Kompetensi sebagai
Dasar Pengembangan
Kinerja Guru
Tujuan Pembelajaran
Dengan mempelajari dan mendiskusikan bab ini, pembaca pembelajar
akan dapat lebih memahami tentang konsep kepemimpinan dan
aplikasinya dalam konteks kepemimpinan pendidikan kepala sekolah.
Oleh karena itu, setelah mengkaji bahasan dalam bab ini, mahasiswa
pembelajar diharapkan dapat:
A. Pendahuluan
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai
kebijakan yang dipandang dapat menunjang terciptanya suatu proses pendidikan
yang makin produktif (efektif, efisien), baik aspek sarana prasarana, kurikulum,
maupun peningkatan kualitas SDM pendidik. Dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, maka upaya untuk meningkatkan kualitas guru semakin
tampak, dan kompetensi menjadi dasar utama untuk melihat bagaimana
kualitas guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Dengan
demikian konsep kompetensi menjadi amat penting, terlebih lagi keterkaitannya
dengan sertifikasi dan kompensasi yang meningkat seiring dengan kompetensi yang
harus dimiliki guru. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang kompetensi guru yang
dalam uraian berikut akan dimulai dengan konsep kompetensi secara umum untuk
dapat lebih memahami makna dan konteks kompetensi dalam kaitannya dengan kinerja
guru dan pengembangannya.
B. Konsep Kompetensi
Pada era dewasa ini , Sumber Daya Manusia (SDM) akan menjadi sumber kekuatan
yang makin penting bagi organisasi untuk mencapai tujuannya. Apabila SDM,
termasuk dalam bidang pendidikan, memiliki kompetensi yang handal dan
relevan dengan tuntutan pekerjaan yang akan dikerjakan, maka pencapaian tujuan
organisasi akan tercapai secara efektif dan efisien yang terwujud dalam kinerja
yang dijalaninya atau dalam peran dan tugas organisasi yang dilaksanakannya.
Oleh karena itu, pimpinan organisasi harus merencanakan pengembangan
kompetensi karyawan sesuai dengan desain pekerjaan dan rencana
pengembangan usaha, baik pada masa sekarang maupun di masa yang akan
datang berdasarkan proyeksi pengembangan organisasi yang telah tertuang
dalam tujuan jangka panjang dan strategi yang telah dipilih (Willy Susilo, 2002: 12).
Menurut Michael Zwell (2000: 9), terdapat tiga tonggak penting sebagai dasar bagi
kesuksesan organisasi yaitu:
1. The competence of its leadership.
2. The competence of its employees.
3. The degree to which the corporate culture fosters and maximizes competence.
Dalam tulisan ini istilah kompetensi yang dipergunakan adalah kompetensi dalam
arti competency, meskipun dalam kenyataannya kedua istilah tersebut ada
keterkaitan mengingat dalam konteks kehidupan organisasi seperti organisasi
sekolah hal tersebut mempunyai peranan yang penting dalam manajemen suatu
organisasi. Berkut ini akan diuraikan mengenai konsep kompetensi,
karakteristik kompetensi, jenis kompetensi, dan strategi untuk meningkatkan
kompetensi.
Banyak pakar Manajemen SDM dan Perilaku Organisasi yang
memberikan konsep mengenai kompetensi dengan ungkapan dan bahasa yang
berbeda-beda, namun makna yang terkandung di dalamnya hampir lama, yaitu
bahwa kompetensi adalah karakteristik utama dari individu untuk
menghasilkan kinerja superior atau kinerja yang unggul dalam melakukan
pekerjaan yang mecakup motif, sifat, konsep diri, pengetahuan, dan keahlian.
Berikut akan dikemukakan pengertian kompetensi menurut pendapat para ahli.
Knowledge skill
Pengetahuan
C. Jenis Kompetensi
Pengklasifikasian jenis kompetensi biasanya dilihat dari dimensi manus ia secara
personal dan hubungan antara personal karena manusia adala h mahluk sosial.
Para pakar seperti Willy Susilo (2002:17), Zohar dan Marshal (2000: 3) dan Ary
Ginanjar Agustian (2001: 62) mengatakan bahwa manusia memiliki tiga dimensi,
yaitu (1) fisik (body), (2) emosi (mind), dan (3) spiritual (soul) dan atas dasar
dimensi ini lalu mereka mengelompokkan kompetensi menjadi tiga, yakni (a)
kompetensi intelektual, (b) kompetensi emosional, dan (c) kompetensi spiritual.
Menurut Spencer dan Spencer (1993: 34) dimensi atau komponen kompetensi
individual terdiri dari tiga dimensi, yaitu: (a) kompetensi intelektual, (b)
kompetensi emosional, dan(c) kompetensi sosial. Pendapat ini
menggambarkan bahwa manusia mempunyai dimensi personal/individual
(intelektual dan emosional) dan dimensi sosial (kompetensi sosial). Berikut ini akan
dikemukakan penjelasan masing-masing dimensi kompetensi.
1. Kompetensi intelektual
Kompetensi intelektual adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan
kemampuan intelektual individu yang ` bersifat relatif stabil ketika menghadapi
permasalahan di tempat kerja, yang dibentuk dari sinergi antara watak, konsep diri,
motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan kontekstual. Danah Zohar
and Ian Marshall (2000:3) mengungkapkan bahwa kompetensi intelektual
adalah kemampuan dan kemauan yang berkaitan dengan pemecahan masalah-
masalah yang bersifat rasional atau strategik.
Sementara itu, menurut Spencer dan Spencer, (1993: 35-36)
kompetensi intelektual ini terinternalisasi dalam ben tuk sembilan
kompetensi, sebagai berikut:
Berprestasi, yaitu kemauan atau semangat seseorang untuk
berusaha mencapai kinerja terbaik dengan menetapkan tujuan yang
menantang serta menggunakan cara yang lebih baik secara terus-menerus.
Kepastian kerja, yaitu kemauan dan kemampuan seseorang untuk
meningkatkan kejelasan kerja dengan menetapkan rencana yang
sistematik dan mampu memastikan pencapaian tujuan ber dasarkan
data dan informasi yang akurat.
Inisiatif, yaitu kemauan seseorang untuk bertindak melebi hi tuntutan
seseorang, atau sifat keinginan untuk mengetahui hal h a l ya n g b a r e
d e n g a n m e n g e v a l u a s i , m e n ye l e k s i , d a n melaksanakan berbagai
metode dan strategi untuk meningkatkan kinerja. Inisiatif juga sangat
berkaitan eras dengan konsep kreativitas, yaitu kompet ensi yang
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk berpikir dan
bertindak secara berbeda dari kebiasaan dan lebih efektif.
Penguasaan informasi, yaitu kepedulian seseorang untuk
meningkatkan kualitas keputusan dan tindakan berd asarkan informasi
yang handal dan akurat serta berdasarkan pengalaman dan pengetahuan
atas kondisi lingkungan kerja (konteks permasalahan).
Berpikir analitik, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami si tuasi
dengan cara m enguraikan perm asal ahan m enj adi komponen-
komponen yang lebih rinci serta menganalisis perm asal ahan secara
s i st em at i k / bert ahap bercl asarkan pendekatan logis.
Berpikir konseptual, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami
dan memandang suatu permasalahan sebagai satu kesatuan yang
meliputi kemampuan untuk memahami akar permasalahan atau pola
keterkaitan komponen rnasalah yang bersifat abstrak (kualitatif) secara
sistematik.
Keahlian praktikal, yaitu kemampuan menguasai pengetahuan eksplisit
berupa kahlian untuk menyele saikan pekerjaan, mengembangkan diri
sendiri
Kemampuan linguistik, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pemikiran
atau gagasan secara lisan atau tulis untuk kemudian didiskusikan atau
didialogkan sehingga terbentuk kesamaan persepsi.
Kemampuan naratif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pokok-pokok
pikiran dan gagasan dalam suatu pertemuan formal atau informal dengan
menggunakan media cerita, dongeng atau perumpamaan.
2. Kompetensi Emosional .
Kompetensi emosional adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan
kemampuan untuk menguasai diri dan memahami lingkungan secara objektif dan
moral is sehingga pola emosinya relatif stabil ketika menghadapi berbagai
permasalahan di tempat kerja yang terbentuk melalui sinergi antara watak,
konsep diri, motivasi internal serta kapasitas pengetahuan mental/emosional
(Tjakraatmadja, 2002: 27).
Sementara itu Coleman (1998: 10) menjelaskan bahwa kompetensi emosional
sebagai sebuah kemampuan mengenali dan mengelola emosi diri sendiri dengan
baik, mampu menganali emosi orang lain, dan mampu menjalin hubungan positif
dengan orang lain agar menghasilkan kinerja pada suatu pekerjaan tertentu. Hal
senada juga diungkapkan oleh Willy Susilo (2003: 46) yang menyatakan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali,
membangkitkan, dan mengelola emosinya. Di samping itu, kecerdasan emosional
menurut Zohar dan Marshall (2000: 3) adalah kemampuan yang berkaitan
dengan kesadaran diri sendiri dan perasaan dengan orang lain yang menjadi
dasar agar kecerdasan intelektual dapat digunakan secara efektif. Kecerdasan
emosional merupakan kapasitas untuk berpikir dan mengenal kemampuan untuk:
(a) merasakan secara akurat, menilai, dan mengekspresikan emosi; (b)
mengakses dan/atau membangkitkan perasaan apabila pikiran atau gagasan
mereka difasilitasi; (c) memahami emosi d an pengetahuan emosional; dan
(d) mengatur emosi dalam mengembangkan emosi dan pertumbuhan intelektual
(Mayer dan Salovey, 1997: 10).
Kompetensi emosional individu terinternalisasi dalarn bentuk enam tingkat
kemauan dan kemampuan (Spencer dan Spencer, 1993: 37) sebagai berikut:
Sensitifitas atau sating pengertian, yaitu kemampuan dan kemauan
untuk memahami, mendengarkan, dan menanggapi halhal yang ticlak
dikatakan orang lain, yang bisa berupa pemahaman atas pemikiran dan
perasaan serta kelebihan dan keterbatasan orang lain.
Kepedulian terhadap kepuasan pelanggan internal dan eksternal, yaitu
keinginan untuk membantu dan melayani pelanggan internal dan eksternal.
Pengendalian diri, yaitu kemampun untuk mengendalikan prestasi dan emosi
pada saat menghadapi tekanan sehingga tidak melakukan tindakan
yang negatif dalam situasi apa pun.
Percaya diri, yaitu keyakinan seseorang untuk menunjukkan citra din',
keahlian, kemampuan serta pertimbangan yang positif.
Kemampuan beradaptasi, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dan
bekerja secara efektif pada berbagai situasi dan mampu melihat setiap
perubahan situasi.
Komitmen pada organisasi, yaitu kemampuan seseorang untuk mengikatkan
diri pada visi dan misi organisasi dengan memahami kaftan antara
tanggung jawab pekerjaannya dengan tujuan organisasi secara
keseluruhan.
Menurut Willy Susilo (2003: 46) seseorang yang cerdas secara emosinal akan sanggup
mengubah rasa malas menjadi rajin, memerangi rasa benci menjadi cinta, mengatasi
rasa takut, mengubah sikap masa bodoh menjadi peduli, menegakkan disiplin diri,
mengendali amarah, menahan hawa nfsu atau keinginan, mengatasi kesedihan dan
melipatgandakan tenaga.
Goletman (1999:15) menyatakan ada empat komponen kompetensi emosional,
yaitu kemampuan (a) manajemen diri, (b) pemahaman diri,(c) pemahaman social, dan
(d) keterampilan social. Secara rinci penjelasan masing-masing komponen kompetensi
tersebut sebagai berikut:
Manajemen diri
Kemampuan untuk mengendalikan dan mengarahkan kemba
dorongan hati dan suasana hati yang merusak serta mengatur
perilaku sendiri yang mengarah pada kecenderungan untuk
mencapai tujuan deng an tenaga dan ketekunan. Em pat
kompetensi yang berasosiasi dengan komponen ini adala h
pengendalian diri, dapat dipercaya/integritas, inisiatif, dap at
beradaptasi, terbuka dengan perubahan, dan keinginan yang kuat untuk
mencapai sesuatu.
Pemahaman diri
Kemampuan untuk mengenali dan memahami suasana hati, emos dan
dorongan diri sendiri dan dampaknya pada orang la in.
Komponen ini berhubungan dengan tiga kompetensi, yaitu
kepercayaan diri, penilaian diri yang realistis, dan pemahaman diri
yang emosional.
Pemahaman sosial
Kemampuan untuk memahami karakter emosi orang lain dan keterampilan
dalam memperlakukan orang lain sesuai dengan reaksi emosional
mereka. Komponen ini berhubungan dengan enam kompetensi, yaitu
empati, keahlian dalam membangun dan mempertahankan kapabilitas,
pemahaman organisasional sensitivitas lintas budaya,
keragaman pemilikan nilai da n pelayanan kepada pelanggan.
Keterampilan sosial
Ahli dalam mengelola hubungan dan membangun jaringan kerja untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan dari pihak lain dan mencapai
tujuan pribadi, serta kemampuan untuk menemukan dasar yang umum
dan membangun hubungan. Ada lima kompetensi yang
berhubungan dengan komponen ini, yaitu kepemimpinan,
keefektifan dalam mem impin perubah an manajemen konflik,
pengaruh/komunikasi dan keahlian dalam membangun serta memimpin tim.
3. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan
kemampuan untuk membangun simpul-simpul kerja sama dengan orang lain yang
relatif bersifat stabil ketika menghadapi permasalahan di tempat kerja yang
terbentuk melalui sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal serta
kapasitas pengetahuan sosial (Spencer dan Spencer, 1993: 39). Sementara itu
menurut Norman D. Livergood (www.hermes-press.com) "sosial intelligence: the
human capacity to understand what's happening in the world and responding to that
understanding in a personally and sosially effective manner".
Kompetensi sosial individu terinternalisasi dalam bentuk tujuh tingkat kemauan
dan kemampuan (Spencer dan Spencer, 1993: 39) sebagai berikut:
Pengaruh dan dampak, yaitu kemampuan meyakinkan dan mempengaruhi
orang lain untuk secara efektif dan terbuka dalam berbagi pengetahuan,
pemikiran dan ide-ide secara perorangan atau dalam kelompok agar mau
mendukung gagasan atau idenya.
Kesadaran berorganisasi, yaitu kemampuan untuk memahami posisi dan
kekuasaan secara komprehensif, baik dalam organisasi maupun dengan pihak-
pihak eksternal perusahaan.
Membangun hubungan kerja, yaitu kemampuan untuk membangun dan
memelihara jaringan kerja sama agar tetap hangar dan akrab.
Mengembangkan orang lain, yaitu kemampuan untuk men i n gk a t k a n
k e a h l i a n b a w a h a n a t a u o r a n g l a i n d e n g a n memberikan umpan batik
yang bersifat membangun berdasarkan fakta yang spesifik serta
memberikan pelatihan, dan memberi wewenang untuk
memberdayakan dan meningkatkan par tisipasinya.
Mengarahkan bawahan, yaitu kemampuan memerintah,
memengaruhi, dan mengarahkan bawahan dengan melaksanakan strategi
dan hubungan interpersonal agar mereka mau mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Kerja tim, yaitu keinginan dan kemampuan untuk bekerja sama dengan
orang lain secara koperatif yang menjadi bagian yang bermakna dari
suatu tim untuk mencapai solusi yang bermanfaat bagi semua pihak.
Kepernimpinan kelompok, yaitu keinginan dan kemampuan untuk berperan
sebagai pemimpin kelompok dan mampu menjadi suri teladan bagi anggota
kelompok yang dipimpinnya.
4.Kompetensi Spiritual
Kompetensi spiritual adalah karakter dan sikap yang merupakan bagian dari
kesadaran yang paling dalam pada seseorang yang berhubungan dengan yang
tidak hanya mengakui keberadaan nilai tetapi juga kreatif untuk menemukan nilai-
nilai baru (Zohar and Marshall, 2000: 1). Willy Susilo (2003: 134) juga
mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk mencari
dan menemukan makna tertinggi dengan bantuan kecerdasan intelektual dan
emosional serta kemampuan untuk memahami sistem nilai yang berlaku pada orang
atau sekelompok orang.
Menurut Zohar and Marshall (2000: 15) ada Sembilan ciri pengembangan
kompetensi spiritual yang tinggi, yaitu:
(a) kemampuan bersikap fleksibel atau adaptif,
(b) tingkat kesadaran diri yang tinggi,
(c) kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi penderitaan,
(d) kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit,
(e) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai,
(f) keengganan yang membuat kerugian yang tidak perluh,
(g) kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara holistik,
(h) kecenderungan untuk selalu bertanya mengapa, dan
(i) memiliki kemudahan untuk melawan konvensi.
Sementara itu menurut Ary Ginanjar Agustian (2003: 12) ada delapan
internalisasi karakter spiritual, yaitu:
(1) berbakti dan memberi,
(2) jujur dan terpercaya,
(3) adil,
(4) kerja sama dan bersatu,
(5) berjuang dan bersikap teguh,
(6) ramah dan penyayang,
(7) bersyukur dan berterima kasih, dan
(8) bertangung jawab; pemaaf; dan pengasih
Semua itu nantinya akan menghasilkan paham spiritual, seperti integritas atau
kejujuran, energi atau semangat, inspirasi atau inisiatif, bijaksana, dan keberanian dalam
pengambilan keputusan.
Di samping komponen kompetensi itu dilihat dari aspek dimensi personal dan
hubungan antarpersonal manusia, Armstrong (2003: 104) juga mengelompokkan
kompetensi manusia berdasarkan tingkatan fungsional dalam organisasi menjadi
tiga, yaitu (1) kompetensi inti, (2) kompetensi generik, dan (3) kompetensi peran
khusus. Secara rinci ketiga kompetensi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Kompetensi inti
Kompetensi yang berlaku bagi organisasi secara keseluruhan dan merujuk
pada pengertian bidang yang hares dikuasai dengan baik oleh suatu
organisasi agar berhasil. Misalnya kompetensi berorientasi pelanggan,
memproduksi barang mute tinggi, inovasi, dan penambahan nilai melalui
penggunaan sumber daya dan pengelolaan biaya. Kompetensi inti ini
berhubungan dengan balanced scorecard untuk mengukur keberhasilan
organisasi dalam empat perspektif, yaitu (a) perspektif pelanggan, (b)
perspektif bisnis internal, (c) perspektif inovasi dan pembelajaran, dan (d)
perspektif keuangan.
Kompetensi generik
Kompetensi yang meliputi aspek pekerjaan yang dimiliki oleh suatu
kelompok profesi dan akan menentukan kerja sama mereka untuk mencapai
hasil yang diiinginkan. Kompetensi ini biasanya menyebar pada sebuah
kelompok yang memiliki pekerjaan yang sama, misalnya para akuntan
keuangan, analisis sistem, pemimpin kelompok, dan lain-lain.
Kompetensi peran khusus
Kompetensi unik yang harus ada pada peran tertentu. Kompetensi peran
khusus ini merupakan pelengkap dari kompetensi generik umum agar
pemegang peran bisa menjalankan perannya secara berhasil.
Sementara itu Burruss (2003: 104) juga mengungkapkan bahwa ada lima
langkah dalam proses pengembangan kompetensi, yaitu (1) pengakuan kompetensi,
(2) memahami kompetensi, (3) bereksperimen dengan mendemonstrasikan
kompetensi, (4) berpraktik menggunakan kompetensi, dan (5) menerapkan
kompetensi dalam situasi-situasi kerja dan dalam konteks karakteristik-
karakteristik lain. Secara rinci penjelasan masing-masing proses pengembangan
kompetensi sebagai berikut:
Pengakuan kompetensi
Langkah utama dalam pengembangan kompetensi adalah mengakui
kompetensi ketika kita melihatnya dan menghargai kontribusinya pada
kinerja. Karyawan perlu diberikan pengetahuan mengenai kompetensi-
kompetensi.
Memehami kompetensi
Memahami tipe-tipe situasi yang menuntut kompetensi sangat
bermanfaat untuk meneliti situasi-situasi di mana kompetensi itu ada dan
membandingkan dengan situasi di mana kompetensi itu tidak ada.
Bereksperimen dengan mendemonstrasikan kompetensi
Salah satu tahap yang sangat penting dalam proses penguasaan
kompetensi adalah kesemapatan untuk mencoba perilaku perilaku
baru yang melibatkan usaha eksperimen dengan menggunakan cara-
cara berpikir dan bertindak yang berbeda dari yang pernah dilakukan.
Berpraktik menggunakan kompetensi
Berpraktik menggunakan kompetensi dalam berbagai situasi. Reputasi
dalam menggunakan kompetensi memberikan kepastian bahwa kompetensi
tersebut benar-benar nyata.
Menerapkan kompetensi dalam situasi-situasi kerja dan konteks yang lain
Pada langkah ini, individu harus mengintegrasikan kompetensi, itu
dengan kompetensi-kompetensi yang lain, seperti pikiranpikiran dan
perilaku-perilaku lain dalam situasi kerja yang nyata. Hal ini biasanya
menuntut banyak praktik sementara dari individu yang bersangkutan untuk
mengembangkan apresiasi yang lebih besar dengan kompetensi yang
bersangkutan.
E. Pengukuran Kompetensi
Kompetensi setiap orang pasti berbeda-beda, perbedaan itu merefleksikar
berbagai faktor yang memengaruhinya dari mulai pendidikan serta trait yang
dimiliki oleh masing-masing. Perbedaan tersebut jelas memerlukan suatu ukuran
tertentu sebagai dasar penilaian apakah kompetensi seseorang itu mencapai
kondisi tertentu Berta berbeda dengan yang lain. Dalam hubungan ini
pengukuran menjadi penting, sebab jika tidak dapat diukur. maka akan sulit
menentukan kapasitas kompetensi seseorang.
Menurut Michael Zwell (2000: 222) "No matter what method of competency
modeling is utilized, the effectiveness of the model depends on how well the
compet enci es are measured" . P endapat t ersebut m enggam b arkan
bagai m ana p ent i ngn ya m el akuka n pen gu kuran kompetensi, karena dengan
pengukuran tersebut akan dapat diperoleh manfaat pemahaman kompetensi
bagi keefektifan kinerja individu dan kinerja Organisasi.
Lebih jauh M. Zwell (2000: 222-226) mengemukakan, beberapa cara untuk
mengukur kompetensi dapat dilakukan dengan : (1) the 1 to 5 school grading system,
(2) behaviourally anchored rating scale, (3) competency matrix level and
proficiency. Adapun penjelasannya secara ringkas akan dikemukakan berikut ini.
The I to 5 school grading system. Dalam sistem ini pengukuran
kompetensi dilakukan dengan meberikan tingkatan dari satu sampai lima atau
dari A sampai dengan F. A menggambarkan kompetensi istimewa, B baik, , C
sedang, D kurang dan F berarti gaga)/fail. Behaviorally anchored rating scales
merupakan skala di mana tingkatan rating kompetensi dibatasi dengan jelas atas
perilaku yang dapat diobservasi. Sementara itu, the competency matrix level and
proficiency adalah pengukuran kompetensi dalam bentuk tingkat kemahiran
kompetensi dalam suatu perilaku yang diharapkan untuk suatu posisi tertentu.
Dari penjelasan ringkas di atas tampak bahwa masalah pengukuran
kompetensi memerlukan kehati -hatian, untuk itu berkaitan dengan
kompetensi guru, tampaknya diperlukan kajian mendalam dari para pakar tentang
bagaimana mengukur kompetensi guru secara tepat dan objektif. Hal ini tentu saja
memerlukan kerja sama berbagai pakar yang mempunyai perhatian pada peningkatan
kualitas pendidikan di Indonesia
F. Kompetensi Guru sebagai Pendidik
Hamalik (2000: 47) mengemukakan bahwa ada tiga kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan
kompetensi kemasyarakatan. Dalam kompetensi kepribadian, kepribadian
seorang guru yang diekspresikan dalam tingkah laku tidak saja berpengaruh
terhadap tingkah laku siswa, tetapi juga pengaruhnya dalam PBM di sekolah.
seorang guru harus memiliki kompetensi kepribadian yang mantap dan
terintegrasi sehingga mampu melaksanakan fungsi-fungsi pengajaran yang pada
gilirannya memberikan produk pendidikan, yang menjadikan para siswa
sebagai orang dewasa yang berkepribadian.
Kompetensi profesional guru dirumuskan dal am P3G seperti
dikemukakan Hamalik (2000: 150) yaitu: (a) menguasai bahan bidang studi yang
diajarkan sesuai dengan kurikulum sekolah yang berlaku, (b) menguasai
bahan pengayaan dan pendalaman serta aplikasi bidang studi yang diajarkan,
(c) mampu mengelola program belajar mengajar, (d) mengelola kelas, (e)
menggunakan media dan cumber pengajaran, (f) m engenal dan menerapkan
l andas an sert a konsep -konsep dasar kependidikan dengan berbagai sudut
tinjauan (sosiologis, filosofis, historik dan psikologis), (g) mengelola proses
interaksi belajar-mengajar dengan menggunakan prinsip CBSA, (h) mengenal
dan melaksanakan penilaian prestasi belajar siswa untuk kepentingan
pengajaran, (1) mengenal fungsi dan program l a yanan bim bi ngan dan
pen yul uhan di sekol ah, (j ) mengerjakan administrasi belajar-mengajar,
administrasi kelas, administrasi sekolah, (k) memahami prinsip-prinsip penelitian,
mengolah perumusan penelitian dan menafsirkan hasil -hasil penelitian
pendidikan guna mengembangkan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran, (1)
membina kerja sama dengan orang tea/wall siswa, dengan organisasi profesi dan
organisasi lainnya guna kepentingan pendidikan.
Kompetensi kemasyarakatan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan
keberadaannya sebagai warga masyarakat. Guru sebagai anggota masyarakat
sekolah karena jabatannya sebagai guru mempunyai syarat syarat yang
diperlukan yaitu syarat kepribadian, syarat penguasaan ilmu dan syarat
keterampilan. Secara umum kinerja (performance) organisasi bersumber dari
kompetensi-kompetensi individu (Jonathan and Smilansky, 1997: 8).
Standar kompetensi guru telah disusun oleh pemerintah pusat melalui Depdiknas
(2002) sebagai upaya perintisan pembentukan Badan Akreditasi dan Sertifikasi
Mengajar di daerah sebagai acuan bake dalam pengukuran kinerja guru untuk
mendapatkan jaminan kualitas guru dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
Standar Kompetensi Guru adalah suatu ukuran ya n g d i t et a pk an at a u
di p e rs ya r a t k a n d al am b e nt u k p en gu a sa an pengetahuan dan perilaku
perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan
fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan.
Komponen standar kompetensi guru seperti disyaratkan oleh Depdiknas
tersebut (sebelum lahirnya UU No 14/2005, namun masih tetap relevan sebagai
bahan pembanding) meliputi (1) pengelolaan pembelajaran (2) pengembangan
potensi, (3) penguasaan akademik. Sebagai pribadi yang utuh, maka sikap dan
kepribadian harus senantiasa melingkupi dan melekat pada setiap komponen
kompetensi yang menunjang profesi guru tersebut. Untuk memperoleh gambaran
yang lebih terukur pada pemberian nilai setiap kemampuan, maka pedu
ditetapkan kinerja pada setiap kemampuan. Kinerja kemampuan tersebut
terlihat dalam bentuk tabel indikator kompetensi berikut.
1) Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran
Tabel 6.3. Kompetensi Guru Komponen
Pengelolaan Pembelajaran
Kompetensi Indikator
1. Memiliki kemampuan menyusun 1. mampu mendeskripsikan tujuan
rencana pembelajaran pembelajaran;
2. mampu memilih/menentukan materi,
3. mampu mengorganisir materi,
4. mampu menentukan metoda/strategi
pembelajaran,
5. mampu menentukan media/alas
pembelajaran,
6. mampu menentukan teknik penilaian,
7. mampu mengalokasikan waktu
Kompetensi Indikator
1. Memiliki kemampuan 1. mengikuti informasi perkembangan
mengembangkan diri iptek yang mendukung profesi melalui
berbagai kegiatan ilmiah,
2. mengalihbahasakan buku
pelajaran/karya ilmiah,
3. mengembangkan berbagai model
pembelajaran,
4. menulis makalah,
5. menulis/menyusun diktat pelajaran,
6. menulis buku pelajaran
7. menulis modul pelajaran,
8. menulis karya ilmiah populer,
9. melakukan penelitian ilmiah (action
research),
10. menemukan teknologi tepat guna,
11. membuat alas peraga/media,
12. menciptakan karya seni,
13. mengikuti pelatihan terakreditasi,
14. mengikuti pendidikan kualifikasi,
15. mengikuti kegiatan pengembangan
kurikulum.
2. Memiliki kemampuan
1. mampu menghasilkan siswa
mengembangkan keprofesian
berprestasi;
Kompetensi Indikator
Sementara itu dengan lahirnya PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan dan Undang-Undang No. 14 tahun 2005, kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru jelas harus mengacu kepadanya. Berkaitan dengan guru
sebagai pendidik, dalam PP No. 19 Tahun 2005 pasal 28 ayat 1 disebutkan bahwa
pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajar, sehat jasmani dan rohani , serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sementara itu kompetensi yang harus
dimiliki pendidik (guru) adalah (a) kompetensi pedagogik, (b) kompetensi
kepribadian, (c) kompetensi profesional, dan 0 kompetensi sosial (PP No. 19
Tahun 2005 pasal 28 ayat 3). Untuk lebih memahami makna masing-masing
kompetensi tersebut, berikut akan dijelaskan sesuai dengan penjelasan yang
tercantum dalam PP No. 19 Tahun 2005 serta UU Guru dan Dosen No. 14
Tahun 2005 seperti terlihat dalam tabel berikut:
Kompetensi Indikator
Pemahaman terhadap peserta didik
Kompetensi
Perancangan dan pelaksanaan pembelajaran
pedagogik Evaluasi hasil belajar
Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya
Kompetensi Mantap,
kepribadian stabil,
dewasa,
arif dan berwibawa,
menjadi teladan bagi peserta didik, dan
berakhlak mulia
Kompetensi Penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
professional mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta
didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan
BSNP
Berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
Kompetensi peserta didik,
sosial sesama pendidik,
tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar
Dari uraian di atas, tampak bahwa kompetensi guru menurut UU No. 14 Tahun
2005 sebenarnya merupakan penerapan dari berbagai pendapat para ahli
tentang kompetensi. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan standar
Kompetensi Guru/Dosen di Indonesia cukup terlambat, mengingat kajian tentang
kompetensi telah lama menjadi consern para ahli dengan fokus utamanya untuk
kepentingan pengembangan SDM pada dunia usaha/bisnis. Namun demikian,
penerapan standar tersebut tetap harus dipandang positif dalam rangka
meningkatkan kompetensi pendidik, yang akhirnya diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Untuk itu masih diperlukan
kajian mendalam akan kompetensi guru/dosen ini, mengingat perubahan yang
cepat di era global sekarang ini harus dapat lebih terakomodasi dalam standar
tersebut, agar kompetensi guru selalu dapat berkembang wiring perubahan dan
tuntutan masyarakat yang terus meningkat.
Kompetensi Kemampuan
Meningkat
PBM Mutu
Sertifikasi Kinerja guru bermutu Pendidikan
meningkat meningkat
Kompensasi Motivasi
(Tunjangan Profesi) Meningkat
1. Pendekatan Individu
Pengembangan kinerja dengan pendekatan individu menekankan pada
penguatan individu dalam meningkatkan kemampuan serta motivasi tanpa
mengintegrasikannya dengan organisasi d an manajemen organisasi.
Semangat dari Undang-Undang Guru dan Dosen menunjukkan pendekatan
pengembangan kinerja dengan menekankan pada aspek individ u guru
dengan menerapkan model dasar kinerja yakni bahwa kinerja merupakan
fungsi dari kemampuan/kompetensi dengan Motivasi (P = Ability x Motivation).
Dengan model dasar ini dapat diketahul posisi dari tiap pegawai/ guru dalam
konteks pelaksanaan tugasnya, yang bila digambarkan tampak sebagai berikut.
ABILITY/COMPETENCY
A B
C D
Tantangan Globalisasi
Organisasi sekolah
Hal baru
Visi Misi
Output
PBM
Learning
Kinerja
Karakteristik school
Kreativitas Inovasi/mutu
Individu guru Kinerja
Kepemimpinan kinerja
Rutin Enterpreneur Hasil
Kep Sekolah
Pendidikan Expertise/Ability
Latihan Ex
Organisasi Sekolah
I. Rangkuman
Kompetensi merupakan hal penting dimiliki setiap orang dalam menjalani kehidupan.
Untuk suatu organisasi yang punya karakter dan tujuan yang khusus juga
diperlukan kompetensi khusus pula, seperti halnya guru sebaga pendidik yang
dituntut memiliki kompetensi yang relevan dan dapE meningkatkan kinerjanya
dalam organisasi sekolah. Sebagai pendidik, guru dituntut mempunyai empat
kompetensi yakni, pedagogik, profesional (akademik), personal dan sosial.
Kompetensi tersebut menjadi dasar bagi sertifikasi guru yang berimplikasi pada
kompensasi, sehingga pengembangan kinerja guru dapat mendasarkan pada
kompetensi dan motivasi sebagai pendekataan individu. Namun untuk suatu
organisasi sekolah pendekatan tersebut mesti terintegrasi dengan tataran institusi
dimana aspek organisasi, manajemen dan kepemimpinan perlu menjadi bagian
penting dalam pengembangan kinerja guru agar makin bermutu serta inovatif dalam
menghadapi tantangan eksternal globalisasi.
I R evi ew
Lakukan analisis dan penjelasan berdasarkan materi yang sudah dipelaja atas
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Jelaskan makna kompetensi.
2. Jelaskan perbedaan kompetensi dengan kinerja.
3. Jelaskan dan uraikan jenis-jenis kompetensi
4. Apakah masing-masing kmpetensi punya kaitan, jika ya, apa argumennya, dan jika
tidak, apa argumennya.
5. Jelaskan cara-cara meningkatkan kompetensi organisasi
6. Jelaskan kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh guru serta
bagaimana kaitannya antara masing -masing kompetensi serta pentingnya
bagi peningkatan mutu pendidikan.
7. Berikan penjelasan makna sertifikasi guru.
8. Jelaskan keterkaitan pengembangan kinerja guru melalui pendekatan berbasis
individu dengan pendekatan kinerja guru berbasis organisasi dan manajemen.
BAB 7
Mutu Pendidikan
Tujuan Pembelajaran
Dengan mempelajari dan mendiskusikan bab ini, pembaca
pembelajar akan dapat lebih memahami tentang konsep
mutu dan mutu pendidikan serta konsep penjaminan mutu
dalam konteks pendidikan. Oleh karena itu, setelah
mengkaji bahasan dalam bab ini, mahasiswa pembelajar
diharapkan dapat:
m enj el askan m akna m ut u dan mutu pen didikan;
menjelaskan macam-macam pendekatan terhadap
mutu;
menjelaskan makna manajemen mutu;
menjelaskan makna QFD dalam konteks manajemen
mutu;
menjelaskan tujuan d an fungsi dari ma najemen
mutu;
menjelaskan konsep penjaminan mutu;
menjelaskan tujuan penjaminan mutu;
menjelaskan penjaminan mutu dalam konteks pendidikan;
menjelaskan konsep, pendekatan audit mutu.
A. Pendahuluan
Masalah mutu dalam era sekarang ini merupakan masalah yang berkaitan dengan
hidup dan matinya suatu organisasi, terutama organisasi bisnis. Oleh karena itu,
tidaklah berlebihan jika Rene T Domingo menulis buku berjudul Quality
Means Survival (1997), artinya kualitas bermakna kehiclupan. Untuk itu
upaya untuk menjadikan organisasi tetap bertahan, masalah kualitas harus
menjadi perhatian termasuk dalam bidang pendidikan, dan oleh karenanya
maka penjaminan kualitas menjadi suatu keharusan untuk diterapkan dalam
suatu organisasi dalam kerangka Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality
Management). Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan pun masalah kualitas
harus menjadi consern be rs am a , m e n gi n gat m asi h d i p e rl u k an u pa ya ya n g
s e ri u s gun a meningkatkan kualitas pendidikan serta persaingan global dalam
bidang pendidikan yang menunjukkan kecenderungan makin meningkat dengan
baik.
B. Konsep Kualitas/Mutu
Kualitas telah menjadi isu kritis dalam persaingan modern dewasa ini, dan hal
itu telah menjadi beban tugas bagi para manager menengah. Dalam, tataran
abstrak kualitas telah didefinisikan oleh dua pakar penting bidang kualitas
yaitu Joseph Juran dan Edward Deming. Mereka berdua telah berhasil
menjadikan kualitas sebagai mindsetyangterus berkembang dalam kajian
manajemen, khususnya manajemen kualitas.
Menurut Juran, kualitas adalah kesesuaian untuk penggunaan (fitness for
use), ini berarti bahwa suatu produk atau jasa hendaklah sesuai dengan apa yang
diperlukan atau diharapkan oleh pengguna. Lebih jauh Juran mengemukakan
lima dimensi kualitas, yaitu:
a. Rancangan (design), sebagai spesifikasi produk.
b. Kesesuaian (conformance), yakni kesesuaian antara maksud desain
dengan penyampaian produk aktual.
c. Ketersediaan (availability), mencakup aspek kedapatdipercayaan Berta
ketahanan, dan produk itu tersedia bagi konsumen untuk digunakan.
d. Keamanan (safety), aman dan tidak membahayakan konsumen.
e. G u n a p r a k t i s (f i e l d u s e ), k e gu n a a n p r a k t i s ya n g d a p a t
dimanfaatkan penggunaannya oleh konsumen.
Dengan memerhatikan pendapat dua tokoh kualitas di atas, tampak bahwa mereka
menawarkan beberapa pandangan yang penting dalam bidang kualitas. Pada
intinya dapat dipahami bahwa semua yang berkaitan dengan manajemen kualitas atau
perbaikan kualitas yang diperlukan adalah penerapan pengetahuan dalam upaya
meningkatkan/mengembangkan kualitas produk atau jasa secara berkesinambungan.
Sementara itu David A Garvin mengemukakan delapan dimensi atau kategori kritis
dari kualitas, yaitu :
Performance (kinerja). Karakteristik kinerja utama produk.
Feature Aspek sekunder dari kinerja, atau kinerjatambahan dari suatu produk.
Reliability(kedapatdipercayaan). Kemungkinan produk malfungsi, atau
tidak berfungsi dengan baik, dalam konteks ini produk/jasa dapat dipercaya
dalam menjalankan fungsinya.
Conformance (kesesuaian). Kesesuaian atau cocok dengan keinginan/kebutuhan
konsumen.
Durability (daya tahan). Daya tahan produk/masa hidup produk, baik secara
ekonomis maupun teknis.
Serviceability (kepelayanan), kecepatan, kesopanan, kompetensi, mudah
diperbaiki.
Aesthetics (keindahan). Keindahan produk dalam desain, rasa, suara atau
bau dari produk, dan ini bersifat subjektif.
Perceived quality (kualitas yang dipersepsi). Kualitas dalam pandagan
pelanggan/konsumen.
Meskipun tidak ada definisi mengenai kualitas yang diterima secara uni versal,
dari definisi-definisi yang ada terclapat beberapa kesamaan, yaitu dalam elemen-
elemen sebagai berikut:
Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan.
Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang
dianggap merupakan kualitas saat ini, mungkin dianggap kurang
berkualitas pada masa mendatang).
P a n d a n g a n ya n g m e n g gu n a k a n p e n g u k u r a n p a d a h a s i l
pendidikan (sekolah atau college).
Pandangan yang melihat pada proses pendidikan.
Pendekatan teori ekonomi yang menekankan pada akibat positif
pada siswa atau pada penerima manfaat pendidikan lainnya yang
diberikan oleh institusi dan atau program pendidikan.
Pada saat konsep six-sigma mulai dikembangkan dalam suatu perusahaa, diasumsikan
rata-rata proses masih mengalami gangguan yang dapat menyebabkan
pergeseran sejauh 1,5 sigma dari target. Dengan skenar ini, proses six-sigma
memberikan toleransi cacat sebesar 3,4 ppm, sepeterlihat pada tabel berikut :
L. Audit Mutu
Secara umum prinsip dasar dalam pemeriksaan/audit adalah unsur
kelengkapan dan efektivitas pengawasan dalam pelaksaan sistem
penjaminan mutu yang beroperasi dalam suatu organisasi. Menurut Willy Susilo,
kriteria audit, lingkup, frekuensi, dan metode-metode yang akadigunakan
dipastikan ditentukan. Seleksi terhadap para auditor dalam melaksanaan audit harus
dipastikan dilakukan secara objektif dan mengikuti ketentuan proses audit. Audit
dilaksanakan secara independen yakni auditor tidak memeriksa pekerjaan
mereka sendiri. Tanggung jawab dan persyaratan untuk merencanakan dan
melaksanakan audit, pembuatan laporan hasil audit, dan pengelolaan catatan-
catatan hasil audit harus tertuang dalam prosedur terdokumentasi. Pirnpinan
yang bertanggung jawab terhadap unit yang diperika harus memastikan
tindakan koreksi diambil segera mungkin untuk mengeliminasi
ketidaksesuaian dan penyebabpenyebab yang telah ditemukan. Tindak lanjut
audit harus mencakup verifikasi terhadap tindakan-tindakan yang telah diambil
dan melaporkan hasil verifikasi yang telah dilakukan.
Audit mutu itu hanyalah suatu proses untuk membantu organisasi untuk
memastikan sistem manajemen mutu telah efektif dan telah mencapai tujuan-
tujuan yang direncanakan dan sistem tetap dipertahaankan. Melalui audit mutu
internal para pelaku bisnis, pemilik proses, pelaku sistem mendapatkan data
dan informasi faktual dari hasil audit yang akan digunakan sebagai
lanclasan untuk memastikan dicapainya kondisi kesesuaian, efektivitas,
kesehatan, dan efisiensi dalam pengelolaan kegiatan usaha. Adapun tujuan
audit mutu internal adalah mendorong terjadinya perubahan -perubahan untuk
mendukung tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan sejalan dengan
strategi bisnis yang telah dipilih dalam rangka merealisasikan visi-misi
perusahaan. Secara lebih spesifik tujuan audit mutu internal dapat diuraikan sbb:
Memastikan sistem manajemen mutu yang telah dikernbangkan dijalankan
secara efektif.
Memastikan tujuan-tujuan penerapan sistem manajemen mutu dicapai
secara efektif.
Memastikan sistem manajemen mutu terpelihara secara terns menerus.
Mendeteksi penyimpangan-penyimpangan terhadap kebijakan mutu
sedini mungkin.
Mendalami permasalahan yang terjadi di berbagai proses sehingga
dapat dilakukan tindakan koreksi dan perbaikan terusmenerus.
Memastikan seluruh personil memiliki kompetensi yang capat
mendukung efektivitas sistem manajemen mutu.
Dalam melaksanakan audit mutu, diperlukan penanganan yang tepat agar
pengelolaan/manajemen audit dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Manajemen audit mutu adalah proses sistematis pengelolaan audit
mutu untuk mencapai tujuan yang diharapkan secara efektif melalui penerapan
fungsi-fungsi manajemen (PDCA): perencanaan, pelaksanaan evaluasi, dan
tinclak lanjut.
Diawali dari tahap perencanaan. Secara umum mencakup penyediaan
semua perangkat audit mutu, mulai pembuatan kebijakan tentang audit mutu
prosedur audit mutu, program audit mutu, jadwal audit mutu dan pembentukan tim
audit mutu, penetapan tujuan audit mutu, dsb. Tahap berikutnya adalah
menjalankan audit mutu berdasarkan semua yang telah disiapkan pada tahap
perencanaan. Pada tahap pelaksanaan audit mutu mencakup kegiatan-kegiatan
mulai dari sosialisasi program audit mutu pembentukan tim audit, penunjukan
dan penugasan auditor, persiapan auditor, pelaksanaan audit, pembahasan hasil
audit, dan membuat laporarbasil audit serta menyampaikan laporan hasil audit ke
pihak-pihak yang terkait.
Ketua tim audit bertanggung jawab dan melapor kepada wakil manajemen. Prosedur
audit adalah dokumen referensi audit mutu yang isinya menjelaskan
tentang bagaimana proses audit mutu dilaksanakan mulai perencanaan sampai
pelaporan dan tindak lanjut hasil audit mutu.
Program audit adalah rencana induk kegiatan audit mutu yang
menggambarkan kegiatan audit mutu selama kurun waktu biasanya satu tahun.
Pengembangan program audit mutu tidak dapat dilepaskan dari
keterkaitannya dengan kebutuhan atau permasalahan yang sedang dihadapi
oleh perusahaan. Dengan demikian pada waktu program audit mutu disusun,
maka tim audit mutu bersama wakil manajemen pe rlu melakukan analisa
kinerja pendahuluan untuk setiap fungsi dan proses sehingga penekanan audit
bisa diberikan pada fungsi-fungsi tertentu yang dipandang memerlukan perhatian
lebih dari fungsi lainnya (critical areas).
Jadwal audit adalah pengaturan dan pembagian waktu audit mutu untuk
seluruh fungsi di perusahaan dalam kurun waktu tertentu, biasanya setahun.
Menetapkan berapa kali setiap fungsi terkena audit mutu dalam kurun waktu satu
tahun. Namun perlu juga diingat bahwa di samping kegiatan yang telah terjadwal,
audit rnutu juga dapat dilakukan sewaktuwaktu di luar jadwal yang telah
disusun bilamana diperlukan, misalnya karena adanya kasus atau ada permintaan
khusus dari Manajemen. Jadwal audit mutu tidak boleh terlalu kerap namun juga
tidak baik terlalu lama. Yang terbaik jadwal audit disusun sesuai dengan
pertimbangan kebutuhar.
Tim audit adalah kelompok personil yang terdiri lebih dari beberapa orang
sesuai kebutuhan yang dibentuk untuk metaksanakan audit mutu secara berkala.
Penuniukan anggota tim audit mutu biasanya dipilih dari tenaga-tenaga yang handal
dan cocok untuk tugas audit mutu. Seseorang yang ditunjuk untuk menjadi auditor
mutu haruslah merniliki kompetensi (pengetahuan, pengalaman, pendidikan dan
pelatihan serta atribut pribadi yang sesuai).
Sebelum memulai suatu kegiatan audit, seorang auditor mutu perlu
melakukan persiapan-persiapan secara baik agar hasil audit dapat opti mal dan
interaksi audit tidak menimbulkan ekses yang kontra produktif terhadap
maksud dan tujuan dilakukannya audit mutu. Berikut adala beberapa persiapan
yang diperlukan oleh seorang auditor mutu internal sebelum memulai suatu
audit mutu, yang mencakup persiapan mental (pengetahuan, semangat dan
emosi), persiapan kertas kerja dan persiapan fisik. Persiapan pengetahuan: Auditor
mutu internal hendaknya mempelajan proses yang akan diaudit, lakukan analisis SIPOC
( supply- input-process- output-customer), sehingga semua parameter baik parameter
mutu maupur parameter proses, baik yang berupa standar spesifikasi maupun
berupa target-target operasional (quality objectives) dapat dipahami dengan baik.
Lakukan identifikasi Indikator Kinerja Kunci (Key Performance Indicatc, pada
proses yang akan diaudit. Pelajari karakteristik permasalahan dapotensi
permasalahan atau critical points yang ada pada proses tersebut. Pelajari sistem
manajemen mutu atau sistem kerja/metode kerja/prosedur instruksi kerja yang
telah didokumentasikan dan dijadikan acuan kerja pada unit di mana audit akan
dilakukan. Buatlah berbagai catatan tentang hal-hal yang menjadi permasalahan
atau yang berpotensi menjadi masalah sehingga pada waktu proses audit dapat
dikembangkan dalam berbaga pertanyaan kepada auditee. Persiapan kertas kerja
audit mutu: Baca kembali prosedur audit mutu yang menjadi landasan audit
mutu. Pahami isirna dengan baik. Identifikasi semua formulir yang berlaku
dan siapkan secukupnya. Auditor juga perlu membuka kembali dokumen hasil
audit yang lalu pada unit yang akan diperiksa, untuk mempelajari temuan audit yang
lalu. Apakah ada temuan audit yang belum diselesaikan. Bila ada maka hal itu
perlu dimasukkan dalam catatan persiapan auditor, sehingga pada saat audit auditor
dapat membahas kembali temuan audit yang belum selesai.Pelaksanaan audit mutu
adalah proses realisasi dari semua yang telah dipikirkan dan dituangkan dalam
perencanaan audit mutu. Termasuk dalam lingkup pelaksanaan audit mutu adalah
Sosialisasi program audit mutu, penugasan auditor, persiapan auditor ke
seluruh proses audit, pembahasan hasil audit bersama auditee, pembuatan
laporan hasil audit, dsb. Sosialisasi program audit mutu adalah kegiatan
mengomunikasikan hal-hal berkaitan dengan audit mutu yang perlu cliketahui
oleh pimpinan operasional dan karyawan agar audit mutu ticlak menimbulkan
salah pengertian dan mendapat clukungan dari semua pihak. Sosialisasi dapat
dilakukan dalam bentuk berbagai kegiatan misalnya memberikan penjelasan tentang
maksud audit mutu kepada auditee dalam berbagai kesempatan, misatnya pada
saat opening meeting. Penugasan auditor adalah pengaturan tentang siapa akan
mengaudit apa, di mana dan kapan, dsb. Pengaturan mengenai penugasan auditor
mutu ini penting karena akan mempengaruhi kinerja auditor, agar audit mutu bisa
berjalan (Willy Susilo, 2006).
M. Rangkuman
Konsep mutu lebih dahulu berkembang dalam dunia bisnis yang kemudian
berpengaruh juga pada dunia pendidikan, sehingga masalah mutu
belakangan menjadi consern/perhatian dalam upaya membangun
pendidikan. Untuk itu diperlukan pengelolaan mutu yang tepat termasuk dalam dunia
pendidikan mengingat secara legal pendidikan pun haru s melakukan
penjaminan mutu dalam rangka terus-menerus meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam hubungan ini audit mutu diperlukan sebagai upaya untuk mengontrol
implementasi manajemen mutu dan untuk itu alas statistik dapat digunakan untuk
melakukan kontrol mutu di samping dapat juga menggunakan konsep Six Sigma
untuk memantau batas toleransi kecacatan/kekeliruan dalam meningkatkan mutu
pendidikan.
N. Review
Lakukan analisis dan penjelasan berdasarkan materi yang sudah dipelajari atas
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Jelaskan makna mutu dan mutu pendidikan.
2. Jelaskan macam-macam pendekatan terhadap mutu.
3. Jelaskan makna manajemen mutu.
4. Jelaskan makna QFD dalam konteks manajemen mutu.
5. Jelaskan tujuan dan fungsi manajemen mutu.
6. Jelaskan konsep penjaminan mutu.
7. Jelaskan tujuan penjaminan mutu.
8. Jelaskan penjaminan mutu dalam konteks pendidikan.
9. jelaskan konsep pendekatan audit mutu.
Bab 8
Pembiayaan
Pendidikan
Tujuan Pembelajaran
Dengan mempelajari dan mendiskusikan bab ini, pembaca
pembelajar akan dapat lebih memahami tentang konsep
pembiayaan pendidikan d an aplikasinya dalam konteks
penganggaran pendi dikan di sekolah. Oleh karena itu,
setel ah m engkaji bahasan dal am bab ini, m ahasiswa
pembelajar diharapkan dapat:
menjelaskan makna pembiayaan pendidikan;
menjelaskan macam-macam biaya pendidikan:
m enj el askan kai t an ant ara p em bi a yaan
pendidikan dengan ekonomi pendidikan;
menjelaskan makna anggaran d an penganggaran;
Menjelaskan tujuan dan fungsi anggaran;
Menjelaskan macam-macam sistem penganggaran;
Menjelaskan kelebihan dari planning, pro-gramming, budgeting
system dibanding sisterr penganggaran yang lain;
menjelaskan manfaat disusunnya suat L
anggaran bagi kinerja organisasi sekolah;
menjelaskan keterkaitan antara biaya per didikan dengan
mutu pendidikan.
A. Pendahuluan
Pendidikan dapat dilihat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis
pendidikan dapat dimaknai sebagai upaya untuk mendewasakan manusia,
sementara itu secara praktis pendidikan akan terlihat dari kelembagaannya,
yang menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 terdapat tiga lingkungan pendidikan yaitu pendidikan informal, pendidikan
nonformal, dan pendidikan formal.
Dilihat dari suclut keteraturan kelembagaan, pendidikan nonformal dapendidikan
formal tampaknya lebih memungkinkan untuk diorganisasi secara baik dengan
menerapkan prinsip-prinsip manajemen dalam berbagai fungsinya, sehingga
analisis dan tinjauan terhadap proses pen yel e n gga r a ann ya a k an m en j a di
s es u at u ya n g s a n gat p e nt i n g b a gi pengembangan kelembagaan dalam
proses pendidikan, dan di antara kelembagaan pendidikan yang mendapat
perhatian besar dari pemerintah dan masyarakat adalah sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal.
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal sudah tentu
memerlukan pengelolaan yang impersonal, di dalamnya perlu dan harus
diterapkan prinsip-prinsip manajemen modern, di mana objek yang menperhatiannya
secara umum tidak banyak berbeda dengan organisasi -organisasi lainnya.
Dalam hubungan ini, The Six's M yang menjadi objek pengelolaan manajemen dapat
juga diterapkan pada lembaga pendidik. Keenam objek tersebut adalah:Man
(manusia),Money(dana/uang), Material (bahan-bahan), Machine (mesin/peralatan
proses), Method (cara memproses), dan Market (pasar/konsumen).
Namun demikan hal itu sudah tentu memerlukan penyesuaian agar dapat
sejalan dengan misi lembaga pendidikan sebagai lembaga nirlaba. Dari keenam
unsur tersebut, salah satu yang penting, baik dalam lembaga bisnis maupun
lembaga pendidikan adalah masalah uang/dana. Adalah tidak mungkin lembaga
pendidikan dapat berjalan dengan baik tanpa ada ketersediaan dana untuk
melaksanakan kegiatannya dalam menye lenggarakan proses pendidikan. Oleh
karena itu, dalam dunia pendidikan kajian mengenai pendanaan/pembiayaan
pendidikan menduduki posisi penting sebagai suatu upaya untuk memahami dan
mengelola hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan/manajemen dana/keuangan
dalam lembaga pendidikan, termasuk pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah.
B. Pembiayaan Pendidikan dalam Konteks Ekonomi Pendidikan
Pembiayaan pendidikan merupakan masalah penting yang dikaji dalam
ekonomi pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Elchanan Cohn (1979:
9) yang menyatakan sebagai berikut.
The issues that will concern us in this volume are conveniently grouped into five
major categories (major issues in the economics of education):
1. Identification and measurement of the economic value of education
2. The allocation of resources in education
3. Teacher's salaries
4. The finance of education, and
5. Educational planning
Dari kutipan di atas tampak bahwa masalah pembiayaan/pendanaan
pendidikan merupakan salah satu isu utama yang dibahas dalam ekonomi
pendidikan. Untuk itu terlebih dahulu pemahaman tentan g ekonomi
pendidikan diperlukan agar diperoleh suatu pemahaman yang utuh tentang
masalah pembiayaan pendidikan dalam kerangka umum ekonomi
pendidikan. Menurut Elchanan Cohn (1979: 2) ekonomi pendidikan
didefnisikan sebagai berikut:
the economics of education is the study of how men and society choose, with or
without the use of money, to employ scarce productive resources to produce
various type of training, the development of knowledge, skill, mind, character, and
so forth especially by formal schooling over time and to distribute them now
and in the future, among various people and groups in society.
3. Desain Anggaran
Dalam penyusunan anggaran, sistematika yang akan tertuang dalar anggaran
tersebut akan menggambarkan model penyusunan anggaran Menurut George E.
Ridler dan Robert J. Sclockley (1989) dalam bukunya School Administrator's
Budget Handbookdalam Danim (2006: 146) terdapat l i m a si st em (m o de l )
dal am m en d es ai n at au m en yu s un a n gga r a n (Penganggaran), yaitu:
Item-based budget
Program budget system
Zero-based budget
Incremental budget
Combination of system
Sementara itu, Nanang Fattah (2000: 53) menyebutkan empat macam desain
anggaran, yaitu:
Anggaran butir per butir (Line Item Budget)
Anggaran program (Program Budget System)
Anggaran berdasarkan hasil (Performance Budget)
Sistem Perencanaan Penyusunan Program dan Penganggara n (PPBS
atau SP4)
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa manajemen keuangan menyangkut dua hal
yaitu bagaimana memperoleh dana serta bagaimana menggunakan atau
mengalokasikan dana dalam lingkungan yang berbeda dengan tingkat pendidikan yang
berbeda pula, secara efektif dan efisien. Sumber dana sekolah biasanya
diperoleh dari dua sumber, yakni dari pemerintah yang umumnya terdiri dari
dana rutin dan biaya operasional (terutarna untuk sekolah negeri), dan dana
dari masyarakat, baik dari orang tua siswa maupun kelornpok masyarakat
lainnya. Sedangkan dilihat dari sisi penggunaannya terbagi dua, yaitu untuk
anggaran kegiatan rutin dan anggaran untuk pengembangan sekolah.
Dengan demikian, keuangan sekolah merupakan sumber daya yang diterima
dan digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah yang
mengandung konsekuensi bagi sekolah, yaitu sekolah harus mengelola
sumber dana tersebut secara efektif dan efisien untuk menunjang pelaksanaan
pendidikan. Pendanaan sekolah merupakan hal sangat penting, narnun
dalam praktiknya sangat kompleks, sebagai mana dikemukakan oleh Thomas
J. Sergiovanni bahwa "the financing of public school involves complex political and
personal choice that are inextricably intertwined with demographic and economic
condition (tt : 357), ini berarti masalah pendanaan sekolah sangat berkaitan
dengan aspek politik serta kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Oleh karenanya pihak manajemen sekolah harus berupaya mencari cara
yang efektif dalam hal penghimpunan dana, untuk itu sekolah harus mengemas
program yang meyakinkan bagi para pemilik dana yang dalam kaitannya dengan
dana BP3 berarti orang tua siswa. Di samping itu, diperlukan kreativitas dalam
penghimpunan dana misalnya dengan mencari sponsor yang punya kepedulian pada
pendidikan serta mau membantu pengembangan sekolah.
Adapun dalam hal pengalokasian dana/biaya yang akan dikeluarkan,
biasanya akan terlihat dalam RAPBS yang umumnya disampaikan oleh pihak
sekolah dalam rapat BP3 (Dewan/Komite Sekolah) kepada semua orang tua
siswa. Untuk itu penyusunan RAPBS harus dapat meyakinan serta akurat
sehingga timbul kepercayaan dari pihak yang akan membantu termasuk orang tua
siswa, dan agar penyusunan RAPBS dapat efektif dan efisien, langkah-langkah yang
perlu diambil adalah:
1. menginventarisasi program/kegiatan sekolah selama sate tahun
mendatang;
2. menyusun program kegiatan tersebut berdasarkan jenis dan
prioritas;
3. menghitung volume, harga satuan, dan kebutuhan dana untuk
setiap komponen kegiatan;
4. membuat kertas kerja dan lembaran kerja, menentukan sumber
dana dan pembebanan anggaran, serta menuangkannya ke dalam
format bake RAPES;
5. menghimpun data pendukung yang akurat untuk bahan acuan
guna mempertahankan anggaran yang diajukan
(Depdiknas. 2000: 98).
EXPEDITURE PROSES
Ketepatan PENDIDIKAN
Efektivitas Guru dan SDM
Efisiensi lainnya
Kurikulum dan KUALITAS
SISWA/ bahan ajar HASIL
CALON SISWA Metode BELAJAR
pembelajaran
Sarana
DIRECT AND Pendidikan
REVENUE
INDIRECT COST Sistem
Adequacy
administrasi
Tujuan Pembelajaran
Dengan mempelajari dan mendiskusikan bab ini, pembaca
pembelajar akan dapat lebih memahami tentang konsep mutu
dan mutu pendidikan serta konsep penjaminan mutu dalam konteks
pendidikan. Oleh karena itu, setelah mengkaji bahasan dalam bab
ini, mahasiswa pembelajar diharapkan dapat:
menjelaskan makna Inovasi,
menjelaskan macam-macam karakteristik inovasi,
menjelaskan makna adopsi inovasi,
menjelaskan tentang keinovatifan (innovativeness),
menjelaskan sumber-sumber inovasi,
menjelaskan macam-macam model inovasi,
menjelaskan makna inovasi pendidikan,
menjelaskan model-model inovasi pendidikan
menjelaskan inovasi pendidikan di Indonesia.
m enj el askan peran guru dal am inovasi
pendidikan.
A. Pendahuluan
Dewasa ini inovasi khususnya dalam dunia bisnis menempati kedudukan
yang penting dalam hubungannya dengan keberlangsungan suatu
organisasi dalam konstelasi persaingan yang makin ketat. Perubahan -
perubahan yang cepat di abad dua puluh satu dewasa ini telah mendoron` dunia
bisnis melakukan upaya-upaya inovatif agar mampu bersaing, abal, dua puluh
satu merupakan abad inovasi sebagaimana dikemukaka Gaynor (2002: 1)
"There is no doubt that the twentieth century will be cred- i . ted as the century
of innovation", untuk itu setup organisasi perlu m enge m bangkan
kem am puan inovasi dan ki nerj a inovati f dal ar menghadapi persaingan
dan perubahan yang sangat cepat tersebut, karena inovasi merupakan cara
yang tepat dalam menghadapi perubahan dan persaingan, "Innovation is how
to cope with change, and cope more successfully than the competition"
(Srikantaiah dan Koenig, 2000: 16)
Dengan demikian, baik dalam tataran individu maupun organism
diperlukan sikap dan kinerja inovatif dalam menghadapi berbaga
perubahan dan persaingan yang makin ketat. Sikap konservatif terhadap
perubahan Berta tidak adanya upaya menciptakan kondisi kondusif bap
inovasi jelas akan berakibat fatal bagi keberlangsungan organisasi.
Kreativitas dan inovasi akan menjadikan suatu organisasi berbeda dengan yang
lainnya, dan perbeclaan ini jelas akan menjadikan organisasi berada pada
posisi persaingan yang lebih baik, "It is the creativity that we are able to apply
collectively and individuals that will define our difference as a-organization, The
speed that we can innovate as an organization will determine how much distance we
can put between us and the competitiol(Buckman, 2004: 57). Oleh karena itu,
kreativitas, inovasi, dan sikap serta perilaku inovatif menjadi suatu kebutuhan
dalam konteks kehidupan organisasi dewasa ini.
B. Konsep Inovasi
Menurut Oxford Learner's Pocket Dictionary, Inovasi/innovation berarti "new
idea, methods, etc", dalam bentuk kata kerjanya to innovate berarti "make
changes, introduce new things", sementara itu dalam The American Heritage
Dictionary inovasi diartikan "The act of introducing something new: something
newly introduced." Untuk lebih memberi pemahaman tentang inovasi, berikut
beberapa definisi istilah inovasi yang dikemukakan oleh para ahli.
6 Any idea, practice or material artifact perceived as (Alman and Duncan dalm
new by the relevant unit of adoption Ibrahim.1988:40)
8 inovasi adalah any idea, practice or material artifact (Alman and Duncan dalm
perceivedas new by the relevant unit of adoption Ibrahim.1988:40)
9 if we apply knowledge to task that are new and ( Hibbard dalam Srikantaiah
different, we call it innovation. dan Koening, 2000: 16)
Dalam konteks organisasi dan manajemen, penerapan hal baru dalam berbagai
bentuknya akan berimplikasi pada perubahan dalam bentuk ide praktik, ataupun
objek/benda tertentu yang dianggap baru oleh seseorang atau oleh
kesatuan/kelompok yang mengadopsi. Dengan demikian, inovasi tidak harus
sesuatu yang benar-benar baru secara objektif, namun pandangan subjek yang
menganggap sesuatu itu baru merupakan ide dasar dari konsep inovasi. Penerapan
sesuatu yang baru, baik ide, praktik maupun objek akan menjadikan sesuatu itu
berbeda dengan yang ada pada saat itu atau dengan apa yang ada sebelumnya, dan
ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu perubahan. Dengan demikian
dapatlah dipahami bahwa perubahan merupakan konsekuensi dari adanya
inovasi (atau inovasi itu sendiri merupakan suatu perubahan), ini berarti bahwa
tanpa sikap terbuka pada perubahan, maka akan sangat sulit atau bahkan
tidak mungkin seseorang atau kelompok orang mau menerima inovasi.
Inovasi berarti mengenalkan hal yang baru, baik itu produk, ide, objek maupun
metode yang akan berdampak pada perubahan. Perubahan terjadi akibat
diperkenalkan dan diterapkannya sesuatu yang baru, dengan kebaruan
terjadi penyesuaian-penyesuaian dalam interaksi sehingga akan mendorong pada
perubahan dalam interaksi tersebut. Inovasi merupakan suatu perwujudan dari
ide kreatif dalam upaya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan di masa
depan, dan hal itu akan mendorong pada perubahan kinerja dalam dimensinya
yang baru.
Inovasi
"For innovation to occur, something more than the generation of a creative idea or
insight is required: the insight must be put into action to make a genuine difference,
resulting for example in new or altered business processes within the organisation, or
changes in the products and services provided. Through these varieties of viewpoints,
creativity is typically seen as the basis for innovation, and innovation as the successful
implementation of creative ideas within an organization. From this point of view,
creativity may be displayed by individuals. but innovation occurs in the
organizational context only" (www.- en.wikipedia.com).
Sebagai suatu bentuk perwuJudan kreativitas, inovasi dapat dipahami sebagai
suatu hal yang mempunyai kaftan dengan berbagai kondisi, baik kondisi
individu maupun organisasi. Kondisi-kondisi ini dapat menjadi sumber
kemunculan suatu inovasi, dan dilihat dari keseluruhan prosesnya hal tersebut
dapat menggambarkan suatu tahapan, dari tahap individu kemudian
berkembang ke tahapan organisasi. Inovasi merupakan suatu hasil kreativitas
individu, baik ide barunya berasal dari diri sendiri maupun dari luar, yang
kemudian diterapkan dalam konteks lingkungan tertentu seperti lingkungan
organisasi. Inovasi mempunyai dimensi individual dan organisasional, artinya di
samping kompetensi individu, juga diperlukan kondusi vi t as orga ni sasi yan g
akan m em baw a pad a t um buh dan berkembangnya suatu inovasi.
D. Karakteristik Inovasi
Inovasi bukan sesuatu yang tak bertujuan, inovasi bukan untuk inovasi itu sendiri,
tapi inovasi mesti merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
dalam berbagai bidangnya, termasuk dalam bidanp, pendidikan. Untuk itu, suatu
inovasi memiliki karakteristi k/atri but sebagaimana yang dapat menjadi dasar
pertimbangan bagi seseorang atau organisasi untuk menerima atau menolaknya.
Menurut Roger (1983: 211) terdapat "five attributes of innovations". yaitu:
1). relative advantage,
2). compatibility,
3). complexity,
4). trialability, and
5). observability.
Untuk terjadi suatu inovasi, tahapan muncul dan diperolehnya ide baru
merupakan tahap pertama, menuju tahap berikutnya yaitu implementasi ide
baru tersebut dalam suatu lingkungan tertentu (organisasi). Ide baru tersebut
bisa berasal dari individu itu sendiri ataupun dari luar individu tersebut.
Gaynor (2002: 74) menyatakan bahwa setiap orang dalam organisasi dapat
menjadi sumber inovasi, di samping inovasi yang datangnya dari luar.
Dengan dernikian dalam konteks organisasi, sumber inovasi dapat berasal dari
sumber internal individu anggota organisasi dan yang dari luar organisasi.
Sementara itu Eric von Hippel (www.en.wikipedia.com! menyatakan
bahwa "A person's creative mind is the source of an innova tion. In most
organizations, this is an employee. However, organization aS a whole can also
be identified as generating innovations". Dengan demikian, terdapat dua sumber
inovasi dalam suatu organisasi yaitu inovasi yang bersumber dari pemikiran
kreatif individu dan dari organisasi. Dengan perspektif ini Eric von Hippell
lebih jauh mengemukakan dua sumber inovasi yaitu Manufacturer innovation dan
End user innovation.
Inovasi manufacturmerupakan inovasi yang dilakukan oleh orang atau bisnis
untuk menjualnya pada pihak lain yang membutuhkannya Berta cocok secara
orientasi kegiatan, sedangkan inovasi pengguna akhir adalah inovasi yang
dilakukan oleh orang atau bisnis untuk penggunaan sendiri. Inovasli pabrikan
(Manufacturer innovation) mengindikasikan adanya unit kreatifyang berada
diluar dari yang menghasilkan hal-hal kreatif (ide, proses praktik, atau
produk), sehingga dapat dipandang sebagai inovasi yang bersumber dari
luar bagi pihak yang mengadopsinya (individu dan atau organisasi).
Sementara itu inovasi pengguna akhir (End user innovatiow lebih menunjukkan
inovasi yang berasal dari dalam di mana hal-hal yang muncul dari suatu kreativitas
kemudian diterapkan atau diadopsi untuk kepentingan sendiri (individu dan
atau organisasi) dalam upaya untuk meningkatkan kinerja individu dan atau
untuk meningkatkan kinerja organisasi dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Apabila digambarkan akan tampak sebagai berikut:
Sementara itu, Dedi Supriadi (1996: 7), setelah mengkaji berbagai definisi
kreativitas menyatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk
melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata
yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Sebagai suatu aktivitas individu, maka kreativitas perlu dilihat dalam
kaitannya dengan karakteristik individu yang kreatif (dalam konteks gradasi).
Para pakar telah banyak yang mengemukakan tentang ciri-ciri orang atau individu
kreatif. Menurut Amabile (dalam Dwi Riyanti, 2003:44), sifat/ciri kepribadian orang
kreatif adalah rasa percaya diri, membuat penilaian secara independen, suka akan
kerumitan, berorientasi estetis, dan berani mengambil risiko. Guilford dalam Dedi
Supriadi (1996: 59) mengemukakan ciri-ciri orang kreatif yaitu : orisinalitas,
fleksibilitas, kelancaran, dan elaborasi. Sementara itu Munandar (Dedi Supriadi,
1996: 60) menyebutkan tujuh ciri orang kreatif yaitu: terbuka terhadap
pengalaman baru dan luar biasa, luwes dalam berpikir dan bertindak, bebas dalam
mengekspresikan diri, dapat mengapresiasi fantasi, berminat pada kegiatan-kegiatan
kreatif, percaya pada gagasan sendiri, dan mandiri. Sementara itu menurut
Leavitt dan Walton (dalam Larnoyne L. Scott Dunn, 2004: 45) menjelaskan tentang
individu inovatif (innovative individual) sebagai "an individual who is open to
new experience and goes out of his way to experience different and novel stimuli
particularly of the meaningful sort". Individu-individu yang inovatif adalah individu
yang terbuka pada pengalaman baru dan mampu melak-ukan sesuatu yang
berbeda dalam hal-hal yang bermakna. Individu kreatif/inovatif memerlukan
dan atau menunjukkan karakteristik tertentu yang memungkinkan individu tersebut
mengembangkan kreativitas dan keinovatifannya dalam menjalankan peran dan
tugasnya pada organisasi. Menurut Gardner 0 981: 35-37) ciri individu kreatif
adalah: openness, independence, flexibility, dan capacity to find order in
experience.
Sementara itu, menurut Davar (1996: 213) faktor-faktor yang
diperlukan agar seorang individu dapat kreatif adalah:
Ability to recognize the problem distinctly
Ability to produce ideas and alternative solution in great quantity, eliminating
evaluation
Ability to flexible in the approach and to break the inertia of thought and
approach
Selecting the best and novel ideas
evaluasi kaderisasi
SISTEM SISTEM
STRATEGI SOSIAL
SISTEM SISTEM
ADMINISTRASI TEKNIK
Kepercayaan, sharing ide-ide baru, komunikasi yang terbuka, pengakuan atas ide
yang baik/baru, mengelola ide tersebut untuk dilaksanakan dalam organisasi dapat
mendorong terbentuknya kreativitas organisasi. Dengan organisasi yang kreatif,
perkembangan ide baru dapat lebih berkembang serta menjadi pendorong bagi
tumbuh dan berkembangnya pegawaipegawai kreatif, dan pada gilirannya hal
ini akan berdampak pada tumbuh dan berkembangnya inovasi di dalam
organisasi sehingga lingkungan organisasi makin kondusif bagi kreativitas
pegawainya. Menurut House (1974: 172), dalam konteks organisasi, kondisi
ideal diperlukan untuk lahirnya sebuah inovasi, kondisi tersebut adalah:
Psychological security and freedom
Diversity of input into organization
Internal commitment to searching for solution
A moderate amount of structure to help define the problem A moderate
amount of benign competition
Innovator adalah mereka yang paling pertama dalam menerima inovasi, ini
dikarenakan kecenderungan mereka untuk secara aktif mencari informasi
mengenai ide-ide baru. Menurut Rogers 0 983) ciri/prasarat dari inovator
adalah: pengendalian atas sumber -sumber keuangan untuk men yerap
kerugi an yang m ungki n at as suat u inovasi yan g t idak menguntungkan,
kemampuan memahami dan menerapkan pengetahuan teknis yang kompleks,
mampu mengatasi ketidakpastian tentang inovasi, kosmopoilt, berani
mengambil risiko, siap kemball ke awal jika inovasi gagal.
Early adopter (pengadopsi awal), adalah mereka yang menjadi bagian
terintegrasi dari suatu sistem sosial. Kategori ini dapat berperan sebagal pemimpin opini
karena kedekatannya dengan situasi setempat, bersifat lokalis, namun dapat didorong
oleh agen perubahan untuk berperan dalanpros es d i f usi . P e ra n d ari
pe n gad ops i a wa l ad al ah m en ur un ka r ketidakpastian inovasi dengan cara
mengadopsinya, serta dapa t menyampaikan tentang inovasi melalui kontaks
interpersonal dalam sistem sosial di mana mereka berada.
Early majority (mayoritas awal) adalah mereka yang mengadopsi ide baru
sebelum masyarakat umum menerapkannya. Mereka banyak bergaul dengan
lingkungannya namun tidak menjadi pemimpin opini dan dapat berperan dalam
menghubungkan antara early adopter dengan kategori late majority.
Late majority (mayoritas akhir) adalah mereka yang mengadopsi ide baru
sesudah rata-rata anggota sistem sosial (organisasi). Dalam melihat inovasi,
kelompok ini bersifat skeptis dan hati-hati. Mereka tidak melakukan adopsi inovasi
ketika yang lain telah melakukannya. Sementara itu, Laggard adalah
kelompok terakhir yang mengadopsi inovasi, mereka cenderung terisolasi dari
sistem sosial dan bersifat lokalis.
Kategori-kategori adopter inovasi menunjukkan bagaimana unit adopsi bersikap
terhadap suatu inovasi, meskipun kategori adopter yang dikemukakan oleh
Rogers menyebutkan individu dan unit adopsi lain, namun kategori adopter yang
dijelaskan tampak menekankan pada individu, sehingga ha l tersebut dapat
dipandang sebagai sesuatu yang berkaitar dengan kreativitas, dalam arti bahwa
keinovatifan dalam tataran individu menunjukkan tingkat kreativitas individu
tersebut dalam kaitannya dengan suatu ide-ide baru sebagai awal dari suatu
adopsi inovasi. Untuk itu karakteristik individu kreatif akan menentukan
tingkat keinovatifan (innovativeness) individu tersebut.
G. Model-Model Inovasi
Para pakar telah banyak yang mengemukakan tentang model Inovasi sebagai kerangka
dasar dalam memahami bagaimana suatu inovasi itu terjadi serta bagaimana melihat
kemampuan seseorang untuk menjadi inovatif, adaptif dan kemudian menyebarkannya
pada pihak lain (difusi). Lana Chaterine Hagenson(2001) mengelompokkan model
inovasi kedalam Linier dan model Siklis. Model linier merupakan model yang
melibatkan dimensi tunggal, dan yang termasuk dalam model ini adalah model
Diffusion of Innovation dari Roger, Concerent Based Adoption Model dari Hall and
Hord, Berta Model of Epistemic Curiosity Speilberger and Starr.
1. Model Linier
Model difusi inovasi dari Roger memandang proses keputusan adopsi atau penolakan
inovasi sebagai suatu kejadian dalam suatu proses linier di mana waktu berperan
sebagai variable bebas dan proses adopsi terdiri dari serangkaian tindakan dan
pilihan dengan berbasiskan faktor internal dalam suatu sistem sosial. Dalam model
ini orang dikelornpokkan berdasarkan kecepatannya dalam mengadopsi inovasi
dengan lima kelompok adopter yaitu: (a) innovators, (b) early adopters, (c) early
majority, (d) late majority, dan (e) laggards. Sementara itu model dari Hall dan Hord
yaitu Concerns Based Adoption Model (CRAM) memandang inovasi sebagai
pergeseran secara psikologis dari ciri-ciri inovasi ke arah consern pada
penggunaannya. Dalam model ini pengguna inovasi bergerak dari consern pribadi
(self-concerns), selanjutnya consern pada tugas (task-concerns) kemudian
berpengaruh pada dampak konsern (impact-concern) pada saat seseorang makin
berpengalaman dengan inovasi. Tahapan-tahapan concern ketika seseorang
mengadopsi inovasi menurut Sherry, Lawyer-Brook, dan Black, 1997, (dalam Lara
Catherine Hagenson , 2001) mencakup:
Awareness (little concern about or involvement with the innovation);
Informational (interest in learning more details about it);
Personal (concerns about its demands and their adequacy in meeting them);
Management (processes and tasks of using the innovation)
Consequence (impact of the innovation on student outcomes);
Collaboration (coordination/cooperation with other users); an
Refocusing (altering or replacing the innovation)
Model of Epistemic Curiosity dari Speilberger dan Starr meng-
gambarkan dua proses yang terdiri dari keresahan (anxiety) dan
keingintahuan (curiosity), semakin rendah tingkat kenyamanan pengguna inovasi,
semakin kecil mereka melakukan eksperimen dengan inovasi. Model ini
menurut Hagenson (2001) merupakan model valid yang mengelompokkan
orang berdasarkan tingkat-tingkat ketidakpastian (levels of uncertainty) dan
menilai orang berdasarkan peril aku dan kemampuannya untuk mengeksplorasi
hal-hal di luar platform inovatif awal.
Selain model linier sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat model linier
lain yaitu Model Faktor Organisasi dan Belajar (Organizational and Learning
Factor Models). Model ini memandang bahwa banyak faktor yang memengaruhi
kemampuan seseorang untuk berinovasi, mengadopsi, dan malakukan difusi, dan
beberapa model yang masuk dalam kategori ini adalah Model Analisis Adopsi
(Adoption Analysis Models) dari Farquhar dan Surry (1994), dan Model Belajar
Terlibat (Engaged Learning Model) dari )ones, Valdez, Nowakowski, dan
Rasmussen (1995) sebagaimana dikemukakan oleh Hagenson (2001).
Model analisis adopsi dari Farquhar dan Surry dikembangkan dengan melihat
persepsi pengguna akan inovasi. Semakin positif persepsi pengguna akan suatu
inovasi berkaitan dengan karakteristik inovasi sebagaimana dikemukakan Rogers
(yakni: relative advantage, observability, compatibility, complexity, dan trialability)
akan semakin besar kecenderungan untuk mengadopsi inovasi. Dalam model ini
peran lingkungan fisik orgnisasi dan lingkungan pendukung dalam hal ketersediaan
teknologi terutama internet memegang peran penting, dan kesuksesan pelaksanaan
inovasi tidak hanya memerlukan adopter yang menggunakan dan
mengaplikasikan inovasi, tapi juga memerlukan organisasi yang menyediakan
lingkungan yang kondusif untuk penerapan teknologi barn. Mereka yang
mempunyai akses lebih besar pada teknologi serta didukung oleh
keterampilan, akan menggunakan teknologi lebih banyak dalam
melaksanakan pengajaran (untuk guru).
Model Engaged Learning dari Jones, Valdez, Nowakowski, dan
Rasmussen merupakan model dengan setting lembaga pendidikan. Model ini
melihat inovasi dari sudut gaga belajar dan peran murid di dalam kelas. Terdapat
delapan variable berkaitan dengan indicator engaged learning. yaitu:
the teacher's vision of learning
indicators of engaged learning;
ongoing, authentic, performance-based assessment;
a constructivist instructional model responsive to student need: the concept of
students as part of a learning community incorporating multiple perspectives;
collaborative learning
the co/learner/co-investigator;
the roles of students as cognitive apprentices, ces, peer mentors, and producers of
products that are of real use to themselves and others (Sherry, Lawyer-
Brook, dan Black, 1997 dalam Hagenson, 2001).
Dalam model ini visi guru tentang pembelajaran terkait erat dengan
peranannya di kelas dan persepsinya tentang hubungan kurikulum sekolah dengan
standar dart pemerintah, apakah kurikulum yang ada harus diperkaya,
ditingkatkan atau diganti, soma peran yang jelas dart kegiatan pembelajaran berbasis
internet di kelas (Sherry, Lawyer-Brook, dan Black, 1997, dalam Hagenson, 2001).
Kedua model di atas yakni model analisis adopsi dan model engaged
learning terintegasi dalam model learning/adoption trajectory yang
merupakan model belajar dan keorganisasian (organizational and learn ing
model) yang amat penting bagi dasar dan proses pembelajaran (Cara Catherine
Hagenson, 2001: 19).
2. Mod el S i k l i s
Model siklis ini didasarkan pada pemahaman bahwa suatu proses belajar yang
sedang berjalan lebih merupakan suatu proses siklis. Suatu siklis adalah
serangkaian kejadian yang terjadi secara teratur dan biasanya membawa
kembali ke titik awal (Sherry, et al (2000) dalam Hagenson, 2001: 21). Model
siklis ini menurut Hagenson, (2001: 22) lebih tepat ketimbang model linter,
dan model ini digunakan untuk membuat versi baru dari model Learning/Adoption
Trajectory. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat yang menjadi dasar
terbentuknya model siklis yaitu pandangan Schein (1996), Senge (1990),
Havelock dan Zlotolow (1997), Engestrom 0 996).
Menurut Schein, dari pandangan pengguna, anggota-anggota suatu
organisasi pembelajar mulai mencairkan (unfreeze) persepsi mereka pada saat
mengalami suatu inovasi yang gaga) memenuhi pemahaman mereka sebelumnya.
Anggota organisasi kemudian melakukan perubahan dan memfokus ulang
proses, dan kemudian membekukan ulang (refreeze) konsep mereka untuk
mencocokkan dengan pengalaman yang sedang dialami mereka. Menurut
Sherry, Billig, Tavalin, dan Gibson, (2000) dalam Hagenson (2001: 22) model tampak
lebih memfokuskan pada pengguna dan konsepsi mereka tentang membuka ide-ide
untuk belajar, mengambil inovasi, dan kemudian menutupnya dengan konsepsi akan
inovasi yang baru.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa agar inovasi, adopsi, dan difusi berhasil diperlukan
pelatihan dan pengajaran yang tepat, dan hal ini akan membantu memelihara serta
menyebarkan teknologi baru pada pihak lain.
Engestrom dengan kerangka teori aktivitasnya (Activity Theory Framework)
mengintegrasikan pengguna, tujuan penggunaan teknologi, hasil yang diharapkan,
komunitas pengguna dengan norma-normanya, konvensi, serta struktur sosial. Dalam
konteks tersebut perubahan merupakan bagian dar' s i s t e m ya n g b e r h e m b u s
m e l a l u i s i s t e m k e s e l u r u h a n , k e m u d i a memengaruhi setiap komponen serta
pengguna (Sherry, Billig, Tavalin, daGibson, (2000), dalam Hagenson, 2001: 23).
Model siklis tersebut menjadi dasar bagi terbentuknya model learring/adoption
trajectory. Model ini melihat adopsi inovasi sebagai suatu proses dinamis. Sherry,
Billig, dan Perry, menemukan tentang the learning/adoption trajectory ectory models
(teacher as learner, adoption, teacher as co- learner, and reaffirmation or rejection),
kemudian dalam penelitiannya Sherry, Billig, dan Perry menambahkan satu fase
lagi yaitu teacher as leader (Hagenson, 2001: 25).
the cyclical processes of the learning/adoption trajectory model creating the teacher
as leader stage, the fifth stage, but to break away from linear models (technology is
an ongoing process, therefore acting as a cycle instead of a line) we must start
looking at more dynamic models such as:
the "unfreezing-change-freezing" process described by Schein 0 996);
the circular change model of Havelock and Zlotolow 0997);
the balancing and reinforcing loops described by Senge 0 990); and
the interaction of users, tools, agency, and the community of users
described by Engestrom's (7996) Activity Theory framework (Sherry, et al,
2000, dalam Hagenson, 2001: 25).
Masuknya peran guru sebagai pemimpin mendorong pada pemahaman bahwa
guru dapat menentukan dan membuat keputusan tentang suatu inovasi apakah
dilaksanakan atau tidak, baik itu bersumber dari luar maupun yang bersumber dari
dirin ya sebagai bentuk pemunculan ide -ide baru dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran. Dengan demikian tampak bahwa adopsi inovasi bukan
sesuatu yang bersifat linier, dan hat itu mesti dilihat dalam kerangka model yang
dinamis dan interaktif dalam suatu konteks organisasi yang dasar-dasarnya telah
dikemukakan oleh para pakar sebagaimana tersebut di atas.
H. Inovasi Pendidikan
Dewasa ini, tampak sekali bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalarn
kehidupan masyarakat telah menjadikan pendidikan dipandang sebagai sesuatu
yang dipercaya dan diandalkan dalam mempersiapkan manusia yang siap dan
mampu menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat. Oleh karena
itu, pendidikan sebagai suatu bagian dari kehidupan masyarakat harus
menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, serta menyikapinya dengan
proaktif dan inovatif, sebab jika tidak demikian maka upaya mempersiapkan
manusia dalam menghadapi perubahan tidak mungkin dapat dilaksanakan
dengan baik.
Kondisi demikian pada dasarnya sebagai akibat dari karakteristik
manusia hidup
pendidikan dibagian
sebagai masyarakat, untukmasyarakat
dari kehidupan itu berbagai perubahan
yang tak harus
bisa mengisolasi
diperhatikan dan diantisipasi
diri dari pengaruh melalui
lingkungan, baik upaya memperbaiki
itu lingkungan fisikproses pendidikan
maupun dan
lingkungan
pembelajaran,
sosial, dalam sehingga output-nya
lingkup lokal, bisa nasional
regional, dan mampu Bertalingkungan
ataupun kompetitif global.
dalam
menghadapi berbagai hal
Pendidikan merupakan yanguntuk
upaya terjadi dalam proses perubahan di masyarakat,
mempersiapkan
dan untuk itu pendidikan harus dapat mengembangkan respons yang kreatif dan
inovatif sejalan dengan pernyataan Suyanto (Kompas, 16 Mei 2001):
"Untuk menciptakan unggulan kompetitif, kita memerlukan inovasi yang
pesat dalam dunia pendidikan. Menjadi bangsa yang berharkat memerlukan
unggulan kompetitif dalam berbagai bidang. Bukan zamannya lagi kita
mengandalkan murahnya tenaga keria untuk mendukung dan pembenar
konsep unggulan kompetitif. Dalam konteks untuk menciptakan unggulan
kompetitif outcome pendidikan, patut kiranya kita mengkaji pendapat
to
Michael Porter dalam ungkapannya: ...the ability sustain an advantage from
cheap labor or even from economies of scale-these are the old paradigms. These
paradigms are being superseded. Today, the only way to have an advantage is
through innovation and upgrading".
Oleh karena itu, bagi dunia pendidikan adalah suatu keharusan untuk selalu
mencermati perubahan-perubahan yang terjadi agar dapat direspon dengan cerdas
dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. Dalam hubungan ini
inovasi pendidikan menjadi semakin penting untuk terus dikaji, diaplikasikan dan
dikomunikasikan pada seluruh unsur yang terlibat dalam pendidikan untuk
menumbuhkan dan mengembangkan sikap inovatif di lingkungan pendidikan,
karena tanpa inovasi yang signifikan, pendidikan hanya akan menghasilkan
lulusan yang tidak mandiri, selalu tergantung pada pihak lain. Untuk itu
pendidikan harus digunakan sebagai inovasi nasional bagi pencapaian dan
peningkatan kualitas outcome secara berkelanjutan dan tersistem agar
unggulan kompetitif selalu dapa dipertahankan (Suyanto, Kompas, 16 Mei 2001).
lnovasi pendidikan secara sederhana dapat dimaknai sebagai inmaz dalam
bidang pendidikan. Menurut Ibrahim, (1988 : 51) inovasi pendidika ialah suatu ide,
barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai yang barn bagi seseorang
atau sekelompok orang (masyarakat), baik berupa hasil invensi atau discovery,
yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau memecahkan masalah
pendidikan. Dengan demikian inovasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pendidikan/pembelajaran, ini berarti bahwa inovasi apa pun yang tidak dapat
meningkatkan kualitas pendidikan/pembelajaran tidak patut untuk diadopsi, dan
dalam konteks ini peran guru akan sangat menentukan dalam adopsi inovasi pada
proses pendidikan/pembelajaran Oleh karena itu, dalam menyikapi suatu inovasi,
diperlukan suatu pemahaman yang baik tentang substansi inovasi itu sendiri, hal ini
dimaksudkan agar inovasi dapat benar-benar memberi nilai tambah bagi kehidupan.
Dengan mengingat hal tersebut, maka dunia pendidikan sebagai suatu subsistem
kehidupan masyarakat perlu menyikapi dengan terbuka berbagai inovasi yang ada
dalam dunia pendidikan, ataupun yang terjadi dalam bidang kehidupan lainnya
untuk berupaya mengintegrasikannya agar dapat dicapai suatu kondisi pendidikan
yang tidak tertinggal dengan perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat
akumulasi inovasi.
Namun demikian situasi di dunia pendidikan seperti sekolah, menurut penelitian
Kim E. Dooley (Jurnal Educational Technology & Society 2(4) 1999.www.careo.org)
cenderung sulit/lambat berubah seperti terlihat dari pernyataan berikut:
"The past three decades have been characterized by extreme social, political, economic,
and technological changes; but schools have not changed their basic organizational
structure. Recognition that the curriculum and methodology of the past are unsuited
for today's world has prompted a call for a restructuring of education. We are
currently i . n the "third wave" era (Toffler, 1981), the post-industrial information age
in which change continuously takes place at all levels of society".
Kesulitan atau kelambatan dalam berubah telah menjadikan dunia
pendidikan banyak tertinggal dari perkembangan yang terjadi dalam bidang kehidupan
lainnya seperti dunia bisnis, di mana inovasi telah menjadi nyawa yang
menentukan bagi kehidupan bisnis. Kajian -kajian tentang inovasi di bidang
pendidikan banyak dilakukan, meskipun kontribusinya pada pemahaman teoretis
tentang difusi inovasi tidak begitu penting, hal ini tidak lain karena sebagian besar
keputusan inovasi bersifat kolektif dan berdasarkan otoritas, dan kurang dilakukan
secara individual (optional innovation decision) (Rogers, 1983: 62).
Menurut House (1974) dalam proses penyebaran inovasi, kontak personal
mempunyai kedudukan yang penting dalam difusi atau komunikasi inovasi. Kontak
personal is essential to the propagation of innovation. Lebih jauh House membagi
inovasi ke dalam dua jenis dengan masing-masing mempunyai kelompok pemerannya
send i ri-sendiri, yaitu:
1. Household innovation. Inovasi rumah tangga (household) merupakan
inovasi individu, seperti inovasi guru di kelas, dan bisaanya tersebar dari
individu ke individu.
2. Entrepeneurial innovation. Inovasi entrepreneur adalah inovasi yang
mempunyai akibat langsung bagi orang lain di luar adopternya.
Lebih jauh House (1974) menyatakan bahwa praktisi pendidikan dapat dikelompokkan
ke dalam dua kelompok, yaitu (1) Administrator (Principal dan Superintendent), dan
(2) Teacher. Dalam hal penerimaan atau sikap terhadap perubahan dan inovasi, dua
kelompok ini mempunyai pandangan dan sikap yang tidak selalu sama, karena peran
yang dimainkan dalam melaksanakan kegiatan pendidikan berbeda dan lingkungan
kerja yang Bering dijalani masing-masing juga berbeda. Administrator (kepala dan
pengawas) lebih mudah menerima inovasi dibanding guru, inovasi oleh administrator
merupakan inovasi entrepreneur, sedang inovasi oleh guru adalah inovasi
household. Lebih mudahnya inovasi oleh administrator dibanding oleh guru
dikarenakan hal-hal berikut (House, 1974):
1. Sosial interaction inhibit diffusion across professional boundaries.
2. Teacher remain isolated in classroom which does not enhance the
diffusion of new idea within the profession.
3. Never adopt innovation as a whole, only bits and pieces.
4. Passive adopter.
Sulitnya inovasi yang dilakukan oleh guru yang bergerak di tataran teknis, jelas
akan memberi pengaruh pada efektivitas pembaruan/i novasi pendidikan
dalam berbagai tingkatannya, baik tataran institusi maupun tataran manajerial.
Oleh karena itu, kebijakan inovasi pendidikan dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan perlu mencermati kondisi ini, artinya dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas
profesionalisme pendidik/guru perlu terintegrasi dengan upaya melakukan
reformasi pada tataran institusi dan manajerial, sehingga terjadi suatu interaksi yang
kondusif bagi tumbuhnya kreativitas, kinerja inovatif yang terlembagakan dalam suatu
organisasi sekolah. Hal
Dengan demikian perubahan sikap dari SDM Pendidik, norma, kolegialitas amat
diperlukan agar organisasi sekolah dapat benar-benar berorientasi pada
perubahan dan kondusif bagi inovasi pendidikan.
Guru mempunyai peran yang menentukan dalam tataran teknis pendidikan
yaitu pembelajaran. Perkembangan yang terjadi di era global dewasa ini sudah
tentu perlu diantisipasi melalui kinerja inovatif dalam menciptakan proses
pembelajaran di kelas. Hasil penelitian yang dilakukan SMASSE INSET
(www.adeanet.org, 2005) menyimpulkan bahwa ketidakefektifan praktik
pembelajaran di kelas disebabkan salah satunya oleh faktor guru sebagai berikut:
a) Poor mastery of content, lack of basic practical skills and
innovativeness, poor teaching methods and generally neutral attitude
manifested in theoretical, teacher-centred approach to teaching,
failure to plan their work, missed lessons, lateness and unmarked exercises
in the students' books.
b) Generally low morale which is attributed to poor remuneration,
working conditions and unsupportive school administrators.
Tahapan-tahapan tersebut tidak mesti bersifat hirarkis, sebab bisa saja dalam waktu
bersamaan seorang guru berada pada lebih dari satu posisi. Namun sem ua i t u
perl u di dasark an p ada proses p em bel aj aran ya n g ber kesinambungan,
yang penting dalam mendorong proses tersebut adalah menciptakan kondisi,
iklim dan budaya sekolah yang kondusif bagi terjadinya tahapan-tahapan
tersebut (Manajemen Inovasi), sehingga potensi kreatif dengan gradasi kadar yang
bervariasi dapat terus berkembang dan makin meningkat menuju guru kreatif dan
sekolah inovatif.
L. Rangkuman
Inovasi merupakan kebutuhan organisasi untuk tetap survive dalam
perkembangan dewasa ini. Oleh karena itu, seluruh SDM dalam organisasi perlu
melakukan positioning yang tepat dan proaktif terhadap tantangan perubahan. Hal
itu juga berlaku dalam bidang pendidikan, di mana inovasi pendidikan harus menjadi
consem utama dalam era perubahan dewasa ini, dan dalam konteks tersebut peran
guru akan sangat menentukan bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Oleh karena
itu, dukungan organisasi sekolah dan manajemen pendidikan menjadi suatu fondasi
penting untuk berkembangnya inovasi pendidikan dalam tataran teknis pendidikan.
M. Review
Lakukan analisis dan penjelasan berdasarkan materi yang sudah dipelajari atas
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Jelaskan makna inovasi.
2. Jelaskan macam-macam karakteristik inovasi.
3. Jelaskan makna adopsi inovasi.
4. Jelaskan tentang keinovatifan (innovativeness).
5. Jelaskan sumber-sumber inovasi.
6. Jelaskan macam-macam model inovasi.
7. Jelaskan makna inovasi pendidikan.
8. Jelaskan model-model inovasi pendidikan.
9. Jelaskan inovasi pendidikan di Indonesia.
10. Jelaskan peran guru dalam inovasi pendidikan.
Daftar Pustaka
Adams Don dan David Chapman. 2002. The Quality of Education: Dimensions and
Strategies. Asia Development Bank.
Adams, D. 1998. Defining Educational Quality: Educational Planning. Jurnal
Educational Planning, 11(2) 3-18).
Agustian, Ary Ginanjar 2003) Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ POWER, Sebuah
Inner Journey Melalui Ihsan. Jakarta: Arga.
Alan Rugman. 2000. The End of Globalization. Random Haose.
Alan, Thomas J. (1971). The Productive School: A System Analysis Ap-
proach to Educational Administration. New York: John Willey &
Sons, Inc.
American Association for the Advancement of Science. (1998). School
Organization. http://www.aaas.org/>American Association. (12 Mei 2006)
American Association for the Advancement of Science,1997. http://
www.aaas.org (10 Mei 2006)
Andrew Mayo. (2001) The Human Value of the Enterprise Valuing People As
Assets Monitoring, Measuring, Managing. London: Nicholas Brealey Publishing.
Anwar, Idochi, dan Yayat Hidayat Amir, (2000). Administrasi Pendidikan,
Teori, Konsep, dan Issu. Bandung: Program Pasca Sarjana UPI. Arcaro, Jerome S.
(2005) Pendidikan Berbasis MLA. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Argyris, Chris. (1999). On Organizational Learning. 2nd edition, NAalden,
Massachusetts, Blackwell Publisher.
Armstrong, Michael. Tt. How to be a Better Manager. Kogan Page. Asnawi
Sahlan. 1999. Aplikasi Psikologi dalam Manajemen emen Sumber Daya Manusia
Perusahaan, Jakarta: Pusgrafin.
11. Atmodiwirio, Soebagio. (2000). Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta:
Ardadizya Jaya
Bacal, Robert. 2001: Perfonmance Management, terj. Surya Darma. Jakarta: Gramedia.
Bachman, Edmund. 2005. Metode BeiajarBerpikirKritis dan Inovatif. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Bagia, I Wayan. 2005, Pengaruh Modal Intelektual dan Kepuasan Kerja terhadap
Kinerja Pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten di Propinsi Bali, Disertasi, PPS
Unpad, Bandung
Barth, Roland S. 1990. Improving School from Within. San Francisco: JosseyBass.
Baumgartner, Jeffrey. 2004. Communication and Innovation, www.jpb.com (3 Juli
2007)
--------------------- 2004. Individual versus Organizations Innovation,
www.jpb.com (3 Juli 2007)
------------------------ . 2007. Being innovative in a big company, www.
innovationtools.com (3 Juli 2007)
--------------------.2007. Framework Innovation And Detail Innovation, (http://
www.jpb.coW 5 Sept. 2007
Beck Klaus. 1997. Organizational Learning http://www.sfb504.
unimannheim.de /glossary/orglearn.htm (10 Mei 2006)
Beck Lynn G. dan Murphy, Joseph. (2000). The Four Imperatives of Successful
School. Corwin Press, Inc. California
12. Becker, Brian E., Mark A. Huselid, and Dave Ulrich. (2001). The HR
Scorecard Linking People, Strategy, and Performance. Boston: Harvard Business
School Press.
Beeby, C. E. 1981. Pendidikan di Indonesia. Jakarta: LNES.
Berger, Ron.] 997. Building School Culture of High Standard, www.
newhorizon.org (7 Agustus 2007)
Betts, Jullian R. 1999. Returns to Quality of Education, Departement of Economics.
University of California: San Diego,
Blazcy, Mark L., Karen S. Davison, and John P. Evans. (2001). Insights to
Performance Excellence in Education. Milwaukee: ASQ Quality Press.
Boone, Louis E., David L Kurtz. 1984. Principles of Management. New York:
Random House.
Boulter, Nick, Murray Dalziel, and Jackie. 2003. The Art of HRD, People , and
Competence. Terj. Jakarta: Gramedia.
Bowitz Joy Lie. (1999). Knowledge Management Hand Book. Wahington D.C: CRC
Press, Boca Raton.
BPS Statistik Indonesia. (2004). Indonesia Human Development Report 2004 the
Economies of Democracy.
Bradford David L. and Allan R. Cohen. 1997. Managing for Excellence, The Guide
To Developing High Performance In Contemporary Organization. John Willey
and Son. New York
Braham, Barbara J. 2003. Creating A Learning Organization, terj. Zalzu I ifa, Elex
Media Komputindo, Jakarta
Bridges, William. (2003). Managing Transitions. Terj. Jakarta: Buana Ilmu Populer.
Broome, Gina Hernez., Richard L. Hughes. 2007. Leadership Development: Past,
Present, and Future, Center for Creative Leadership, Journal of Human
Resources Planning. 24-32 www.ccl.ledership deve-lopment.com (6 Pebruari
2008)
Brown, Rexford. 2004. School Culture and Organization, www.dpskl 2.org. (7 Agustus
2007)
Buchori, Mochtar. (1995). Transformasi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
Buckman, Robert H. 2004. Building A Knowledge Driven Organization. New
York: McGraw Hill.
Burgard, Jeffrey J. 1996. Continuous Improvement in the Science Classroom.
Milwaukee: ASQ Quality Press.
Burhanudin, Yusak. 1998. Administrasi Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia. Bush,
Tony. 2006. Theories of Educational Management, www.cnx.org (7 september
2007)
and Marianne Coleman. (Eds). 2006. Leadership and Strategic
Management in Education. ter). Fachrurrozi. Jogyakarta: IRCISoD.
Butler, Jocelyn A., Kate M Dickinson, 1987. Improving School Culture, School
Improvement Research Series, www.nwrl.org (7 Agustus 2007).
Caldwell, Brian J., and Jim M. Spinks. (1992). Leading the Self Managing
School. Washington DC: The Falmer Press.
Cascio, Wayne F. 2006. Managing Human Resource, New York, McGraw Hill
Connell, Hellen. 2003. Reforrnasi Pendidikan. terj. Solicha. Jakarta: Logos
Wacana IlrnU.
Cooper, Keneth Carlton. 2000. Effective Competent' Modeling and Reporting.
Washington D.C.: Amacom.
Cooper, Robert K., dan Aymara Sawaf. 2000. Kecerdasan Emasional dalam
Kepemimpinan dan Organisasi, Terjemahan Alex Tri. Jakarta:
Gramedia.
Crawford Megan, Lesley Kydd, and Colin Riches. 2005. Leadership and
Teams in Educational Management. terj. Suratina D. Hapsari, Jakarta:
Grasindo.
Cunningham, Ian. 1994. The Wisdom of Strategic Learning, New York.
McGraw-Hill Book Company
Cuttance, Peter, (ed.). 2001. School Innovation, Pathway to the Knowledge Society,
Department of Education, Australia, www. dest. govt. au (akses agustus 2007)
Danim, Sudarwan (2002) Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan
Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
________ 1999. Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bina aksara.
________ 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Davenport,
Thomas H. (1996). Inovasi Proses Rekayasa Ulang Pekerjaan
Melalui Teknik Inovasi. terj. Harvard Business School Press dan
Bina Rupa Aksara.
David Chapman dan Carol A Carrier. 1990. Improving Educational Quality: A
Global Perspective. Greenwood Publishing Group, incorporated.
Davis, Keith, John W. Newstorm. 1985. Perilaku dalam Organisasi. Terj, Agus
Dharma. Jakarta: Erlangga.
Davis, Stephen et al. 2005. School Leadership Study, Developing Successful
Principals, The Wallace Foundation, Stanford Educational Leadership
Institute, www.srnlead.org. (akses 6 sept 2007)
Decenzo, David A., Robbins, Stephen P. 1999. Human Resource Management.
New York: John Willey and Sons, Inc.
DeGraff, Jeff., Katherine A. Lawrence. 2003. Creativity at Work, Developing the
Right Practices to Make Innovation Happen. University of Michigan Business.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kompetensi Guru Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama. Bahan Rujukan Pelatihan Terintegrasi
Berbasis Kompetensi. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
Lanjutan Pertama, Jakarta.
Depdikbud. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas
Dirjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
2004. Pedoman Pengembangan Sekolah Standar Nasional,
Depdiknas Dirjen Dikti Direktorat Ketenagakerjaan. 2007. Pedoman
Penyusunan Usulan dan Laporan Pengembangan Inovasi
Pembelajaran di Sekolah Tahun 2007.
Depdiknas Dirjen Dikti Direktorat Ketenagakerjaan. (2007). Pedoman
Penyusunan Usulan dan Laporan Pengembangan dan Peningkatan
Kualitas Pembelajaran LPTK (PPKP) Tahun Anggaran 2007.
Dessler, Gary. 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia, Terj. T.
Iskandarsyah, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Prenhallindo.
Dibbon, David C., Katina Pollock. 2004. The Nature of Change and Inno-
vation in Five Innovative School, The Innovation Journal, Public
Sector Journal, vol 12. www.innovation.ce. 0 3 Agustus 2007) Dimyati,
Mudjiono. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Direktorat
Ketenagakerjaan, Dirjen Dikti Depdiknas. 2007. Pengembangan
Inovasi Pembelajaran.
Ditkoff, Mitchel. 2001. Qualities of Innovation, www.thinksi-narL.com. (13
Agustus 2007)
Dooley, Kim E. (1999) Educational Technology and Society 2 (4) (1999),
www.careo.org,
Dunn, Lemoyne Luette Scott. 2004. Cognitive Playfulness, Innovativeness, and
Belief of Essentialness: Characteristics of Educators who have the Ability to
make enduring changes in the integration of technology into the classroom
environment. Center for Educational Technology, University of North
Texas, disertasi www.unt.edu (akses September 2006).
Effendi, Sofian. 2007. Pendidikan di Era Globalisasi. Koran Seputar Indonesia (13
Maret 2007).
Elmore, Richard F. 2000. Building a New Structure For School Leadership, The Albert
Shanker Institute, www. Shanker Institute.org. (akses 6 Sept. 2007).
Engkoswara, 2001. Paradigms Manajemen Pendidikan Menyongsong Otonomi
Daerah. Bandung: Yayasan Amal Keluarga.
. 2002. Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan,
Cetakan Pertama. Bandung: Yayasan Amal Keluarga.
Etzioni, Amitai (1985). Organ isasi-Organ isasi Modem, terj. Suryatim. Jakarta: Ul Press.
Fajar, Malik, et al. 2001. Plat Form Reformasi Pendidikan dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Logos.
Farago, John, David Skyrme. 2003. The Learning Organization. Jurnal Insight No 3.
http://www .skyrme.com /insights /31rnorg.htm (10 Mei 2006).
Fattah, Nanang. 1999. Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda
Karya.
. (2004). Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan
Sekolah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
Feinberg, Mortimer R. 1979. Effective Psychology for Managersterj. Turman Sirait,
Jakarta: Prakasa Satria Utama.
Ferrier, John D. 1998. An Investigation Into The Diffusion of Innovation in Technical
and Further Education, www.w3.org. Disertasi, Deakin University (akses 15
September 2006)
Fitz-enz Jack, and Barbara Davison. 2002. How to Measure Human Resource
Management New York: McGraw Hill.
Fullan, Michael, (ed.). 1997. The Challenge of school change. Australia, Hawker
Brownlow.
Fullan, Michael, and Suzanne Stiegelbaver. 1991. The New Meaning of
Educational Change. New York: Teacher College Press. Furgon. 2001.
Statistika Terapan untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta. Furtwengler, Dale. 2002.
Penilaian Kinerja, terj. Fandy Tjiptono. Yogyakarta:
Andi Offset.
Gamble, Paul R., and John Blackwell. 2002. Knowledge Management: A State of the
Art Guide, London: Kogan Page.
Gardiner, John Jacob. 2006. Transactional, Transformational, And Transcendent
Leadership: Metaphors Mapping The Evolution Of The Theory
And Practice of Governance, Leadership Review, Vol. 6, 2006
www.Ieaders1preview.org (6 September 2007)
Gardner, John W. 1981. Self Renewal, the Individual, and the Innovative. New York:
W.W. Norton and Company.
Gaynor, Gerrard H. 2002. Innovation by Design. Washington D.C.: Amacom.
Gibbs, Colin. 2003. Explaining Effective Teaching: Self-efficacy and Thought Control
of Action, Journal of Educational Enquiry, Vol. 4, No. 2, 2003 (12 September
2006)
Gibson, James L., et al. 1996. Organization, Perilaku, Struktur, Proses. Terj.
Nunuk Andiarni, jilid 1 dan 2. Jakarta: Binarupa Aksara.
Glueck, William F. 1982. Personnel, A Diagnostic Approach. Texas: Busi-
ness Publication. Inc.
Goleman, Daniel. 1999. Emotional Intelligence, Terj. T. Hermaya, Jakarta: Gramedia.
1999, Working With Emotional Intelegence, Terjemahan Alex Tri Kuntjoro.
Jakarta: Gramedia.
Goleman, Daniel. 2006. The Socially Intelegent Leader, www.ASCD.org (7
Agustus 2007).
Gredler, Margaret E. 1986. Learning and Instruction, Theory into Practice. New York:
McMillan Publishing Co.
Greene, Charles N. 1985. Management for Effective Performance. New Jersey:
Prentice Hall.
Grimston, Malcolm. 2006. A Councillor's Guide to Performance Management, the
Performance, Management, Measurement and Information Project, 2111
edition, Audit Commission, www.idea.gov.uk (akses 9 Februari 2008)
Grote, Dick. 2002. The Performance Appraisal Question and Answer Book. Washington
D.0 : AMACOM.
Gupta, Vipin Ian C. MacMillan and Gita Surie. 2004. Entrepreneurial Leadership:
Developing and Measuring a Cross-Cultural Construct journal of Business
Venturing, Elsevier Inc., 19 (241-260), www. leadershipreview.org. (11
September 2007)
Hagenson, Lara Catherine. 2001. The Integration of Technology into Teaching
Oklahoma State University, Oklahoma, Thesis. (akses 6 Sept. 2006)
Hall, Doug. 2004. 3 Metode Canggih Melejitkan Kreativitas Bisnis. Terj. Bandung:
Kaifa.
Hall, Mark L. Lengnick., Hall, Chyntia A. Lengnick. 2002. Human Re source
Management in the Knowledge Economy. San Francisco: Berrett Koehler
Publishers, Inc.
Hall, William C. 1995. Key Aspects of Competency Based Assessment.
Adelaide: Department of Employment Education and Training. Hamalik Oemar.
2003. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan
Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara.
. (2000). Pengembangan Sumber Daya Manusia, Manajemen Pelatihan
Ketenagakerjaan Pendekatan Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.
Hamond, Linda Darling. 2006. Powerful Teacher Education, Lessons from Examplary
Programs. San Francisco: Jossey Bass.
Hamond, Linda Darling, and Gary Sykes. 1999. Teaching As the Learning Profession,
Handbook of Policy and Practice. San Francisco: Jossey Bass.
_______ . Arthur F. Wise, Stephen P. Klein. 1999. A License to Teach
Raising Standards for Teaching. San Francisco: Jossey Bass. Hamond, Linda
Darling, John Bransford. 2005. Preparing Teachers for A
Changing World What Teachers Should Learn and Be Able to Do.
San Francisco: Jossey Bass.
Hargreaves, Andy. 2003. Teaching in the Knowledge Society, Education
in the age of Insecurity. Philadelphia: Open University Press. Hasan, Ani M.
2003. Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad
Pengetahuan, Nama dan E-mail: Ani M.Hasan (10 Mei 2006) Hatori, Ruth Ann.,
Joyce Wycopp. 2002. Innovation DNA, www.
thinksmart.com. (13 Agustus 2007)
Hautala, Tiina M. 2005. Personality and Transformational Leadership: Per-
spectives of Subordinates and Leaders, Acta Wasaensia No. 145,
Business Administration 61 Management and Organization, Uni-
versitas Wasaensis, www.lifas.uwasa.fi, (akses 6 Sept. 2007) Havelock, Ronald
G., Zlotolow, Steve. 1995. The Change Agent's Guide,
2 n' Edition. New Jersey: Educational Technology Publications
Englewood Cliffs.
Hayman, Irwin A., Snook, Pamela A. 1999. Dangerous Schools, What We Can Do
about the Physical and Emotional Abuse of Our Children. San Francisco:
Jossey Bass Publishers.
Haynes, Marion E. 1984. Managing Performance: A Comprehensite Guide to
effective Supervision. California: Lifetime Learning Publications.
Heneman, Herbert G. et al. 1981. Managing Personnel and Human Resources.
Illionis, Dow Jones-Irwin,
Hersey, Paul, dan Ken Blanchard. 1982. Manajemen Perilaku Organisasi:
Pendayagunaan SUrnber Oaya Manusia. ter]. Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.
Hesselbein, Frances et al. 1997. The Organization of the Future. San
Fransisco: Jossey-Bass Publisher.
Higgins, James M. 1982. Human Relations, Concept and Skill. New York: Random
House, Inc.
Hirnpunan Keputusan Mendiknas RI. 2006. Jakarta: Sinar Grafika. Hoppers,
Wim. 2004. Pengembangan Orientasi Pendidikan Dasar. Terj. Jakarta:
Logos.
Hornby A.S. 2000. Oxford Advanced Learner's Dictionary. New York: Oxford
University Press.
Hornby, A.S., E.C. Parnwell. An English Reader's Dictionary.
House, Ernest R. 1974. The Politics of Educational Innovation. McCutchan Publishing
Corporation.
Hoy, Wayne K. dan Cecil G. Miskel. 2001. Educational Administration 6"
Edition. New York: McGraw Hill Co.
Hunsaker. P.L. 2001. Training in Management Skills. University of San Diego
New Jersey: Prentice Hall
Huselid, Mark A., Bryan E Backer, Richard W Beaty. 2005. The Workforce
Scorecard. Boston: Harvard Business School Press.
Ibrahim. 1988. Inovasi Pendidikan. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdikbud. Imron, Ali
(1996). Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Ingraham, Patricia W. and Heather Getha-Taylor. 2004. Leadership in the Public
Sector: Models and Assumptions for Leadership Development.
Jackson, Susan E., et al. (ed). 2003. Managing Knowledge for Sustained
Compeitive Advantage. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher. John Farago
and David Skyrme. 2003. The Learning Organization. Jurnal
Insight No 3. http://www .skyrme.com /insights /31rnorg.htm (10
Mei 2006)