Anda di halaman 1dari 8

1.

Pesta Bakar Batu

Pesta Bakar Batu mempunyai makna tradisi bersyukur yang unik dan khas. dan
merupakan sebuah ritual tradisional Papua yang dilakukan sebagai bentuk ucapan
syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan tamu agung, dan juga
sebagai upacara kematian. Selain itu, upacara ini juga dilakukan sebagai bukti
perdamaian setelah terjadi perang antar-suku.
Sesuai dengan namanya, dalam memasak dan mengolah makanan untuk pesta
tersebut, suku-suku di Papua menggunakan metode bakar batu. Tiap daerah dan suku
di kawasan Lembah Baliem memiliki istilah sendiri untuk merujuk kata bakar batu.
Masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii atau mogo gapii, masyarakat Wamena
menyebutnya kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan
barapen. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum digunakan.
Pesta Bakar Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini
akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan masyarakat Papua. Makna
lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan saling memaafkan antar-warga.
Prosesi Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, bakar
babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan
batu yang akan dipergunakan untuk memasak. Batu dan kayu bakar disusun dengan
urutan sebagai berikut, pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar,
di atasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya
lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian
tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas.
Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.

Pada saat itu, masing-masing suku menyerahkan babi. Lalu secara bergiliran kepala
suku memanah babi. Bila dalam sekali panah babi langsung mati, itu merupakan
pertanda bahwa acara akan sukses. Namun bila babi tidak langsung mati, diyakini ada
yang tidak beres dengan acara tersebut. Apabila itu adalah upacara kematian,
biasanya beberapa kerabat keluarga yang berduka membawa babi sebagai lambang
belasungkawa. Jika tidak mereka akan membawa bungkusan berisi tembakau, rokok
kretek, minyak goreng, garam, gula, kopi, dan ikan asin. Tak lupa, ketika
mengucapkan belasungkawa masing-masing harus berpelukan erat dan berciuman pipi.
Memanah Babi
Di lain tempat, kaum wanita menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Babi
biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher hingga selangkang kaki belakang. Isi
perut dan bagian lain yang tidak dikonsumsi akan dikeluarkan, sementara bagian yang
akan dimasak dibersihkan. Demikian pula dengan sayur mayur dan umbi-umbian.
Kaum pria yang lainnya mempersiapkan sebuah lubang yang besarnya berdasarkan
pada banyaknya jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu kemudian
dilapisi dengan alang-alang dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit kayu khusus
yang disebut apando, batu-batu panas itu disusun di atas daun-daunan. Setelah itu
kemudian dilapisi lagi dengan alang-alang. Di atas alang-alang kemudian dimasukan
daging babi. Kemudian ditutup lagi dengan dedaunan. Di atas dedaunan ini kemudian
ditutup lagi dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal.

Menata
Batu Menggunakan Apando
Setelah itu, hipere (ubi jalar) disusun di atasnya. Lapisan berikutnya adalah alang-
alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran berupa iprika atau
daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang),
dantowabug atau hopak (jagung) diletakkan di atasnya. Tidak cukup hanya umbi-
umbian, kadang masakan itu akan ditambah dengan potonganbarugum (buah).
Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan rumput dan batu membara. Teratas
diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah sebagai penahan agar panas dari batu
tidak menguap.
Sekitar 60 hingga 90 menit masakan itu sudah matang. Setelah matang, rumput akan
dibuka dan makanan yang ada di dalamnya mulai dikeluarkan satu persatu, kemudian
dihamparkan di atas rerumputan. Sesudah makanan terhampar di atas, ada orang yang
akan mengambil buah merah matang. Buah itu diremas-remas hingga keluar pastanya.
Pasta dari buah merah dituangkan di atas daging babi dan sayuran. Garam dan
penyedap rasa juga ditaburkan di atas hidangan.
Kini tibalah saatnya bagi warga untuk menyantap hidangan yang telah matang dan
dibumbui. Semua penduduk akan berkerumun mengelilingi makanan tersebut. Kepala
Suku akan menjadi orang pertama yang menerima jatah berupa ubi dan sebongkah
daging babi. Selanjutnya semua akan mendapat jatah yang sama, baik laki-laki,
perempuan, orang tua, maupun anak-anak. Setelah itu, penduduk pun mulai
menyantap makanan tersebut.

Menikmati Sepotong Daging Babi


Pesta Bakar Batu merupakan acara yang paling dinantikan oleh warga suku-suku
pedalaman Papua. Demi mengikuti pesta ini mereka rela menelantarkan ladang
dangan tidak bekerja selama berhari-hari. Selain itu, mereka juga bersedia
mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai pesta ini.
Pesta ini sering dilaksanakan di kawasan Lembah Baliem, Distrik Wamena, Kabupaten
Jayawijaya, Papua, Indonesia.

Namun, kepastian titik lokasi dilaksanakannya ini tidak menentu. Jika sebagai
upacara kematian maupun pernikahan, pesta ini akan dilaksanakan di rumah warga
yang memiliki hajatan. Namun, bila upacara ini sebagai ucapan syukur atau simbol
perdamaian biasanya akan dilaksanakan di tengah lapangan besar.
Pesta Bakar
Batu di Lapangan

2. Upacara Potong Jari

Tradisi potong jari ini terjadi di papua, kesedihan saat telah ditinggal pergi oleh orang
yang dicintai dan kehilangan salah satu anggota keluarga sangat perih. Berlinangan air
mata dan perasaan kehilangan begitu mendalam. Terkadang butuh waktu yang begitu
lama untuk mengembalikan kembali perasaan sakit kehilangan dan tak jarang masih
membekas dihati. Lain halnya dengan masyarakat pegunungan tengah Papua yang
melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarganya yang
meninggal tidak hanya dengan menangis saja. Melainkan ada tradisi yang diwajibkan
saat ada anggota keluarga atau kerabat dekat seperti; suami,istri, ayah, ibu, anak dan
adik yang meninggal dunia. Tradisi yang diwajibkan adalah tradisi potong jari. Jika
kita melihat tradisi potong jari dalam kekinian pastilah tradisi ini tidak seharusnya
dilakukan atau mungkin tradisi ini tergolong tradisi ekstrim. Akan tetapi bagi
masyarakat pegunungan tengah Papua, tradisi ini adalah sebuah kewajiban yang harus
dilakukan. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan
pedihnya seseorang yang kehilangan sebagian anggota keluarganya.Bisa diartikan jari
adalah symbol kerukunan, kebersatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun
sebuah keluarga. Walaupun dalam penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya
menyebutkan satu perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati
perbadaan setiap bentuk dan panjang memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan
kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Satu sama lain
saling melengkapi sebagai suatu harmonisasi hidup dan kehidupan. Jika salah satu
hilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan

3. Upacara Tanam Sasi (Papua Barat , Marauke)


Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi, sejenis kayu yang
dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian. Sasi ditanam 40 hari
setelah kematian seseorang dan akan dicabut kembali setelah 1.000 hari. Budaya
Asmat dengan ukiran dan souvenir dari Asmat terkenal hingga ke mancanegara. Ukiran
Asmat memiliki empat makna dan fungsi, masing-masing:
1. Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;
2. Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;
3. Sebagai lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tumbuhan dan benda-
benda lain;
4. Sebagai lambang keindahan dan gambaran memori nenek moyang.

4. Upacara Perkawinan
Perkawinan merupakan kebutuhan yang paling mendesak bagi semua orang. Dengan
demikian masyarakat Papua baik yang di daerah pantai maupun daerah pegunungan
menetapkan peraturan itu dalam peraturan adat yang intinya agar masyarakat tidak
melanggar dan tidak terjadi berbagai keributan yang tidak diinginkan. dalam
pertukaran perkawinan yang di tetapkan orangtua dari pihak laki-laki berhak
membayar mas kawin seebagai tanda pembelian terhadap perempuan atau wanita
tersebut. adapun untuk masyarakat pantai berbagai macam mas kawin yang harus
dibayar seperti: membayar piring gantung atau piring belah, gelang, kain timur
(khusus untuk orang di daerah Selatan Papua) dan masih banyak lagi. berbeda dengan
permintaan yang diminta oleh masyarakat pegunungan diantaranya seperti: kulit bia
(sejenis uang yang telah beredar di masyarakat pegunugan sejak beberapa abad lalu),
babi peliharaan, dan lain sebagainya. dalam pembayaran mas kawin akan terjadi kata
sepakat apabila orangtua dari pihak laki-laki memenuhi seluruh permintaan yang
diminta oleh orangtua daripada pihak perempuan
Diposkan oleh Ratri Dwi Ramadhanny di 07.57
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
5 komentar:

1.

Kay Z12 Mei 2016 03.22

terima kasih. :)

Balas

2.

calista Lia10 Juni 2016 01.52

Maaf, ini sumbernya darimana ya? APA Ada literature yg lebih jelasnya..?

Balas

3.

calista Lia10 Juni 2016 01.53

Maaf, ini sumbernya darimana ya? APA Ada literature yg lebih jelasnya..?

Balas

4.

Muhammad Dadan Achdian5 November 2016 05.53

Terima kasih luar biasa budaya Indonesia, Papua

Balas

Balasan

1.

Muhammad Dadan Achdian5 November 2016 05.53

Izin menyadur untuk tugas Ocha keponakanku


Balas

Muat yang lain...


Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Mengenai Saya

Ratri Dwi Ramadhanny


Lihat profil lengkapku

Arsip Blog
2014 (9)
o November (9)
PENDUDUK ASLI DI PAPUA
SENJATA TRADISIONAL
RUMAH ADAT
MAKANAN TRADISIONAL
UPACARA DAN RITUAL ADAT
TEMPAT WISATA DAN BERSEJARAH
GEOGRAFI
ASAL USUL NAMA
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia. Be...

Lencana Facebook
Ratri Dwi Ramadhanny

Buat Lencana Anda

Anda mungkin juga menyukai