaya yang ditanggung orang tua dalam menyekolahkan
anaknya untuk mencapai penuntasan Wajar Dikdas meskipun akses memperoleh
layanan pendidikan yang lebih baik juga mendapat perhatian. Oleh karena itu,
faktor penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun menjadi faktor tujuan
penting dari Kebijakan BOS di samping faktor mutu. Untuk itu berikut ini akan
dikemukakan konsep Penganggaran dan Pembiayaar Pendidikan sebagai dasar
untuk pemahaman lebih jauh tentang manaj'emeanggaran serta pembiayaan
pendidikan terutama dalam konteks persekolahan.

1. Konsep Penganggaran (Budgeting)


Menurut Nanang Fa"ah (2000: 47), penganggaran merupakan kegiataatau
proses penyusunan anggaran (budget). Sementara itu anggaran atau budget
merupakan rencana operasional yang dinyatakan secara kuantitatif dalam bentuk
satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dala m melaksanakan
kegiatan-kegiatan lembaga dalam kurun waktu tertentu. Sementara itu menurut
Djamaluddin 0 977: 11), anggaran adalah sejenis rencana yang menggambarkan
rangkaian tindakan atau kegiatan dalam bentuk angka-angka dari segi uang untuk
suatu jangka waktu tertentu.
Dari pengertian di atas, tampak bahwa penganggaran dan anggaran tidak
semata-mata berkaitan dengan uang, namun juga memberi gambaran tentang
program kegiatan yang akan dilaksanakan. Dalam anggaran kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan disertai besaran dana/biaya yang dialokasikannya, sehingga
terdapat dua hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu besaran dana untuk membiayai
kegiatan serta kegiatannya itu sendiri.
Dalam setiap anggaran tergambar dua sisi penting yaitu sisi penerimaan dan atau
rencana penerimaan dan sisi pengeluaran. Sisi penerimaan menunjukkan
sumber-sember dari mana dana itu diperoleh apakah dari pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun daerah, dari orang tua, dari masyarakat, atau dari
sumber lain yang dibenarkan, sed angkan sisi pengeluaran menggambarkan
alokasi besarnya biaya pendidikan untuk setiap komponen yang harus dibiayai
(Nanang Fattah, 2000: 48). Dengan demikian, anggaran suatu lembaga dapat
menggambarkan kegiatan/program yang akan atau sudah dilaksanakan serta
besaran biaya yang dikeluarkan sehingga dapat diketahui efektivitas dan
efisiensi pelaksanaan program yang tercantum dalam anggaran.
2. Fungsi Anggaran (Budget)
Menurut Nanang Fattah (2000: 49) anggaran di sampi ng sebagai alat
perencanaan dan pengendalian, juga merupakan alat bantu manajemen dalarn
rnengarahkan suatu lembaga menempatkan organisasi dalam posisi yang kuat atau
lemah. Anggaran dapat dipergunakan untuk melihat apakah program kegiatan
terlaksana dengan baik serta apakah penggunaan dana untuk membiayai program
tersebut sesuai/tepat, efektif dan efisien. Oleh karena itu, anggaran mempunyai
peran dan fungsi yang amat penting dalam suatu organisasi, besaran anggaran
juga dapat mencerminkan kekuatan suatu lembaga/organisasi dalam upaya
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu, masih menurut Nanang
Fattah (2000), bahwa fungsi anggaran mencakup hal-hal berikut:
1. sebagai alat penaksir
2. sebagai alat otorisasi pengeluaran dana, dan
3. sebagai alat efisiensi

Berkaitan dengan efisiensi, Nanang Fattah (2000) menyatakan sebaga.


fungsi yang paling esensial dalam pengendalian. Dari segi pengendalian,
jumlah anggaran yang didasarkan at as angka -angka yang st andar
dibandingkan dengan realisasi biaya yang melebihi atau kurang, dapat
dianalisis ada tidaknya pemborosan atau penghematan. Dengan demikian
tampak bahwa anggaran mempunyai fungsi yang amat strategis dalam
operasional organisasi untuk mencapai tujuan yang tel ah ditetapkan.
sehingga anggaran dapat menjadi alat manajemen untuk melakukan suatu
evaluasi atas kinerja organisasi, sehingga dapat ditentukan posisi organis asi
dalam konteks pencapaian tujuannya.

3. Desain Anggaran
Dalam penyusunan anggaran, sistematika yang akan tertuang dalar anggaran
tersebut akan menggambarkan model penyusunan anggaran Menurut George E.
Ridler dan Robert J. Sclockley (1989) dalam bukunya School Administrator's
Budget Handbookdalam Danim (2006: 146) terdapat l i m a si st em (m o de l )
dal am m en d es ai n at au m en yu s un a n gga r a n (Penganggaran), yaitu:
Item-based budget
Program budget system
Zero-based budget
Incremental budget
Combination of system

Sementara itu, Nanang Fattah (2000: 53) menyebutkan empat macam desain
anggaran, yaitu:
Anggaran butir per butir (Line Item Budget)
Anggaran program (Program Budget System)
Anggaran berdasarkan hasil (Performance Budget)
Sistem Perencanaan Penyusunan Program dan Penganggara n (PPBS
atau SP4)

Meskipun terdapat perbedaan, namun desain sebagaimana dikemukakan diatas


pada dasarnya lebih bersifat menambah sehingga memungkinka n penggunaan
sistem anggaran yang lebih bervariasi, dan untuk lebih jelaskan berikut ini akan
diuraikan secara ringkas masing-masing desain yang telah dikemukakan di atas.

Line-item budget atau Anggaran Berbasis Item merupakan anggaran yang


disusun berdasarkan garis item-item atau kategori. Dalam model ini setiap
pengeluaran dikategorikan berdasarkan kelompok-kelompok seperti kategori gaji
yang terdiri dari gaji, upah, gaji lainnya, dan sebagainya. Sistem Anggaran Program
merupakan anggaran yang disusun per program dengan subset program yang terkait
dengan program tersebut seperti anggaran untuk penataran guru yang di dalamnya
mencakup gaji /upah panitia, gaji/upah penatar, konsumsi selama penataran, dan
sebagainya. Anggaran berbasis Not merupakan sistem anggaran yang besarannya
dirnulai dari nol dan dinilai dengan persentase yang ditentukan dari besarnya
anggaran. Anggaran inkremental adalah anggaran yang menjadikan anggaran
sebelumnya sebagai dasar dalam menentukan anggaran tahun berjalan,
dengan penyesuaian sesuai dengan perubahan yang terjadi, baik dalam program
maupun dalam biaya satuan. Sedangkan sistem kombinasi merupakan
anggaran yang disusun dengan mengombinasikan berbagai sistem di atas sesuai
dengan konteks kepentingan organisasi.
Sistem Anggaran Berdasarkan Hasil merupakan anggaran yang dirancang
dengan menekankan pada kinerja (hasil), di mana hasil dari suatu kinerja
dipecah berdasarkan beban kerja dan hasil yang dapat diukur. Sementara itu, Sistem
Perencanaan, Pemrograman dan Penganggaran, m erupak an an gga ran ya n g
di s us un dengan si kl us perenc anaan, pemrograman dan penganggaran, di
mana semua itu merupakan satu kesatuan sebagai sistem. Dengan demikian
dalam sistem ini anggaran yang disusun akan terlihat sebagai hasil dari suatu
proses perencanaan yang dituangkan dalam program dan anggaran (Djamaluddin,
1977: 29). Dengan demikian PPBS pada dasarnya dapat dip andang sebagai
suatu sistem penyusunan anggaran yang terintegrasi yang dimulai dengan
perencanaan kemudian disusun program kegiatan serta ditentukan anggarannya untuk
mendukung pelaksanaan program tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan
dikemukakan tentang sistem yang terakhir, mengingat sistem ini merupakan sistem
terpadu yang banyak dikembangkan dalam perancangan anggaran, termasuk dalarn
bidang pendidikan.
4. Konsep Sistem Perencanaan, Pemrograman, dan Penganggaran
(Planning, Programming, Budgeting System)
Sistem PPBS merupakan sistem terpadu dalam penyusunan anggaran. 'Planning,
Programming, Budgetting System" yang terkenal dengan singkatan PPBS adalah satu
sistim yang dipakai dalam proses perencanaan suatu anggaran yang
mempunyai sifat khas. Menurut Djamaluddin (1977: 27) sifat khas ini dapat
dilihat dari aspek-aspek berikut:
Proses kegiatan perencanaan pada seluruh aparat organisasi
(departemen).
Pengaitan seluruh jenis kegiatan operasionil pada tujuan yang telah
ditetapkan, sehingga PPBS Bering disebut sebagai sistem perencanaan yang
objective oriented.
Pendayagunaan yang maksimal dari resources yang tersedia dan terbatas.

Dengan sifat khas tersebut maka PPBS berbeda dengan sistem


pengganggaran lainnya. Dalam melihat PPBS ini, pertama-tama harus dilihat bahwa
proses kegi atan Perencanaan, Program , Anggaran adalah merupakan satu
kesatuan dalam satu sistim, ini berarti bahwa pengetahuan tentang sistim
merupakan prasyarat dalam usaha mendapatkan pengertian tentang PPBS itu. Di
samping itu, karena PPBS itu sangat mengutamakan analisis dan evaluasi pada
setiap kegiatan agar benar-benar tercapai tujuan secara lebih effisien, pengertian
tentang berbagai analisis harus dikuasai dan dipahami. Untuk mendapatkan analisis
yang mantap diperlukan jalinan informasi data.
Perencanaan, pembuatan program dan anggaran dari suatu organisasi yang
diikat dalam satu sistem sebagai kesatuan merupakan ciri dari PPBS. Dengan
demikian maka anggaran yang disusun akan terlihat sebagai hasil dari proses
kegiatan perencanaan yang dituangkan dalam program dan anggaran.
Hubungan timbal batik antara ketiga hal tersebut melibatkan seluruh kegiatan
PPBS dalam berbagai prosedur, informasi data, dan kebijakan-kebijakan, analisis serta
pengambilan keputusan.
Peterson (dalam Djamaluddin, 1977), menyatakan bahwa pengertian tentang
PPBS sebagai persoalan yang berkaitan dengan: (1) penentuan apa yang akan
diusahakan dan metode alternatif apa yang akan dipakai untuk mencapainya dengan
sumber-sumber yang tersedia, (2) pengorganisasian, koordinasi dan pengawasan
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengimplementasikan jalur kegiatan
yang terpilih, dan (3) mengadakan penilaian dan pertimbangan kembali
tentang pencapaian yang nyata terhadap tujuan, penyusunan kembali
tujuan-tujuan tersebut, dan mengadakan penyesuaian program-program kegiatan
untuk mencapainya.

5.Tujuan Sistem Perencanaan, Pemrograman,


dan Penganggaran
Sasaran yang hendak dicapai oleh sistem perencanaan, pembuatan program dan
anggaran ini, adalah tersusunnya suatu anggaran pendapatan dan belanja suatu
organisasi yang meliputi anggaran jangka pendek dan jangka menengah.
Rencana program dan keuangan jangka panjang inilah yang kemudian menjadi
sumber penataan anggaran tahunan (annual budget) sebagai rencana tindakan
untuk satu tahun program yang dipersiapkan oleh suatu organisasi.
PPBS dipersiapkan melalui suatu proses kerja sama dari seluruh aparat, baik
staf maupun pimpinan dalam unit organisasi. Itulah sebabnya, kegiatan PPBS wring
disebut sebagai persiapan sebelum dimulainya persiapan pembuatan anggaran
tahunan. Dengan demikian jelaslah arah Sasaran PPBS itu yaitu pembuatan
anggaran (jangka pendek dan jangka menengah), yang orientasinya kepada tujuan
yang telah ditetapkan.
Selain itu, perlu pula dipahami maksud dan tujuan diciptakannya sistem ini,
yaitu membantu para pimpinan organisasi yang bertanggung jawab mencapai
tujuan yang telah ditentukan itu. Pimpinan harus mengambil berbagai macam
keputusan di dalam mengalokasikan sumber-sumber yang dimilikinya itu kepada
berbagai macam program kegiatan. Melalui pertolongan PPBS ini, pimpinan
dapat mengambil keputusan yang lebih tepat karena di dalamnya menganclung
kegiatan-kegiatan (Djamaluddin, 1977: 33).
1. Proses identifikasi tujuan organisasi.
2. Proses identifikasi masalah-masalah yang mungkin terhadap
pencapaian tujuan.
3. Proses pemilihan alternatif cara-cara pencapaian
tujuan, melalui analisis yang sistematis atas hal-hal
yang perlu clipertimbangkan segera secara integral.
4. Mempertimbangkan implikasi-implikasi dari keputusan-
keputusan terhadap kegiatan-kegiatan di masa yang
akan clatang, dalam hubungannya dengan hasil-hasil
yang telah dicapai di masa lalu.

Sementara itu Djamaluddin (1977) dengan mengutip penclapat Carlson


menyatakan bahwa tujuan PPBS sebagai berikut:
Mem bant u pi m pi nan dal am m em buat kep ut usan ya n g m e nyangkut
usaha-usaha pencapaian tujuan.
Merasionalkan pendayagunaan sumber-sumber yang terbata_ untuk
mencapai tujuan sehingga secara nyata dan sunguh sungguh dapat
berdaya guna dan berhasil guna.
Sinkronisasi dan integrasi aparat organisasi dalam prose
perencanaan.
Untuk menjamin kontinuitas perencanaan tiap-tiap tahun, ya'Itu anggaran
tahunan yang berdasar pada rencana jangka menengal dan jangka panjang.

Dengan pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa, PPBS


merupakan alat yang dipakai untuk rnerumuskan berbagai macar kegiatan
(planning dan programming), yang didukung oleh sumber-sumber yang langka,
yang karenanya hares disusun pengalokasian penggunaann\ a secara tepat dan
rasional, berdaya guna dan berhasil guna, sehingga tujua yang telah ditetapkan
benar-benar dapat dicapai.

F. Manajemen Keuangan Sekolah

Dengan melihat uraian di atas, tampak bahwa manajemen keuangaan


merupakan aspek yang tidak bisa dilepaskan dalam suatu manajeme n
sekolah. Oleh karena itu, Manajemen Keuangan Sekolah (pembiayaa n
sekolah) pada dasarnya merupakan bagian dari pembiayaan pendidika yang
tercermin dari anggaran yang ditetapkan oleh sekolah, sehingga untuk bidang
MI diperlukan penanganan yang series, agar dicapai suai pengelolaan yang efektif
dan efisien dalam mengelola anggaran serta program-program yang dibiayainya
dalam mencapai tujuan pendidikan di sekolah.
Dalam praktiknya, menurut H.M. Levin (1987: 426) makna dari
pembiayaan/pendanaan sekolah adalah sebagai berikut:
"School finance refers to the process by which tax revenues and other resources
are derived for the formation and operation of elementar. and secondary schools
as well as the process by which those resource are allocated to school in
different geographical areas and to type and levels of education".

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa manajemen keuangan menyangkut dua hal
yaitu bagaimana memperoleh dana serta bagaimana menggunakan atau
mengalokasikan dana dalam lingkungan yang berbeda dengan tingkat pendidikan yang
berbeda pula, secara efektif dan efisien. Sumber dana sekolah biasanya
diperoleh dari dua sumber, yakni dari pemerintah yang umumnya terdiri dari
dana rutin dan biaya operasional (terutarna untuk sekolah negeri), dan dana
dari masyarakat, baik dari orang tua siswa maupun kelornpok masyarakat
lainnya. Sedangkan dilihat dari sisi penggunaannya terbagi dua, yaitu untuk
anggaran kegiatan rutin dan anggaran untuk pengembangan sekolah.
Dengan demikian, keuangan sekolah merupakan sumber daya yang diterima
dan digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah yang
mengandung konsekuensi bagi sekolah, yaitu sekolah harus mengelola
sumber dana tersebut secara efektif dan efisien untuk menunjang pelaksanaan
pendidikan. Pendanaan sekolah merupakan hal sangat penting, narnun
dalam praktiknya sangat kompleks, sebagai mana dikemukakan oleh Thomas
J. Sergiovanni bahwa "the financing of public school involves complex political and
personal choice that are inextricably intertwined with demographic and economic
condition (tt : 357), ini berarti masalah pendanaan sekolah sangat berkaitan
dengan aspek politik serta kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Oleh karenanya pihak manajemen sekolah harus berupaya mencari cara
yang efektif dalam hal penghimpunan dana, untuk itu sekolah harus mengemas
program yang meyakinkan bagi para pemilik dana yang dalam kaitannya dengan
dana BP3 berarti orang tua siswa. Di samping itu, diperlukan kreativitas dalam
penghimpunan dana misalnya dengan mencari sponsor yang punya kepedulian pada
pendidikan serta mau membantu pengembangan sekolah.
Adapun dalam hal pengalokasian dana/biaya yang akan dikeluarkan,
biasanya akan terlihat dalam RAPBS yang umumnya disampaikan oleh pihak
sekolah dalam rapat BP3 (Dewan/Komite Sekolah) kepada semua orang tua
siswa. Untuk itu penyusunan RAPBS harus dapat meyakinan serta akurat
sehingga timbul kepercayaan dari pihak yang akan membantu termasuk orang tua
siswa, dan agar penyusunan RAPBS dapat efektif dan efisien, langkah-langkah yang
perlu diambil adalah:
1. menginventarisasi program/kegiatan sekolah selama sate tahun
mendatang;
2. menyusun program kegiatan tersebut berdasarkan jenis dan
prioritas;
3. menghitung volume, harga satuan, dan kebutuhan dana untuk
setiap komponen kegiatan;
4. membuat kertas kerja dan lembaran kerja, menentukan sumber
dana dan pembebanan anggaran, serta menuangkannya ke dalam
format bake RAPES;
5. menghimpun data pendukung yang akurat untuk bahan acuan
guna mempertahankan anggaran yang diajukan
(Depdiknas. 2000: 98).

Di samping itu, penggunaannya hares transparan serta dibukukan secara benar


dan jujur. Keadaan ini akan berperan penting dalam menumbuhkan kepercayaan
penyandang dana sehingga akan terns terd orong untuk membantu
pendanaan sekolah. Oleh karena itu, pengelolaan dana pendidikan di
sekolah perlu dilakukan secara efektif dan efisien, hal ini dikarenakan
kontribusi pendanaan/pembiayaan yang cukup signifikan pengaruhnya bagi
kualitas pendidikan di sekolah.
Manajemen keuangan/pembiayaan yang efektif dan efisien akan
memberikan sumbangan penting pada kinerja manajemen yang optimum. Dalam
pengelolaan sekolah dewasa ini, fungsi manajemen keuanga n menjadi sangat
menonjol dan perlu diketahui, dipahami oleh kepala sekolah sebagai orang yang
bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan sekolah.
G. Strategi Pengelolaan Keuangan Sekolah
Beberapa ahli pembiayaan pendidikan menakankan bahwa ketersediaa n dana
merupakan salah sate syarat untuk dapat dilaksanakan berb agai kegiatan
pendidikan. Bersama-sama dengan unsur-unsur administrasi pendidikan yang
lainnya seperti manusia/personil, fasilitas, teknolo pendidikan, dana berfungsi
untuk kemudian menghasilkan output tertentu yang menunjang keberhasilan
penyelenggaraaan pendidikan. Apabila dana yang diperlukan telah cukup tersedia,
maka dituntut adanya pengelolaan yang cermat terhadap sumber-sumber dana.
Artinya selain memikirkaberapa jumlah dana yang mencukupi kebutuhan
pendidikan, perlu pula dipikirkan berapa dan dari mana dana itu diperoleh. Di
Indonesia sendiri sejak dahulu pemenuhan kebutuhan dana pendidikan dipandang
sebagai hal yang perlu mendapat perhatian yang series dari pemerintah, baik dari
pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah. Terlebih-lebih dengan berlakunya
undang-undang otonomi daerah ,dan sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 dan dipertegas lagi dalam
UUD 1945 yang sudah diamandemen pada Pasal 31, bahwa pemerintah
mempunyai kewajiban untuk mengatur dan membiayai
pendidikan sesuai dengan fungsinya dalam mengatur dan memberikan kesejahteraan
hidup rakyat banyak.
Pengelolaan dana pendidikan dari mas yarakat, baik yang
l a n g s u n g maupun tidak langsung perlu dilakukan dengan baik melalui
langkahlangkah sistimatis sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen. Hal ini
di s ebabk an j i ka p engel ol aan be rj al a n bai k s ert a aku nt abel aka n
m eni m bul kan berbagai manfaat seperti yang kemukakan Mintarsih (2004:34)
1. memungkinkan penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara
efisien dan efektif;
2. memungkinkan tercapainya kelangsungan hidup
lembaga pendidikan sebagai salah satu tujuan
didirikannya lembaga tersebut (terutama bagi lembaga
pendidikan swasta);
3. dapat mencegah adanya kekehruan, kebocoran, ataupun
penyimpangan-penyimpangan dana dari rencana semula;
4. penyimpangan akan dapat dikendalikan apabi la
pengelolaan berjalan baik sesuai yang diharapkan;
apabila kebocoran ini terjadi, maka akan berakibat buruk,
baik pada pengelola keuangan atasan langsung dan
bendaharawan maupun kepada lembaga pendidikan itu
sendiri.

Berdasarkan hal di atas, pengelolaan keuangan pendidikan lebih difokuskan dalam


proses merencanakan alokasi secara teliti dan penuh perhitungan, Berta
mengawasi pelaksanaan dana, baik biaya operasional maupun biaya kapital,
disertai bukti-bukti secara administratif dan fisik (material) sesuai dengan dana
yang dikeluarkan. Dalam mengelola sekolah, tujuan utamanya adalah
bagaimana sekolah dapat menghasilkan output yang berkualitas dalam
rangka memenuhi kebutuhan masyar akat sebagai pengguna jasa. Oleh karena
itu, untuk mencapai tujuan tersebut di atas bagaimana sekolah harus
menyediakan dana sebagai salah satu sumber yang sangat menentukan
berhasil tidaknya sekolah mencapai tujuan tersebut. Dalam mencocokkan
sumber-sumber yang disediakan oleh lingkungan eksternal dengan output sekolah,
kepala sekolah harus memperhatikan unsur-unsur dasar sebagai berikut: sumber-
sumber dari lingkungan eksternal, gabungan sumber input, input sekolah, ouput
sekolah dan umpan balik kepada sekolah dan lingkungannya (Mintarsih, 2004:35)
Untuk itu kepala sekolah harus melihat dengan Jell bagaimana dia berperan
sebagai administrator dalam memberdayakan seluruh sumber dana yang ada,
demi kepentingan sekolah dan pencapaian tujuan sekolah seperti apa yang
diharapkan oleh seluruh pelanggan pendidikan (stakeholder). Tanggung
jawab pembiayaan pendidikan dalam manajemen keuangan sekolah perlu
mengakomodir tuntutan eksternal dan internal dalam pengelolaan pembiayaan
pendidikan.
Dalam kaitannya dengan sumber pendanaan yang berasal dari masyarakat,
maka pihak sekolah mesti mengelolanya secara transparan dan akuntabel agar tumbuh
kepercayaan, dan dengan kepercayaan yang tinggi, maka masyarakat akan
terdorong untuk berpartisipasi lebih baik dalam membantu membiayai
pendidikan di sekolah. Di samping itu, kualitas pendidikan pun perlu
menunjukkan perbaikan terus-menerus, sehingga proses pendidikan di sekolah dan
output sekolah dapat benar-benar menggambarkan kualitas yang baik dan mendapat
apresiasi tinggi dari masyarakat.
Setiap kegiatan yang akan dilakukan di sekolah selalu berimplikasi biaya,
baik langsung maupun tidak langsung, moneter ataupun nonmoneter. Namun dalam
konteks manajemen keuangan dan anggaran, segala sesuatu kegiatan mesti ditunjang
oleh dana yang mendukungnya. Oleh karena itu. kegiatan yang dilakukan oleh
sekolah selalu mencerminkan nilai uang yang mendukungnya, dan hal itu terlihat
dari APES (RAPES). Rencana anggaran/anggaran menggambarkan besaran dana
dilihat dari sumbernya serta peruntukannya. Untuk peruntukannya tergambar
kegiatan yang akan dilakukan atau sudah dilakukan, baik secara umum maupun
terinci sesua dengan model penyusunan anggaran yang dipergunakan.
Dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah, ada dua proses
yang dilalui yaitu proses keputusan berkaitan dengan aspek legal dari anggaran
dan proses penentuan sistematika anggaran. Berkaitan dengan aspek keputusan,
maka model penyusunan anggaran dapat didasarkan pada model otoritas dan
model partisipatif. Model otoritas menunjukkan bahwa besaran anggaran serta
sumber dan peruntukannya ditentukan oleh sekolah (kepala sekolah) tanpa
melibatkan guru apalagi masyarakat dalam prosesnya, sementara orang tua
(komite sekolah) hanya dijadikan stempel formal legalitas. Sementara itu
model partisipatif menunjukkan bahwa penyusunan anggaran dilakukan secara
bersama antara sekolah, guru, dan orang tua siswa (komite sekolah), sehingga
p
ersetujuan mereka akan anggaran benar-benar bernilai substantif, tidak hanya
sekadar legal formal.

H.Biaya dan Mutu Pendidikan


Dalam melakukan analisis keterkaitan biaya dengan kualitas pendidikan, pendekatan-
pendekatan fungsi produksi pendidikan tampaknya cukup relevan, ini sejalan
dengan pendapat Hanushek (Psacharopoulos, 1987: 33) yang menyatakan "Studies
of educational production function (also referred to as input-output analysis or cost-
quality studies) examine the relationship among the different inputs into the educational
process and outcomes of the process". Dengan demikian dalam pendekatan ini
biaya/cost dipandang sebagai faktor inputyang memberi kontribusi pada proses
pendidikan dalam membentuk/memengaruhi kualitas pendidikan (output). Adapun
teknik yang #ergunakan dalam analisis ini adalah teknik cost-efectiveness
analysis. Teknik analisis cost-efectiveness is a technique for measuring the relation-
ship between the total inputs, or costs, of a project or activity, and its outputs or
objectives (M. Woodhall dalam Psacharopoulos. 1987: 348).
Pendekatan fungsi produksi dalam melihat mutu pendidikan
sebenarnya hanya merupakan salah satu pendekatan yang penting di camping
pendekatan lain seperti pendekatan industri jasa, pendekatan human capital.
Namun demikian, dalam analisis ini pendekatan lain tidak dijelaskan karena lebih
terkait dengan manajemen mutu pendidikan. Oleh karena itu, dalam kajian ini
seluruh input diperhitungkan dalam kaitannya dengan output atau dengan
keefektifan dalam pencapaian tujuan (output), dan dalam transformasi input ke
output tersebut sudah tentu melewati suatu proses (proyek atau aktivitas),
sehingga teknik analisis ini melihat pendidikan/sekolah sebagai sistem
dengan komponen-komponen seperti terlihat dalam gambar berikut:

INPUT PROSES OUTPUT

Gambar 7.1. Proses Transformasi Input ke Output


Dengan melihat komponen sistem di atas, dapatlah dipahami bahwa kualitas
output tergantung atau ditentukan oleh bagirnana kualitas input serta
bagaimana mengelola proses dalam kerangka membentuk output.
Hasil studi Heyman dan Loxley tahun 1989 (Mintarsih Danumihardja 2004: 6)
menyatakan bahwa faktor guru, waktu belajar, manajemen sekolah, sarana
fisik, dan biaya pendidikan, memberikan kontribusi yang berarti terhadap
prestasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
ketersediaan dana untuk penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah
menjadi salah sate faktor penting untuk dapat memenuhi kualitas dan
prestasi belajar. Agar pengelolaan anggaran sekolah tidak terjadi pemborosan
dan dapat dihitung keuntungan (benefit) yang diperoleh, adalah penting untuk
menentukan kebutuhan program apa saja yang perlu dibiayai dalam
penyelenggaraan sekolah, untuk mendapat keuntungan pengelolaan harus dihitung
sesuai prinsip ekonomi pendidikan.
Biaya merupakan faktor penting (bukan satu-satunya yang penting bagi
terselenggaranya proses pendidikan, bukan hanya berkaitar dengan
besarannya, melainkan juga terutama dengan penentuan pro gram kegiatan
pendidikan yang dipandang paling signifikan untuk mendongkrak mutu
dengan memperhatikan konteks lingkungan efekti T yang mengitari lembaga
pendidikan tersebut. Hal tersebut juga berart bahwa upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan sangat tidak mungkin tanpa melihat pada
aspek biaya, dalam anti efisiensi dan efektivitasnya, bukan hanya pada
besarannya. Tingkat keeratan biaya dengan mutu pendidikan secara
fundamental juga akan ditentukan oleh k e b i j a k a n a n g g a r a n , s e r t a d e s a i n
p e n g a n g g a r a n s e b a g a i m a n a dikemukakan di atas, di mana prinsip
prioritas, ketepatan, efektivitas dan efisiensi akan menjadi variabel moderator
pengaruh biaya dengan mutu pendidikan.
Untuk itu dengan hanya melihat besarannya (meskipun itu jelas penting),
analisis yang tepat sulit dilakukan tanpa melihat penganggarannya kebijakan anggaran
serta efektivitas dan efisiensi dalam implei-nentasinya. Untuk melihat kaitannya,
dapatlah disusun suatu model keterkaitar hubungan antara cost dengan kualitas
pendidikan, model tersebut dapadigambarkan sebagai berikut:

EXPEDITURE PROSES
Ketepatan PENDIDIKAN
Efektivitas Guru dan SDM
Efisiensi lainnya
Kurikulum dan KUALITAS
SISWA/ bahan ajar HASIL
CALON SISWA Metode BELAJAR
pembelajaran
Sarana
DIRECT AND Pendidikan
REVENUE
INDIRECT COST Sistem
Adequacy
administrasi

DANA DARI DANA DARI


PEMERINTAH MASYARAKAT

TOTAL COST Real


OPPRTUNITY
Cost dan
COST/ EARNING UNIT COST
Opportunity
FORGONE PER SISWA
Cost
Gambar 7.2. Model Keterkaitan antara Biaya/Cost
dengan Kualitas Pendidikan
(Sumber: Uhar, 2006)

Dari model tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

Siswa/calon siswa yang mau memasuki lembaga pendidikan harus


mengeluarkan biaya, baik itu biaya langsung maupun tak langsung, yang
besarnya tergantung pada pembebanan oleh lembaga pendidikan dan
kondisi ekonomi di mana siswa itu tinggal, terutama untuk biaya tidak
langsung.
Dengan masuknya ke lembaga pendidikan, siswa tersebut
mengorbankan juga kemungkinan memperoleh pendapatan apabila
tidak mengikuti pendidikan (opportunity cost), atau kehilangan
pendapatan yang akan diperoleh jika tidak mengikuti pendidikan (earning
forgone).
Pemerintah sesuai dengan kebijakannya juga memberikan dana kepada
lembaga pendidikan, baik bersifat rutin maupun insidental yang besarnya
sesuai dengan ketersediaan anggaran Pemerintah.
Di samping itu, dalam konteks MBS, kelompok masyarakat/
pengusaha dapat memberikan bantuan dana pada lembaga pendidikan
sesuai dengan upaya yang dilakukan oleh Komite Sekolah dalam
menggalang/menghimpun dana dari kelompok masyarakat.
Penjumlahan dari 'semua dana yang diperoleh oleh lembaga pendidikan
atau yang diperhitungkan terjadi merupakan total biaya yang diterima oleh
lembaga pendidikan yang bila dibagi dengan jumlah siswa akan diperoleh
unit cost/biaya satuan persiswa.
Jumlah dana yang diterima oleh lembaga pendidikan pada das a rn ya
m e ru pa k an s al ah sat u ko m po n en p e m bi a ya a n pendidikan, dan
komponen ini akan menjadi pertimbangan dalam menentukan pembelanjaan
yang akan dilaksanakan. Ukuran penerimaan adalah kecukupan, dalam
arti apakan dana yang diperoleh akan cukup untuk membiayai kegiatan
pendidikan, sementara itu prinsip yang harus diterapkan dalam
pembelanjaan adalah efektivitas dan efisiensi.
Prinsip efisiensi mengandung arti bahwa pembelanjaan dilakukan dengan
pengorbanan yang minimal dalam melaksanakan suatu kegiatan
pendidikan, sedangkan prinsip efektivitas mengandung makna bahwa
pembelanjaan yang dilakukan dapat menjadi upaya yang tepat dalam
mencapai tujuan pendidikan.
Proses pendidikan yang terjadi di lembaga pendidikan pada dasarnya
merupakan upaya transformasi inputmelalui suatu proses untuk menjadi
output yang berkualitas sesuai dengan yang diharapkan.
S e m u a l e m b a g a p e n d i d i k a n m e n g h a r a p k a n o u t p u t ya n g
dihasilkan mempunyai kualitas yang baik (prestasi hasil belajarnya baik).
Oleh karena itu, proses pendidikan yang dilakukan akan selalu diupayakan pada
pencapaian kualitas pendidikan yang baik.
Dalam konteks tersebut maka biaya yang dikeluarkan siswa se bagai
s al ah sat u sum ber pendapat an l em baga m enj adi komponen penting
yang berperan dalam perwujudan kualitas pendidikan yang baik. Namun
demikian, hal itu hanya bisa terjadi apabila manajemen pembiayaan
pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan memperhatikan
efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan dananya.
Dengan demikian antara biaya dengan kualitas pendidikan terdapat
keterkaitan, namun sifatnya tidak langsung, dalam arti di t ent ukan ol eh
bagai m ana pen gel ol aan k euan gan yan g dilakukan oleh lembaga
pendidikan, yang dengan demikian besarnya biaya yang dikeluarkan
oleh siswa tidak dapat menjadi jaminan bagi kualitas pendidikan yang baik.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pengelolaan dana pendidikan perlu
dilakukan dengan baik melalui langkah-langkah sistematis sesuai dengan
prinsip-prinsip manajemen. Ini berarti bahwa melihat masalah cost dan kualitas
pendidikan, aspek manajemen pembiayaan pendidikan perlu diperhatikan
dengan saksama, agar terhindar dari pemborosan di mana cost yang besar ternyata
tidak berdampak apa pun pada kualitas pendidikan.
I. Rangkuman
Bi a ya p e ndi di k a n m e ru pa k an f a kt o r ya n g m e n ent uk an b a gi t e r -
selenggaranya pendidikan/pembelajaran dalam suatu organisasi pendidikan seperti
sekolah. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat, dan pihak lain
yang terkait akan menentukan besaran dana yang dikeluarkan untuk tercapainya
tujuan pendidikan. Untuk itu diperlukan pengelolaan biaya (pembiayaan) yang
tepat, efektif dan efisien, dan hal ini dapat dicapai jika sistem penganggaran
didasarkan pada suatu perencanaan yang matang kemudian dirinci kedalam program
untuk kemudian dialokasikan dana yang dibutuhkannya. jelaslah, pengelolaan
biaya merupakan aspek penting dalam pembiayaan pendidikan dan ini perlu
mendapat perhatian yang cermat sebab biaya pendidikan berpengaruh
signifikan terhadap mutu pendidikan. Untuk itu pengelolaannya dalam tataran
institusi sekolah perlu dilakukan secara efektif agar kontribusi biaya p ada mutu
pendidikan/ pembelajaran dapat benar-benar terwujud.
J.Review
Lakukan analisis dan penjelasan berdasarkan materi yang sudah dipelajari atas
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Jelaskan makna biaya dan pembiayaan pendidikan.
2. Jelaskan macam-macam biaya pendidikan.
3. Jelaskan macam-macam sistem pembiayaan pendidikan.
4. Jelaskan makna anggaran dan penganggaran.
5. Jelaskan mengenai fungsi anggaran.
6. Jelaskan macam-macam desain/sistem anggaran.
7. Jelaskan apa yang dimaksud PPBS.
8. Jelaskan tujuan dari PPBS.
9. Jelaskan bagaimana sekolah melakukan penggaran.
10. Jelaskan bagaimana keterkaitan antara biaya pendidikan dengan mutu pendidikan.
Bab 9
Inovasi Pendidikan
dan Peran Guru

Deskripsi Umum Materi


Dalam bab ini dibahas tentang inovasi pendidikan, khususnya
terkait dengan kinerja guru. Pem bahasannya mencakup
konsep inovasi, perspektif inovasi, karakteristik inovasi,
sumber-sumber inovasi, model-model inovasi, adopsi inovasi, dan
keinovatifan serta dimensi-dimensi dalam inovasi. Di samping itu,
dibahas juga inovasi dalam konteks pendidikan yang mencakup
tentang konsep inovasi pendidikan, model inovasi pendidikan,
inovasi pendidikan di Indonesia, serta peran guru dalam inovasi
pendidikan.

Tujuan Pembelajaran
Dengan mempelajari dan mendiskusikan bab ini, pembaca
pembelajar akan dapat lebih memahami tentang konsep mutu
dan mutu pendidikan serta konsep penjaminan mutu dalam konteks
pendidikan. Oleh karena itu, setelah mengkaji bahasan dalam bab
ini, mahasiswa pembelajar diharapkan dapat:
menjelaskan makna Inovasi,
menjelaskan macam-macam karakteristik inovasi,
menjelaskan makna adopsi inovasi,
menjelaskan tentang keinovatifan (innovativeness),
menjelaskan sumber-sumber inovasi,
menjelaskan macam-macam model inovasi,
menjelaskan makna inovasi pendidikan,
menjelaskan model-model inovasi pendidikan
menjelaskan inovasi pendidikan di Indonesia.
m enj el askan peran guru dal am inovasi
pendidikan.

A. Pendahuluan
Dewasa ini inovasi khususnya dalam dunia bisnis menempati kedudukan
yang penting dalam hubungannya dengan keberlangsungan suatu
organisasi dalam konstelasi persaingan yang makin ketat. Perubahan -
perubahan yang cepat di abad dua puluh satu dewasa ini telah mendoron` dunia
bisnis melakukan upaya-upaya inovatif agar mampu bersaing, abal, dua puluh
satu merupakan abad inovasi sebagaimana dikemukaka Gaynor (2002: 1)
"There is no doubt that the twentieth century will be cred- i . ted as the century
of innovation", untuk itu setup organisasi perlu m enge m bangkan
kem am puan inovasi dan ki nerj a inovati f dal ar menghadapi persaingan
dan perubahan yang sangat cepat tersebut, karena inovasi merupakan cara
yang tepat dalam menghadapi perubahan dan persaingan, "Innovation is how
to cope with change, and cope more successfully than the competition"
(Srikantaiah dan Koenig, 2000: 16)
Dengan demikian, baik dalam tataran individu maupun organism
diperlukan sikap dan kinerja inovatif dalam menghadapi berbaga
perubahan dan persaingan yang makin ketat. Sikap konservatif terhadap
perubahan Berta tidak adanya upaya menciptakan kondisi kondusif bap
inovasi jelas akan berakibat fatal bagi keberlangsungan organisasi.
Kreativitas dan inovasi akan menjadikan suatu organisasi berbeda dengan yang
lainnya, dan perbeclaan ini jelas akan menjadikan organisasi berada pada
posisi persaingan yang lebih baik, "It is the creativity that we are able to apply
collectively and individuals that will define our difference as a-organization, The
speed that we can innovate as an organization will determine how much distance we
can put between us and the competitiol(Buckman, 2004: 57). Oleh karena itu,
kreativitas, inovasi, dan sikap serta perilaku inovatif menjadi suatu kebutuhan
dalam konteks kehidupan organisasi dewasa ini.
B. Konsep Inovasi
Menurut Oxford Learner's Pocket Dictionary, Inovasi/innovation berarti "new
idea, methods, etc", dalam bentuk kata kerjanya to innovate berarti "make
changes, introduce new things", sementara itu dalam The American Heritage
Dictionary inovasi diartikan "The act of introducing something new: something
newly introduced." Untuk lebih memberi pemahaman tentang inovasi, berikut
beberapa definisi istilah inovasi yang dikemukakan oleh para ahli.

Tabel 9.1. Pendapat Para Pakar tentang Inovasi

No Pengertian Inovasi Pendapat

1 An innovation an is a new idea, or an idea perceived David G. Gliddon, 2007


as new that can create progressive change. (www.en.wikipedia.com)
2 The capability of continuously realizing a desired Jhon Kao, 2005
future state. (www.en.wikipedia.com)

3 A creative idea that is realized. Frans Johansson, 2004


(www.en.wikipedia.com)

4 Change that creates a new dimension of Drucker and Hesselbein,


performance. 2002
(www.en.wikipedia.com)

5 The process of translating new ideas into tangible Kristina Holly


societal impact. (www.en.wikipedia.com)

6 Any idea, practice or material artifact perceived as (Alman and Duncan dalm
new by the relevant unit of adoption Ibrahim.1988:40)

7 Innovation is an idea, practice, or object that is (Rogers 1983:11)


perceived as new by an individual or other unit of
adoption

8 inovasi adalah any idea, practice or material artifact (Alman and Duncan dalm
perceivedas new by the relevant unit of adoption Ibrahim.1988:40)

9 if we apply knowledge to task that are new and ( Hibbard dalam Srikantaiah
different, we call it innovation. dan Koening, 2000: 16)

10 Inovasi adalah penerapan gagasan baru. (Amabile dalam Dwi


Riyanti, 2003: 43)

11 Any change which represent something new to Havelock (1995: 21)


those who are changed.
12 Making new or making something new process of (Alan Baker 2002 dalam
creating and also the creation it self . Process of Amin Wijaya Tunggal,
introducing new product. The method by which 2007:1)
such new product are created. Creating new sources
of costumer satisfaction.

13 Innovation is the ability to deliver new value to a (Charl Franklin, 2003


customer. Inovation is more than just creating and dalam Amin Wijaya
launching new product. Innovation can be: Service, Tunggal, 2007:3)
like search engines or price comporioson system on
the internet; ideas, eg the earth orbits the sun or
man evolved from the apes; ideologies, such as
democracy, capitalism, communism; social,
including public health, welfare, new type of sport;
Processes, such as total quality management or new
methods of teching; Business strategy, for example
launching a company or merging with another.

Dari beberapa pengertian sebagaimana telah dikemukakan di atas, tampak


tidak terdapat perbedaan yang esensial dalam pemaknaan inovasi, namun lebih
bersifat saling melengkapi dan menambah cakupan pengertian sehingga dapat diperoleh
pemahanan yang lebih lugs. Apabila disimpulkan pokok-pokok pikiran dari pengertian
di atas adalah sebagai berikut:
inovasi merupakan penerapan hal-hal yang baru dalam suatu pelaksanaan tugas
sebagai penerapan pengetahuan;
hal-hal baru dalam inovasi dapat berupa ide, praktik, proses, pelayanan ,
ideologi, strategi bisnis atau objek;
inovasi merupakan suatu perubahan dan atau berimplikasi perubahan
sebagai akibat dari penerapan hal-hal baru.

Dalam konteks organisasi dan manajemen, penerapan hal baru dalam berbagai
bentuknya akan berimplikasi pada perubahan dalam bentuk ide praktik, ataupun
objek/benda tertentu yang dianggap baru oleh seseorang atau oleh
kesatuan/kelompok yang mengadopsi. Dengan demikian, inovasi tidak harus
sesuatu yang benar-benar baru secara objektif, namun pandangan subjek yang
menganggap sesuatu itu baru merupakan ide dasar dari konsep inovasi. Penerapan
sesuatu yang baru, baik ide, praktik maupun objek akan menjadikan sesuatu itu
berbeda dengan yang ada pada saat itu atau dengan apa yang ada sebelumnya, dan
ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu perubahan. Dengan demikian
dapatlah dipahami bahwa perubahan merupakan konsekuensi dari adanya
inovasi (atau inovasi itu sendiri merupakan suatu perubahan), ini berarti bahwa
tanpa sikap terbuka pada perubahan, maka akan sangat sulit atau bahkan
tidak mungkin seseorang atau kelompok orang mau menerima inovasi.
Inovasi berarti mengenalkan hal yang baru, baik itu produk, ide, objek maupun
metode yang akan berdampak pada perubahan. Perubahan terjadi akibat
diperkenalkan dan diterapkannya sesuatu yang baru, dengan kebaruan
terjadi penyesuaian-penyesuaian dalam interaksi sehingga akan mendorong pada
perubahan dalam interaksi tersebut. Inovasi merupakan suatu perwujudan dari
ide kreatif dalam upaya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan di masa
depan, dan hal itu akan mendorong pada perubahan kinerja dalam dimensinya
yang baru.

C. Perspektif tentang Inovasi


Dalam melihat bagaimana suatu inovasi terjadi, terdapat beberapa
perspektif yang dapat dijadikan sudut Pandang dalam melihat inovasi
(www.en.wikipedia.com), yaitu: (1) perspektif strukturalis, (2) perspektif proses
inovasi, dan (3) perspektif individualis. Perspektif strukturalis berpandangan
bahwa inovasi ditentukan oleh karakteristik struktural, inovasi merupakan
proses linler yang sederhana dan bersifat static, yang berfokus pada adopsi inovasi
dengan meli hat pada faktor-faktor karakteristik struktural seperti lingkungan,
formalisasi, sentralisasi, diferensiasi, serta jenis strategi yang diterapkan dalam
organisasi. Perspektif proses inovasi dari Slappender (1996) memandang bahwa
inovasi dihasilkan oleh interaksi antara pengaruh struktural dengan perilaku
individu. Inovasi merupakan proses yang rumit yang ditandai dengan kejutan,
penyebaran, kapabilitas inovatif, serta konteks. Sementara itu perspektif
individualis dari Gliddon (2006) memandang bahwa meskipun konteks situasi
dapat memengaruhi inovasi, namun inovasi tetap ditentukan oleh kompetensi
individu untuk berinovasi dan konteks situasi hanya memoderasi akibat dari suatu
inovasi tersebut.
Perspektif-perspektif di atas pada dasarnya bersifat sating melengkapi dalam
melihat suatu inovasi, faktor kompetensi individu, faktor structural serta interaksinya
jelas akan memberi kontribusi bagi terjadinya suatu inovasi. Aspek struktural
tampak lebih menggambarkan pada faktor lingkungan organisasi yang
merupakan salah satu pembentuk iklim dan* suatu organisasi. Sementara aspek
individu menunjukkan pada perlunya kompetensi individu dalam mewujudkan
suatu inovasi. Semua itu akan berinteraksi dalam suatu organisasi, sehingga
organisasi perlu menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif bagi inovasi serta
mengelola SDM dengan selalu memerhatikan serta mengembangkan
kompetensi dan mengintegrasikannya dalam suatu kebijakan manajemen yang dapat
mendorong tumbuhnya inovasi dan kinerja inovatif di kalangan pegawai yang
bekerja dalam organisasi.
Manajemen organisasi dituntut untuk terus memberikan dorongan serta
m emberdayakan anggot a organi sasi agar dapat m engem bangkan
kompetensi dan profesionalisme SDM organisasi sejalan dengan tujuar
organisasi. Langkah ini merupakan upaya pengondisian dalam proses kerja
organisasi yang dapat menumbuhkan interaksi yang produktif dalam
menghadapi tuntutan perubahan yang terjadi.
Interaksi
(Perfektif Proses)

Individual (Perfektif Organisasi


Individual) (Perfektif Stuktural)

Inovasi

Gambar 9.1. Perspektif Inovasi

Lingkungan organisasi merupakan tempat di mana pegawai bekerja dalamenjalankan


tugasnya. Lingkungan tersebut dapat menggambarkan suatu karakteristik dari
organisasi, sementara itu individu pegawai dengar karakteristik dan kompetensinya
terlibat dalam interaksi dengan struktur lingkungan organisasi yang akan
menunjukkan suatu iklim organisasi. Kondisi inilah yang akan menentukan
apakah inovasi dan kinerja inovatif itu terjadi dalam suatu organisasi. Oleh karena
itu, dapatclisimpulkan bahwa inovasi dapat tumbuh dalam suatu organisasi yang
kondusif secara struktural serta dengan individu pegawai yang punya
kompetensi dalam suatu interaksi yang kondusif dan mendorong pada
kreativitas pegawai dalam menjalankan tugasnya.
Sudut pandang individu melihat inovasi sebagai suatu karya atau
tindakan individu yang kreatif, kompetensi individu menjadi penentu
timbulnya inovasi. Kreativitas individu mempunyai peran penting dalam suatu
inovasi meskipun kreativitas itu sendin tidak sama dengan inovasi. Luecke dan
Katz (2003, www.en.wikipedia.com) menyatakan "Innovation typically involves
creativity, but is not identical to it. Innovation involves acting on the creative ideas
to make some specific and tangible difference in the domain in which the innovation
occurs". Inovasi tidak identik dengan kreativitas, namun inovasi jelas
melibatkan kreativitas; kreativitas lebih menekankan pada pemuncu Ian ide yang bi
lad itindakl anjuti atau diterapkan dalam konteks lingkungan tertentu seperti organisasi,
dapat menjadi suatu inovasi. Sementara itu Amabile (1996) menyatakan bahwa
"A// innovation begins with creative ideas. In this view, creativity by individuals and
teams is a starting point for innovation; the first is necessary but not sufficient
condition for the second." (www.en.wikipedia.com). Sejalan dengan pendapat ini
adalah Levitt, Rosenfeld dan Servo (dalam Dwi Riyanti, 2003: 43) yang
menyatakan bahwa kreativitas merupakan titik awal dari suatu inovasi. Namun
demikian istilah kreativitas dan inovasi sering dipertukarkan penggunaannya,
sebagaimana dikemukakan oleh Davila (2006) yang menyatakan bahwa:
"Often, in common parlance, the words creativity and innovation are used
interchangeably. They shouldn't be, because while creativity implies mplies
coming up with ideas, it's the bringing ideas to life that makes innovation the distinct
undertaking it is. The distinctions between creativity and innovation discussed
above are by no means fixed or universal in the innovation literature."
(www.en.wikipedia.com)

Dengan pemahaman sebagaimana pendapat di atas, maka dapatlah dipahami


bahwa semua inovasi dimulai dengan kreativitas dan kreativitas merupakan awal dari
inovasi yang perlu meskipun tidak cukup. Inovasi menuntut akan adanya
kreativitas, implikasinya adalah bahwa perilaku inovatif bisa tumbuh dan
berkembang pada individu yang kreatif. Individu yang kreatif akan
menindaklanjutinya dalam perilaku inovatif apabila konteks lingkungan
organisasi memberikan ruang yang terbuka bagi perwujudannya melalui
komunikasi inovasi yang dapat menjadi stimulus awal proses keputusan
inovasi, yakni tahapan pengetahuan (Rogers, 1983:20). Kreativitas mengacu
pada individu, sementara untuk berwujud menjadi inovasi memerlukan
kondusivitas lingkungan organisasi. Amabile (1996) menyatakan bahwa:

"For innovation to occur, something more than the generation of a creative idea or
insight is required: the insight must be put into action to make a genuine difference,
resulting for example in new or altered business processes within the organisation, or
changes in the products and services provided. Through these varieties of viewpoints,
creativity is typically seen as the basis for innovation, and innovation as the successful
implementation of creative ideas within an organization. From this point of view,
creativity may be displayed by individuals. but innovation occurs in the
organizational context only" (www.- en.wikipedia.com).
Sebagai suatu bentuk perwuJudan kreativitas, inovasi dapat dipahami sebagai
suatu hal yang mempunyai kaftan dengan berbagai kondisi, baik kondisi
individu maupun organisasi. Kondisi-kondisi ini dapat menjadi sumber
kemunculan suatu inovasi, dan dilihat dari keseluruhan prosesnya hal tersebut
dapat menggambarkan suatu tahapan, dari tahap individu kemudian
berkembang ke tahapan organisasi. Inovasi merupakan suatu hasil kreativitas
individu, baik ide barunya berasal dari diri sendiri maupun dari luar, yang
kemudian diterapkan dalam konteks lingkungan tertentu seperti lingkungan
organisasi. Inovasi mempunyai dimensi individual dan organisasional, artinya di
samping kompetensi individu, juga diperlukan kondusi vi t as orga ni sasi yan g
akan m em baw a pad a t um buh dan berkembangnya suatu inovasi.

D. Karakteristik Inovasi
Inovasi bukan sesuatu yang tak bertujuan, inovasi bukan untuk inovasi itu sendiri,
tapi inovasi mesti merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
dalam berbagai bidangnya, termasuk dalam bidanp, pendidikan. Untuk itu, suatu
inovasi memiliki karakteristi k/atri but sebagaimana yang dapat menjadi dasar
pertimbangan bagi seseorang atau organisasi untuk menerima atau menolaknya.
Menurut Roger (1983: 211) terdapat "five attributes of innovations". yaitu:
1). relative advantage,
2). compatibility,
3). complexity,
4). trialability, and
5). observability.

Karakteristik tersebut dapat membantu dalam memahami bagaimana suatu


inovasi dapat diimplementasikan dan berkembang dalam suatu kehidupan
masyarakat, baik dalam tataran individu maupun tataran organisasi.
Relative advantage, menunjukkan tingkat keuntungan relatif dari suatu inovasi.
Seseorang akan lebih dapat menerima inovasi jikarnellhat bahwa hal tersebut akan
memberikan manfaat yang lebih besar dari apa yang diperoleh atau dicapai
dengan cara sebelumnya. Compatibility, menunjukkan tingkat kesesuaian
antara inovasi dengan kondisi dan harapan masyarakat (organisasi) seperti
faktor nilai, ide-de yang telah diperkenalkan sebelumnya, serta kebutuhan
para adopter potensial. Complexity, menunjukkan tingkat kerumitan inovasi,
makin sederhana dan mudah dipahami dan dipergunakan akan mendorong
pada penerimaan oleh pengguna potensial inovasi, sebaliknya makin rumit suatu
inovasi makin sulit masyarakat untuk menerima inovasi tersebut. Trialability,
menunjukkan kedapatdicobaan suatu inovasi. Suatu inovasi yang dapat dicoba
dengan mudah akan mempercepat penerimaan inovasi tersebut oleh masyarakat.
Observability, menunjukkan tingkat di mana hasil inovasi dapat diamati,
semakin dapat dan mudah diamati suatu inovasi, semakin cepat masyarakat dapat
menerima inovasi tersebut.
E. Sumber Inovasi
Perkembangan dari tahapan individu ke tahapan organisasi menunjukkan
bahwa inovasi bisa bersumber dari individu at aupun organisasi.
Perkembangan ini terjadi dalam suatu interaksi antara perilaku individu
dengan lingkungan organisasi (iklim organisasi). Berkaitan dengan tahapan-
tahapan ini, Edward B. Robert (2000: 1) menyatakan:

"Innovations, whetherproduct, process or market, always move through


two quite different stages. First, someone has to come up with the ne~1
idea. Then, someone (often someone other than the idea generator has
to refine, focus, and implement that idea. And most of resource are
applied during these latter implementation period. Furthermore my own
studies indicate that in the majority of cases, the initiating idea comes
from outside the implementing organization. In many cases, the
innovator is simply adapting some one else's invention to a differ ent set
of circumstances"

Untuk terjadi suatu inovasi, tahapan muncul dan diperolehnya ide baru
merupakan tahap pertama, menuju tahap berikutnya yaitu implementasi ide
baru tersebut dalam suatu lingkungan tertentu (organisasi). Ide baru tersebut
bisa berasal dari individu itu sendiri ataupun dari luar individu tersebut.
Gaynor (2002: 74) menyatakan bahwa setiap orang dalam organisasi dapat
menjadi sumber inovasi, di samping inovasi yang datangnya dari luar.
Dengan dernikian dalam konteks organisasi, sumber inovasi dapat berasal dari
sumber internal individu anggota organisasi dan yang dari luar organisasi.
Sementara itu Eric von Hippel (www.en.wikipedia.com! menyatakan
bahwa "A person's creative mind is the source of an innova tion. In most
organizations, this is an employee. However, organization aS a whole can also
be identified as generating innovations". Dengan demikian, terdapat dua sumber
inovasi dalam suatu organisasi yaitu inovasi yang bersumber dari pemikiran
kreatif individu dan dari organisasi. Dengan perspektif ini Eric von Hippell
lebih jauh mengemukakan dua sumber inovasi yaitu Manufacturer innovation dan
End user innovation.
Inovasi manufacturmerupakan inovasi yang dilakukan oleh orang atau bisnis
untuk menjualnya pada pihak lain yang membutuhkannya Berta cocok secara
orientasi kegiatan, sedangkan inovasi pengguna akhir adalah inovasi yang
dilakukan oleh orang atau bisnis untuk penggunaan sendiri. Inovasli pabrikan
(Manufacturer innovation) mengindikasikan adanya unit kreatifyang berada
diluar dari yang menghasilkan hal-hal kreatif (ide, proses praktik, atau
produk), sehingga dapat dipandang sebagai inovasi yang bersumber dari
luar bagi pihak yang mengadopsinya (individu dan atau organisasi).
Sementara itu inovasi pengguna akhir (End user innovatiow lebih menunjukkan
inovasi yang berasal dari dalam di mana hal-hal yang muncul dari suatu kreativitas
kemudian diterapkan atau diadopsi untuk kepentingan sendiri (individu dan
atau organisasi) dalam upaya untuk meningkatkan kinerja individu dan atau
untuk meningkatkan kinerja organisasi dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Apabila digambarkan akan tampak sebagai berikut:

Lingkungan Internal Organisasi


End-user
Kinerja
Lingkungan inovatif
SDM Inovasi Pegawai
Eksternal
Organisasi
Organisasi Kinerja
Manufacture Organisasi

Gambar 9.2. Sumber-Sumber Inovasi dalam Organisasi


Sumber inovasi yang berasal dari luar dapat berbentuk manufacturer innovation
yang dihasilkan oleh individu atau institusi/organisasi yang berhasil menghasilkan dan
atau mengembangkan suatu inovasi, baik dalam bentuk ide, proses ataupun
produk yang relevan, maupun dalam bentuk lainnya. Inovasi ini masuk dalam
organisasi melalui SDM yang siap dan mampu dalam mengambangkan dan
menerapkannya dalam organisasi. Dengan demikian, baik dalam konteks
individu maupun organisaasi, inovasi memerlukan kualitas SDM yang
kompeten (dimensi individu) serta iklim organisasi yang kondusif bagi tumbuh
dan berkembangnya suatu inovasi dalam suatu organisasi (dimensi organisasi).
1. Dimensi Individu dari Inovasi
Awal dari inovasi bersumber dari ide kreatif seseorang, ini berarti bahwa
kreativitas menjadi dasar yang penting dalam suatu inovasi. Kreativitas
berkaitan dengan ciri individu/seseorang yang kreatif. Ide-ide barn yang
merupakan awal dari inovasi pada dasarnya lahir dari suatu proses kreatif
seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya, untuk itu adalah penting untuk
mengetahui karakteristik pribadi kreatif untuk lebih memahami bagaimana
sumber inovasi yang berawal dari individu tersebut.
John W. Gardner (1981: 33) berpendapat bahwa manusia tidak dapat
dikelompokkan pada orang yang kreatif dan yang tidak kreatif, yang ada adalah
tingkatan kreativitas yang berbeda, dan orang dapat menunjukkan kreativitasnya
apabila lingkungan bersifat mendukung. Perbedaan tingkat dalam kreativitas
menunjukkan adanya perbedaan individu, dan perbedaan ini tidak terlepas dari
perbedaan karakteristik individu itu sendiri, bahwa dalam lingkungan yang
sama kreativitas seseorang jelas tidak akan sama. Dalam konteks manajemen,
potensi kreatif yang dimiliki oleh setiap orang dapat menjadi dasar bagi suatu
organisasi untuk memberikan dorongan dan menciptakan kondisi lingkungan
yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas.
Menurut Jeff DeGraff dan Lawrence (2002: 4) "creativity as purposeful
activity (or set of activities) that produce valuable products, services, processes, or
ideas that are better or new". Kreativitas merupakan kegiatan atau rangkaian
kegiatan bertujuan yang menghasilkan produk, jasa, proses atau ide yang
bernilai yang lebih baik dan baru. Ini menunjukkan bahwa suatu kreativitas
dapat dilihat dari hasil proses kreatif. The UK National Advisory Committees
(dalam Wayne Morris, 2006) mendefinisikan kreativitas dengan melihat pada
ciri-cirinya, yaitu:
"First, they [the characteristics of creativity] always involve thinking or
behaving imaginatively.
Second, overall this imaginative activity is purposeful: that is, it is directed
to achieving an objective.
Third, these processes must generate something original.
Fourth, the outcome must be of value in relation to the objective."

Sementara itu, Dedi Supriadi (1996: 7), setelah mengkaji berbagai definisi
kreativitas menyatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk
melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata
yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Sebagai suatu aktivitas individu, maka kreativitas perlu dilihat dalam
kaitannya dengan karakteristik individu yang kreatif (dalam konteks gradasi).
Para pakar telah banyak yang mengemukakan tentang ciri-ciri orang atau individu
kreatif. Menurut Amabile (dalam Dwi Riyanti, 2003:44), sifat/ciri kepribadian orang
kreatif adalah rasa percaya diri, membuat penilaian secara independen, suka akan
kerumitan, berorientasi estetis, dan berani mengambil risiko. Guilford dalam Dedi
Supriadi (1996: 59) mengemukakan ciri-ciri orang kreatif yaitu : orisinalitas,
fleksibilitas, kelancaran, dan elaborasi. Sementara itu Munandar (Dedi Supriadi,
1996: 60) menyebutkan tujuh ciri orang kreatif yaitu: terbuka terhadap
pengalaman baru dan luar biasa, luwes dalam berpikir dan bertindak, bebas dalam
mengekspresikan diri, dapat mengapresiasi fantasi, berminat pada kegiatan-kegiatan
kreatif, percaya pada gagasan sendiri, dan mandiri. Sementara itu menurut
Leavitt dan Walton (dalam Larnoyne L. Scott Dunn, 2004: 45) menjelaskan tentang
individu inovatif (innovative individual) sebagai "an individual who is open to
new experience and goes out of his way to experience different and novel stimuli
particularly of the meaningful sort". Individu-individu yang inovatif adalah individu
yang terbuka pada pengalaman baru dan mampu melak-ukan sesuatu yang
berbeda dalam hal-hal yang bermakna. Individu kreatif/inovatif memerlukan
dan atau menunjukkan karakteristik tertentu yang memungkinkan individu tersebut
mengembangkan kreativitas dan keinovatifannya dalam menjalankan peran dan
tugasnya pada organisasi. Menurut Gardner 0 981: 35-37) ciri individu kreatif
adalah: openness, independence, flexibility, dan capacity to find order in
experience.
Sementara itu, menurut Davar (1996: 213) faktor-faktor yang
diperlukan agar seorang individu dapat kreatif adalah:
Ability to recognize the problem distinctly
Ability to produce ideas and alternative solution in great quantity, eliminating
evaluation
Ability to flexible in the approach and to break the inertia of thought and
approach
Selecting the best and novel ideas

Tumbuh dan berkembangnya kreativitas memerlukan individu kreatif/ inovatif


dengan kondisi yang kondusif di mana kondisi tersebut memberi peluang bagi
setiap orang untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan perbuatannya yang
mungkin tidak selalu sejalan dengan kebanyakan orang (Dedi Supriadi, 1996:
4). Dalam hubungan ini organisasi sebagai suatu sistem dan lingkungan kerja jelas
akan menentukan bagi berkembangnya individu kreatif/inovatif yang dengan
kreativitasnya dapat mendorong pada berkembangnya inovasi dalam organisasi.

2. Dimensi Organisasi dari inovasi


Inovasi merupakan hal sangat penting bagi suatu organisasi. Perubaha n yang
sangat cepat memerlukan respon yang bare, perubahan di dalamnya mengandung
banyak ketidakpastian (uncertainty), sehingga respons yang bersifat rutinitas tidak
akan dapat menjadikan organisasi mampu beradaptas dengan kondisi yang ada.
Organisasi harus kreatif/inovatif dalam mengelola dinamika organisasi, sebab
kreativitas organisasi amat diperlukan dan inovasi pada dasarnya merupakan
suatu bentuk kreativitas dalam tataran organisasi. Sebagaimana dikemukakan
oleh Wehner et al (Dwi Riyanti, 2003: 41) bahwa dari hasil penelitiannya la
menemukan istilah inovasi lebih dikenal dalam dunia bisnis dan dalam tataran
organisasi, sementara istilah kreativitas cenderung dipergunakan dalam bidang
psikologi dengan lingkup bahasannya pada tataran individu.
Oleh karena itu, dilihat dari sudut pandang perilaku organisasi,
organisasi perlu mengelola seluruh sumber daya yang ada agar kondusif bagi
tumbuhnya kreativitas individu pegawai untuk kemudian dapat diaplikasikan
dalam tataran organisasi sehingga terwujud suatu inovasi yang dapat
membantu memperkuat posisi organisasi d alam konteks perubahan dan
persaingan. Dengan makin kuatnya kreativitas individu, maka lingkungan
organisasi akan terns bergerak karena terdorong oleh pegawai yang mempunyai
daya sentripetal, sehingga sub-sub sistem dalam suatu organisasi akan bersinergi
untuk melakukan perbesaran kapasitas dan kemampuan melakukan
kegiatannya secara adaptif, proaktif serta inovatif.
Menurut Albrech (1985) setiap organisasi dibentuk oleh empat subsistem yaitu: (1)
sistem teknik, (2) sistem sosial, (3) sistem administratif, dan (4) sistem strategi.
Keempat subsistem tersebut berinteraksi dalam suatu aktivitas organisasi, dan setiap
subsistem memerlukan kompetensi-kompetensi tertentu yang sesuai untuk
tataran internal subsistem serta akomodatif terhadap tataran eksternal subsistem,
sehingga kompetensi-kompetensi dari suatu subsistem organisasi akan
bergerak ke arah yang sama dalam mencapai tujuan organisasi. Ini berarti
bagaimanapun kreativitas atau inovasi yang dilahirkan oleh individu atau
kumpulan individu (group) akan menjadi tak bertenaga jika ada resistensi atau tidak
kondusif bagi sinergi subsistem yang terarah ke tujuan. Bila digambarkan akan
tampak sebagai berikut:

evaluasi kaderisasi

SISTEM SISTEM
STRATEGI SOSIAL

SISTEM SISTEM
ADMINISTRASI TEKNIK

Gambar 9.3. Interaksi subsistem dalam Organisasi


(sumber: Karl Albrech, 1985)

Sistem teknik adalah unsur-unsur, kegiatan dan hubungan yang


membentuk poros yang paling produktif dari organisasi, mencakup fasilitas, proses
kerja, metoda dan prosedur. Sistem sosial adalah orang-orang dalam organisasi
beserta kegiatannya dalam seluruh proses sistem teknik yang mencakup nilai,
norma tingkah lake dalam organisasi. Sistem administratif adalah media informasi
dan jalur arus informasi (sistem informasi) yang dibutuhkan dalam organisasi.
Sistem strategis adalah berkaitan dengan manajemen organisasi, rantai
komando serta hubungan laporan yang diperlukan dalam mengelola organisasi.

Dengan demikian, tampak bahwa inovasi merupakan hal yang


berinteraksi dengan sistem teknik, namun secara keseluruhan hal itu
merupakan hasil dari interaksi dari semua subsistem dalam organisasi. Menurut
Albrech (1985) hampir semua orang bisa berperan sebagai inovator, dan ini
hanya dapat terwujud apabila iklim sosial dan intelektual dalam organisasi
menghargai gagasan-gagasan barn, pemikiran yang aneka ragam dan kreatif.
Untuk itu, individu pegawai yang kreatif perlu ditunjang oleh kondisi lingkungan
organisasi/iklim organisasi yang kondusif bagi tumbuh dan berkernbangnya
kreativitas pegawai.
Dalam hubungan ini, pada tataran organisasi diperlukan upaya-upaya manajemen
yang dapat mendorong terwujudnya suasana lingkungan organisasi yang dapat
mendorong tumbuhnya pribadi pegawai yang kreatif, karena pribadi kreatif saja
tidak cukup bahkan bisa tidak efisien untuk lahirnya inovasi apabila tidak
didukung oleh lingkungan organisasi yang kondusif, "Boosting the creativity of the
individual is inefficient and will not succeed at all unless aspects of the organizaton's
creative processes are also managed (www.en.wikipedia.com).
Menurut Deal, Meyer dan Scott (www.careo.org,1975) banyak hasil penelitian
yang menyimpulkan bahwa karakteristik struktur organisasi atau lingkungan sekolah
berkaitan dengan adopsi inovasi
"These studies revealed that the school districts more likely to adopt innovations
nnovations were those that were wealthy, large, and had change-oriented leaders.
Others have found organizational autonomy, decentralized authority, staff
professionalism, and features of organizational climate such as openness, trust, and
free communication to be correlates of innovative behavior".

Dengan demikian peran organisasi dalam pengembangan inovasi ama:


diperlukan. Organisasi sekolah yang memiliki otonomi, pengembanga profesi,
iklim organisasi yang baik dapat memengaruhi perilaku inovasi dari anggota
organisasi tersebut. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kreativitas
organisasi melalui proses manajemen yang kreatif. untuk itu suatu organisasi perlu
menciptakan kondisi-kondisi sebagai berikut (www.en.wikipedia.com):
"in order to boost organisational sational creativity, it is critical that the organisation
create an environment that includes:
Trust. Employees must trust management before they will share ideas with
management. Employees must not feel their jobs or their future prospects
will be threatened should they propose a bad idea. Employees must feel they
will be rewarded for sharing ideas with the company rather than have their
ideas stolen by the company.
An environment that actively encourages the sharing of new ideas.
Good communications that ensure everyone's voice is heard, everyone can
find out what is happening throughout the company and everyone can
share ideas across the company.
An idea management structure that ensures good ideas are shared with the
organisation, recognised and implemented for the organisation".

Kepercayaan, sharing ide-ide baru, komunikasi yang terbuka, pengakuan atas ide
yang baik/baru, mengelola ide tersebut untuk dilaksanakan dalam organisasi dapat
mendorong terbentuknya kreativitas organisasi. Dengan organisasi yang kreatif,
perkembangan ide baru dapat lebih berkembang serta menjadi pendorong bagi
tumbuh dan berkembangnya pegawaipegawai kreatif, dan pada gilirannya hal
ini akan berdampak pada tumbuh dan berkembangnya inovasi di dalam
organisasi sehingga lingkungan organisasi makin kondusif bagi kreativitas
pegawainya. Menurut House (1974: 172), dalam konteks organisasi, kondisi
ideal diperlukan untuk lahirnya sebuah inovasi, kondisi tersebut adalah:
Psychological security and freedom
Diversity of input into organization
Internal commitment to searching for solution
A moderate amount of structure to help define the problem A moderate
amount of benign competition

Pengambangan organisas i amat diperlukan dalam mendorong


kreativitas dan inovasi di dalam organisasi. Lingkungan yang kurang kondusif
akan menyebabkan sulitnya tumbuh kreativitas pegawai dalam melaksanakan tugas.
Oleh karena itu, upaya membuat atmosfer/iklim organisasi yang dapat
menumbuhkan kreativitas pegawai menjadi syarat penting bagi berkembangnya
inovasi dalam organisasi. Menurut Davar (1996: 214) syarat dasar yang penting bagi
iklim organisasi untuk tumbuhnya kreativitas adalah:
Freedom of expression
Job satisfaction
Good and unrestricted communication so that good ideas can travel to
decision making levels
Recognition and approval by co-worker and management

Sementara itu, Gaynor (2002: 17-18) mengemukakan tentang ciri


pengelolaan organisasi yang inovatif yaitu:
Understanding the innovator's characteristics and working relationship
Developing an environment that fosters innovation
Integrating the organizational activities, functions, and disciplines
Managing from a system perspective

P em aham an akan karakt eristik innovator (i ndi vi du kreat i f),


m engembangkan lingkungan yang kondusif, memadukan kegiatan, fungsi dan
disiplin serta melihat organisasi secara sistem dapat menjadikan suatu
organisasi mampu mengembangkan inovasi, baik dalam tataran individu maupun
dalam tataran sistem organisasi. Sedangkan menurut Susan R. Quinn (dalam
Kuratko dan Hodges, 2004: 56) terdapat empat langkah untuk mendorong orang-orang
inovatif dalam organisasi yaitu:
Set explicit goal
Create a system of feedback and positive reinforcement
Emphasize individual responsibility
Give reward based on results

Menentukan tujuan yang jelas merupakan langkah pertama untuk


mendorong orang inovatif. Penentuan ini harus dilakukan dengan
persetujuan bersama antara pihak pekerja dan pihak manajemen agar
diperoleh suatu langkah yang spesifik. Menciptakan sistem umpan batik dan
penguatan positif merupakan hal yang perlu dilakukan untuk mendorong
orang-orang/pekerja inovatif yang potensial menyadari akan penerimaan dan
reward yang ada dalam organisasi. Penekanan pada tanggung jawab individu
akan mendorong pada kepercayaan, keyakinan, dan akuntabilitas, di mana hal ini
merupakan kunci keberhasilan dari suatu program inovatif. Memberikan reward/imbal
jasa berdasarkan hasil akan mendorong meningkatkan keberanian pekerja untuk
mengambil risiko dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

F. Adopsi Inovasi dan Keinovatifan (innovativeness)


Atribut yang tercakup dalam suatu inovasi merupakan dasar penting bagi
seseorang atau organisasi untuk menentukan apakah inovasi tersebut akan
diadopsi atau tidak. Pemahaman akan karakteristik atau atribut inovasi akan
diperoleh melalui komunikasi inovasi/difusi inovasi dari sate pihak kepada pihak
lain melalui saluran tertentu. Menurut Roger 0 983: 5) "Diffusi is the process by which
an innovation is communicated through certain channel over time among members
of social system". Dalam setiap difusi tercakup unsur inovasi, saluran komunikasi,
waktu, dan sistem social.
Adopsi inovasi oleh unit adopsi akan ditentukan oleh bagaimana unsurunsur
tersebut dipandang oleh masyarakat secara individual atau secara organisasi.
Proses tersebut akan melibatkan keputusan unit adopsi untuk menerima atau
menolak, ini menunjukkan bahwa ada proses pembuatan keputusan dalam setiap
adopsi inovasi (Innovation Decision Process). Menurut Everett A Rogers 0
983: 163) proses keputusan inovasi adalah "the process through which an
individual (or other decision making unit) passes from first knowledge of an
innovation, to forming an attitude toward the innovation, to a decision to adopt or
reject, to implementation of the new ide, and to confirmation of this decision".
Dengan melihat pengertian tersebut, tampak bahwa proses inovasi atau
proses pembuatan keputusan inovasi merupakan suatu rangkaian tahapan di
mana seseorang memandang inovasi dari tingkat pengetahuan, sikap, sampai
implementasi dan konfirmasi. Oleh karena itu, dalam setiap pembuatan keputusan
inovasi, seseorang perlu mempunyai pengetahuan terlebih dahulu untuk
kemudian dengan pengetahuan tersebut orang itu akan menentukan langkah
berikutnya. Hal ini sudah tentu bukan sesuatu ya n g b i s a b e r j a l a n c e p a t ,
m e n gi n ga t b a n ya k f a k t o r ya n g d a p a t memengaruhinya. Keputusan inovasi
merupakan suatu proses penting, dalam penyebaran suatu inovasi, karena dari
proses ini akan diperoleh keputusan untuk menerima atau menolak suatu inovasi.
Menurut Roger (1983: 20) proses keputusan inovasi terjadi melalui lima tahapan
atau langkah (steps) yaitu: 1) knowledge, 2) persuasion, 3) decision, 4) implementation,
5) confirmation. Tahapan pengetahuan terjadi ketika seseorang diperkenalkan dan
mengetahui suatu inovasi sehingga diperoleh pemahaman tentang bagaimana inovasi
itu berfungsi. Tahap persuasi terjadi ketika indvidu menentukan sikap senang
atau tidak senang akan suatu inovasi, kemudian diikuti dengan pembuatan
keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, dan jika menerima, tahapan
selanjutnya adalah melaksanakan dengan menggunakan atau memanfaatkan
inovasi yang t el ah di ket ahui n ya . Unt uk l ebi h m e yaki nkan t e nt ang si kap
dan pemanfaatan inovasi, rnaka tahap selanjutnya mencari penguatan
(konfiri-nasi) atas keputusan inovasi yang telah dibuatnya.
Sementara itu Fuilan (1991: 48) dalam konteks proses perubahan
(inovasi) menyebutkan tiga fase dalam proses perubahan yaitu : 1) initiation, 2)
implementation, dan 3) continuation. Fase inisiasi atau pengawalan merupakan fase
proses yang membawa pada keputusan untuk mengadopsi suatu perubahan/inovasi,
kemudian dilanjutkan dengan fase implementasi atau pemanfaatan awal untuk
kemudian sampai pada fase berikutnya yaitu kontinuasi di mana upaya
institusionalisasi penerapan inovasi guna menjadi bagian yang talk terpisahkan
(inheren) dan menjadi bagian dari sistem yang berjalan di dalam organisasi.
Penerimaan atau penolakan terhadap suatu inovasi merupakan proses yang
kompleks, di dalamnya dapat berkembang berbagai pertimbangan, dari semenjak
terjadi difusi inovasi, antara kondisi ideal yang diharapkan dengan fakta-fakta
lapangan yang dirasakan tentang kemungkinan-kemungkinan implementasinya
dengan daya dukung sumber daya yang ada dalam suatu organisasi (sistem sosial).
Namun demikian, pada dasarnya keputusan yang diambil untuk
mengimplementasikan suatu inovasi akan terkait dengan kreativitas individu serta
kondisi dan kapabilitas organisasi untuk berubah. Inovasi dapat diadopsi atau
ditolak oleh individu anggota suatu sistem atau oleh sistem secara keseluruhan
(Rogers, 1983: 29). Situasi ini menjadikan keputusan inovasi yang bermacam-
macam. Menurut Rogers (1983: 29) terdapat empat tipe keputusan inovasi dalam
suatu sistem sosial (organisasi) yaitu:
a. Optional innovation decision
b. Collective innovation decision
c. Authority innovation decision
d. Contingent innovation decision

Keputusan inovasi opsional terjadi jika seseorang memutuskan untuk menerima


atau menolak inovasi tanpa pengaruh dari individu lain. Ini berarti bahwa dasar
keputusan ditentukan oleh individu (seseorang) secara mandiri, tanpa tergantung
atau terpengaruh oleh anggota sistem sosial yang lain. Keputusan inovasi
kolektifterjadi jika keputusan inovasi dilakukan dengan konsensus di antara anggota
sistem. Keputusan inovasi otoritas ialah pemilihan untuk menerima atau
menolak inovasi, berdasarkan keputusan yang dibuat oleh seseorang atau
sekelompok orang yang mempunyai kedudukan, status, wewenang atau
kemampuan yang lebih tinggi daripada anggota yang lain dalam suatu sistem sosial.
Keputusan inovasi kontingensi adalah keputusan untuk menerima atau menolak suatu
inovasi yang dibuat sesudah keputusan inovasi sebelumnya ditentukan.
Dengan memerhatikan jenis-jenis keputusan inovasi di atas, tampaknya masing-
masing mempunyai keunggulan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Keputusan opsional
menunjukkan dominasi individu dalam menerima atau menolak inovasi, namun
sekali diputuskan, misalnya menerima, maka kom i t m en yan g t i nggi dari
i ndi vi du t ersebut di perl ukan dal a m implementasinya, meski bila
mengalami kesulitan cenderung mandeg mengingat tidak ada rekan untuk
diajak berdiskusi dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Sementara itu,
keputusan kolektif tampaknya lebih bersifat demokratis dalam menerima atau
menolak inovasi, kesulitankesulitan yang dihadapi cenderung bisa dipecahkan
dengan lebih mudah mengingat banyak pemikiran yang bisa di-sharing dalam
pemecahannya, namun demikian proses pengambilan keputusannya akan lebih
memakan waktu sebab melalui musyawarah atau urun rembug yang tidak
mustahil dihadapkan pada pemahaman dan pendapat yang berbeda, m eski bila
dicapai kesepakatan, misalnya menerima, maka implementasi inovasi akan lebih
cepat menyebar di dalam sistem. Adapun keputusan otoritas pada dasarnya
bersifat elitis, sehingga terdapat kemungkinan ditolak oleh sistem/ masyarakat bukan
karena inovasinya namun karena ketidaksetujuan pada cara pengambilan
keputusannya, meskipun ini akan sangat tergantung pada struktur sosial
masyarakat yang ada, misalnya dalam sistem yang sangat paternalistik mungkin
cara ini akan cukup berhasil. Sementara itu keputusan kontingensi akan sangat
dipengaruhi oleh bagaimana keputusan inovasi sebelumnya dilakukan.
Keputusan untuk melakukan adopsi inovasi dengan berbagai tipenya akan
berkaitan dengan kadar/tingkat keinovativan (innovativeness) seseorang atau
unit adopsi lainnya dalam menjalankan tugasnya. Menurut Rogers (1985: 22)
"Innovativeness is the degree to which individual or other unit of adoption is
relatively earlier in adopting new idea than the athemembers of system".
Keinovatifan menunjukkan tingkat kecepatan seseorang atau unit adopsi lain
untuk mengadopsi suatu inovasi, ini berart' bahwa ada individu yang mengadopsi suatu
ide baru lebih awal dibanding yang lainnya. Sementara. itu Hurt, Joseph, dan Cook
(dalam Dunn,2004: 46) mendefinisikan "innovativeness as one's willingness to change",
definisi ini menekankan pada aspek keinginan seseorang untuk berubah, sedangkar
Goldsmith dan Hofacker, 1991 (dalam Brian F. Blake et al, 2002.
www.pewinternet.org) mendefinisikan "innovativeness as the relative willingness of a
person to try a new product or service", yaitu keinginan relative dari seseorang
untuk mencoba produk atau jasa/pelayanan yang baru. Pengertian keinovatifan
(innovativeness) dari Hurt et al, Goldsmith dar Hofaker menunjukkan penekanan
pada keinginan seseorang terhadap suatu inovasi dan bukan pada kelebihawalan
mengadopsi suatu inovasi! sebagaimana dikemukakan Rogers (1985). Adopsi
inovasi tidak mungkiterjadi tanpa adanya keinginan untuk berubah, dan intensitas
keinginan berubah tersebut akan terlihat dari kecepatan dalam mengadopsi inovasi. Oleh
karena itu, pendapat Rogers dan Hurt et al, juga Goldsmith dan Hofaker pada dasarnya
menunjukkan esensi yang sama di mana Hurt et al, Goldsmith dan Hofaker lebih
menekankan pada aspek individu, sementara Rogers menekankan pada aspek
perwujudan dalam tataran waktu.
Menurut Ernest R. House dalam bukunya The Politics of Education Innovation
(1974: 7) dinyatakan bahwa "Innovation can be accepted by a person only if he is aware
of its existence", inovasi dapat diterima apabila seseorang sadar akan keberadaannya,
kesadaran ini akan mudah terwujud apabila seseorang tersebut mempunyai keinginan
untuk berubah, dar intensitasnya akan menentukan kecepatan pengadopsiannya.
Implikasl dahal ini dalam konteks organisasi adalah bahwa semua pihak yang terlibat
dalam suatu organisasi harus terus berupaya mengembangkan diri untuk selalu
mengikuti informasi tentang ide-ide baru serta mendorong dan menciptakan situasi
organisasi yang kondusif bagi tumbuh da berkembangnya keinginan untuk
berubah dan hal ini memerlukan suasana pembelajaran dalam organisasi, mulai dari
tataran individu sampai tataran organisasi (learning organization). Dengan kata
lain, diperlukan suatu motivasi tinggi untuk belajar terus-menerus karena menurut
Hagerstran: "adoption of innovation is the outcome of an individual learning
process (House, 1974: 8)
Dengan demikian, keinovatifan berkaitan dengan adanya kesadaran akan
perlunya perubahan serta merupakan hasil dari suatu pembelajaran. Kesadaran
serta kreativitas tampaknya menjadi hal yang penting dalam inovasi, di
samping faktor lingkungan di mana seseorang itu bekerja. Menurut Rogers
(1985) kecepatan adopsi tidak dapat diterangkan hanya dari faktor individu, tapi
juga dari faktor sistem seperti organisasi. Sebagai suatu sistem, setiap organisasi
mempunyai kepribadiannya sendiri-sendirl yang tergambar dari kultur organisasi.
Apabila sistem/kultur organisasi tidak memiliki orientasi pada perubahan maka
inovasi akan sulit untuk dilaksanakan, dalam hubungan ini peran pemimpin
sebagai opinion leader dalam suatu organisasi dapat memberi kontribusi bagi
terlaksananya adopsi inovasi melalui berbagai kebijakan yang mendorong pada
perubahan.
Oleh karena itu, individu atau unit adopsi lainnya akan bervariasi dalam
mengaclopsi suatu inovasi, kecepatan mengadopsi inovasi (innovativeness) menjadi
penting untuk diperhatikan, karena hal itu berkaitan dengan karakteristik
belajar dan kompetensi individu dalam melihat suatu ide baru serta dukungan
sistem terhadap perubahan. Dalam melihat tingkat kecepatan adopsi inovasi
tersebut Rogers (1985: 22) mengategorikan pengadopsi inovasi (adopter of
innovation) ke dalam lima kategori, yaitu:
Innovators
Early adopters
Early majority
Late majority
Laggard

Innovator adalah mereka yang paling pertama dalam menerima inovasi, ini
dikarenakan kecenderungan mereka untuk secara aktif mencari informasi
mengenai ide-ide baru. Menurut Rogers 0 983) ciri/prasarat dari inovator
adalah: pengendalian atas sumber -sumber keuangan untuk men yerap
kerugi an yang m ungki n at as suat u inovasi yan g t idak menguntungkan,
kemampuan memahami dan menerapkan pengetahuan teknis yang kompleks,
mampu mengatasi ketidakpastian tentang inovasi, kosmopoilt, berani
mengambil risiko, siap kemball ke awal jika inovasi gagal.
Early adopter (pengadopsi awal), adalah mereka yang menjadi bagian
terintegrasi dari suatu sistem sosial. Kategori ini dapat berperan sebagal pemimpin opini
karena kedekatannya dengan situasi setempat, bersifat lokalis, namun dapat didorong
oleh agen perubahan untuk berperan dalanpros es d i f usi . P e ra n d ari
pe n gad ops i a wa l ad al ah m en ur un ka r ketidakpastian inovasi dengan cara
mengadopsinya, serta dapa t menyampaikan tentang inovasi melalui kontaks
interpersonal dalam sistem sosial di mana mereka berada.
Early majority (mayoritas awal) adalah mereka yang mengadopsi ide baru
sebelum masyarakat umum menerapkannya. Mereka banyak bergaul dengan
lingkungannya namun tidak menjadi pemimpin opini dan dapat berperan dalam
menghubungkan antara early adopter dengan kategori late majority.
Late majority (mayoritas akhir) adalah mereka yang mengadopsi ide baru
sesudah rata-rata anggota sistem sosial (organisasi). Dalam melihat inovasi,
kelompok ini bersifat skeptis dan hati-hati. Mereka tidak melakukan adopsi inovasi
ketika yang lain telah melakukannya. Sementara itu, Laggard adalah
kelompok terakhir yang mengadopsi inovasi, mereka cenderung terisolasi dari
sistem sosial dan bersifat lokalis.
Kategori-kategori adopter inovasi menunjukkan bagaimana unit adopsi bersikap
terhadap suatu inovasi, meskipun kategori adopter yang dikemukakan oleh
Rogers menyebutkan individu dan unit adopsi lain, namun kategori adopter yang
dijelaskan tampak menekankan pada individu, sehingga ha l tersebut dapat
dipandang sebagai sesuatu yang berkaitar dengan kreativitas, dalam arti bahwa
keinovatifan dalam tataran individu menunjukkan tingkat kreativitas individu
tersebut dalam kaitannya dengan suatu ide-ide baru sebagai awal dari suatu
adopsi inovasi. Untuk itu karakteristik individu kreatif akan menentukan
tingkat keinovatifan (innovativeness) individu tersebut.
G. Model-Model Inovasi
Para pakar telah banyak yang mengemukakan tentang model Inovasi sebagai kerangka
dasar dalam memahami bagaimana suatu inovasi itu terjadi serta bagaimana melihat
kemampuan seseorang untuk menjadi inovatif, adaptif dan kemudian menyebarkannya
pada pihak lain (difusi). Lana Chaterine Hagenson(2001) mengelompokkan model
inovasi kedalam Linier dan model Siklis. Model linier merupakan model yang
melibatkan dimensi tunggal, dan yang termasuk dalam model ini adalah model
Diffusion of Innovation dari Roger, Concerent Based Adoption Model dari Hall and
Hord, Berta Model of Epistemic Curiosity Speilberger and Starr.

1. Model Linier
Model difusi inovasi dari Roger memandang proses keputusan adopsi atau penolakan
inovasi sebagai suatu kejadian dalam suatu proses linier di mana waktu berperan
sebagai variable bebas dan proses adopsi terdiri dari serangkaian tindakan dan
pilihan dengan berbasiskan faktor internal dalam suatu sistem sosial. Dalam model
ini orang dikelornpokkan berdasarkan kecepatannya dalam mengadopsi inovasi
dengan lima kelompok adopter yaitu: (a) innovators, (b) early adopters, (c) early
majority, (d) late majority, dan (e) laggards. Sementara itu model dari Hall dan Hord
yaitu Concerns Based Adoption Model (CRAM) memandang inovasi sebagai
pergeseran secara psikologis dari ciri-ciri inovasi ke arah consern pada
penggunaannya. Dalam model ini pengguna inovasi bergerak dari consern pribadi
(self-concerns), selanjutnya consern pada tugas (task-concerns) kemudian
berpengaruh pada dampak konsern (impact-concern) pada saat seseorang makin
berpengalaman dengan inovasi. Tahapan-tahapan concern ketika seseorang
mengadopsi inovasi menurut Sherry, Lawyer-Brook, dan Black, 1997, (dalam Lara
Catherine Hagenson , 2001) mencakup:
Awareness (little concern about or involvement with the innovation);
Informational (interest in learning more details about it);
Personal (concerns about its demands and their adequacy in meeting them);
Management (processes and tasks of using the innovation)
Consequence (impact of the innovation on student outcomes);
Collaboration (coordination/cooperation with other users); an
Refocusing (altering or replacing the innovation)
Model of Epistemic Curiosity dari Speilberger dan Starr meng-
gambarkan dua proses yang terdiri dari keresahan (anxiety) dan
keingintahuan (curiosity), semakin rendah tingkat kenyamanan pengguna inovasi,
semakin kecil mereka melakukan eksperimen dengan inovasi. Model ini
menurut Hagenson (2001) merupakan model valid yang mengelompokkan
orang berdasarkan tingkat-tingkat ketidakpastian (levels of uncertainty) dan
menilai orang berdasarkan peril aku dan kemampuannya untuk mengeksplorasi
hal-hal di luar platform inovatif awal.
Selain model linier sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat model linier
lain yaitu Model Faktor Organisasi dan Belajar (Organizational and Learning
Factor Models). Model ini memandang bahwa banyak faktor yang memengaruhi
kemampuan seseorang untuk berinovasi, mengadopsi, dan malakukan difusi, dan
beberapa model yang masuk dalam kategori ini adalah Model Analisis Adopsi
(Adoption Analysis Models) dari Farquhar dan Surry (1994), dan Model Belajar
Terlibat (Engaged Learning Model) dari )ones, Valdez, Nowakowski, dan
Rasmussen (1995) sebagaimana dikemukakan oleh Hagenson (2001).
Model analisis adopsi dari Farquhar dan Surry dikembangkan dengan melihat
persepsi pengguna akan inovasi. Semakin positif persepsi pengguna akan suatu
inovasi berkaitan dengan karakteristik inovasi sebagaimana dikemukakan Rogers
(yakni: relative advantage, observability, compatibility, complexity, dan trialability)
akan semakin besar kecenderungan untuk mengadopsi inovasi. Dalam model ini
peran lingkungan fisik orgnisasi dan lingkungan pendukung dalam hal ketersediaan
teknologi terutama internet memegang peran penting, dan kesuksesan pelaksanaan
inovasi tidak hanya memerlukan adopter yang menggunakan dan
mengaplikasikan inovasi, tapi juga memerlukan organisasi yang menyediakan
lingkungan yang kondusif untuk penerapan teknologi barn. Mereka yang
mempunyai akses lebih besar pada teknologi serta didukung oleh
keterampilan, akan menggunakan teknologi lebih banyak dalam
melaksanakan pengajaran (untuk guru).
Model Engaged Learning dari Jones, Valdez, Nowakowski, dan
Rasmussen merupakan model dengan setting lembaga pendidikan. Model ini
melihat inovasi dari sudut gaga belajar dan peran murid di dalam kelas. Terdapat
delapan variable berkaitan dengan indicator engaged learning. yaitu:
the teacher's vision of learning
indicators of engaged learning;
ongoing, authentic, performance-based assessment;
a constructivist instructional model responsive to student need: the concept of
students as part of a learning community incorporating multiple perspectives;
collaborative learning
the co/learner/co-investigator;
the roles of students as cognitive apprentices, ces, peer mentors, and producers of
products that are of real use to themselves and others (Sherry, Lawyer-
Brook, dan Black, 1997 dalam Hagenson, 2001).

Dalam model ini visi guru tentang pembelajaran terkait erat dengan
peranannya di kelas dan persepsinya tentang hubungan kurikulum sekolah dengan
standar dart pemerintah, apakah kurikulum yang ada harus diperkaya,
ditingkatkan atau diganti, soma peran yang jelas dart kegiatan pembelajaran berbasis
internet di kelas (Sherry, Lawyer-Brook, dan Black, 1997, dalam Hagenson, 2001).
Kedua model di atas yakni model analisis adopsi dan model engaged
learning terintegasi dalam model learning/adoption trajectory yang
merupakan model belajar dan keorganisasian (organizational and learn ing
model) yang amat penting bagi dasar dan proses pembelajaran (Cara Catherine
Hagenson, 2001: 19).

2. Mod el S i k l i s
Model siklis ini didasarkan pada pemahaman bahwa suatu proses belajar yang
sedang berjalan lebih merupakan suatu proses siklis. Suatu siklis adalah
serangkaian kejadian yang terjadi secara teratur dan biasanya membawa
kembali ke titik awal (Sherry, et al (2000) dalam Hagenson, 2001: 21). Model
siklis ini menurut Hagenson, (2001: 22) lebih tepat ketimbang model linter,
dan model ini digunakan untuk membuat versi baru dari model Learning/Adoption
Trajectory. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat yang menjadi dasar
terbentuknya model siklis yaitu pandangan Schein (1996), Senge (1990),
Havelock dan Zlotolow (1997), Engestrom 0 996).
Menurut Schein, dari pandangan pengguna, anggota-anggota suatu
organisasi pembelajar mulai mencairkan (unfreeze) persepsi mereka pada saat
mengalami suatu inovasi yang gaga) memenuhi pemahaman mereka sebelumnya.
Anggota organisasi kemudian melakukan perubahan dan memfokus ulang
proses, dan kemudian membekukan ulang (refreeze) konsep mereka untuk
mencocokkan dengan pengalaman yang sedang dialami mereka. Menurut
Sherry, Billig, Tavalin, dan Gibson, (2000) dalam Hagenson (2001: 22) model tampak
lebih memfokuskan pada pengguna dan konsepsi mereka tentang membuka ide-ide
untuk belajar, mengambil inovasi, dan kemudian menutupnya dengan konsepsi akan
inovasi yang baru.

Peter Senge merupakan pakar yang memopulerkan konsep Organisasi Pembelajar


(Learning Organization) dalam bukunya The Fifth Disciplines (1990). Dalam
organisasi pembelajar, anggota organisasi secara konstan dan secara kolektif
memperbaiki kapasitas mereka untuk menciptakan dan merealisasikan visi. Model
organisasi pembelajar ini telah menciptakan suatu fondasi untuk memahami
kapabilitas mengintegrasikan ide-ide baru bagi perbaikan organisasi.
Sementara itu pandangan Havelock dan Zlotolow 0 997) memfokuskan pada peran
fasi I itator perubahan dalam menggerakkan sistem melalui enam tahapan perubahan
terencana. Mereka berpendapat bahwa semakin besar perubahan semakin besar
kekuatan yang menentangnya, dan untuk mengatasi hal ini diperlukan banyak
saluran difusi yang dapat membawa visi bersama pada seluruh komunitas. Menurut
Hagenson (2001: 23),
"This model greatly influenced what was needed to enforce appropri
ate training and teaching needed to innovate, adopt, and diffuse suc-
cessfully. Knowing what is needed, in terms of training and support for
an organization, helps to maintain and may help to diffuse new tech-
nologies to others.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa agar inovasi, adopsi, dan difusi berhasil diperlukan
pelatihan dan pengajaran yang tepat, dan hal ini akan membantu memelihara serta
menyebarkan teknologi baru pada pihak lain.
Engestrom dengan kerangka teori aktivitasnya (Activity Theory Framework)
mengintegrasikan pengguna, tujuan penggunaan teknologi, hasil yang diharapkan,
komunitas pengguna dengan norma-normanya, konvensi, serta struktur sosial. Dalam
konteks tersebut perubahan merupakan bagian dar' s i s t e m ya n g b e r h e m b u s
m e l a l u i s i s t e m k e s e l u r u h a n , k e m u d i a memengaruhi setiap komponen serta
pengguna (Sherry, Billig, Tavalin, daGibson, (2000), dalam Hagenson, 2001: 23).
Model siklis tersebut menjadi dasar bagi terbentuknya model learring/adoption
trajectory. Model ini melihat adopsi inovasi sebagai suatu proses dinamis. Sherry,
Billig, dan Perry, menemukan tentang the learning/adoption trajectory ectory models
(teacher as learner, adoption, teacher as co- learner, and reaffirmation or rejection),
kemudian dalam penelitiannya Sherry, Billig, dan Perry menambahkan satu fase
lagi yaitu teacher as leader (Hagenson, 2001: 25).
the cyclical processes of the learning/adoption trajectory model creating the teacher
as leader stage, the fifth stage, but to break away from linear models (technology is
an ongoing process, therefore acting as a cycle instead of a line) we must start
looking at more dynamic models such as:
the "unfreezing-change-freezing" process described by Schein 0 996);
the circular change model of Havelock and Zlotolow 0997);
the balancing and reinforcing loops described by Senge 0 990); and
the interaction of users, tools, agency, and the community of users
described by Engestrom's (7996) Activity Theory framework (Sherry, et al,
2000, dalam Hagenson, 2001: 25).
Masuknya peran guru sebagai pemimpin mendorong pada pemahaman bahwa
guru dapat menentukan dan membuat keputusan tentang suatu inovasi apakah
dilaksanakan atau tidak, baik itu bersumber dari luar maupun yang bersumber dari
dirin ya sebagai bentuk pemunculan ide -ide baru dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran. Dengan demikian tampak bahwa adopsi inovasi bukan
sesuatu yang bersifat linier, dan hat itu mesti dilihat dalam kerangka model yang
dinamis dan interaktif dalam suatu konteks organisasi yang dasar-dasarnya telah
dikemukakan oleh para pakar sebagaimana tersebut di atas.
H. Inovasi Pendidikan
Dewasa ini, tampak sekali bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalarn
kehidupan masyarakat telah menjadikan pendidikan dipandang sebagai sesuatu
yang dipercaya dan diandalkan dalam mempersiapkan manusia yang siap dan
mampu menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat. Oleh karena
itu, pendidikan sebagai suatu bagian dari kehidupan masyarakat harus
menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, serta menyikapinya dengan
proaktif dan inovatif, sebab jika tidak demikian maka upaya mempersiapkan
manusia dalam menghadapi perubahan tidak mungkin dapat dilaksanakan
dengan baik.
Kondisi demikian pada dasarnya sebagai akibat dari karakteristik
manusia hidup
pendidikan dibagian
sebagai masyarakat, untukmasyarakat
dari kehidupan itu berbagai perubahan
yang tak harus
bisa mengisolasi
diperhatikan dan diantisipasi
diri dari pengaruh melalui
lingkungan, baik upaya memperbaiki
itu lingkungan fisikproses pendidikan
maupun dan
lingkungan
pembelajaran,
sosial, dalam sehingga output-nya
lingkup lokal, bisa nasional
regional, dan mampu Bertalingkungan
ataupun kompetitif global.
dalam
menghadapi berbagai hal
Pendidikan merupakan yanguntuk
upaya terjadi dalam proses perubahan di masyarakat,
mempersiapkan
dan untuk itu pendidikan harus dapat mengembangkan respons yang kreatif dan
inovatif sejalan dengan pernyataan Suyanto (Kompas, 16 Mei 2001):
"Untuk menciptakan unggulan kompetitif, kita memerlukan inovasi yang
pesat dalam dunia pendidikan. Menjadi bangsa yang berharkat memerlukan
unggulan kompetitif dalam berbagai bidang. Bukan zamannya lagi kita
mengandalkan murahnya tenaga keria untuk mendukung dan pembenar
konsep unggulan kompetitif. Dalam konteks untuk menciptakan unggulan
kompetitif outcome pendidikan, patut kiranya kita mengkaji pendapat
to
Michael Porter dalam ungkapannya: ...the ability sustain an advantage from
cheap labor or even from economies of scale-these are the old paradigms. These
paradigms are being superseded. Today, the only way to have an advantage is
through innovation and upgrading".

Oleh karena itu, bagi dunia pendidikan adalah suatu keharusan untuk selalu
mencermati perubahan-perubahan yang terjadi agar dapat direspon dengan cerdas
dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. Dalam hubungan ini
inovasi pendidikan menjadi semakin penting untuk terus dikaji, diaplikasikan dan
dikomunikasikan pada seluruh unsur yang terlibat dalam pendidikan untuk
menumbuhkan dan mengembangkan sikap inovatif di lingkungan pendidikan,
karena tanpa inovasi yang signifikan, pendidikan hanya akan menghasilkan
lulusan yang tidak mandiri, selalu tergantung pada pihak lain. Untuk itu
pendidikan harus digunakan sebagai inovasi nasional bagi pencapaian dan
peningkatan kualitas outcome secara berkelanjutan dan tersistem agar
unggulan kompetitif selalu dapa dipertahankan (Suyanto, Kompas, 16 Mei 2001).
lnovasi pendidikan secara sederhana dapat dimaknai sebagai inmaz dalam
bidang pendidikan. Menurut Ibrahim, (1988 : 51) inovasi pendidika ialah suatu ide,
barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai yang barn bagi seseorang
atau sekelompok orang (masyarakat), baik berupa hasil invensi atau discovery,
yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau memecahkan masalah
pendidikan. Dengan demikian inovasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pendidikan/pembelajaran, ini berarti bahwa inovasi apa pun yang tidak dapat
meningkatkan kualitas pendidikan/pembelajaran tidak patut untuk diadopsi, dan
dalam konteks ini peran guru akan sangat menentukan dalam adopsi inovasi pada
proses pendidikan/pembelajaran Oleh karena itu, dalam menyikapi suatu inovasi,
diperlukan suatu pemahaman yang baik tentang substansi inovasi itu sendiri, hal ini
dimaksudkan agar inovasi dapat benar-benar memberi nilai tambah bagi kehidupan.
Dengan mengingat hal tersebut, maka dunia pendidikan sebagai suatu subsistem
kehidupan masyarakat perlu menyikapi dengan terbuka berbagai inovasi yang ada
dalam dunia pendidikan, ataupun yang terjadi dalam bidang kehidupan lainnya
untuk berupaya mengintegrasikannya agar dapat dicapai suatu kondisi pendidikan
yang tidak tertinggal dengan perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat
akumulasi inovasi.
Namun demikian situasi di dunia pendidikan seperti sekolah, menurut penelitian
Kim E. Dooley (Jurnal Educational Technology & Society 2(4) 1999.www.careo.org)
cenderung sulit/lambat berubah seperti terlihat dari pernyataan berikut:
"The past three decades have been characterized by extreme social, political, economic,
and technological changes; but schools have not changed their basic organizational
structure. Recognition that the curriculum and methodology of the past are unsuited
for today's world has prompted a call for a restructuring of education. We are
currently i . n the "third wave" era (Toffler, 1981), the post-industrial information age
in which change continuously takes place at all levels of society".
Kesulitan atau kelambatan dalam berubah telah menjadikan dunia
pendidikan banyak tertinggal dari perkembangan yang terjadi dalam bidang kehidupan
lainnya seperti dunia bisnis, di mana inovasi telah menjadi nyawa yang
menentukan bagi kehidupan bisnis. Kajian -kajian tentang inovasi di bidang
pendidikan banyak dilakukan, meskipun kontribusinya pada pemahaman teoretis
tentang difusi inovasi tidak begitu penting, hal ini tidak lain karena sebagian besar
keputusan inovasi bersifat kolektif dan berdasarkan otoritas, dan kurang dilakukan
secara individual (optional innovation decision) (Rogers, 1983: 62).
Menurut House (1974) dalam proses penyebaran inovasi, kontak personal
mempunyai kedudukan yang penting dalam difusi atau komunikasi inovasi. Kontak
personal is essential to the propagation of innovation. Lebih jauh House membagi
inovasi ke dalam dua jenis dengan masing-masing mempunyai kelompok pemerannya
send i ri-sendiri, yaitu:
1. Household innovation. Inovasi rumah tangga (household) merupakan
inovasi individu, seperti inovasi guru di kelas, dan bisaanya tersebar dari
individu ke individu.
2. Entrepeneurial innovation. Inovasi entrepreneur adalah inovasi yang
mempunyai akibat langsung bagi orang lain di luar adopternya.

Lebih jauh House (1974) menyatakan bahwa praktisi pendidikan dapat dikelompokkan
ke dalam dua kelompok, yaitu (1) Administrator (Principal dan Superintendent), dan
(2) Teacher. Dalam hal penerimaan atau sikap terhadap perubahan dan inovasi, dua
kelompok ini mempunyai pandangan dan sikap yang tidak selalu sama, karena peran
yang dimainkan dalam melaksanakan kegiatan pendidikan berbeda dan lingkungan
kerja yang Bering dijalani masing-masing juga berbeda. Administrator (kepala dan
pengawas) lebih mudah menerima inovasi dibanding guru, inovasi oleh administrator
merupakan inovasi entrepreneur, sedang inovasi oleh guru adalah inovasi
household. Lebih mudahnya inovasi oleh administrator dibanding oleh guru
dikarenakan hal-hal berikut (House, 1974):
1. Sosial interaction inhibit diffusion across professional boundaries.
2. Teacher remain isolated in classroom which does not enhance the
diffusion of new idea within the profession.
3. Never adopt innovation as a whole, only bits and pieces.
4. Passive adopter.

Sulitnya inovasi yang dilakukan oleh guru yang bergerak di tataran teknis, jelas
akan memberi pengaruh pada efektivitas pembaruan/i novasi pendidikan
dalam berbagai tingkatannya, baik tataran institusi maupun tataran manajerial.
Oleh karena itu, kebijakan inovasi pendidikan dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan perlu mencermati kondisi ini, artinya dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas
profesionalisme pendidik/guru perlu terintegrasi dengan upaya melakukan
reformasi pada tataran institusi dan manajerial, sehingga terjadi suatu interaksi yang
kondusif bagi tumbuhnya kreativitas, kinerja inovatif yang terlembagakan dalam suatu
organisasi sekolah. Hal

MI berarti diperlukan upaya untuk melakukan restrukturisasi sekolah yang dapat


menciptakan organisasi sekolah yang selalu antisipatif dan terbuka pada
perubahan, menurut Kim E. Dooley (Jurnal Educational Technology & Society 2(4)
1999, www.careo.org).
"Restructuring our schools involves deep and profound changes in the way the
schools function. Restructuring defines what goes on within classrooms--
rethinking the way teachers teach, the way students learn, and the way we assess
them. Restructuring also involves a change in the way schools are organized.
Such reorganization requires res redefining the roles of teachers, administrators,
parents, and students in the governance and management of schools" .

Esensi dari restrukturisasi pada kelernbagaan sekolah adalah kesiapannya untuk


berubah, dengan perubahan tersebut fungsi sekolah juga akan berubah yang
berakibat pada perubahan dalam pembelajaran serta pengorganisasian
sekolah. Kegiatan tersebut pada dasarnya merupakan suatu proses dan bukan suatu
kejadian, sehingga diperlukan upaya yang terus-menerus untuk menilai berbagai
perubahan yang telah terjadi agar tetap adaptif terhadap tuntutan perubahan yang
terjadi di masyarakat, serta berbagai inovasi yang terus berakumulasi yang perlu
mendapat perhatian dari lembaga pendidikan. Hall dalam Kim E Dooley (Jurnal
Educational Technology & Society 2(4) 1999, www.careo.org) menyatakan:
"Change is a process rather than an event and should be examined by
the various motivations, perceptions, attitudes, and feelings experi-
enced by individuals in relation to change. Change entails an Unfold-
ing of experience and a gradual development of skill and sophistica-
tion in use of an innovation. An individual's concerns can move in
developmental progression from those typical of non-users of an inno-
vation to those associated with fairly sophisticated use.

Perubahan dalam konteks proses memerlukan motivasi, persepsi, sikap dan


perasaaan yang positif terhadap perubahan, sehingga inovasi yang berkembang
dapat menjadikan organisasi terus tumbuh dan berkembang dengan dukungan
SDM yang sensitif dan tanggap terhadap perubahan dengan dukungan
manajemen organisasi yang mendorong pada tumbuh dan berkembangnya
pembelajaran dalam organisasi (Learning Organization).

I. Model-model Inovasi Pendidikan


Bagaimana suatu inovasi dilaksanakan dalam dunia pendidikan merupakan hal
penting yang perlu diperhatikan, hal ini rnengingat karakteristik yang khas yang
ada dalam lembaga pendidikan yang berbeda dengan bida ngbidang lainnya.
Untuk itu diperlukan model-model yang dapat membantu dalam pengembangan
inovasi yang sesuai dengan semangat serta karakteristk dunia pendidikan.
Berikut ini ada beberapa model inovasi pendidikan (Ibrahim, 1988: 177) yang
dapat membantu melihat secara lebih sistematis tentang inovasi pendidikan yang
dapat dipertimbangkan untuk diterapkan yaitu:

a. Model Penelitian, Pengembangan, dan Difusi (Research -Development -


Diffusion Model - RD and D Model)
Model inovasi ini cukup sederhana, tetapi nempunyai pengaruh yang sangat besar
bagi pengembangan pendidikan. Model inovasi ini berdasarkan pemikiran
bahwa setiap orang tentu memerlukan perubahan, dan unsur pokok dari
perubahan ialah penelitian, pengembangan, dan difusi. Agar benar-benar
diketahui dengan tepat permasalahan yang dihadapi serta kebutuhan yang
diperlukan, maka langkah pertama yang harus dilakukan dalam usaha
mengadakan perubahan pendidikan ialah melakukan kegiatan penelitian
pendidikan. Hasil penelitian kemudian dikembangkan ke dalam bentuk yang
lebih operasional agar dapat lebih mudah diterapkan, barn sesudah itu
dilakukan difusi inovasi melalui kegiatan komunikasi melalui berbagai saluran
yang memungkinkan dengan memperhatikan berbagai nilai-nilai sosial yang
berlaku di lingkungan di mana inovasi itu akan diterapkan.
b. Model Pengembangan Organisasi (Organization Development Model)
Model ini lebih berorientasi pada organisasi daripada sistem sosial. Model ini
berpusat pada sekolah atau sistem persekolahan. Model Pengembangan Organisasi ini
berbeda dengan Model Pengembangan dan Difusi. Model Penelitian
Pengembangan dan Difusi (RD dan D) lebih tepat digunakar untuk penyebaran
inovasi pada tingkat regional atau nasional, karena penelitian pendidikan lebih
tepat jika dilakukan pada tingkat regional atau nasional. Sedangkan Model
Pengembangan Organisasi lebih tepat digunakar untuk penyebaran inovasi pada
suatu sekolah, karena sekolah merupakan suatu organisasi. Kedua model ini
merupakan alai yang d i gu n a k a n u n t uk m e n a n ga n i d u a h a l ya n g
b e r b e d a , j u ga u n t uk memecahkan permasalahan pernbaruan pendidikan
yang berbeda pula. Model Pengembangan Organisasi atau Organization
Developement (OD), juga berorientasi pada nilai yang tinggi, artinya model ini
juga mendasarkan pada filosofi yang menyarankan agar sekolah atau sistem
persekolahan jangan hanya diberi tahu tentang inovasi pendidikan, d an
disuruh menerimanya, tetapi sekolah hendaknya mampu mempersiapkan diri untuk
memecahkan sendiri masalah pendidikan yang dihadapinya. Sekolah harus
menjadi organisasi yang sehat yang memahami persoalan yang dihadapi, dapat
merumuskan permasalahan yang dihadapi, serta mampu untuk m encipt akan
cara mem ecahkan permasalahan itu sendi ri dengan mengorganisir berbagai
macam sumber yang ada dalam organisasi itu sendiri atau dengan bantuan ahli dari
luar organisasasi, dan juga mampu menemukan cara bagaimana menerapkan inovasi
serta manilai hasil yang telah dicapai.
c. Model Konfigurasi (Configurational Model = CLER Modeb
Model Konfigurasi (Configurasitional Model) atau disebut juga konfigurasi teori
difusi inovasi yang juga terkenal dengan istilah CLER model, ialah pendekatan
secara komprehensif untuk mengembangkan strategi inovasi (perubahan pendidikan)
pada situasi yang berbeda. Ini adalah model umum atau model komprehensif karena
memungkinkan adanya klasifikasi atau penggolongan dari situasi perubahan. Model
ini menekankan pada batasan tentang serangkaian situasi perubahan pada waktu
tertentu. Model CLER ini menarik bagi kedua pihak, baik bagi inovator maupun
bagi penerima (adopter). Bagi inovator, menggunakan model ini untuk
meningkatkan kemungkinan diterimanya inovasi, sedangkan bagi penerima
inovasi, m enggunak a n m odel i ni dapat m e ya ki nkan b ahwa i novasi ya n g
diterimanya benar-benar sesuatu yang dibutuhkan. Menurut model konfigurasi
kemungkinan terjadinya difusi inovasi tergantung pada 4 faktor yaitu: (1)
Konfigurasi artinya menunjukkan bentuk hubungan innovator dengan penerima dalam
konteks sosial atau hubungan dalam situasi sosial dan politik. (2) Hubungan (linkage)
yaitu hubungan antara para pelaku dalam proses penyebaran inovasi. (3) Lingkungan,
bagaimana keadaan lingkungan sekitar tempat penyebaran inovasi.(4) Sumber
(resources), sumber apakah yang tersedia, baik bagi innovator maupun penerima dalam
proses transisi penerima inovasi.

J. Inovasi Pendidikan di Indonesia


Dunia pendidikan di Indonesia tidaklah sepi dari berbagai inovasi yang dicoba
untuk diimplementasikan bagi peningkatan kualitas pendidikan, namun
sebagaimana dikemukakan Abdul Azis Wahab, guru besar dalam mata kuliah
Inovasi Pendidikan di UPI, bahwa inovasi pendidikan di Indonesia pendekatannya
bersifat top-down, dari atas ke bawah. Pendekatan yang demikian tampaknya bisa
dipandang sebagai proses keputusan inovasi otoritas sebagaimana dikemukakan
Rogers (1983), di mana penentu substansi inovasi tidak melibatkan banyak
pihak Berta terlalu berada pada tataran makro. Hal ini berdampak pada
implementasi di lapangan yang cenderung makin lemah seiring dengan makin
rendahnya tingkatan/tataran pendidikan, serta makin jauhnya satuan pendidikan
secara geografis dari pusat pembuat keputusan inovasi.
Meskipun diakui sulitnya melakukan perubahan, namun upaya untuk melakukan
perbaikan terus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan yang
inovatif, baik pada tataran sistem, tataran institusi, manajerial, maupun
tataran teknis. Lahirnya Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 telah
mendorong dilakukannya reformasi di bidang pendidikan. Pada tataran
institusi dan manajerial, penerapan Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu
upaya untuk memberikan otonomi dan kewenangan pada sekolah dalam
melaksanakan proses pendidikan. Dengan kewenangan ini sekolah dapat
memuat kebijakan yang otonom dalam meningkatkan kualitas pendidikan,
sehingga suasana ini diharapkan dapat mendorong partisipasi dan inovasi.
Di samping itu, lahirnya aturan-aturan sebagai penjabaran dari Undang-
Undang Sisdiknas menggambarkan tetrad dan upaya yang kuat untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan melalui penataan
keorganisasian, peningkatan profesionalisme SDM pendidikan, kurikulum serta
dorongan untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran.

K. Peran Guru dalam Inovasi Pendidikan


Dalam tataran teknis implementasi, kebijakan yang inovatif dalam bidang, pendidikan,
pada akhirnya akan sangat ditentukan oleh kompetensi praktisi pendidikan dalam
melaksanakan program/kebijakan tersebut. Dengan demikian, dalam dunia
pendidikan/sekolah, inovasi dan sikap serta kinerja inovatif dari pendidik sangat
diperlukan dan menentukan bagi keberhasilan adopsi dan implementasi inovasi
pendidikan.
Lebih sulitnya adopsi inovasi oleh pendidik dibanding oleh adminis trator
(House, 1974), tidak berarti inovasi pendidikan tidak dapat berjalan sama sekali.
Karakteristik dan kompetensi guru yang bervariasi, serta budaya organisasi
sekolah yang juga berbeda-beda antarsekolah, memberi kemungkinan akan terjadinya
suatu implementasi inovasi yang baik sesuai dengan kondusifitas karakteristik dan
kompetensi individu serta lingkungan organisasi sekolah yang kondusif terhadap
perubahan. Menurut Dooley (1999) banyak guru melakukan inovasi namun
mereka kurang melakukan penilaian akan efektivitas dari inovasi tersebut, ini
mengindikasikan bahwa kompetensi guru perlu terus ditingkatkan agar dalam
menghadapi dan menerapkan inovasi dapat mengkajinya secara matang, dan kalau
memang kurang efektif mereka harus berani kembali ke posisi awal, sikap ini menurut
Rogers (1983) merupakan ciri inovator.
Perubahan yang terjadi dalam tataran struktur tidak akan cukup untuk menjadikan
proses pendidikan di sekolah berubah dan inovatif, apabila tidak terjadi
perubahan dalam sikap sumber daya pendidikan di dalamnya; dan dalam konteks
teknis, tanpa perubahan sikap guru atas perubahan dan inovasi, sebagaimana
dikemukakan oleh Purkey and S mi th (1983,www.careo.org) sebagai berikut:
"change in schools means changing attitudes, norms, beliefs, and values
associated with the school culture. Researchers have found particular
cultural norms that can facilitate school improvement. Norms such as
introspection, collegiality, and a shared sense of purpose or vision combine
to create a culture that supports innovation".

Dengan demikian perubahan sikap dari SDM Pendidik, norma, kolegialitas amat
diperlukan agar organisasi sekolah dapat benar-benar berorientasi pada
perubahan dan kondusif bagi inovasi pendidikan.
Guru mempunyai peran yang menentukan dalam tataran teknis pendidikan
yaitu pembelajaran. Perkembangan yang terjadi di era global dewasa ini sudah
tentu perlu diantisipasi melalui kinerja inovatif dalam menciptakan proses
pembelajaran di kelas. Hasil penelitian yang dilakukan SMASSE INSET
(www.adeanet.org, 2005) menyimpulkan bahwa ketidakefektifan praktik
pembelajaran di kelas disebabkan salah satunya oleh faktor guru sebagai berikut:
a) Poor mastery of content, lack of basic practical skills and
innovativeness, poor teaching methods and generally neutral attitude
manifested in theoretical, teacher-centred approach to teaching,
failure to plan their work, missed lessons, lateness and unmarked exercises
in the students' books.
b) Generally low morale which is attributed to poor remuneration,
working conditions and unsupportive school administrators.

Kurangnya penguasaan isi materi pembelajaran, keterampilan dan


keinovatifan menunjukkan masih perlunya upaya peningkatan kualitas
pendidik. Hal ini memerlukan sikap positif guru terhadap perubahan dalam
melaksanakan tugasnya. Proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas mesti
diperbaiki terus-menerus, sehingga pola kerja rutin perlu ditingkatkan menjadi pola
kerja yang inovatif sebagai upaya untuk menghadapi dan mengantisipasi
perubahan global yang juga menerpa dunia pendidikan. Peningkatan kualitas
kinerja guru menjadi inovatif akan mendorong pada proses pembelajaran yang
inovatif pula, sehingga para siswa pun akan menjadi orang yang mampu
menyesuaikan diri secara terus -menerus dengan lingkungan yang berubah
cepat. Kemampuan ini jelas amat penting bagi siswa/output pendidikan dalam
meningkatkan kapabilitas bersaing, kerena "survival in the fast changing world
may well depend on the ability of pupils to develop skills in adaptation, flexibility,
cooperation and imagination" (Whitaker, 1993: 5).
Dengan demikian, peran guru dalam melaksanakan tugasnya perlu
m em pun ya i k em a m pu an i no v at i f d al am m en i n gk at k a n ku al i t a s
pembelajaran, sehingga hasil pendidikan akan mampu menghadapi era global
yang penuh persaingan. Menurut Colin Gibbs (2003) untuk menjadi guru yang
efektif dewasa ini, diperlukan atribut-atribut berikut:
Survival. Teachers need to be able to survive the demands, threats and
challenges within the diverse circumstances of teaching. This is
particularly true, but obviously not exclusively so, for beginning
teachers.
Resilience and persistence. Teachers need to be resilient and persistent,
even when the odds seemed stacked against them.
Innovativeness. Teachers need the capacity for innovativeness, to be
prepared to generate new solutions and take on new teaching
approaches, and be willing to risk failure (Gibbs 2000).
Sementara itu, dengan merujuk pada pendapat Pullias dan Young, Mannar
serta Yelon dan Weinstein, Mulyasa (2005: 87) mengidentifikasi peran guru sebagai
berikut, yaitu: pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaru
(inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas,
pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor,
emansipator, evaluator, pengawet, dan kulminator. Masuknya peran inovator di
atas menggambarkan bahwa guru tidak cukup hanya menjalankan tugasnya secara
rutin, namun pembaruan/ inovasi menjadi tuntutan yang harus terns
dikembangkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Moh. Surya (2004: 5-6),
bahwa tantangan globalisasi dalam tingkatan operasional pendidikan menuntut
peningkatan kualitas profesi guru sebagai pelaku pendidikan yang berada di
front terdepan melalui interaksinya dengan peserta didik. Untuk itu guru harus
profesional dalam menjalankan tugasnya. Profesionalisme guru akan tercermin dalam
perwujudan kinerjanya yang secara ideal akan terkhat dalam lima hal
berikut:
1. guru yang memiliki semangat juang yang tinggi disertai kualitas
keimanan dan ketakwaan yang mantap
2. guru yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan
dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek
3. guru yang memiliki kualitas kompetensi pribadi dan profesional yang
memadai disertai etos kerja yang kuat
4. guru yang memiliki kualitas kesejahteraan yang memadai
5. guru yang kreatif dan berwawasan masa depan

Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad ke-21 pendidikan akan


mengalami pergeseran/perubahan paradigms yang meliputi: (1) dari belajar terminal
ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke
belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke
citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang m e n e k a n k a n p e n g e t a h u a n
s k o l a s t i k ( a k a d e m i k ) k e p e n e k a n a n keseimbangan fokus pendidikan nilai,
(5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buta teknologi,
budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan
dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama.
Dengan memerhatikan pendapat ahli tersebut, tampak bahwa pendidikan
dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan cumber days manusia yang
berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.
Galbreath, dalam Ani M. Hasan (2003) mengemukakan bahwa
pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan
(globalisasi) adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara
pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.
Praktik pembelajaran di abad pengetahuan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan
Guru sebagai kawan belajar
Belajar diarahkan oleh siswa kulum.
Belajar secara terbuka, ketat dengan waktu yang terbatas, fleksibel
sesuai keperluan
Terutama berdasarkan proyek dan masalah
Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survey
Penyelidikan dan perancangan
Penemuan dan penciptaan
Kolaboratif
Berfokus pada masyarakat
Hasilnya terbuka
Keanekaragaman yang kreatif
Komputer sebagai peralatan semua jenis belajar
Interaksi multi media yang dinamis
Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia
Unjuk kerja diukur oleh pakar, penasihat, kawan sebaya, dan diri
sendiri.
Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa di abad
pengetahuan menginginkan paradigms belajar melalui proyekproyek dan
permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan menciptakan.
Praktik pembelajaran Abad Pengetahuan memerlukan upaya
perubahan/refo rmasi pembelajaran, melalui cara -cara baru pembelajaran
yang akan lebih efektif. Praktik pembelajaran di Abad Pengetahuan
(Knowledge Society) tampaknya lebih sesuai dengan arah yang diinginkan oleh
Sistem Pendidikan Nasional, meskipun bukan dengan mengganti cara yang positif
yang sudah dijalankan dewasa ini, dan di sinilah peran kreativitas guru untuk
melaksanakan kinerja inovatif dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Memang diakui bahwa pada abad dan masyarakat pengetahuan
tampaknya praktik pembelajaran cenderung banyak menggunakan piranti-piranti
pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi. Namun demikian,
meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalisator yang
penting yang membawa kita pada cara pembelajaran di Abad pengetahuan,
tapi yang perlu menjadi perhatian utama adalah ba gai m ana hasil nya dan
bukan al atn ya. Guru dapat m elengkapi pelaksanaan proses
pendidikan/pembelajaran dengan teknologi canggih tanpa sedikit pun membawa
dampak pada hasil pendidikan yang diperoleh peserta didik. Di sini yang penting
adalah bagaimana pelaksanaan peran dan tugas guru dapat memberikan nuansa
barn bagi pengembangan dan peningkatan proses pendidikan dengan atau
tanpa bantuan teknologi modern, dan ini jelas memerlukan kreativitas dan kinerja
inovatif dari guru dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan/pembelajaran tersebut.
Berdasarkan gambaran pembelajaran di abad pengetahuan di atas, tampak
bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai
tantangan ini, maka pengembangan profesionalisme guru merupakan suatu
keharusan, sehingga dengan berlakunya UU No 14 tahun 2005 dapat di pandang
s ebagai upaya unt uk l ebi h m eningkatk an profesionalisme pendidik serta
memposisikan profesi pendidik/guru dalam status terhormat dan setara dengan
profesi lainnya. Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada
penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi
penerapannya. Meister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan
sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,
pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi, bukan hanya
memiliki keterampilan yang tinggi melainkan memiliki suatu tingkah laku
yang dipersyaratkan.
Tuntutan profesionalisme guru memerlukan upaya untuk terus
mengembangkan sikap profesional, melalui peningkatan kapasits guru agar makin
mampu mengembangkan profesinya dalam menjalankan tugarnya di sekolah.
Menurut Roland S. Barth (1990:49), pengembangan kemampuan untuk terus
melakukan modifikasi dalam pembelajaran menuntut pengembangan
profesional guru yang terus-menerus, serta kinerja inovatif, sehingga guru dapat
berperan sebagai agen pembelajar dalam konteks pelaksanaaan tugasnya di
sekolah. Pengembangan ini mensyaratkan perlunya guru mempunyai
kualifikasi dan kompetensi yang dapat menunjang proses tersebut, serta
didukung oleh situasi organisasi (kultur dan struktur organisasi) sekolah yang
kondusif, sehingga pengembangan tersebut tidak hanya berdimensi pribadi guru
itu sendiri namun juga didukung oleh manajemen yang kuat dan konclusif bagi
pengembangan profesi tersebut, serta bagi tumbuhnya budaya dan iklim inovasi
dalam proses pencliclikan di sekolah.
Dalam upaya untuk mendorong makin tumbuhnya inovasi di kalangan guru,
terdapat beberapa langkah/tahapan yang amat penting untuk dikondisikan
dalam suatu organisasi sekolah, adapun tahapan-tahapan tersebut:
Guru sebagai Pembelajar (Learner). Dalam tahapan ini guru didorong
untuk meningkatkan kemampuan belajar berbagai pengetahuan,
terutama yang berkaitan dengan penggunaan teknologi modern dalam
proses pembelajaran. Kondisi ini akan mendorong perbaikan dalam pemahaman
tentang teknologi dan bagaimana menggunakannya dalam konteks peningkatan
kualitas pembelajaran. Situasi demikian diharapkan nantinya akan
mendorong sikap keterbukaan.
Guru sebagai Pengadopsi (Adopter). Belajar pada dasarnya akan mendorong
pada perubahan, dengan perubahan timbul kesiapan berubah dan terbuka
terhadap perubahan, sehingga bersedia dan siap melakukan adopsi atas
sesuatu hal baru, baik dalam bentuk ide maupun teknologi serta
mengimplementasikannya dalam meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pekerjaannya sebagai pendidik, serta dapat mengambil pelajaran
dari hal baru tersebut.
Guru sebagai Pengembang (Developer). Pengaclopsian hal baru yang clatang
dari luar individu guru tersebut yang kemudian dlimplementasikan dalam
kegiatan kerja jelas akan member banyak pelajaran dari berbagai masalah
yang dihadapinya dalam pengimplementasian tersebut, sehingga guru
akan terdorong untuk mengembangkannya melalui langkah kombinasi,
ataupun penyederhanaan dan perluasan yang semua itu menunjukkan
meningkatnya kemampuan untuk mengembangkan hal baru agar selalu
bersifat kontekstual dengan kebutuhan.
Guru sebagai Pencipta (Creator). Posisi ini merupakan posisi yang
paling penting untuk dimiliki oleh guru, di mana pengalaman dalam hal-hal
tersebut di atas mengendap sehingga tumbuh perspektif baru sehingga
tumbuh kemampuan untuk mencipta hal-hal baru dalam memperbaiki
pelaksanaan kerja sebagai pendidik dan pengajar di sekolah.

Tahapan-tahapan tersebut tidak mesti bersifat hirarkis, sebab bisa saja dalam waktu
bersamaan seorang guru berada pada lebih dari satu posisi. Namun sem ua i t u
perl u di dasark an p ada proses p em bel aj aran ya n g ber kesinambungan,
yang penting dalam mendorong proses tersebut adalah menciptakan kondisi,
iklim dan budaya sekolah yang kondusif bagi terjadinya tahapan-tahapan
tersebut (Manajemen Inovasi), sehingga potensi kreatif dengan gradasi kadar yang
bervariasi dapat terus berkembang dan makin meningkat menuju guru kreatif dan
sekolah inovatif.
L. Rangkuman
Inovasi merupakan kebutuhan organisasi untuk tetap survive dalam
perkembangan dewasa ini. Oleh karena itu, seluruh SDM dalam organisasi perlu
melakukan positioning yang tepat dan proaktif terhadap tantangan perubahan. Hal
itu juga berlaku dalam bidang pendidikan, di mana inovasi pendidikan harus menjadi
consem utama dalam era perubahan dewasa ini, dan dalam konteks tersebut peran
guru akan sangat menentukan bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Oleh karena
itu, dukungan organisasi sekolah dan manajemen pendidikan menjadi suatu fondasi
penting untuk berkembangnya inovasi pendidikan dalam tataran teknis pendidikan.
M. Review
Lakukan analisis dan penjelasan berdasarkan materi yang sudah dipelajari atas
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Jelaskan makna inovasi.
2. Jelaskan macam-macam karakteristik inovasi.
3. Jelaskan makna adopsi inovasi.
4. Jelaskan tentang keinovatifan (innovativeness).
5. Jelaskan sumber-sumber inovasi.
6. Jelaskan macam-macam model inovasi.
7. Jelaskan makna inovasi pendidikan.
8. Jelaskan model-model inovasi pendidikan.
9. Jelaskan inovasi pendidikan di Indonesia.
10. Jelaskan peran guru dalam inovasi pendidikan.
Daftar Pustaka

Adams Don dan David Chapman. 2002. The Quality of Education: Dimensions and
Strategies. Asia Development Bank.
Adams, D. 1998. Defining Educational Quality: Educational Planning. Jurnal
Educational Planning, 11(2) 3-18).
Agustian, Ary Ginanjar 2003) Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ POWER, Sebuah
Inner Journey Melalui Ihsan. Jakarta: Arga.
Alan Rugman. 2000. The End of Globalization. Random Haose.
Alan, Thomas J. (1971). The Productive School: A System Analysis Ap-
proach to Educational Administration. New York: John Willey &
Sons, Inc.
American Association for the Advancement of Science. (1998). School
Organization. http://www.aaas.org/>American Association. (12 Mei 2006)
American Association for the Advancement of Science,1997. http://
www.aaas.org (10 Mei 2006)
Andrew Mayo. (2001) The Human Value of the Enterprise Valuing People As
Assets Monitoring, Measuring, Managing. London: Nicholas Brealey Publishing.
Anwar, Idochi, dan Yayat Hidayat Amir, (2000). Administrasi Pendidikan,
Teori, Konsep, dan Issu. Bandung: Program Pasca Sarjana UPI. Arcaro, Jerome S.
(2005) Pendidikan Berbasis MLA. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Argyris, Chris. (1999). On Organizational Learning. 2nd edition, NAalden,
Massachusetts, Blackwell Publisher.
Armstrong, Michael. Tt. How to be a Better Manager. Kogan Page. Asnawi
Sahlan. 1999. Aplikasi Psikologi dalam Manajemen emen Sumber Daya Manusia
Perusahaan, Jakarta: Pusgrafin.
11. Atmodiwirio, Soebagio. (2000). Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta:
Ardadizya Jaya
Bacal, Robert. 2001: Perfonmance Management, terj. Surya Darma. Jakarta: Gramedia.
Bachman, Edmund. 2005. Metode BeiajarBerpikirKritis dan Inovatif. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Bagia, I Wayan. 2005, Pengaruh Modal Intelektual dan Kepuasan Kerja terhadap
Kinerja Pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten di Propinsi Bali, Disertasi, PPS
Unpad, Bandung
Barth, Roland S. 1990. Improving School from Within. San Francisco: JosseyBass.
Baumgartner, Jeffrey. 2004. Communication and Innovation, www.jpb.com (3 Juli
2007)
--------------------- 2004. Individual versus Organizations Innovation,
www.jpb.com (3 Juli 2007)
------------------------ . 2007. Being innovative in a big company, www.
innovationtools.com (3 Juli 2007)
--------------------.2007. Framework Innovation And Detail Innovation, (http://
www.jpb.coW 5 Sept. 2007
Beck Klaus. 1997. Organizational Learning http://www.sfb504.
unimannheim.de /glossary/orglearn.htm (10 Mei 2006)
Beck Lynn G. dan Murphy, Joseph. (2000). The Four Imperatives of Successful
School. Corwin Press, Inc. California
12. Becker, Brian E., Mark A. Huselid, and Dave Ulrich. (2001). The HR
Scorecard Linking People, Strategy, and Performance. Boston: Harvard Business
School Press.
Beeby, C. E. 1981. Pendidikan di Indonesia. Jakarta: LNES.
Berger, Ron.] 997. Building School Culture of High Standard, www.
newhorizon.org (7 Agustus 2007)
Betts, Jullian R. 1999. Returns to Quality of Education, Departement of Economics.
University of California: San Diego,
Blazcy, Mark L., Karen S. Davison, and John P. Evans. (2001). Insights to
Performance Excellence in Education. Milwaukee: ASQ Quality Press.
Boone, Louis E., David L Kurtz. 1984. Principles of Management. New York:
Random House.
Boulter, Nick, Murray Dalziel, and Jackie. 2003. The Art of HRD, People , and
Competence. Terj. Jakarta: Gramedia.
Bowitz Joy Lie. (1999). Knowledge Management Hand Book. Wahington D.C: CRC
Press, Boca Raton.
BPS Statistik Indonesia. (2004). Indonesia Human Development Report 2004 the
Economies of Democracy.
Bradford David L. and Allan R. Cohen. 1997. Managing for Excellence, The Guide
To Developing High Performance In Contemporary Organization. John Willey
and Son. New York
Braham, Barbara J. 2003. Creating A Learning Organization, terj. Zalzu I ifa, Elex
Media Komputindo, Jakarta
Bridges, William. (2003). Managing Transitions. Terj. Jakarta: Buana Ilmu Populer.
Broome, Gina Hernez., Richard L. Hughes. 2007. Leadership Development: Past,
Present, and Future, Center for Creative Leadership, Journal of Human
Resources Planning. 24-32 www.ccl.ledership deve-lopment.com (6 Pebruari
2008)
Brown, Rexford. 2004. School Culture and Organization, www.dpskl 2.org. (7 Agustus
2007)
Buchori, Mochtar. (1995). Transformasi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
Buckman, Robert H. 2004. Building A Knowledge Driven Organization. New
York: McGraw Hill.
Burgard, Jeffrey J. 1996. Continuous Improvement in the Science Classroom.
Milwaukee: ASQ Quality Press.
Burhanudin, Yusak. 1998. Administrasi Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia. Bush,
Tony. 2006. Theories of Educational Management, www.cnx.org (7 september
2007)
and Marianne Coleman. (Eds). 2006. Leadership and Strategic
Management in Education. ter). Fachrurrozi. Jogyakarta: IRCISoD.
Butler, Jocelyn A., Kate M Dickinson, 1987. Improving School Culture, School
Improvement Research Series, www.nwrl.org (7 Agustus 2007).
Caldwell, Brian J., and Jim M. Spinks. (1992). Leading the Self Managing
School. Washington DC: The Falmer Press.
Cascio, Wayne F. 2006. Managing Human Resource, New York, McGraw Hill
Connell, Hellen. 2003. Reforrnasi Pendidikan. terj. Solicha. Jakarta: Logos
Wacana IlrnU.
Cooper, Keneth Carlton. 2000. Effective Competent' Modeling and Reporting.
Washington D.C.: Amacom.
Cooper, Robert K., dan Aymara Sawaf. 2000. Kecerdasan Emasional dalam
Kepemimpinan dan Organisasi, Terjemahan Alex Tri. Jakarta:
Gramedia.
Crawford Megan, Lesley Kydd, and Colin Riches. 2005. Leadership and
Teams in Educational Management. terj. Suratina D. Hapsari, Jakarta:
Grasindo.
Cunningham, Ian. 1994. The Wisdom of Strategic Learning, New York.
McGraw-Hill Book Company
Cuttance, Peter, (ed.). 2001. School Innovation, Pathway to the Knowledge Society,
Department of Education, Australia, www. dest. govt. au (akses agustus 2007)
Danim, Sudarwan (2002) Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan
Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
________ 1999. Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bina aksara.
________ 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Davenport,
Thomas H. (1996). Inovasi Proses Rekayasa Ulang Pekerjaan
Melalui Teknik Inovasi. terj. Harvard Business School Press dan
Bina Rupa Aksara.
David Chapman dan Carol A Carrier. 1990. Improving Educational Quality: A
Global Perspective. Greenwood Publishing Group, incorporated.
Davis, Keith, John W. Newstorm. 1985. Perilaku dalam Organisasi. Terj, Agus
Dharma. Jakarta: Erlangga.
Davis, Stephen et al. 2005. School Leadership Study, Developing Successful
Principals, The Wallace Foundation, Stanford Educational Leadership
Institute, www.srnlead.org. (akses 6 sept 2007)
Decenzo, David A., Robbins, Stephen P. 1999. Human Resource Management.
New York: John Willey and Sons, Inc.
DeGraff, Jeff., Katherine A. Lawrence. 2003. Creativity at Work, Developing the
Right Practices to Make Innovation Happen. University of Michigan Business.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kompetensi Guru Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama. Bahan Rujukan Pelatihan Terintegrasi
Berbasis Kompetensi. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
Lanjutan Pertama, Jakarta.
Depdikbud. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas
Dirjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
2004. Pedoman Pengembangan Sekolah Standar Nasional,
Depdiknas Dirjen Dikti Direktorat Ketenagakerjaan. 2007. Pedoman
Penyusunan Usulan dan Laporan Pengembangan Inovasi
Pembelajaran di Sekolah Tahun 2007.
Depdiknas Dirjen Dikti Direktorat Ketenagakerjaan. (2007). Pedoman
Penyusunan Usulan dan Laporan Pengembangan dan Peningkatan
Kualitas Pembelajaran LPTK (PPKP) Tahun Anggaran 2007.
Dessler, Gary. 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia, Terj. T.
Iskandarsyah, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Prenhallindo.
Dibbon, David C., Katina Pollock. 2004. The Nature of Change and Inno-
vation in Five Innovative School, The Innovation Journal, Public
Sector Journal, vol 12. www.innovation.ce. 0 3 Agustus 2007) Dimyati,
Mudjiono. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Direktorat
Ketenagakerjaan, Dirjen Dikti Depdiknas. 2007. Pengembangan
Inovasi Pembelajaran.
Ditkoff, Mitchel. 2001. Qualities of Innovation, www.thinksi-narL.com. (13
Agustus 2007)
Dooley, Kim E. (1999) Educational Technology and Society 2 (4) (1999),
www.careo.org,
Dunn, Lemoyne Luette Scott. 2004. Cognitive Playfulness, Innovativeness, and
Belief of Essentialness: Characteristics of Educators who have the Ability to
make enduring changes in the integration of technology into the classroom
environment. Center for Educational Technology, University of North
Texas, disertasi www.unt.edu (akses September 2006).
Effendi, Sofian. 2007. Pendidikan di Era Globalisasi. Koran Seputar Indonesia (13
Maret 2007).

Elmore, Richard F. 2000. Building a New Structure For School Leadership, The Albert
Shanker Institute, www. Shanker Institute.org. (akses 6 Sept. 2007).
Engkoswara, 2001. Paradigms Manajemen Pendidikan Menyongsong Otonomi
Daerah. Bandung: Yayasan Amal Keluarga.
. 2002. Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan,
Cetakan Pertama. Bandung: Yayasan Amal Keluarga.
Etzioni, Amitai (1985). Organ isasi-Organ isasi Modem, terj. Suryatim. Jakarta: Ul Press.
Fajar, Malik, et al. 2001. Plat Form Reformasi Pendidikan dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Logos.
Farago, John, David Skyrme. 2003. The Learning Organization. Jurnal Insight No 3.
http://www .skyrme.com /insights /31rnorg.htm (10 Mei 2006).
Fattah, Nanang. 1999. Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda
Karya.
. (2004). Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan
Sekolah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
Feinberg, Mortimer R. 1979. Effective Psychology for Managersterj. Turman Sirait,
Jakarta: Prakasa Satria Utama.
Ferrier, John D. 1998. An Investigation Into The Diffusion of Innovation in Technical
and Further Education, www.w3.org. Disertasi, Deakin University (akses 15
September 2006)
Fitz-enz Jack, and Barbara Davison. 2002. How to Measure Human Resource
Management New York: McGraw Hill.
Fullan, Michael, (ed.). 1997. The Challenge of school change. Australia, Hawker
Brownlow.
Fullan, Michael, and Suzanne Stiegelbaver. 1991. The New Meaning of
Educational Change. New York: Teacher College Press. Furgon. 2001.
Statistika Terapan untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta. Furtwengler, Dale. 2002.
Penilaian Kinerja, terj. Fandy Tjiptono. Yogyakarta:
Andi Offset.
Gamble, Paul R., and John Blackwell. 2002. Knowledge Management: A State of the
Art Guide, London: Kogan Page.
Gardiner, John Jacob. 2006. Transactional, Transformational, And Transcendent
Leadership: Metaphors Mapping The Evolution Of The Theory
And Practice of Governance, Leadership Review, Vol. 6, 2006
www.Ieaders1preview.org (6 September 2007)
Gardner, John W. 1981. Self Renewal, the Individual, and the Innovative. New York:
W.W. Norton and Company.
Gaynor, Gerrard H. 2002. Innovation by Design. Washington D.C.: Amacom.
Gibbs, Colin. 2003. Explaining Effective Teaching: Self-efficacy and Thought Control
of Action, Journal of Educational Enquiry, Vol. 4, No. 2, 2003 (12 September
2006)
Gibson, James L., et al. 1996. Organization, Perilaku, Struktur, Proses. Terj.
Nunuk Andiarni, jilid 1 dan 2. Jakarta: Binarupa Aksara.
Glueck, William F. 1982. Personnel, A Diagnostic Approach. Texas: Busi-
ness Publication. Inc.
Goleman, Daniel. 1999. Emotional Intelligence, Terj. T. Hermaya, Jakarta: Gramedia.
1999, Working With Emotional Intelegence, Terjemahan Alex Tri Kuntjoro.
Jakarta: Gramedia.
Goleman, Daniel. 2006. The Socially Intelegent Leader, www.ASCD.org (7
Agustus 2007).
Gredler, Margaret E. 1986. Learning and Instruction, Theory into Practice. New York:
McMillan Publishing Co.
Greene, Charles N. 1985. Management for Effective Performance. New Jersey:
Prentice Hall.
Grimston, Malcolm. 2006. A Councillor's Guide to Performance Management, the
Performance, Management, Measurement and Information Project, 2111
edition, Audit Commission, www.idea.gov.uk (akses 9 Februari 2008)
Grote, Dick. 2002. The Performance Appraisal Question and Answer Book. Washington
D.0 : AMACOM.
Gupta, Vipin Ian C. MacMillan and Gita Surie. 2004. Entrepreneurial Leadership:
Developing and Measuring a Cross-Cultural Construct journal of Business
Venturing, Elsevier Inc., 19 (241-260), www. leadershipreview.org. (11
September 2007)
Hagenson, Lara Catherine. 2001. The Integration of Technology into Teaching
Oklahoma State University, Oklahoma, Thesis. (akses 6 Sept. 2006)

Hall, Doug. 2004. 3 Metode Canggih Melejitkan Kreativitas Bisnis. Terj. Bandung:
Kaifa.
Hall, Mark L. Lengnick., Hall, Chyntia A. Lengnick. 2002. Human Re source
Management in the Knowledge Economy. San Francisco: Berrett Koehler
Publishers, Inc.
Hall, William C. 1995. Key Aspects of Competency Based Assessment.
Adelaide: Department of Employment Education and Training. Hamalik Oemar.
2003. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan
Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara.
. (2000). Pengembangan Sumber Daya Manusia, Manajemen Pelatihan
Ketenagakerjaan Pendekatan Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.
Hamond, Linda Darling. 2006. Powerful Teacher Education, Lessons from Examplary
Programs. San Francisco: Jossey Bass.
Hamond, Linda Darling, and Gary Sykes. 1999. Teaching As the Learning Profession,
Handbook of Policy and Practice. San Francisco: Jossey Bass.
_______ . Arthur F. Wise, Stephen P. Klein. 1999. A License to Teach
Raising Standards for Teaching. San Francisco: Jossey Bass. Hamond, Linda
Darling, John Bransford. 2005. Preparing Teachers for A
Changing World What Teachers Should Learn and Be Able to Do.
San Francisco: Jossey Bass.
Hargreaves, Andy. 2003. Teaching in the Knowledge Society, Education
in the age of Insecurity. Philadelphia: Open University Press. Hasan, Ani M.
2003. Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad
Pengetahuan, Nama dan E-mail: Ani M.Hasan (10 Mei 2006) Hatori, Ruth Ann.,
Joyce Wycopp. 2002. Innovation DNA, www.
thinksmart.com. (13 Agustus 2007)
Hautala, Tiina M. 2005. Personality and Transformational Leadership: Per-
spectives of Subordinates and Leaders, Acta Wasaensia No. 145,
Business Administration 61 Management and Organization, Uni-
versitas Wasaensis, www.lifas.uwasa.fi, (akses 6 Sept. 2007) Havelock, Ronald
G., Zlotolow, Steve. 1995. The Change Agent's Guide,
2 n' Edition. New Jersey: Educational Technology Publications
Englewood Cliffs.
Hayman, Irwin A., Snook, Pamela A. 1999. Dangerous Schools, What We Can Do
about the Physical and Emotional Abuse of Our Children. San Francisco:
Jossey Bass Publishers.
Haynes, Marion E. 1984. Managing Performance: A Comprehensite Guide to
effective Supervision. California: Lifetime Learning Publications.
Heneman, Herbert G. et al. 1981. Managing Personnel and Human Resources.
Illionis, Dow Jones-Irwin,
Hersey, Paul, dan Ken Blanchard. 1982. Manajemen Perilaku Organisasi:
Pendayagunaan SUrnber Oaya Manusia. ter]. Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.
Hesselbein, Frances et al. 1997. The Organization of the Future. San
Fransisco: Jossey-Bass Publisher.
Higgins, James M. 1982. Human Relations, Concept and Skill. New York: Random
House, Inc.
Hirnpunan Keputusan Mendiknas RI. 2006. Jakarta: Sinar Grafika. Hoppers,
Wim. 2004. Pengembangan Orientasi Pendidikan Dasar. Terj. Jakarta:
Logos.
Hornby A.S. 2000. Oxford Advanced Learner's Dictionary. New York: Oxford
University Press.
Hornby, A.S., E.C. Parnwell. An English Reader's Dictionary.
House, Ernest R. 1974. The Politics of Educational Innovation. McCutchan Publishing
Corporation.
Hoy, Wayne K. dan Cecil G. Miskel. 2001. Educational Administration 6"
Edition. New York: McGraw Hill Co.
Hunsaker. P.L. 2001. Training in Management Skills. University of San Diego
New Jersey: Prentice Hall
Huselid, Mark A., Bryan E Backer, Richard W Beaty. 2005. The Workforce
Scorecard. Boston: Harvard Business School Press.
Ibrahim. 1988. Inovasi Pendidikan. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdikbud. Imron, Ali
(1996). Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Ingraham, Patricia W. and Heather Getha-Taylor. 2004. Leadership in the Public
Sector: Models and Assumptions for Leadership Development.
Jackson, Susan E., et al. (ed). 2003. Managing Knowledge for Sustained
Compeitive Advantage. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher. John Farago
and David Skyrme. 2003. The Learning Organization. Jurnal
Insight No 3. http://www .skyrme.com /insights /31rnorg.htm (10
Mei 2006)

Karash, Richard, 1995. Learning-Org Dialog on Learning Organizations,


http://world.std.com/Io/WhyLO.hti-nl 0 0 Mei 2006).
Luthans, Fred. 2002. Organizational Behaviour. New York: McGraw-Hill Higher
Education.
Marquardt. Michael J. 2002. Building the Learning Organization. 2 nd edition. Palo
Alto Davies-Black Publishing, Inc.
McLeod, Beverly (1995) School Organization. (http://cepm.uoregon.edu/
publications/index.html).
Razik, Taher A. 1995. Fundamental Concepts of Educational Leadership and
Management. New Jersey: Prentice.
Richardsan, Elizabeth. 1977. The Teacher, The School, and The Task of
Management london: Heinemann Educational Books Ltd.
Rogers, Everett M. 1983. Diffusion of Innovations. New York: The Free
Press.
Ruky, Ahmad S. 2001. Sistem Manajemen Kinerja. Jakarta: Gramedia. Senge. Peter M.
The Fifth Discipline. The Art and Practice of The Learning
Organization. New York: Doubleday -Dell Publishing Group. Inc
Smith Mark K. 2001. The Learning Organization. htip://www.infed.org/
biblio/learning-organization.htm (10 Mei 2006)
Spencer, L.M., Spencer S.M. 1993. Competence at Work. New York: John Wiles &
Sons.
Suharsaputra, Uhar. 2006. "Manajemen Keuangan Sekolah". Makalah SPS UPI
Bandung.
. 2008. "Manajemen Pengembangan Kinerja Guru". Disertasi SPS UPI
Bandung.

Susilo, Willy. 2006. Advanced Quality Audit. Jakarta: Vorqista.


Sutarto. 1980. Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sweeney, Paul D. McFarlin, Dean B. 2002. Organizational Behaviour, Solution
for Management. New York: McGraw Hill.
Tilaar, HAR 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
. 1992. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosda Karya.
Tola, Burhanudin dan Furqon. 2006. "Pengembangan Model Pengukuran Sekolah
Efektif". Makalah hasil penelitian.

Wenger, Etienne. 1996. How to Optimize Organizational Learning, no, Healthcare


Forum Journal , July/Aug 1996 p.22, 23 Q Copyright, 2001, Community
Intelligence Labs). http://www.co-i-I.com/coil/-' knowledge-garden/cop
/olearning.shtml. (10 Mei 2006)
Widodo, Eko. 2006. Majalah Swa. Jakarta.
Zohar, Danah. Ian Marshal. 2000. SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam
berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, terj.
Rahmani Astuti. Bandung: Mizan.
Zwell, Michaell, Zwell. 2000. Creating a Culture of Competence. New York:
John Willey and Son.

Anda mungkin juga menyukai